I'jaz Al-Qur'an
-
Upload
yusni-amru-ghazali -
Category
Documents
-
view
343 -
download
1
Transcript of I'jaz Al-Qur'an
I’JÂZ AL-QUR’AN
A. Pendahuluan
Kita selama ini mungkin sering mendengar istilah mukjizat Al-Qur’an, namun
sejarahnya barangkali kita tidak semuanya tahu. Dalam makalah ini penulis ingin
mencoba mengupas sedikit tentang i’jâz mulai dari definisi, polemik, dan aspek-aspek
i’jâz al-Qur’ân. Semoga dengan sedikit penjelasan ini, ada hikmah dan manfaat yang
bisa kita petik.
Mukjizat pada hakikatnya adalah sesuatu yang diturunkan Allah swt. pada
nabi-Nya sebagai bukti akan kebenaran dia sebagai utusan Allah. Dan, sesuatu itu
dinamakan mukjizat atau melemahkan karena memang manusia lemah atau tidak
mampu mendatangkan yang semisalnya.1 Di dalam, kitab Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-
Qur’ân disebutkan bahwa ada 5 syarat utama sesuatu itu dinamakan mukjizat:
Pertama, sesuatu itu tidak ada yang mampu mewujudkannya kecuali Allah
swt.
Kedua, sesuatu itu harus yang luar biasa dan bertentangan dengan adat
kebiasaan atau akal sehat.
Ketiga, sosok yang mengemban mukjizat haruslah mengakui bahwa hal
luarbiasa yang ia tunjukkan merupakan anugerah dari Allah swt.
Keempat, ada pengakuan dari orang yang melihat kemukjizatan tersebut.
Kelima, tidak ada seorang pun yang mampu melawan mukjizat tersebut dalam
bentuk apapun.2
Kelima hal di atas merupakan syarat mutlak disebutnya sesuatu itu sebagai
mukjizat. Jika satu saja dari kelima syarat di atas berkurang maka tidak memenuhi
syarat untuk menyebut sesuatu sebagai mukjizat.
B. Definisi I’jâz
I’jâz berasal dari akar kata ‘ajaza, kemudian diberi awalan hamzah qatha’ menjadi
a’jaza. Secara etimologi berarti lemah dan tidak mampu melakukan sesuatu. Makanya
1 Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar ‘Alam Al-Kutub,
2003) Hal. 69. 2 Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 70-71.
nenek-nenek dalam Al-Qur’an disebut al-‘ajûz.3 Dan, ini semakna dengan ungkapan
Qabil pada surah Al-Mâ’idah, ayat 31 berikut ini:
“Qabil berkata, ‘Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung
gagak ini, sehingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?’ Maka jadilah dia
termasuk orang yang menyesal.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 31)4
Sedangkan makna i’jâz atau mu’jizat—yang kemudian diserap ke dalam
bahasa Indonesai menjadi mukjizat—secara terminologi adalah,
“Sesuatu yang supernormal atau extraordinary disertai dengan tantangan (untuk
mendatangkan yang semisal, yang mana tantangan itu) selamat dari tandingan
(resistan).”5
Intinya, mukjizat adalah kejadian luar biasa yang dapat melemahkan dan
mengalahkan lawan untuk membuktikan kebenaran risalah seorang nabi. Jadi, hikmah
dibalik mukjizat adalah untuk mengajak suatu kaum atau umat ke jalan kebenaran dan
kebahagiaan. Orang yang pertama berbicara mengenai mukjizat Al-Qur’an adalah Al-
Baqilani, Ar-Rummani, Abdul Qahir, Al-Khaththabi, dan As-Sakkaki.6 Mukjizat bisa
bersifat inderawi (hissiyah) dan rasional (‘aqliyah). Kebanyakan mukjizat atas Bani
Israil itu bersifat inderawi ini karena saat itu mereka adalah kaum terbelakang yang
memiliki keterbatasan berpikir.7 Sedangkan, mukjizat atas umat Nabi Muhammad
saw. lebih bersifat rasional karena mereka hidup di zaman maju dan memiliki
kemampuan berpikir yang kuat. Jadi, karakter mukjizat yang diturunkan selalu
disesuaikan dengan kondisi umat sang nabi saat itu. Kesimpulan ini berangkat dari
sabda Rasulullah saw.,
3 Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Hal.
738. Lihat juga, Al-Imam Al-Jauhari, Ash-Shihah fî ‘Ulûm Al-Lughah wa Funûnuha, (Beirut: Dar al-
Hadharah al-‘Arabiyyah, t.th), Jil. I. Hal. 81. 4 Lihat juga, QS. At-Taubah, ayat 2. QS. Al-‘Ankabût, ayat 22 dan QS. Al-Hajj, ayat 51.
5 Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushtafa al-Halabi, 1370 H),
Jil. II, Hal. 311. 6 Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun, 1997) Jil. I. Hal. 101.
7 Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Jil. II, Hal. 311.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak ada seorang pun nabi dari
nabi-nabi yang ada kecuali dia diberi sesuatu yang sama (mukjizat), yang diimani
manusia. Adapun mukjizat yang secara khusus diberikan padaku adalah wahyu yang
diturunkan oleh Allah dan aku berharap menjadi nabi yang paling banyak
pengikutnya pada Hari Kiamat.’” (HR. Al-Bukhari)
Dalam konteks ini, Imam Az-Zarkasyi berkata,
“Sesungguhnya Allah menjadikan mu’jizat para nabi sesuai dengan bidang yang
dikenal sebagai sesuatu yang paling bagus pada zaman nabi yang ingin Dia
munculnkan, maka sihir pada masa Musa telah mencapai pncaknya, demikian pula
kedokteran pada masa Isa, dan keindahan berbahasa pada masa Nabi Muhammad.”8
Tapi, pemikir-pemikir baru seperti Hassan Hanafi punya pandangan dan
pemahaman yang berbeda. Menurutnya, i’jâz mengalami evolusi (tathawwur al-
wahyi). Menurut Hassan Hanafi pengertian i’jâz al-qur’ân sebagai sesuatu kejadian
luar biasa untuk menunjukkan kebenaran risalah Rasulullah saw. dan tidak seorang
manusia pun yang mampu menandinginya, adalah pemahaman klasik. Menurutnya,
Al-Qur’an adalah fakta empirik berupa susunan kalimat yang dikenal semua orang,
baik yang buta huruf (ummi), yang terpelajar, ataupun yang menggunakan akal, indera
dan perasaannya untuk memperoleh kepuasaan spiritual, pandangan dan kebenaran.9
Intinya, Hasan Hanafi ingin mengatakan bahwa fungsi i’jâz Al-Qur’an sudah
tidak lagi dominan sebagai tantangan untuk mendatangkan yang semisal. Sebab, yang
ditantang pun saat ini sudah tidak ada lagi yang mampu sehingga kemukjizatan Al-
Qur’an dikembangkan pada aspek lain. Seperti, baru-baru ini muncul buku yang
mengupas tentang kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an, kemukjizatan angka, kemukjizatan
bahasa, kemukjizatan alam semesta dan lain-lain.
Artinya anggapan orang terhadap Al-Qur’an sudah berubah tidak sejumud
bangsa Arab di masa Nabi Muhammad saw. Seperti yang dijelaskan dalam surah
Saba’, ayat 43 berikut:
8 Badr al-Din Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Libanon: Dar Al-
Ihya’ Al-Kutub, 1957) Jil. II, Hal. 98. 9 Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, t.th), Jil. IV. Hal. 182-
183.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka
berkata, ‘Orang ini tidak lain hanya ingin menghalang-halangi kamu dari apa yang
disembah oleh nenek moyangmu,’ dan mereka berkata, ‘(Al-Qur'an) ini tidak lain
hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja.’ Dan orang-orang kafir berkata
terhadap kebenaran ketika kebenaran (Al-Qur'an) itu datang kepada mereka, “Ini tidak
lain hanyalah sihir yang nyata.’” (QS. Saba’ [34]: 43)
Jadi, seperti itulah pandangan orang-orang musyrik Mekkah terhadap Al-
Qur’an ketika itu. Mengejeknya seolah ucapan para dukun. Dalam kondisi seperti ini,
maka Al-Qur’an sebagai mukjizat ia menantang orang-orang kafir Quraisy, “Kalau
memang itu ucapannya para dukun, apakah bisa kalian mendatangkan yang semisal
Al-Qur’an, satu surah saja atau satu ayat saja?”
Di ayat yang lain, orang-orang kafir Quraisy menganggap Al-Qur’an sebagai
ungkapan puitik dari seorang penyair. Berikut ini ayatnya,
“Bahkan mereka mengatakan, ‘(Al-Qur'an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau
hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah
dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul-rasul yang diutus
terdahulu.’” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 5)
Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa pandangan orang-orang kafir Quraisy
terhadap Al-Qur’an ketika itu masih sangat klasik dan sederhana. Inilah yang
kemudian mendasari pemikir-pemikir baru dari kalangan Muslim Seperti Hasan
Hanafi dan Nashr Hamid Abu Zaid untuk meyakini bahwa makna mukjizat harus
dikontekskan dengan kekinian sesuai dengan masyarakat yang menerimanya.
Pada dasarnya kata i’jâz ( ) sendiri tidak dikenal pada masa Rasulullah
saw., Sahabat dan Tabi’in. Kata ini baru populer di akhir abad ke-3 Hijriah dari
kalangan Mutakallimin dalam sebuah kitab karya Muhammad ibn Yazid Al-Wasithi
(w. 306 H) dalam kitabnya yang tinggal nama “I’jâz Al-Qur’ân fi Nazhmihi wa
Ta’lifihi”.10
Namun demikian, secara maknawi i’jâz sudah ada sejak malaikat Jibril
menyampaikan wahyu surah Al-‘Alaq, ayat 1-5 pada Rasulullah saw. Kala itu, tidak
10
Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.) Hal. 10.
hanya Rasulullah saw. dan para sahabat saja yang mengimani kemukjizatan Al-
Qur’an, tetapi juga orang-orang kafir. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
“Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-
Qur'an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan
(mereka).’” (QS. Fushshilat [41]: 26)
Hanya saja, posisi orang-orang kafir tidak mengimani secara hakiki hanya
sebatas percaya bahwa Al-Qur’an mempunyai nilai-nilai i’jâz. Sehingga, mereka tetap
berusaha menandingi atau mebuat tandingan untuk Al-Qur’an. seperti yang dijelaskan
pada ayat di atas. Al-Qur’an sendiri sudah membuat tantangan secara terbuka kepada
mereka seperti yang dijelaskan 2 ayat berikut ini,
“Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 23)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Isrâ’ [17]:
88)
Dan, tantangan ini benar-benar berhasil membuat mereka tidak berdaya. Inilah
hakikat i’jâz pada masa itu. Bahkan, saking tidak mampunya orang-orang kafir itu
mendatangkan yang semisal dan kemudian takut beriman mereka saling berpesan
untuk meninggalkan Al-Qur’an. Sebagaimana yang dijelaskan pada surah Fushshilat
ayat 26 di atas. Serta ayat berikut ini,
“Dan mereka berkata, ‘(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang
diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan
petang.’” (QS. Al-Furqân [25]: 5)
Ketakutan mereka atas pengaruh Al-Qur’an tersebut selanjutnya membuat
mereka bernegosiasi dengan Rasulullah saw. untuk mendatang Al-Qur’an yang lain,
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami dengan jelas, orang-orang
yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, ‘Datangkanlah kitab
selain Al-Qur'an ini atau gantilah.’ Katakanlah (Muhammad), ‘Tidaklah pantas
bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku hanya mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku. Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (Kiamat)
jika mendurhakai Tuhanku.’” (QS. Yûnus [10]: 15)
Kirannya, rangkaian dari ayat-ayat di atas telah membuktikan bahwa secara
maknawi i’jâz sudah ada sejak masa Rasululla saw. Pada perkembangan selanjutnya,
i’jâz al-Qur’ân ini polemik besar setelah kafir Quraisy benar-benar tidak dapat
menahan laju pengaruh Al-Qur’an. Namun, mereka tetap saja tidak berusaha
menghentikan pengaruh Al-Qur’an terhadap kaumnya. Mereka lantas melakukan
agitasi politik dan pencemaran nama baik terhadap Rasulullah saw. dengan
menganggapnya orang gila agar kaumnya terprovokasi menolak Al-Qur’an. Mereka
juga menyebut bahwa Al-Qur’an tidak lain hanyalah buku dongeng dan cerita-cerita
fiktif. Seperti yang dijelaskan Al-Qur’an berikut ini,
“Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata,
‘Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki
niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah
dongeng orang-orang terdahulu.’” (QS. Al-Anfâl [8]: 31)
Kalau dilihat dari sejarahnya yang dipaparkan dalam ayat-ayat di atas, dapat
disimpulkan bahwa tantangan Al-Qur’an itu muncul lebih karena keangkuhan dan
kesombongan orang-orang kafir Quraisy untuk menerima wahyu Al-Qur’an. Inilah
yang kemudian memunculkan lahirnya ayat-ayat tantangan atau ayat-ayat tahaddi.
Menurut M. Nur Kholis Setiawan, ada 47 surah yang memuat ayat-ayat tahaddi.
Semuanya dalam kategori surah Makiyah kecuali 8 surah.11
C. Polemik tentang I’jâz Al-Qur’an
Polemik I’jâz Al-Qur’an ini berlangsung di kalangan ulama bahkan hingga sekarang.
Al-Baqilani menyebutkan bahwa banyak ulama dari berbagai disiplin ilmu melakukan
kajian tentang aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an.12
Menurut Ibn Qutaibah (w. 276
H) polemik itu mengemuka karena istilah i’jâz sendiri muncul belakangan. Dan,
semua polemik itu pada akhirnya berkutat di seputar dua aspek yakni definisi lafzhi
dan ma’nawi.13
Polemik ini terjadi sekitar abad ke-3 Hijriah, yang mana ulama satu
dengan yang lain saling mempertahankan ideologi dan keyakinan mereka. Sebab,
permasalahan ini menyangkut persoalan kenabian dan lain-lain—tidak sekadar i’jâz.
Di antara ulama yang membahas secara serius mengenai i’jaz adalah Ibn
Qutaibah dengna karyanya “Ta’wil Musykil al-Qur’an”, Abu al-Hasan al-Asy’ari
dengan karyanya, “Maqalat al-Islamiyin”, Al-Jahidz dengan karyanya “Hujâj An-
Nubuwwah”, dan Abu Al-Hasan Al-Khayath dengan karyanya “Al-Intishâr”. Ulama
tafsir banyak juga yang mengkaji i’jâz, seperti Ath-Thabari dalam “Jâmi’ Al-Bayân,
dan Abu ‘Ubaidah dalam “Majâz al-Qur’ân”. Sedangkan dari kalangan ahli bahasa
seperti Al-Farra’ (w.207 H), Abu ‘Ubaidah (w. 210 H), Al-Ahfasy (w.215 H), Az-
Zujaj (w. 311H), Abu Ja’far An-Nuhhas (w. 338), dan lainnya.
Polemik tentang i’jâz al-Qur’ân ini paling keras terjadi di kalangan
Mutakallimin. Terutama, dari kalangan Mu’tazilah. Seperti, Al-Ja’d bin Dirham yang
sangat keras melakukan provokasi terhadap pendapatnya. Bahkan, secara terbuka al-
Ja’d bi Dirham mengingkari Al-Qur’an dan menolak beberapa kandungannya.14
Menurutnya, keindahan sastrawi dalam Al-Qur’an sesungguhnya bukanlah i’jâz
karena sebenarnya manusia mampu membuat yang semisal itu, bahkan lebih indah
11
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005) hal.
99 12
Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.) Hal. 4-5. 13
Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: t.p. 1326 H) Hal. 10. 14
Tercatat ada beberapa bagian dari al-Qur’an yang ditolak al-Ja’d bin Dirham, seperti ayat tentang
percakapan antara Allah dengan Nabi Musa. Beberapa pengikutnya bahkan menolak secara berlebihan,
seperti pengikut Abd al-Karim bin ‘Ajrad pada akhir tahun 100 H an, mengatakan bahwa surat Yusuf
bukan lah termasuk al-Qur’an, karena itu hanyalah cerita (qishshah) belaka. Bahkan pengikut al-
Rafidhah beranggapan bahwa al-Qur’an sudah tidak orisinil lagi, karena al-Qur’an sudah terjadi
perubahan dengan penambahan dan pengurangan di sana sini. Demikian pula yang terjadi dengan
sunah telah terjadi perubahan-perubahan. Semua pemahaman tersebut bersumber dari tokoh
Mu’tazilah, Hisyam bin al-Hakam. Lihat catatan kaki Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-
Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt), hal. 143
dari Al-Qur’an sendiri. Menurut Abu Ishaq Ibrahim An-Nazhzham, seorang pengikut
paham Mu’tazilah, i’jâz al-Qur’ân sebenarnya bukan faktor internal Al-Qur’an,
melainkan faktor eksternal Al-Qur’an. Artinya, kehendak Allah swt. untuk membuat
orang-orang kafir lemah dan tidak berdaya membuat yang semisal Al-Qur’an, itulah
yang sesungguhnya mukjizat. Ini yang kemudian diistilahkan ulama dengan ash-
sharfah yakni Allah swt. menghilangkan dan mencabut pengetahuan manusia
sehingga tidak mampu membuat yang semisal Al-Qur’an. Meskipun mereka itu ahli
bahasa dan sastra, tetap tidak akan bisa.15
Konsep ash-sharfah, seperti yang dipahami pengikut Mu’tazilah,
sesungguhnya sangat tidak berdasar dan tidak rasional. Sebab, dalam i’jâz ada unsur
tantangan (tahaddi) yang tentunya menuntut adanya kemampuan manusia (al-qudrah
al-basyariyyah) untuk melakukan perlawanan (al-mu’âradhah). Logikanya, ketika
Al-Qur’an menantang manusia untuk membuat yang semisalnya, ia benar-benar
menuntut manusia untuk melakukan itu. Hanya saja, mereka tidak mampu melakukan
perlawanan dengan membuat semisal Al-Qur’an. Berikut ini ayat-ayat yang
menjelaskan hal tersebut:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.’” (QS. Al-Isrâ’ [17]:
88)
“Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-
buatnya? Katakanlah, ‘Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-
Qur'an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya)
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Yûnus [10]: 38)
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an
itu.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya
(Al-Qur'an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’” (QS. Hûd [11]: 13)
15
Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah, (Kairo: Al-Maktabah
At-Taufiqiyyah, t.th.) hal. 144.
“Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur'an) jika mereka
orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thûr [52]: 34)
“Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah
kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi
orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 24)
Ayat-ayat di atas, semuanya berisi tentang tantangan Allah swt. pada orang-
orang kafir untuk mendatangkan yang semisal Al-Qur’an jika mereka menganggapnya
ucapan manusia. Dan, ketidakmampuan manusia untuk membuat semisal Al-Qur’an
menunjukkan kebenaran bahwa Al-Qur’an adalah kalâmullâh, bukan “karya”
Rasulullah saw. Jika benar merupakan hasil karyanya, tentu dengan kemampuan
bahasa dan sastra yang dimilikinya, orang Arab bisa membuat bahkan bisa jadi lebih
indah dengan “karya” Rasulullah saw. sendiri. Tetapi, kenyataannya mereka tidak
mampu. Dengan demikian, sangat tidak rasional jika manusia tidak mampu membuat
semisal Al-Qur’an karena pengetahuan dan keterampilannya dicabut dan dihilangkan
oleh Allah (ash-sharfah).16
Sejak munculnya paham Mu’tazilah tentang Al-Qur’an pada awal abad ke-3
hijriah, diskursus i’jâz Al-Qur’an tersebut pada gilirannya melahirkan karya-karya
tulis yang secara spesifik membicarakan i’jâz al-Qur’ân. Al-Jahizh (w. 255 H)
menulis kitab Nazh Al-Qur’an, Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid Al-Wasithi (w.
306 H) dengan kitabnya i’jâz al-Qur’ân, yang kemudian oleh Al-Jurjani kitab tersebut
disyarahi dengan nama “Al-Mu’tadhad”. Selanjutnya, Abu ‘Isa Ar-Rummani (w. 382
H), disusul Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (w. 403 H) menulis kitab I’jâz Al-
Qur’ân, sebuah kitab yang mengulas tentang i’jâz al-Qur’ân secara panjang lebar,
dan Abu Bakr Abdulqahir bin ‘Abdurrahman Al-Jurjani (w. 471 H) dengan kitabnya
Dalâ’il Al-I’jâz. Tokoh lain yang juga menulis tentang i’jâz al-Qur’ân adalah Abu
Sulaiman Hamd ibn Muhammad ibn Ibrahim Al-Khaththabi (w. 388 H), Fakhruddin
Ar-Razi (w. 606 H), Ibn Abi Al-Ishbi’ (w. 654 H) dan Az-Zamlakani (w. 727 H).
Sedangkan, karya tulis tentang i’jâz al-Qur’ân di masa modern, di antaranya
Mushtafa Shadiq Ar-Rafi’i dengan bukunya “I’jâz Al-Qur’ân wa Al-Balâghah An-
Nabawiyyah”, Muhammad Abu Zahrah menulis “Al-Qur’an Al-Mu’jizât Al-Kubrâ”,
16
Baca Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila al-Tsaurah, jil. IV. Hal. 184-189.
kemudian Muhammad Karim Al-Kawwaz dengan “Al-Uslub fi Al-I’jâz Al-Balâghi li
Al-Qur’ân Al-Karîm”, lalu ‘Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan “Al-I’jâz Al-
Bayâni li Al-Qur’ân al-Karîm, selanjutnya Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah
dengan bukunya “Al-Qur’ân Yatahadda”, dan Zaglul An-Najjâr dengan bukunya
“Qâdhiyyah Al-I’jâz Al-‘Ilmi”, dan masih banyak karya tulis lainnya.
D. Aspek-aspek I’jâz Al-Qur’ân
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar (al-mu’jizah al-kubrâ) bagi Nabi Muhammad
saw., sebagai bukti kebenaran risalahnya dan menunjukkan bahwa Al-Qur’an datang
dari Allah swt. Dalam koteks ini, aspek-aspek i’jâz al-Qur’ân merupakan alat bukti
terhadap kemukjizatan Al-Qur’an tersebut, sebab aspek-aspek i’jâz Al-Qur’ân adalah
semua yang terkandung dalam Al-Qur’an yang membuktikan kebenaran bahwa Al-
Qur’an itu datang dari Allah.17
Oleh karena itu, tidak ada kajian yang begitu intensif hingga menyibukkan
banyak ulama dari satu generasi ke genarasi berikutnya seperti kajiannya tentang
aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an tersebut.18
Namun para ulama berbeda pendapat tentang
aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an. Al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H), misalnya, berpendapat
bahwa aspek I’jaz Al-Qur’an ada empat, (1). Keindahan susunan, , (2) Bentuk
susunan dan gaya bahasa yang indah yang berbeda dengan lazimnya, (3) Memuat
informasi prediktif yang belum terjadi, (4) Memuat informasi yang jauh telah lalu
terjadi. Sementara Al-Qurthubi (w. 684), menyebutkan ada sepuluh aspek-aspek I’jaz
Al-Qur’an dengan menambahkan aspek: (1) terpenuhinya janji-janji yang disebutkan
Al-Qur’an, (2) memuat informasi ilmu pengetahuan syariah dan lainya. (3) memuat
hikmah-hikmah yang agung, (4) adanya kesesuaian (tanasub) kandungan isi Al-
Qur’an, baik secara eksplisit maupun implisit, (5) memuat informasi hal-hal yang
bersifat metafisik.
Sementara itu, aspek I’jaz Al-Qur’an dalam pandangan sarjana modern
dikatagorikan dalam enam, yaitu: (1) Al-Qur’an adalah teks sastra yang tinggi, (2)
I’jaz dalam aspek nagham Al-Qur’an, (3) kitab yang tak terkalahkan dan tidak
tertandingi oleh siapa pun, (4). Al-Qur’an memiliki nilai spiritual yang dapat
17
Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, (Bairut: Dar ash-Shadir, 2001). Hal.
126. 18
Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Muqaddimah Tafsir al-Tahrîr wa at-Tanwîr, (Tunis: Dar Sahnun,
1956) Hal. 78.
memberikan sentuhan jiwa kepada manusia, (5) I’jaz Al-Qur’an dari sisi jumlah
kalimat dalam Al-Qur’an.19
Jika dianalisis pendapat tentang aspek-aspek I’jaz Al-Qur’an maka dapat
disimpulkan dalam dua hal: 20
1. I’jaz Al-Qur’an yang berkaitan dengan manhaj bayani, yakni i’jaz yang
berkaitan dengan keindahan bahasa dan sastra, serta makna dan kandungan
Al-Qur’an.
2. I’jaz Al-Qur’an yang berkaitan dengan informasi tentang sejarah dan
informasi yang bersifat prediktif, maupun ilmu pengetahuan yang bersifat
saintifik maupun lainnya.
Berbeda halnya dengan Imam Al-Qurthubi yang menyebutkan bahwa aspek
kemukjizatan Al-Qur’an ada 10 yaitu:
1. Nazhm Al-Badî’ atau susunan bahasa yang indah dan berbeda dengan
susunan umum yang digunakan masyarakat Arab ketika itu.
2. Al-Uslûb atau diksi yang digunakan berbeda dengan diksi-diksi dalam
bahasa Arab.
3. Al-Jazâlah atau al-fashâhah.
4. At-Tasharruf fi lisân al-‘arab.
5. Kabar tentang penciptaan dunia.
6. Al-wafâ’ bi al-wa’di.
7. Mengabarkan perihal gaib.
8. Memuat berbagai ilmu yang dibutuhkan makhluk.
9. Hukum-hukum yang detail dan komprehensif yang tidak mungkin bisa
dibuat oleh manusia.
10. At-Tanâsub.21
E. Penutup
Jika ada kesalahan dalam makalah ini mohon dimaklumi dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Jika ada kelebihannya, itu semua tidak lain datangnya
dari Allah swt. Terakhir, semoga guru kita dan keluarganya yang mengajarkan ilmu
19
Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, hal. 166-170. 20
Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, hal. 126-128. 21
Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, hal. 75.
ini (Dr. Ahmad Fathoni) mendapatkan barakah dalam hidupnya, di dunia dan akhirat
serta mendapat ridha dari Allah swt. Amin.
F. Daftar Pustaka
Muhammad ibn Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, (Riyadh: Dar
‘Alam Al-Kutub, 2003)
Abu Al-Husain Ahmad ibn Faris, Mu’jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th)
Al-Imam Al-Jauhari, Ash-Shihah fî ‘Ulûm Al-Lughah wa Funûnuha, (Beirut: Dar
al-Hadharah al-‘Arabiyyah, t.th)
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushtafa
al-Halabi, 1370 H)
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, (Tunisia: Dar Sahnun,
1997)
Badr al-Din Muhammad bin Abdillah Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Libanon: Dar Al-Ihya’ Al-Kutub, 1957)
Hasan Hanafi, Min al-‘Aqidah ila ats-Tsaurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, t.th)
Al-Baqilani, I’jâz Al-Qur’ân, (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, t.th.)
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2005)
Ibn Qutaibah, Ta’wîl Musykil al-Qur’ân, (Kairo: t.p. 1326 H)
Mushtafa Shadiq al-Rafi’i, I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah al-Nabawiyyah,
(Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt)
Ahmad ‘Izzuddin Abdullah Khalafallah, Al-Qur’an Yatahadda, (Bairut: Dar ash-
Shadir, 2001)
Muhammad al-Thahir bin ‘Asyur, Muqaddimah Tafsir al-Tahrîr wa at-Tanwîr,
(Tunis: Dar Sahnun, 1956)