UJI HISTOPATOLOGI USUS IKAN KOI (Cyprinus carpio L) YANG...
Transcript of UJI HISTOPATOLOGI USUS IKAN KOI (Cyprinus carpio L) YANG...
UJI HISTOPATOLOGI USUS IKAN KOI (Cyprinus carpio L) YANG TERINFEKSI KHV (Koi Herpes Virus) DI WILAYAH BLITAR
SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Oleh:
QORI FAROZEKIAH NIM. 135080507111011
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
UJI HISTOPATOLOGI USUS IKAN KOI (Cyprinus carpio L) YANG TERINFEKSI KHV (Koi Herpes Virus) DI WILAYAH BLITAR
SKRIPSI PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan Di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
QORI FAROZEKIAH NIM. 135080507111011
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2017
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam penyelesaian Skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan yang baik ini
perkenankan penulis untuk mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. Ir. Maftuch, M.Si selaku dosen pembimbing 1 yang telah memberi dorongan,
motivasi, bimbingan, serta arahan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan
hasil penelitian.
2. Ir. Ellana Sanoesi, MP selaku dosen pembimbing 2 yang telah memberikan
motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan
hasil penelitian.
3. Ir. M. Rasyid Fadholi, MP dan Ating Yuniarti, S.Pi, M.Aq selaku dosen penguji
yang telah memberikan masukan dan bimbingan untuk menyelesaikan laporan
hasil penelitian.
4. Prof. Dr. Ir. Diana Arfiati, MS selaku Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Brawijaya.
5. Ibu Dr. Ir. Arning Wilujeng Ekawati, MS selaku Ketua Jurusan Manajemen
Sumberdaya Perairan yang telah memberi dorongan, bimbingan, arahan
kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi ini.
6. Dr. Ir. M. Fadjar, M.Sc selaku ketua program studi Budidaya Perairan yang telah
membantu dalam hal administrasi dan pengarahan dalam melakukan penelitian
serta pemberian semangat juang untuk meraih cita-cita masa depan.
7. Kedua orang tua dan adik saya serta keluarga tercinta yang selalu memberikan
doa, cinta dan kasih sayang, serta kerja kerasnya yang menjadikan sebuah
motivasi.
8. Fendi Agus Winata yang selalu ada untuk memberikan dorongan dan motivasi
penulis dalam menyelesaikan laporan hasil penelitian.
9. Putri Lailus Sa’idah, Candra Adi Nugroho, Radela Rehanara, Damang Prasetya
teman satu tim dalam melaksanakan penelitian dan yang senantiasa
bekerjasama dalam menyelesaikan penelitian.
10. Teman-teman Program Studi Budidaya Perairan angkatan 2013 yang
membantu dalam proses administrasi agar dapat melaksanakan penelitian dan
memberikan motivasi sehingga laporan hasil penelitian ini selesai.
11. Putri Juwairiyah, Yessy Maria Soedibyo, Lisa Fauziyah Rizky, Dea Kusuma
Putri, Nevy Fitriah selaku teman dan sahabat yang selalu ada dan memberikan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan laporan hasil penelitian.
Akhirnya penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan pahala
yang setimpal atas segala bantuan semua pihak yang telah ikhlas membantu penulis
dalam menyusun dan menyelesaikan laporan Skripsi ini. Amin.
Malang, 31 Juli 2017
Penulis
RINGKASAN
Qori Farozekiah. Uji Histopatologi Usus Ikan Koi (Cyprinus carpio L.) yang Terinfeksi KHV (Koi Herpes Virus) di Wilayah Blitar. Dr. Ir. Maftuch, M.Si. dan Ir. Ellana Sanoesi, MP.
Wabah KHV telah menyebabkan kerugian yang sangat besar pada industri akuakultur mengingat dua jenis ikan yang diserang merupakan komoditas utama ikan konsumsi dan ikan hias. Di Israel, penyakit ini telah menyebar ke 90% budidaya ikan mas di semua bagian negara. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, di mana penyebaran penyakit ini telah melintasi hampir semua daerah budidaya ikan mas baik di pulau Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lain.
Salah satu kendala yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan produksi perikanan adalah penyakit pada ikan antara lain oleh infeksi Koi Herpes Virus (KHV). Koi Herpes Virus (KHV) adalah penyakit virus yang menginfeksi ikan koi (Cyprinus carpio). Penyakit ini sering disebut sebagai penyakit herpes pada ikan. Penyakit ini diartikan sebagai salah satu penyakit ikan yang hanya menginfeksi dan dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Penyakit ini sangat menular dan dapat menyebabkan kematian hingga 85-100%. Penyakit KHV juga disebut a cold virus atau virus yang menyerang saat dingin karena pemicu sakit ini adalah penurunan suhu lingkungan.
Tujuan penelitian Uji Histopatologi pada usus ikan koi (Cyprinus Carpio L.) yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) adalah untuk mengetahui kerusakan yang muncul pada ikan koi (Cyprinus Carpio L.) akibat terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adala deskriptif. dengan teknik pengambilan data dengan observasi lapangan, wawancara, partisipasi langsung dari studi pustaka. Penelitian ini terdiri dari dua tahapan yaitu yang pertama tahapan pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengetahui positif tidaknya KHV dan yang kedua yaitu pengujian histopatologi usus ikan koi untuk mengetahui gambaran kerusakan pada jaringan usus.
Hasil uji PCR menunjukkan organ yang positif KHV tidak hanya pada insang tetapi juga pada usus. Sedangkan hasil uji histopatologi menunjukkan ada beberapa kerusakan jaringan usus yang disebabkan oleh KHV yaitu Nekrosis, Inflamasi, Degenerasi hidropik, dan Hemoragi. Hasil rerata sampel yang didapatkan dari skoring kerusakan organ usus ikan koi (Cyprinus carpio L.) yaitu nekrosis 2,53 ; Hemoragi 2,06 ; Degenerasi Hidropik 2,6 ; dan Inflamasi 2,53.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta
salam selalu dihantarkan kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat
menyajikan skripsi dengan judul “Uji Histopatologi Usus Ikan Koi (Cyprinus carpio)
yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) Di Wilayah Blitar”. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan program strata satu (S1), program studi
Budidaya Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya, Malang.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan untuk menambah
pengetahuan dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Malang, 28 April 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... x
1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Tujuan ............................................................................................... 3 1.4 Kegunan Penelitian ........................................................................... 3 1.5 Tempat dan Waktu ............................................................................ 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Biologi Ikan Koi (C. Carpio) ............................................................... 4
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Koi (C. Carpio) ........................ 5
2.1.2 Habitat dan Penyebaran ........................................................ 5
2.1.3 Makanan dan Kebiasaan Makan ........................................... 6
2.1.4 Kualitas Air ............................................................................ 7
2.2 Koi Herpesvirus (KHV) .................................................................... 7
2.2.1 Pengertian Koi Herpesvirus (KHV)............................................ 7
2.2.2 Mekanisme Penyerangan ......................................................... 8
2.2.3 Gejala Klinis Ikan yang Terinfeksi Koi Herpesvirus (KHV) ........ 9
2.3 Pengertian Polymerase Chain Reaction ........................................... 10
2.4 Pengertian Histologi dan Histopatologi ............................................. 11
2.5 Usus ................................................................................................ 11
2.5.1 Pengertian usus........................................................................ 11
2.5.2 Fungsi Usus ............................................................................. 12
2.5.3 Kerusakan Usus ....................................................................... 13
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ..................................................... 14
3.1 Materi Penelitian .............................................................................. 14
3.1.1 Alat Penelitian .......................................................................... 14
3.1.2 Bahan Penelitian ........................................................................... 15
3.2 Metode Penelitian .......................................................................... .. 16
3.3 Lokasi Pengambilan Sampel ............................................................ 17
3.4 Prosedur Penelitian .......................................................................... 17
3.4.1 Persiapan Penelitian ................................................................. 17
3.4.2 Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 17
3.5 Parameter Uji ................................................................................... 26
3.5.1 Parameter Utama ..................................................................... 25
3.5.2 Parameter Penunjang ............................................................... 28
3.6 Analisis Data .................................................................................... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 29
4.1 Uji Polymerase Chain Reaction pada Usus Ikan Koi ........................ 29
4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi Usus Ikan Koi ............................... 30
4.2.1 Gambaran usus Ikan Koi yang Terinfeksi KHV ......................... 30
4.2.2 Kerusakan Usus Ikan Koi yang Terinfeksi KHV ........................ 31
4.3 Gejala Klinis Ikan Koi yang Terinfeksi KHV ...................................... 33
4.4 Kualitas Air Pada Kolam Pemeliharaan ............................................ 36
4.4.1 Suhu ......................................................................................... 36
4.4.2 pH ............................................................................................ 37
4.4.3 Dissolved Oksigen .................................................................... 37
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 38
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 38
5.2 Saran ............................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39
LAMPIRAN ................................................................................................... 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Ikan Koi (C. Carpio L.) .................................................................... .. 5
2. Alur Perhitungan Skoring ............................................................... .. 27
3. Hasil UV Transiluminator virus KHV ............................................... .. 29
4. Gambaran Morfologi dan Jaringan Usus Ikan Normal dan Ikan yang
Mengalami Kerusakan dengan Perbesaran 400x ........................... .. 30
5. Gejala Klinis Ikan Koi (C. Carpio L.) yang Terinfeksi KHV .............. .. 35
DAFTAR TABEL
Tabel .. Halaman
1. Alat yang Digunakan pada Penelitian ................................................ 14
2. Bahan yang Digunakan pada Penelitian ............................................ 15
3. Bahan yang digunakan untuk Deteksi virus KHV ............................... 20
4. Primer yang digunakan dalam Proses Amplifikasi virus KHV ............ 20
5. Setting alat thermocycle untuk virus KHV .......................................... 21
6. Persentase nilai scoring .................................................................... 28
7. Skoring Kerusakan Usus Ikan Koi ..................................................... 31
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Alat dan Bahan yang Digunakan pada Penelitian ............................ 44
2. Ukuran Marker dari DNA Ladder Kapa Biosystem ........................... 50
3. Peta Lokasi Pengambilan Sampel di Kabupaten Blitar .................... 51
4. Perhitungan Rerata Lapang Pandang, Rerata Sampel, dan Persentase Kerusakan Organ ............................................................................ 53
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Bealakang
Ikan Koi merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang terkenal di
kalangan masyarakat pembudidaya. Komoditas ikan koi memiliki prospek usaha
yang dapat dikembangkan melalui kegiatan budidaya di kolam, namun dalam
budidaya sering ditemukan kendala-kendala yang dihadapi dan sulit untuk
dikendalikan serta munculnya berbagai penyakit (Saselah et. al., 2012).
Wabah KHV telah menyebabkan kerugian yang sangat besar pada industri
akuakultur mengingat dua jenis ikan yang diserang merupakan komoditas utama
ikan konsumsi dan ikan hias. Di Israel, penyakit ini telah menyebar ke 90%
budidaya ikan mas di semua bagian negara. Hal serupa juga terjadi di Indonesia,
di mana penyebaran penyakit ini telah melintasi hampir semua daerah budidaya
ikan mas baik di pulau Jawa, Sumatera, dan pulau-pulau lain (Novita, 2009).
Salah satu kendala yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan
produksi perikanan adalah penyakit pada ikan antara lain oleh infeksi Koi Herpes
Virus (KHV). Koi Herpes Virus (KHV) adalah penyakit virus yang menginfeksi
ikan koi (Cyprinus carpio). Penyakit ini sering disebut sebagai penyakit herpes
pada ikan. Penyakit ini diartikan sebagai salah satu penyakit ikan yang hanya
menginfeksi dan dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Penyakit ini
sangat menular dan dapat menyebabkan kematian hingga 85-100%. Penyakit
KHV juga disebut a cold virus atau virus yang menyerang saat dingin karena
pemicu sakit ini adalah penurunan suhu lingkungan (Taukhid, 2010).
Usus adalah organ utama penyerapan makanan dan penyerapan nutrisi.
Menurut Roberts (1978), sebagian besar usus ikan berbentuk tabung sederhana
yang tidak dapat bertambah diameternya untuk membentuk seperti kolon (usus
besar) di bagian belakangnya. Usus bisa lurus, melengkung, atau bergulung-
gulung sesuai bentuk dari rongga perut ikan. Lapisan mukosa usus tersusun oleh
selapis sel epitelium dengan bentuk perismatik.
Pada lapisan ini terdapat tonjolan-tonjolan membentuk seperti sarang
tawon pada usus bagian depan dan lebih beraturan pada bagian belakang.
Berbagai bakteri dan parasit yang ditemukan di usus memberikan lingkungan
yang sesuai dimana infeksi primer yang berasal dari usus jauh lebih sering dari
pada di bagian perut. Akibatnya terjadi perubahan pada bagian usus. Beberapa
perubahan yang sering ditemukan pada usus ikan antara lain yaitu nekrosa sel
epitel usus dan pendarahan (Susanto, 2008).
Pemeriksaan histopatologi pada ikan dapat memberikan gambaran
perubahan jaringan ikan yang terinfeksi penyakit. Dalam penentuan penyakit
pada ikan, diagnosa penyakit merupakan langkah awal yang perlu diterapkan.
Pada proses diagnosa penyakit infeksi pada ikan, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan yaitu, tanda-tanda klinis yang meliputi tingkah laku, ciri-ciri
eksternal maupun internal serta perubahan patologi. Untuk mengetahui
perubahan patologi pada ikan yang terserang penyakit, perlu dilakukan
pemeriksaan histologi untuk mendeteksi adanya komponen-komponen patogen
yang bersifat infektif melalui pengamatan secara mikro anatomi terhadap
perubahan abnormal pada tingkat jaringan (Asniatih et al., 2013).
1.2 Rumusan Masalah
Salah satu penyakit yang menginfeksi ikan koi (Cyprinus carpio L.) adalah
Koi Herpes VirusI (KHV). Penyakit ini merupakan penyakit yang menular dan
menyebabkan kematian pada semua umur dan ukuran ikan. Target infeksi Koi
Herpes Virus (KHV) ini pada permukaan kulit, insang, dan ginjal ikan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disusun rumusan masalah sebagai
berikut :
Apakah benar pada usus ikan koi (Cyprinus Carpio L.) terinfeksi Koi Herpes Virus
(KHV) yang ditandai dengan gejala klinis yang muncul pada ikan koi tersebut?
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian Uji Histopatologi pada usus ikan koi (Cyprinus Carpio L.)
yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) adalah untuk mengetahui kerusakan yang
muncul pada ikan koi (Cyprinus Carpio L.) akibat terinfeksi Koi Herpes Virus
(KHV) pada histopatologi usus.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pengujian PCR pada organ ikan koi yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) serta
gambaran histopatologi organ yang terinfeksi. Selain itu, diharapkam hasil
penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang penyakit dan kesehatan ikan.
1.5 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Histopatologi Balai Karantina
Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya I
pada bulan 3 April – 19 Mei 2017.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Koi
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Koi (Cyprinus carpio L.)
Menurut Bachtiar (2002), nenek moyang koi adalah ikan karper hitam,
sehingga secara sistematik koi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Superkelas : Gnathostomata
Kelas : Osteichthyes
Superordo : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus carpio L.
Menurut wibowo, et al. (2006), ciri-ciri khusus ikan koi (Gambar 1) adalah
tubuh koi berbentuk bulat lonjong memanjang dan agak sedikit pipih ke samping
(Compressed). Ada pula yang menyebut ikan ini mirip torpedo atau kapal selam
dan ada pula mengindentikkan seperti zepelin-pesawat berbahan gas (Gambar
1). Pada sisi badannya, dari ujung kepala hingga badan ekor memiliki gurat sisi
(linea lateralis) yang berfungsi untuk merasakan getaran suara. Tubuh terbagi
menjadi tiga bagian, yakni kepala, badan, dan ekor. Di bagian kepala terdapat
mulut yang ukurannya cukup besar terletak di ujung tengah (terminal). Pada
bagian mulut terdapat sepasang sungut. Dengan alat ini koi bisa mengenali
pakannya, bahkan mencari diantara tumpukan lumpur. Menurut Prasetya, et al.
(2013), ikan koi mempunyai badan yang berbentuk torpedo dengan alat gerak
berupa sirip.
Gambar 1. Ikan Koi (C. Carpio) (Udin dan Sitanggang, 2010)
Menurut Esther dan Sipayung (2010), secara umum, hampir seluruh tubuh
ikan karper ditutupi sisik dan hanya sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak
ditutupi sisik. Sisik ikan koi berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe
sisik sikloid berwarna hijau, biru, merah, kuning keemasan, atau kombinasi dari
warna-warna tersebut sesuai dengan rasnya. Koi jantan umumnya bertubuh
langsing, sedangkan betina membulat. Sampai umur 2 tahun, jantan tumbuh
lebih pesat dibandingkan betina. Namun setelah itu, betina tumbuh lebih pesat
dari pada jantan.
2.1.2 Habitat dan Penyebaran
Menurut Udin dan Sitanggang (2010), Koi aslinya merupakan ikan air
tawar, tetapi masih bertahan hidup dalam air yang agak asin, yakni sekitar 10
ppm. Koi merupakan hewan yang hidup di daerah yang beriklim sedang dengan
suhu 17-320 C. Seperti pada ikan hias umumnya, koi tidak tahan jika mengalami
perubahan suhu yang drastis. Jika hidup pada suhu yang terlalu rendah, dalam
tempo singkat koi tidak akan bertahan hidup. Jika tubuhnya diselimuti dengan
lapisan berwarna putih, itu menandakan ikan koi sakit akibat suhu yang terlalu
rendah. Jika air suhu turun hingga 70 C< biasanya koi akan beristirahat di dasar
kolam dan berlaku statis.
Menurut Alex (2011), ikan koi secara alami hidup di air deras sehingga
membutuhkan air jernih dan berkadar oksigen tinggi. Pemeliharaan ikan koi
terbaik adalah di kolam sehingga mudah mendapatkan makanan alami dan sinar
matahari yang terlalu banyak menyebabkan suhu air kolam meningkat dan air
kolam menjadi keruh akibat blooming fitoplankton.
Menurut Esther dan Sipayung (2010), koi memiliki nama latin Cyprinus
carpio dan memiliki kerabat dengan ikan mas. Konon, ikan mas merupakan
nenek moyang ikan koi. Bahkan, konon koi adalah hasil mutasi genetik yang
berlangsung ratusan tahun dari sejenis ikan mas atau karper (Cyprinus carpio).
Orang jepang menyebut ikan koi dengan sebutan Nishikigoi, berasal dari kata
“Nishiki” yang artinya kain berwarna-warni dan “Goi” yang artinya ikan karper
mempunyai usia yang panjang. Kata “Koi” sendiri berasal dari bahasa cina
karena orang cinalah yang pertama kali menternakkan ikan ini sejak tahun 1300
an. Orang jepang mendapatkan karper warna-warni pertama kali di Ojiya,
Niigata.
2.2 Makanan dan Kebiasaan Makan
Menurut Udin dan Sitanggang (2010), di alam bebas, saat masih kecil ikan
koi senang sekali memakan udang-udangan renik, seperti Dhapnia. Sejalan
dengan pertumbuhan badannya, koi memakan serangga air, jentik nyamuk, atau
lumut yang menempel pada tanaman. Sebagai hewan omnivora, koi akan
memburu sepotong makanan yang dibutuhkan. Karena tidak memiliki gigi di
bagian rahangnya, koi menyantap makanannya dengan gigi-gigi faring yang ada
di rongga mulut.
Koi memiliki kecenderungan makan secara terus-menerus, kadang-kadang
melebihi batas kemampuannya. Mengenal makanan, pada dasarnya ikan koi
tidak terlalu rewel dan cenderung mau makan apa saja yang kita berikan. Koi
mau menerima berbagai jenis makanan baik berasal dari hewan ataupun bahan
nabati (tumbuh-tumbuhan). Koi mau menerima daging, ikan dan sayur-sayuran.
Bahkan roti pun mau, asal tidak melebihi ukuran mulutnya dan tidak tidak terlalu
keras. Pemberian makanan buatan maupun makanan alami berpengaruh
terhadap pertumbuhan ikan koi dan juga pertumbuhan warna badannya (Esther
dan Sipayung, 2010).
2.3 Kualitas Air
Menurut Alex (2011), air merupakan media hidup dan mempengaruhi
kualitas tampilan ikan koi sehingga perlu mendapatkan perhatian. Meskipun koi
dapat hidup dan berkembang pada air yang berkualitas buruk tetapi akan rentan
terhadap serangan penyakit dan warna menjadi pudar dan tidak indah lagi. Untuk
menjaga kualitas koi yang tinggi dan sehat faktor pertama yang harus
diperhatikan adalah kualitas air kolam yang prima. Untuk mengoptimalkan
perkembangan dan meningkatkan kualitas koi, kualitas air harus tetap terjaga
dan tetap seperti itu seterusnya. Ini adalah konsep yang sulit untuk dicapai
sepenuhnya, karena air dalam kolam koi biasanya tidak berganti dan jika pada
air yang berganti harus dipastikan selalu bersih dan bebas dari zat-zat
berbahaya.
Faktor kualitas air juga memegang peranan penting dalam peningkatan
kecerahan warna ikan. Suhu perairan yang optimal bagi pertumbuhan koi
berkisar antara 15o – 25o C dengan pH berkisar antara 6,5 – 8,5. Kadar oksigen
yang menunjang pertumbuhan dan proses pemeliharaan ikan koi yaitu > 3 ppm.
Setiap jenis ikan mempunyai toleransi tetrtentu terhadap kulitas air dan
perubahan yang terjadi akan langsung mempengaruhi kehidupan ikan koi dan
organisme yang ada (Kartamihardja, 2008)
2.4 Koi Herpesvirus (KHV)
2.4.1 Pengertian Koi Herpesvirus (KHV)
Koi Herpesvirus (KHV) adalah penyakit virus yang menginfeksi ikan koi dan
ikan mas. Penyakit khv ini sering disebut sebagai penyakit herpes pada ikan.
Penyakit ini dapat diartikan sebagai salah satu penyakit ikan yang hanya
menginfeksi dan dapat menyebabkan kematian massal pada ikan koi dan ikan
mas. Penyakit ini sangat menular dan dapat menyebabkan kematian hingga
85 % – 100% pada semua umur atau ukuran ikan. Individu yang bertahan hidup
pada saat terjadinya wabah umumnya akan menjadi resistant terhadap infeksi
berikutnya. Namun ketahanan tersebut tidak menunjukkan adanya transfer
kepada keturunannya (Taukhid, 2010).
Koi Herpesvirus (KHV) merupakan penyakit viral yang menginfeksi ikan koi
dan ikan mas dan bersifat sangat menular. Penyakit ini dipicu oleh penurunan
suhu lingkungan sehingga disebut sebagai virus yang menginfeksi saat dingin (a
cold virus). Koi Herpesvirus dapat menginfeksi pada semua umur inang dan
semua sistem budidaya. Infeksi ini bisa menyebabkan kematian yang tinggi
mencapai 100% dalam waktu singkat (Nuryati, 2008).
2.4.2 Mekanisme Infeksi Koi Herpes Virus (KHV) terhadap Ikan Koi
Mekanisme penginfeksian KHV tahapan pertama terjadinya infeksi yaitu
dimana reseptor mulai mengenali virus tersebut pada lapisan membran plasma.
Proses berikutnya adalah penetrasi yaitu masuknya partikel virus kedalam sel
inang (Host) kemudian virus akan melepas bagian luar yang melapisi tubuhnya
untuk masuk kedalam membran plasma. Berikutnya terjadi proses transcription
yaitu virus mulai membuat rekaman untuk mRNA yang selanjutnya akan
diterjemahkan sebagai protein. Proses selanjutnya DNA virus akan
memperbanyak diri keluar dari sel dan menginfeksi sel lain (Setyorini et al.,
2008).
Virus KHV masuk kedalam tubuh hospesnya melalui insang, kulit yang
ditutupi sirip dan melalui tubuh ikan. Virus yang berhasil masuk kedalam tubuh ini
kemudian akan menyebar secara sistemik dari kulit ataupun insang ke dalam
organ internal hospes seperti pada organ ginjal, limfa, hati, usus, dan jaringan.
Pada pemeriksaan ultra dari eksperimen ikan yang terinfeksi telah memberikan
bukti pematangan atau perkembangan virion virus ini terjadi pada inti sel yaitu
pada sitoplasma.
Pada awal infeksi akan terjadi sekresi lendir yang berlebihan hal ini
dikarenakan adanya keterlibatan aktif dari kulit hospes dalam patogenesis virus
ini. Setelah virus kini menginfeksi daerah lainnya dan mengakibatkan terjadinya
kerusakan maka virus ini sebagian ada yang keluar dari tubuh hospes dan ada
yang dorman tetap berada di dalam tubuh hospesnya. Pengeluaran virus khv
pada hospes melalui urin dan feses. Urin dan feses yang dikeluarkan oleh ikan
yang sudah terinfeksi ini dapat menular pada ikan lain disekitarnya / pada satu
kolam tersebut (Adkison et al., 2005).
2.4.3 Gejala Klinis ikan yang terinfeksi Koi Herpesvirus (KHV)
Adapun gejala yang ditimbulkan akibat infeksi khv yaitu produksi lendir
berlebih sebagai respon fisiologis terhadap kehadiran patogen, selanjutnya
produksi lendir menurun drastis sehingga tubuh ikan terasa kasat, insang
berwarna pucat dan terdapat bercak putih atau coklat yang sebenarnya kematian
sel-sel insang atau “gill necrosis”, selanjutnya menjadi rusak, geripis pada ujung
tepi insang dan akhirnya membusuk. Secara mikroskopis menunjukkan adanya
kerusakan jaringan yang serius serta kematian sel yang berat, pendarahan
(hemmorraghe) di sekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya,
sering pula ditemukan adanya kulit yang melepuh atau bahkan luka yang diikuti
dengan infeksi sekunder oleh bakteri, jamur, dan parasit. Hati berwarna pucat,
selanjutnya menjadi rusak, ginjal (anterior dan posterior) berwarna pucat.
Kematian terjadi antara 1 – 5 hari setelah gejala awal dan kematian mencapai
100% dalam waktu singkat yaitu 5 – 7 hari pada suhu air 22 – 27o C (Setyorini et
al., 2008).
Menurut Chairunnisa et al., (2013), Gejala klinis yang ditunjukkan oleh ikan
koi yang terinfeksi Koi Herpesvirus (KHV) yaitu penurunan nafsu makan
sehingga ikan terlihat lesu, terjadi perubahan warna tubuh, respon tanggap
berkurang dan kehilangan keseimbangan berenang, menunjukkan gerakan tidak
terkontrol, kadang aktif dan kadang diam, ikan terlihat megap-megap karena
terjadi kerusakan insang. Sehingga akan mengganggu respirasi di insang. Pada
bagian matanya terlihat cekung dan ditutupi selaput putih, sering diikuti inveksi
sekunder oleh bakteri, parasit, dan jamur.
Ikan yang terinfeksi khv mengalami disfungsi hati dan sistem osmoregulasi.
Hipoprotein, serta imunosupresif sehingga rentan terhadap infeksi patogen
sekunder. Hemoragi pada operkulum dan sirip. Necrosis pada insang ditandai
dengan insang pucat, terdapat bercak putih akhirnya rusak dan membusuk
(Chairunnisa et al., 2013)
2.5 Pengertian Polymerase Chain Reaction
Menurut Novita et al., (2012) menjelaskan bahwa PCR adalah salah satu
teknik yang sudah banyak diaplikasikan untuk deteksi penyakit pada ikan dan
udang dengan alat yang dinamakan thermocycle. Pengujian PCR dengan
menggunakan thermocycle masih termasuk dalam pengujian secara
konvensional dan pada saat ini juga telah dikembangkan teknik yang lebih
modern yaitu real time PCR. Pada dasarnya teknik real time PCR adalah dengan
mengintegrasikan teknik PCR dengan komputer dan perangkat lunak sehingga
mampu mengevaluasi dan melakukan kuantifikasi DNA target secara langsung
selama proses identifikasi berjalan. Sedangkan hasil amplifikasi dengan
thermocycle masih harus memasuki tahapan elektroforesis.
Polymerase Chain Reaction (PCR) pertama kali dikembangkan pada tahun
1984 oleh ilmuwan biokimia Amerika, kary mulis. PCR mempunyai tiga tahapan
yaitu ekstraksi, amplifikasi, dan elektroforesis. Prinsip dasar dari teknik PCR
adalah menggandakan DNA target dengan bantuan primer sebagai
pasangannya. PCR mempunyai cara kerja yang sangat efektif dan efisien dalam
pengujian biologi molekuler. Hal ini dikarenakan dengan bantuan primer satu
DNA target yang cocok dengan primer akan menjadi dua DNA target, kemudian
menjadi empat, delapan dan seterusnya. Pada saat tahap amplifikasi terdapat
tiga proses penting dengan manggunakan perlakuan suhu yaitu denaturation,
annealing, dan extension (Joshi dan deshpande, 2010).
2.6 Pengertian Histologi dan Histopatologi
Menurut Harjana (2011), histologi mempelajari jaringan penyusun tubuh,
kimia jaringan dan sel yang dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan
kimia. Zat-zat kimia di dalam jaringan dan sel dapat dikenali dengan reaksi kimia
yang menghasilkan senyawa berwarna tak dapat larut, diamati dengan
mikroskop cahaya. Jaringan adalah kumpulan dari sel-sel sejenis atau berlainan
jenis matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.
Histopatologi merupakan penelusuran penyakit secara mikroskopik dimana
dalam pengamatan histopatologi informasi yang diperoleh dalam bentuk
gambaran perubahan organ/jaringan. Informasi yang diperoleh juga dapat
digunakan sebagai data untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi penyakit
serta untuk meramalkan proses kejadian penyakit dan tingkat epidemik suatu
penyakit. Infeksi suatu penyakit baik yang infeksius maupun non infeksius dapat
didiagnosa dengan beberapa cara, diantaranya dengan diagnosa secara
histopatologi yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi berbagai
penyakit (Pazra, 2008).
2.7 Usus
2.7.1 Pengertian usus
Menurut Fujaya (2004), usus merupakan segmen yang terpanjang dari
saluran pencernaan. Pada bagian depan usus terdapat dua saluran yang masuk
saluran pencernaan. Pada bagian depan usus terdapat dua saluran yang masuk
ke dalamnya, yaitu saluran yang berasal dari kantung empedu (ductus
choledochus) dan yang berasal dari pankreas. Pada ikan-ikan yang pankreasnya
menyebar pada organ hati (hepatopankreas) hanya terdapat satu saluran yaitu
ductus choledochus. Lapisan mukosa usus tersusun oleh selapis sel epitelium
dengan bentuk prismatik. Pada lapisan ini terdapat tonjolan-tonjolan (villi)
membentuk seperti sarang tawon pada usus bagian depan dan lebih beraturan
pada usus bagian belakang, terutama pada ikan lele. Bentuk sel yang umum
ditemukan pada epitelium usus adalah enterosit dan mukosit. Enterosit
merupakan sel yang paling dominan dan diantara enterosit terdapat mukosit.
Jumlah mukosit semakin meningkat ke arah bagian belakang usus.
Usus berada diantara pilorik dan rektum. Seperti halnya pada
kerongkongan dan lambung, usus terdiri atas beberapa lapisan yakni lapisan
mukosa, submukosa, muskulus dan serosa. Pada lapisan mukosa terdapat sel
goblet (mucocyte) yang memiliki mikrovilli pada bagian permukaannya.
Penyerapan zat makanan pada ikan terjadi di bagian usus dan mungkin
sebagian di rektum (Rahardjo et al., 2011). Pada ikan, dinding usus terdiri dari
epitel internal lamina propria, lapisan compactum, lapisan granulosum, lapisan
otot melingkar dan longitudinal dan serosa eksternal, sedangkan lipatan usus
dibuat dari epitel kolumnar dan inti dari lamina propria (Mc Donough & Gleason
1981 dalam Ahmadmoradi et al., 2013).
2.7.2 Fungsi Usus
Saluran empedu dan saluran pankreas yang bermuara ke bagian usus
depan menunjukkan bahwa di segmen usus depan masih terjadi proses
pencernaan makanan. Sedangkan keadaan usus yang panjang, villi-villi yang
ukurannya cukup tinggi serta adanya pelipat gandaan luas permukaan usus.
Ditunjang oleh kenyataan bahwa sel dominan di segmen usus adalah enterosit
yang berfungsi untuk menyerap zat makanan, amat jelaslah bahwa usus
merupakan tempat terjadinya proses penyerapan makanan.
Menurut Rahardjo et al., (2011), fungsi usus sebagai organ untuk
mencerna makanan, juga sebagai tempat penyerapan makanan. Efektifitas
penyerapan meningkat dengan semakin luasnya area penyerapan. Pada usus
luas daerah penyerapan ini berkaitan dengan panjang usus, banyak lipatan usus,
jumlah mikrovilli, dan keberadaan pilorik kaeka.Panjang usus seringkali berkaitan
dengan makanannya. Ikan-ikan herbivora umumnya memounyai panjang usus
beberapa kali lebih besar dari pada panjang tubuhnya.
2.7.3 Kerusakan Usus
Pada kondisi pembudidayaan yang intensif, peluang untuk terinfeksi berat
oleh parasit dan perubahan patologi usus ikan dapat terjadi sebagai contoh
penyakit protozoa seperti koksidiosis. Oranisme berkembang di dlaam epithelum
dan adakalanya di dlaam lamina propria. Parasit ini menyebabkan atropi usus
dan pengaruh patologis terbatas pada kehancuran sel-sel epitelia yang
terinfeksi. Perubahan lain yang juga ditemukan berupa atropi villi dan nekrosis
dari sel epitelium mukosa. Menurut Taraschewski (1998) dalam Ahmadmoradi et
al., (2012), pada umumnya kerusakan serius pada lipatan usus secara intensif
akan mengurangi daerah serap yang berfungsi sebagai tempat pencernaan dan
penyerapan pada ikan.
Menurut Robert (2001), pada kondisi toksik akut yang disebabkan oleh
toksin bakteri, virus, parasit, zat kimia atau alga, mukosa usus dapat terangkat
seluruhnya. Sel-sel epitel mukosa usus individu dapat menggulung yang disertai
penebalan kromatin dan sitoplasma eosinofil yang dapat terjadi akibat kelaparan
dan kondisi kaheksia. Pada bentuk khusus lebih seperti apoptosis atau
pelepasan mukosa kedalam lumen, kadang-kadang disertai hemoragi dan
edema submukosa.
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
3.1.1 Alat Penelitian
Alat - alat yang digunakan dalam penelitian tentang “Uji Histopatologi Hati
Ikan Koi (Cyprinus carpio L) yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) di wilayah
Blitar” tersaji pada Tabel 1. Sementara beberapa dokumentasi gambar terdapat
pada Lampiran 1.
Tabel 1. Alat yang digunakan pada Penelitian
Alat Fungsi
Mikropipet Untuk mengambil larutan dalam skala mikro
Vortex Mixer Untuk menghomogenkan sampel dan larutan
Micro Sentrifuge Untuk mengendapkan substansi yang terlarut
Inkubator Untuk menginkubasi sampel pada proses ektraksi
Rak Mikotube Untuk wadah Mikrotube saat pengujian
UV Cleaner Box Untuk tempat meracik resep pada saat amplifikasi agar tidak terjadi kontaminasi
Spin Down Untuk menurunkan larutan yang menempel di dinding mikrotube dan menghilangkan gelembung
Thermocycle Untuk proses penggandaan RNA atau DNA dengan perlakuan suhu (Pengujian secara konvensional)
Pastel Penggerus Untuk menggerus sampel di mikrotube
Laptop Untuk menjalankan dan membaca data Real Time PCR
Botol Sprayer Untuk wadah 1lcohol 70 %
Elektroforesis Set Untuk proses mengalirkan listrik pada agarose
UV Transiluminator Untuk membaca hasil uji
Lemari Es Untuk menyimpan sampel, bahan ekstraksi, dan amplicon
Freezer Untuk menyimpan bahan amplifikasi
Dissecting sets Untuk mengambil organ target uji
Saringan Untuk mengambil sampel
Spatula Untuk mengaduk pada saat pembuatan agarose
Gelas ukur Untuk mengukur volume TAE 1x
Beaker Glass Untuk wadah saat membuat agarose
Timbangan Analitik Untuk menimbang agarose
Kompor Listrik Untuk pemanas pada saat membuat agarose
Block Besi Untuk temapt mikrotube saat meracik resep amplifikasi
Sisir Untuk pembentuk well agar saat mencetak agar
Wadah Agar Untuk mencetak agar
Air Conditioner Untuk menjaga suhu ruang agar selalu sesuai dengan suhu pengondisian alat dan bahan
Sectio Set Untuk membedah sampel ikan
Nampan Untuk wadah alat dan bahan
Automatic Tissue Processor
Untuk proses pengolahan jaringan sampel
Wax Dispenser Untuk proses pembentukan paraffin
Microtome Untuk proses pemotongan jaringan sampel
Waterbath Untuk menghilangkan kadar air pada sampel
Mikroskop Untuk pengamatan hasil
3.1.2 Bahan Penelitian
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian tentang “Uji Histopatologi
Hati Ikan Koi (Cyprinus carpio L) yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) di
wilayah Blitar” tersaji pada Tabel 2. Sementara beberapa dokumentasi gambar
terdapat pada Lampiran 1.
Tabel 2. Bahan yang digunakan pada Penelitian
Bahan Fungsi
Mikrotube Untuk wadah sampel
GT Buffer Untuk memecah dinding sel
Silica Untuk mengikat DNA
Alkohol 70 % Untuk pencucian pada tahap ekstraksi
DEPC ddH2O Untuk pelarut dan pengikat DNA
Plastik Untuk wadah hasil ektraksi
Master Mix Sebagai larutan pendukung untuk template DNA pada saat proses amplifikasi
Primer Sebagai komponen untuk penggandaan DNA
NFW (Nuclease Free Water)
Sebagai pengencer untuk template DNA pada saat proses amlifikasi
Alumunium Foil Untuk alas saat menimbang agarose
Microtips Untuk wadah larutan saat mengambil larutan dengan mikropipet
Agarose Sebagai bahan pembuatan agar
TAE 1x Sebagai bahan pembuat agar dan larutan elektrforesis
Red Safety Sebagai pemendar saat UV Dokumentasi
DNA Ladder Untuk marker atau penggaris saat elektroforesis
Aquades Untuk pengenceran
Aquades Untuk mencuci larutan yang menempel diluar area objek
Alkohol absolute Untuk larutan fiksasi dan pewarnaan HE
Alkohol bertingkat Untuk larutan fiksasi dan pewarnaan HE
Xylene Untuk menarik alkohol dari dalam jaringan agar dapat digantikan oleh parafin
Termometer Ruang Untuk mengukur suhu ruang
Paraplast Untuk membentuk block parafin
Mayers Hematoxylin Sebagai zat pewarna ungu dalam teknik pewarnaan
Eosin Sebagai zat pewarna pink dalam teknik pewarnaan
Object glass Sebagai tempat meletakkan sampel pengamatan
Cover glass Untuk menutup object glass
3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif merupakan metode yang berusaha menggambarkan dan
menginterpretasikan objek sesuai dengan apa adanya. Metode ini juga sering
disebut non eksperimen, karena pada metode ini tidak melakukan kontrol dan
manipulasi variable penelitian. Dengan metode deskriptif, memungkinkan untuk
melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan
generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal.
Metode deskriptif pada umumnya dilakukan dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang
diteliti secara tepat (Hartoto, 2009).
Menurut Danim (2003), penelitian deskriptif dimaksudkan untuk
mendeskripsikan secara sistematis dan akurat suatu situasi atau area populasi
tertentu yang bersifat faktual. Penelitian deskriptif juga berarti penelitian yang
dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena atau karakteristik individual, situasi,
atau kelompok tertentu secara akurat. Sedangkan menurut Hamdi dan Bahrudin
(2014), penelitian deskriptif adalah suatu metode yang ditujukan untuk
menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini
atau saat yang lampau.
3.3 Lokasi Pengambilan Sampel
Lokasi pengambilan sampel didasarkan pada tempat awal virus KHV di
temukan di Indonesia yaitu di wilayah Blitar, Jawa Timur. Pemilihan lokasi
dilakukan dengan pencarian informasi ke Balai Peternakan dan Perikanan
Kabupaten Blitar terkait lokasi pembudidaya yang pernah terserang wabah KHV.
Berdasarkan informasi yang di dapatkan, lokasi yang terpilih berada di Desa
Nglegok, Blitar, Jawa Timur. Peta lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada
Lampiran 3.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Persiapan Penelitian
a) Persiapan Ikan Koi (Cyprinus carpio)
Pengambilan sampel dilakukan dengan mencari informasi ke petani
budidaya koi tepatnya di Desa nglegok Kabupaten Blitar mengenai petakan
kolam yang pernah terinfeksi penyakit koi herpes virus (KHV). Kemudian diamati
gejala klinis yang ada pada ikan koi, disesuaikan dengan gejala koi herpes virus
(KHV). Biasanya ikan koi tidak menampakkan adanya gejala klinis seperti
adanya luka pada kulit ikan. Hal ini dikarenakan sistem imun ikan koi yang
resisten terhadap virus KHV. Karena sebelumnya pada saat kondisi lingkungan
dingin sekitar bulan desember 2016 di kolam yang sama pernah terinfeksi KHV,
maka tidak menutup kemungkinan ikan-ikan yang menampakkan kondisi tampak
sehat tetapi dalam kondisi carrier.
3.4.2 Pelaksanaan Penelitian
a) Pengujian Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pengujian PCR dilakukan untuk menentukan positif tidaknya ikan terinfeksi
KHV. Preparasi sampel dilakukan dengan mengambil organ target KHV yaitu
insang, dan dilakukan juga preparasi organ bukan target yang akan diuji PCR
yaitu usus. Setelah ikan dinyatakan positif KHV pada bagian insang dengan
pengujian PCR makan selanjutnya dilakukan pengujian PCR organ lain salah
satunya yaitu usus. Pengujian PCR dilakukan pada bagian insang merupakan
organ target dari infeksi KHV, tetapi tidak menutup kemungkinan pada organ lain
juga terdapat infeksi KHV untuk itu dilakukan pengujian untuk membuktikan
positif tidaknya KHV pada organ yang lainnya. Terdapat tiga tahap dalam
pengujian PCR yaitu
Ekstraksi
Surfianti et al. (2010) menyatakan bahwa ekstrasi merupakan tahap awal
dari proses PCR guna untuk mendapatkan genom RNA dan DNA. Di BKIPM
Kelas I Surabaya I, metode ekstraksinya menggunkan Silica Extraction Kit.
Metode silica ini mempunyai kelebihan yaitu dalam satu proses ekstraksi dapat
menghasilkan genom RNA dan DNA sekaligus. Tahap proses ekstraksi adalah :
Dihaluskan organ target dengan menggunakan tusuk sate yang telah
dimasukan kedalam mikrotube ukuran 1,5 ml
Ditambahkan 900 µl GT Buffer dan kemudian dihomogenkan menggunakan
Vortex Mixer
Disentrifus 12.000 rpm selama 3 menit
Dipindahkan 600 µl larutan atas pada mikrotube baru
Ditambahkan 40 µl silica
Dihomogenkan dengan menggunakan Vortex Mixer
Disentrifus 12.000 rpm, selama 15 detik yang bertujuan agar terbentuk pellet
silica yang mengendap didasar mikrotube
Dibuang semua larutan dan cuci pellet dengan 500 µl GT Buffer
Dihomogenkan dengan menggunakan Vortex Mixer
Disentrifus 12.000 rpm, selama 15 detik
Dibuang semua larutan dan cuci pellet dengan 1 ml Ethanol 70 %
Dihomogenkan dengan menggunakan Vortex Mixer
Disentrifus 12.000 rpm, selama 15 detik
Dibuang semua larutan dan pastikan ethanol terbuang dengan sempurna
sehingga di dalam mikrotube hanya tersisa pellet
Ditambahkan DEPC ddH2O
Dihomogenkan dengan menggunakan Vortex Mixer
Diinkubasi pada suhu 550 C selama 10 menit
Dihomogenkan dengan menggunakan Vortex Mixer
Disentrifus 12.000 rpm, selama 2 menit
Disiapkan mikrotube baru
Dipindahkan 200 µl larutan atas (template) kedalam mikrotube baru
Dimasukan tube hasil ekstraksi (template) pada satu plastic yang sama
Diberi label tanggal pengerjaan ektraksi
Disimpan di dalam Freezer
Template siap untuk digunakan pada proses selanjutnya.
Amplifikasi
Pranawati et al. (2012) menjelaskan bahwa amplifikasi adalah proses
penggandaan materi genetik atau genom berupa DNA target dengan
menggunakan bahan tertentu dan tiga perlakuan suhu berbeda yang masing -
masing berfungsi untuk proses Denaturation (pelepasan), Annealing
(penempelan), dan Elongation (pemanjangan). Inti proses amplifikasi ini adalah
primer akan menempel pada target uji. Apabila di dalam template tidak terdapat
target uji maka primer tidak akan bekerja dan tidak akan terjadi penggandaan
DNA. Hal ini dikarenakan sifat primer yang bekerja secara spesifik terhadap
target uji.
Proses amplifikasi ini mempunyai dua tahap yaitu pembuatan bahan yang
digunakan pada proses amplifikasi dan proses PCR. Proses pembuatan bahan
untuk amplifikasi (Tabel 3), jenis primer yang digunakan (Tabel 4), dan setting
alat thermocycle (Tabel 5). Setelah proses amplifikasi selesai akan didapat hasil
yang dinamakan amplikon. Amplikon ini nanti yang akan masuk ke proses
selanjutnya yaitu proses elektroforesis.
Tabel 3. Bahan yang digunakan untuk Deteksi Virus KHV
No Bahan Volume (µl)
1 Master Mix 12,5
2 Primer Forward 0,75
3 Primer Reverse 0,75
4 NFW 7
5 Template 4
Proses persiapan bahan – bahan dalam tahap amplifikasi dalam laminar
yang sebelumnya telah di sterilisasi menggunakan sinar ultraviolet (UV). Master
mix, Primer Forward, Primer Reverse, NFWI dengan volume yang sudah
ditentukan tersebut masing – masing dikalikan dengan jumlah sampel yang akan
diuji kemudian dimasukkan ke dalam satu mikrotube. Selanjutnya jumlah total
volume larutan yang sudah tercampur didalam satu mikrotube tadi dibagi dengan
jumlah sampel dan akan menghasilkan nilai sebanyak 21 µl per mikrotube.
Kemudian diambil campuran larutan dari mikrotube awal sebanyak 21 µl dengan
menggunakan mikropipet dan dimasukkan kedalam mikrotube baru dimana
masing – masing mikrotube baru ini sudah diberi label. Kemudian diambil
template sebanyak 4 µl dan dimasukkan kedalam masing – masing mikrotube
sesuai dengan label.
Tabel 4. Primer yang digunakan dalam Proses Amplifikasi untuk Deteksi Virus KHV
No Primer Name Sequences Length (bp)
1 KHV F GACACCACATCTGCAAGGAG 292
2 KHV R GACACATGTTACAATGGTCGC
Primer adalah bahan yang bekerja secara spesifik yang digunakan untuk
proses penggandaan DNA, apabila terdapat KHV di dalam hasil ekstraksi
(template) maka pada saat tahap amplifikasi selesai akan didapatkan amplikon
yang banyak mengandung DNA KHV. Primer yang digunakan dalam proses
amplifikasi ini akan menghasilkan DNA target KHV sepanjang 292 pasangan
basa (bp). Maka pada saat dilakukan pembacaan hasil dengan UV
Transiluminator amplikon yang positif akan berpendar di 292 bp.
Tabel 5. Setting Alat thermocycle untuk Virus KHV
Setelah didapatkan mikrotube dari pencampuran bahan – bahan untuk
proses amplifikasi kemudian langkah selanjutnya adalah memasukkan mikrotube
tersebut kedalam Thermocycle. Thermocycle adalah alat yang didesain khusus
untuk proses penggandaan DNA dengan menggunakan perlakuan suhu. Dari
Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa proses awal dari penggandaan DNA adalah
Denaturation 1 yang dilakukan selama 30 detik. Kemudian masuk pada proses
yang kedua yaitu Denaturation 2 yang dilakukan selama 30 detik. Setelah itu
akan masuk ke proses yang ketiga yaitu Annealing selama 30 detik. Setelah
proses Annealing selesai maka akan masuk pada proses yang keempat yaitu
Elongation selama 30 detik. Kemudian setelah proses Elongation selesai alat
yang sebelumnya sudah di setting ini secara otomatis akan kembali melakukan
pengulangan dari proses kedua (Denaturation 2), ketiga (Annealing), dan
keempat (Elongation) sebanyak 35 kali pengulangan. Setelah pengulangan
selesai maka proses yang terakhir adalah pendinginan selama 120 detik. Setelah
No Tahapan Suhu (oC) Waktu (detik)
1 Denaturation 1 94 30
2 Denaturation 2 94 30
3 Annealing 60 30
4 Elongation 72 30
5 Pendinginan 12 120
semua rangkaian proses didalam Thermocycle selesai maka Thermocycle dibuka
dan diambil mikrotube hasil dari proses amplifikasi yang dinamakan amplikon.
Kemudian amplikon dimasukkan ke dalam Freezer sebelum dilakukan tahap
selanjutnya yaitu elektroforesis.
Elektroforesis
Pranawaty et al. (2012) menjelaskan bahwa hasil dari proses amplifikasi
tidak dapat langsung dilihat dengan mata telanjang perlu dilakukan proses
selanjutnya yaitu proses elektroforesis. Proses elektroforesis hanya dilakukan
pada pengujian konvensional karena pengujian dengan Real Time PCR tidak
memerlukan proses ini. Elektroforesis adalah teknik pemisahan molekul DNA
berdasarkan pada berat molekulnya dengan menggunakan medan listrik dari
kutub negatif ke kutub positif. Tahap awal pada proses elektroforesis adalah
pembuatan agarose. Presentase konsentrasi agarose adalah 1,5 % dari total
volume TAE 1x. Berikut adalah prosedur pembuatan agarose :
Disiapkan alat dan bahan
Diambil larutan TAE 1x sebanyak 60 ml
Ditimbang Agarose sebanyak 0,9 gram
Dicampur TAE 1x dan agarose kedalam beaker glass dan panaskan dengan
menggunkan kompor listrik hingga mendidih
Dituang ke cetakan agarose pada elektroforesis set dan tambahkan red safety
sebanyak 1,5 µl
Ditunggu hingga agarose mengeras dan siap untuk digunakan.
Setelah Agarose mengeras tahap selanjutnya tarik sisir pada cetakan
agarose sehingga terbentuk well, tambahkan TAE 1x pada cetakan agar sampai
agarose terendam. Kemudian dilakukan load amplikon yaitu memasukan
amplikon ke dalam well yang telah tercetak di agarose. Amplikon virus KHV yang
dimasukan kedalam well adalah sebanyak 10 µl.
Setelah load amplikon selesai kemudian dilakukan proses elektroforesis.
Elektroforesis set dipasang dan diatur pada tegangan 120 Volt. Kemudian
elektroforesis set dinyalakan (running) untuk mengalirkan listrik dan ditunggu
sampai amplikon berjalan mengalir dari kutub negatif ke kutub positif sampai
lebih kurang 3 / 4 dari bagian agarose. Setelah selesai elektroforesis set
dimatikan. Kemudian agarose diambil dan dimasukan kedalam UV
transiluminator untuk pembacaan hasil.
Pembacaan Hasil
Pembacaan hasil dilakukan dengan menggunakan UV Transiluminator.
Apabila sampel positif mengandung virus KHV maka primer akan bekerja dalam
proses penggandaan DNA, sehingga di dalam amplikon terdapat banyak molekul
DNA virus KHV. Dengan adanya penambahan red safety pada agarose maka
pada saat dilakukan pembacaan hasil amplikon yang banyak mengandung DNA
virus KHV akan berpendar. DNA Ladder yang digunakan adalah merek Kapa
Biosystems dengan ukuran marker yang disajikan pada Lampiran 2.
b) Pembuatan Histopatologi Usus Ikan Koi
Ikan koi yang telah diperoleh kemudian diambil sampel usus, insang, ginjal,
hati, otot untuk diamati histopatologinya. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam
botol film dan diberi larutan fiksasi dan larutan formalin, dilanjutkan dengan
pembuatan preparat untuk histopatologi dan pengamatan preparat hasil
histopatologi. Pengujian histopatologi bertujuan untuk menentukan ada atau
tidaknya kerusakan pada masing-masing organ akibat infeksi KHV. Tahapan
pembuatan histopatologi pada usus yaitu :
Pembuatan Blok Jaringan (Histologi)
1) Spesimen difiksasi menggunakan larutan 10% formalin minimal selama 24
jam. Specimen yang mengandung chitin difiksasi menggunakan larutan
Davidson maksimal 24 jam kemudian dipindahkan kedalam larutan buffer
formalin 10%.
2) Spesimen dicatat pada buku agenda sesuai nomor sampel, kemudian sampel
dipotong menjadi bagian kecil berukuran ± 1 cm. Sampel dimasukkan dalam
cassette atau wadah spesimen dan diberi label sesuai dengan nomor sampel.
3) Dimasukkan sampel kedalam wadah tissue processor dan set program pada
alat tersebut sesuai kebutuhan kita.
4) Proses dehidrasi menggunakan larutan alkohol bertingkat mulai dari alkohol
70 %, 80% (2x ulangan),85% masing-masing selama 2 (dua) jam. Selanjutnya
pindah ke alkohol absolut sebanyak 3x ulangan masing-masing 2 (dua) jam.
5) Clearing menggunakan xylol sebanyak 3x ulangan, masing-masing selama 0.5
(setengah) jam.
6) Embeding menggunakan parafin cair dalam dengan suhu 58o C sebanyak 2 x
ulangan, masing-masing selama 2 jam.
7) Pencetakan (blocking) dengan mengeluarkan spesimen dari casete untuk
dicetak menggunakan cetakan parafin (mould), selanjutnya hasil block
dimasukkan dalam freezer selama 5 menit. Keluarkan blok jaringan dari
cetakan dan rapikan dengan membentuk bujur sangkar ukuran 1,5 cm.
8) Dengan menggunakan microtome, jaringan dipotong dengan ketebalan 3-5µ,
potongan jaringan segera diapungkan dalam waterbath yang telah berisi
akuades yang dipanaskan hingga suhu 500 C. Kemudian angkat pita parafin
tersebut menggunakan obyek glass, kering anginkan dan diberi label.
Pewarnaan Jaringan
1) Potongan jaringan yang telah menempel pada obyek glass disusun dalam
staining jar kemudian dimasukan kedalam inkubator dengan suhu 370C
selama 1 jam selanjutnya obyek glass tersebut dikeringkan.
2) Dilakukan proses deparafinasi menggunakan larutan xylol sebanyak 2 kali
ulangan masing-masing selama 5 menit.
3) Rehidrasi, menggunakan alkohol mulai dari alkohol absolut, alkohol 95%
sebanyak 2x ulangan masing-masing 10 kali celupan atau ± 1.
4) Masukkan kedalam akuades 10 kali celupan
5) Dilanjutkan proses pewarnaan menggunakan pewarna Hematoxylin selama 2
menit kemudian dicuci dengan air mengalir selama 5 menit, dan dilanjutkan
dengan pewarnaan eosin selama 10 menit.
6) Dehidrasi menggunakan alkohol mulai dari alkohol absolut, alkohol 95%
7) Clearing menggunakan xylol sebanyak 2x ulangan masing-masing selama 10
kali celupan atau ± 1 menit.
8) Mounting, slide-slide yang berisi potongan jaringan dikeluarkan dari staining
jar satu persatu, kemudian ditutup dengan cover glass yang telah diberi
entelan.
9) Preparat jaringan kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran
40x untuk dianalisa.
10) Amati kelainan jaringan yang ada, kemudian bandingkan dengan jaringan
normal.
Menurut Mahasri (2007), tahapan histopatologi adalah sebagi berikut :
tahap pertama adalah fiksasi, dimana organ ikan dipotong kecil – kecil dan
difiksasi ke dalam larutan 10% formalin selama 24 jam. Selanjutnya dehidrasi
dan clearing, yaitu organ yang telah difiksasi dimasukkan kedalam cassete dan di
dehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat 70%, 80%, 85%, 90%, 95%,
alkohol absolute I dan II masing – masing selama 2 jam. Clearing dengan
menggunakan xylene I, II, dan III masing – masing 30 menit.
Selanjutnya tahap embedding, organ dimasukkan kedalam cetakan –
cetakan besi (base mold yang telah dipanaskan diatas hot plate dan sudah diisi
dengan paraffin cair, biarkan hingga parafin mengeras kemudian tahap
sectioning yaitu blok parafin yang telah mengeras dipotong menggunakan
microtome dengan ketebalan 3-5 µ, hasil irisan dicelupkan pada air hangat
dengan suhu 42-45o C sampai jaringan mengembang. Kemudian diletakkan
diatas obyek glas dan dikeringkan. Selanjutnya tahap staining, jaringan yang
telah tertempel pada obyek glas dimasukkan ke dalam xylene I dan II masing –
masing selama 5 menit, alkohol absolute I, II dan 95% selama 1 menit. Kemudian
diwarnai dengan hematoxylin selama 10 menit, kedalam aquades 4 celupan, acid
alkohol 4 celupan dan air mengalir 10 menit. Kemudian diwarnai dengan eosin
selama 2 menit, dimasukkan kedalam alkohol 95% I dan II masing – masing 2
kali celupan, alkohol absolute I dan II masing – masing I, II, dan III masing-
masing 2 menit.
Selanjutnya tahap pengamatan menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran 100x dan 400x. Pemeriksaan histopatologi insang, usus, dan otak
pengamatan secara mikroskopis preparat irisan histologi insang dan usus diamati
dengan menggunakan mikroskop dengan perbsesaran 100x dan 400x dan
diamati porubahan dan kerusakan jaringan dengan dibandingkan dengan
jaringan normal.
3.5 Parameter Uji
3.5.1 Parameter Utama
Parameter utama pada penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
KHV terhadap organ usus ikan koi (C. carpio L.) melalui uji Polymerase Chain
Reaction dan histopatologi. Pengujian Polymerase Chain Reaction berfungsi
untuk menentukan apakah terdapat infeksi Koi Herpes Virus pada ikan koi yang
diuji. Sedangkan pengujian histopatologi berfungsi untuk mengamati, dan
menganalisa dampak infeksi Koi Herpes Virus pada organ usus ikan koi secara
histopatologi.
Hasil uji histopatologi hati ikan koi, untuk mengetahui tingkat kerusakannya
dilakukan analisis statistik pemberian metode semi kuantitatif untuk menghitung
jumlah area yang terwarnai dan dilakukan secara manual dengan menghitung
presentasinya. Pembacaan dimulai dari tepi kiri (sesuai dengan posisi ekor
preparat) kearah kepala kemudian turun ke bawah dan bergeser ke arah ekor
kembali (gerak zig zag) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Alur Perhitungan Skoring (Gerak zig zag)
Pada metode kuantitatif, menggunakan lima luas bidang pandang untuk
menunjukkan kerusakan jaringan secara maksimal dengan kriteria nekrosis,
degenerasi, pyknosis, hyalinasi, dan edema (meningkatnya jumlah cairan antar
jaringan). Presentase setiap kerusakan pada masing – masing luas bidang
pandang dihitung berdasarkan jumlah sel yang mengalami kerusakan dengan
rumus persentase kerusakan yang didapat dari nilai skoring (Tabel 9). Menurut
Lubis et. al., (2014) menyebutkan bahwa rumus perhitungan presentase
kerusakan pada setiap luas bidang pandang sebagai berikut :
Tabel 6. Presentase Nilai Skoring
Tingkat Kerusakan
Presentase Kerusakan (%)
Nilai Skoring Kategori Kerusakan
Tingkat I 1 – 25 1 Ringan
Tingkat II 26 – 50 2 Sedang
Tingkat III 50 -75 3 Parah
Tingkat IV 76 – 100 4 Sangat parah
Pada Tabel 6 dapat dilihat presentase nilai skoring yang digunakan untuk
menentukan tingkat kerusakan jaringan usus nilai persentase kerusakan 1 – 25%
masuk dalam kategori ringan, 26 – 50% masuk dalam kategori sedang, 50 – 75%
kategori parah, dan presentase 76 – 100% merupakan kategori sangat parah.
3.4.2 Parameter Penunjang
Parameter penunjang pada penelitian ini adalah pengamatan gejala klinis
ikan koi (C. carpio L.) yang terinfeksi KHV dan pengukuran kualitas air seperti
suhu, pH, dan oksigen terlarut.
3.6 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif. Data yang
telah didapat dari pengujian PCR ditunjang dengan hasil pengujian histopatologi
untuk menentukan kerusakan usus akibat infeksi KHV. Untuk penunjang hasil
penelitian digunakan teori-teori penelitian KHV yang pernah dilakukan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Polymerase Chain Reaction Pada Usus Ikan Koi
Berdasarkan hasil tentang Uji Histopatologi Usus ikan Koi yang Terinfeksi
KHV dilakukan pengujian PCR pada organ target yaitu insang. Kemudian
dilakukan juga pengujian PCR pada organ lainnya yaitu ginjal, hati, usus, dan
otot untuk mengetahui apakah DNA KHV dapat menginfeksi organ dalam lainnya
atau tidak. Adapun hasil uji PCR dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Hasil UV Transiluminator virus KHV 292 bp. Well 1 Amplikon Insang, Well 2 Amplikon Ginjal, Well 3 Amplikon Hati, Well 4 Amplikon Usus, Well 5 Amplikon Otot, Well 6 Kontrol Negatif, Well 7 Kontrol Negatif,Well 8 Kontrol Positif, dan Well 9 DNA Ladder
Pada hasil PCR (Gambar 3) dildapatkan hasil pengujian PCR pada seluruh
organ dan menunjukkan bahwa di dalam organ insang ikan koi terinfeksi Koi
Herpes Virus (KHV). Hasil PCR menunjukkan bahwa positif KHV pada 292 bp.
Pengukuran menggunakan marker DNA lamda 100 – 1000 bp yang kemudian
dibandingkan dengan kontrol positif KHV yang berasal dari kit komersial. Hasil
isolasi dari koi herpes virus yang tertahan pada gel sesuai dengan ukurannya
yaitu pada 292 bp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Saselah et al., (2012),
sampel yang diidentifikasi sebagai infeksi positif sedang KHV adalah sampel
yang secara morfologi memperlihatkan kondisi ikan mengalami hemoragik pada
bagian kulit berupa lunturnya zat warna kulit, dan pada hasil pengujian PCR
292 bp
memperlihatkan pita 290 bp dan 440 bp. Terbentuknya band tersebut
menandakan bahwa terdapatnya virion dalam jumlah yang sangat banyak
menyerang sampel tersebut dan kemudian teramplifikasi.
Menurut Masri (2013), terbentuknya pita pada posisi 290 bp
mengindikasikan bahwa adanya virion yang terdapat di sampel dan adanya
kesesuaian basa oligonukleotida yang dihasilkan berdasarkan primer yang
digunakan dan sequencing DNA virus yang terdapat pada ikan yang terinfeksi,
hanya saja virion tersebut dalam jumlah yang sedikit sehingga tidak terlalu
memperlihatkan ciri infeksi.
4.2 Hasil Pengamatan Histopatologi Usus Ikan Koi (Cyprinus carpio L.)
4.2.1 Gambaran Usus Ikan Koi yang Terinfeksi KHV
Berdasarkan hasil penelitian mengenai uji histopatologi usus ikan koi,
ditemukan adanya beberapa kerusakan yang ditimbulkan oleh infeksi KHV.
Setelah dilakukan pengamatan histopatologi pada perbesaran 400x didapatkan
hasil bahwa usus ikan koi mengalami kerusakan yaitu inflamasi (A), nekrosis (B),
degenerasi hidropik (C), dan hemoragi (D). Adapun gambaran hasil penelitian
histopatologi organ usus ikan koi disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. (A) Usus Ikan Normal dengan Perbesaran 400x, (B) Usus ikan yang Mengalami Inflamasi (1); Nekrosis (2); Degenerasi hidropik (3); dan Hemoragi (4) dengan Perbesaran 400x.
A B B
Pada Gambar 4A terlihat struktur jaringan usus ikan yang normal dapat
terwarnai seluruhnya karena tidak terdapat sel – sel yang mengalami kematian.
Usus ikan yang normal masih terlihat jelas struktur vili, sel epitel mukosa, sel
goblet, dan lamina propria. Menurut Hibiya (1995), lapisan saluran pencernaan
ikan terdiri dari epitel, lamina basalis, lamina propria, dan mukosa muskularis.
Lapisan submukosa terdiri dari stratum kompaktum dan stratum granulosum.
Lapisan muskularismerupakan lapisan otot yang terdiri dari otot sirkuler dan otot
memanjang.
4.2.2 Kerusakan Usus Ikan Koi yang Terinfeksi KHV
Berdasarkan pengamatan hasil penelitian mengenai kerusakan yang
ditimbulkan KHV yang menginfeksi usus ikan koi didapatkan hasil adanya
beberapa kerusakan yang terjadi yaitu berupa nekrosis, hemorhagic, imflasi, dan
degenerasi pada organ usus. Adapun nilai rerata skoring yang didapatkan untuk
menentukan tingkat kerusakan yang diakibatkan infeksi KHV tersaji pada Tabel
Tabel 7. Skoring Kerusakan Usus Ikan Koi
Kelainan Patologi
Ulangan Area Lapang Pandang Rerata
LP Rerata Sampel LP 1 LP 2 LP 3 LP 4 LP 5
Nekrosis
1 1 2 1 2 2 1,6
2,53 2 3 4 3 4 3 3,4
3 3 2 3 3 2 2,6
Hemorhagi
1 1 2 1 1 2 1,4
2,06 2 2 3 2 2 2 2,2
3 2 3 3 3 2 2,6
Degenerasi Hidropik
1 1 2 2 1 2 1,6
2,6 2 3 4 4 3 4 3,6
3 2 3 3 2 3 2,6
Inflamasi
1 1 2 1 1 2 1,4
2,53 2 2 3 3 3 2 2,6
3 4 3 4 4 3 3,6
Berdasarkan rerata sampel pada Tabel 8 skoring usus ikan koi didapatkan
masing – masing nilai untuk Nekrosis 2,53 ; Hemoragi 2,06 ; Degenerasi Hidropik
2,6 ; dan Inflamasi 2,53.
a. Nekrosis
Nekrosis hasil pengamatan selama penelitian yang disebabkan infeksi Koi
Herpes Virus (KHV) terdapat adanya penurunan aktivitas jaringan yang ditandai
dengan hilangnya beberapa bagian sel satu demi satu dari satu jaringan
sehingga akan mengalami kematian. Didapatkan hasil rerata sampel yaitu 2,53
sehingga dapat diketahui persentase kerusakan nekrosis sebesar 37,1 % dari
keseluruhan organ sehingga dapat dikategorikan kerusakan sedang.
Sel yang mengalami kerusakan nekrosis dalam waktu yang tidak lama
akan mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan pendapat Maulana (2008),
nekrosis adalah kematian sel-sel atau jaringan yang menyertai degenerasi sel
pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir degenerasi yang
irreversibel. Karakterisitik dari jaringan nekrotik, yaitu memiliki warna yang lebih
pucat dari warna normal, hilangnya daya rentang (jaringan menjadi rapuh dan
mudah terkoyak), atau memiliki konsistensi yang buruk atau pucat, dan kadang-
kadang menimbulkan bau yang tidak enak.
Menurut Sipahutar (2013), nekrosis adalah pelepasan sel – sel dari
jaringan penyokongnya (membran sel) disebabkan sel mengalami kematian
akibat kadar oksigen yang berkurang pada lingkungannya sehingga merangsang
terjadinya stres. Sel yang mengalami nekrosis akan mengalami penurunan
aktifitas jaringan yang diikuti dengan hilangnya bagian sel satu demi satu dan
mengalami kematian.
b. Hemoragi
Hemoragi hasil pengamatan selama penelitian yang disebabkan infeksi Koi
Herpes Virus (KHV) terdapat adanya pendarahan pada bagian pembuluh darah.
Hemoragi ini dapat disebabkan oleh trauma, infeksi bakteri, virus atau bahan
toksik. Tetapi pengaruh dari proses hemoragi bersifat ringan jika terjadi proses
pembentukan darah dengan cepat. Didapatkan hasil rerata sampel yaitu 2,06
sehingga didapatkan hasil persentase kerusakan hemoragi sebesar 26,4 % dari
keseluruhan organ sehingga dapat dikategorikan berat.
Hemoragi menunjukkan adanya pendarahan pada bagian pembuluh darah.
Pendarahan ini terjadi pada bagian rongga – rongga diantara sel – sel jaringan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Maulana (2008), Hemoragi adalah keluarnya
darah dari pembuluh darah dan banyak terdapat di kulit, membran mukosa, di
dalam rongga – rongga yang mengandung serous atau diantara sel – sel
jaringan atau organ. Darah keluar dari pembuluh darah karena adanya lubang
pada dinding atau darah menerobos yang utuh karena peningkatan porositas
dari pembuluh darah tersebut.
Menurut Pazra (2008), hemoragi adalah kondisi yang ditandai dengan
keluarnya darah dari dalam vaskula akibat dari kerusakan dinding vaskula.
Kebocoran dinding ada dua macam melalui kerobekan dan melalui
perenggangan jarak antara sel – sel endotel dinding vaskula. Hemoragi
perdiadisis umumnya terjadi pada pembuluh kapiler. Hemoragi per reksis dapat
terjadi pada vaskuler apa saja, bahkan dapat terjadi bila dinding jantung robek
atau bocor.
c. Inflamasi
Inflamasi hasil pengamatan selama penelitian yang disebabkan infeksi Koi
Herpes Virus (KHV) ditandai oleh kehadiran dari sejumlah besar eritrosit dan
komponen-komponen darah lain pada permukaan organ. Inflamasi hemoragi
secara umum tersebar pada membran-membran yang mengandung atau
mengeluarkan serum atau mukus. Didapatkan hasil rerata sampel yaitu 2,53
sehingga dapat diketahui persentase kerusakan inflamasi sebesar 37,1 % dari
keseluruhan organ sehingga dapat dikategorikan kerusakan sedang.
Kerusakan inflamasi yang ditandai adanya sejumlah besar komponen –
komponen darah pada jaringan. Hal ini sesuai pendapat Maulana (2008), bahwa
inflamasi adalah suatu respon agresif dari pembuluh darah dan seluler dari
jaringan hewan hidup terhadap suatu luka yang subletal dan salah satu reaksi
pertahanan yang paling penting yang dimiliki hewan. Ketika luka masuk dalam
tubuh, respon utama terhadap luka berupa suatu akumulasi cairan dari sistem
pembuluh darah dan migrasi limfosit, neutrofil, makrofag, dan komponen-
komponen darah yang lain menuju daerah yang terluka. Inflamasi dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, trauma, panas, dan bahan toksik.
Inflamasi dapat mengakibatkan pembatasan area yang terluka dari jaringan
yang tidak mengalami inflamasi. Ruang jaringan dan cairan limfatik dalam daerah
yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga sedikit saja cairan
yang melintasi ruang. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri
atau produk toksik (Pazra, 2008)
d. Degenerasi Hidropik
Hasil pengamatan selama penelitian terhadap histopatologi usus
kerusakan degenerasi hidropik terdapat adanya perubahan ukuran sel menjadi
lebih besar karena masuknya air kedalam vakuola. Persentase kerusakan
menunjukkan hasil rerata sampel yaitu 2,6 sehingga dapat diketahui persentase
kerusakan degenerasi hidropik sebesar 38,6 % dari keseluruhan organ sehingga
dapat dikategorikan kerusakan berat. Menurut Maulana (2008), Degenerasi
dapat disebabkan oleh kekurangan material essensial (misalnya oksigen atau
nutrisi). Kekurangan sumber energi yang mengganggu metabolisme. Akumulasi
substansi yang abnormal didalam sel – sel yang disebabkan oleh virus, bakteri,
atau patogen – patogen seperti parasit dan toksin yang dihasilkan oleh bahan
kimia beracun, ketidakseimbangan nutrisi dan zat – zat iritan.
Degenerasi hidropik merupakan jejas sel yang reversible dengan
penimbunan intraselular yang lebih parah jika dengan degenerasi albumin.
Etiologinya sama dengan pembengkakan sel hanya intensitas rangsangan
patologik lebih berat dan jangka waktu terpapar rangsangan patologik lebih lama.
Secara mikroskopik organ yang mengalami degenerasi hidropik menjadi lebih
besar dan lebih berat daripada normal dan juga nampak lebih pucat. Nampak
juga vakuola – vakuola kecil sampai besar dalam sitoplasma (Sudiono, 2003).
4.3 Gejala Klinis Ikan Koi yang Terinfeksi KHV
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan saat penelitian tentang Uji
Histopatologi Usus Ikan Koi yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) terdapat
adanya gejala – gejala klinis yang tampak pada ikan koi seperti yang ditunjukkan
pada (Gambar 5) yaitu sirip geripis, insang pucat, gerakan tidak stabil, hemoragi,
dan produksi lender berlebih. Kerusakan insang dan organ – organ lain hampir
tidak nampak karena system imun ikan koi tersebut mulai resisten terhadap virus
KHV.
Gambar 5. Gejala Klinis Ikan Koi yang Terinfeksi KHV
Berdasarkan pada Gambar 5A gejala klinis yang nampak pada ikan koi yang
terinfeksi KHV ditemukan pada ikan koi ukuran 16 cm yaitu produksi lendir yang
berlebih pada bagian tubuh ikan, dan hemoragi. Sedangkan pada Gambar 5B
A B Hemoragi
Lendir berlebih Bercak putih
tampak adanya bercak putih pada insang yang merupakan kematian sel – sel
insang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunarto et al. (2005) menyatakan bahwa
ikan mas yang terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) akan menunjukkan gejala –
gejala seperti respon ikan yang lemah, kehilangan keseimbangan, kulit melepuh,
produksi lender berlebih, terjadi pendarahan, baik pada operkulum, sirip, ekor,
dan perut serta terjadi kerusakan pada filamen insang.
4.4 Kualitas Air Pada Kolam Pemeliharaan
Dalam penelitian tentang Uji Histopatologi Usus Ikan Koi yang Terinfeksi
Koi Herpes Virus (KHV) dilakukan pengukuran kualitas air sebagai parameter
penunjang. Untuk parameter kualitas air pada kolam pemeliharaan meliputi suhu,
pH dan oksigen terlarut (DO).
4.4.1 Suhu
Suhu air sangat berpenaruh terhadap pertumbuhan dan sistem
metabolisme ikan koi. Suhu juga mempengaruhi oksigen terlarut yang terdapat
dalam suatu perairan. Hasil pengukuran suhu pada perairan kolam didapatkan
nilai suhu sebesar 27,5 oc. Hasil ini menunjukkan kondisi suhu air kolam stabil.
Menurut Alex (2011), Suhu stabil untuk media pemeliharaan ikan koi di Blitar
berkisar antara 24 – 27oC. Akan tetapi kisaran suhu pada air kolam tersebut
tetap berada pada kisaran suhu yang normal pada kolam pemeliharaan untuk
ikan koi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ariyana (2015) bahwa suhu yang optimal
untuk pertumbuhan ikan koi adalah 25 – 27o C. Menurut Kelabora (2010) suhu air
yang tinggi dapat mengakibatkan sebagian besar energi yang tersimpan dalam
tubuh ikan digunakan untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan yang kurang
mendukung, sehingga dapat merusak sistem metabolisme. Selain itu, pada suhu
optimum bagi ikan akan meningkatkan pertumbuhan ikan yang baik.
Kualitas lingkungan yang buruk merupakan salah satu penyebab kehadiran
KHV pada ikan koi. Perubahan lingkungan dapat menyebabkan munculnya suatu
penyakit. Perubahan lingkungan dapat dilihat ketika terjadi perubahan cuaca dari
panas ke musim hujan dan sebaliknya dapat mempengaruhi suhu perairan.
Menurut Wedemeyer (1996) dalam Saselah (2012), bahwa suhu merupakan
faktor penting yang sangat berpengaruh pada perkembangan dan tingkat
keganasan dari penyakit Koi Herpes Virus (KHV).
Menurut Hendrick et al., (2000) suhu optimal perkembangan KHV yang
dapat menyebabkan kematian adalah 18 – 27o C. Sebagian besar mortalitas
terjadi pada suhu 18 – 27o C, dan tidak ada kasus pada suhu 30o C. Kematian
akan berhenti bila suhu berada dibawah atau diatas kisaran normal . Jadi
walupun dengan suhu perairan yang normal tapi jika terjadi perubahan cuaca
memberi dampak perubahan suhu perairan yang besar antara 18 – 27o C dapat
memicu terjadinya serangan KHV. Menurut Gilad et al., (2003), perubahan suhu
air dari 13o C menjadi 25o C telah mengakibatkan kematian massal dalam waktu
singkat dari ikan.
4.4.2 pH (Derajat Keasaman)
Pada pengukuran pH pada kolam ikan koi didapatkan nilai pH sebesar 7.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai pH pada kolam masih dalam kondisi optimal.
Sesuai denga pernyataan Effendi (1993) ikan koi merupakan ikan air tawar, akan
tetapi ikan koi masih dapat hidup pada air yang agak asin. Kisaran pH yang
dibutuhkan aikan koi agar tumbuh sehat yaitu pada kisaran 6,5 – 8,5.
4.4.3 Oksigen Terlarut / Dissolved Oxygen (DO)
Oksigen merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan
berbagai organisme. Hasil pengukuran oksigen terlarut yang didapatkan pada air
kolam yaitu. 4,85 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut masih
berada pada kisaran yang tidak optimal untuk budidaya ikan koi. Hal ini
sependapat dengan pendapat Effendi (2003), bila oksigen terlarut berada pada
kisaran 1,0 – 5,0 mg/l, ikan koi akan mengalami pertumbuhan yang lambat tetapi
pada DO > 5 mg/l maka ikan koi akan tumbuh secara optimal.
Oksigen dimanfaatkan oleh oranisme perairan untuk proses respirasi dan
menggunakan zat organik oleh mikroorganisme. Oksigen terlarut dalam air
berasal dari difusi udaran dan hasil fotosintesis oleh organisme berklorofil yang
hidup didalam suatu perairan dan dibutuhkan oleh organisme untuk
mengoksidasi zat hara yang masuk ke dalam tubuhnya (Nybakken, 1988).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Uji Histopatologi Usus Ikan Koi
(Cyprinus carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
Usus ikan koi yang positif koi herpes virus KHV mengakibatkan beberapa
kerusakan pada usus ikan yaitu berupa imflamasi, nekrosis usus,
degenerasi hidropik, dan hemoragi. Dari masing – masing kerusakan
didapatkan hasil persentase skoring yaitu nekrosis 37,1% (kategori
sedang), Hemoragi 26,4% (kategori berat) , Degenerasi hidropik
38,7%(kategori sedang) dan inflamasi 37,1% (kategori berat).
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian Uji Histopatologi Usus ikan Koi (Cyprinus carpio
L.) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) dapat disarankan yaitu perlunya
dilakuan penelitian lebih lanjut mengenai pencegahan dan pengobatan yang tepa
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pencegahan dan pengobatan
yang tepat untuk mencegah penularan dan penyebaran virus KHV.
DAFTAR PUSTAKA
Adkison. 2005. An enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) for detection ofantibodies to the koi herpesvirus (KHV) in the serum of koi Cyprinus carpio. Fish Pathol.
Ahmadmoradi, Ebtesam; A. Rezaei dan S. M. Mousavi. 2012. Histopathological
Study of The Kidney, Liver and Intestine Tissues in Goldfish (Carrasius auratus) and Angelfish (Pterophyllum sp.). AACL Bioflux. 5 (4).
Alex, S. 2011. Budidaya Ikan Koi. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. 38 hlm. Ariyana. 2015. Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Pada Ikan Koi (Cyprinus
carpio) yang diberi Tipe Berbagai Pakan Gel yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 78hlm. Tidak dipublikasikan
Asniatih, M. Idris dan A. Sabilu. Studi Histopatoogi pada Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3 (12) : 13 -21. ISSN : 2303 – 3959.
Bachtiar, Y. Dan Tim Lentera. 2002. Mencemerlangkan Warna Koi. PT.
Agromedia Pustaka. Tangerang. 144 hlm. Chairunnisa S.A., S.B. Prayitno., Sarjito., A. Santika dan S. Nuryati.
2013. Aplikasi Vaksin Dna Koi Herpes Virus (Khv) Melalui Metode Perendaman Dengan Dosis Yang Berbeda Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2 (2): 20 -25.
Danim, S. 2003. Riset Keperawatan : Sejarah dan Metodologi. EGC. Jakarta. 297
hlm. Effendi, H. 1993. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan,
Kanisius. Yogyakarta Esther, F. Dan H. Sipayung. 2010. Panduan Praktis Memelihara Koi. Kanisius.
Yogyakarta. 196 hlm. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta. 120 hlm. Gilad O., M.A. Adkison, K. Way, N.H. Willits, H. Bercovier and R.P. Hedrick.
2003. Molecular Comparison of Isolates of an Emerging Fish Pathogen, Koi Herpes Virus, and The effect of Water Temperature on Mortality of Experimentally Infected Koi. 48 : 101 – 108.
Hamdi, A.S dan E. Bacharuddin. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi
Dalam Pendidikan . Deepublis. Sleman. 5 hlm.
Harjana, T. 2011. Buku Ajar Histologi. Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Yogyakarta. 49 hlm.
Hartoto. 2009. Penelitian Deskriptif. Lembaga Penelitian Mahasiswa Penalaran
Universitas Negri Makassar. skripsi. Universitas Negri Makassar. Makassar. 43 hlm. Tidak di Publikasikan.
Hibiya, T dan Fumio T. 1995. An Atlas of Fish Histology : Normal and Pathological Features. Edisi Kedua. Japan. Kodansha Ltd.
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Joshi, M. dan J.D. Deshpande. 2010. Polymerase Chain Reaction : Methods, Principles and Aplication. International Journalof Biodemical Research. 1(5): 81-97.
Kartamihardja, E.S. 2008. Perubahan Sisi Komunitas Ikan dan Faktor – Faktor Penting yang Mempengaruhi Selama 40 Tahun Umur Waduk Juanda. Jurnal Iktiologi Indonesia. 8 : 67 – 68.
Kelabora, D.M. 2010. Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Berkala Perikanan Terubuk. 38(1): 71 – 78.
Lubis, U. M., N. Marusin dan I. J. Zakaria. 2014. Analisis Histopatologi Hati Ikan Asang (Osteochilus hassetii C. V) di Danau Maninjau dan Danau Singkarak Sumatra Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas. 3(2): 162-167.
Mahasri, G. 2007. Protein Membran Imunogenik Zoothamnium penaei Sebagai Bahan Pengembangan Imunostimulan pada Udang Windu terhadap Zoothamniosis. Disertasi Program Pascasarjana. Universitas Airlangga. 284 hlm. Tidak dipublikasikan.
Masri, M. 2013. Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Ikan Mas Koi (Cyprinus carpio L.) Dengan Menggunakan Metode Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR).Jurnal Teknosains. 7(2):189-200
Maulana, E.I 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Usus, dan Otot Pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) Di Daerah Ciampea Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 66 hlm. Tidak dipublikasikan.
Novita H., Koesharyani I. 2009. Diagnosa Koi Herpes Virus (KHV) Dengan
Teknik Polymerase Chain Reaction Pada ikan Mas (Cyprinus carpio) Dengan Nested Timide Kinase. Jurnal Riset Akuakultur. 4 (2) : 233 – 240.
Nuryati S., D. Puspitaningtyas dan W. Wahjuningrum. 2007. Potensi Ekstrak
Bawang Putih Allium sativum untuk menginaktivasi Koi Herpes Virus (KHV) Pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). Jurnal Akuakultur Indonesia. 6 (2) 147 – 154. 8 hlm.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta.459 hlm.
Pazra, D. F. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Otot, dan Usus Pada Ikan
Lele (Clarias sp.) Asal dari Daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 64hlm. Tidak dipublikasikan.
Pranawaty, R.N., I.D. Buwono, dan E. Liviawaty. 2012. Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) Konvensional dan Real Time PCR Untuk Deteksi White Spot Syndrome Virus Pada Kepiting. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 3(4): 61-74.
Prasetya, N. S. Subekti dan Kismiyati. 2013. Prevalensi Ektoparasit yang Menyerang Benih Ikan Koi (Cyprinus carpio) Di Bursa Ikan Hias Surabaya. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 5(1): 1-4.
Rahardjo, M.F; D.S. Sjafek; Ridwan Affandi dan Sulistiono. 2011. Iktiology. CV. Lubuk Agung. Bandung. 100 hlm.
Robert, RJ. 2001. Fish Pathology. Third Edition. W.B. Saunders, London,
Edinburgh, Philadelphia, St Louls, Sydney, Toronto. 472 hlm. Saselah, J. T., Tumbol, R. A., dan Manoppo, H. 2012. Determinasi Molekuler Koi
Herpes Virus (KHV) yang Diisolasi dari Ikan Koi (Cyprinus carpio L.). Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. 8 (3).
Sudiono, J., K. Budi. A. Hendrawan dan B. Djimantoro. 2003. Ilmu Patologi.
Jakarta : EGC. 213 hlm. Sunarto, A., A. Rukyani, dan T. Itami. 2005. Indonesian Experience On The
Outbreak of Koi Herpesvirus in Koi and Carp (Cyprinus carpio). Bull Fish. Res. Agency of Japan, Supplement. 2 : 15 – 21.
Surfianti, Oktarina., Soewarno dan G. Mahasri. 2016. Identivikasi KHV dengan uji immunofluorescence dan immunocytochemistry berdasarkan uji Polymerase Chain Reaction positif KHV pada ikan koi (Cyprinus carpio). Jurnal Biosains Pascasarjana. 18(3): 1-17.
Susanto, D. 2008. Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan Usus Ikan Mas (Cyprinus carpio) Di Desa Cibanteng. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. 49 hlm. Tidak dipublikasikan
Setyorini, N., A. Khusnah dan L. Widajatiningrum. 2008. Kelangsungan Hidup
Ikan Koi (Cyprinus carpio) yang Terinfeksi Koi Herpes Virus (KHV) . Berkala Ilmiah Perikanan. 3 (1) : 55-63.
Sipahutar, L.W., D. Aliza, Winaruddin dan Nazaruddin. 2013. Gambaran
Histopatologi Insang Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Yang Dipelihara Dalam Temperatur Di Atas Normal. Jurnal Medika Veterinaria. 7(1) ; ISSN : 0853-1943.
Taukhid, A., A.m. Lusiastuti, W. Andiyani, Rosidah, dan Sriati. 2010. Induksi
Kekebalan Spesifik Pada Ikan Mas (C. Carpio) terhadap Infeksi Koi
Herpes Virus (KHV) melalui Teknik Kohabitasi Terkontrol. Jurnal Riset Akuakultur. 5 : 15-21.
Udin dan M. Sitanggang. 2010. Merawat dan menangkarkan Koi. Agromedia
Pustaka. Jakarta. 168 hlm. Wibowo, A; P. Surip; W. Titut; J. Sri dan NS Budiana. 2008. Koi Panduan
Pemeliharaan, Galeri Foto, dan Tips Tampil Cantik. Penebar Swadaya. Jakarta. 58 hlm.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan Bahan yang Digunakan pada Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian
Mikropipet Vortex Mixer Micro Sentrifuge
Inkubator Spin Down Pastel Penggerus
Laptop Elektroforesis Set UV Transiluminator
Lampiran 1. (Lanjutan)
Lemari Es Freezer Saringan
Gelas Ukur Beaker Glass Timbangan Analitik
Kompor Listrik Termometer Ruang Wax Dispenser
Rak Mikrotube UV Cleaner Box
Lampiran 1. (Lanjutan)
Microtome Rotary Mikroskop Hot Plate
DO Meter Pisau Microtome Penggaris
Thermocycle Dissecting sets
Sisir Wadah Agar
Lampiran 1. (Lanjutan)
Bahan yang digunakan pada Penelitian
Air Conditioner Nampan
Automatic Tissue Processor
Mikrotube GT Buffer Silica
Alkohol 70 % DEPC ddH2O NFW
Lampiran 1. (Lanjutan)
Agarose TAE 1x Red Safety
Aquades Xylene Paraplast
Mayers Hematoxylin Eosin pH Papper
Plastik Master Mix
Lampiran 1. (Lanjutan)
Alumunium Foil Microtips
DNA Ladder Object Glass
Cover Glass
Lampiran 2. Ukuran Marker dari DNA Ladder Kapa Biosystems
Sumber : (Kapa Biosystems, 2016)
Lampiran 3. Peta Lokasi Pengambilan Sampel di Kabupaten Blitar
Lokasi Pengambilan Sampel Ikan Koi
Lampiran 4. Perhitungan Rerata Lapang Pandang, Rerata Sampel, dan Presentase Kerusakan Organ
Rerata Lapang Pandang
Rerata Lapang Pandang =
A. Nekrosis
Ulangan ke-1 =
=
= 1,6
Ulangan ke-2 =
=
= 3,4
Ulangan ke-3 =
=
= 2,6
B. Hemorhagi
Ulangan ke-1 =
=
= 1,4
Lampiran 4. (Lanjutan)
Ulangan ke-2 =
=
= 2,2
Ulangan ke-3 =
=
= 2,6
C. Degenerasi Hidropik
Ulangan ke-1 =
=
= 1,6
Ulangan ke-2 =
=
= 3,6
Ulangan ke-3 =
=
= 2,6
D. Inflamasi
Ulangan ke-1 =
=
= 1,4
Ulangan ke-2 =
=
= 2,6
Ulangan ke-3 =
=
= 3,6
Rerata Sampel
Rerata Sampel =
A. Nekrosis
Rerata Sampel =
=
= 2,53
B. Hemorhagi
Lampiran 4. (Lanjutan)
Rerata Sampel =
=
= 2,06
C. Degenerasi Hidropik
Rerata Sampel =
=
= 2,6
D. Inflamasi
Rerata Sampel =
=
= 2,53
Presentase Kerusakan Organ
Presentase Kerusakan = ( (X ÷ Y) + Z) %
Keterangan:
X = Nilai rerata total diambil dua angka di belakang koma
Y = 1 / 26 = 0,038
Z = Jika angka didepan koma adalah 1 maka z = 0
Jika angka didepan koma adalah 2 maka z = 25
Jika angka didepan koma adalah 3 maka z = 50
Jika angka didepan koma adalah 4 maka z = 75
A. Nekrosis
Lampiran 4. (Lanjutan)
Diket : Rerata Sampel = 2,53
Presentase = ((0,53 ÷ 0,038) + 25) %
= 38,95 %
B. Hemorhagi
Diket : Rerata Sampel = 2,06
Presentase = ((0,6 ÷ 0,038) + 25) %
= 26,58 %
C. Degenerasi Hidropik
Diket : Rerata Sampel = 2,6
Presentase = ((0,6 ÷ 0,038) + 25) %
= 31,38 %
D. Inflamasi
Diket : Rerata Sampel = 2,53
Presentase = ((0,53 ÷ 0,038) + 25) %
= 38,94 %