MAKNA UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA BAGI...
-
Upload
nguyenmien -
Category
Documents
-
view
283 -
download
1
Transcript of MAKNA UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA BAGI...
1
MAKNA UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA BAGI KOMUNITAS
BATAK TOBA DIASPORA DI SALATIGA
Oleh
Winton Tambunan
Nim : 712013071
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi
sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang
Teologi (S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga 2017
2
3
4
LEMBAR PENGESAHAN
Makna Upacara kematian Saur Matua Bagi Komunitas Batak Toba
Diaspira di Salatiga
oleh:
Winton Tambunan
712013071
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian
dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi
(S.Si.Teol)
Disetujui oleh,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Izak Lattu, Ph.D. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Ketua Program Studi Dekan
Pdt. Izak Lattu, Ph.D. Pdt. Dr. Retnowati, M.Si
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2017
5
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Winton Tambunan
NIM : 712013071
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, dengan judul:
Makna Upacara Kematian Saur Matua Bagi Komunitas Batak Toba Diaspora di
Salatiga.
Yang dibimbing oleh:
1. Pdt. Izak Lattu, Ph.D.
2. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu
adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam
bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah
sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber
aslinya.
Salatiga, 2017
Yang memberi pernyataan,
Winton Tambunan
6
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Winton Tambunan
NIM : 712013071
Program Studi : Teologi
Fakultas : Teologi
Jenis Karya : Jurnal Penelitian
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya
ilmiah saya berjudul:
Makna Upacara Kematian Saur Matua Bagi Komunitas Batak Toba Diaspora di
Salatiga
beserta perangkat yang ada (jika perlu).
Dengan hak bebas royalti non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan,
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada tanggal : 21 April 2017
Yang menyatakan,
Winton Tambunan
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Pdt. Izak Lattu, Ph.D. Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu
7
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena
kasih karuniaNya yang senantiasa melimpah dalam kehidupan penulis. Secara
khusus, penulis mengucapkan syukur karena penyertaanNya yang tak pernah
berhenti mengalir bagi penulis selama penulis menjalani empat tahun masa
pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).
Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk
mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Namun demikian,
laporan ini ditulis bukan karena tugas semata. Penulis menyusun Tugas Akhir ini
dengan harapan karya tulis ini dapat membantu semua orang Batak Toba untuk
memahami kebudayaan, adat- istiadat yang telah dilakukan sejak dahulu hingga
sekarang dimanapun orang Batak Toba berada. Penulis juga berharap laporan ini
dapat berguna di kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan
mengenai kebudayaan, adat-istiadat. Besar pula harapan penulis, semoga laporan ini
dapat menjadi berkat bagi para pembaca.
Penulis
8
Daftar Isi
Halaman Judul
Pernyataan Tidak Plagiat
Pernyataan Persetujuan Akses
1
2
3
Lembar Pengesahan
Lembar Pernyataan Keaslian
Lembar Pernyataan Bebas Royalti dan Publikasi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih
Motto
Abstrak
1. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
1.2.Rumusan Masalah, Tujuan, dan Manfaat
1.3.Metode Penelitian
2. Pengertian Ritual/ Upacara Kematian
2.1.Pengertian Ritual /Upacara Kematian
2.2.Pengertian Ritual /Upacara Kommunitas Diaspora
3. 1. Orang Batak Toba Diaspora di Kota Salatiga
2.1 Asal Mula Orang Batak Toba Di Salatiga
3.1.1. Asal Mula Orang Batak Merantau
3.1.2. Asal Mula Orang Batak Toba di Salatiga
3.1.3. Sistim Kemasyarakatan Batak Toba di Salatiga
3. 2. Upacara Kematian Saur Matua dikalangan Masyarakat Batak
4
5
6
7
8
10
12
13
14
20
24
9
Toba di Salatiga.
3.2.1. Pemahaman Orang Batak Toba Secara Umum Makna
Upacara Kematian Saur Matua
3.2.2. Perbandingan Pelaksanaan Upacara Saur Matua di
Salatiga
3.2.3. Persamaan Pelaksanaan Upacara Saur Matua di
Salatiga
3. 3. Pemahaman Batak Toba Diaspora di Salatiga Mengenai
Makna
Upacara Kematian Saur Matua
3.3.1. Ungkapan Syukur
3.3.2. Penghormatan
3.3.3. Warisan Leluhur
3.3.4. Penguatan Solidaritas Komunitas Batak Salatiga
3. 4. Pemahaman Batak Toba Diaspora di Salatiga Mengenai
Makna
Upacara Kematian Mempunyai Tahap-tahapan
3.4.1. Upacara di Jabu ( didalam rumah )
3.4.2. Upacara Maralaman ( dihalaman rumah )
3.4.3. Sesudah Upacara Kematian
3. 5. Pemahaman Gereja HKBP Salatiga tentang Makna Upacara
Kematian Saur Matua
4. Analisa Makna Upacara Kemataian Saur Matua di Salatiga
5. Penutup
5. 1. Kesimpulan
5. 2. Saran
Daftar Pustaka
26
28
31
35
37
41
42
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya mengucapkan terima kasih kepada...
1. Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanNya dalam seluruh kehidupan saya, yang
selalu tepat waktu. Terkhusus buat kesempatan yang luar biasa, sehingga
mengizinkan saya menikmati pendidikan dan lulus sampai perguruan tinggi.
2. Kepada orang tua, opung Arta br Pangaraji, keluarga besar Tambunan dan
keluarga besar Manik, serta kepada abang saya Bapak Arta Tambunan/ br.
Pandiangan yang atas dukungan dan doa yang tak lelah mereka panjatkan untuk
pendidikan dan kehidupan saya, sehingga berkat doa mereka semua saya pun
bisa lulus tepat waktu. Semua kerja keras dan hasil yang saya dapatkan selama
diperguruan tinggi ini.
3. Istri tersayang Nurseli Manik yang senantiasa memberikan semangat kepada
saya dalam suka dan duka serta selalu menolong saya dalam proses perkuliahan
sampai selesai. Kapada buah hati kami, anak-anak terkasih Dapat Tua, Nova,
Daniel, Haical, Harry dan Rudolf yang selalu memberikan semangat dan
dukungan doa sehingga saya dapat kuat, semangat dan mampu menjalani proses
perkuliahan hingga pada akhirnya pencapaian gelar sarjana.
4. Abang anda yang saya kasihi Bapak St. Amri Sihaloh/ br. Simarmata, Bapak
Jepri Sihaloho/ br Manik yang selalu memberikan dukungan dan doa bagi saya
dan keluarga sehingga terlaksana tugas akhir ini dan lulus pada waktu yang
tepat.
5. Rekan-rekan saya, koor Ama HKBP Salatiga, Martin Sirait, Ivan Napitupulu,
Swanto imamora, Imanuela Sinaga, Gr. Jekson Simanjuntak, Gr.Manerak
Sihombing, Ramos Tambunan, Endang Naibaho, Bilardo Silitonga, koor Ina
HKBP Salatiga, punguan Silahisabungan dan Mahasiswa PPL di HKBP
Bayolali.
11
5 . Wali studiku, Pdt.Dr.Jacob Daan Engel. Terima kasih telah menjadi wali selama
penulisan menjalani studi di Fakultas Teologi UKSW – Salatiga.
6. Pembimbing pertama Pdt. Izak Yohan Matriks Lattu, Ph.D, yang banyak
memberikan masukan sistimatis dan berpikir sederhana namun jelas yang
menginspirasi penulis untuk menyelasaikan Tugas Akhir ini.
7. Pembimbing kedua Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu, yang selalu memotivasi,
memberi jalan keluar serta berbaik hati kepada penulis selama penyusunan
Tugas Akhir ini.
8. Dekan fakultas Teologi Pdt. Dr. Retnowati, M.Si, Kaprogdi Pdt. Izak Yohan
Matriks Lattu, Ph.D dan Ibu Budi dan seluruh dosen yang selalu memberikan
informasi bagi penulis selama berproses sebagai mahasiswa di Fakultas Teologi.
9. Majelis HKBP Salatiga bersama dengan Majelis HKBP Boyolali yang telah
menerima saya melakukan penelitian akhir dalam proses penyusunan Tugas
Akhir saya dan PPL X.
10. Majelis dan Jemaat HKBP Persiapan Sragen yang telah ikut memberikan
dorongan dan doa agar terlaksana tugas akhir ini.
Akhir kata penulis berharap agar tugas akhir ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi Jemaat HKBP Salatiga, Jemaat
HKBP Boyolali dan pihak-pihak yang memerlukan.
Salatiga,
Penulis
12
MOTO
“ Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-
tama murni, selanjutnya pendamai, peramah,
penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah
yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.
Dan buah yang terdiri dari kebenaran
ditaburkan dalam damai untuk mereka yang
mengadakan damai”.
( Yakobus 3 : 17-18 )
13
MAKNA UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA BAGI KOMUNITAS
BATAK TOBA DIASPORA DI SALATIGA
Winton Tambunan ( 712013071 )
Dosen pembimbing:
Pdt. Izak Yohan Matriks Lattu, Ph.D.
Pdt. Dr. Rama Tulus Pilakoannu
Fakultas Teologi
Unuversitas Kristen Satya Wacana
Abstrak
Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian
pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena
cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia. Namun,
wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan
selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat
kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat
tua,seperti kematian Saur Matua.
Saur Matua adalah orang yang meninggal dunia telah memiliki keturunan
dan cucu baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan.Saur artinya lengkap
atau sempurna dimana dikatakan bahwa orang yang telah meninggaldunia itu telah
sempurna dalam kekerabatan,telah memiliki anak dan memiliki cucu,sehingga jika
yang meninggal sempurna dalam kekerabatan maka acara adat penguburannyapun
dilaksanakan dengan sempurna (saurmatua). Jika sudah sempurna kematiannya,
maka acara pemberangkatannya harus dilakukan sempurnayang disebut ulaon na
gok(acara dengan adat penuh).
Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pemahaman batak toba diaspora
Salatiga tentang makna upacara kematian saur matua. Dengan menggunakan metode
deskriptif-analitis serta teknik wawancara pengumpulan data, menolong penulis
memahami pandangan Batak Toba diaspora di Salatiga terhadap makna upacara
kematian komunitas.
Kata Kunci : Saur Matua, Budaya, dan Komunitas Batak Toba, Salatiga.
14
I. LATARBELAKANG
Kematian merupakansatu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata,
serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah
yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses
pada kehidupan yang kekal dan abadi.Manusia, cepat atau lambat pasti mati.
Kematian datang kapan saja, bisa di usia bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan
tua. Seandainya manusia memiliki hak mutlak menentukan kapan dia harus mati,
pasti akan lebih banyak memilih mati di masa ketika sudah sangat tua. Alasannya
karena pada masa itu, segala pencapaian target hidup mungkin semuanya telah
dipenuhi.1
Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”,
yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme
keberadaan hidup hingga masa kini. Kematian merupakan akhir dari perjalanan
hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang
semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput
kehidupan dari masing-masing manusia.Namun wajarlah jika kematian bukan
menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia
untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang.
Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.2
Dalam masyarakat Batak, kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua,
merupakan kematian yang paling diinginkan. Terutama bila orang yang mati telah
menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam
tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini
disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini membahas mate saur matua sebagai
sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan masa lampau melalui tinjauan
etnoarkeologi. Kiranya tulisan ini mampu memberikan tinjauan kritis dan arif,
1 R P Soejono : Jaman Prasejarah di Indonesia ( Jakarta : Dekdikbut, 1984 ),24. 2 Sumardjo Jakob : Arkelogi Budaya Indonesia, pelacakan Hermeneutis – Historis Terhadap Artefak-
artefak Kebudayaan Indonesia ( Yokyakarta : CV, Qalam,2002), 107.
15
terutama melalui konteks sistem (hubungan masyarakat Batak Toba dengan upacara
saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini.3
Kematian saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu
baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna
dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah
sempurna dalam kekerabatan sehingga harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain
halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut(keluarga)
membuat acara adat sempurna sesuai dengan adat dalihan natolu, hal seperti itu
belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam
hal kekerabatan.4
Dalam kondisi seperti inilah, orang Batak mengadakan pesta untuk orang yang
meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal
tersebut memang sudah waktunya (sudah tua) untuk menghadap Tuhan dan ini
disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada, tapi mengingat
meninggalnya memang dikarenakan oleh proses alami (sudah tua) maka kesedihan
tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya, orang yang meninggal dalam status saur matua,
hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/lunas. Dalam masyarakat Batak, hutang
orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang seseorang itu lunas,
maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.5
1.1. Persiapan Upacara
Ketika seorang masyarakat Batak mati saur matua maka sewajarnya pihak-
pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo
raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat
terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan
sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak
hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu
(kelompok orang-orang yaitu teman atau saudara semarga), dan pihak boru
(kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara
3 Defri Simatupang: Upacara Mangongkal Holi di Pulau Samosir, Studi Etnoarkelogi Transformasi
Kebudayaan Religi, dalam Skripsi untuk Gelar Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta,2005). 4 Richard Sinaga : Umpasa, Umapam dan Ungkapan dalam Bahasa Batak Toba ( Dian Utama :
Jakarta,2003),45. 5 N Siahaan : Sejarah Kebudayaan Batak ( CV. Napitupulu, Medan, 1964 ), 36.
16
perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Martonggo raja dilaksanakan
oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak
masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat
(biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara). Rapat membahas
penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah
penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing.6
1. 2. Pelaksanaan Upacara
Bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika
seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-
laki dari pihak isteri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat batak
merantau, sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum
dikuburkan), demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili
jauhdi tempat yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang
hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka).7
Jenazah yang telah dimasukkan ke dalam peti mati diletakkan di tengah-
tengah seluruh anak dan cucu, dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu
keluar rumah. Di sebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para
istri dan anaknya masing-masing, dan di sebelah kiri adalah anak-anak perempuan
dengan para suami dan anaknya masing-masing. Di sinilah dimulai rangkaian
upacara saur matua. Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar
(hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis
berupa : juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara).8
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata
ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang
memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut
mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap
peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor.
Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah
6 Torang B Panjaitan : Pardalan ni Angka Ulaon Adat Batak ( Semarang, 2006 ), 156. 7 Torang B Panjaitan : Pardalan ni Angka Ulaon Adat Batak (Semarang, 2006), 157. 8 Marbun dan Hutapea : Kamus Budaya Batak Toba ( Balai Pustaka : Jakarta, 1987 ),66.
17
menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa
restu.9
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana masyarakat batak toba diaspora diSalatiga memahami makna upacara
kematian saur matua ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang ingin diteliti maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan makna upacara kematian saur matua bagi komunitas batak toba
diaspora di Salatiga.
D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka manfaat penelitian ini adalah :
1. Secara Praktis, bagi masyarakat budaya di bataktoba, hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka melakukan analisis
terhadap makna upacara kematian saur matua bagi komunitas batak toba diaspora di
Salatiga.
2. Secara Teoritis, bagi akademis penelitian ini diharapkan memberi manfaat
teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang upacara
kematian saur matua bagi komunitas batak toba diaspora di Salatiga.
E. METODE PENELITIAN
Berdasarkan permasalahan yang ada peneliti menggunakan metode
deskriptif. Jenis pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan kualitatif. Penelitian
kualiatatif adalah manusia atau segala sesuatu yang dipengaruhi manusia, termasuk
tindakan dan perkataan manusia secara alamiah.10 Metode penelitian kualitatif
adalah metode yang menggunakan cara berpikir dari gejala umum ke gejala
9 Marbun dan Hutapea : Kamus Budaya Batak Toba ( Balai Pustaka : Jakarta, 1987 ), 67. 10 J.D Engel : Metodologi Penelitian Sosial & Teologi Kristen ( Salatiga : Widya Sari, 2005),21.
18
khusus.11 Hal tersebut dapat dilakukan melalui wawacara langsung dengan
narasumber.Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif karena metode ini
sangat memungkinkan peneliti untuk mengkaji suatu gejala dalam masyarakat dan
melakukan proses sosialisasi langsung kepada masyarakat atau komunitas tertentu,
sehingga peneliti dapat mempermudah pengambilan data dan perolehan informasi di
lapangan di Salatiga.
Teknik pengumpulan data yang peneliti ambil adalah teknik wawancara
mendalam (in depth-interview). Metode wawancara mendalam adalah proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka dengan informan atau narasumber dengan atau tanpa pedoman
wawancara.12Dalam proses penelitian, peneliti akan mewawancarai beberapa orang
batak toba yang mengetahui adat batak dan yang pernah melaksanakan upacara
kematian terhadap orang tuanya di Salatiga sebagai sampel sesuai dengan kebutuhan
penelitan.
F.SISTEMATIKA PENULISAN
Bagian pertamasebagai pendahuluan berisi rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan, bagian
ini merupakan bagian yang berisi latarbelakang mengenal permasalahan yang
dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu menyangkut kematian Saur
Matua, makna upacara kematian orang tua bagi komunitas batak toba diaspora di
Salatiga.
Bagian keduaakan membicarakan tinjauan tioritis merupakan bagian yang
tersusun atas teori umum yang merupakan dasar-dasar pemikiran, yang akan penulis
gunakan dalam menjawab permasalahan. Teori-teori umum ini merupakan
kumpulan pendapat para ahli di bidang adat istiadat, upacara Saur Matua, dan
budaya Batak Toba atau merupakan bahan dari hasil penelitian sebelumnya.
Bagian ketiga, membicarakanmetode penelitian, merupakan bagian yang
berisi metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ilmiah ini, yang terdiri
dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode penentuan sampel dan
11 David Samiyono : Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial ( UKSW, Salatiga,
2004), 9. 12 Burhan M Bungin : Penelitian Kualitatif ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2008), 111.
19
metode analisis data, metode penelitian berkaitan dengan teknik penelitian dan
penulisan hasil penelitian.
Bagian keempatHasil Penelitian dan Pembahasan merupakan bagian yang
tersusun atas hasil-hasil penelitian yang merupakan kumpulan data-data yang
penulis peroleh di lapangan dan pembahasan yang merupakan hasil analisis penulis
terhadap permasalahan yang dihadapi dikaitkan dengan landasan teori dan hasil
temuan di lapangan guna menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam
penelitian ini.
Bagian kelima Penutup merupakan bagian yang berisi kesimpulan dan saran.
20
II.1. PENGERTIAN RITUAL / UPACARA KEMATIAN
Menurut ilmu sosiologi, Ritual adalahaturan-aturan tertentu yang digunakan
dalam pelaksanaan agama yang melambangkan ajaran dan yang mengingatkan
manusia pada ajaran tersebut.13 Berdasarkan ilmu antropologi agama, ritual dapat
diartikan sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu
tertentu secara berkala, bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis,
melainkan menunjuk pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap
kekuasaan atau kekuatan-kekuatan mistis.14
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti ritual adalah hal ihwal ritus
atau tata cara dalam upacara keagamaan. Upacara ritual atau ceremony adalah
sistem atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya
terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.15Ritual merupakan tata cara dalam
upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat
beragama yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu
adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan,alat-alat dalam upacara,
serta orang-orang yang menjalankan upacara.16
Pada dasarnya ritual adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan
menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, ditempat tertentu
dan memakai pakaian tertentu pula.17 Begitu halnya dalam ritual upacara kematian,
banyak perlengkapan, benda-benda yang harus dipersiapkan dan dipakai.Ritual atau
ritusdilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang banyak
13 Koentjaraningrat : Beberapa Pokok Antropologi, ( Jakarta : Dian Rakyat, 1985 ), 51 14 Koentjaraningrat : Beberapa Pokok Antropologi, ( Jakarta : Dian Rakyat, 1985 ), 53 15 Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Gramedia, 1988 ), 86 16 Koentjaraningrat : Beberapa Pokok Antropilogi, ( Jakarta : Dian Rakyat, 1985 ), 56 17 Imam Suprayogo : Metodologi Pemilihan Sosial-Agama, ( Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001),
41
21
dari suatu pekerjaan. Seperti upacara menolak balak dan upacara karena perubahan
atau siklus dalam kehidupan manusia seperti kelahiran, pernikahan dan kematian.18
Salah satu tokoh antropologi yang membahas ritual adalah Victor Turner Ia
meneliti tentang proses ritual pada masyarakat Ndembu di Afrika tengah. Menurut
Turner, ritus-ritusyang diadakan oleh suatu masyarakat merupakan penampakan dari
keyakinan religius.Ritus-ritusyang dilakukan itu mendorong orang-orang untuk
melakukan dan mentaati tatanansosial tertentu. Ritus-ritustersebut juga memberikan
motivasi dan nilai-nilai pada tingkat yang paling dalam.19
Ritual mempunyai fungsi yang sama yaitu untuk berdoa untuk mendapatkan
suatu berkah. Ritual-ritual yang sering kita temui dan alami dalam kehidupan sehari-
hari adalah ritual siklus kehidupan. Yakni ritual kelahiran, ritual pernikahan dan
ritual kematian. Yang mana ritual-ritual tersebut tidak bisa dilepas dari suatu
masyarakat beragama yang meyakininya. Salah suatu ritual upacara yang sering
dilakukan umat beragama adalah ritual untuk mendoakan para leluhur yang sudah
meninggal.20
Ada lima paktor utama yang terjadi dalam ritual, yaitu:
1. Dimensi Material. Suatu ritual kita akan mengobservasi dan
mendokumentasikan dimensi material suatu ritual. Objek-objek fisik apa saja
yang digunakan (seperti buku/kitab, alat music, makanan, lilin, dan bel)?
Kesimpulannya, apa yang membuat tempat tersebut menjadi “sakral”?
2. Dimensi Aktif. Suatu ritual mengeni apa yang dilakukan oleh para peserta
ritual itu. Misalnya menyanyi, menari, ataukah hanya duduk? Bagaimana
rentetan, urutan aksi ritual itu dilaksanakan? Bagaimana mood atau sikap
para partisipan saat mereka berada dalam pelaksanaan ritual tertentu? Perlu
ditegaskan bahwa tindakan ritual tidak terjadi dalam susana vakum. Setiap
ritual harus dimulai oleh semacam tindakan pemula yang menyiapkan para
partisipan untuk masuk secara penuh ke dalam ruang dan waktu yang sacral.
3. Dimensi Kemanusiaan. Dimensi ini mencakup siapa saja yang
berpartisipasi (bukan orang per orang secara spesifik, namun kategori yang
mereka miliki, misalnya para tetua, anak muda, perempuan, laki-laki atau
18 Koentjaraningrat : Beberapa Pokok Antropologi, ( Jakarta : Dian Rakyat, 1985 ), 70 19 Victor Turner : Masyarakat Bebas Struktur dan Komunitas, ( Yokyakarta : Kasianus, 1990 ), 11 20 Bustanuddin Agus : Agama dalam Kehidupan Manusia, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007 ),
195
22
komunitas dari kelas sosial tertentu). Kemudian apakah ada perbedaan yang
tampak menonjol antara mereka yang tampak memimpin acara ritual dengan
mereka yang membentuk “majlis”?.
4. Dimensi Supranatural. Suatu ritual dimensi ini untuk mengukur
wujud/kekuatan atau ide apa yang bertengger di pusat ritual (yaitu
bagaimana karakteristik “dunia supranaturalnya” yang dengannya para
partisipan ingin tenggelam)?
5. Dimensi Mitologis. Suatu ritual tujuan daripada dimensi ini adalah untuk
melihat dan membuka tabir kisah semacam apakah yang disampaikan untuk
menjelaskan mengapa setiap orang berkumpul pada waktu ini, di tempat ini,
untuk tujuan-tujuan ini?.21
2.1.1.Tipe-tipe Ritual
Ada lima kategori umum ritual , yaitu:
1. Ritual Technologis
Tipe ritual yang pertama adalah yang bersifat teknologis. Fokusnya adalah kepada
pencapaian suatu kendali atas kekuatan-kekuatan alam.
2. Ritual Therapeutic
Kedua adalah tipe ritual yang bersifat terapetik. Ini umumnya dirancang untuk
mencegah atau mengatasi ketidakberuntungan atau suatu penyakit.
3. Ritual Ideological
Ini merupakan tipe ketiga ritual yang bersifat ideologis. Ritual-ritual tersebut
umumnya dirancang untuk memperkuat nilai-nilai yang ada di dalam sebuah
kelompok.
4. Ritual Salvators (Penyelamatan)
Selanjutnya, tipe keempat ritual adalah ritual keselamatan (salvationary). Ritual
semacam ini dirancang untuk menolong bergelutnya seseorang dengan urusan
individual.
5. Ritual Revitalisasi
21 Koentjaraningrat : Beberapa pokok Antropologi, ( Jakarta : Dian Rakyat, 1985 ), 103
23
Tipe ritual yang kelima adalah jenis ritual yang diasosiasikan dengan gerakan-
gerakan revitalisasi (revitalization movements), yang dilakukan demi isi masyarakat
secara keseluruhan apa yang ritual-ritual keselamatan lakukan untuk individu. 22
2. 2. UPACARA / RITUAL KOMUNITAS DIASPORA
Istilah “diaspora” digunakan untuk merujuk pada penyebaran kelompok
agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka, baik dipaksa maupun dengan
sukarela. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada penyebaran orang-orang
sebagai kelompok kolektif dan masyarakat. Sejarah manusia menunjukkan sejumlah
diaspora. Tercerabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu peristiwa
besar bagi seseorang atau sekelompok orang.23
Diaspora berasal dari istilah Yunani Kuno yang berarti “menyebarkan atau
menabur benih.” Diaspora berbeda dengan imigrasi. Diaspora mengharuskan
anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode waktu yang singkat, bukan
pergi perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan kampung halaman.
Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan usaha mereka untuk
mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka
biasanya hidup berkelompok dengan sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi
dengan warga lokal.Istilah “diaspora” digunakan untuk merujuk padapenyebaran
kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka, baik dipaksa maupun
dengan sukarela.24
Upacara kematianwarga diaspora merupakan prosesi penguburan manusia
yang sudah meninggal dunia mulai dari persiapannya hingga akhir proses
penguburannya di area pemakaman.Faktor budaya menjadikan diaspora melakukan
adat pemakaman yang digunakan oleh masyarakat dimana mereka berada, karena
sejak kecil telah di didik mengenai adat istiadat dari leluhurnya.25Upacara kematian
saur matua diaspora tidak jauh bedanya seperti yang dilakukan di kampung
halamannya dimana manusia berdiaspora adat dan agamanya melekat, hanya
22 Victor Turner : Masyarakat Bebas Struktur dan Komunitas, ( Yokyakarta : Kasianus, 1990 ), 203 23Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Gramedia, 1988 ), 139
24 Copyright © 2017 Indonesian Diaspora Network. All rights reserved. Jam 14.00 Wib
25Imam Suprayogo : Metodologi Penelitian Sosial-agama, ( Bandung : Remaja Rosda karya, 2001), 45
24
perbedaannya hal waktu dan keadaan ekonomi. Jika di kampung halaman, upacara
kematian saur matua dua hari dua malam maka di perantauan hanya satu hari satu
malam namun nilai dari upacara itu sama maknanya.
Pada intinya jika kita membuat kesimpulan dari adanya adat upacara
kematian saur matua di kampung dan diaspora, semuanya mengarah tentang adanya
kehidupan setelah kematian dari meninggalnya manusia. Manusia tidaklah hidup
kekal di alam dunia, namun setelah mengalami kematian manusia akan pergi ke
alam lain yaitu alam akhirat untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan
perbuatannya selama di dunia.26
26 Bustanuddin Agus : Agama dalam Kehidupan Manusia, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007 ),
204
25
III. Orang Batak Toba Diaspora di Kota Salatiga
3. 1. Asal Mula Orang Batak Toba di Salatiga
3.1. 1. Asal Mula orang Batak Merantau
Menurut kamus umum bahasa Indonesia batak mempunyai arti (sastra),
adalah petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi
mengembara.Walaupun demikian orang batak dikenali dengan sikap dan
tindakannya yang khas, yaitu terbuka, keras dan apa-adanya.27Diaspora Batak
merantau dimulai pada penghujung abad 19 atau awal abad 20, dimulai dari
menyebarnya mereka dari wilayah Tapanuli ke daerah sekitar, seperti Medan dan
Deli karena berkembangnya perkebunan di wilayah tersebutdan hingga ke
Salatiga.28
Motif merantau orang Batak Toba sendiri terdapat dalam falsafah hidup
mereka yakni Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon dan Harajaon. Bagiorang-orang
dari suku Batak merantau bertujuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik,
berusaha bertahan di suatu daerah dan membentuk kehidupan baru di luar kampung
halaman. Falsafah ini sukses dilakukan oleh orang batak di perantauan terutama di
luar Samatera berbaur dengan masyarakat setempat dengan harmonis.29
3.1. 2. Awal Mula Orang Batak Toba di Salatiga pada Tahun 1957
Salatiga dapat disebut sebagai “ kota pendidikan “ dan sebagai “ kota militer
“. Hal itu tercermin juga pada kehadiran orang Batak Toba di Salatiga. Orang Batak
Toba yang beragama kristen yang bertempat tinggal di Salatiga pada tahun 1957
ada 9 kepala keluarga (KK).Mereka bekerja di Kota Salatiga sebagaiGuru, Militer
dan Polisi, Kesehatan, Hakim, karyawan dan pegawai swasta. Pada keluarga tersebut
terdapat anak-anak yang sudah dapat digolongkan sebagai pemuda. Selain itu
terdapat juga beberapa pemuda yang orang tuanya di luar Salatiga yang bekerja
sebagai guru dan karyawan, dan 6 (enam) orang Mahasiswa PTPG-KI angkatan
pertama (1956).30
27 Kamus Umum Bahasa Indonesia( Jakarta: Gramedia, 1988), 235. 28 JP. Sitanggang: Batak na Marserak Orang batak yang terpencar) Raja Napogos, (Dian Utama:
Jakarta:2014), 70 29 WM. Hutagalung : Pustaha Batak, Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak, ( Medan: Tulus Jaya
), 1991. 27. 30 Buku Sejarah : HKBP Salatiga, Jubileum 50 tahun HKBP Salatiga ( 7 April 1958-7 April 2008 ),
17.
26
Menurut bapak St. SR. Hutapea, dari tahun 1960 orang Batak Toba yang
merantau di Salatiga bertambah pesat dan sampai sekarang Batak Toba telah
berjumlah 160 kk dan 367 jiwa, yang tinggal di Kota Salatiga. Jika ditinjau dari
pekerjaan Batak Toba yang berdomisili di Salatiga 60 % sebagai pedangang, PNS,
ANS, dan militer. Batak Toba yang merantua di Kota Salatiga kebanyakan yang
beragama Kristen dari kampung halaman sudah menjadi kristen, mereka
hendakberibadah yang berbahasa Batak Toba sehingga membangun gereja
batak toba yaitu gereja HKBP jalan Merbabu No. 1 Salatiga.31
3.1. 3. Sistim Kemasyarakatan Batak Toba di Salatiga
Sistem kemasyarakatan Suku batak toba adalah sistem kekerabatan tidak
berdasarkan hubungan darah saja, namun juga berdasar pada kasih sayang terhadap
sesama makhluk hidup dan lingkungan. Kebiasaan/ tradisi ini masih dibudidayakan
agar sampai sekarangterus menyambung tali silahturami sesama masyrakat.
Kekerabatan memperkuat persatuan di dalam lingkungan suku Batak agar bisa
saling bantu membantu untuk membangun diri lebih maju dalam hal perekonomian,
tradisi dan untuk mengharumkan nama kampung mereka.32Kearifan Batak Toba
tetap dibudidayakan oleh para leluhur sampai saat ini, Batak Toba sangat solid
dalam pertemanan dimana pun berada pasti saling bantu membantu.
Sistem interaksi pada masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu ”Tungku
Nan Tiga”, yang terdiri atas dongan tubu (pihak semarga), boru (pihak penerima
istri), dan hula-hula (pihak pemberi istri). Dalam interaksinya, setiap orang akan
memiliki sikap berperilaku yang berbeda pada masing-masing pihak itu. Orang akan
manat mardongan tubu ”hati-hati pada teman semarga”, elek marboru ”membujuk
pada pihak penerima istri”, dan somba marhula-hula “hormat pada pihak pemberi
istri”. Jelas bahwa nilai interaksional bisa dipahami, dijelaskan, setelah memiliki dan
memahami nilai identitas.33 Dari Dalihan Na Tolu inilah Batak Toba dapat
bermasyarakat dengan sekitarnya dimanapun bertempat tinggal.
Visi BatakToba sangat jelas, yakni ingin memiliki Hagabeon-Hamoraon-
Hasangapon. Istilah hagabeon berarti ”mempunyai keturunan terutama anak laki-
laki”, hamoraon berarti ”kekayaan atau kesejahteraan”, dan hasangapon berarti
31Wawancara dengan St. SR. Hutapea, pada tanggal 20 Januari 2017,di Salatiga.
32 Maurits Simatupang: Budaya Iandonesia yang Supra Etnis, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2002), 19. 33 J.S. Aritonang: Kebudayaan Batak Toba, ( Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 1988), 46.
27
”kehormatan”.Untuk mencapai hagabeon, orang harus menikah; untuk mencapai
hamoraon, orang harus mandiri, kerja keras, gotong royong, dan berpendidikan,Oleh
karena hagabeon-hamoraon- hasangapon itu merupakan ciri khas, budaya
hagabeon artinya ungkapan yang berarti banyak keturunan dan panjang umur.34
3. 2. Upacara kematian Saur Matua dikalangan Masyarakat Batak Toba di
Salatiga
3.2.1. Pandangan Umum Orang Batak Toba tentangMakna Upacara Kematian
Saur Matua
Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan
bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun
maksuddantujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara
kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan. Bagi
masyarakat Batak Toba kebudayaan merupaka sesuatu yang sangat dijunjung
tinggi.35Masyarakat Batak Toba merasa sangat terhina apabila dikatakan so
maradat (tak beradat) daripada so maragama (tak beragama).
Upacara Kematian ini masih tetap berjalan dimanapun BatakToba berada,
bahkan sampai saat ini tradisi ini masih tetapdilangsungkan apabila ada dari anggota
keluarga yang meninggal dalam keadaan sempurna (saur). Kehadiran kerabat
dalihan natolu sangat di perlukan. Maka daliha natolu inilah yang mengatur dan
menjalankan peran tersebut sehingga acara berjalan dari awal hingga akhir,
(khususnya baik didalam upacara kegiatan adat maupun dalam perlakuan sehari-
hari itu tidak akan menyimpang dari adat yang telah ada). Kematian saur matua ini
membutuhkan persiapan yang sangat matang dari segi materi karena untuk
menghormati nenek moyang mereka yang telah lebih dahulu menghadap sangKhalik
mereka harus mengorbankan seekor kerbau sebagai lambang bahwa yang
meninggal sudah SaurMatua( sempurna).36
Dasar dari pelaksanaan upacara kematian saur matua adalah karena faktor
adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal.
34 Raja Malem Tarigan : Budaya Batak Toba Dalam perubahan Multidimensi, ( Bandung : ITB Perss,
2005 ), 6 35 Torang B Panjaitan: Pardalan ni Angka Ulaon Adat Batak, ( Semarang: 2006), 130. 36 Raja Marpodang,Gultom : Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Batak ( tiga tungku)yaitu: Hula-hula ,
Dongan Tubuh, Boru, (Medan: CV.Armanda, 1992 ), 89.
28
Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua
yang meninggal, dengan harapan agar orang tuatersebut dapat menghormati
kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para
kerabatnya yang sudah meninggal masih ada dan hubungan ini juga menentukan
hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.37
3.2.2 Perbandingan Pelaksanaan dengan Upacara Saur Matua di Salatiga
Perbandingan pelaksanaan upacara kematian saur matua secara umum
dengan pelaksanaan upacara kematian di Salatiga yaitu, secara umum pertama,
waktu pelaksanaan upacara dua hari dua malam dengan mengadakan musik gondang
(tradisional), seluruh anak-anak dan keluarga begitu juga dari dalihan natolu
menari (manortor) mengelilingi yang meninggal. Kedua, hal juhut(lauk) untuk acara
makan bersama dan hal jambar dalam pelaksanaan upacara akan memotong satu
kerbau atau lembu sebagai tanda saur matua.38 Di Salatiga dilakukan hanya
satu hari pada waktu pelaksanaan upacara. Begitu juga dengan juhut (lauk) dapat
diganti dengan yang sederhana yaitu hewan babi untuk lauk makan dan jambar.
3.2.3. Persamaan Pelaksanaan Upacara Saur Matua di Salatiga
Dalam pelaksanaan upacara saur matua secara umum dengan di Salatiga ada
banyak persamaan yaitu, pertama,upacara di dalam rumah, pada saat upacara di
rumah akan dimulai mayat dari orang tua yang meninggal dibaringkandiruang
tamu diselimuti dengan ulos saput yaitu nama ulosnya adalah ragidup itulah yang
menandakan bahwa orang yang meninggal itu telah mati saurmatua.Kedua,upacara
maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang saur matua.
Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang saur matua meninggal maka
harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut
Partuatna).39. Ketiga, Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu.
Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak.40 Inilah yang
berperan dalam melaksanakan upacara kematian saur matua.
37 Torang B Panjaitan : Pardalan ni Angka Ulaon Adat Batak, ( Semarang : 2016 ), 287. 38 JP. Sitanggang : Batak na marserak (orang batak yang terpencar) Raja Napogos, (Jakarta, 2014),
67. 39 Torang B Panjaitan : Pardalan ni angka ulaon adat Batak, ( Semarang: 2016 ), 286. 40 Raja Marpodang Gultom: Dalihan Natolu Nilai Budaya Batak (tiga tungku) yaitu: Hula-hula,
Dongan Tubu, Boru, (Medan: CV. Armanda, 1992), 88.
29
3. 3. Pemahaman Batak Toba Diaspora di Salatiga mengenai Makna Upacara
Kematian Saur Matua.
3. 3. 1. Ungkapan syukur
Kematian saur matua merupakan kematian yang sangat berharga dimana
orang tuanya masih sempat menikahkan seluruh anak-anaknya, sudah sepantasnya
anak-anak mensyukurinya karena hutang dari orang tuanya telah lunas bagi anaknya
begitu juga terhadap tua-tua adat. Sebab tidak semua orang bisa mengalami
kematian saur matua, sehingga keluarga, anak-anak dan tua-tua adat akan
mendiskusikan bahwa upacara kematian saur matua akan dilaksanakan sesuai
dengan adat yang telah diterima oleh orang tuanya selama masih hidup.41
Ungkapan syukur dalam upacara kematian saur matua yang dilakukan oleh
anak-anak, ketua adat dan pihak dalihan natolu sepantasnya anak-anak akan hadir
melakukan upacara saur matua dimana seluruh keluarga mengucap syukur kepada
Tuhan bahwa orang tuanya masih sempat menikahkan anak-anak dan sempat
melihat kelahiran dari cucu-cucunya. Ungkapan syukur dalam upacarasaur matua
juga memohon kepada Tuhan supaya seluruh keturunannya tetap memelihara dan
diberikan umur yang panjang dan dapat menikahkan seluruh anak-anaknya atau
cucunya di kemudian hari. Maka dari itulah orang batak toba mengatakan kematian
saur matua bukan lagi duka cita melainkan suka cita.42
3. 3. 2. Penghormatan
Upacara kematian saur matua yang dilakukan orang batak toba salatiga
sebagai penghormatan terakhir kepada almarhum dengan sepenuh hati, karenaSaur
Matua merupakan kematian yang sangat terhormat. Penghormatan terakhir yang
dilakukan oleh anak-anak, keluarga dalam upacarasaur matua terhadap orang tuanya
bahwa anak-anak telah mampu menerima ajaran dari orang tua semasa kecil sampai
anak-anaknya menikah , juga anak-anak sudah mencapai apa yang mereka cita-
citakan dalam kehidupan sesuai yang di amanatkan oleh orang tuan. Untuk itulah
41 Berdasarkan wawancara dengan M. Sianturi, pada tanggal 22 Pebruari 2017, di Salatiga.
42 Berdasarkan wawancara dengan St. B. Pasaribu, pada tanggal 21 Pebruari 2017, di Salatiga.
30
selayaknya upacara adat di lakukan setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan
anak-anak dan keluarga yang ditinggal.43
Penghormatan terakhir dalam upacarasaur matua yang dilakukan keluarga
agar semua kerabat dalihan natolu dan masyarakat umum yang menghadiri upacara
saur matua mengetahui bahwa yang meninggal dan anak-anak telah memiliki visi
orang batak yakni, hagabean (mempunyai keturunan anak laki-laki), hamoraon
(kekayaan atau kesejahteraan), dan hasangapon (kehormatan). Hal ini juga dengan
harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para
keturunannya dihormati oleh kerabat dalihan natolu dan masyarakat umum di
kemudian hari. Penghormatan upacarasaur matua Batak Toba juga sebagai tanda
cinta kasih orang tua dan anak dan sebaliknya, mengingat nilai-nilai keteladanan
yang diberikan orang tua selama hidup terhadap anak bahwa nilai keteladanan itu
sangat berharga.44
3. 3. 3. Warisan leluhur
Upacara kematian saur matua yang lakukan di Salatiga karena masyarakat Batak
Toba sangat kental dengan adat. Dengan begitu dimanamasyarakat Batak Toba
berada mereka tetap menjalankan adat yang telah diwariskan oleh nenek
moyang.Keluarga yang akan melakukan upacara saur matua ini harus siap dari segi
materi, untuk melaksanakan upacara saur matua ini dibutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Keluarga harus mampu memberikan makanan atau minuman (menjamu)
para pelayat selama mayat belum di semayamkan, ini berlaku sesuai dengan adat
yang dilakukan dari nenek moyang mereka.45
Upacara saur matua ini sangat penting dilaksanakan sebab yang meninggal
telah sempurna ( saur matua ). Untuk melaksanakan upacara ini keluarga yang
mampu di haruskan membeli kerbau sebagai hantaran yang meninggal sebagai
lambang suka cita untuk menghormati orang tua dan leluhur. Begitu juga dengan
jambar uang harus diberikan kepada dalihan natolu yang memberikan ulos kepada
anak-anak yang ditinggalkan.Masyarakat batak toba yang tidak mampu pada
43 Berdasarkan wawancara dengan St. S. Sagala, pada tanggal 24 Pebruari 2017, di Salatiga. 44 Berdasarkan wawancara dengan M. Sianturi pada tanggal 22 Pebruari 2017, di Salatiga. 45 Berdasarkan wawancara dengan M. Sianturi pada tanggal 22 Pebruari 2017, di Salatiga.
31
umumnya mengganti hewan hantaran dengan ternak yang lebih murah seperti babi
agar upacara dapat berlangsung.46
3. 3. 4. Penguatan Solidaritas Komunitas Batak Salatiga
Solidaritas batak toba di Salatiga dari dalihan natolu (Tungku Nan Tiga),
yang terdiri pihak semarga, pihak penerima istri dan pihak pemberi istri. Solidaritas
batak toba sangat kuat dimanapun mereka bereda, sehingga tali persaudaraan dan
tolong menolong dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat dikarenakan dalihan
natolu masih ada kaitan satu sama lain. Batak Toba juga mempunyai motto yakni,
“sisada anak dan sisada boru” (satu anak dan satu perempuan) artinya, walaupun
tidak satu marga namun satu anak. Demikian juga “sisada lasniroha dohot arsak”
(satu dukacita dan satu cukacita) yang artinya, bersama-sama mengalami dukacita
dan sukacita.47
Pelaksanaan upacara kematian saur matua bagiBatak Toba saling bahu
membahu, dimana seluruh Batak Toba di Salatiga begitu juga wilayah yang lain
datang melayat ikut berperan aktif dalam melaksanakan kelangsungan upacara saur
matua dari memulai sampai akhir. Solidaritas ini membentuk persekutuan yang
tinggi pada waktu melaksanakan upacarasaur matua, ada yang membantu
menyediakan makanan, minuman untuk keluarga, ada yang menyediakan peti mati,
ada yang memberitahukan kepada seluruh keluarga, pihak hula-hula, ada juga yang
menyediakan biaya pelaksanaan upacara kematian tersebut.48
3. 4.Pemahaman Batak Toba Diaspora di Salatiga tentang Makna Upacara
Kematian Saur Matua
Upacara kematian saur matua memiliki tahapan yang harus dilalui oleh
setiap yang melaksanakannya.
3.4. 1. Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di
jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman).
Upacara di rumah menuju kehalaman tepat pada hari penguburan ( hari yang
di tentukan ) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk
46 Berdasarkan wawancara dengan O. Sihaloho, pada tanggal 23 Pebruari 2017, di Salatiga. 47 Berdasarkan wawancara dengan A. Sihaloho, pada tangga 25 Pebruari 2017, di Salatiga. 48 Bersadarkan wawancara dengan A. Sihaloho, pada tanggal 25 Pebruari 2017, di Salatiga.
32
mengadakan upacara di dalam rumah menuju halaman. Setelah semuanya hadir di
rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik
(sekitar pukul 09.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak
perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula(paman) bersama pengurus
gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha(satu marga) berdiri di
belakang perempuan. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan
pakaian resmi (jubah).49
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak
perempuan untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan
nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Peti mayat tersebut masih tetap
ditutup dengan ulos sibolang (kain tenunan khas batak). Peti mayat itu diletakkan di
tengah halaman rumah dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang
bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, semua unsur
dalihan natolu berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.50
3.4.2. Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang
dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke
liang kubur.
Upacara dihalaman adalah upacara terakhir sebelum penguburan mayat
yang saur matua. Di dalam adat batak toba, kalau seseorang yang saur matua
meninggal jenazah harus diberangkatkan dari hantaran bidang (halaman) ke kuburan
(disebut Partuatna). Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan natolu
berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam rumah. Pihak
anak-anak berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu),
dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang
meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan
dari yang meninggal beserta dengan pihak perempuan lainnya berdiri
membelakangi rumah duka kemudian hula-hula (paman) berdiri di samping kanan
rumah duka.51
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pemain musik berada pada
tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman dengan
49 Berdasarkan wawancara dengan O Sihaloho, pada tanggal 23 Pebruari 2017, di Salatiga. 50 Berdasarkan wawancara dengan S. Sagala, pada tanggal 24 Pebruari 2017, di Salatiga. 51 Berdasarkan wawancara dengan St. B. Pasaribu, pada tanggal 21 Pebruari 2017, di Salatiga.
33
bernyanyi,pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan
dari pengurus gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus
gereja mengawali kegiatan margondang.Gondangyang dipersembahkan kepada
Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara
dari awal hingga akhir dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang
sejahtera di masa yang akan datang.52
Rombongan gereja menari mengelilingi peti mayat yang ditengah halaman
sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak perempuan dengan gerakan mundur.
Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut
irama musik. Setelah mengelilingi peti mayat, maka pihak pengurus gereja
memberkati semua boru dan suhut.53Maksud dari musik ini agar pengurus gereja
dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja
mendatangi suhut dan unsur dalihan natolu lainnya satu persatu dengan meletakkan
ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur dalihan
natolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka
pengurus gereja menutup kegiatan margondang dengan meminta kepada pargonsi
gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsurdalihan natolu menari di tempat dan
kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.54
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta
gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi peti
mayat sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur.
Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada
waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut
mendatangi pihak boru dan memberkati merekadengan memegang kepala boru atau
meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkanboru memegang wajah suhut (hula-
hula).55
Sesudah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, pihak hula-hula
untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang,mereka juga
memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak
laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu
52 Berdasarkan wawancara dengan O. Sihaloho, pada tanggal 23 Pebruari 2017, di Salatiga. 53 Berdasarkan wawancara dengan M. Sianturi, pada tanggal 22 Pebruari 2017, di Salatiga. 54 Berdasarkan wawancara dengan St. S. Sagala, pada tanggal 24 Pebruari 2017, di Salatiga. 55 Berdasarkan wawancara dengan A. Sihaloho, pada tanggal 25 Pebruari 2017, di Salatiga.
34
merupakan ulos holong(Kasih).Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga
memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak
parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang
menari selalu dimintakan gondang hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan
‘horas’ sebanyak 3 kali.56
Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus
gereja, pihak gereja yang akan menutup upacara. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu
mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi,
berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti
mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir
yang telah dipersiapkan sebelumnya, sambil diiringi nyanyian gereja yang
dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman
diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja.57
3.4. 3. Kegiatan lain sesudah Upacara Kematian.
Makna upacara kematian saur matua setelah tahap-tahapan masih ada acara
sesudah upacara kematian. Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan
sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama.
Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Salah satu uraian yang
diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
Jambar (daging) Hasahatanna (yang menerima)
Kepala Hasuhuton (yang berpesta)
Rusuk Hula-hula bona niari (saudara semarga ibu)
Paha sebelah kanan Hula-hula bona tulang (semarga istri)
Ekor sebelah kanan Tulang (paman)
Ekor sebelah kiri Hula-hula (satu marga dengan istri)
Leher bagian depan Boru (perempuan semarga suami)
Leherbagian belakang Boru (saudara perempuan semarga suami)
Paha sebelah kiri Penggali kuburan
Paha sebelah kiri
belakang
Dongan sahuta (undangan)
56 Berdasarkan wawancara dengan St. S. Sagala, pada tanggal 24 Pebruari 2017, di Salatiga. 57 Berdasarkan wawancara dengan O. Sihaloho, pada tanggal 23 Pebruari 2017, di Salatiga.
35
Setelah pembagian jambar selesai maka kepada setiap hula-hula yang memberikan
ulos, akan diberikan piso yang disebut “pasahathon piso-piso”, yaitu menyerahkan
sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing
dan keadaan.58
Bilamana seorang ibusaur matua maka diadakan mangungkap hombung
(buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya
dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha
Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah
suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan
harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang. Harta kekayaan itu diminta oleh
hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk
meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung,
maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacarasaur
matua,hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada
keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa
ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.59
3.5. Pemahaman Gereja HKBP Salatiga tentang Makna Upacara Kematian
Saur Matua
Orang Batak diaspora Salatiga mempunyai gereja HKBPyang berbudaya
Batak Toba begitu juga bahasa dalam acara kebaktian minggu berbahasa Batak
Toba. Upacara kematian saur matua dilaksanakan sebagai budaya adat yang telah
dilakukan oleh leluhur batak toba, sehingga gereja mengikuti kebudayaan yang
dilakukan oleh jemaatnya. Walapun dari segi aturan dan peraturan HKBP tidak
diwajibkan jemaatnya melakukan upacara kematian saur matua, oleh karena
kebudayaan yang terlaksana di dalam upacara kematian saur matua gereja turut
mengikutinya serta memata-matai upacara tersebut supaya dalam pelaksanaannya
tidak mengandung hahipalebeguon (berhala). Gereja mengikuti upacara saur
matuamemberikan pemahaman terhadap pihak yang melangsungkan upacarasaur
matua supaya upacara tersebut sesuian dengan adat budaya yang seturut dengan
58 Berdasarkan wawancara dengan St. B. Pasaribu, pada tanggal 21 Pebruari 2017, di Salatiga. 59 Berdasarkan wawancara dengan St. M. Turnip, pada tanggal 27 Pebruari 2017, di Salatiga.
36
penghormatan terhadap orang tua dan ucapan syukur terhadap Tuhan dimana orang
yang saur matua sebagai umur yang panjang dan kematian yang sempurna.60
Pemahaman gereja HKBP Salatiga tentang makna upacara kematian saur
matua diaspora di Salatiga adalah budaya sebagian dari kehidupan jemaat HKBP
Salatiga,sebelum masuk kekristenan dalam kehidupan batak toba, kebudayaan telah
dilakukan oleh leluhur. Adat kebudayaan batak toba sangat baik untuk dilakukan
apalagi upacarasaur matua, sebab dalam pelaksanaan upacarasaur matua gereja ikut
berperan memulai dan menutup upacara tersebut untuk memberikan arahan terhadap
pihak yang melakukan bahwa upacara itu sebagai tanda ucapan terimah kasih
terhadap Tuhan dan supaya Tuhan yang hadir dalam diri keluarga agar keluarga
bersatu, berdamai untuk berbagi seluruh pengeluaran yang telah habis dalam
pelaksanaan upacara saur matua. Karena upacarasaur matua memakai biaya yang
sangat banyak yang disesuaikan kepada status ekonomi keluarga.61
Jika dilihat dari Hukum taurat yang kelima “Hormatilah ayah dan ibumu
supaya lanjut umurmu di bumi yang diberikan Tuhan kepadamu”, upacarasaur
matua juga sebagai penghormatan terakhir dari anak-anak terhadap orang tua yang
disosialisasikan sama warga, bahwa anak-anak yang ditinggal telah nyata
sebagaimana yang diharapkan orang tua dalam filosofi orang batak toba “hagabeon,
hamoran, hasangapon dan harajaon”. Dalam upacarasaur matuayang dilakukan
batak toba keluarga dan orang bayak benar-benar mengetahuai bahwa anak-anak
dari yang meninggal telah sukses diperantauan, sehingga patut untuk disyukuri dan
bersuka cita.62
60 Berdasarkan wawancara dengan Pdt. R.I.P. Habeahan S.Th, pada tanggal 25 Pebruari 2017, di
Salatiga. 61 Berdasarkan wawancara dengan St. B. Pasaribu, pada tanggal 21 Pebruari 2017, di
Salatiga. 62 Berdasarkan wawancara dengan M. Turnip, pada tanggal 27 Pebruari 2017, di Salatiga.
37
IV. Analisis Makna Upacara Kematian Saur Matua bagi Komunitas Batak
Toba Diaspora di Salatiga
Analisa berdasarkan pemikiran Raja Marpodang Gultom, bahwa kebudayaan
merupakan suatu factor yang mengikat perilaku seseorang dan merupakan tata
karma pada sesama.Kebudaya yang sangat mengikat dan dijungjung tinggi mulai
dari leluhurnya.63 KebudayaanBatak Toba tidak akan tinggal, segala yang berbentuk
upacara adat akan dilakukan, contohnya, upacara kelahiran, pernikahan apalagi
upacara kematian saur matua memiliki nilai yang sangat berharga bagi orang Batak
Toba. Komunitas Batak Toba merasa sangat terhina apabila tidak melakukan adat
istiadat, sebab dalam adat ada nilal-nilai yang sangat dijungjung tinggi.
Richard Sinaga, mangatakan kematian saur matua bagi warga Batak Toba
merupakan kematian yang sangat berharga, dimana mati saur matuadimaknai suatu
kesempurnaan kerena orang tua telah menikahkan seluruh putra-putrinya dan sudah
mempunyai cucu dan cicit sehingga hutang dari orang tua telah lunas.64Bentuk
kesempurnaan dalam upacara saur matua ditandai sebagai ucapan terima kasih
kepada Tuhan yang memberikan umur yang panjang sehingga sempat menikahkan
seluruh anak-anak. Manusia tidak mengetahui kapan Tuhan menjemputnya, selagi
masih ada waktu untuk hidup umat manusia tetap melakukan aktifitas, adat dan
ritual, sebab didalam adat dan ritual yang didefenisikan Victor Turner, ideological
rituals memaknai tata krama, memperkuat nilai-nilai kehidupan manusia dalam
sebuah kelompok.
Menurut JP.Sitanggang, bahwa kematian sukacita dalam Batak Toba,
seseorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah selesai
didalam adat, hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya
meninggal mendahului dia.65Upacara saur matuaBatak Toba merupakan kematian
sukacita, ditandai dari segi umur yang meninggal. Jika belum tergolong saur matua
upacara yang dilaksanakan adalah dukacita sebab di dalam upacara tidak adat hanya
bentuk acara penghiburan dari pihak dalihan natulo. Dalam upacara saur matua
tidak lagi dukacita, melainkan sukacita yang terjadi dimana pihak keluarga telah
63Raja Marpodang Gultom : Dalihan Natolu Nilai Budaya Batak (tiga tungku) yaitu:hula-hula,dongan
tubu, boru, (Medan: CV.Armanda, 1992),89.
64Richard Sinaga : Umpasa, Umpama dan Ungkapan dalam Bahasa Batak Toba, (Dian Utama:
Jakarta,2003),45.
65JP. Sitanggang: Batak na marserak (orang batak yang terpencar) Raja Napogos, (Balai Pustaka:
Jakarta, 2014),67.
38
melaksanakan tarian dan musik tradisional sebagai simbol kebahagiaan yang nyata.
Bukan hanya tarian sebagai tanda sukacita dalam upacara saur matua, ikut
juga berupa uang yang diberikan pihak keturunan almarhum kepada unsur dalihan
natolu begitu juga terhadap seluruh masyarakat Batak Toba yang ikut melaksanakan
upacara saur matua. Tanda sukacita dalam pelaksanaan upacara kematian saur
matua dibarengi dengan menyediakan, memotong kerbau atau lembu sebagai juhut
(lauk) untuk makan dan jambar terhadap semua pihak dalihan natolu.Pada
umumnya kematian manusia identik dengan kesedihan dan air mata, karena tidak
ada lagi interaksi terjadi antara manusiamasih hidup dan yang meninggal. Mati saur
matua adalah sukacita dan kebahagiaan disebabkan adanya faktor budaya yang
dijungjung tinggi.66
Upacara kematian saur matuaBatak Toba menurut Lumongga RA.
Pardede, merupakan suatu penghormatan terakhir terhadap orang tua. Penghormatan
terakhir sebagai tanda cinta kasih anak terhadap orang tua yang meninggal, dengan
harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari pada
keturunannya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih
hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada.67Hubungan dalam
penghormatan terakhir yang dilaksanakan anak terhadap orang tua pada waktu
upacara kematian saur matua merupakan hal yang kurang logis, sebab
penghormatan antara anak dan orang tua bukan dalam upacara kematian namun
pada masa hidup orang tua itu, anak seharusnya menunjukkan penghormatan yang
efektif terhadap orang tua pada masih hidup sehingga hukum yang kelima dari
hukum taurat yang berbunyi, “ Hormatilah ayah dan ibumu, supaya lanjut umurmu
di bumi yang diberikan Allah kepadamu.” Arti telogis dari hukum kelima ini adalah
anak menunjukkan penghormatan terhadap orang tuanya pada waktu masih hidup,
bukan setelah kematian yang menjemputnya.
BanyakBatak Toba memperlihatkan penghormatan terhadap orang tua
melalui upacarasaur matua. Pada hal sewaktu orang tua masih hidup,anak sering
tidak menunjukkan penghormatan secara berkesinambungan terhadap orang tua, dari
kenyataan yang terjadi dikehidupan Batak Toba seorang musisi batak menciptakan
lagu untuk generasi muda yang berbunyi “ tidak ada artinya kamu bernyanyi, meneri
6666Richard Sinaga: Meninggal Adat Dalihan Natolu, (Dian Utama: Jakarta, 1999), 37.
67Lumongga RA. Pardede : Masisisean di Ulaon Adat, ( Medan : CV. Tulus Jaya, 2010 ), 49.
39
dibarengi musik setelah orang tua meninggal, dan tidak ada artinya kamu memotong
kerbau dan memberikan uang kapada pihak dalihan natolu setelah orang tua
meninggal”.
Dari kenyataan dan lagu inisangat penting peran kebudayaan, gereja untuk
memberikan pengajaran terhadap Batak Toba seperti yang diutarakan oleh
Koentjaraningrat, mendefinisikan kebudayaan sebagaiproses belajar untuk mampu
memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi kebiasaan.
Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung secara terus
menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.Jiwa manusia mewujudkan
segala norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur
masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk agama,
ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari
jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan berfikir dari orang-orang yang hidup
bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu-ilmu
pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk
diamalkan dalam kehidupan masyarakat.68Sehingga adat yang mau dilakukan akan
dipelajari dan dievaluasi oleh generasi berikutnya untuk dilaksanakan sewaktu orang
tua itu masih hidup.
Menurut N. Siahaan, ketika orang Batak mati saur matua, maka sewajarnya
pihak-pihak kerabat sesegera mungkin mengadakan musyawarah keluarga
(martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak
kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu.69Pihak kerabat dalihan natolu sangat
penting bagi masyarakat Batak Toba dimana segala bentuk upacara yang
dilaksanakan mulai dari persiapan, tahap-tahapan sampai kepada penghujung
upacara dalihan natolu berperan aktif. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
perlu kerabat, karena kerabat dapat menentukan kelangsungan hidup manusia itu
sendiri. Kerabat selalu memberikan dorongan, gagasan, ide bagi sesama dalam
melaksanakan sesuatu kegiatan sehingga terlaksana dengan sempurna.Sebagai salah
satu bentuk aktivitas adat maka pelaksanaan upacara itu tidak terlepas dari
kehadiran dari unsur-unsur dalihan natolu yang memainkan peranan berupa hak dan
68Koentjaraningrat:Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia. 1994), 9 69N. Siahaan: Sejarah Kebuyaan Batak, ( CV. Napitupulu: Medan, 1964 ), 36.
40
kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut
sehingga perilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam
kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada. Sebagaimana
yang dikatakan M. Sianturi dari penelitian lapangan bahwa orang batak mempunyai
motto, sisada anak sisda boru (satu anak dan satu perempuan), sisada lasniroha
dohot sisada arsak(satu sukacita dan satu dukacita), walau berbeda marga namun
satu anak , satu boru dan satu duka, satu suka cita, itulah nilai-nilai dari Dalihan
Natolu yang selalu saling menguntungkan.
Ritual dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan berkah atau rezeki yang
banyak dari suatu pekerjaan.70 Dalam upacara saur matua telah terterai
mendapatkan berkat dari ucapan dan tarian dari semua pihak dalihan natolu, pihak
hula-hula mengangkat tangan dan mengenakannya kepada pihak hasuhuton dalam
tarian seakan memberi berkat. Dalam budaya Batak Toba hula-hula sebagai
perpanjangan tangan Tuhan untuk memberikan berkat yang melimpah terhadap
pihak perempuan (bahasa batak sambola langit pasu-pasu ni hula-hula ). Didalam
tarian juga mengandung pujian, penyertaan, pemeliharaan Tuhan atas keluarga yang
meninggal sehinggavisinya,hagabeon, hamoraon dan hasangapyang telah
diutarakan Maurits Simatupang,71sehingga terlaksana kepada keluarga yang
ditinggal.
70Imam Suprayogo: Metodologi penelitian Sosial –Agama, ( Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001),
41.
71Maurits Simatupang: Budaya Indonesia yang Supra Etnis, ( Papas sinar sinanti: Jakarta, 2002 ), 17.
41
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisa terhadap hasil penelitian yang telah diperoleh penulis,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa Upacara kematian pada masyarakat Batak
Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di
dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan
upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan.
Jenis kematian yang disenangi bahkan ada yang mendambakannya ialah jenis
kematian-martua tanpa beban.Mati saur matua merupakan kematian yang sempurna
semua hutang dari orang tua telah lunas, kerena semua anak-anaknya telah menikah
dan mempunyai cucu atau cicit.
Upacara saur matua adalah kegiatan sosial yang melibatkan para warga
masyarakat dalam usaha menghormati nenek moyang. Kerja sama antara warga
masyarakat itu sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk sosial.Pelaksanaan
saur matuapada masyarakat Salatiga penting artinya bagi pembinaan sosial budaya
pada masyarakat yang bersangkutan, antara lain sebagai pengokoh norma-norma dan
nilai-nilai budaya yang telah berlaku turun-temurun.
5.2 Saran
Penilitian sederhana terhadap tradisi saur matua pada masyarakat Batak Toba
Salatiga merupakan langkah awaluntuk memakai upacara ini sebagai suatu cipta,
karsa masyarakat dan sangat perlu untuk dilanjutkan dengan penelitian yang lebih
akurat dan penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Saur matua sebagai bukti budaya masyarakat Batak Salatiga perlu dilestarikan
supaya generasi berikutnya mengerti arti dan tujuan dilaksanakannya upacara saur
matua, serta tidak kehilangan nilai-nilai budaya leluhurnya.
2. Budaya ini harus diperhatikan, karena nilai-nilai tradisional yang ada dapat
dimanfaatkan untuk menarik perhatian generasi muda dalam melaksanakan Upacara
Kematian Saur Matua dimanapun mereka berada.
42
DAPTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin.Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : Raja
GrafindoPersada, 2009.
Aritonang, J.S.Kebudayaan Batak Toba. Pematang Siantar : Percetakan HKBP,
1988 .
Bungin, Burhan.M.Penelitian Kualitatif.Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008.
Engel, J,D.Metodologi Penelitian Sosial & Teologi Kristen. Salatiga: Widya Sari,
2005.
Gultom, Raja Marpodang. Dalihan Natolu Nilai Budaya Batak (tiga tungku)
yaitu:hula-hula,dongan tubu, boru,Medan: CV.Armanda, 1992.
Hutagalung, WM.Pustaha Batak, Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak,
Medan: Tulus Jaya , 1991.
Jakob, Sumardjo. Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis – Historis
Terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: CV.Qalam,
2002.
Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi : Jakarta : Dian Rakyat, 1985.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia, 1988.
Marbun, dan Hutapea. Kamus budaya batak toba. Balai Pustaka Jakarta, 1987 .
Panjaitan, Torang B.Pardalan ni angka ulaon adat Batak. Semarang, 2006.
Pardede, Lumongga RA. Masisisean di Ulaon Adat, Medan : CV. Tulus Jaya, 2010
Samiyono, David.Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian
Sosial.UKSW, Salatiga,2004.
Simatupang, Defri.Upacara Mangongkal Holi di Pulau Samosir, Studi
Etnoarkeologi Transformasi Kebudayaan Religi,dalam Skripsi untuk gelar
Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 2005.
Sinaga, Richard.Meninggal Adat Dalihan Natolu. Dian Utama. Jakarta. 1999.
----------------- . Umpasa, Umpama dan ungkapan dalam bahasa batak toba. Dian
Utama, Jakarta, 2003.
Siahaan, N.Sedjarah Kebudayaan Batak. C.V. Napitupulu, Medan, 1964.
Soejono, R.P.Jaman Prasejarah di Indonesia, SNI I. Depdikbud. Jakarta, 1984.
43
Suprayogo, Imam.Metodologi Pemilihan Sosial-Agama. Bandung : Remaja
Rosdin Karya, 2001.
Sitanggang, JP. Batak na marserak (orang batak yang terpencar) Raja Napogos.
Jakarta, 2014.
Sejarah, Buku . HKBP Salatiga, Jubileum 50 tahun HKBP Salatiga 7 April 1958-7
April 2008.
Simatupang, Maurits. Budaya Indonesia yang Supra Etnis, Papas sinar sinanti:
Jakarta, 2002.
Tarigan, Raja Malem.Budaya Batak Toba Dalam perubahan Multidimensi,
Bandung : ITB Perss, 2005.
Turner, Victor. Masyarakat Bebas Struktur dan Komunitas. Yokyakarta : Kasianus,
1990.
copyright © 2017 Indonesian Diaspora Network. All rights reserved. Jam 14.00
Wib.
Hasil wawancara
Berdasarkan wawancara. St. B. Pasaribu, pada tanggal 21 Pebruari 2017, di Salatiga.
Berdasarkan wawancara. M. Sianturi, pada tanggal 22 Pebruari 2017, di Salatiga.
Berdasarkan wawancara. O. Sihaloho, pada tanggal 23 Pebruari 2017, di Salatiga.
Berdasarkan wawancara. St. S. Sagala, pada tanggal 24 Pebruari 2017, di Salatiga.
Berdasarkan wawancara. A. Sihaloho, pada tanggal 25 Pebruari 2017, di Salatiga.
Berdasarkan wawancara. Pdt. RIP. Habeahan, pada tanggal 25 Pebruari 2017, di
Salatiga.
Berdasarkan wawancara. St. M. Turnip, pada tanggal 27 Pebruari 2017, di Salatiga.