uji pra klinik dan klinik

download uji pra klinik dan klinik

of 18

description

uji pra klinik dan uji klinik

Transcript of uji pra klinik dan klinik

18

BAB IPENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Dunia kedokteran dewasa ini dibanjiri oleh ratusan obat baru. Penelitian intensif oleh laboratorium universitas, lembaga pemerintah dan pabrik farmasi telah menghasilkan berbagai senyawa baru yang secara potensial mampunyai efek terapi. Zat-zat ini harus menjalani penelitian lebih lanjut untuk dinilai keamanan dan kemanjurannya. Sebelum suatu obat digunakan di klinik, obat tersebut harus melewati berbagai penelitian yang bertujuan untuk menjamin keamanan dari obat untuk penderita. (FKUI, 2009)

Langkah pertama dalam pengembangan obat baru adalah penemuan atau sintesis molekul yang potensial untuk menjadi obat baru. Secara hukum, keamanan dan khasiat obat-obat harus dirumuskan terlebih dahulu sebelum obat-obat tersebut dapat dipasarkan.Lagi pula, terhadap kajian-kajian in vitro, sebagian besar efek-efek biologis dan molekul tersebut harus dikarakterisasi pada binatang sebelum pengujian obat pada manusia dapat dimulai. Uji coba pada manusia harus berlangsung dalam tiga fase konvensional sebelum obat dapat dipertimbangkan untuk mendapat persetujuan supaya dapat digunakan untuk umum. Fase keempat dari pengumpulan data mengikuti kemudian setelah diperoleh persetujuan penggunaannya untuk umum. (Katzung, 2001)I.2. MANFAAT

Tujuan umum

Mengetahui tentang proses dan pengujian yang diperlukan untuk membawa suatu obat baru ke pasar.Tujuan khusus

a. Mengetahui tentang tujuan dari uji praklinik dan uji klinikb. Mengetahui tentang penelitian yang dilakukan pada uji praklinikc. Mengetahui tentang fase-fase penetapan obat baru pada uji klinikI.3. TUJUAN

Menambah wawasan dan keilmuan untuk penulis serta membantu pembaca khususnya teman-teman mahasiswa fakultas kedokteran lainnya untuk memahami tentang proses dan pengujian yang diperlukan untuk membawa suatu obat baru ke pasar.

.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1.PENGERTIANAda beberapa tata cara untuk dapat mengembangkan obat-obatan baru ke dunia, yaitu dengan cara uji praklinis (preclinical test) dan uji klinis (clinical trial). Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat.Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.Uji klinik merupakan penelitian dengan rancangan eksperimental terhadap manusia untuk membandingkan efek akibat intervensi antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. (Budiarto, 2004)Bagaimana proses pengembangan obat baru dan pemeriksaan apa saja yang harus dilalui oleh suatu zat yang potensial mempunyai efek terapi sebelum dapat dipakai di klinik untuk pengobatan? Semua pemeriksaan yang dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui kemanjuran dan keamanan zat yang diduga mempunyai efek terapi. Pemeriksaan ini dibagi menjadi 2 tahap, yaitu :

1. Uji praklinis

2. Uji klinis II.2.UJI PRAKLINIK (PRECLINICAL TEST)Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah maupun pada hewan (uji praklinik). Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa yang lolos penyaringan ini akan diteliti lebih lanjut.Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik dan efek toksiknya pada hewan coba. Dalam studi farmakokinetik ini tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologik. Semuanya ini diperlukan untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil risiko penelitian pada manusia. (FKUI, 2005)Pengujian pada binatang ini meliputi sebagai berikut (Rahardjo, 2009) :1. Penelitian toksikologi umum, meliputi :a. Penelitian toksisitas akutb. Penelitian toksisitas subakut

c. Penelitian toksisitas kronis

2. Penelitian toksikologi khusus, meliputi :

a. Penelitian efek pada organ reproduksi atau efek teratogenikb. Penelitian efek karsinogenikc. Penelitian efek mutagenik

d. Penelitian efek adiksi

3. Penelitian efek farmakodinamik

4. Penelitian efek farmakokinetik

5. Penelitian teknik farmaseutik

Penelitian Toksikologi UmumAgar penelitian pada manusia dapat dilakukan dengan aman, perlu berpedoman pada data yang lengkap dan terpecaya dari percobaan pada binatang. Penelitian toksikologi umum ini dilakukan pada beberapa spesies binatang, seperti mencit, tikus putih, anjing monyet dan babi.Walaupun data toksisitas pada binatang percobaan yang normal tidak dapat langsung disamakan dengan manusia yang menderita suatu penyakit, data pada binatang percobaan ini mempunyai arti dan nilai yang sangat penting dalam penentuan dan perbandingan keamanan pemakaian obat pada manusia. Untuk penelitian toksisitas akut, biasanya digunakan dosis tunggal dan binatang percobaan yang dibagi atas beberapa kelompok (biasanya 4-6 kelompok). Kelompok satu dengan lainnya diberi dosis tunggal bertingkat secara logaritma (misalnya kelompok I dengan dosis 0,1 mg; kelompok II 1 mg; kelompok III 10 mg per kg berat badan; dst), sedangkan tiap individu dalam satu kelompok diberi dosis yang sama. Tingkatan dosis dalam logaritma ini lebih menguntungkan daripada tingkatan dosis biasa karena dapat dicakup dosis yang terkecil dan dosis yang terbesar yang memberikan efek pada satu kali percobaan dan dapat digambarkan dalam satu grafik.Setiap binatang dikategorikan atas ada atau tidak ada efek, sedangkan efek yang lain tidak diambil (all or none respone) sehingga tidak ada variasi efek dan efek-efek tersebut dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya, obat stimulansia yang diukur hanya efek kejang saja (efek tremor tidak diambil) atau efek mati atau tidak mati saja. All or none respone ini dinamakan juga sebagai quantal effect (efek yang bisa diukur) yang dapat berupa efek terapi atau efek toksik. Bila populasi yang diambil homogen (spesies, umur, berat badan, keturunan dan sebagainya sama), efek kuantal ini akan terbentuk kurva frekuensi respons yang sama bentuknya dengan kurva distribusi normal (gambar 1.A).Dalam praktiknya, hubungan antara peningkatan dosis dengan jumlah kumulatif binatang percobaan atau individu-individu yang memberikan respons umumnya digambarkan dalam grafik berbentuk S (sigmoid), seperti terlihat pada gambar 1.B.Homogenisitas populasi yang digunakan dalam satu penelitian dapat dilihat dari lebar atau sempitnya kurva distribusi normal (makin sempit kurva, makin homogen populasi tersebut); atau dari curam (slope) atau tidaknya grafik respons dosis kuantal (makin curam kurva, makin homogen populasi yang digunakan) (Budiarto, 2004).Gambar 1. Kurva hubungan antara dosis dengan efek obat. A = kurva distribusi normal. B = variabel hubungan dosis intensitas efek obat. C = kurva kuantal dosis efek. DFK = distribusi frekuensi kumulatif (sigmoid). DF = distribusi frekuensi (normal).

a. Penelitian toksisitas akutUntuk menyatakan toksisitas akut suatu obat, umumnya dipakai ukuran LD50 (dosis letal median 50), yaitu suatu dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok binatang percobaan. Demikian juga sebagai ukuran dosis efektif (dosis terapi), ukuran yang umumnya digunakan ialah ED50 (dosis efektif median), yaitu dosis yang memberikan efek penentu pada 50% dari sekelompok binatang percobaan.LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok binatang percobaan. Setiap binatang diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu tertentu (misalnya 24 jam) sebagian binatang percobaan ada yang mati dan presentase ini diterangkan dalam grafik yang menyatakan hubungan dosis (pada basis) dan presentase binatang yang mati (pada ordinat), seperti terlihat pada gambar 1. Dari grafik ini dapat ditentukan besarnya dosis yang dapat mematikan 50% dari sekelompok binatang percobaan dan ukuran dosis ini disebut sebagai lethal dose 50 (LD50).

LD50 secara statistik menyatakan bahwa dosis ini akan membunuh binatang-binatang dengan sensitivitas yang rata-rata hampir sama. LD50 merupakan hasil dari suatu pengujian (assay) dan bukanlah pengukuran kuantitatif. LD50 bukanlah merupakan nilai mutlak dan akan bervariasi dari satu laboratorium ke laboratorium lain dan pada laboratorium yang sama akan berbeda hasilnya setiap kali dilakukan percobaan. Oleh karena itu, kondisi-kondisi pada percobaan pengujian harus dicatat, demikian pula spesies dan strain binatang yang digunakan harus sama pada setiap kali dilakukan percobaan. Demikian pula, cara pemberian, konsentrasi zat penambah untuk melarutkan obat atau untuk membuat bentuk suspensi atau bubuk dan besarnya volume yang diberikan harus seteliti mungkin dan dicatat. Diet, suhu lingkungan dan variabel lain tidak selalu dapat dikontrol dengan baik. Oleh karena itu, suatu standar yang berhubungan dengan pemberian obat ini harus diteliti sebagai pembanding.Penelitian toksisitas akut harus dilakukan pada beberapa spesies yang berbeda-beda, paling sedikit 2 jenis roden dan 1 jenis non-roden. Di amerika untuk penelitian toksisitas harus digunakan 4 spesies termasuk non-roden.Dengan cara yang sama dengan pemeriksaan toksisitas akut, ditentukan pula besarnya dosis yang dapat memberikan suatu efek tertentu (misalknya efek kejang saja, efek tremor tidak diambil) dengan patokan ada atau tidak ada efek (all or non effect) sehingga dapat pula ditentukan besarnya ED50.

Bila digambarkan grafik dosis efektif dan dosis letal dalam satu grafik (gambar 1.C) dapat ditentukan jarak antara titik ED50 dengan LD50 yang merupakan batas-batas dosis yang dapat diberikan dengan efek yang dikehendaki tanpa menimbulkan efek toksis. Variasi dosis ini dinamakan batas dosis yang aman (margin of safety) suatu obat.

Perbandingan antara LD50 dan ED50, seperti terlihat dalam gambar 1.C disebut sebagai indeks terapeutik.ED50 dan LD50 paling banyak digunakan sebagai ukuran dosis efektif dan dosis toksis karena dapat ditentukan secara lebih tepat dan paling sedikit variasinya dibanding dengan ukuran-ukuran lain, seperti ED99, LD99 dan lain-lain (gambaran grafiknya akan lebih mendatar, sedangkan ED50 dan LD50 merupakan titik pada garis yang paling menanjak).Konsep hubungan toksisitas dengan keefektifan obat ini penting dalam klinis, yaitu dapat digunakan sebagai pedoman seberapa besar dosis dapat diberikan tanpa menimbulkan efek toksis. Bagi klinikus, penting untuk diketahui besar dosis yang dapat diberikan tanpa memberikan efek samping.b. Penelitian toksisitas subakutPenelitian toksisitas subakut umumnya dilakukan selama 14-21 hari, bertujuan untuk memperluas uji toksisitas dengan menentukan :

1. Dosis toksik minimal dan dosis maksimal yang dapat ditoleransi

2. Kemungkinan adanya toleransi dan akumulasi

Dosis toksis minimal ialah dosis terkecil yang masih memberikan efek terapi. Dosis maksimal ialah dosis terbesar yang tidak menimbulkan gejala toksis. Cara pemberian obat dan besarnya dosis yang diberikan bergantung pada kebutuhan uji klinik. Umumnya, obat-obat diberikan secara oral dengan dosis bertingkat dengan variasi yang diduga efektif pada manusia dan sebagian lagi dengan variasi dosis sekitar dosis toksik. Binatang percobaan diteliti dan diobservasi dengan ketat dan dilakukan berbagai pemeriksaan laboratorium terhadap darah dan urine, termasuk pemeriksaan histology dan patologi anatomi.

c. Penelitian toksisitas kronisPeneliitian toksisitas kronis dikerjakan dalam jangka waktu yang lama, dapat sampai beberapa bulan. Penelitian ini umumnya dilakukan pada 2 jenis spesies binatang, masing-masing minimal selama 90 hari, dengan menggunakan sedikitnya 3 tingkatan dosis; satu diantaranya untuk menentukan level (tingkatan) dosis terkecil yang memberikan efek toksis. Penggunaan binatang lebih dari satu spesies dimaksudkan unuk dapat meliputi semua reaksi atau efek samping yang tidak terlihat pada satu spesies, mungkin terlihat pada spesies lain. Binatang yang digunakan ialah binatang dalam masa pertumbuhan, yaitu untuk melihat perubahan berat badan yang dapat dibandingkan dengan kelompok control. Semua perubahan yang terjadi pada binatang diobservasi dan dicatat, termasuk perubahan tingkah laku. Secara periodic, binatang dimatikan untuk melihat perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada organ-organ tubuh dengan pemeriksaan histopatologik. Di Amerika Serikat, percobaan toksisitas kronis harus dilanjutkan sampai 1 tahun dan uji klinik fase I sudah boleh dikerjakan apabila percobaan toksisitas kronis sudah berjalan selama 3 bulan.Penelitian toksikologi khususSebelum calon obat digunakan dalam klinik, obat tersebut juga harus mengalami penelitian-penelitian toksisitas khusus, yaitu penelitian efek teratogenik, mutagenik dan adiksi.a. Penelitian efek teratogenik

Untuk keamanan pemakaian obat pada wanita, khususnya wanita hamil, diperlukan penelitian-penelitian tentang pengaruh atau efek obat-obat terhadap organ reproduksi dan terhadap janin yang dikandungnya. Obat-obat tertentu yang diberikan pada ibu-ibu hamil khususnya pada kehamilan trisemester pertama dapat memengaruhih perkembangan janin sehingga dapat terjadi kelainan kongenital (cacat bawaan). Untuk penelitian ini, diperlukan beberapa spesies binatang, sebab suatu obat dapat menimbulkan kelainan kongenital pada suatu spesies, sedangkan pada spesies lain tidak. Pada penelitian ini, binatang betina diberi obat secara terus-menerus, mulai sejak sebelum dikawinkan sampai hamil dan melahirkan. Secara periodik, binatang-binatang ini dimatikan untuk melakukan pemeriksaan histologi pada janin, untuk melihat perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada organ-organ janin yang sedang dalam perkembangan.

Dengan adanya peristiwa yang menggemparkan di tahun 1960-an, saat pemakaian talidomid yang disangka aman sebagai obat penenang pada wanita hamil muda ternyata telah menimbulkan beratus-ratus bayi lahir dengan cacat bawaan (phocomelia). Oleh karena itu, pemberian obat pada wanita hamil, terutama pada trisemester pertama kehamilan tidak dianjurkan, kecuali pada keadaan-keadaan yang sangat memerlukan dan hanya diberikan obat-obat yang telah diketahui aman untuk janin.b. Penelitian efek karsinogenikKarsinogenik ialah induksi sifat-sifat keganasan pada sel-sel tubuh. Untuk ini belum ditemukan teknik pemeriksaan khusus. Dan untuk efek karsinogenik ini hanya dapat dilakukan pencegahan dengan menghindarkan pemakaian obat-obat yang diduga atau yang telah dilaporkan dapat menimbulkan efek karsinogenik.c. Penelitian efek mutagenikMutagenik adalah perubahan-perubahan dalam materi genetik pada hewan pada berbagai usia yang merupakan suatu induksi abnormalitas yang diturunkan. Penelitian ini terutama dilakukan untuk obat-obat yang akan digunakan dalam waktu lama dan pada obat-obat yang diketahui ada hubungannya dengan zat-zat yang dapat memberikan efek mutagenik.

d. Penelitian efek adiksiEfek adiksi digunakan untuk obat-obat yang dapat memengaruhi SSP. Untuk ini, obat diberikan dalam dosis yang makin ditingkatkan dan ditentukan juga kemungkinan gejala-gejala yang timbul bila pemberian obat dihentikan secara mendadak.

Penelitian efek farmakodinamik

Penelitian efek farmakodinamik ialah penelitian mengenai aktivitas obat terhadap berbagai fungsi organ tubuh. Dengan penelitian ini, dapat diperkirakan efek terapinya dan bila mungkin dapat diketahui dan dimengerti mekanisme kerjanya. Biasanya dilakukan juga pemelitian farmakologi-biokimia sehingga dapat diketahui efek obat pada tingkat sel dan tingkat molekul.

Penelitian efek farmakokinetik

Penelitian farmakokinetik adalah penelitian mengenai absorpsi, distribusi, metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi obat, dengan jalan mengukur kadar obat dalam darah, jaringan atau cairan tubuh dan urine.

Penelitian teknik farmaseutikPenelitian teknik farmaseutik ialah penelitian mengenai bentuk sediaan, yaitu penelitian pendahuluan tentang sifat-sifat kimia, fisika dan bentuk sediaan obat yang akan diberikan, kestabilan obat dalam tablet, kapsul atau larutan dan sebagainya bergantung pada cara pemakaian yang diinginkan. Penilaian yang dilakukan untuk setiap bentuk sediaan adalah proses pembuatan dan kestabilan bentuk sediaan (Rahardjo, 2009).II.3. UJI KLINIK

Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat.Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan benar. Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari pracondong atau bias pemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan alami penyakit itu sendiri. Di samping itu, uji klinik harus dapat memberikan jawaban yang benar (valid) mengenai manfaat klinik intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat harus terbukti bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harus terbukti tidak bermanfaat.Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat, pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara ketat. Prinsip-prinsip metodologi uji klinik harus diterapkan pada fase III, yaitu fase definitif. Uji klinik fase I dan II dimaksudkan sebagai langkah persiapan untuk uji klinik fase III ini. Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai IV yang akan dijabarkan dibawah ini, yaitu :

1. Fase I. Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan pada pasien karena alasan etik.Tujuan pertama fase ini ialah menentukan besarnya dosis maksimal yang dapat ditoleransi (maximally tolerated dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat diterima. Dosis oral yang diberikan pertama kali pada manusia 1/50-1/60 x dosis minimal yang menimbulkan efek pada spesies hewan yang paling sensitif. Tergantung dari data yang diperoleh pada hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan dua sampai dicapai MTD. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan hematologi, faal hati, faal ginjal, urin rutin dan jika perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik.Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji serupa pada hewan coba sehingga diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses farmakokinetik seperti pada manusia. Jika spesies ini dapat ditemukan, maka penelitian toksisitas jangka panjang dilakukan pada hewan tersebut.Uji klinik fase I ini dilaksanakan secara terbuka, artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil subyek dengan pengamatan intensif oleh dokter ahli farmakologi klinik dan dikerjakan di tempat yang memiliki sarana klinik dan laboratoris yang lengkap, termasuk sarana untuk mengatasi keadaan darurat. Total jumlah subyek pada fase ini bervariasi antara 20-50 orang.2. Fase II. Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada pasien yang kelak akan diobati dengan obat ini. Tujuannya ialah melihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Fase II ini dilaksanakan oleh dokter ahli farmakologi klinik dan dokter ahli klinik dalam bidang yang bersangkutan. Mereka harus ikut berperan dalam membuat protokol penelitian yang harus diikuti dengan ketat. Seleksi pasien harus ketet tidak ada penyakit penyerta dan tidak mendapat terapi lain dan setiap pasien harus dimonitor dengan intensif.Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.

Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi, perlu dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan plasebo atau jika penggunaan plasebo tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II akhir atau fase III awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi pasien dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi pasien harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding, acak, tersamar ganda.Pada fase II ini tercakup juga studi kisaran dosis (dose-ranging study) untuk menetapkan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya dan pemelitian lebih lanjut mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya. Jumlah subyek yang mendapat obat baru pada fase ini antara 100-200 pasien.Gambar 2. Pengembangan dan proses pengujian yang diperlukan untuk membawa suatu obat ke pasar.3. Fase III. Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan efikasi terapi dari obat baru (sama dengan penelitian pada akhir fase II) dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan obat standar. Uji klinik ini sekaligus akan menjawab pertanyaan mengenai :a. Efeknya jika digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang kurang ahlib. Efek samping lain yang belum terlihat pada fase IIc. Dampak penggunaannya pada pasien yang tidak diseleksi secara ketat.Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar pasien yang tidak terseleksi ketat (ada penyakit penyerta dan/atau mendapat terapi lain) dan dikerjakan oleh peneliti klinik yang tidak terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenernya dalam penggunaan sehari-hari di masyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan dilakukan dengan plasebo, obat yang sama tetapi dosis berbeda, obat standar dengan dosis ekuiefektif atu obat lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan tersamar ganda.Jika hasil uji klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diberikan ijin pemasaran. Jumlah pasien yang diikutsertakan pada fase III ini paling sedikit 500 orang.4. Fase IV. Fase ini sering disebut post-marketing drug surveillance karena merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektivitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei ini tidak terikat pada protokol penelitian; tidak ada ketentuan tentang pemilihan pasien, besarnya dosis dan lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan pasien makan obat merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan survei epidemiologik menyangkut efek samping maupun efektivitas obat. Pada fase IV ini dapat diamati :a. Efek samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya.b. Efektivitasnya obat pada pasien berpenyakit berat atau ganda, pasien anak atau usia lanjut atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang.c. Masalah penggunaan berlebihan, penggunaan yang salah (missue), penyalahgunaan (abuse) dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga berupa uji klinik yang menggunakan protokol dengan kriteria seleksi pasien. Tujuannya :a. Sebagai uji klinik tambahan mirip uji klinik pada fase III untuk melengkapi data sebelum pemasaran yang tidak cukup akibat registrasi jalur cepat.b. Uji klinik pada populasi pasien yang belum cukup diteliti pada fase sebelum pemasaran, misalnya pasien anak, usia lanjutc. Uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas, yang dilakukan dengan/tanpa kelompok pembanding. Data dari fase IV ini menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi (FKUI, 2009).BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN

III.1.KESIMPULAN

Obat-obat baru sebelum dipasarkan akan mengalami beberapa proses yaitu uji praklinik dan uji klinik. Uji praklinik akan dilakukan pada organ terpisah maupun hewan untuk mengetahui meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik dan efek toksiknya.Uji klinik dilakukan setelah uji praklinik lolos yang kemudian diberikan pada manusia yang bertujuan untuk untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan benar. Uji klinik didasari oleh 4 fase untuk meloloskan obat tersebut ke pasar.III.2. SARANBanyaklah membaca buku agar wawasan kita semakin banyak dam dapat menciptakan sesuatu hal yang baru.DAFTAR PUSTAKA

1. Eko, Budiarto. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. EGC : Jakarta.2. Gunawan, Sulistiana Gan. 2009. Farmakologi dan Terapi ed. 5. FKUI : Jakarta3. Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik ed.1. EGC : Jakarta.4. Rahardjo, Rio. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi ed. 2 Fakultas Kedokteran UNSRI. EGC : Jakarta .