UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK...

107
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK FISIK DAN PROFIL PENETRASI GEL TRANSDERMAL NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA PADA pH 5 DAN pH 6 SKRIPSI SYIFA MUNIKA NIM: 11141020000072 FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA SEPTEMBER 2018

Transcript of UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK...

Page 1: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISTIK FISIK DAN PROFIL PENETRASI GEL

TRANSDERMAL NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN

HIDROKLORIDA PADA pH 5 DAN pH 6

SKRIPSI

SYIFA MUNIKA

NIM: 11141020000072

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2018

Page 2: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KARAKTERISTIK FISIK DAN PROFIL PENETRASI GEL

TRANSDERMAL NANOPARTIKEL GLUKOSAMIN

HIDROKLORIDA PADA pH 5 DAN pH 6

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SYIFA MUNIKA

NIM: 11141020000072

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

SEPTEMBER 2018

Page 3: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

HA L;\M,A.N P ERN YAI.AAN OIIXI! iI\A I- ITAS

Sliripsi ini :,rcla.lah hasirl knrya saya -s;endirti,

da-u setnua srunlber baik yang dikrrltip rnfluPtr'H ttirtl.|uk

telalr, saya n5'atakatr clengan bena,,r.

Nrma :

NtM :

Tarrda Tnngan :

Syifa Munika

1 1 14 102'000tx)72

Tnnggal : 25 Septembcr 2018

iii UIN Syarif Hi'dayatullah Jakarta

Page 4: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

HALA MAN PE,RS E'I'L.]UAN PE-\{I}IMBING

Nama : Syifa Munika

NIM : I1]4rc2AA00072

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : I(arakteristik Fisik dan Profil Penetoasi Gel TransdennalNanopartikel Glukosarnin Hidroklorida pada pH 5 danpH6

Disetujui olel:

Pernburbirrg 1 Fembimbing 2

Yrrni Angqrae.m..M.Falu., Aut Drs. llmar &tansir.r. M,Sc, 4ptNIP i983 1 02820r)91!12008

Mengetahui,

Ketua Program Studi FarmasiFakultas trlmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

N,{.,Dr. Nunmeilis. M.Si.. Apt

NlIr. 1 974073010050 I 2003

iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 5: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

HALAMAN PENGE SAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh:

|rfama

NIM

Program Studi

Judul Skripsi : Karakteristik Fisik dan Profil Penetrasi Gel

Transdetmal Nanopartikel Glukosamin Hidrokloridapada pH 5 dan pH 6

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan

(FIK) Universitas Islam Negeri (uIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

DEWAN PEMBIMBING DAN PENGUJI

Syifa Munika

1 1 141020000072

Farrrrasi

Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. (

Drs. Umar Mansttr, M.Sc., APt. (

Marvel, M.Farm., Apt (

Via Rifkia, M.Farm. (

Jakarta

25 September 2018

Pembimbing I

Pembimbing II

Penguji I

Penguji II

Ditetapkan di

Tanggal

€t*i'

\AP(k

v UIN Syarif HidaYatullah Jakarta

Page 6: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRAK

Nama : Syifa Munika

Program Studi : Farmasi

Judul : Karakteristik Fisik dan Profil Penetrasi Gel Transdermal

Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida pada pH 5 dan pH 6

Pemberian Glukosamin HCl secara oral telah dilaporkan memiliki bioavailabilitas

yang rendah dan permeabilitas kulit yang rendah secara transdermal. Untuk

mengatasi hal tersebut, glukosamin HCl dibuat dalam bentuk transdermal

menggunakan sistem penghantaran nanopartikel. Pada penelitian ini nanopartikel

dibuat dengan konsentrasi kitosan 0,5% dan gel transdermal nanopartikel dibuat

dalam 3 formula F1, F2, dan Formula kontrol dengan variasi pH yakni pH 5, pH 6

dan tanpa adjust pH. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

karakteristik fisik dan profil penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin

HCl pada pH 5, pH 6, dan dengan tanpa adjust pH. Nanopartikel dibuat dengan

metode gelasi ionik menggunakan kitosan dan penyambung silang Na-TPP. Uji

penetrasi secara in vitro dilakukan dengan alat sel difusi franz menggunakan

membran kulit tikus. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah

organoleptik, pH, homogenitas, viskositas, rheologi dan profil penetrasinya.

Penelitian menunjukkan bahwa variasi pH sediaan gel mempengaruhi viskositas

sediaan gel transdermal nanopartikel di mana semakin besar pH sediaan maka

viskositas sediaan gel semakin meningkat. Hasil uji penetrasi menunjukkan

jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per luas area selama 8 jam

untuk F1, F2, dan Formula kontrol secara berturut-turut adalah 898,8 µg/cm2;

852,2 µg/cm2; dan 884,1 µg/cm

2. Fluks penetrasi menit ke 480 untuk F1, F2 dan

Formula kontrol secara berturut-turut adalah 112,3 µg cm-2 jam

-1; 106,5 µg cm-

2

jam-1

; dan 110,5 µg cm-2 jam

-1. Dari hasil uji statistik menunjukkan terdapat

pengaruh dari perbedaan pH sediaan gel yang digunakan dalam formula terhadap

penetrasi glukosamin HCl pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2,

kecuali pada Formula kontrol dengan F1.

Kata kunci: Glukosamin HCl, pH, nanopartikel, kitosan, penetrasi, difusi franz.

Page 7: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ABSTRACT

Name : Syifa Munika

Major : Pharmacy

Title : Physical Characteristics and Penetration Profile of Nanoparticle

Glucosamine Hydrochloride Transdermal Gel at pH 5 and pH 6

Oral administration of glucosamine HCl has been reported to have low

bioavailability and low skin permeability transdermally. To overcome those

conditions, glucosamine HCl was prepared in transdermal form using a

nanoparticle delivery system. In this study, nanoparticles were made with 0.5%

chitosan concentration and transdermal nanoparticles gels were made in 3

different formulas, F1, F2; and Control formula with variations in pH (pH 5, pH 6,

and without adjusting pH). This study aimed to know the physical characteristics

and gel penetration profile of transdermal nanoparticles glucosamine HCl at pH 5,

pH 6, and without adjusting pH. Nanoparticles were made using ionic gelation

method by applying chitosan and Na-TPP as cross linker. In vitro penetration test

was carried out by diffusion Franz cell using mouse skin membrane. The

parameters used in this study were organoleptic, pH, homogeneity, viscosity,

rheology, and penetration profile. The result showed that pH variations of gel

influence the viscosity of transdermal nanoparticle gel, where greater pH of gel

cause viscosity of gel preparations increase. The penetration test results indicated

the cumulative amount of penetrated glucosamine HCl per area for 8 hours for

F1, F2, and Control formula were 898,8 µg/cm2; 852,2 µg/cm

2; and 884,1 µg/cm

2

respectively. Penetration flux at minute 480th

for F1, F2, and Control formula

were 112,3 µg cm-2 hour

-1; 106,5 µg cm-

2 hour

-1; and 110,5 µg cm-

2 hour

-1

respectively. Statitical test result showed that there was an effect of the difference

in pH of the gel preparation used in the formula for the penetration of

glucosamine HCl in Control formula with F2 and F1 with F2, except in Control

formula with F1.

Keywords: Glucosamine HCl; pH; nanoparticles; chitosan; penetration; Franz

diffusion.

Page 8: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

kepada Allah SWT yang telah memberikan kasih sayang begitu besar sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Fisik dan

Profil Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin Hidroklorida

pada pH 5 dan pH 6.”. Shalawat dan salam tercurahkan kepada baginda Nabi

Muhammad SAW yang telah memberikan jalan kebenaran dan suri tauladan

kepada umatnya.

Penulis menyadari bahwa selama masa perkuliahan, penelitian hingga

penyelesaian skripsi ini, penulis memperoleh bantuan, bimbingan, motivasi, dan

doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt. dan Bapak Dr. Umar Mansur, M. Sc.,

Apt. selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan,

waktu, tenaga, saran, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S. KM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt. selaku Ketua dan Ibu Nelly Suryani, P.hD.,

Apt. selaku Sekretaris Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu meluangkan

waktu untuk membantu dalam urusan jadwal persidangan.

4. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. sebagai pembimbing akademik yang telah

membimbing dan memberikan dukungan dalam menghadapi permasalahan

akademik.

5. Seluruh dosen dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan

selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh laboran, Kak Eris, Kak Yaenap, Kak Rani, Kak Lisa, Kak Waliddan

Kak Rahmadi yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

7. Kedua orang tuaku, Bapak Abdul Kadir dan Ibu Muji Rahayu yang selalu

memberikan kasih sayang dan doa tiada henti yang senantiasa mengiringi

Page 9: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

perjalanan hidup penulis, serta dukungan baik secara moril maupun materil

yang tidak terhingga.

8. Kepada saudara-saudaraku tersayang, Tia Wulan Sari, Habibie Ramadhan,

Suryani Rahmi dan Hafidz Dzakwan yang telah membantu serta memberikan

doa dan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Sahabat seperjuangan penelitian , Puspitasari, atas perhatian, semangat, kerja

sama, bantuan, kebersamaan dan waktu untuk mendengarkan segala keluh

kesah selama penelitian.

10. Kepada Bu Suci dkk yang telah membantu dalam penelitian ini.

11. Sahabat-sahabatku tersayang, Puspitasari, Luluk Muchoyaratul, Revy Aprillia,

Muhaiminul Maulidza, Dea Raudya, Corry Priscilliana, Cut Balqis, Divya

Anjani, Ramadhani pages, Fariz Agus, dan Mohamad Hadi Azmi yang setia

menemani, menyemangati dan yang telah menghabiskan waktu susah senang

bersama sejak awal masa perkuliahan sampai penelitian.

12. Kaka tingkat farmasi 2013, Ka Marisa dan Ka Asyraq, yang telah membantu

dan membimbing selama penelitian.

13. Teman-teman lab, Sheila, Ridho ehuang, Inez, Khoirunisa, Amajida, Nada,

Zakiyah, yang telah menemani, membantu dan memberikan semangat selama

penelitian.

14. Teman-teman penelitian teknologi farmasi bimbingan Bu Yuni, Mutiara ayu,

Elsa, Hadi, Sri, Puspita yang telah memberikan bantuan dan memberikan

semangat selama penelitian.

15. Sahabat-sahabatku “Read by”, Dini Puspitasari, Dita Qonitah, Annisa Firdaus,

Aida Mawardah, Nadia Latifah, dan Saqila Sabila yang setia menemani,

memberikan semangat, dan mendoakan sejak jaman SMP hingga sekarang.

16. Sahabat-sahabatku, Widhi Tri Kusuma, Ndari Putri, Andhika yang

membantu, memberikan semangat dan mendoakan penulis.

17. Teman-teman Farmasi angkatan 2014 yang telah memberikan semangat dan

doa selama ini.

18. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian dan

penulisan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Page 10: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi

ini. Penulis berdoa semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu

penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 25 September 2018

Penulis

Page 11: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Syifa Munika

NIM : 11141020000072

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Ilmu Kesehatan (FIK)

Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah

saya, dengan judul:

Karakteristik Fisik dan Profil Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel

Glukosamin Hidroklorida pada pH 5 dan pH 6

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan

sebenarnya.

Yang menyatakan

(Syifa Munika)

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 25 September 2018

Page 12: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................. v

ABSTRAK ............................................................................................................ vi

ABSTRACT ......................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ..................................... xi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4

1.3. Tujuan Penelitian....................................................................................... 4

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5

2.1. Osteoartritis ................................................................................................ 5

2.2. Glukosamin HCl ........................................................................................ 7

2.3. Gel Transdermal ........................................................................................ 8

2.4. Kulit .......................................................................................................... 10

2.4.1. Struktur Kulit ....................................................................... 11

2.4.2. Jalur Penetrasi Obat ke Kulit ............................................... 13

2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan .................. 14

2.5. Nanopartikel Kitosan .............................................................................. 15

2.6. Kitosan ...................................................................................................... 18

2.7. Natrium Tripolifosfat .............................................................................. 19

2.8. Monografi ................................................................................................. 20

2.8.1. Tween 80 .............................................................................. 20

2.8.2. Hidroksipropilmetil Selulosa ............................................... 20

2.8.3. Propilen Glikol ..................................................................... 21

2.8.4. Metil Paraben ....................................................................... 22

Page 13: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.8.5. Propil Paraben ...................................................................... 23

2.8.6. Trietanolamin (TEA)............................................................ 24

2.9. Uji Penetrasi Metode Sel Difusi Franz ................................................. 24

2.10. Spektrofotometri UV-Vis ....................................................................... 25

2.10.1. Teori Spektrofotometri UV-Vis ........................................... 25

2.10.2. Komponen Instrumen Spektrofotometri UV-Vis ................. 26

2.10.3. Validasi Metode Analisis ..................................................... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 30

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 30

3.2. Bahan Penelitian ...................................................................................... 30

3.3. Alat Penelitian ......................................................................................... 30

3.4. Prosedur Kerja ......................................................................................... 30

3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl ............................. 30

3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ........ 31

3.4.3. Evaluasi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ....................... 31

3.4.4. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl...... 32

3.4.5. Uji Penetrasi ......................................................................... 34

3.4.6. Analisis Data ........................................................................ 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 37

4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl ............................................. 37

4.2. Preparasi Gel Glukosamin HCl ............................................................. 37

4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl .............................................................. 38

4.3.1. Pengamatan Organoleptik .................................................... 38

4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas ................................................... 39

4.3.3. Pengukuran pH ..................................................................... 40

4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi .................................. 40

4.4. Validasi Metode Analisa ........................................................................ 43

4.4.1. Pembuatan Senyawa Phenyl Thiourea (PTH) ...................... 43

4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea

(PTH) ................................................................................... 44

4.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl ........ 44

4.4.4. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ) ... 45

4.5. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl ....................................................... 45

4.5.1. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area ............. 47

4.5.2. Fluks Penetrasi ..................................................................... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 53

Page 14: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 53

5.2. Saran ......................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 54

Lampiran ............................................................................................................. 62

Page 15: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Patogenesis Osteoartritis ................................................................. 5

Gambar 2.2 Struktur Kimia Glukosamin HCL ................................................... 7

Gambar 2.3 Struktur Kulit ................................................................................. 11

Gambar 2.4 Rute Penetrasi Zat Melalui Kulit ................................................... 13

Gambar 2.5 Struktur Kimia Kitosan.................................................................. 18

Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifpsfat ...................................................... 19

Gambar 2.7 Struktur Kimia HPMC ................................................................... 20

Gambar 2.8 Struktur Kimia Propilen Glikol ..................................................... 22

Gambar 2.9 Struktur Kimia Metil Paraben ....................................................... 22

Gambar 2.10 Struktur Kimia Propil Paraben ...................................................... 23

Gambar 2.11 Struktur Kimia Trietanolamin ....................................................... 24

Gambar 2.12 Sel Difusi Franz ............................................................................. 25

Gambar 4.1 Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ................................................ 39

Gambar 4.2 Uji Homogenitas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ................... 39

Gambar 4.3 Grafik Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl .................. 41

Gambar 4.4 Kurva Reologi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl....................... 42

Gambar 4.5 Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl .................................... 44

Gambar 4.6 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area 49

Gambar 4.7 Grafik Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area .................... 50

Page 16: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Formula Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ..................................... 31

Tabel 4. 1 pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl ............................................... 40

Tabel 4. 2 Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area .... 49

Tabel 4. 3 Persen Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area ..... 49

Tabel 4. 4 Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area ........................ 50

Page 17: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skema Prosedur Penelitian ............................................................ 62

Lampiran 2 Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl.............................. 63

Lampiran 3 Persen Torque Gel Glukosamin HCl ............................................. 64

Lampiran 4 Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil

Derivatisasi Glukosamin HCl) ..................................................... 65

Lampiran 5 Absorbansi Standar Glukosamin HCl ........................................... 66

Lampiran 6 Data Perhitungan LOD dan LOQ .................................................. 67

Lampiran 7 Data Hasil Uji Penetrasi Formula Kontrol .................................... 68

Lampiran 8 Data Hasil Uji Penetrasi F1 ........................................................... 69

Lampiran 9 Data Hasil Uji Penetrasi F2 ........................................................... 70

Lampiran 10 Data Fluks Penetrasi Formula kontrol ........................................... 71

Lampiran 11 Data Fluks Penetrasi F1 ................................................................. 72

Lampiran 12 Data Fluks Penetrasi F2 ................................................................. 73

Lampiran 13 Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per Luas

Area ............................................................................................... 74

Lampiran 14 Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Glukosamin HCl ................. 76

Lampiran 15 Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter

Penetrasi Per Luas Area................................................................. 77

Lampiran 16 Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl ..................... 79

Lampiran 17 Gambar Alat yang Digunakan ....................................................... 81

Lampiran 18 Sertifikat Analisa Glukosamin HCl ............................................... 82

Lampiran 19 Sertifikat Analisa Nipagin ............................................................. 83

Lampiran 20 Sertifikat Analisa Nipasol.............................................................. 84

Lampiran 21 Sertifikat Analisa Dietil Eter ......................................................... 85

Lampiran 22 Sertifikat Analisa Tween 80 .......................................................... 86

Lampiran 23 Sertifikat Analisa Trietanolamin ................................................... 87

Lampiran 24 Sertifikat Analisa NaOH................................................................ 88

Lampiran 25 Sertifikat Analisa Natrium Asetat ................................................. 89

Lampiran 26 Sertifikat Analisa Kitosan.............................................................. 90

Page 18: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Osteoartritis menurut American College of Rheumatology adalah

sekelompok kondisi heterogen yang mengarah kepada tanda dan gejala sendi.

Osteoartritis merupakan penyakit yang sering ditemukan di dunia. Penyakit

osteoartritis menyebabkan nyeri dan disabilitas pada penderita, sehingga

mengganggu aktivitas sehari-hari (Anggraini dan Hendrati, 2014). Osteoartritis

adalah penyakit bersifat kronik, berjalan progresif lambat, non-inflamasi atau

hanya menyebabkan inflamasi ringan, serta ditandai dengan adanya deteriorasi

dan abrasi rawan sendi serta pembentukan tulang baru pada permukaan sendi

(Carter M.A, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2007,

diketahui bahwa osteoartritis diderita oleh 151 juta jiwa di seluruh dunia dan

mencapai 24 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara. Menurut Riskesdas tahun 2013,

prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan di Indonesia

11,9% dan berdasarkan gejala 24,7%.

Glukosamin merupakan substrat yang terlibat dalam biosintesis

proteoglikan dan glikosaminoglikan yang ditemukan pada membran mukosa

saluran cerna, matriks kartilago artikular dan cairan sinovial dalam tubuh manusia

(Tekko, dkk., 2006). Cairan sinovial berfungsi sebagai pelumas pada tulang

rawan, sehingga pergerakan tulang menjadi lebih baik (Huskisson, 2008).

Proteoglikan sebagai bahan pembentuk cairan sinovial memiliki peranan penting

dalam persendian, karena jika terjadi gangguan dalam sintesis proteoglikan maka

dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada sendi (Maulina, 2017).

Glukosamin adalah gula amino yang diklasifikasikan oleh food and drug

administration (FDA) sebagai suplemen makanan yang dipercaya berpotensi

sebagai pengobatan untuk osteoartritis (Hawker G dalam Tekko, I. A, dkk.,

2006). Umumnya, glukosamin diberikan sebagai bentuk glukosamin sulfat yang

distabilkan dengan natrium klorida atau kalium klorida dan glukosamin

Page 19: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hidroklorida (Tekko, dkk., 2006). Dalam penelitian Han In Hee (2010)

menunjukkan bahwa glukosamin sulfat sangat tidak stabil, sedangkan glukosamin

hidroklorida secara alami stabil. Glukosamin dalam bentuk sulfat maupun

hidroklorida yang telah dipasarkan selama dua dekade terakhir biasanya

diformulasikan secara tunggal atau dikombinasikan (misalnya dengan kondroitin

sulfat) dalam bentuk sediaan kapsul, tablet dan cairan untuk pemberian oral

(Tekko, dkk., 2006).

Telah dilaporkan bahwa bioavailabilitas glukosamin hidroklorida yang

diberikan secara oral sangat rendah yaitu 26 % pada manusia (Barclay, T.S, dkk.,

1998) dan 19 % pada tikus (Aghazadeh-Habashi, A, dkk., 2002), hal ini

dikarenakan adanya metabolisme lintas pertama (Barclay, T.S, dkk., 1998).

Akibat hal tersebut pemberian dosis glukosamin hidroklorida menjadi lebih besar,

sehingga pemberiannya menjadi berkali-kali dalam satu hari. Untuk mengatasi

masalah tersebut, pengembangan obat dengan sistem penghantaran transdermal

menjadi alternatif, karena dapat meningkatkan bioavailabilitas obat (Pathan, I.B.

dan Setty, C.M., 2009) sehingga dosis yang diberikan menjadi lebih sedikit

dibandingkan pemberian secara oral.

Pada pemberian transdermal, obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit

untuk mendapatkan efek sistemik. Namun, kulit merupakan suatu barrier yang

membatasi penetrasi berbagai zat yang masuk menembus kulit (Kurihara, Tamie

& William, R, Good, 1994). Kemudian, glukosamin hidroklorida memiliki

permeabilitas kulit yang rendah karena sifat hidrofiliknya (Han, In Hee, dkk.,

2010). Salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi obat dapat digunakan

teknologi nanopartikel atau sistem nanocarrier, yakni suatu sistem pembawa

dalam ukuran nanometer (Brigger, dkk., 2002). Akibat ukuran nano dari partikel

ini memungkinkan partikel dapat masuk dengan lebih efisien melalui berbagai

tipe sel dan akumulasi obat selektif pada tempat aksi (Singh & Lillard, 2009).

Teknologi nanopartikel memiliki keuntungan lain yakni dapat memperbaiki

bioavailabilitas yang buruk, meningkatkan stabilitas zat aktif dari degradasi

lingkungan (penguraian enzimatis, oksidasi, hidrolisis), memperbaiki absorbsi

suatu senyawa makromolekul (Mohanraj and Chen, 2006).

Page 20: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nanopartikel dapat dibuat dari bahan polimer baik sintetik maupun

alami. Polimer yang memudahkan dalam penyiapan nanopartikel dapat dipilih

berupa polimer yang larut air. Salah satu polimer larut air yang dapat digunakan

pada pembuatan nanopartikel untuk tujuan pengobatan dan yang paling banyak

digunakan adalah kitosan (Tiyaboonchai, 2003). Hal ini dikarenakan kitosan

memiliki beberapa sifat ideal, yakni biokompatibilitas, tidak beracun,

biodegradable, dan tidak mahal. Kitosan juga memiliki gugus amino yang mampu

membentuk interaksi ionik (Bhumkar dan Pokharkar, 2006) yang berperan dalam

pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik (Severino, dkk.,

2014). Metode pembuatan nanopartikel kitosan salah satunya dapat dilakukan

dengan metode gelasi ionik. Hal ini didasarkan pada interaksi elektrostatik antara

grup amina kitosan dan grup muatan negatif polianion seperti tripolifosfat.

Metode gelasi ionik digunakan karena prosesnya yang sederhana, murah dan

menghindari penggunaan pelarut organik (Severino, dkk., 2014).

Dalam pembuatan nanopartikel dengan gelasi ionik, reaksi sambung

silang dipengaruhi oleh ukuran agen sambung silang dan muatan dari kitosan dan

agen sambung silang. Muatan densisitas molekul ionik dipengaruhi oleh nilai pKa

dan pada pH dari larutan selama reaksi. pH larutan tidak boleh lebih tinggi dari

pH 6, karena jika pH terlalu tinggi, muatan positif dari kitosan akan ternetralisasi

dan sistem ini tidak menjadi sambung silang secara ionik tetapi akan terbentuk

kitosan yang mengendap (Berger, J, dkk., 2004).

Dalam penelitian Fahruzzaman (2017) telah dilakukan uji penetrasi gel

transdermal nanopartikel glukosamin hidroklorida dengan variasi konsentrasi

kitosan yakni 1 %, 0,5 % dan 0,25 % . Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa

jumlah kumulatif glukosamin hidroklorida yang berdifusi melalui membran kulit

paling baik adalah pada konsentrasi kitosan 0,5 %. Namun, pada sediaan tersebut

pH yang didapatkan belum sesuai dengan pH kulit. Menurut literatur pH sediaan

topikal hendaknya diusahakan sama atau sedekat mungkin dengan pH kulit yakni

4,5-6,5 karena apabila sediaan gel terlalu asam atau terlalu basa dari pH kulit,

kulit dapat menjadi kering, pecah-pecah, mengiritasi kulit dan mudah terkena

infeksi (Tranggono, R.I., 2007). Maka dari itu perlu dilakukan pembuatan gel

transdermal nanopartikel glukosamin hidroklorida dengan pH 5 atau pH 6. Nilai

Page 21: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pH yang berbeda dapat mempengaruhi karakteristik fisik dan kemampuan

penetrasi obat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan

karakterisasi fisik dan uji penetrasi glukosamin HCl dari sediaan gel pada pH 5

dan pH 6 yang dibandingkan dengan sediaan tanpa adjust pH.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana karakteristik fisik

dan profil penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl pada pH 5 dan

pH 6 dibandingkan dengan sediaan tanpa adjust pH ?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik dan

profil penetrasi gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl pada pH 5 dan pH 6

dibandingkan dengan tanpa adjust pH.

1.4. Manfaat Penelitian

Setelah penelitian ini dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut:

1) Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan literatur

oleh pihak pendidikan yang digunakan oleh mahasiswa/i yang

berkepentingan.

2) Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak peneliti dan

lainnya yang berminat di bidang penelitian lanjutan tentang

nanokitosan yang mengandung bahan aktif glukosamin HCl yang

dapat digunakan sebagai sediaan farmasi untuk osteoartritis.

3) Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh industri farmasi untuk

memproduksi sediaan farmasi osteoartritis dalam sistem

penghantaran obat transdermal nanokitosan yang mengandung

glukosamin HCl.

Page 22: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoartritis

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi kronik degeneratif yang

tidak diketahui penyebabnya yang ditandai dengan menurunnya kekompakan

tulang kartilago secara bertahap. Osteoartritis merupakan penyakit yang paling

umum di masyarakat, di Inggris dan Wales, antara 1,3 dan 1,75 juta orang

memiliki gejala osteoartritis. Data dari Arthritis Research Campaign

menunjukkan bahwa hingga 550.000 orang di Inggris menderita osteoartritis lutut

berat dan dua juta orang mengunjungi dokter karena osteoartritis (Haq, dkk.,

2003). Osteoartritis dikelompokkan menjadi 2 kelompok , yaitu osteoartritis

primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer adalah osteoartritis yang

tidak memiliki hubungan dengan penyakit sistemik maupun perubahan lokal pada

sendi. Osteoartritis sekunder adalah osteoarthritis yang diketahui penyebabnya

atau yang didasari oleh adanya trauma, obesitas, penyakit paget, atau radang sendi

(Haq, dkk., 2003). Pada tingkat molekuler, osteoartritis ditandai oleh

ketidakseimbangan antara anabolik yaitu biosintesis matriks ekstraseluler dan

katabolik yaitu degradasi jalur matriks ekstraseluler di mana kartilago artikular

adalah situs utama dari cedera jaringan. Karakteristiknya adalah menipisnya

rawan sendi secara progresif disertai pembentukan tulang baru pada trabekula

subkondral dan osteofit pada rawan sendi (Gartner PL, dkk., 2011 ; Ceasario M,

2011).

Gambar 2.1 Patogenesis Osteoartritis

[Sumber: Papanagnou Panagiota, dkk., 2016]

Page 23: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Osteoartritis memiliki banyak faktor resiko, diantaranya adalah

peningkatan usia, kegemukan, trauma, jenis kelamin (perempuan lebih sering

terkena OA), genetik atau keturunan, aktivitas fisik yang berlebih, dan akibat

penyakit endokrin misalnya pada hipotiroidisme terjadi produksi air dan garam-

garam proteoglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong, sehingga

merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia dan kulit (Kalim, 1987;

Isbagio, 2007). Gejala klinis osteoartritis secara umum adalah pasien mengalami

nyeri sendi, hambatan gerakan sendi, nyeri atau kaku sendi setelah imobilitas, rasa

gemeretek (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit, perubahan

gaya berjalan seperti berjalan menjadi pincang (Kalim, 1987). Hal tersebut dapat

mengalami keterbatasan seseorang dalam bergerak, sehingga mengganggu

seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Pengobatan osteoartritis merupakan hal yang sangat penting, karena bila

dilakukan dengan benar dan tekun, maka hasil yang dicapai terbaik dibandingkan

dengan pengobatan artritis lainnya. Tujuan pengobatan osteoartritis adalah untuk

menghilangkan rasa sakit, memperkecil ketidakmampuan, memperbaiki fungsi

sendi yang terkena, dan menghambat progresivitas (Isbagio, 2007). Pilihan

pengobatan osteoartritis dapat berupa istirahat terhadap sendi yang terkena,

penurunan berat badan pada pasien obesitas, terapi fisik atau fisioterapi dan terapi

dengan menggunakan obat (Isbagio, 2007). Obat-obatan untuk osteoartritis

diantaranya adalah golongan analgesik seperti parasetamol , golongan anti-

inflamasi Non steroid (AINS) dan suplement glukosamin sendi (Haq, dkk., 2003).

Pada golongan analgesik dan AINS perlu diperhatikan penggunaannya

terkait efek samping yang dihasilkan, kemudian pada beberapa golongan AINS

dalam jangka panjang dilaporkan dapat memperberat kerusakan tulang rawan

sendi pada osteoartritis (Kalim, 2007). Institute of Medicine (2004) melaporkan

bahwa efek samping pada pasien yang menggunakan glukosamin lebih rendah

dibandingkan dengan pasien yang menggunakan golongan AINS (ibuprofen).

Glukosamin merupakan senyawa yang secara alami terdapat pada tubuh, terutama

pada jaringan penghubung dan jaringan tulang rawan (Anderson, dkk., 2004).

Food and Drug Administration (2004) menggolongkan glukosamin sebagai

suplemen yang dapat membantu menurunkan risiko penyakit persendian.

Page 24: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Glukosamin terbukti dapat menstimulasi produksi tulang rawan dan menghambat

enzim yang menghancurkan tulang rawan. Selain itu, glukosamin juga dapat

membantu menghambat terjadinya perubahan metabolisme tulang pada penderita

osteoartritis (Towheed, dkk., 2005; Clegg , dkk., 2006).

2.2. Glukosamin HCl

Glukosamin merupakan amino monosakarida yang merupakan substrat

yang terlibat dalam biosintesis proteoglikan dan glikosaminoglikan yang

ditemukan di membran mukosa gastrointestinal, matriks kartilago artikular dan

cairan sinovial (Tekko, I. A, dkk., 2006). Proteoglikan merupakan komponen

penting dari kartilago artikular. Glukosamin meningkatkan sintesis proteoglikan

sehingga menghambat kerusakan tulang rawan yang disebabkan oleh osteoartritis

dan membantu menjaga keseimbangan antara proses katabolik dan anabolik

tulang rawan (Isbagio H, 2000). Glukosamin HCl dapat menekan produksi

prostaglandin-E2 yang disebabkan kemampuannya dalam menghambat kerja

enzim siklooksigenase, sehingga meredakan pengaruh peradangan pada penderita

osteoartritis (Orth, M.W.,T.L. Peters, J.N. Hawkins., 2002).

Terdapat tiga bentuk glukosamin yakni, glucosamine hydrochloride,

glucosamine sulfate, dan N-acetyl-glucosamine (Institute of Medicine, 2004).

Dalam penelitian Han In Hee (2010) menunjukkan bahwa glukosamin sulfat

sangat tidak stabil dan perlu distabilkan dengan natrium klorida atau kalium

klorida, sedangkan glukosamin hidroklorida secara alami stabil meskipun

memiliki permeabilitas kulit yang rendah karena sifat hidrofiliknya (Han, In Hee,

dkk., 2010).

Gambar 2.2 Struktur Kimia Glukosamin HCl

[Sumber: Han. In Hee, dkk., 2010]

Page 25: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Secara struktural, glukosamin HCl atau 2-amino-2-deoksi-D-

glukopiranosa hidroklorida memiliki rumus molekul C6H13NO5HCl dengan nama

lain 2-Amino-2-deoxy-D-glucopyranose; chitosamine hydrochloride; D-

glucosamine hydrochloride; D(+)-glucosamine hydrochloride. Glukosamin dalam

bentuk murni berbentuk serbuk kristal putih dengan titik leleh 190-194⁰C dan

massa molekul 215,63 Da. Glukosamin HCl memiliki kelarutan tinggi dalam air

dengan titik larut 100 mg/mL pada suhu 20⁰C (Kralovec dan Barrow 2008).

Glukosamin HCl memiliki pH 3.0 – 5.0 dalam air. Glukosamin hidroklorida harus

disimpan dalam kondisi suhu dan kelembaban yang rendah serta dalam wadah

kedap udara terlindung dari cahaya matahari (Rogers, 2004).

Sekitar 87% dari dosis oral glukosamin diserap pada saluran pencernaan.

Absorbsi glukosamin HCl pada pemberian oral mengalami metabolisme lintas

pertama di hati, sehingga bioavailabilitasnya rendah sebesar 26%. Glukosamin

didistribusikan ke banyak jaringan dengan konsentrasi tertinggi ditemukan di hati,

ginjal, dan tulang rawan artikular. Glukosamin diekskresi terutama dalam urin

(Barclay Teresa Susanne, dkk., 1998).

2.3. Gel Transdermal

Gel merupakan bentuk sediaan semisolid yang ditujukan untuk

penggunaan secara topikal. Gel tersusun atas dispersi molekul kecil atau besar

dalam pembawa berair seperti jeli dengan penambahan bahan pembentuk gel.

Bahan pembentuk gel yang dapat digunakan berupa makromolekul sintetik,

seperti karbomer 934, derivat selulosa, seperti karboksimetilselulosa,

hidroksipropil metilselulosa dan gum alami, seperti tragakan. Selain bahan

pembentuk gel dan air, formulasi gel terdiri dari bahan obat, pelarut, pengawet

antimikroba, dan penstabil (Allen, Loyd V, dkk., 2014).

Gel yang memiliki makromolekul terdistribusi merata di seluruh cairan

tanpa batas yang tampak antara makromolekul yang terdispersi dan cairan disebut

dengan gel fase tunggal, sedangkan massa gel yang terdiri dari flokul partikel

yang terpisah disebut sebagai sistem dua fase. Sediaan gel memiliki beberapa

keuntungan dibandingkan sediaan topikal lainnya yaitu mudah mengering,

Page 26: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

membentuk lapisan film yang mudah dicuci, penyebarannya di kulit mudah dan

memberikan rasa dingin di kulit (Panjaitan EN, dkk., 2012).

Sediaan topikal dapat digunakan baik untuk efek lokal maupun sistemik.

Perbedaan berikut ini merupakan sesuatu yang penting untuk diperhatikan dalam

penggunaan dermatologik, produk dermatologik topikal dirancang untuk

menghantarkan obat ke dalam kulit pada pengobatan penyakit dermal dengan kulit

sebagai organ target kemudian produk transdermal dirancang untuk

menghantarkan obat melalui kulit (absorpsi perkutan) pada sirkulasi umum untuk

efek sistemik dan kulit bukan merupakan organ target produk transdermal

(Allen,Loyd V, dkk., 2014).

Obat transdermal dirancang untuk larut ke dalam kulit untuk

mendapatkan efek sistemik. Penghantaran obat secara transdermal memberikan

banyak keuntungan dibanding dengan bentuk pemberian obat yang lain yaitu

(Allen, Loyd V, dkk., 2014) :

a. Menghindari kesulitan absorpsi obat pada saluran cerna yang disebabkan oleh

pH, aktivitas enzim, dan interaksi obat dengan makanan, minuman, dan obat

yang diberikan secara per oral lainnya.

b. Menghindari efek lintas pertama (first-pass effect), yaitu lintasan awal obat

pada sirkulasi sistemik dan portal setelah absorpsi pada saluran cerna sehingga

menghindari deaktivasi obat oleh enzim pencernaan dan hati.

c. Tidak invasif, menghindari ketidaknyamanan pada terapi dengan rute

pemberian parenteral.

d. Menyediakan terapi yang lebih lama dengan satu kali pemakaian, memperbaiki

kenyamanan dibandingkan bentuk sediaan lain yang memerlukan pemberian

dosis yang lebih sering.

e. Aktivitas obat yang memiliki waktu paruh singkat menjadi lebih lama dengan

adanya reservoir obat dalam sistem penghantaran terapeutik dan pelepasan

terkendali.

f. Terapi obat dapat dihentikan dengan cepat.

g. Mudah dan cepat diidentifikasi dalam kondisi darurat (misalnya ketika pasien

tidak sadar) karena fisik yang terlihat, ciri-ciri dan penanda identifikasi.

Page 27: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Namun sayangnya, tidak semua obat dapat diberikan secara transdermal

dengan baik. Idealnya, obat-obat yang akan diberikan secara transdermal memiliki

sifat-sifat (Gaur, dkk, 2009):

a. Memliki bobot molekul relatif kecil (kurang dari 500 Da). Hal ini karena pada

dasarnya stratum korneum pada kulit merupakan barrier yang cukup efektif

untuk menghalangi molekul asing masuk ke tubuh sehingga hanya molekul-

molekul yang berukuran sangat kecil sajalah yang dapat menembusnya.

b. Memiliki koefisien partisi sedang (larut baik dalam lipid maupun air).

c. Memiliki titik lebur yang relatif rendah. Hal ini karena untuk dapat

berpenetrasi ke dalam kulit, obat harus dalam bentuk cair.

d. Memiliki effective dose yang relatif rendah.

e. Obat atau formulasi tidak menyebabkan iritasi pada kulit.

Absorpsi obat melalui sistem penghantaran transdermal diawali dengan

obat melalui stratum korneum, setelah melalui stratum korneum molekul obat

melintasi jaringan epidermal yang lebih dalam dan memasuki dermis. Ketika obat

mencapai lapisan dermal yang kaya pembuluh darah, obat siap untuk terabsorpsi

memasuki sirkulasi sistemik (Allen, Loyd V, dkk., 2014).

2.4. Kulit

Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh bagian

tubuh dengan luas kulit pada manusia rata-rata 2 m2 dan beratnya sekitar 16 %

dari berat badan seseorang (Kusantati Herni, dkk., 2008). Fungsi utama kulit

adalah sebagai perlindungan tubuh dari mikroorganisme, kehilangan cairan dan

zat iritan kimia maupun mekanik. Selain itu juga sebagai pengaturan suhu tubuh,

ekskresi, metabolisme dan komunikasi (Sloane Ethel, 2003). Lapisan kulit terdiri

dari epidermis, dermis dan hipodermis (Sloane Ethel, 2003). Kulit memiliki pH

yaitu antara 4,5 – 6,5. Jika kulit terkena suatu bahan atau sediaan yang terlalu

asam atau terlalu basa dari pH kulit maka kulit dapat menjadi kering, pecah-

pecah, sensitif, dan mudah terkena infeksi (Tranggono, R.I., 2007).

Page 28: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.3 Struktur Kulit

[Sumber: Kesarwarni Arti, dkk., 2013]

2.4.1. Struktur Kulit

Struktur kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan bagian terluar kulit

(epidermis) yang tersusun menjadi lima lapisan yakni stratum basalis, stratum

spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum dan stratum korneum. Di bawah

lapisan epidermis terdapat lapisan dermis yang terdiri dari stratum papilar dan

stratum retikular dan lapisan terdalam kulit adalah lapisan subkutan (hipodermis)

(Sloane Ethel, 2003).

1. Epidermis

Epidermis adalah bagian terluar kulit yang memiliki ketebalan

berbeda-beda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1

milimeter misalnya pada telapak tangan dan telapak kaki, dan yang

paling tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada kelopak mata, pipi,

dahi dan perut (Kusantati Herni, dkk., 2008). Sel penyusun utama

epidermis adalah keratinosit. Epidermis tidak memiliki pembuluh darah

dan sel-selnya sangat rapat (Sloane Ethel, 2003). Epidermis terdiri dari

lima lapisan yaitu stratum basalis, stratum spinosum, stratum

granulosum, stratum lusidum dan stratum korneum. Stratum basalis

melekat pada jaringan ikat dari lapisan dermis dan terjadi pembelahan sel

yang cepat pada lapisan ini. Lapisan epidermis teratas adalah stratum

korneum yang terdiri dari 25 sampai 30 lapisan sisik tidak hidup yang

Page 29: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sangat terkeratinisasi dan semakin gepeng saat mendekati permukaan

kulit (Sloane Ethel, 2003). Stratum korneum merupakan barrier

(penghalang utama) dalam penetrasi obat karena merupakan lapisan

terluar pada kulit sehingga difusi zat melalui stratum korneum agak

lambat (Sinko, Patrick J, 2011; Wasitaatmadja SM, 2007).

2. Dermis

Dermis dipisahkan dari lapisan epidermis dengan adanya

membran dasar atau lamina. Membran ini tersusun dari dua lapisan

jaringan ikat yakni lapisan papilar dan lapisan retikular. Lapisan papilar

mengandung banyak pembuluh darah dan memberikan nutrisi pada

jaringan epidermis. Kemudian lapisan retikular terletak lebih dalam dari

lapisan papilar yang tersusun dari jaringan ikat ireguler yang rapat,

kolagen dan serat elastik (Sloane Ethel, 2003).

3. Hipodermis

Jaringan lemak hypodermis atau subkutan mendukung dermis

dan epidermis. Ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak Lapisan

ini membantu mengatur suhu, memberikan dukungan nutrisi dan

perlindungan mekanis. Lapisan ini terutama mengandung jaringan lemak,

pembuluh darah dan limfe, saraf-saraf yang berjalan sejajar dengan

permukaan kulit. Cabang-cabang dari pembuluh-pembuluh dan saraf-

saraf menuju lapisan kulit jangat. Jaringan ikat bawah kulit berfungsi

sebagai bantalan atau penyangga benturan bagi organ-organ tubuh bagian

dalam, membentuk kontur tubuh dan sebagai cadangan makanan

(Kusantati Herni, dkk., 2008).

Page 30: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4.2. Jalur Penetrasi Obat ke Kulit

Gambar 2.4 Rute Penetrasi Zat Melalui Kulit (1. melalui saluran keringat, 2.

langsung melintasi stratum korneum, 3. melalui folikel rambut)

[Sumber: Benson Heather A. E., 2005]

Absorpsi perkutan suatu obat secara umum dihasilkan dari penetrasi obat

langsung melalui stratum korneum. Penetrasi obat atau partikulat ke dalam strata

korneum menjadi tugas terpenting dalam pengiriman transdermal. Stratum

korneum merupakan penghalang utama yang menjadi penentu kecepatan transport

transdermal. Stratum korneum merupakan lapisan tipis datar setebal 10 hingga 15

µm yang sebagian merupakan jaringan tidak hidup. tersusun dari sekitar 40%

protein dan 40% air, dalam keseimbangan lipid yang pada prinsipnya berupa

trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol dan fosfolipid. Kandungan lipid

terkonsentrasi pada fase ekstraselular stratum korneum dan membentuk sebagian

besar membran di sekitar sel. Karena rute penetrasi obat utama melalui saluran

interselular, komponen lipid dianggap sebagai penentu yang penting dalam

langkah pertama absorpsi. Setelah melalui stratum korneum, molekul obat dapat

melintasi jaringan epidermal yang lebih dalam dan memasuki dermis. Ketika obat

mencapai lapisan dermal yang kaya pembuluh darah, obat siap untuk terabsorpsi

memasuki sirkulasi sistemik (Allen, Loyd V, dkk., 2014).

Penetrasi obat melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya

proses difusi melalui 2 cara yaitu transepidermal (interselular dan transelular)

serta jalur transppendageal :

Page 31: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Absorpsi transpidermal

Penetrasi obat melalui jalur transpidermal merupakan jalur

difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur

transelular yang berarti melalui protein di dalam sel dan melewati daerah

yang kaya akan lipid (Anwar, 2012). Kemudian terdapat jalur

interselular, dimana obat menembus lapisan kulit melalui ruang antar sel

dari kulit sehingga jalurnya menjadi berliku dan lebih panjang. Untuk

jalur ini lebih cenderung untuk obat yang bersifat lipofilik karena akan

larut dalam lemak yang terdapat di antara filamen (Lund, 1994).

b. Absorpsi transappendageal

Pada jalur ini obat masuk melalui folikel rambut dan kelenjar

keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga

memungkinkan obat berpenetrasi (Anwar, 2012). Jalur ini kurang

potensial dalam permeasi obat karena luas permukaannya yang kecil

yakni hanya mencakup 0,1% area untuk penyerapannya pada kulit

(Toitou & Barry W, 2007).

2.4.3. Faktor yang Mempengaruhi Absorbsi Perkutan

Tidak semua senyawa obat cocok untuk dihantarkan secara transdermal.

Faktor-faktor yang berperan dalam absorpsi perkutan di antaranya sifat fisika

kimia obat, meliputi berat molekul, kelarutan, koefisien partisi dan konstanta

disosiasi, sifat bahan pembawa dan kondisi kulit. Berikut faktor-faktor yang

memengaruhi absorpsi obat (Allen, Loyd V, dkk., 2014) :

1. Konsentrasi obat, jumlah obat yang terabsorpsi secara perkutan pada setiap unit

luas permukaan tiap interval waktu meningkat seiring dengan peningkatan

konsentrasi obat dalam sistem penghantaran obat transdermal.

2. Semakin luas area pemakaian (semakin besar sistem penghantaran obat

transdermal) semakin banyak jumlah obat terabsorpsi.

3. Obat harus memiliki gaya tarik fisikokimia yang lebih besar terhadap kulit

dibandingkan terhadap pembawa, sehingga obat akan meninggalkan pembawa

menuju kulit. Beberapa kelarutan obat baik dalam lipid maupun air dianggap

penting untuk absorpsi perkutan yang efektif. Secara umum,obat dalam bentuk

Page 32: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tidak terionisasi berpenetrasi dalam kulit lebih baik. Obat nonpolar cenderung

melintasi sel barrier melalui bagian yang kaya lemak (rute transelular),

sedangkan obat polar lebih menyukai transport antar sel (rute interselular).

4. Obat dengan berat molekul antara 100-800 dan memiliki kelarutan dalam

lemak dan air dapat melintasi kulit. Berat molekul yang ideal untuk

penghantaran transdermal, yaitu 400 atau kurang.

5. Hidrasi kulit umumnya dapat membantu absorpsi perkutan. Sistem

penghantaran obat transdermal bertindak sebagai barrier hilangnya

kelembapan oklusif yang mengakibatkan keringat tertahan sehingga

meningkatkan hidrasi kulit.

6. Absorpsi perkutan lebih besar ketika sistem penghantaran obat transdermal

digunakan pada daerah dengan lapisan tanduk yang lebih tipis dibandingkan

daerah dengan lapisan tanduk lebih tebal.

7. Aplikasi obat yang lebih lama memungkinkan kontak dengan kulit yang lebih

lama sehingga total obat yang terabsorpsi semakin besar.

8. Suhu dan pH sediaan, permeasi obat meningkat sepuluh kali lipat dengan

variasi suhu. Koefisien difusi menurun saat suhu turun. Asam lemah dan basa

lemah berdisosiasi bergantung pada nilai pH dan pKa atau pKb. Jumlah obat

yang tak terion menentukan konsentrasi obat yang terpenetrasi ke dalam kulit

(Kesarwarni Arti, dkk., 2013).

9. pH kulit, permukaan kulit memiliki pH normal, yaitu sekitar 4,5-6,5,

bergantung usia, jenis kelamin, genetik dan area tubuh. pH vehikulum dan pH

kulit berperan penting dalam difusi obat, karena akan memengaruhi kelarutan,

drug partitioning, dan penetrasi. Beberapa vehikulum terbaru telah

dikembangkan untuk menjaga stabilitas obat, sehingga efektifitasnya lebih baik

(Aliska, dkk., 2015).

2.5. Nanopartikel Kitosan

Nanopartikel adalah dispersi partikel atau partikel padat dengan ukuran

kisaran 10-1000 nm. Dalam sistem penghantaran obat, nanopartikel berperan

sebagai pembawa (carrier) dimana obat di dalamnya terperangkap, terlarut,

terenkapsulasi atau menempel pada matriks nanopartikel (Mohanraj dan Chen,

Page 33: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2006). Nanopartikel akan memfasilitasi penetrasi molekul obat melalui lapisan

luar subkutan, diikuti oleh pelepasan obat ke dalam lapisan kulit yang lebih

dalam. Nanopartikel yang paling umum digunakan untuk pengiriman obat topikal

dan atau transdermal adalah nanopartikel polimer, nanoemulsi, nanopartikel

berbasis lipid (liposom dan nanopartikel solid lipid), nanopartikel logam dan

dendrimers (Goyal, dkk., 2016).

Tujuan utama dari penggunaan nanopartikel dalam sediaan transdermal

yaitu untuk meningkatkan bioavailabilitas dengan meningkatkan luas permukaan

kontak. Ukuran partikel yang semakin mengecil diharapkan akan meningkatkan

luas kontak partikel dengan membran dan mempermudah partikel masuk

menembus membran. Semakin meningkatnya partikel pembawa yang menembus

membran maka diharapkan jumlah obat yang masuk ke sirkulasi sistemik akan

meningkat dan bioavailabilitas zat aktif akan meningkat (Thassu, dkk., 2007).

Kelebihan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat yakni sebagai

perlindungan obat terhadap degradasi, dapat menargetkan obat ke tempat kerja,

organ atau jaringan tertentu, dan dapat menghantarkan molekul biologis seperti

protein, peptida, dan oligonukleotida (Thassu, dkk., 2007).

Nanopartikel dapat dibuat dari berbagai macam bahan seperti protein,

polisakarida dan polimer sintetis atau alami (Sailaja, Amareshwar, & Chakravarty,

2010). Dalam pembuatan nanopartikel dengan polimer yang tidak larut dalam air,

polimer harus dipanaskan atau dilarutkan dalam pelarut organik atau gaya geser

tinggi . Hal tersebut berbahaya bagi stabilitas obat. Sebaliknya, polimer yang larut

dalam air menawarkan metode yang sangat sederhana dan ringan tanpa

menggunakan pelarut organik. Di antara banyak polimer larut air yang tersedia,

kitosan merupakan polimer yang paling banyak diteliti . Hal ini karena kitosan

memiliki beberapa sifat yang ideal sebagai pembawa polimer dalam nanopartikel ,

seperti biokompatibel, biodegradable, tidak beracun, dan murah (Tiyaboonchai,

2003).

Dalam pembuatan nanopartikel kitosan terdapat beberapa metode yaitu,

metode sambung silang (gelasi ionik) , metode mikroemulsi, metode difusi pelarut

emulsifikasi dan metode kompleks polielektrolit (Sailaja, Amareshwar, &

Chakravarty, 2010). Nanopartikel dapat dibuat dengan metode sambung silang.

Page 34: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Nanopartikel sambung silang merupakan nanopartikel yang terbentuk dari proses

sambung silang antara elektrolit dengan pasangan ionnya. Pembuatan

nanopartikel sambung silang dapat dilakukan dengan metode sambung silang

konvensional menggunakan senyawa penyambung silang konvensional atau

dengan menggunakan metode gelasi ionik (Maskevich(ed.), 2007). Metode

sambung silang konvensional kurang disukai karena senyawa penyambung silang

konvensional (misalnya glutaraldehid) harus dihindari dengan alasan senyawa

penyambung silang konvensional menyebabkan kerusakan struktur peptida dan

juga toksisitas seluler. Metode gelasi ionik lebih menarik banyak perhatian karena

proses ini tidak beracun, bebas pelarut organik, mudah dikontrol, mencegah

kemungkinan kerusakan obat-obatan, terutama zat biologis dan mudah

dioperasikan (Fan We, dkk., 2012).

Metode gelasi ionik melibatkan proses sambung silang antara

polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik didasarkan

pada interaksi elektrostatik antara gugus amino bermuatan positif misalnya

kitosan dengan ion bermuatan negatif misalnya dari tripolifosfat (Mattu, Clara,

dkk., 2012). Teknik metode gelasi ionik menawarkan metode preparasi yang

sederhana dan ringan di lingkungan berair. Pertama, kitosan dapat dilarutkan

dalam asam asetat dengan tidak adanya atau adanya zat penstabil, seperti

poloksamer, yang dapat ditambahkan di larutan chitosan sebelum atau sesudah

penambahan polianion. Polianion atau polimer anionik kemudian ditambahkan.

Akibat kompleksasi antara muatan yang berbeda, kitosan mengalami gelasi ionik

dan presipitasi membentuk partikel bulat seperti bola. Dengan demikian,

nanopartikel dibentuk secara spontan akibat pengadukan mekanis pada suhu

kamar (Irianto Eko Hary & Muljanah Ijah, 2011). Ukuran dan muatan permukaan

partikel dapat dimodifikasi dengan memvariasikan ukuran kitosan dan zat

penstabil (Sailaja, Amareshwar, & Chakravarty, 2010).

Page 35: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6. Kitosan

Gambar 2.5 Struktur Kimia Kitosan

[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Kitosan adalah polimer alami yang dihasilkan dari deasetilasi kitin yang

merupakan polisakarida kationik yang terdiri dari unit β (1,4) D-glucosamine dan

N-asetilglukosamin. Kitosan memiliki sifat biokompatibel dengan kulit sehat serta

terinfeksi, biodegradable, nontoksik, dan tidak iritan memiliki sifat antimikroba

yang sangat baik. Kitosan tersedia secara komersial dalam berbagai jenis dengan

berat molekul 10.000-1.000.000 dan dengan derajat deasetilasi yang berbeda-beda

(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Kitosan berbentuk serbuk atau serpihan berwarna putih atau putih-krem

dan tidak berbau. Kitosan sedikit larut dalam air; praktis tidak larut dalam etanol

(95%) dan larutan netral atau alkali pada pH di atas sekitar 6,5 akan tetapi, kitosan

larut dalam sebagian besar larutan asam organik seperti asam format, asam asetat

pada pH kurang dari 6,5 kecuali asam fosfor dan asam sulfur. Setelah pelarutan,

gugus amina polimer terprotonasi menghasilkan polisakarida bermuatan positif

(RNH3+) dan garam kitosan (klorida, glutamat, dan lainlain) yang larut dalam air,

kelarutan dipengaruhi oleh tingkat deasetilasi. Kemudian kelarutan juga sangat

dipengaruhi oleh penambahan garam ke dalam larutan. Semakin besar kekuatan

ionik, maka kelarutan semakin kecil akibat dari pengaruh salting-out, yang

menyebabkan pengendapan kitosan. Kitosan memiliki nilai pH 4.0-6.0 (pada 1%

w/v larutan air (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009; Sailaja A Krishna, dkk., 2010).

Kitosan merupakan poliamin dengan densitas muatan tinggi pada pH

<6,5, sehingga menempel pada permukaan yang bermuatan negatif dan mengkelat

ion logam. Adanya sejumlah gugus amino membuat kitosan dapat bereaksi secara

kimia dengan senyawa anion, yang mana menghasilkan perubahan sifat

fisikokimia dari kombinasi tersebut (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Page 36: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Serbuk kitosan merupakan bahan yang stabil dalam suhu ruang dan dapat

disimpan dalam wadah tertutup baik ditempat yang kering dan sejuk (Rowe,

Sheskey & Quinn, 2009). Dalam bidang medis dan farmakologi, kitosan dapat

diaplikasikan dalam bentuk tablet, membran, mikropartikel dan nanopartikel.

Berbagai metode yang digunakan untuk mempersiapkan nanopartikel berbasis

kitosan dan aplikasinya telah ditinjau secara ekstensif. Kitosan dapat menjerat

obat dengan berbagai mekanisme yakni ikatan sambung silang kimia, ikatan

sambung silang ionik, dan kompleksitas ion (Mattu, Clara, dkk., 2012).

2.7. Natrium Tripolifosfat

Gambar 2.6 Struktur Natrium Tripolifpsfat

[Sumber: Pubchem.ncbi.nlm.nih.gov]

Natrium tripolifosfat adalah senyawa anorganik padat yang memiliki

rumus kimia Na5O10P3 dan berat molekul sebesar 367.86 (g/mol) (HERA, 2003) .

Natrium tripolifosfat ada dalam bentuk garam natrium yang terdapat dalam bentuk

anhidrat maupun heksahidratnya (FAO, 2006) namun bentuk stabil natrium

tripolifosfat adalah dalam bentuk heksahidrat (HERA, 2003). Natrium tripolifosfat

memiliki bentuk serbuk atau granul berwarna putih, sedikit higroskopis dan

memiliki pH 9.0-10 (pada 1% larutan berair) pada suhu 25⁰C. Natrium

tripolifosfat memiliki kelarutan mudah larut dalam air dan tidak larut dalam etanol

(HERA, 2003).

Natrium tripolifosfat sebagai pengikat silang dapat membentuk

nanopartikel dengan kitosan melalui metode gelasi ionik. Metode gelasi ionik

terjadi karena adanya interaksi elektrostatik antara kelompok amina kitosan dan

kelompok polianion yang bermuatan negatif dari natrium tripolifosfat, interaksi

ion ini menghasilkan terbentuknya nanopartikel (Hudson dan Margaritis 2014;

Nagpal, dkk., 2010). Natrium tripolifosfat merupakan crosslinker polianion yang

Page 37: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

paling banyak digunakan, karena bersifat tidak toksik dan multivalen. Yu-Hsin

Lin, dkk (2008) melaporkan bahwa dengan digunakannya natrium tripolifosfat

sebagai salah satu pasangan ion kitosan, hasil nanopartikel yang didapat lebih

stabil dan memiliki karakter penembusan membran yang lebih baik. Akan tetapi,

menurut Wu, dkk (2005) pembentukan nanopartikel hanya dapat terjadi dengan

beberapa konsentrasi kitosan dan TPP yang tepat.

2.8. Monografi

2.8.1. Tween 80

Tween 80 atau Polioksitilen 20 sorbitan monooleat memiliki rumus kimia

C64H124O26 dengan berat molekul 1310. Tween 80 memiliki aroma yang khas dan

rasa yang pahit. Pada suhu 25ºC tween 80 berbentuk cair, berwarna kuning dan

berminyak. Tween 80 larut dalam air dan etanol dan tidak larut dalam minyak

mineral dan minyak nabati. Tween 80 memiliki pH 6-8 dalam 5% zat (w/v) dalam

larutan berair. Tween 80 memiliki fungsi sebagai zat pembasah, emulgator, dan

peningkat kelarutan. Polisorbat bersifat higroskopis dan harus disimpan di tempat

sejuk dan kering dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindungi dari cahaya

(Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Surfaktan dapat digunakan sebagai peningkat

penetrasi dengan cara melarutkan senyawa yang bersifat lipofilik dan melarutkan

lapisan lipid pada stratum corneum. Surfaktan non ionik lebih aman untuk

digunakan karena tidak menyebabkan kerusakan pada kulit (Williams dan Barry,

2004).

2.8.2. Hidroksipropilmetil Selulosa

Gambar 2.7 Struktur Kimia HPMC [Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Hidroksipropilmetil selulosa atau methocel, metilselulosa,

hidroksipropilselulosa, metolose merupakan polimer semisintetik turunan selulosa

Page 38: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang memiliki rumus kimia CH3CH(OH)CH2. HPMC memiliki bentuk serbuk

granul atau serat berwarna putih atau putih-krem. HPMC larut dalam air dingin,

membentuk larutan koloid kental, praktis tidak larut dalam air panas, kloroform,

etanol (95%) dan eter, tetapi larut dalam campuran air dan alkohol. Beberapa jenis

dari HPMC larut dalam larutan aseton, campuran aseton dan propan-2-ol dan

pelarut organik lainnya. Beberapa dapat mengembang dalam etanol. HPMC

merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan garam

logam atau ion organik dan membentuk endapan yang tidak terlarut (Rowe,

Sheskey & Quinn, 2009).

HPMC pada konsentrasi 2% dalam larutan air memiliki pH sebesar 5,0 -

8,0. Bubuk HPMC adalah bahan yang stabil, meski bersifat higroskopis setelah

pengeringan. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 dan tidak dapat bergabung

dengan beberapa senyawa pengoksidasi kuat. Serbuk HPMC harus disimpan

dalam dalam tertutup wadah di tempat sejuk dan kering. HPMC mengalami

perubahan yang reversibel (dapat kembali) dari bentuk padatan ke bentuk gel

dengan pemanasan dan pendinginan secara berturut turut. Tempertur pembekuan

(gelation) antara 50 – 90⁰C, tergantung pada jenis dan konsentrasinya. Pada

temperatur di bawah temperatur gelasi akan terjadi penurunan viskositas larutan

polimer HPMC dengan peningkatan suhu, sedangkan pada temperatur di atas

temperatur gelasi, viskositas akan meningkat dengan meningkatnya suhu. HPMC

umumnya tidak toksik dan tidak menyebabkan iritasi. HPMC digunakan sebagai

bahan bioadesif, pembentuk film, zat penyalut, zat pengontrol pelepasan obat,

agen pendispersi, peningkat disolusi, emulgator, stabilizer emulsi, zat peningkat

viskositas, zat pengikat tablet, mukoadesif dan agen peningkat kelarutan (Rowe,

Sheskey & Quinn, 2009).

2.8.3. Propilen Glikol

Propilen glikol atau 1,2-dihidroksipropane; E1520; 2-hidroksi propanol;

metil etilen glikol; metil glikol; propan-1,2-diol; propilenglikolum merupakan

cairan bening, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, manis, dan memiliki

rasa yang sedikit tajam menyerupai gliserin. Propilen glikol memiliki rumus kimia

C3H8O2 dan struktur kimia seperti pada gambar 2.7. Propilen glikol larut dalam

Page 39: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan air; larut pada 1 dalam 6 bagian

eter, tidak larut dengan minyak mineral ringan atau fixed oil, tetapi larut dalam

beberapa minyak esensial (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Gambar 2.8 Struktur Kimia Propilen Glikol

[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Propilen glikol memiliki fungsi sebagai pengawet antimikroba,

disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, zat penstabil, dan kosolven yang

bercampur dengan air (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009). Selain itu, propilen glikol

juga berperan sebagai peningkat penetrasi obat ke dalam kulit dan memiliki efek

yang sinergis bersama dengan tween 80 (Pandey, dkk., 2014). Sebagai humektan,

konsentrasi propilen glikol yang digunakan adalah 15%. Propilen glikol bersifat

higroskopik dan harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering dalam wadah

tertutup serta terlindung dari cahaya (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

2.8.4. Metil Paraben

Gambar 2.9 Struktur Kimia Metil Paraben

[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Metil paraben atau nipagin memiliki rumus kimia C8H8O3 dengan berat

molekul 152,15. Metil paraben berbentuk kristal tak berwarna atau bubuk kristal

putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau dan sedikit memberikan rasa panas.

Metil paraben memiliki kelarutan dalam air yaitu 1 bagian larut dalam 400 bagian

air pada suhu ruang dan 1 bagian larut dalam 50 bagian air pada suhu 50⁰C. Metil

Page 40: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

paraben mudah larut dalam etanol dan dalam propilen glikol namun praktis tidak

larut dalam minyak mineral. Metil paraben bersifat nonmutagenik,

nonteratogenik, dan non-karsinogenik (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba.

Konsentrasi metil paraben yang digunakan untuk sediaan topikal, yaitu 0,02 % -

0,3 %. Zat ini dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan zat

antimikroba lainnya. Efektivitas metil paraben sebagai anti mikroba berada pada

rentang pH 4 – 8 dan lebih aktif melawan ragi atau jamur dibandingkan bakteri.

Aktivitas antimikroba metil paraben dapat ditingkatkan dengan menggunakan

kombinasi paraben seperti metil-, etil-, propil-, dan butil paraben. Efikasinya

sebagai pengawet juga dapat meningkat dengan ditambahkannya propilen glikol

(2 - 5%) (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

2.8.5. Propil Paraben

Gambar 2.10 Struktur Kimia Propil Paraben

[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Propil paraben atau nipasol memiliki rumus kimia C10H12O3 dengan

berat molekul 180, 20. Propil paraben berbentuk bubuk putih, kristal, tidak berbau

dan tidak berasa. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan eter, mudah larut

dalam etanol 95% dan dalam propilen glikol. Kelarutannya dalam air adalah 1

bagian larut dalam 2500 bagian air pada suhu ruang dan dalam 225 bagian air

pada suhu 80⁰C (Rowe, Sheskey & Quinn, 2009).

Propil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam

produk kosmetik, makanan, dan farmasi. Aktivitas antimikroba ditunjukkan pada

pH antara 4 – 8. Konsentrasi propil paraben yang digunakan untuk sediaan

topikal, yaitu 0,01 % - 0,6 % (Rowe dkk, 2009). Propil paraben memiliki rantai

yang lebih panjang dibandingkan metil paraben, sehingga kelarutannya menurun,

tetapi aktivitas antimikrobanya lebih baik daripada metil paraben. Penggunaan

Page 41: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kombinasi paraben dapat meningkatkan aktivitas antimikroba (Rowe, Sheskey &

Quinn, 2009).

2.8.6. Trietanolamin (TEA)

Gambar 2.11 Struktur Kimia Trietanolamin

[Sumber: Rowe, Sheskey & Quinn, 2009]

Trietanolamin (TEA) atau nama lainnya tealan; triethylolamine;

trihydroxytriethylamine memiliki bentuk cairan kental yang bening, tidak

berwarna hingga sedikit kuning, berbau sedikit amoniak. Pada suhu 20⁰C

trietanolamin dapat bercampur dengan air, metanol dan aseton; dapat larut dalam

24 bagian benzena dan dalam 63 bagian etil eter. TEA berfungsi sebagai pengatur

pH yakni alkalizing agen. TEA inkompatibilitas dengan tembaga, tionil klorida

dan asam mineral. Trietanolamin harus disimpan dalam wadah bebas udara yang

terlindung dari cahaya, di tempat sejuk dan kering (Rowe, Sheskey & Quinn,

2009).

2.9. Uji Penetrasi Metode Sel Difusi Franz

Formulasi suatu sediaan transdermal yang baik harus dapat memberikan

pelepasan obat yang optimal dan deposisi obat ke dalam lapisan kulit yang ingin

dicapai, yaitu stratum korneum, epidermis atau dermis. Studi penetrasi in vitro

berhubungan dengan penilaian bioavailabilitas zat aktif pada kulit untuk

mengukur kecepatan dan jumlah senyawa yang melewati kulit, dimana hal

tersebut tergantung pada obat, bentuk sediaan, bahan eksipien, bahan peningkat

penetrasi dan variabel formulasi lainnya (Witt & Bucs, 2003).

Salah satu cara metode in vitro untuk mengukur jumlah obat yang

terpenetrasi melalui kulit yaitu dengan menggunakan sel difusi Franz. Sel difusi

Franz terbagi atas dua kompartemen, yaitu kompartemen donor dan kompartemen

reseptor yang terpisahkan oleh suatu pelapis atau potongan kulit. Membran yang

digunakan dalam uji penetrasi ini dapat digunakan membran berupa kulit manusia

Page 42: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

atau kulit hewan. Salah satu kulit hewan yang dapat digunakan adalah membran

kulit tikus. Perbedaan jenis kelamin pada tikus memberikan perbedaan sifat pada

membran kulitnya, di mana membran kulit betina lebih elastis dibandingkan

dengan kulit jantan sehingga mempermudah penggunaannya ketika diletakkan

pada sel difusi franz. Selain itu, kulit tikus jantan 40% lebih tebal daripada kulit

tikus betina (Dao dkk, 2007). Membran diletakkan di antara kedua kompartemen

yang dilengkapi 0-ring untuk menjaga letak membran. Selanjutnya kompartemen

reseptor diisi dengan larutan penerima. Suhu pada sel dijaga sesuai dengan suhu

kulit sebenarnya dengan sirkulasi air menggunakan water jacket di sekeliling

kompatemen reseptor. Sediaan yang akan diuji diaplikasikan pada membran kulit.

Kemudian pada interval waktu tertentu cairan dari kompartemen reseptor diambil

beberapa mL dan segera digantikan dengan cairan yang sama sejumlah cairan

yang diambil. Selanjutnya jumlah obat yang terpenetrasi melalui kulit dapat

dianalisis dengan metode yang sesuai (Walters & Brain, 2002 ; Fan, Mitchnick, &

Loxley, 2007).

Gambar 2.12 Sel Difusi Franz

[Sumber: http://permegear.com/franz-cells]

2.10. Spektrofotometri UV-Vis

2.10.1. Teori Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu teknik atau instrument yang

paling sering digunakan dalam analisis farmasi untuk mengukur rasio, atau fungsi

rasio, intensitas dua berkas cahaya di wilayah UV-Visible. Hal ini melibatkan

Page 43: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengukuran jumlah sinar ultraviolet atau sinar tampak yang diserap oleh suatu zat

dalam larutan. Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah

spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan

kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang

gelombang 200-800 nm (Gandjar dan Rohman, 2007)

Teknik spektrofotometri merupakan teknik yang sederhana, cepat, cukup

spesifik dan dapat digunakan untuk senyawa yang kecil. Hukum dasar yang

mengatur analisis spektrofotometri kuantitatif adalah Hukum Lambert-Beer.

Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa Intensitas yang diteruskan oleh larutan

zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Menurut

Gandjar dan Rohman (2007), metode spektrofotometri ultraviolet-visibel

digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat dalam jumlah yang cukup

banyak. Cara untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan

perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku atau dengan

menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara

konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya

digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.10.2. Komponen Instrumen Spektrofotometri UV-Vis

Menurut Gandjar dan Rohman (2007) komponen dari instrumen

spektrofotometer UV-Vis meliputi sumber-sumber sinar, monokromator dan

sistem optik :

1. Sebagai sumber sinar, lampu deuterium atau lampu untuk daerah UV (190-350

nm) dan lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel (350-900 nm).

2. Monokromator; digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-

komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah

(slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang

gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrumen melewati

spektrum.

3. Optik-optik; dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber

sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer

berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu

Page 44: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Blanko

yang paling sering digunakan dalam spektrofotometri adalah semua pelarut

yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi. (Gandjar & Rohman,

2007).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan

spektrofotometri UV-Vis, terutama untuk senyawa yang semula tidak berwarna

yang akan dianalisis dengan spektrofotometri visibel karena senyawa tersebut

harus diubah terlebih dahulu menjadi senyawa yang berwarna. Berikut adalah

tahapan yang harus diperhatikan (Gandjar & Rohman, 2007) :

a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis

Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak

menyerap pada daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan

merubah menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu

yang harus memenuhi beberapa persyaratan seperti, reaksinya selektif

dan sensitif, reaksinya cepat dan kuantitatif, serta hasil reaksi stabil

dalam jangka waktu yang lama.

b. Waktu Operasional (operating time)

Tujuan waktu operasional adalah untuk mengetahui waktu

pengukuran yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur

hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan.

Pengukuran senyawa berwarna (hasil suatu reaksi kimia) harus dilakukan

pada saat waktu operasional, karena semakin lama waktu pengukuran

maka ada kemungkinan senyawa berwarna akan rusak atau terurai

sehingga mengakitbakan intensitas warna dan absorbansinya turun.

c. Pemilihan Panjang Gelombang

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif

adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Hal

ini karena jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang

disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali,

ketika digunakan panjang gelombang maksimal. Alasan lain

digunakannya panjang gelombang maksimum adalah karena pada

panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal.

Page 45: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

d. Pembuatan Kurva Baku

Pembuatan kurva baku dilakukan dengan cara membuat seri

larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi.

Kemudian masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai

konsentrasi diukur dan dibuat kurva yang merupakan hubungan antara

absorbansi dengan konsentrasi. Jika hukum Lamber-Beer terpenuhi maka

kurva baku berupa garis lurus.

e. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara

0,2 - 0,8 atau 15 % - 70 % jika dibaca sebagai transmitans. Anjuran ini

berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah

0,005 atau 0,5 % (kesalahan fotometrik).

2.10.3. Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap

parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan

bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya

(Harmitha, 2004). Menurut United States Pharmacopeia (USP) validasi metode

analisis dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik,

reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Validasi metode

analisis perlu dilakukan untuk menjamin bahwa setiap pengukuran serupa yang

dilakukan di masa yang akan datang akan menghasilkan nilai terhitung (calculated

value) yang cukup dekat atau sama dengan nilai sebenarnya dari jumlah analit

yang terdapat dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2012). Parameter yang dinilai

pada validasi metode analisis salah satunya adalah batas deteksi (LOD) dan batas

kuantitasi (LOQ) (Riyanto, 2014).

LOD adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi

yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. LOD

merupakan parameter yang dapat dipengaruhi oleh perubahan kecil dalam sistem

analitis (misalnya suhu, kemurnian reagen, efek matriks, kondisi berperan). Oleh

karena itu, penting bahwa parameter ini selalu dilakukan oleh laboratorium dalam

memvalidasi metode. Batas kuantitasi merupakan konsentrasi terendah analit

Page 46: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat

diterima dibawah kondisi yang disepakati. Limit deteksi dan limit kuantisasi tidak

dapat dipisahkan karena diantara keduanya terdapat hubungan yang sangat kuat.

Secara praktis cara evaluasi keduanya dapat dikatakan tidak ada perbedaan yang

signifikan. Perbedaan di antara keduanya hanya pada sifat kuantitatif data yang

diperoleh (Riyanto, 2014).

Terdapat tiga cara dalam menentukan LOD dan LOQ, yaitu signal-to-

noise, penentuan blanko dan dengan kurva kalibrasi. Untuk kurva kalibrasi linear,

diasumsikan bahwa respon instrumen y berhubungan linier dengan konsentrasi x

standar untuk rentang yang terbatas konsentrasi. Hal ini dapat dinyatakan dalam

model seperti y = bx + a. Oleh karena itu LOD dan LOQ dapat dinyatakan sebagai

(Riyanto, 2014):

LOD = 3 Sa/b

LOQ = 10 Sa/b

Keterangan:

Sa

b =

=

Standar deviasi

Slope

Page 47: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan ± 6 bulan, terhitung dari bulan Januari – Juli tahun

2018 yang dilaksanakan di Laboratorium Kimia Bahan Obat dan Laboratorium

Penelitian 2 FIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Bahan Penelitian

Glukosamin HCl (Nutraceuticals International), kitosan (PT. Biotek

Surindo), natrium tripolifosfat (WAKO), hidroksipropilmetil selulosa/HPMC

60SH50 (Shin Etsu Japan), asam asetat, natrium asetat (Merck), dietil eter

(Merck), metil paraben (Bratako), propil paraben (Bratako), propilenglikol

(Bratachem), trietanolamin (Bratako), Dapar fosfat 7,4 ; aquadest, tisu, aluminium

foil, dan plastic wrap.

3.3. Alat Penelitian

Timbangan analitik (AND GH-120), viskotester Haake 6+, pengaduk

magnetik, pH meter (Horiba F-52), spektrofotometri UV-Vis (U- 2900, Hitachi),

Franz Diffusion Cell, buret (50 ml, Pyrex), Overhead stirrer, vial dan alat-alat

gelas yang sering dipakai di laboratorium.

3.4. Prosedur Kerja

3.4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl

Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dengan cara melarutkan 1 g

glukosamin HCl dan 0,25 g Tween 80 ke dalam 40 ml larutan kitosan 0,5 %

dalam larutan asam asetat 1%. Sebanyak 10 ml larutan Na-TPP 0,1 % diteteskan

ke dalam larutan kitosan untuk dilakukan sambung silang sambil diaduk

menggunakan bantuan pengaduk magnetik hingga terbentuk dispersi nanopartikel.

Page 48: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.2. Preparasi Sediaan Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Gel Nanopartikel glukosamin HCl dibuat dalam 3 formula seperti yang

tertera dalam Tabel 3.1

Tabel 3.1 Formula Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Bahan Formula

Fungsi F1 F2 FK

DNPG 50 ml 50 ml 50 ml Zat Aktif

HPMC 4 g 4 g 4 g Gelling Agent

Propilen Glikol 10 g 10 g 10 g Pelarut

Nipagin 0,18 g 0,18 g 0,18 g Pengawet

Nipasol 0,02 g 0,02 g 0,02 g Pengawet

TEA qs ad pH 5 qs ad pH 6 - Pengatur pH

Aquadest Add 100 g Add 100 g Add 100 g Pelarut Keterangan: DNPG = dispersi nanopartikel glukosamin, berisi 1 g glukosamin HCl

FK = Formula Kontrol; F1 = Formula 1; F2 = Formula 2

Nipagin dan nipasol dicampur dengan propilen glikol dan dipanaskan

dalam penangas air dengan suhu 60°C sampai larut, kemudian didinginkan sampai

suhu kamar (M1). Selanjutnya HPMC didispersikan ke dalam air menggunakan

overhead stirrer dengan kecepatan 270 rpm sampai homogen (M2). M1yang telah

dibuat ditambahkan ke dalam M2 dengan menggunakan overhead stirrer hingga

homogen (M3). Kemudian dispersi nanopartikel ditambahkan ke dalam M3

sampai terbentuk massa gel yang homogen. Selanjutnya ditambahkan larutan

pengatur pH TEA hingga diperoleh pH yang diinginkan. Kemudian diaduk secara

perlahan sampai terbentuk massa gel yang homogen.

3.4.3. Evaluasi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

a. Pemeriksaan Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan mengamati

penampilan fisik sediaan, meliputi bentuk, warna, kekentalan, dan bau

(Departemen Kesehatan RI, 2014).

Page 49: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Pemeriksaan Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan menggunakan dua

kaca objek. Cara pengujiannya sebagai berikut, sejumlah tertentu sediaan

dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca objek yang

lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi sediaan. Suatu

sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat

adanya butiran kasar (Departemen Kesehatan RI, 1979). Pemeriksaan

homogenitas dilakukan pengulangan tiga kali.

c. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter. pH meter

sebelumnya dikalibrasi dengan menggunakan larutan dapar standar pH 4

dan pH 7. Pada saat pengukuran pH, elektroda pada pH meter dicelupkan

ke dalam sediaan yang dibuat dan dicatat nilai pH yang tertera pada layar

(Departemen Kesehatan RI, 2014).

d. Pengukuran Viskositas dan Rheologi

Viskositas (cP) dan rheologi (% Torque) sediaan diukur

menggunakan viskometer Haake 6+. Sediaan diukur viskositas dan

rheologi dengan menggunakan spindel nomor 3 pada kecepatan 2, 3, 4, 5,

6, 10, 12, 20, 30, 50, 60, dan 100 rpm, kemudian kembali lagi dengan

kecepatan 60, 50, 30, 20, 12, 10, 6, 5, 4 dan 2 rpm. Setelah itu dibuat

kurva rheogram untuk mengetahui sifat alir sediaan antara % Torque dan

kecepatan geser (rpm).

3.4.4. Validasi Metode Analisa Derivatisasi Glukosamin HCl (Gaonkar,

dkk., 2006; Riyanto, 2014).

a. Pembuatan Standar Glukosamin HCl

Sebanyak 100 mg glukosamin HCl standar dilarutkan dalam 100

ml natrium asetat 0,10 M dan didiamkan selama ± 24 jam sehingga

diperoleh konsentrasi akhir glukosamin HCl sebesar 1000 mg/L.

Page 50: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Pembuatan Standar Phenyl Thiourea

Standar phenyl thiourea (PTH) diperoleh dari derivatisasi

glukosamin HCl standar dengan phenyl isothiocyanate (PITC). Sebanyak

4 ml larutan glukosamin HCl standar dimasukkan ke dalam labu

volumetrik 25 ml dan ditambahkan 0,4 mL PITC dan 15 ml metanol,

kemudian ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai tanda batas.

Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu

dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air, kemudian didinginkan

dan volume dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest. Larutan tersebut

kemudian diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan 15 ml dietil eter

untuk menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan bagian larutan yang

mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin HCl diambil.

c. Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum

Pemilihan panjang gelombang (λ) dilakukan dengan

menggunakan larutan glukosamin HCl standar, larutan phenyl

isothiocyanate, dan larutan phenyl thiourea hasil derivatisasi glukosamin

HCl dengan phenyl isothiocyanate lalu dilakukan scanning menggunakan

spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang gelombang (λ) 200 - 400

nm.

d. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin

Dibuat seri konsentrasi larutan standar phenyl thiourea

menggunakan aquadest dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/L

kemudian diukur absorbansinya dengan spektrometri UV-Vis pada

panjang gelombang maksimum yang didapat. Kemudian nilai absorbansi

tersebut diplot terhadap konsentrasi untuk mendapatkan kurva standar

dan persamaan garis yang menunjukkan hubungan antara absorbansi

dengan konsentrasi glukosamin.

Page 51: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ)

LOD dan LOQ dihitung berdasarkan metode kurva kalibrasi,

dimana untuk kurva kalibrasi linier diasumsikan bahwa respon instrumen

y berhubungan linier dengan konsentrasi x standar untuk rentang yang

terbatas konsentrasi. Hal ini dapat dinyatakan dalam model seperti y = bx

+ a, sehingga LOD dan LOQ dapat dinyatakan sebagai:

LOD = 3 Sa/b

LOQ = 10 Sa/b

Keterangan:

Sa

B =

=

Standar deviasi

Slope

dimana, Sa ditentukan dengan:

2

)( 2

n

yiySa

3.4.5. Uji Penetrasi

a. Sediaan Gel Transdermal Nanopartikel Glukosamin HCl

Uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan metode Franz

Difusion Cells dengan kulit tikus sebagai membran. Tikus yang

digunakan adalah tikus betina galur Sparague Dawley berumur 2-3 bulan

dengan berat ± 150-200 gram. Kulit yang digunakan adalah kulit pada

bagian abdomen. Tikus dibius dengan eter hingga mati dan bulu tikus

pada bagian abdominal dicukur secara hati-hati menggunakan pisau

cukur. Kemudian kulit tikus pada bagian abdominal disayat dan lemak-

lemak pada bagian subkutan yang menempel dibersihkan secara hati-hati,

hasil sayatan kulit yang sudah bersih dari lemak direndam dengan

medium reseptor yang digunakan.

Membran ini dipasangkan di antara kompartemen donor dan

kompartemen reseptor. Bagian stratum korneum (luar) menghadap ke

bagian atas (kompartemen donor). Medium reseptor yang digunakan

adalah dapar fosfat pH 7,4. Kompartemen reseptor dikelilingi oleh water

jacket untuk menjaga pada suhu 37°C. Cairan reseptor diaduk

menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 500 rpm. Sampling

Page 52: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dilakukan dengan mengambil 1 ml dalam interval waktu tertentu. Setiap

setelah melakukan sampling, ditambahkan medium reseptor yang baru

dengan volume dan temperatur yang sama untuk menjaga agar volume

tetap konstan. Jumlah gel yang diaplikasikan sebanyak 300 mg gel.

Kemudian dari hasil sampling dihitung kadar glukosamin menggunakan

spektrofotometer UV-Vis. Fluks dan jumlah kumulatif zat terpenetrasi

dihitung per luas area.

b. Perhitungan Jumlah Kumulatif dan Kecepatan Penetrasi Zat

Aktif

Jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per luas

area difusi (μg/cm2) dihitung dengan rumus (Thakker dan Chern, 2003) :

A

C.SCnVQ

n

i

1

1

Keterangan:

Q = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)

Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling menit ke-n

V = Volume sel difusi franz (21 ml)

1

1

n

iC = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-

10 hingga sebelum menit ke-n)

S = Volume sampling (1 ml)

A = Luas area membran (3,14 cm2)

Kecepatan penetrasi tiap satuan waktu (fluks) glukosamin HCl

dihitung dengan rumus :

t

Q

sxt

MJ

Keterangan:

J = Fluks (μg cm-2

jam-1

)

S = Luas area difusi (cm2)

M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (μg)

T = Waktu (jam)

c. Analisa Kadar Glukosamin (Gaonkar, dkk., 2006)

Masing-masing sampel dari ketiga formula dan sediaan standar

diambil sebanyak 4 ml ( 1 ml sampel + Na Asetat) dan dimasukkan ke

dalam labu volumetrik 25 ml kemudian ditambahkan 0,4 ml PITC dan 15

ml metanol, lalu ditambahkan dengan metanol : air (3:2) sampai tanda

Page 53: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

batas. Sebanyak 10 ml diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi

lalu dipanaskan selama 20 menit di atas penangas air, kemudian

didinginkan dan volume dicukupkan hingga 10 ml dengan aquadest.

Larutan tersebut kemudian diekstraksi sebanyak 2 kali menggunakan 15

ml dietil eter untuk menghilangkan PITC yang tidak bereaksi, dan bagian

larutan yang mengandung PTH hasil derivatisasi glukosamin HCl

diambil. Absorbansinya diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada

panjang gelombang maksimum yang didapat. Hasil absorbansi yang

diperoleh kemudian dimasukkan dalam persamaan regresi linear dari

kurva standar glukosamin HCl dan diperoleh konsentrasi sampel

glukosamin HCl.

3.4.6. Analisis Data

Data hasil uji penetrasi berupa data fluks dan jumlah kumulatif

zat yang terpenetrasi. Analisis data dilanjutkan dengan analisis statistik

yaitu uji parametrik jika syarat normalitas dan homogenitas terpenuhi.

Uji parametrik dilakukan dengan One Way Analysis of Variance

(ANOVA). Selanjutnya dilakukan uji lanjut Post Hoc dengan LSD (least

square differences).

Page 54: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Preparasi Nanopartikel Glukosamin HCl

Pada penelitian Fahruzzaman (2017) telah dilakukan preparasi gel

nanopartikel glukosamin hidroklorida dengan variasi konsentrasi kitosan, yakni

1%; 0,5%; dan 0,25%. Dari hasil yang diperoleh, jumlah kumulatif dan kecepatan

penetrasi zat aktif paling baik adalah pada konsentrasi 0,5%, namun hasil gel yang

didapatkan tidak sesuai dengan pH kulit, yakni 4,5 – 6,5. Maka dari itu, dalam

penelitian ini dibuat gel nanopartikel glukosamin hidroklorida sesuai dengan pH

kulit, yakni 5 dan 6, kemudian dibandingkan dengan sediaan yang tidak sesuai

dengan pH kulit. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik dan

daya penetrasi sediaan gel transdermal nanopartikel yang mengandung

glukosamin hidroklorida pada masing-masing pH sediaan yang berbeda.

Tahap pertama yang dilakukan adalah pembuatan nanopartikel

glukosamin hidroklorida dengan metode gelasi ionik menggunakan polimer

kitosan dan natrium tripolifosfat. Nanopartikel yang terbentuk terjadi karena

adanya interaksi elektrostatik antara gugus amino bermuatan positif pada kitosan

dengan ion bermuatan negatif pada natrium tripolifosfat (Mattu, Clara, dkk.,

2012). Metode gelasi ionik digunakan karena proses ini tidak beracun, bebas

pelarut organik dan sederhana (Fan We, dkk., 2012).

Dalam pembuatan nanopartikel glukosamin hidroklorida, dibuat dispersi

nanopartikel yakni 1 gram glukosamin HCl dalam 50 ml. Bahan yang digunakan

dalam pembuatan nanopartikel glukosamin HCl ini adalah kitosan, natrium

tripolifosfat dan tween 80. Penggunaan tween 80 digunakan untuk meningkatkan

stabilitas fisik dengan mencegah aglomerasi (Shafie dan Hadeel, 2013).

Konsentrasi natrium tripolifosfat yang digunakan adalah 0,1 % dimana pelarut

yang digunakan adalah aquadest.

4.2. Preparasi Gel Glukosamin HCl

Bentuk sediaan gel dipilih karena medium pendispersi nanopartikel

glukosamin HCl memiliki kadar air yang tinggi, dimana sediaan gel merupakan

Page 55: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sediaan semisolid transparan yang mempunyai kandungan air yang cukup tinggi

(Martin dkk, 1983), sehingga akan lebih mudah jika dibentuk dalam bentuk gel.

Selain itu, sediaan gel dipilih karena gel mudah mengering, mudah dicuci dan

mudah dalam penyebarannya di kulit (Panjaitan EN, dkk., 2012).

Pada pembuatan gel dibutuhkan bahan pembentuk gel atau gelling agent.

Bahan pembentuk gel yang digunakan pada penelitian ini adalah Hidroksi Propil

Metil Selulosa (HPMC). HPMC dipilih karena merupakan basis gel yang tidak

memiliki muatan (nonionik) atau netral, sehingga tidak menganggu nanopartikel

yang telah terbentuk. Kemudian telah dilakukan uji pendahuluan pembuatan gel

nanopartikel glukosamin HCl dengan basis HPMC dan kitosan, hasil stabilitas

fisik yang diperoleh paling baik adalah dengan menggunakan basis gel HPMC.

Dalam pembuatan gel ini digunakan nipagin dan nipasol yang berfungsi

sebagai pengawet sediaan, karena gel mengandung kadar air yang tinggi sehingga

mudah ditumbuhi bakteri dan jamur. Propilen glikol digunakan sebagai pelarut

nipagin dan nipasol. TEA digunakan sebagai pengatur pH agar sediaan gel sesuai

dengan pH kulit. Pemilihan TEA dikarenakan lebih efisien dan tidak mengiritasi

kulit.

4.3. Evaluasi Gel Glukosamin HCl

4.3.1. Pengamatan Organoleptik

Uji organoleptis gel dilakukan dengan mengamati secara visual meliputi

bentuk, warna dan bau dari gel. Hasil pengamatan organoleptis gel nanopartikel

glukosamin hidroklorida pada F1, F2, dan Formula kontrol menunjukkan bahwa

ketiga formula semitransparan, berbentuk kental, berbau khas HPMC dan sedikit

asam. Bau asam yang tercium berasal dari asam asetat yang digunakan sebagai

pelarut kitosan. Sediaan yang semitransparan dikarenakan bahan-bahan yang

digunakan terdispersi secara koloidal dalam sediaan gel.

Page 56: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

39

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.1 Gel Nanopartikel Glukosamin HCl. (A) pH 6; (B) pH 5; (C) Tanpa

adjust pH

4.3.2. Pemeriksaan Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas pada ketiga formula gel nanopartikel

glukosamin hidroklorida bertujuan untuk mengetahui apakah seluruh bahan telah

tercampur secara marata atau tidak, serta pada saat dioleskan di kulit tidak

diperbolehkan terasa adanya bagian padat (Voigt, 1995). Hasil evaluasi

menunjukkan ketiga sediaan gel terlihat homogen. Hal ini sesuai dengan

persyaratan karena tidak terdapat butiran-butiran kasar atau partikel padat yang

belum terdispersi dalam sediaan gel, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4. 2 Uji Homogenitas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl. (A) pH 5; (B)

pH 6; (C) Tanpa adjust pH

A B C

A

B

C

Page 57: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.3.3. Pengukuran pH

Hasil pengukuran pH gel nanopartikel glukosamin HCl pada F1, F2, dan

Formula kontrol yaitu secara berturut-turut terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 pH Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Formula pH

F1 5,013 ± 0,002

F2 6,067 ± 0,014

FK 3,820 ± 0,037

Pada evaluasi pengukuran pH didapatkan hasil yang berbeda-beda pada

setiap formula, hal ini dikarenakan penggunaan TEA sebagai alkalizing agent

yang digunakan dalam setiap formula berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin tinggi penambahan TEA yang digunakan, maka akan semakin besar pH

sediaan gel karena TEA merupakan zat basa (Rowe,Sheskey & Quinn, 2009).

Tujuan dibedakannya penambahan TEA, karena ingin melihat karakteristik fisik

dan profil penetrasi pada masing-masing formula.

Berdasarkan hasil evaluasi pengukuran pH didapatkan pada Formula

Kontrol belum memenuhi persyaratan dan pada F1 dan F2 telah memenuhi

persyaratan pH sediaan topikal yaitu antara 4,5 – 6,5. Kulit yang normal memiliki

pH antara 4,5 - 6,5 sehingga sediaan topikal harus memiliki pH yang sama dengan

pH normal kulit tersebut (Wasitaatmadja, 1997). pH sediaan tidak boleh terlalu

asam karena dapat mengiritasi kulit dan tidak boleh terlalu basa karena dapat

membuat kulit menjadi bersisik (Dureja, 2010 dalam Salsabiela 2014; Vasiljevic,

2005 dalam Salsabiela 2014). Kesesuaian pH kulit dengan pH sediaan topikal

mempengaruhi penerimaan kulit terhadap sediaan (Wasitaatmadja, 1997).

4.3.4. Pengukuran Viskositas dan Rheologi

Pengukuran viskositas bertujuan untuk mengetahui tingkat kekentalan

dari sediaan gel nanopartikel yang dihasilkan. Viskositas merupakan pernyataan

dari suatu cairan untuk mengalir, semakin tinggi viskositasnya maka semakin sulit

untuk mengalir atau semakin besar tahanannya (Barokah, 2014). Viskositas

digambarkan melalui suatu kurva viskositas dengan memplotkan laju geser

(sumbu x) dan viskositas cPs (sumbu y) (Islam., dkk., 2004). Viskositas sediaan

Page 58: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

41

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gel nanopartikel glukosamin HCl berbasis HPMC dapat dilihat pada Gambar 4.3

serta pada Lampiran 2.

Nilai viskositas sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl

menurun seiring dengan meningkatnya kecepatan spindel. Dari hasil yang

diperoleh, nilai viskositas sediaan gel transdermal nanopartikel glukosamin HCl

menurun seiring meningkatnya laju geser, yakni dari 1710 cP menjadi 930 cP

pada Formula Kontrol, 3620 cP menjadi 830 cP pada Formula 1, 4920 cP menjadi

920 cP pada Formula 2. Cairan farmasetik yang memiliki variasi viskositas

dengan adanya peningkatan atau penujunan laju geser merupakan karakteristik

dari cairan non-Newton (Aulton, 2001).

Gambar 4.3 Grafik Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Hasil viskositas yang diperoleh dari ke tiga formula didapatkan viskositas

yang tidak terlalu kental, sehingga mudah dalam pengaplikasian gel ke kulit dan

mudah dalam penuangan. Hal ini sesuai dengan sediaan gel transdermal yang

diharapkan. Dari hasil yang diperoleh, viskositas pada gel nanopartikel

glukosamin HCl semakin tinggi seiring dengan tingginya pH sediaan gel.

Penambahan trietanolamin mengakibatkan pH sediaan gel semakin meningkat.

Perubahan pH ini dapat merubah viskositas larutan kitosan. Salah satu faktor yang

mempengaruhi viskositas larutan kitosan adalah pH (Jansson Doris, 2010).

Berdasarkan penelitian Whei wang menyatakan bahwa semakin tinggi pH larutan

kitosan maka semakin tinggi viskositasnya.

Page 59: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

42

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.4 Kurva Reologi Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Pengukuran reologi dilakukan untuk mengetahui sifat dasar dari suatu

sistem (Herh dkk, 1998). Reologi terlibat dalam pencampuran dan aliran bahan-

bahan, pengemasan bahan-bahan ke dalam wadah, dan pemindahan sebelum

penggunaannya. Reologi dapat memengaruhi pemilihan peralatan yang digunakan

selama proses produksi. Peralatan yang tidak sesuai akan menyebabkan hasil yang

tidak diinginkan contohnya seperti karakteristik sifat alirnya (Martin dkk, 2008).

Reologi digambarkan melalui suatu kurva reogram dengan memplotkan laju geser

(sumbu x) dan % torque (sumbu y) (Islam dkk, 2004).

Berdasarkan Gambar 4.4 rheogram yang terbentuk pada Formula kontrol

dan formula 1 memiliki sifat alir pseudoplastis tiksotropik karena pada kurva

aliran ini mulai pada titik asal (0,0), oleh sebab itu tidak ada yield value seperti

dalam sistem plastis dan terdapat adanya celah (loop hysteresis) antara kurva naik

dan kurva menurun, di mana kurva aliran menurun berpindah ke sebelah kiri

kurva menaik (Sinko Patrick, 2011). Daerah loop ini menandakan waktu yang

FK F1

F2

Page 60: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

43

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dibutuhkan untuk suatu struktur kembali seperti semula setelah gaya dikurangi

atau dihilangkan (Herh dkk, 1998). Sifat alir pseudoplastis tiksotropi merupakan

suatu sifat alir yang mempunyai konsistensi tinggi dalam wadah namun dapat

dituang atau disebar dari wadah dengan mudah (Sinko Patrick, 2011). Rheogram

dari kurva reologi pada formula 2 menunjukkan sifat alir pseudoplastis, karena

titik asal berawal dari titik (0,0) yang menunjukkan bahan akan langsung mengalir

pada saat diberikan tegangan geser serta menunjukkan penurunan viskositas

dengan meningkatnya laju geser (Sinko Patrick, 2011). Rheogram pada F2 terlihat

kurva naik berhimpit dengan kurva menurun yang menandakan bahwa aliran tidak

dipengaruhi waktu (Sinko Patrick, 2011).

4.4. Validasi Metode Analisa Glukosamin HCl

Validasi metode analisa dilakukan untuk mengukur kadar glukosamin

HCl yang terpenetrasi melalui membran kulit yang diperlukan pada tahap

selanjutnya yakni uji penetrasi menggunakan sel difusi franz. Metode analisa yang

digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan Spektrofotometri UV-

Vis. Hal ini dipilih karena analisa menggunakan spektrofotometri UV-Vis

memiliki teknik yang sederhana, cepat dan tidak memerlukan biaya yang cukup

besar jika dibandingan dengan instrumen lainnya seperti HPLC.

4.4.1. Pembuatan Senyawa Phenyl Thiourea (PTH)

Glukosamin HCl tidak memiliki gugus kromofor pada daerah sinar

ultraviolet atau visual (Laverty dkk, 2005). Kromofor merupakan molekul atau

bagian molekul yang mengabsorbsi sinar dengan kuat di daerah UV-Vis

(Suhartati, 2013). Dalam penelitian ini digunakan instrumen spektrofotometri UV-

Vis sehingga glukosamin HCl harus diderivatisasi terlebih dahulu. Derivatisasi zat

ini dilakukan agar glukosamin HCl membentuk senyawa kromofor sehingga dapat

dideteksi pada daerah UV (Liang dkk, 1999). Glukosamin HCL dapat

diderivatisasi dengan pereaksi fluorogenik. Pada penelitian ini digunakan pereaksi

Phenylisothiocyanate (PITC) untuk menderivatisasi glukosamin HCL. Hasil

derivatisasi glukosamin HCl dengan pereaksi PITC tersebut akan terbentuk

senyawa phenyl thiourea yang dapat dideteksi oleh spektrofotometri UV-Vis.

Page 61: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

44

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Metode pembuatan senyawa phenyl thiourea (PTH) ini mengacu pada

metode yang telah divalidasi oleh Gaonkar (2006). Validasi yang telah dilakukan

dalam penelitian tersebut meliputi akurasi, presisi, linearitas, spesifisitas, dan

keterulangan.

4.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (PTH)

Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan

menggunakan larutan standar glukosamin HCl dengan konsentrasi 1000 ppm.

Pada penelitian ini diperoleh nilai absorbansi maksimum pada panjang gelombang

238 nm. Panjang gelombang maksimum berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Gaonkar (2006) yang mengukur glukosamin dengan teknik derivatisasi

dengan pereaksi PITC menggunakan spektrofotometri UV-Vis adalah 240 nm.

Perbedaan panjang gelombang sebesar 2 nm masih dalam batas toleransi yang

diperbolehkan menurut Depkes RI (1995). Panjang gelombang maksimum

glukosamin HCl dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl

Kurva kalibrasi digunakan untuk mendapatkan persamaan regresi yang

akan digunakan untuk menghitung kadar senyawa glukosamin HCl bebas dan

menghitung batas deteksi serta batas kuantisasi. Kurva kalibrasi dibuat dengan

menghubungkan nilai absorbansi yang dihasilkan dengan beberapa konsentrasi

larutan standar glukosamin HCl yang sudah diderivatisasi pada panjang

gelombang 238 nm. Persamaan regresi dari kurva kalibrasi yang diperoleh adalah

y = 0,0604x - 0,019 dengan koefisien korelasi r2

= 0,9956.

Gambar 4.5 Kurva Kalibrasi Standar Glukosamin HCl

y = 0,0604x - 0,019 R² = 0,9956

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0 2 4 6 8 10 12

Ab

sorb

ansi

Konsentrasi

Page 62: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

45

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.4.4. Uji Batas Deteksi dan Batas Kuantisasi (LOD dan LOQ)

Uji batas deteksi dilakukan untuk mengetahui jumlah terkecil analit

dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan masih memberikan respon yang

signifikan dibandingkan blanko, sedangkan uji kuantisasi dilakukan untuk

mengetahui kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi

kriteria akurasi dan presisi (Harmita, 2004). Selain itu, uji LOD dan LOQ

digunakan untuk memastikan ketepatan pengukuran kadar yang akan dilakukan

pada tahap selanjutnya yakni uji penetrasi. Penentuan batas deteksi dan batas

kuantisasi dihitung secara statistik pada garis linier dari kurva kalibrasi standar

glukosamin HCl yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan

nilai batas deteksi larutan glukosamin HCl sebesar 0,7314 ppm dan nilai batas

kuantisasi larutan glukosamin HCl sebesar 2,4383 ppm. Perhitungan nilai LOD

dan LOQ dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.5. Uji Penetrasi Gel Glukosamin HCl

Pada penelitian ini dilakukan uji penetrasi glukosamin hidroklorida

secara in vitro menggunakan sel difusi franz. Uji penetrasi dilakukan untuk

mengetahui jumlah glukosamin HCl yang dapat berpenetrasi melalui kulit selama

interval waktu tertentu dari sediaan gel nanopartikel berbasis HPMC yang telah

dibuat. Uji penetrasi secara in vitro dilakukan dengan menggunakan suatu

membran, dapat berupa membran dari hewan atau membran spangler. Membran

yang digunakan pada penelitian ini adalah membran dari kulit bagian abdomen

tikus putih betina galur Sprague-Dawley dengan berat 150-200 gram. Digunakan

kulit tikus karena mudah didapatkannya dan permeabilitas kulit tikus yang telah

dicukur bulunya mendekati permeabilitas kulit manusia (Marselina Rizky, 2012).

Dalam penyiapan membran kulit tikus, pertama tikus dimasukkan ke

dalam eksikator yang telah jenuh dengan eter. Hal ini bertujuan agar tikus mati

dan proses ini tidak merusak kulit tikus. Kemudian kulit tikus dicukur bulunya

secara hati-hati dan dihilangkan lemaknya dari subkutan agar tidak mengganggu

penetrasi glukosamin HCl ke dalam kulit. Pada saat pencukuran bulu tikus harus

diperhatikan dan dilakukan secara hati-hati. Setelah membran kulit telah

Page 63: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

46

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

disiapkan, kemudian membran kulit direndam dengan cairan medium reseptor

yang akan digunakan. Selanjutnya, membran kulit diletakkan secara hati-hati

diantara kompartemen donor dan kompartemen reseptor dengan stratum korneum

menghadap ke kompartemen donor. Hal ini dikarenakan agar sediaan gel yang

diaplikasikan pada membran dapat berpenetrasi menembus kulit dan masuk ke

dalam medium kompartemen reseptor.

Sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl ditimbang sebanyak 300 mg

dan diratakan di atas membran kulit tikus yang telah dipreparasi sebelumnya.

Penentuan bobot sediaan yang diaplikasikan dilakukan berdasarkan luas membran

dan penyebaran sediaan yang merata. Pengaplikasian sediaan dengan bobot yang

terlalu besar pada luas membran yang kecil akan menyebabkan terjadinya

penumpukan sediaan lapisan atas membran, sehingga zat aktif tidak sepenuhnya

terlepas dari sediaan dan hanya tertinggal di permukaan kulit (Simanjuntak,

2005). Pada pengujian ini glukosamin HCl harus larut dalam cairan kompartemen

reseptor yang digunakan. Glukosamin HCl larut dalam air sehingga medium

reseptor yang digunakan pada penelitian ini adalah dapar fosfat 7,4. Penggunaan

dapar fosfat 7,4 menggambarkan simulasi cairan biologis manusia dalam tubuh.

Volume dapar fosfat 7,4 yang digunakan sebanyak 21 ml sesuai dengan

wadah kompartemen reseptor. Suhu medium kompartemen reseptor dijaga agar

sesuai dengan kondisi suhu tubuh yakni 37⁰C dengan bantuan water jacket.

Selama penetrasi berlangsung, medium kompartemen reseptor diaduk

menggunakan stirrer dengan kecepatan pengadukan sebesar 500 rpm, hal ini

berfungsi untuk menghomogenkan zat aktif yang terpenetrasi di dalam cairan

reseptor. Uji penetrasi dilakukan selama 8 jam dan pengambilan sampel sebanyak

1 ml dilakukan pada interval waktu tertentu yakni pada menit ke- 10, 30, 60, 90,

120, 180, 240, 300, 360, 420 dan 480. Setiap kali dilakukan pengambilan sampel,

larutan kompartemen reseptor diganti kembali dengan larutan dapar fosfat 7,4

yang baru sejumlah volume yang sama seperti pengambilan sampel, yakni 1 ml.

Hal ini dilakukan untuk menjaga volume cairan reseptor tetap konstan selama

percobaan dan untuk mempertahankan sink condition (Lachman dkk., 1994) .

Hasil sampel yang telah dicuplik selanjutnya diderivatisasi terlebih dahulu dan

diukur serapannya menggunakan spektrofotometri UV-Vis.

Page 64: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

47

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.5.1. Jumlah Kumulatif Zat Terpenetrasi Per Luas Area

Perhitungan jumlah kumulatif zat terpenetrasi per luas area bertujuan

untuk mengetahui jumlah zat aktif yang masuk melewati membran kulit tikus.

Data hasil perhitungan jumlah kumulatif glukosamin HCl yang terpenetrasi per

luas area dapat dilihat pada Tabel 4.2, sedangkan grafik jumlah kumulatif

glukosamin HCl dapat dilihat pada Gambar 4.6. Pada Tabel 4.3 menunjukkan data

persentase kumulatif glukosamin HCl.

Berdasarkan hasil pengujian penetrasi menunjukkan jumlah kumulatif

gukosamin HCl yang terpenetrasi melalui membran kulit tikus selama 8 jam pada

Formula 1, Formula 2, dan Formula kontrol berturut-turut adalah 898,864 ±

15,581 µg/cm2 ; 852,201 ± 11,629 µg/cm

2; dan 884,189 ± 18,913 µg/cm

2. Nilai

tersebut menunjukkan kadar glukosamin HCl yang terdapat di dalam cairan

reseptor. Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa jumlah kumulatif glukosamin HCl per

luar area dari ketiga formula meningkat seiring berjalannya waktu. Data jumlah

kumulatif glukosamin HCl pada semua formula diolah dengan menggunakan

statistik SPSS 22 dengan metode uji normalitas, uji homogenitas, uji One Way

Anova dan uji LSD. Pada uji normalitas dan uji homogenitas didapatkan nilai

signifikansi >0,05 yang menunjukkan data terdistribusi secara normal dan

homogen.

Hasil pengolahan data statistik jumlah kumulatif glukosamin HCl dengan

metode uji One Way Anova menunjukkan bahwa hasil jumlah kumulatif

glukosamin HCl per luas area memiliki perbedaan yang bermakna antara ketiga

formula dikarenakan memiliki nilai signifikasi <0,05. Perbedaan bermakna ini

ditunjukkan pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2 melalui hasil

pengolahan data dengan uji LSD dikarenakan pada Formula kontrol dengan F2

dan F1 dengan F2 memiliki nilai signifikansi <0,05. Kemudian hasil uji LSD pada

Formula kontrol dengan F1 tidak memiliki perbedaan secara bermakna

dikarenakan nilai signifikansi >0,05. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pH

sediaan memberikan pengaruh terhadap penetrasi zat aktif ke kulit, kecuali pada

Formula kontrol dengan F1.

Page 65: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

48

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu penyebab yang mempengaruhi penetrasi jumlah kumulatif

glukosamin hidroklorida per luas area pada Formula kontrol dengan F2 dan F1

dengan F2 adalah nilai viskositasnya. Di mana nilai viskositas F2 lebih besar

dibandingkan dengan Formula kontrol dan F1 yang menandakan bahwa F2

memiliki viskositas yang lebih kental. Peningkatan viskositas pada formulasi

menurunkan penetrasi obat ke dalam kulit yang mungkin disebabkan oleh

penurunan difusi (Regnier dkk, 1998). Menurut penelitian Thakker dan Chern

(2003) pelepasan obat berbanding terbalik dengan viskositas dalam formulasi.

Kemudian berdasarkan penelitian Khoirunisa (2017) yang memformulasi sediaan

emulgel gamma oryzanol dengan variasi gelling agent mengakibatkan hasil

viskositas yang berbeda, hasil viskositas tersebut memengaruhi hasil penetrasi

gamma oryzanol. Hasil penetrasi gamma oryzanol paling kecil adalah pada

sediaan emulgel yang memiliki viskositas yang lebih tinggi.

Dari hasil uji LSD pada Formula kontrol dengan F1 tidak terjadi

perbedaan yang signifikan, sedangkan viskositas pada masing-masing formula

tersebut mengalami perbedaan yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa tidak

hanya viskositas yang mempengaruhi penetrasi jumlah kumulatif glukosamin

hidroklorida. Adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi penetrasi obat adalah

ukuran partikel dan efisiensi penjerapan. Di mana semakin kecil ukuran partikel

maka jumlah obat yang berinteraksi dengan area pada stratum korneum akan

meningkat (Pathak dan Deepak, 2009), kemudian semakin besar efisiensi

penjerapan maka semakin cepat dan semakin banyak zat aktif yang masuk

melewati kulit karena perbedaan gradien yang tinggi antara dua kompartemen

(Annisa, dkk., 2016). Dalam penelitian ini belum diketahui hubungan antara pH

dengan ukuran partikel dan efisiensi penjerapan. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian lanjutan berkaitan dengan pengaruh pH terhadap ukuran partikel dan

efisiensi penjerapan nanopartikel kitosan glukosamin hidroklorida.

Page 66: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

49

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.2 Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area

Waktu

(menit)

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per Satuan Luas Area (µg/cm2 )

F1 F2 Formula Kontrol

10 419,8 ± 30,4 390,3 ± 15,4 435,5 ± 36,5

30 472,1 ± 26,2 424,5 ± 11,9 484,8 ± 61,7

60 522,2 ± 41,7 459,6 ± 11,5 521,7 ± 62,2

90 556,2 ± 17,3 515,6 ± 32,0 548,2 ± 57,4

120 616,5 ± 42,0 554,9 ± 33,9 609,0 ± 29,5

180 660,1 ± 42,3 592,3 ± 40,8 638,4 ± 76,1

240 718,5 ± 33,4 636,0 ± 14,3 703,1 ± 32,3

300 759,0 ± 37,0 692,6 ± 28,0 742,1 ± 34,3

360 813,0 ± 15,6 725,8 ± 28,0 788,8 ± 39,5

420 845,3 ± 24,3 813,8 ± 28,8 852,2 ± 23,3

480 898,8 ± 15,5 852,2 ± 11,6 884,1 ± 18,9

Gambar 4.6 Grafik Jumlah Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area

Tabel 4.3 % Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area

Waktu

(menit)

% Kumulatif Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area

F1 F2 Formula Kontrol

10 43,9 ± 3,1 40,8 ± 1,6 45,5 ± 3,8

30 49,4 ± 2,7 44,4 ± 1,2 50,7 ± 6,4

60 54,6 ± 4,3 48,1 ± 1,2 54,6 ± 6,5

90 58,2 ± 1,8 53,9 ± 3,3 57,3 ± 6,0

120 64,5 ± 4,4 58,0 ± 3,5 63,7 ± 3,0

180 69,1 ± 4,4 62,0 ± 4,2 66,8 ± 7,9

240 75,2 ± 3,5 66,5 ± 1,5 73,5 ± 3,3

300 79,4 ± 3,8 72,4 ± 2,9 77,6 ± 3,5

360 85,1 ± 1,6 75,9 ± 2,9 82,5 ± 4,1

420 88,4 ± 2,5 85,1 ± 3,0 89,2 ± 2,4

480 94,0 ± 1,6 89,1 ± 1,2 92,5 ± 1,9

Page 67: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

50

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.5.2. Fluks Penetrasi

Fluks atau kecepatan penetrasi bertujuan untuk mengetahui kecepatan zat

aktif dalam menembus kulit. Data fluks difusi glukosamin HCl dapat dilihat pada

Tabel 4.4, sedangkan grafik fluks difusi glukosamin HCl per luas area dapat

dilihat pada Gambar 4.7.

Tabel 4.4 Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Satuan Luas Area

Waktu

(menit)

Fluks Penetrasi (µg cm-2 jam

-1)

F1 F2 Formula Kontrol

10 2519,0 ± 182,9 2341,8 ± 92,4 2613,1 ± 219,2

30 944,2 ± 52,4 849,1 ± 23,8 969,7 ± 123,5

60 522,2 ± 41,7 459,6 ± 11,5 521,7 ± 62,2

90 370,8 ± 11,5 343,7 ± 21,3 365,4 ± 38,2

120 308,2 ± 21,0 277,4 ± 16,9 304,5 ± 14,7

180 220,0 ± 14,1 197,4 ± 13,6 212,8 ± 25,3

240 179,6 ± 8,3 159,0 ± 3,5 175,7 ± 8,0

300 151,8 ± 7,4 138,5 ± 5,6 148,4 ± 6,8

360 135,5 ± 2,6 120,9 ± 4,6 131,4 ± 6,5

420 120,7 ± 3,4 116,2 ± 4,1 121,7 ± 3,3

480 112,3 ± 1,9 106,5 ± 1,4 110,5 ± 2,3

Gambar 4.7 Grafik Fluks Difusi Glukosamin HCl Per Luas Area

Berdasarkan data pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa fluks penetrasi

ketiga formula semakin menurun dengan bertambahnya waktu. Pada Gambar 4.7

dapat terlihat bahwa fluks penetrasi glukosamin HCl dari ketiga formula awalnya

tinggi lalu menurun dan kemudian mendatar. Pada ketiga formula nilai fluks

meningkat pada menit ke 10, hal ini memperlihatkan bahwa terjadinya pelepasan

zat aktif secara cepat. Setelah itu, pada menit ke 30 hingga 480 kecepatan

Page 68: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

51

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penetrasi mengalami penurunan, namun pada jam ke 4 fluks penetrasi glukosamin

HCl menjadi garis lurus yang menggambarkan bahwa keadaan sudah mencapai

steady state (Martin dan Cammarata, 1983).

Dari data yang diperoleh didapatkan kecepatan penetrasi pada masing-

masing formula berbeda, di mana kecepatan penetrasi paling tinggi adalah pada

F1 dan kecepatan penetrasi paling rendah adalah pada F2. Hasil pengolahan data

statistik SPSS 22 dengan metode uji One Way Anova menunjukkan bahwa hasil

fluks penetrasi glukosamin HCl per luas area memiliki perbedaan yang bermakna

antara ketiga formula dikarenakan memiliki nilai signifikasi <0,05. Perbedaan

bermakna ini ditunjukkan pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2

melalui hasil pengolahan data dengan uji LSD, hal ini dikarenakan pada Formula

kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2 memiliki nilai signifikansi <0,05. Kemudian

hasil uji LSD pada Formula kontrol dengan F1 tidak memiliki perbedaan secara

bermakna dikarenakan nilai signifikansi >0,05. Hal ini menandakan bahwa pH

sediaan mempengaruhi kecepatan penetrasi zat aktif ke kulit, kecuali pada

Formula kontrol dengan F1.

Fluks penetrasi senyawa berbanding lurus dengan jumlah kumulatif zat

aktif terpenetrasi per luas area menurut hukum Ficks I. Oleh karena itu, faktor-

faktor yang mempengaruhi jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi per

luas area turut mempengaruhi fluks penetrasi glukosamin HCl melalui membran

difusi (Anggraeni, 2008). Salah satu faktor yang mempengaruhi absorpsi obat

melalui kulit adalah viskositas sediaan (Martin dan Cammarata, 1983).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadon (2012) jumlah kumulatif

obat dan fluks penetrasi obat ke kulit lebih kecil pada sediaan yang memiliki

viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan viskositas yang lebih rendah.

Hal ini terjadi karena laju penetrasi berbanding terbalik dengan nilai viskositas.

Semakin kental suatu sediaan maka akan semakin sulit pelepasan obat dari

pembawanya (Martin dan Cammarata, 1983). Hasil statistik uji LSD pada

Formula kontrol dengan F1 tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, hal ini

dapat dikatakan bahwa tidak hanya viskositas yang dapat mempengaruhi fluks

penetrasi. Faktor lain yang dapat mempengaruhi fluks penetrasi adalah ukuran

partikel dan efisiensi penjerapan (Pathak dan Deepak, 2009; Annisa, dkk, 2016).

Page 69: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

52

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Maka dari itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai karakteristik ukuran

partikel dan evaluasi penjerapan pada nanopartikel kitosan glukosamin

hidroklorida dengan variasi pH.

Page 70: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

53 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1) Perbedaan variasi pH sediaan memberikan perbedaan viskositas dan

sifat alir. Viskositas paling besar hingga paling rendah secara

berturut-turut adalah F2 > F1 > Formula kontrol. Pada hasil uji

homogenitas, sediaan gel nanopartikel glukosamin HCl F1, F2, dan

Formula kontrol homogen secara fisik.

2) Perbedaan variasi pH sediaan pada pembuatan gel nanopartikel

glukosamin HCl memberikan pengaruh atau perbedaan yang

bermakna pada jumlah kumulatif dan fluks penetrasi glukosamin

HCl pada Formula kontrol dengan F2 dan F1 dengan F2, kecuali

pada Formula kontrol dengan F1. Didapatkan hasil jumlah kumulatif

glukosamin HCl yang ter penetrasi per luas area selama 8 jam pada

F1, F2, dan Formula kontrol secara berturut-turut adalah 898,8 ±

15,5 µg/cm2; 852,2 ± 11,6 µg/cm

2; dan 884,1 ± 18,9 µg/cm

2. Fluks

penetrasi menit ke 480 pada F1, F2, dan Formula kontrol secara

berturut-turut adalah 112,3 ± 1,9 µg cm-2 jam

-1; 106,5 ± 1,4 µg cm-

2

jam-1

; dan 110,5 ± 2,3 µg cm-2 jam

-1.

3) Berdasarkan evaluasi yang dilakukan pada penelitian ini, data yang

menunjukkan hasil yang optimal adalah pada Formula 1 (pH 5).

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pengaruh pH

sediaan terhadap ukuran partikel nanopartikel glukosamin hidroklorida.

Page 71: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

54

DAFTAR PUSTAKA

A, Aghazadeh-Habashi, S. Sattari, F. Pasutto, F. Jamali, J. Pharm. Sci. 5. (2002).

176- 180.

Aliska Gestina., Purwantyastuti., Indriatmi Wresti. (2015). Berbagai Faktor Yang

Memengaruhi Pemberian Obat Secara Topikal. Jakarta: FK Universitas

Indonesia.

Allen, L. V., & Ansel H. C. (2014). Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and

Drug Delivery Systems, Tenth Edition. Philadelpia: Lippincott Williams

& Wilkins.

American College of Rheumatology. (2012). Osteoarthritis. Lake Boulevard NE,

Atlanta.

Anderson JW., Nicolosi RJ., Borzelleca JF. (2005). Glucosamine effects in

humans: a review of effects on glucose metabolism, side effects, safety

considerations and efficacy. Food and Chemical Toxicology. 43:187-201.

Anggraini dan Hendrati. (2014). Hubungan Obesitas dan Faktor-Faktor Pada

Individu dengan Kejadian Osteoarthritis Genu. Surabaya: Departemen

Epidemiologi FKM Unair.

Annisa, Rahmi., Hendradi, Esti., Melani, Dewi. (2016). Pengembangan sistem

nanostructured lipid carriers (NLC) meloxicam dengan lipid monostearin

dan miglyol 808 menggunakan metode emulsifikasi. Journal Trop.

Pharm. Chem. Vol.3 No.3.

Anwar, E. (2012). Eksipien Dalam Sediaan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta:

Penerbit Dian Rakyat.

Aulton,M. (2001). Pharmaceutical The Science of Dosage Forms Design:

Chruchill Livingstore.

Barclay, T.S., C. Tsourounus, G.M., McCart, G.M. (1998). Glucosamine. Ann

Pharmacotherapy 32.

Balitbang Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta:

Balitbang Kemenkes RI.

Barokah, R. (2014). Variasi Harga HLB Emulgator Berdasarkan Perbandingan

Tween 80 Dan Span 80 Terhadap Sifat Fisik Dan Kimia Krim Ekstrak

Etanol Curcuma Mangga Val Sebagai Sunscreen. Surakarta: Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret.

Benson, Heather A.E.(2005) .Transdermal Drug Delivery: Penetration

Enhancement Techniques. Western Australia: Biomedical Research

Institute School of Pharmacy.

Page 72: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

55

Berger, J., Reist, M., Mayer, J.M., Fekt, O, dkk. (2004). Structure and interactions

in covalently and ionically crosslinked chitosan hidrogel for biomedical

applications. Eur. J. Of pharm. And biopharmaceutics. 57 19-34.

Bhumkar, D.R. dan Pokharkar, V.B. (2006). Studies on Effect of pH on

Crosslinking of Chitosan with Sodium Tripolyphosphate: A Technical

Note, AAPS PharmSciTech., 7(2), E1-E6

Brigger I, Dubernet C, Couvreur P. (2002). Nanoparticles in cancer therapy and

diagnosis. Adv. Drug Deliv. Rev; 54, 631-651.

Ceasario M. Osteoarthritis lutut [homepage on the Internet]. 2009. Available

from: http://www.medicalera.com/info.

Carter M. A. (2006). Osteoarthritis dalam: Price S., Wilson L. Patofisiologi

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Chattopadhyay dan Inamdar. (2012). Studies on Synthesis, Characterization and

Viscosity Behaviour of Nano Chitosan. International Science Congress

Association.

Chen.H, R dan Lin.H, J. (1994). Effects of pH, ionic strength, and type of anion

on the rheological properties of chitosan solutions. VCH

Verlagsgesellschaft mb.

Clegg DO., Reda DJ., Harris CL., Klein MA., O'Dell JR., Hooper MM., Bradley

JD., Bingham CO 3rd., Weisman MH., Jackson CG., Lane NE., Cush JJ.,

Moreland LW., Schumacher HR Jr., Oddis CV., Wolfe F., Molitor JA.,

Yocum DE., Schnitzer TJ., Furst DE., Sawitzke AD., Shi H., Brandt KD.,

Moskowitz RW., Williams HJ. 2006. Glucosamine, chondroitin sulfate,

and the two in combination for painful knee osteoarthritis. New England

Journal of Medicine, 354, 795-808.

Dao, Harry., dan Rebecca, A. Kazin. (2007). Gender Differences in Skin : A

Review of the Literature. Gender Medicine, 4(4), 1550-8579.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi

III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Farmakope Indonesia. Edisi

V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dureja, H., Kaushik, D., Gupta, M., Kumar, V., Lather, V. (2005).

Cosmeceuticals: An Emerging Concept, Indian J Pharmacol.

Fahruzzaman, Asyraq. (2017). Uji Penetrasi Gel Transdermal Nanopartikel

Glukosamin Hidroklorida dengan Variasi Konsentrasi Kitosan

Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Fan, Quiuxi, Mitchick, Mark., & Loxley, Andrew. (2007). In Vitro Release

Testing. Drug Delivery Technology, 63-65.

Page 73: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

56

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Fan, W., Yan, W., Xu, Z., Ni, H., (2012), Formation mechanism of monodisperse,

low molecular weight chitosan nanoparticles by ionic gelation technique,

Colloids and Surfaces B: Biointerfaces, 90, 21-27.

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). (2006).

Pentasodium Triphosphate. Diunduh pada tanggal 19 Februari 2018, dari

http://www.fao.org/food/food-safety-quality/scientific-advice/jecfa/jecfa-

additives/detail/en/c/406/.

Formation mechanism of monodisperse, low molecular weight chitosan

nanoparticles by ionic gelation technique Wen Fana,b,1, Wei Yanb,1,

Zushun Xub, Hong Ni. (2012).China: School of Life Science, Hubei

University.

FDA (U.S. Food and Drug Administration). (2004). Letter Regarding the

Relationship Between the Consumption of Crystalline Glucosamine

Sulfate and a Reduced Risk of Osteoarthritis (Docket No. 2004P-0060).

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Gandjar, I. G., & Rohman, A. (2012). Analisis Obat secara Spektroskopi dan

Kromatografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gartner PL, Hiatt JL, Strum JM. Tulang rawan dan tulang. In: Saputra L, editor.

Essential Biologi dan Histologi. Jakarta: Binarupa Aksara,2011; p.127-

46.

Gaur, P.K., Mishra, Purohit, S., & Dave, K. (2009). Transdermal drug delivery

system: A Review. AJPCR, 2, 14-20.

Gaonkar, Priya., dkk. (2006). Spectrophotometric Method for Determination of

Glucosamine in T Glucosamine in Tablets. Indian Journal of

Pharmaceutical Sciences.

Goyal, R., dkk. (2016). Nanoparticles and Nanofibers for Topical Drug Delivery.

Journal of Controlled Release, 240, 77-92.

Han, In Hee., dkk. (2010). Identification and Assesment of Permeability

Enhancing Vehicles for Transdermal Delivery of Glucosamine

Hydrochloride. Arcj. Pharm. Res. Vol 33, No 2, 293-299, 2010. DOI

10.1007/s12272-010-0215-4.

Harmita, (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara

Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasiaan, 1(3):117-135.

Haq I, E Murphy., J Dacre. (2003). Osteoarthritis. Postgraduate Medical Journal.

79, 377–383.

Hera. (2003). Sodium Tripolyphosphate (STPP). Human & Environmental Risk

Assessment on ingredients of European household cleaning products.

Page 74: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

57

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Herh, P; Tkachuk, J; Wu, S; Bernzen, M; Rudolph, B. (1998). Application Note:

The Rheology of Pharmaceutical and Cosmetics Semisolids. American

Laboratory, pp 12-13.

Hudson, D., dan A. Margaritis. (2014). Biopolymer nanoparticle production for

controlled release of biopharmaceuticals. Critical Reviews in

Biotechnology 34: 161–179.

Institute of Medicine dan National Research Council. (2004). Prototype

monograph on glucosamine. In Dietary Supplements: a framework for

evaluating safety. C-1-C86.

Irianto Hari Eko dan Muljanah Ijah. (2011). Proses dan Aplikasi Nanopartikel

Kitosan Sebagai Penghantar Obat. Squalen. Vol 6 No 1.

Isbagio H. (2000). Struktur rawan sendi dan perubahannya pada osteoatritis.

Cermin Dunia Kedokteran. 129:6.

Isbagio., dkk. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta:

FKUI.

Islam, M; Rodriguez-Hornedo, N; Ciotti, S; Ackermann, C. (2004). Rheological

Characterization of Topical Carbomer Gels Neutralized to Different pH.

Pharmaceutical Research, Vol 21, No 7, pp 1192-1199.

Jansson, Doris. (2010). Development and Characterisation of Chitosan-plasmid

DNA Nanoparticles. Master of Science Thesis.

Kalim. (1987). Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Kesarwani Arti., Yadav Ajit Kumar., Singh Sunil., Gautam Hemendra., Singh N

Haribansh., Sharma Anamika., Yadav Chitresh. (2013). Theoretical

Aspects Of Transdermal Drug Delivery System. Bulletin of

Pharmaceutical Research. 3(2), 78-89.

Khoirunisa Rosdiana, Auliyani. (2017). Uji Penetrasi Gamma Oryzanol Dalam

Sediaan Emulgel Dengan Variasi Konsentrasi Polimer Karbopol 940

Sebagai Gelling Agent Menggunakan Sel Difusi Franz. Skripsi. UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kralovec JA., Barrow CJ. (2008). Marine Nutraceutical and Functional Foods:

Glucosamine Production and Health Benefits. Canada: CRC Press. VJ

Mohanraj1* and Y Chen2

Kurihara, Tamie &. William, R,Good.(1994). Barrier Properties of the Skin:

Skin Development and Permeation Dalam: Hsieh, D.S., Drug

Permeation Enhancement: Theory and Applications. Ney York.Marcel

Dekker, Inc.,199-200.

Kusantati Herni., Prihatin Pipin Tresna Prihatin., Wiana Winwin. (2008). Tata

Kecantikan Kulit untuk SMK Jilid 1. Jakarta : Direktorat Pembinaan

Page 75: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

58

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen

Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Lachman, L, Lieberman, H.A., and Kanig, J.L.. (1994). Teori dan Praktek

Farmasi Industri, Edisi III. Jakarta: UI Press.

Laverty, S., J.D. Sandy, C.Celeste, P.Vachon,J.F.Marier, A.H.K. (2005). Arthritis

Rheum.

Liang, Zhongming, Leslie, J., Adebowale, A., Ashraf, M., & Eddington, N. D.

(1999). Determination of the nutraceutical, glucosamine hydrochloride,

in raw materials, dosage forms and plasma using pre-column

derivatization with ultraviolet HPLC. Journal of Pharmaceutical and

Biomedical Analysis, 20 807–814.

Lund, W. (1994). Pharmaceutical Codex, 12th edition. London: The

Pharmaceutical Press.

Martin, A. , Swarbrick, J., dan Cammarata, A. (1983). Farmasi Fisik (Joshita

Djajadisastra dan Iis Aisyah Baihaki, Penerjemah). Jakarta : UI Press.

Marselina Rizky, Andisti. (2012). Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro B3 Dalam

Sediaan Serum Peptida Cu-GHK. Skripsi. Universitas Indonesia.

Maskevich, Boris O. (2007). Drug Delivery Research Advances. Nova

Science Publishers Inc. 48.

Mattu, Clara, dkk. 2012. Chitosan Nanoparticles as Therapeutic Protein

Nanocarriers: the Effect of pH on Particle Formation and Encapsulation

Efficiency. Polymer Composites.

Maulina Meutia. (2017). Kerusakan Proteoglikan Pada Osteoartritis. Aceh:

Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh.

Mohanraj, V. J., dan Chen, Y. (2006). Research Article Nanoparticle-A Review,

Trop J. Pharm, Res,5(1).

Nagpal, K., S.K. Singh, dan D.N. Mishra. (2010). Chitosan nanoparticles: A

promising system in novel drug delivery. Chemical and Pharmaceutical

Bulletin 58: 1423–1430.

Orth, M.W., T.L. Peters dan J. N. Hawkins. (2002). Inhibition of articular

Cartilage Degradation by Glucosamine HCL and Chondroitin Sulfate,

Equine Veterin. J. Suplement:34, 224-229.

Panjaitan EN, A. Saragih, dan D. Purba. Formulasi gel dari ekstrak rimpang jahe

merah (Zingiber officinale Roscoe). 2012. Journal of Pharmaceutics and

Pharmacology. (2012). 1(1): 9-20.

Papanagnou Panagiota. (2016). The Role of miRNAs in Common Inflammatory

Arthropathies: Osteoarthritis and Gouty Arthritis. Biomolecules. 6 (4).

Page 76: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

59

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pathak, Yashwant dan Deepak Thassu. (2009). Drug Delivery nanoparticles

formulation and characterization. USA: Drugs and pharmaceutical

sciences.

Pathan, I.B. dan Setty, C.M. (2009). Chemical penetration enhancers for

transdermal drug delivery systems. Tropical Journal of Pharmaceutical

Research.

Ramadon, Delly. (2012). Penetapan daya Penetrasi Secara In Vitro Sediaan Gel

Dan Emulgel Yang Mengandung Kapsaisinoid Dari Ekstrak Buah Cabai

Rawit ( Capsicum Frutescens L.). Skripsi. Universitas Indonesia.

Riyanto. (2014). Validasi& Verifikasi Metode Uji. Yogyakarta: Deepublish.

Rogers Brent D. (2004). Gras Notification For Regenasuretm Glucosamine

Hydrochloride. Amerika Serikat: Cargill.

Rowe, C. R., Paul J. Sheskey, dan Marian E. Quinn. (2009). Handbook of

Pharmaceutical Excipients, 6 Edition. Washington: Pharmeceutical Press

Sailaja A Krishna., Amareshwar P., Chakravarty P. (2010). Chitosan

Nanoparticles as a Drug Delivery System. India: RJPBCS, Volume 1.

Severino Patricia, dkk. (2014). Chitosan Cross-Linked Pentasodium

Tripolyphosphate Micro/ Nanoparticles Produced by Ionotropic Gelation.

Sugar Tech.

Shafie, M.A.A., dan Hadeel. H.M.F. (2013). Formulation and Evaluation of

Betamethasone Sodium Phosphate Loaded Nanoparticles of Ophthalmic

Delivery. J Clin Exp Ophthalmol.

Simanjuntak, M. T. (2005). Biofarmasi Sediaan Yang Diberikan Melalui Kulit.

Universitas Sumatera Utara.

Sinko, P. J. (2011). Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika edisi 5,

diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Singh Rajesh dan Liliard W James. (2009). Nanoparticle- based targeted drug

delivery. USA: Science Direct.

Sloane, Ethel. (2003). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.

Suhartati,tati. (2013). Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis Dan

Spektrofotometri Massa Untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik.

Lampung: AURA.

Tekko, I. A., Bonner, M. C., dan Williams, A. C. (2006). An optimized reverse-

phase high performance liquid chromatographic method for evaluating

percutaneous absorption of glucosamine hydrochloride. J. Pharm.

Biomed. Anal., 41, 385-392.

Page 77: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

60

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Thakker.D, Kailas dan Chern.H, Wendy. (2003). Development and Validation of

In Vitro Release Tests for Semisolid Dosage Forms Case Study.

Dissolution Technologies

Thassu, D., Deleers M dan Pathak Y. (2007). Nanoparticulate Drug Delivery

System. New York: Informa Healthcare.

Tiyaboonchai W. (2003). Chitosan nanoparticles: A Promising System for Drug

Delivery. Naresuan Univ. J., 11(3),51-66.

Touitou, Elka., Barry W. (2007). Enhancement In Drug Delivery. New York:

CRC Press.

Towheed TE., Maxwell L., Anastassiades TP., Shea B., Houpt J., Robinson V.,

Hochberg MC., Wells G. (2005). Glucosamine therapy for treating

osteoarthritis. Cochrane Database Systematics Reviews. 2: CD002946.

DOI: 10.1002/14651858.CD002946.pub2

Tranggono, R.I. dan Fatma Latifah .(2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan

Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

USP. (2012). The United States Pharmacopeia, 35th ed, Elektronic Version,

United States, Volume III, 4541.

Vasiljevic, D., Vuleta, G., dan Primorac, M. (2005). The Characterization Of The

Semi-Solid W/O/W Emulsions With Low Concentrations Of The

Primary Plymeric Emulsifier. Int J CosmetSci.

Voigt, R.. (1995). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh

Soendani N. S.,. Yogyakarta: UGM Press.

Walters. K.A. (2002). Dermatological and Transdermal Formulations. New York.

Marcel Dekker, 1-4.

Wasitaatmadja SM. Faal kulit. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor.

(2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbitan

FKUI.

Wei Wang, dkk. (1994). Dilute Solution Behavior Of Chitosan In Different Acid

Solvents. Chinese Journal Of Polymer Science.

Williams, A.C., dan Barry, B.W. (2004). Penetration Enhancers. Advanced Drug

Delivery Reviews.

Witt, Krista & D. Bucs. (2003). Studying In Vitro Skin Penetration and Drug

Release to Optimize Dermatological Formulations In Pharmaceutical

Technology. USA: Advanstar Communication Inc.

Wu, Y., Yang, W., Wang, C., Hu, J. and Fu, S. (2005). Chitosan Nanoparticles as

a Novel Delivery System for Ammonium Glycyrrhizinate. International

Journal of Pharmaceutics, 295: 235-245.

Page 78: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

61

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Yu-Shin, L., Kiran, S., Kurt, M.L., Jyuhn, H.J., Long, F., Han, Y., Hsing, W.S.

(2008). Multi-ion-crosslinked Nanoparticles with pH-responsive

Characteristics for Oral Delivery of Protein Drugs. J. Cont Rel. 132, 141-

149.

Page 79: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

62 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 1. Skema Prosedur Penelitian

Preparasi nanopartikel glukosamin HCl dengan konsentrasi kitosan 0,5%

Preparasi gel nanopartikel glukosamin HCl tanpa adjust pH, pH 5 dan pH 6

Evaluasi gel nanopartikel glukosamin HCl tanpa adjust pH, pH 5 dan pH 6

Organoleptik pH Homogenitas Viskositas

dan Rheologi

Penetapan Kadar

Penetrasi

Gel nanopartikel glukosamin HCl tanpa adjust pH, pH 5 dan pH 6

Derivatisasi

Pembuatan larutan

induk

Penentuan panjang

gelombang

maksimum

Pembuatan

Kurva Kalibrasi

Analisis kadar

Glukosamin

Penentuan

LOD&LOQ

Page 80: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

63

Lampiran 2. Viskositas Gel Nanopartikel Glukosamin HCl

Laju Geser (rpm) Viskositas (cP)

F1 F2 Formula Kontrol

2 3620 4920 1760

3 2990 4190 1730

4 2860 4160 1710

5 2720 3950 1695

6 2640 3850 1645

10 2060 2460 1635

12 1970 2370 1590

20 1770 2170 1580

30 1710 1880 1570

50 1660 1870 1510

60 1500 1640 1500

100 830 920 930

Page 81: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

64

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 3. Persen Torque Gel Glukosamin HCl

Laju Geser (rpm) % Torque

F1 F2 Formula Kontrol

2 3,5 9,8 3,4

3 4,9 12,5 5,2

4 5,9 16,6 7

5 7,5 19,7 8,8

6 9 23,1 10,3

10 14,9 20,6 18,3

12 18,8 23,7 22

20 29,3 35,4 35,6

30 41,6 51,5 52,5

50 70,3 83 87,6

60 85,2 90,1 95,5

100 83,5 92,7 93

60 98,5 88,5 95,5

50 93,7 81,5 90,1

30 56,6 49,2 75,6

20 43,4 35,1 47,1

12 28,4 22,8 18,9

10 24,6 19,1 15,6

6 15,8 10,5 9,2

5 13,6 8,5 7,7

4 11,4 6,8 6,1

3 8,9 4,6 4,5

2 7,2 3 3,1

Page 82: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

65

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 4. Panjang Gelombang Maksimum Phenyl Thiourea (Hasil

Derivatisasi Glukosamin HCl)

PTH

ʎ 238 nm

Page 83: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

66

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 5. Absorbansi Standar Glukosamin HCl

Konsentrasi (ppm) Absorbansi

2 0,104

4 0,211

6 0,362

8 0,452

10 0,588

Page 84: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

67

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 6. Data Perhitungan LOD dan LOQ

Konsentrasi Absorbansi yi (y-yi) (y-yi)2

2 0,104 0,1018 0,0022 4,84E-06

4 0,2115 0,2226 -0,0111 0,00012321

6 0,3625 0,3434 0,0191 0,00036481

8 0,452 0,4642 -0,0122 0,00014884

10 0,588 0,585 0,003 9E-06

Ʃ (y-yi)2 0,0006507

Sa 0,014727525

LOD 0,731499599

LOQ 2,438331995

Persamaan regresi kurva kalibrasi =

y = 0,0604x- 0,019

Perhitungan yi =

y = 0,0604x - 0,019

y = 0,0604(2) - 0,019

y = 0,1018 (nilai yi)

Rumus Standar Deviasi (Sa)

2

)( 2

n

yiySa =

25

)0006507,0( 2

= 0,014727525

Rumus Batas Deteksi

LOD = slope

Sa3 =

0604,0

014727525,03x = 0,7314

Rumus Batas Kuantitasi

LOQ = slope

Sa10 =

0604,0

014727525,010x = 2,4383

Page 85: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

68

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 7. Data Hasil Uji Penetrasi Formula Kontrol

Waktu

(Menit)

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per

Satuan Luas Area (µg/cm2)

% Kumulatif Difusi Glukosamin

HCl

1 2 3 Rata-

rata SD 1 2 3

Rata-

rata SD

10 395,8 442,9 467,8 435,5 36,5 41,4 46,3 48,9 45,5 3,8

30 417,4 538,7 498,4 484,8 61,7 43,6 56,3 52,1 50,7 6,4

60 453,0 574,4 537,6 521,7 62,2 47,4 60,1 56,2 54,6 6,5

90 483,9 566,4 594,3 548,2 57,4 50,6 59,2 62,2 57,3 6,0

120 587,2 642,6 597,2 609,0 29,5 61,4 67,2 62,5 63,7 3,0

180 550,6 685,3 679,3 638,4 76,1 57,6 71,7 71,1 66,8 7,9

240 666,0 726,0 717,2 703,1 32,3 69,7 75,9 75,0 73,5 3,3

300 702,9 767,4 755,5 742,0 34,3 73,5 80,3 79,0 77,6 3,5

360 743,1 812,2 811,0 788,8 39,5 77,7 85,0 84,8 82,5 4,1

420 825,5 868,9 862,3 852,2 23,3 86,4 90,9 90,2 89,2 2,4

480 880,1 904,7 867,6 884,1 18,913 92,122 94,7 90,8 92,5 1,9

Page 86: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

69

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 8. Data Hasil Uji Penetrasi F1

Waktu

(Menit)

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per

Satuan Luas Area (µg/cm2)

% Kumulatif Difusi Glukosamin

HCl

1 2 3 Rata-

rata SD 1 2 3

Rata-

rata SD

10 384,7 434,6 440,1 419,8 30,4 40,2 45,4 46,0 43,9 3,1

30 441,8 488,5 486,0 472,1 26,2 46,2 51,1 50,8 49,4 2,7

60 509,0 488,6 569,0 522,2 41,7 53,2 51,1 59,5 54,6 4,3

90 537,0 570,7 560,8 556,2 17,3 56,2 59,7 58,7 58,2 1,8

120 598,4 586,5 664,6 616,5 42,0 62,6 61,3 69,5 64,5 4,4

180 642,3 629,6 708,5 660,1 42,3 67,2 65,9 74,1 69,1 4,4

240 725,9 682,0 747,9 718,5 33,4 75,9 71,3 78,2 75,2 3,5

300 779,0 716,2 781,8 759,0 37,0 81,5 74,9 81,8 79,4 3,8

360 819,5 795,2 824,5 813,0 15,6 85,7 83,2 86,3 85,1 1,6

420 830,0 832,4 873,4 845,3 24,3 86,8 87,1 91,4 88,4 2,5

480 897,8 883,8 914,9 898,8 15,5 93,9 92,5 95,7 94,0 1,6

Page 87: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

70

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 9. Data Hasil Uji Penetrasi F2

Waktu

(Menit)

Jumlah Kumulatif Zat Aktif Per

Satuan Luas Area (µg/cm2)

% Kumulatif Difusi Glukosamin

HCl

1 2 3 Rata-

rata SD 1 2 3

Rata-

rata SD

10 376,4 406,9 387,5 390,3 15,4 39,4 42,5 40,5 40,8 1,6

30 413,7 437,3 422,6 424,5 11,9 43,3 45,7 44,2 44,4 1,2

60 446,4 468,3 463,9 459,6 11,5 46,7 49,0 48,5 48,1 1,2

90 479,8 541,3 525,8 515,6 32,0 50,2 56,6 55,0 53,9 3,3

120 516,5 580,9 567,4 554,9 33,9 54,0 60,8 59,3 58,0 3,5

180 548,6 599,1 629,4 592,3 40,8 57,4 62,7 65,8 62,0 4,2

240 619,9 647,4 640,6 636,0 14,3 64,8 67,7 67,0 66,5 1,5

300 660,4 705,3 712,0 692,6 28,0 69,1 73,8 74,5 72,4 2,9

360 701,6 756,5 719,3 725,8 27,9 73,4 79,1 75,2 75,9 2,9

420 835,0 825,4 781,0 813,8 28,8 87,4 86,3 81,7 85,1 3,0

480 857,3 860,3 838,8 852,2 11,629 89,735 90,052 87,804 89,197 1,217

Page 88: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

71

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 10. Data Fluks Penetrasi Formula Kontrol

Waktu

(Menit)

Fluks Penetrasi (µg cm-2

jam-

1)

1 2 3 Rata-

rata SD

10 2375,0 2657,4 2806,9 2613,1 219,2

30 834,9 1077,4 996,8 969,7 123,5

60 453,0 574,4 537,6 521,7 62,2

90 322,6 377,6 396,2 365,4 38,2

120 293,6 321,3 298,6 304,5 14,7

180 183,5 228,4 226,4 212,8 25,3

240 166,5 181,5 179,3 175,7 8,0

300 140,5 153,4 151,1 148,4 6,8

360 123,8 135,3 135,1 131,4 6,5

420 117,9 124,1 123,1 121,7 3,3

480 110,0 113,1 108,4 110,5 2,3

Page 89: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

72

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 11. Data Fluks Penetrasi F1

Waktu

(Menit)

Fluks Penetrasi (µg cm-2

jam-1

)

1 2 3 Rata-

rata SD

10 2308,6 2607,6 2640,8 2519,0 182,9

30 883,7 977,0 972,0 944,2 52,4

60 509,0 488,6 569,0 522,2 41,7

90 358,0 380,5 373,9 370,8 11,5

120 299,2 293,2 332,3 308,2 21,0

180 214,1 209,8 236,1 220,0 14,1

240 181,4 170,5 186,9 179,6 8,3

300 155,8 143,2 156,3 151,8 7,4

360 136,5 132,5 137,4 135,5 2,6

420 118,5 118,9 124,7 120,7 3,4

480 112,2 110,4 114,3 112,3 1,948

Page 90: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

73

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 12. Data Fluks Penetrasi F2

Waktu

(Menit)

Fluks Penetrasi (µg cm-2

jam-1

)

1 2 3 Rata-

rata SD

10 2258,8 2441,5 2325,2 2341,8 92,4

30 827,5 874,7 845,2 849,1 23,8

60 446,4 468,3 463,9 459,6 11,5

90 319,8 360,9 350,5 343,7 21,3

120 258,2 290,4 283,7 277,4 16,9

180 182,8 199,7 209,8 197,4 13,6

240 154,9 161,8 160,1 159,0 3,5

300 132,0 141,0 142,4 138,5 5,6

360 116,9 126,0 119,8 120,9 4,6

420 119,2 117,9 111,5 116,2 4,1

480 107,1 107,5 104,8 106,5 1,4

Page 91: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

74

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13. Contoh Perhitungan Penetrasi Kumulatif Glukosamin HCl Per

Luas Area

Sampel F2 Sediaan Gel Pada menit ke-10

Serapan menit ke 10 (y10) = 0,117

y = 0,0604x - 0,019

0,124 = 0,0604x - 0,019

x10 = 2,252

Faktor pengenceran = Volume labu terukur : Volume sampling

= 25 ml : 1ml

= 25 ml

Konsentrasi terpenetrasi = x10 x faktor pengenceran

= 2,252 x 25

= 56,291 µg/mL

Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :

Keterangan:

Q = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)

Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling menit ke-n

V = Volume sel difusi franz (21 ml)

1

1

n

iC = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-

10 hingga sebelum menit ke-n)

S = Volume sampling (1 ml)

A = Luas area membran (3,14 cm2)

Q = {(56,291 µg/ml x 21 ml) + (0 µg/ml x 1 ml)}/ 3,14 cm2

= 376,471 µg/cm2

%Kumulatif = (Q x A x 100)/ Kandungan zat aktif dalam sediaan

%Kumulatif = (376,471 µg/cm2 x 3,14 cm2 x100)/3000 µg

= 39,404 %

A

C.SCnVQ

n

i

1

1

Page 92: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

75

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(LANJUTAN)

Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit ke

10 adalah 376,471 µg/cm2 dengan %kumulatif 39,404 %

Sampel F2 Sediaan Gel Pada menit ke-30

Serapan menit ke 10 (y10) = 0,124

y = 0,0604x - 0,019

0,124 = 0,0604x - 0,019

x10 = 2,368

Faktor pengenceran = Volume labu terukur : Volume sampling

= 25 ml : 1ml

= 25 ml

Konsentrasi terpenetrasi = x10 x faktor pengenceran

= 2,368 x 25

= 59,189 µg/mL

Rumus Jumlah Kumulatif Zat Aktif Ter penetrasi Per Luas Area :

Keterangan:

Q = Jumlah kumulatif yang terpenetrasi per luas area (μg/cm2)

Cn = Konsentrasi terpenetrasi pada sampling menit ke-n

V = Volume sel difusi franz (21 ml)

1

1

n

iC = Jumlah konsentrasi zat pada sampling pertama (menit ke-

10 hingga sebelum menit ke-n)

S = Volume sampling (1 ml)

A = Luas area membran (3,14 cm2)

Q = {(59,189 µg/ml x 21 ml) + (56,291 µg/ml x 1 ml)}/ 3,14 cm2

= 413,775 µg/cm2

%Kumulatif = (Q x A x 100)/ Kandungan zat aktif dalam sediaan

%Kumulatif = (413,775 µg/cm2 x 3,14 cm

2 x100)/3000 µg

= 43,308 %

Jumlah kumulatif glukosamin HCl terpenetrasi persatuan luas area pada menit

ke 30 adalah 413,775 µg/cm2 dengan % kumulatif 43,308 %.

A

C.SCnVQ

n

i

1

1

Page 93: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 14. Contoh Perhitungan Fluks Penetrasi Glukosamin HCl

Sampel F2 Sediaan Gel pada menit ke 120

Kecepatan penetrasi glukosamin HCl (fluks, J, µg cm-2

jam-1

) dihitung dengan

rumus :

Keterangan:

J = Fluks (μg cm-2

jam-1

)

S = Luas area difusi (cm2)

M = Jumlah kumulatif zat yang melalui membran (μg)

T = Waktu (jam)

Diketahui :

M/S = 479,816 µg/cm2

t = 2 jam

Maka :

J = 330,040 µg/cm2 / 2 jam = 165, 020 µg cm

-2 jam

-1

t

Q

sxt

MJ

Page 94: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

77

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 15. Hasil Uji Statistik Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter

penetrasi Per Luas Area

Uji Normalitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam

ke- 8

Tests of Normality

Formula

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

JumlahKumulatif FK ,251 3 . ,966 3 ,644

F1 ,194 3 . ,997 3 ,888

F2 ,337 3 . ,853 3 ,250

a. Lilliefors Significance Correction

Keterangan : Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara normal

Uji Homogenitas Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada

Jam ke- 8

Test of Homogeneity of Variances

JumlahKumulatif

Levene Statistic df1 df2 Sig.

,335 2 6 ,728

Keterangan : nilai Sig. > 0,05 data terdistribusi secara homogen

Uji ANOVA Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam ke-

8

ANOVA

JumlahKumulatif

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 3416,041 2 1708,021 6,965 ,027 Within Groups 1471,469 6 245,245 Total 4887,511 8

Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >

0,05 data tidak berbeda secara bermakna

Page 95: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

78

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(LANJUTAN)

Uji LSD Jumlah Kumulatif Glukosamin HCl Ter Penetrasi pada Jam ke- 8

Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >

0,05 data tidak berbeda secara bermakna

Multiple Comparisons

Dependent Variable: JumlahKumulatif

LSD

(I) Formula (J) Formula

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

FK F1 -14,676000 12,786579 ,295 -45,96363 16,61163

F2 31,987333* 12,786579 ,046 ,69970 63,27497

F1 FK 14,676000 12,786579 ,295 -16,61163 45,96363

F2 46,663333* 12,786579 ,011 15,37570 77,95097

F2 FK -31,987333* 12,786579 ,046 -63,27497 -,69970

F1 -46,663333* 12,786579 ,011 -77,95097 -15,37570

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Page 96: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

79

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Fluks Penetrasi Glukosamin HCl

Uji Normalitas Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8

Tests of Normality

Formula

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

Fluks FK ,251 3 . ,966 3 ,644

F1 ,194 3 . ,997 3 ,888

F2 ,337 3 . ,853 3 ,250

a. Lilliefors Significance Correction

Keterangan : Signifikansi > 0,05 data terdistribusi secara normal

Uji Homogenitas Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8

Test of Homogeneity of Variances

Fluks

Levene Statistic df1 df2 Sig.

,335 2 6 ,728

Keterangan : nilai Sig. > 0,05 data terdistribusi secara homogen

Uji ANOVA Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8

ANOVA

Fluks

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 53,371 2 26,686 6,964 ,027

Within Groups 22,992 6 3,832

Total 76,364 8

Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >

0,05 data tidak berbeda secara bermakna

Page 97: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

80

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(LANJUTAN)

Uji LSD Fluks Penetrasi Glukosamin HCl pada Jam ke- 8

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Fluks

LSD

(I) Formula (J) Formula

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

FK F1 -1,834333 1,598336 ,295 -5,74532 2,07665

F2 3,998333* 1,598336 ,046 ,08735 7,90932

F1 FK 1,834333 1,598336 ,295 -2,07665 5,74532

F2 5,832667* 1,598336 ,011 1,92168 9,74365

F2 FK -3,998333* 1,598336 ,046 -7,90932 -,08735

F1 -5,832667* 1,598336 ,011 -9,74365 -1,92168

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keterangan : Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna, signifikansi >

0,05 data tidak berbeda secara bermakna

Page 98: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

81

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 17. Gambar Alat yang Digunakan

Sel Difusi Franz

Page 99: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

82

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 18. Sertifikat Analisa Glukosamin HCl

Page 100: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

83

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 19. Sertifikat Analisa Nipagin

Page 101: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

84

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 20. Sertifikat Analisa Nipasol

Page 102: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

85

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 21. Sertifikat Analisa Dietil Eter

Page 103: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

86

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 22. Sertifikat Analisa Tween 80

Page 104: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

87

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 23. Sertifikat Analisa Trietanolamin

Page 105: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

88

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 24. Sertifikat Analisa NaOH

Page 106: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

89

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 25. Sertifikat Analisa Natrium Asetat

Page 107: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA KARAKTERISTIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42258/2/SYIFA... · penetrasi secara . in vitro. dilakukan dengan alat sel difusi

90

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 26. Sertifikat Analisa Kitosan