ulumu al Qur'an

21
1 A. PENDAHULUAN Al Qur‟anul karim adalah sumber tasyri‟ pertama bagi umat pemahaman mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan seseorang dalam memahami lafaz dan ungkapanal qur‟an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gamblang dan ayat ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mer adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya d memahami makna maknanyayang zahir dan pengertian ayat ayatnya yang global. Sedangkan kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula makna makna yang menarik. Diantara dua kelompok ini terdapat beraneka ragam dan tingkatan pemahaman. Maka tidaklah mengherankan j ika al qur‟an mendapatkan pethatian besar melalui pengajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kat kata gar‟ib (aneh, ganjil) atau mente‟wilkan tark‟ib (susunan k 1 Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuanuntuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberipenjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur‟an, khususnya menyangkut ayat -ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilm pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulu Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma‟tsûr dan at - tafsîr bi- ar- ra‟yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, ta maudhû‟i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yan bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sas kemasyarakatan. 1 Manna‟ Khalil al Qattan, studi ilmu ilmu Quran , jakarta, Litera AntarNusa, 2002, hal 455.

Transcript of ulumu al Qur'an

A. PENDAHULUAN Al Quranul karim adalah sumber tasyri pertama bagi umat islam. Dan pemahaman mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan seseorang dalam memahami lafaz dan ungkapan al quran tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gamblang dan ayat ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna maknanyayang zahir dan pengertian ayat ayatnya yang global. Sedangkan kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula makna makna yang menarik. Diantara dua kelompok ini terdapat beraneka ragam dan tingkatan pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika al quran mendapatkan pethatian besar dari umatnya melalui pengajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata kata garib (aneh, ganjil) atau mentewilkan tarkib (susunan kalimat).1 Tafsir al-Qur'an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan

menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsr bi al- matsr dan attafsr bi- ar-rayi, dengan empat metode, yaitu ijmli, tahlli, muqrin dan maudhi. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

1 Manna Khalil al Qattan, studi ilmu ilmu Quran, jakarta, Litera AntarNusa, 2002, hal 455.

1

B. TAFSIR, TAWIL DAN TARJAMAH 1. Pengertian Tafsir, Tawil dan Tarjamah a. Tafsir Secara etimologi, kata tafsir berasal dari akar kata ( )yang berarti suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Al-Tafsirah adalah suatu alat yang digunakan dokter untuk mendeteksi dan mengetahui sesuatu yang terdapat dalam air. Dalam buku-buku ulumul Quran diperoleh informasi bahwa kata tafsir arti dasarnya ialah , yaitu keterangan dan penjelasan. Dalam al-Qura kata tafsir hanya sekali disebut, yaitu pada surah alFurqan/25:33.

Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. Kata tafsir dalam ayat tersebut berarti penjelasan. Secara terminologi, kata tafsir didefinisikan oleh para ulama tafsir yang cukup beragam, di antaranya: 1. Imam Jalaluddin al-Suyuthiy (911 H/1505 M): Tafsir ialah suatu ilmu yang membahas tentang turunnya ayat-ayat dan hal ihwalnya, kisah-kisah dan sebab-sebab turunnya, tertib makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, khusus dan umum, mutlak dan muqayyad, mujmal dan dan mufassar, halal dan haram, janji dan ancaman, perintah dan larangan, ungkapan-ungkapan, dan perumpamaan-perumpamaannya. 2. Imam al-Zarkasyiy (794 H), tafsir ialah suatu ilmu untuk memahami al-Quran yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. dan menjelaskan arti-artinya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.

2

3. Imam al-Dzarqaniy, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang al-Quran alKarim dari segi petunjuk-petunjuknya terhadap makna yang dikehendaki Allah sesuai dengan kapasitas kemampuan manusia. Semua definisi di atas, pada dasarnya menunjukkan bahwa pengertian tafsir ialah ilmu yang membahas ayat-ayat al-Quran dengan tujuan untuk menjelaskan maksud Allah di dalam kitab-Nya itu yang meliputi pemahaman arti dan penjelasan maksud-maksudnya. b. Tawil Secara etimologi, kata takwil berasal dari kata dasar berarti yang

, yakni kembali. Al-Jurjaniy dalam kamusnya al-Ta`rift, menyebutkan (mengembalikan). Sedangkan al-

bahwa takwil pada asalnya bermakna yang berarti

Asfahaniy menambah keterangan bahwa kata takwil ini berasal dari kata (mengembalikan), yakni mengembalikan kepada asalnya, dalam artian mengembalikan sesuatu kepada tujuan yang dimaksud, baik dalam hal pengetahuan berupa konsep ataupun berupa aksi (perbuatan). Al-Shabuniy memaknai takwil sebagai (mengembalikan), dengan pengertian

mengembalikan makna ayat-ayat itu kepada beberapa kemungkinan arti. Di samping itu, ada juga informasi lain menyebutkan bahwa kata takwil berasal dari kata yang berarti , yakni mengatur, seakan-akan

mengatur-atur kalimat, menimbang-nimbangnya, membolakbalikkannya untuk memperoleh arti dan maksudnya. Dalam kamus disebutkan berarti dan

yakni balik kembali. Sedangkan bentuk muta`addi-nya (transitif) ialah berarti mengembalikan (kata) kepada konteks yang ada dalam berarti mengatur kalimat, menetapkannya, dan

rangkaian kalimat. Atau

menerangkannya. Jadi, takwil di sini berarti ungkapan atau penjelasan mengenai suatu pandangan. Dalam al-Quran pemakaian kata takwil ini mengandung arti dan maksud yang beragam dalam berbagai konteks, misalnya:

3

1. Kata takwil bermakna interpretasi dan ketentuan (QS. Ali Imran/3:7). Tetapi, menurut Mujahid dan Qatadah, kata takwil di sini berarti pahala dan balasan. 2. Takwil bermakna akibat (QS. al-Nisa/4:59). Ini riwayat dari al-Suddy, Ibnu Zaid, Ibnu Qutaibah, dan al-Zajjaj. 3. Takwil bermakna kebenaran (QS. al-A`raf/7:53). Ini menurut Ibnu Abbas. 4. Takwil bermakna tujuan suatu perbuatan (QS. al-Kahf/18:78, 82). 5. Takwil bermakna ta`bir mimpi (QS. Yusuf/12:21, 36, 44, 45), 100, dan 101). Sejumlah arti tersebut, sebetulnya bukanlah yang kita maksudkan dalam kajian ilmu tafsir ini, karena ia masih terbatas pada tinjauan etimologi dan bahasa kamus. Namun tetap pula diakui bahwa arti-arti seperti ini minimal memberikan bayangan atau pengantar kepada pengertian secara terminologi. Secara terminologi, para ulama berbeda-beda pendapatnya mengenai definisi takwil ini sehingga ada yang menyamakan antara pengertian tafsir dan takwil, dan ada pula yang membedakan antara keduanya. Muhammad Husain alDzahabiy berusaha merangkum berbagai pendapat itu lalu mengklasifikasikan dengan formulasi ulama salaf dan ulama khalaf. Menurut Ulama Salaf pengertian takwil mengandung 2 pengertian: 1. Keterangan dan penjelasan dari suatu kalimat. Dari pengertian inilah antara tafsir dan takwil tidak dibedakan atau selalu dimutaradifkan (sinonim), seperti kata imam Mujahid (21-104 H) : bahwa para ulama mengetahui takwilnya, maksudnya keterangan dan penjelasan dalam al-Quran. demikian pula perkataan imam Ibnu Jarir al-Thabariy dalam tafsirnya Jmi al-Bayan: pendapat mengenai takwil ayat al-Quran . para ahli takwil berbeda-beda pendapatnya mengenai ayat ini. Istilah takwil yang disebutkan Ibnu Jarir alThabariy tersebut adalah berarti tafsir. 2. Takwil berarti kalimat yang dimaksudkan itu sendiri. Jadi, kalau kalimat itu berupa perintah, maka takwilnya adalah sesuatu yang diperintahkan. Dan kalau kalimat itu berupa pernyataan berita, maka takwilnya adalah sesuatu yang diberikan itu.

4

Perbedaan antara pengertian pertama dan kedua di atas adalah pengertian pertama itu bersifat ide atau konsep saja seperti halnya pengetahuan atau penjelasan. Sedangkan pengertian yang kedua adalah menunjukkan kepada wujud sesuatu. Menurut ulama Khalaf takwil adalah suatu upaya memalingkan (mengembalikan) suatu lapadz dari makna yang biasanya (makna hakikat) ke makna lain yang memungkinkan karena ada dalil atau argumentasi yang menyertainya. Pengertian ini dikemukakan oleh baik ulama fiqih, ilmu kalam, hadist, maupun ulama tasawuf. Syarat-Syarat Takwil Para ulama sepakat pada suatu prinsip bahwa suatu teks al-Quran harus dipahami sesuai dengan makna lahiriahnya kecuali jika ada dalil atau indikasi yang menghendaki pemalingan makna itu ke makna lain. Pemalingan makna (takwil) ini tidak dibenarkan kecuali jika ada dalil atau indikasi yang menghendakinya. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian dan kemuliaan teks al-Quran dari penyimpangan-penyimpangan, maka para ulama menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan takwil. Suatu takwil dapat diterima apabila memenuhi syarat-syarat itu. Menurut al-Syatibiy, bahwa 2 syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan takwil, yaitu: 1. Makna yang dipilih harus sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya. 2. Makna yang dipilih itu telah dikenal oleh bahasa Arab klasik. Apa yang dikemukakan oleh al-Syatibiy tersebut kelihatannya memberikan peluang yang cukup besar dalam kegiatan penakwilan ayat-ayat al-Quran, sepanjang mempunyai keahlian dalam bahasa Arab dan pemaknaannya. Berbeda dengan Abu Zahrah yang tidak hanya mensyaratkan pada keahlian bahasa Arab saja, tetapi juga harus mempunyai sandaran yang kuat berupa dalil. Menurutnya, ada 3 syarat yang harus dipenuhi untuk kebolehan penakwilan ayat-ayat alQuran, yaitu:

5

1. Lafadz yang ditakwil harus muhtamil (mempunyai kemungkinan arti lain) walaupun arti itu jauh dari arti sebenarnya asalkan bukan arti yang gharib (asing) sama sekali. 2. Takwil diterapkan ketika lahiriah suatu teks al-Quran bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang sudah berlaku dalam agama atau bertentangan dengan teks lain yang lebih kuat. 3. Takwil harus mempunyai sandaran kuat berupa sanad (dalil). Sedangkan Wahbah al-Zuhailiy menambah kejelasan dan kelengkapan tentang persyaratan takwil tersebut hingga menjadi 4 syarat, yaitu: 1. Lafadznya harus yang bisa menerima takwil. 2. Takwil harus didasarkan pada dalil atau indikasi yang sah dan dalil tersebut harus lebih kuat dari pada makna lahiriah lafadz. 3. Takwil tersebut harus merupakan salah satu makna yang dikandung oleh lafadz yang dipalingkan maknanya itu. 4. Orang yang menakwil adalah yang mempunyai otoritas dan kompetensi untuk itu sehingga dalam melakukan takwil sesuai dengan ketetapan bahasa atau kebiasaan syara` (`urf syar`) atau pemakaian (isti`maliy). Perbedaan penetapan mengenai jumlah syarat takwil ketiga ulama di atas, sebetulnya tidak bertentangan, tetapi justru saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, setelah memperhatikan pendapat-pendapat tersebut, maka minimal ada 5 komponen yang harus ada ketika melakukan takwil, yaitu:

Lafadz ini harus bisa menerima takwil (muhtamil). Makna ini tidak terlepas dari makna lahiriah itu sendiri dan sudah dikenal dalam bahasa Arab.

Dalil ini membuat lebih kuat dari pada makna lahiriahnya. Orang yang mentakwil. Dan ini harus ahlinya. Waktu. takwil dilakukan ketika lahiriah suatu teks kelihatan bertentangan dengan kaidah agama lainnya.

6

Sikap Para Ulama Terhadap Takwil Para ulama dalam menyikapi takwil ini berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Al-Ghazaliy mengklasifikasikannya dalam 5 kelompok, yaitu: 1. Menolak takwil dan hanya membenarkan apa yang tertulis secara tekstual dalam nas itu sendiri. 2. Berpedoman pada kekuatan akal dan kurang memperhatikan teks itu. Inilah yang banyak memperluas wilayah takwil. 3. Menjadikan akal sebagai dasar pokok. Apa yang terdapat dalam suatu teks kelihatan bertentangan dengan akal akan ditolak. 4. Menjadikan teks sebagai dasar pokok dan tidak sampai mendalami akal pemikiran. 5. Moderat dengan berusaha mengkompromikan antara akal dan nas yang masing-masing mempunyai dasar dan saling melengkapi. Kelompok ini mengingkari adanya pertentangan antara akal dan syara`. Keanekaragaman pendapat dan sikap tersebut di atas ada yang berlebihlebihan dan ada pula yang sedang-sedang, baik dalam menerima ataupun dalam menolak. Namun, yang jelas bahwa secara umum sikap ulama terhadap takwil ini adalah terbagi atas dua, ada yang menerima dan ada yang menolak. Perbedaan sikap tersebut terjadi karena perbedaan cara mereka memahami ayat 7 surah Ali Imran.

padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orangorang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Bagi mereka yang tidak membolehkan takwil beralasan, bahwa ayat tersebut dibaca dengan tanda wakaf (berhenti) pada kata Allah ) tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Jadi, hanya Allah saja yang mengetahui takwilnya, sedangkan orang-orang yang berpengetahuan mendalam cukup mengimani keberadaannya dan menyerahkan pengertiannya kepada Allah.

7

Adapun ulama yang membolehkan takwil itu adalah beralasan bahwa ayat tersebut dibaca ( tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Jadi, di samping Allah yang mengetahui takwil itu juga orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam. Demikian pula yang dijadikan alasan adalah riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Nabi SAW. pernah mendoakan untuknya. (Ya Allah! Berikanlah pemahaman kepada dia tentang agama dan ajarkanlah dia pengetahuan takwil). Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas menyebutkan, saya ini termasuk di antara orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam yang mengetahui takwilnya). Dalam sejarah telah dijumpai bahwa pada masa salaf sebagian ulama tidak mau mentakwil dalam memahami ayat-ayat, mereka cukup merasa puas dengan menyerahkan pengertiannya kepada Allah, dengan semboyan Allahu A`lamu bi Murdih (Allah Maha Mengetahui maksudnya). Bahkan mislanya imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian firman Allah dalam QS. Thaha ayat 5 Tuhan Yang Maha Pemurah bersemayam di atas `Arsy. Imam Malik menjawab: Pertanyaan seperti ini adalah bid`ah (tercela dalam pandangan agama). Dari sati sisi memang ada nilai positifnya karena hal itu merupakan suatu bentuk kehati-hatian untuk tidak terjerumus ke dalam sesuatu yang tercela. Akan tetapi pada sisi lain sikap seperti ini adalah justru mempersempit makna al-Quran sehingga tidak jarang menimbulkan persoalan pemahaman dan pemikiran. Lebihlebih ketika diperhadapkan dengan kenyataan sosial yang selalu berkembang, hakekat ilmiah dan hal-hal keagamaan. Oleh karena itu, sikap tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan banyaknya ahli tafsir menggunakan takwil dalam upaya menjelaskan isi kandungan al-Quran. Menurut mereka bahwa dengan menggunakan takwil akan memperluas makna al-Quran. Kata Dr. M.

8

Quraish Shihab, bahwa dengan takwil akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan al-Quran di tengah kehidupan masyarakat dewasa ini dan masa-masa yang akan datang. Takwil yang dimaksudkan tentu saja takwil yang tidak menyalahi kaidahkaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama tafsir, misalnya:

Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. (QS. al-Fath/48:10). Pengertian Tangan Allah dalam ayat tersebut ditakwil dengan pengertian kekuasaan Allah.

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. (QS. Thaha/20:5). Pengertian bersemayam di atas `Arsy ditakwil dengan pengertian kekuasaan dan kebesaran Allah meliputi `Arsy itu.

Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (QS. al-Rum/30:19). Pengertian yang hidup dari yang mati dalam ayat tersebut ditakwil dengan pengertian iman dan kufur. Mengeluarkan dari kekufuran menjadi iman.

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mumin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya. (QS. al-Nisa/4:93). Pengertian kekal di dalamnya dalam ayat tersebut ditakwil dengan pengertianberada dalam neraka dalam waktu yang cukup lama, bukan abadi. Penakwilan terhadap teks ayat-ayat al-Quran dengan hanya berdasar pada kekuatan penalaran akal saja tanpa memperhatikan kaidah-kaidah bahasa adalah

9

suatu penyimpangan dan itu tidak bisa diterima, misalnya yang dilakukan oleh Dr. Mustafa Mahmud, seorang dokter terhadap ayat

Janganlah kamu berdua dekati pohon ini. (QS. al-Baqarah/2:35). Ia menakwil larangan Tuhan untuk mendekati pohon sebagai larangan melakukan hubungan seksual. Menurutnya pada redaksi larangan itu berbentuk mutsanna (berdua), (janganlah kamu berdua dekati), yakni Adam dan Hawa. Tetapi

setelah mereka berdua makan buah itu, takwilnya telah berhubungan seksual, maka redaksi perintah Tuhan berikutnya berubah menjadi redaksi jamak, yaitu turunlah kamu (QS. al-Baqarah/2:36). Penggunaan jamak dalam ayat tersebut karena Hawa sudah hamil mengandung janin bayi. Jadi, mereka sudah bertiga; Adam, Hawa, dan janin bayi. Takwil seperti ini adalah menyalahi kaidah bahasa. Dalam kaidah bahasa sesuatu yang masih berupa janin dalam perut itu tidak bisa dihitung sebagai wujud penuh, ia tetap mengikut pada ibu yang mengandungnya. Seandainya ada seorang ibu mengandung 10 atau lebih janin bayi, maka ia tetap dihitung sebagai wujud tunggal. c. Tarjamah Terjemah mempunyai dua pengertian: 1. Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 2. Terjemah tafsiriyah matau maknawiyah, yaitu menjelaskan makna

pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. Terjemah harfiyyah dibagi menjadi dua : a. Terjemah Harfiyyah bi l-misli, yaitu menyalin atau mengganti kata-

kata dari bahasa asli dengan sinonimnya (murodifnya) ke dalam bahasa baru dan terikat bahasa aslinya.10

b.

Terjemah harfiyyah bi dzuni al-mitsli, yaitu menyalin atau mengganti bahasa asli ke dalam beberapa bahasa lain dengan

kata-kata

memperhaitkan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru serta kemampuan penerjemahnya. Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dicapai dengan baik. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian kalimat-kalimatnya. Contoh, jumlah filiyyah dalam bahasa arab dimulai dengan fiil kemudian fail, baik dalam kalimat tanya maupun yang lainnya, mudlaf didahulukan atas mudhof ilaihi, dan mausuf atau sifat, kecuali dengan idhofah tasybih. Yang mana hal itu tidak dimilki oleh bahasa lain. Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah: 1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya; 2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut; 3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama; 4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.

11

2. Perbedaan Tafsir, Tawil dan Tarjamah Perbedaan tafsir, tawil disatu pihak dan terjemah di pihak lain adalah tafsir dan tawil berupaya menjelaskan makna setiap kata di dalam AlQuran, sedangkan terjemah hanya mengalihkan bahasa Al-Quran AlQuran yang dari bahasa arab ke bahasa non Arab, TAFSIR 1. Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih umum 1. Ar-Raghif TAWIL Al-Ashfahani: makna lebih dan yang

dan lebih banyak digunakan untuk banyak lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab kalimat

dipergunakan dalam

kitab-kitab

yang diturunkan Allah dan kitab-kitab diturunkan Allah saja lainnya. 2. Menerangkan makna lafazh yang tak 2. menerima selain dari satu arti. Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil. 3. Al-Maturidi: menetapkan apa yang 3. dikehendaki ayat dan Menyeleksi salah satu makna yang

menetapkan mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang

seperti yang dikehendaki Allah.

dikehendaki Allah. 4. Abu Thalib Ats-Tsalabi: 4. Abu Thalib Ats: menafsirkan bathin

menerangkan makna lafazh baik berupa lafazh. hakikat atu majaz. Abu ubaidan dan sekelompok ulama berpendapat bahwa tafsir dan tawil adalah sama kata Al-Maturidy tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat ( lapad ) dan dengan sungguh-sungguh menetapkan, demikianlah yang dikehendaki Allah, maka ada dalil yang membenarkan penetapan itu, dipandanglah tafsir yang shohih. Kalau tidak dipandanglah tafsir yang berdasarkan pikiran yang tidak dibenarkan, tawil ialah mentarjihkan salah satu

12

makna yang mungkin diterima ayat ( lapad ), yakini salah satu mutamilad, dengan tidak menyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah Dikatakan tafsir yaitu apa yang terjadi jelas didalam kitabullah atau jelas didalam hadist sohih, artinya itu jelas tampak, tawil yaitu apa yang disimpulkan oleh ulama, dalam hal nin ada yang mengatakan bahwa tafsir itu istilah apa yang bersangkut dengan ayat sedangkan tawil yaitu, pa yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan Adapun perbedaan tafsir dan tawil itu sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut; Kesimpulannya tafsir adalah pengertian lahiriyah dari ayat Al-Quran yang pengertiannya secara tegas mengatakan maksud yang dikehendaki Allah Azza wa jala Sedangkan tawil pengertian-pengertian tersirat yang diistimbatkan ( diproses ) dari ayat-ayat Al-Quran yang memerlukan perenungan dan perkiraan, serta merupakan sarana pembuka tabir.2 3. Klasifikasi Tafsir Bi Al Matsur dan Tafsir Bi Al Rayi Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga: 1. Tafsir bi al-matsur Tafsir bi al-matsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Quran, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabiin. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-matsur adalah cara menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran, menafsirkan ayat Al Quran dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Quran dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Quran dengan perkataan para tabiin. Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al2 Rosihan Anwar, Ulum Quran, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 214

13

Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw. Dalam pertumbuhannya, tafsir bil matsur menempuh tiga periode, yaitu: 1. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabiin ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah). 2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Matsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits. 3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Matsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.3 Tafsir bil matsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan marifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah. Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamiiul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul Azhiim. Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-Matsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada nabi SAW, kepada para sahabat, tabiin dan tabii al-tabiin. diantara contohnya :3 Rosihan Anwar, Ulum Quran, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 216

14

a. Tafsir al-Quran dengan al-Quran dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. (al-Maidah ; 1) Dijelaskan oleh firman Allah Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, (al-Maidah ; 3) Tafsir al-Quran dengan as-Sunnah

b.

Jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (alFatihah:7) Disini Rosulullah menafsirkan al-Maghdhubi dan adh-Dholin adalah Yahudi dan Nashrani. Di antara keistimewaan tafsir bil Matsur ini seperti yang dicatat oleh Quraisy Syihab, yaitu sebagai berikut; 1) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran. 2) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesanpesannya. 3) Mengikat muufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan. Diantara keistimewaannya, Tafsir-tafsir bi al-matsur juga mempunyai kelemahan antara lain; 1) Terjadinya pemalsuan dalam tafsir yang mana terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan dikalangan umat islam yang menumbulkan beberapa aliran seperti Syiah, Khawarij dan Murjiah. Diantaranya karena fanatisme, politik, dan usaha-usaha umat islam. Penganut-penganut Syiah amat tertarik hatinya untuk mengumpulkan makna-makna al-Quran sesuai dengan keinginan mereka.

15

2) Masuknya unsur Israiliyyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nashrani yang masuk ke dalam penafsiran al-Quran, persoalan Israiliyyat sebenarnya sudah ada sejak Nabi masih ada. Namun pada masa itu Israiliyyat belum menjadi persoalan yang parah, mengingat yang dilakukan para sahabat masih berada dalam batas-batas kewajaran. Israiliyyat menjadai persoalan serius ketika berada pada masa tabiin. pada masa itu, Israiliyyat tidak saja telah bercampur antara yang sahih dan yang batil, tetapi juga banyak yang merusak akidah umat. Dalam sejarah, Israiliyyat semacam itu masuk dan tersebar melalui tafsir bi al-matsur. Riwayat-riwayatnya yang shahih didalamnya dicampurkan dengan yang tidak shahih dan karena orang-orang Yahudi dan orang-orang Parsi yang Zindik telah banyak membuat hadits-hadits palsu yang kemudian diambil oleh ahli-ahli tafsir tanpa disaring. 3) Eksistensi sanad yang menjadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsir bi al-matsur tidak ditemukan lagi. 4) Terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Quran menjadi kabur. 5) Sering konteks turunnya ayat atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipaham dari uraian (nasikh mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.4 Tafsir bi al-matsur dengan keindahan istinbath dan kemampuan mentarjih, adalah tafsir yang pertama untuk dihargai. Namun demikian kita tidak boleh membatasi diri pada kemampuan mentarjihkan. Untuk mentakwilkan ayat atau beberapa ayat, kita harus kembali kepada beberapa macam tafsir. Pada masa kini menggunakan corak bi al-matsur membutuhkan

pengembangan, disamping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan yang dimaksud adalah tidak sekedar mengover alih apa adanya produk penafsiran bi almatsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksi mana yang4 Rosihan Anwar, Ulum Quran, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 217-219

16

dapat menyelesaikan persoalan-persoalan masa kini dan mana yang tidak. Perbedaan sosial kultural yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menjadikan sebagian hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian. Ini bertolak dari asumsi bahwa pemafsiran al-Quran pada dasarnya adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiring dengan dinamika perkembangan sosio-kultural masyarakat.

2. al-Tafsir bi al-Rayi Cara penafsiran bil maqul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya. Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini.5 Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al Royi. Sebagian ulama melarang penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan mana dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan5 Rosihan Anwar, Ulum Quran, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 220

17

dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Quran hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi. Mengenai keabsahan tafsir bi al-rayi, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok : 1. kelompok yang melarangnya. Bahkan menjelang abad ke II H., corak penafsiran ini belum mendapat legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Diantara argumentasi-argumentasinya; a. Menafsirkan Al-Quran berdasarkan rayi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian hasil penafsirannya hanya bersifat pikiran semata. Padahal Allah berfirman; Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. al-Isra : 36) b. Yang berhak menjelaskan Al-Quran adalah Nabi, berdasarkan firman Allah: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. Al Nahl: 44)

c. Rosulullah bersada: Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka d. Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabiin untuk berhati-hati ketuka berbicara tentag penafsiran Al-Quran

2. Kelompok yang mengizinkannya.diantara argumentasinya :

18

a. Di dalam Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan Al-Quran. Misalnya firman Allah; Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS:Muhammad:24). b. Seandainya tafsir bi al-Rayi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan, nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Quran

c. Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Menurut Manna Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bidah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayatayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Corak Tafsir dengan rayi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud). Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syariat. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bidah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabbai, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.

2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul) a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.

19

Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Royi ada dua:

1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan. 2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syariat serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Masud: akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami AlQuran, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Quran, dan menjauhi segala bentuk bidah.

Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf an Haqaa`iqit Tanziil wa Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.6

6 Rosihan Anwar, Ulum Quran, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 221-225

20

C. KESIMPULAN Dari segi istilah, tafsir berbeda dengan terjemah atau takwil. Jika tafsir bermakna menjelaskan maksud dan tujuan ayat-ayat Al-Quran, baik dari sisi makna, kisah, hukum, maupun hikmah, sehingga mudah dipahami oleh umat. Sedangkan, terjemah adalah memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lainnya. Dengan kata lain, terjemah adalah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan mengungkapkan makna dari bahasa itu.Begitu juga dengan takwil. Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan makna tersebut sesuai dengan Alquran dan sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat Alquran. Dari segi tujuan, antara tafsir dan takwil tidak memiliki perbedaan, yakni sama-sama berusaha untuk menjelaskan makna ayat Alquran. Namun demikian, bila ditinjau dari segi kerjanya atau jalan yang ditempuh, keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Perbedaan itu dapat ditegaskan. Tafsir sifatnya lebih umum dari takwil. Tafsir menyangkut seluruh ayat, sedangkan takwil hanya berkenaan dengan ayat-ayat yang mutasyabihat (samar dan perlu penjelasan). Selain itu, tafsir menerangkan makna-makna ayat dengan pendekatan riwayat, sedangkan takwil dengan pendekatan dirayat. Tafsir menerangkan makna ayat yang terambil dari bentuk ibarat (tersurat), sedangkan takwil dari yang tersirat (isyarat-isyarat). Sebagai kitab suci umat Islam dengan berbagai kemuliannya yang tidak bisa kita ungkiri lagi, dari segi kalimat, bacaan, dan arti yang bervariasi dengan ilmunya masing-masing, dari tafsir, tawil, maupun terjemah maka kita sebagai orang yang beriman harus selalu membaca Al-Quran sebagai ungkapan rasa syukur kita terhadap kitab suci umat Islam ini.

21