Tutorial Infeksi
-
Upload
wuwun-nurulhidayati -
Category
Documents
-
view
43 -
download
0
Transcript of Tutorial Infeksi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
DEMAM THIFOID DAN KEJANG DEMAM SEDERAHANA DENGAN
RIWAYAT ENSEFALITIS
Oleh:
Destina Ribkah St 0708015022
Nurul Hidayati 013026800016
Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp.A
LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNMUL – RSUD A. W. SJAHRANIE
SAMARINDA
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu infeksi demam sistemik akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi melalui asupan makanan atau minuman yang
terkontaminasi.1-3 Sampai saat ini demam tifoid masih merupakan masalah
kesehatan, hal ini disebabkan antara lain oleh pertumbuhan penduduk yang cepat,
meningkatnya arus urbanisasi, kesehatan lingkungan yang kurang memadai,
penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, tingkat sosial ekonomi rendah
dan masalah pada pelayanan kesehatan meliputi keterlambatan diagnosis.4-6
Diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.2
Demam tifoid endemik di negara berkembang seperti di subkontinen India,
Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Amerika Tengah serta Afrika. Di India,
memberikan insiden tahunan lebih dari 900 per 100.000 populasi.4 Surveilans
Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia
menunjukkan angka yang terus meningkat, pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan tahun
1994 menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Insiden demam tifoid bervariasi di setiap
daerah, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan
di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.7 Di Samarinda, selama
tahun 2007 terdapat lebih dari 3000 kasus demam tifoid, persentasinya sebesar
24,23% dibandingkan dengan penyakit infeksi pada usus, data ini berdasarkan
laporan bulanan 14 Puskesmas kota Samarinda.8
Kemampuan mengenali manifestasi klinis demam tifoid sangat penting
untuk membantu menegakkan diagnosis secara dini,7 tetapi ditemukannya gejala
klinis yang sama pada beberapa penyakit infeksi lainnya membuat diagnosis
klinik demam tifoid menjadi cukup sulit.2 Diagnosis pasti demam tifoid adalah
dengan isolasi atau kultur Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang, atau lesi
anatomis yang spesifik,2 dengan waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi
2
biasanya sekurang-kurangnya tiga hari, sedangkan keputusan untuk memberikan
terapi harus dilakukan segera. Serologi dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis.9 Uji Widal merupakan uji serologi yang paling banyak dipakai untuk
menunjang diagnosis termasuk di Indonesia, tetapi uji ini memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifisitas sedang dan seringkali menghasilkan positif atau
negatif palsu.2,6,10
Kejang Demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari, 38oC) akibat suatu proses ekstra kranial, biasanya
terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun. Setiap kejang kemungkinan dapat
menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak, sehingga mencemaskan orang tua..
Kejang merupakan gangguan syaraf yang sering dijumpai pada anak. Insiden
kejang demam 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih
sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1,2–1,6:1. Saing B (1999),
menemukan 62,2%, kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang
mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang
mengalami kejang setelah usia 12 tahun..
Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative
Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari
15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang demam
kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit baik bersifat fokal
atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada
lebih dari satu episode demam.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya kejang pada anak
adalah Infeksi: meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik: hipoglikemia,
hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi
piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan metabolik bawaan, trauma kepala,
keracunan: alkohol, teofilin, penghentian obat anti epilepsi, enselopati hipertensi,
tumor otak dan perdarahan intrakranial.
3
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
mikroorganisme seperti bakteri,virus,parasit,fungus dan riketsia. Secara umum
gejala ensefalitis berupa demam, kejang dan kesadaran menurun. Penyakit ini
dapat dijumpai pada semua umur mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Dalam laporan kasus tutorial ini akan dibawakan kasus Demam thifoid
dan kejang demam sederhana dengan riwayat ensefalitis.
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien :
• Ruang perawatan : Melati
• Nama : An. Az
• Jenis kelamin : Perempuan
• Umur : 3 tahun
• Masuk Rumah Sakit : 11 November 2012
Identitas Orang Tua
• Nama Ayah : Tn.Ab
• Umur : 34 tahun
• Pekerjaan : PNS
• Pendidikan Terakhir : S1
• Ayah perkawinan ke : 1
• Nama Ibu : Ny.Lwd
• Umur : 34
• Pekerjaan : PNS
• Pendidikan Terakhir : S1
• Ibu perkawinan ke : 1
Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan terhadap ibu pasien pada tanggal 12 November
2012
Keluhan utama
Demam
5
R i wayat Penyakit Sekarang
Demam sudah dialami sejak 5 hari SMRS disertai sakit kepala. Pasien
sempat dibawa ke Puskesmas dan diberi obat penurun demam sehingga demam
sempat turun selama 2 hari. kemudian pasien kembali demam. Pasien juga
mengalami batuk tidak berdahak dan pilek. Pasien merasa mual tapi tidak muntah.
BAB dan BAK pasien dalam batas normal. Pasien masih mau makan dan tidak
ada nyeri tenggorokan
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengalami kejang demam saat berusia 4 bulan dirawat d RS
Pada bulan juni 20012 pasien mengalami kejang demam kembali dan pada
saat itu di diagnosa Ensefalitis
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Hamil
ke
Kondisi
saat Lahir
Jenis
PersalinanUsia
Sehat/
Tidak
Umur
Meninggal
Sebab
Meninggal
1 Aterm Spontan 7 tahun sehat - -
2 Aterm Spontan 3 tahun sehat - -
Genogram
Pasien merupakan anak ke 2 dari2 bersaudara
Keterangan :
= Laki-laki = menunjukkan pasien
= Perempuan
6
Riwayat Kehamilan
• Pemeliharaan Prenatal : sejak mengetahui kehamilan tiap
bulan sekali
• Periksa di : bidan Puskesmas
• Penyakit kehamilan : tidak ada
• Obat-obatan yang sering diminum : tablet penambah darah dan vitamin.
Riwayat Kelahiran :
• Lahir di : rumah sakit
• di tolong oleh : bidan
• Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
• Jenis partus : Spontan
• Pemeliharaan postnatal : ya
• Periksa di : Puskesmas
Pertumbuhan dan perkembangan anak :
• Berat badan lahir : 3400 gram
• Panjang badan lahir : 48 cm
• Tersenyum : 2 bulan
• Miring : 3 bulan
• Tengkurap : 4 bulan
• Duduk : 8 bulan
• Gigi keluar : 9 bulan
• Merangkak : 9 bulan
• Berdiri : 12 bulan
• Berjalan : 12 bulan
• Berbicara dua suku kata : 6 bulan
• Masuk TK : -
• Masuk SD : -
7
Riwayat Makan Minum anak :
• ASI : dari lahir sampai berusia 2 tahun
• Dihentikan : ya
• Alasan : ibu ingin menghentikan
• Susu sapi/buatan : ya sejak usia 9 bulan
• Jenis susu buatan : susu SGM
• Takaran : 2 sendok takar dalam 60 cc air
• Frekuensi : 5 kali/hari
• Buah : 4 bulan
• Bubur susu : 4 bulan
• Tim saring : 9 bulan
• Makanan padat dan lauknya : 1 tahun
Riwayat Imunisasi :
ImunisasiUsia Saat Imunisasi
I II III IV
BCG 1 bulan //////// /////// ///////
Polio +
1 bln
+
2 bln
+
3 bln
+
4 bln
Campak 9 bln ///////// //////// ///////
DPT +
2 bln
+
3 bln
+
4 bln///////
Hepatitis B +
1 bln
+
2 bln
+
3 bln///////
Keadaan Sosial Ekonomi :
• Pasien tinggal dan dirawat oleh ayah dan ibu kandung.
• Konsumsi untuk keluarga pasien berasal dari penghasilan ayah dan ibu
pasien sebagai PNS.
• Pasien dan keluarga tinggal di rumah sendiri yang berdinding tembok,
beratap seng dan lantai dari keramik. Ventilasi dan pencahayaan cukup.
8
• Dalam satu rumah dihuni oleh 4 orang, yaitu: ayah, ibu dan 2 anaknya.
• Kamar mandi dan toilet berada di dalam rumah.
• Sumber air: air PDAM
• Listrik: PLN
• Tempat sampah : tidak ada tempat khusus, sampah dikumpulkan dalam
jumlah banyak di sekitar rumah, kemudian dibakar.
• Pasien memiliki jaminan ASKES PNS.
Pemeriksaan Fisik IGD ( 11 November 2012)
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
• Tekanan Darah :110/70
• Nadi : 112 x/menit (reguler,isi cukup, kuat angkat)
• Frekuensi napas : 30 x/menit
• Suhu aksiler : 37,8⁰C
Kepala/leher
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pembesaran KGB (-/-),pupil bulat
isokor, diameter 3mm/3mm, Reflek cahaya +/+, Napas Cuping Hidung (-/-)
Pulmo
• Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi (-),
• Palpasi : krepitasi (-), fremitus raba dekstra = sinistra
• Perkusi : Dekstra dan Sinistra =Sonor
• Auskultasi : suara napas vesikuler
Jantung
• Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
• Perkusi : Batas Kiri = ICS V Midclavicula line sinistra
Batas Kanan = ICS III Parasternal line dextra
• Auskultasi : S1/S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Abdomen
• Inspeksi : flat, venektasi (-), penonjolan massa (-)
9
• Palpasi : soefl, organomegali (-), nyeri tekan (+)
• Perkusi : Hipertimpani
• Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
• Akral Hangat, sianosis (-), edema (-), KGB inguinal (-)
• Edema (-)
Pemeriksaan Fisik Ruangan
Dilakukan pada tanggal : 11 November 2012
Antropometri
• Berat badan : 14 kg
• Panjang Badan : 94 cm
• BMI : 15.8 Kg/m2
• Lingkar Kepala : -
• Lingkar Lengan Atas : -
Tanda Vital
• Nadi : 80 x/menit (reguler,isi cukup, kuat angkat)
• Frekuensi napas : 40 x/menit
• Suhu aksiler : 36,5⁰C
Keadaan Umum
• Kesan sakit : Sakit sedang
• Kesadaran : compos mentis
• Status Gizi : baik
Rumus Behrman
BB ideal= ((umur dalam tahun x 2) +8 = ((3 x 2) + 8 = 14 kg
Status gizi = BB sekarang/BB ideal x 100%
= 14 kg/14 kg x 100%
= 100 % (gizi baik 80 - 100%)
10
Kepala
• Rambut : hitam
• Mata : cowong (-), edema pre orbita (-/-), anemis (-), ikterik (-),
pupil 3mm/3mm, Reflek cahaya +/+
• Hidung : sumbat (-), bau (-), selaput putih (-)
• Telinga : Bersih, Bau (-), sakit (-)
• Mulut : lidah bersih, tonsil dan faring hiperemi
Leher
• Pembesaran kelenjar : (-)
Kulit
Dalam batas normal
Pulmo
• Inspeksi : simetris, seirama gerakan nafas, retraksi (-),
• Palpasi : krepitasi (-), fremitus raba dekstra = sinistra
• Perkusi : sonor pada lapang paru
• Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
• Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
• Palpasi : Ictus Cordis tidak teraba
• Perkusi : Batas Kiri = ICS V Midclavicula line sinistra
Batas Kanan = ICS III Parasternal line dextra
• Auskultasi : S1/S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Abdomen
• Inspeksi : cembung, venektasi (-), penonjolan massa (-)
• Palpasi : soefl, organomegali (-), nyeri tekan (+)
• Perkusi :timpani
• Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
11
Ekstremitas
• Akral Hangat, sianosis (-), edema (-), KGB inguinal (-)
Pemeriksaan Neurologis
Meningeal Sign
Kaku kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II: -
Kernig : -
Refleks Fisiologis
Biceps : +/+
Triceps: +/+
Patella: +/+
Achilles: +/+
Refleks Patologis
Babinski: -/-
Chaddock: -/-
Oppenheim: -/-
Gordon: -/-
Gonda:-/-
Schuffer: -/-
Pemeriksaan Nervus cranialis
Nervus I : normal
Nervus II : visus normal
Nervus III/IV/VI : strabismus (-), mata dapat melirik ke segala arah, pupil
isokor 3 mm/3 mm, ptosis (-)
Nervus V : pasien bisa mengunyah
Nervus VII : mengerutkan dahi (+), saat tersenyum sudut bibir tertarik
ke arah kanan saat tersenyum
Nervus VIII : respon terhadap suara (+)
Nervus IX : deviasi palatum (-)
Nervus X : refleks muntah (+), suara serak (-)
Nervus XI : pasien dapat menoleh dan mengangkat bahu
Nervus XII : lidah deviasi ke kiri, disartria (-), atrofi lidah (-)
12
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah :
11/11/2012 13/11/2012
Hemoglobin : 11,6 g/dl
Leukosit : 13.300/mm3
Trombosit : 431.000/mm3
Hematrokit : 36,8%
Natrium : 135
Kalium : 4,2
Chloride : 102
GDS : 125
BJ: 1,010
Warna: kuning
Kejernihan : Jernih
Ph : 7,0
Sel Epitel: +
Leukosit: 0-2
Eritrosit: 0-1
Hasil Tes Widal :
tanggal 13/11/2012
1/80 1/160 1/320
- Salmonela typhi – O (+) (+) Negatif
- Salmonela typhi – H Negatif
- Salmonela paratyphi A - O (+) Negatif
- Salmonela paratyphi A – H Negatif
- Salmonela paratyphi B – O (+) Negatif
- Salmonela paratyphi B – H (+) (+) Negatif
- Salmonela paratyphi C – O (+) Negatif
- Salmonela paratyphi C - H (+) Negatif
13
Diagnose kerja sementara : Demam Tifoid
Diagnosa lain : Kejang Demam Sederhana
Penatalaksanaan:
IVFD Kaen 4A 10 tpm
Sanmol syr 3x1/2 cth
Amoxan syr 3x11/2 cth
Prognosa : dubia et bonam
14
FOLLOW UP
Tanggal S O A P Pemeriksaan Penunjang
12-11-2012 Kejang 1x,
demam (+),
batuk (+),
pilek (+),
faring
hiperemi
compos mentis
N: 88 x/menit
RR: 24x/menit
T: 35oC
BB: 15 kg
Kejang Demam
Sederhana
+observasi febris
Oksigen 2 L/menit jika
sesak
IVFD D5½ NS 14 tpm
Sanmol syr 3x1/2 cth
Amoxan syr 3x11/2 cth
CTM 1,5mg Efedrin 7,5
DMP 3,5 mf. Pulv 3x1
Pemeriksaan darah 11-11-2012
Leukosit 13.300/ul
Hb 11,6 g/dl
Ht 36,8 %
Trombosit 431.000/ul
GDS 135
Pemeriksaan Kimia Darah 11-11-
2012
Na 135mmol/L
K 4,2 mmol/L
Cl 102 mmol/L
Usul penatalaksanaan: EEG 1 mgg
stlh kejang
13-11-2012 kejang (-) ,
demam (+),
batuk (+)
pilek (+)
faring
compos mentis
N: 90 x/menit
RR: 30x/menit
T: 37,3oC
BB: 14 kg
Kejang demam
sederhana+dema
m tioid
- terapi lanjut
- Amoksilin 3x 500mg
- Amoxan syr 3x11/2 cth
(Stop)
Tes Widal 13-11-2012
Tes salmonella typhi O positif
(1/160)
Pemeriksaan Urin 12-11-2012
BJ 1,010
15
hiperemi Warna kuning
Kejernihan : Jernih
Ph : 7,0
Sel Epitel +
Leukosit 0-2
Eritrosit 0-1
14-10-2012 kejang (-) ,
demam (+),
batuk (+)
pilek (+)
faring
hiperemi (+)
compos mentis
N: 90 x/menit
RR: 30x/menit
T: 37,3oC
BB: 14 kg
Kejang demam
Sederhana +
demam thifoid
- terapi lanjut
15-10-2012 kejang (-) ,
demam (-),
batuk ()
pilek (-)
faring
hiperemi (-)
compos mentis
N: 82 x/menit
RR: 40x/menit
T: 36,6oC
BB: 14 kg
Kejang Demam
Sederhana +
demam thifoid
- terapi lanjut
16-10-2012 Demam (-),
batuk (-)
compos mentis
N: 80 x/menit
Kejang Demam
Sederhana +
- terapi lanjut
16
Pilek (-)
Faring
hiperemi (-)
RR: 36x/menit
T: 37,0oC
BB: 15,5 kg
Demam Thifoid
17-120-2012 Kejang (-)
demam (-)
batuk (-)
pilek (-)
compos mentis
N: 80 x/menit
RR: 36x/menit
T: 37,0oC
BB: 15,5 kg
Kejang Demam
Sederhana +
demam Thyfoid
Kontrol ke poli anak
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Ensfalitis22
Pengertian
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro
organisme lain yang non purulent.
Patogenesis Ensefalitis
Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk
ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:
Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ
tertentu.
Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah
Kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di
Permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat .
Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gamgguan kesadaran, kejang.
Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis,
Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak.
Penyebab Ensefalitis:
Penyebab terbanyak : adalah virus
Sering : - Herpes simplex
- Arbo virus
Jarang : - Entero virus
- Mumps
- Adeno virus
18
Post Infeksi : - Measles
- Influenza
- Varisella
Post Vaksinasi : - Pertusis
Ensefalitis supuratif akut :
-Bakteri penyebab Esenfalitis adalah :
Staphylococcusaureus,Streptokok,E.Coli,Mycobacterium dan T. Pallidum.
- Patogenesis
Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis media,mastoiditis,sinusitis,atau
dari piema yang berasl dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasi, empiema,
osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak dan
tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang adalah edema,
kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan abses. Disekeliling daerah
yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang membentuk kapsula. Bila
kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.
- Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ;
1.Demam
2.Kejang
3.Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi
umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala
yang kronik dan progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran
menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda
deficit neurologist tergantung pada lokasi dan luas abses
ENSEFALITIS SIPHYLIS
- Patogenesis
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan
tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui
epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar
limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia. Hal ini
19
berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat.
Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian bagian
lain susunan saraf pusat.
- Manifestasi klinis
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :
1. Gejala-gejala neurologist
Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia,
hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Agryll-
Robertson,nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir
timbul gangguanan-gangguan motorik yang progresif.
2. Gejala-gejala mental
Timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang mundur
perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja,
daya konsentrasi mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian
terganggu.(2,4,5)
ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
1. Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus dengue)
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
2. Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalivirus, virus Epstein-
barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
- Manifestasi klinis
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea,
kesadaran menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk,
20
hemiparesis dan paralysis bulbaris.
ENSEFALITIS KARENA PARASIT
a. Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral.
Gangguan utama terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah
yang terinfeksi plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga
menimbulkan penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal
yang tersebar secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala
yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik
tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.
b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejalagejala
kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam
tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot
dan jaringan otak.
c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika
berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis
akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri
kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
d. Sistiserkosis
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa
dan masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva
dapat tumbuh menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan
parenkim otak. Bentuk rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar
didalam sisterna. Jaringan akan bereaksi dan membentuk kapsula
disekitarnya.
Gejaja-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.
ENSEFALITIS KARENA FUNGUS
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans,
21
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor
mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat
ialah meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya
infeksi adalah daya imunitas yang menurun.
RIKETSIOSIS SEREBRI
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang
terdiri atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh
darah di dalam jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan
terjadi trombosis.
Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian
mungkin kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi
yang tersebar.
Gejala-Gejala yang mungkin terjadi pada Ensefalitis :
- Panas badan meningkat ,photo fobi,sakit kepala ,muntah-muntah lethargy ,kadang
disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.
- Anak tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan
penglihatan ,pendengaran ,bicara dan kejang.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PEMERIKSAAN PENUNJANG23
Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu
membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit.
Kadar protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat bilateral).Bila
terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan dapat
dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis flokal,
biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi
virus Herpes Simplex.
22
DIAGNOSA BANDING
Pada kasus ensefalitis supurativa diagnosa bandingnya adalah :
- Neoplasma
- Hematoma subdural kronik
- Tuberkuloma
- Hematoma intraserebri
Prognosa
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama
perawatan. Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.
Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit
dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat.
Encephalitis yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada
prognosis virus entero. Kematian karena encephalitis masih tinggi berkisar antara 35-50
%. Dari penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa.
Penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan
selanjutnya masih menderita retardasi mental, epilepsi dan masalah tingkah laku.
Kejang Demam
2.1. Definisi
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (380C, rektal), biasanya terjadi pada bayi dan anak antara umur 6 bulan dan
5 tahun, yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, dan tidak terbukti adanya
penyebab tertentu.1,2
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada
anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus
statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak
yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi
intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi
berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam
harus dibedakan dengan epilepsi,yaitu yang ditandai denagn kejang berulang tanpa
demam.3,4
23
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem
susunan saraf pusat.
2.2. Klasifikasi19
2.2.1) Klasifikasi menurut Livingston
Livingston (1954-1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2
golongan, yaitu :
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Convulsioní).
a. Kejang bersifat umum
b. Waktu singkat (kurang dari 15 menit)
c. Umur serangan pertama kurang dari 6 tahun
d. Frekuensi serangan 1-4 kali pertahun
e. EEG normal
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)
2.2.2) Klasifikasi menurut Prichard dan Mc Greal
Prichard dan Mc Greal membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam tidak khas
Ciri-ciri kejang demam sederhana ialah:1,2
1. Kejangnya bersifat simetris, artinya akan terlihat lengan dan tungkai kiri yang
kejang sama seperti yang kanan.
2. Usia penderita antara 6 bulan – 4 tahun
3. Suhu 100 oF (37,78 oC ) atau lebih
4. Lamanya kejang berlangsung kurang dari 30 menit
5. Keadaan neurology (fungsi saraf) normal atau setelah kejang juga tetap normal
6. EEG (electro encephalography – rekaman otak) yang dibuat setelah tidak
demam adalah normal.
24
Kejang demam yang tidak memenuhi butir tersebut diatas digolongkannya
sebagai kejang demam tidak khas.
2.2.3) Klasifikasi menurut Fukuyama
Fukuyama juga membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut, yaitu:
1. Dikeluarga penderita tidak ada riwayat Epilepsi
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas
perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat
Bila kejang demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas, maka
digolongkannya sebagai kejang demam jenis kompleks.
Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat,
kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk
umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut
ini: berlangsung lebih lama dari 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24
jam.
25
2.3. Epidemiologi20
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika serikat, Amerika selatan
dan Eropa Barat. Di Negara Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 80% dan mungkin
mendekati 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Beberapa
studi prospektif menunjukkan bahwa kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan).
Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki.
2.4. Faktor Resiko
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu
juga terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan
khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak
akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali
rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi meningkat pada usia dini, cepatnya anak
mendapat kejang setelah demam timbul, temperature yang sangat rendah saat kejang,
riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Dua puluh sampai 25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat
(orang-tua dan saudara kandung) yang juga pernah menderita kejang demam. Tsuboi
mendapatkan bahwa insiden kejang demam pada orang tua penderita kejang demam
ialah 17% dan pada saudara kandungnya 22%. Delapan-puluh persen dari kembar
monosigot dengan kejang demam adalah konkordans untuk kejang demam. Kebanyakan
peneliti mendapat kesan bahwa kejang demam diturunkan secara dominan dengan
penetrasi yang mengurang dan ekspresi yang bervariasi, atau melalui modus poligenik.
Pada penderita kejang demam risiko saudara kandung berikutnya untuk mendapat
kejang demam ialah 10%. Namun bila satu dari orang-tuanya dan satu saudara pernah
pula mengalami kejang demam, kemungkinan ini meningkat menjadi 50% .
Penelitian Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing juga memperoleh data riwayat keluarga
pada 231 penderita kejang demam. Dari mereka ini 60 penderita merupakan anak
tunggal waktu diperiksa. Sedang 221 penderita lainnya - yang mempunyai satu atau
lebih saudara kandung - 79 penderita (36%) mempunyai satu atau lebih saudara
kandung yang pemah mengalami kejang yang disertai demam. Jumlah seluruh saudara
26
kandung dari 221 penderita ini ialah 812 orang, dan 119 (14,7%) di antaranya pernah
mengalami kejang yang disertai demam.
2.5. Etiologi
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:
1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahuo
atau ensefalopati toksik sepintas.
6. Gabungan semua faktor di atas.
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang
demam. Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak
sedang demam. Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis
(DPT) dan morbili (campak).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66(±22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya.
Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita
yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-
faringitis dan otrtis media akut. (lihat tabel ).
Tabel 1. Penyebab demam pada 297 penderita KD
Penyebab demam Jumlah penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis
Otitis media akut (radang liang telinga
tengah)
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran
cerna)
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi
100
91
22
44
27
Bronkitis (radang saiuran nafas)
Bronkopeneumonia (radang paru dan
saluran nafas)
Morbili (campak)
Varisela (cacar air)
Dengue (demam berdarah)
Tidak diketahui
17
38
12
1
1
66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman
Shigella mengaiami kejang demam dibanding gastroenteritis oieh kuman penyebab
lainnya di mana angka kejadian kejang demam hanya sekitar 1%.
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam
pada shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun
yang dihasilkan kuman bersangkutan.
2.6. Patogenesis21
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor
fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jika
sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2
dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam berupa
lipid dan permukaan luar berupa ionik. Dalam keadaan normal membrane sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel
neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari
28
sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membrane ini dapat diubah dengan adanya:
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
Perubahan dari patofisiologi dari membrane sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan
suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron,
dan dalam waktu yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada
suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih.19
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot
pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme
anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh
yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia
sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron.
29
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya
perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
2.7. Manifestasi Klinis20
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang cepat
dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 380C atau lebih (rectal).
Umumnnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang
yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau
kelemahan,gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan
atau kekakuan fokal.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% yang
berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri setelah mendapat
pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak capek, mengantuk, tertidur
pulas, dan tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak atau disebut periode
mengantuk singkat pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat fokal
atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara pasca
serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang
yang berlangsung lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pada kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar yang normal pada
pemeriksaan laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak diindikasikan pada kejang
demam, kecuali bila didapatkan kelainan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila
dicurigai adanya meningitis baktrialis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur
cairan serebrospinal. Bila dicurigai adanya ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase
chain reaction (PCR) terhadap virus herpes simpleks.
30
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Macam pemeriksaan
laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium : darah
tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium dan magnesium.
b. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai
penurunan status kesadaran/mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, kejang lama, gejala
infeksi paresis, peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus yang
jelas. Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk memastikan
adanya infeksi SSP. Bila didapatkan kelainan neuroligis fokal dan adanya peningkatan
tekanan intracranial, dianjurkan pemeriksaan CT Scan kepala terlebih dahulu, untuk
mencegah terjadinya resiko herniasi.
The American Academy of Pediatric merekomendasikan pemeriksaan pungsi
lumbal pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan
sangat dianjurkan, karena gejala klinis yang berhubungan dengan meningitis sangat
minimal bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan lumbal pungsi dianjurkan,
sedangankan pada usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi dilakukan bila ada kecurigaan
adanya infeksi intracranial (meningitis).
c. Neuroimaging
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya
atas indikasi seperti:
1. kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. paresis nervus VI
3. papiledema.
Neuroimaging tidak berguna pada anak anak dengan kejang demam,
berdasarkan kasus pada 71 anak dengan kejang demam tidak ditemukan adanya suatu
kondisi kelainan intrakranial seperti adanya lesi, perdarahan, hidrochephalus, abses atau
edema serebri.
31
d. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam.
Oleh karenanya tidak direkomendasikan.Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak
usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
2.9 Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang telah
dimodifikasi,
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam,
dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala
neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi perlu diingat bahwa
kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada kelainan lain, misalnya
pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak (ensefalitis).
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai diagnostik, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang si kemudian hari. Saat
ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan keseimbangan cairan dapat
diduga terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan elektrolit
32
diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab
timbulnya demam.21
2.10 Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita kejang dengan demam, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak).
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, encephalitis,
abses otak dan lain-lain. Oleh karena itu perlu waspada untuk menyingkirkan apakah
ada kelainan organis di otak. Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini
tergolong dalam kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.
Tabel 2. Diagnosis banding infeksi susunan saraf pusat.
Klinis/Lab Ensefalitis
herpes
simpleks
Meningitis
bacterial/
purulenta
Meningitis
serosa
tuberkulosa
Meningitis
serosa
virus
Kejang
demam
Awitan
Demam
Tipe kejang
Singkat/lama
Kesadaran
Pemulihan
kesadaran
Tanda
rangsang
meningeal
Akut
< 7 hari
Fokal/umum
Singkat
Sopor-koma
Lama
-
Akut
< 7 hari
Umum
Singkat
Apatis-som
Cepat
++/-
Kronik
>7 hari
Umum
Singkat
Som-sopor
Lama
++/-
Akut
< 7 hari
Umum
Lama>15
menit
Sadar-apatis
cepat
+/-
Akut
< 7 hari
Umum/fokal
Somnolen
Cepat
-
33
Tekanan
intrakranial
Paresis
Pungsi
lumbal
Etiologi
Terapi
Sangat
meningkat
+++/-
Jernih
Normal/limfo
Virus HS
Antivirus
Meningkat
+/-
Keruh/opalesen
Segmenter/limfo
Bakteri
Antibiotik
Sangat
meningkat
+++
Jernih/xanto
Limfo/segmen
M.
tuberculosis
Anti TBC
Normal
-
Jernih
Normal
Virus
Simtomatik
Normal
-
Jernih
Normal
Di luar SSP
Penyakit dasar
Sumber: Kepustakaan No. 4
2.11 Penatalaksanaan
Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta, dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu, tindakan
awal yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat.
Setelah air menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara
gigi. Jangan memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah
lidahnya tergigit. Hal ini tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah
atau jari luka. Miringkan posisi anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan
mencoba menahan gerakan anak. Turunkan demam dengan membuka baju dan
menyeka anak dengan air sedikit.
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam yaitu:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Perhatikan
34
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung.
Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat –
obatan antipiretik sangat diperlukan. Obat – obat yang dapat digunakan sebagai
antipiretik adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam atau ibuprofen 5
– 10 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik
diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius
hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50
mg persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis
diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis
maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan,
tunggu sebentar dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali
menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah
dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981).
Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan
rektiol yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke
rektum sedalam 3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya
untuk beberapa menit lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus
gluteus. Dosis diazepam intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau
10 mg (BB>10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian,
bila tidak berhenti juga berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan
menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital yang
langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan – 1 tahun 50
mg dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4 jam kemudian diberikan
fenobarbital dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari
35
dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi
2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah
membaik peroral. Harus diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200
mg/hari karena efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi
pernafasan.21
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung
lama.
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:
1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang
menderita kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis
intermiten dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam.
36
Diazepam dapat juga diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg)
dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5°C.
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk
menderita kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik
yang stabil dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang
demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah
terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan
fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan
adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus
menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama
1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi mental).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam
oral alau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik.
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut :
Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau
penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
37
Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke
fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber
yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin
tanpa menyatakan batasan menit.
Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter
untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain
poin-poin di atas adalah sebagai berikut :
Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
Pemberian oksigen melalui face mask
Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika
telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti
kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan
pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang cukup lama atau keadaan
pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.
2.12 Komplikasi
Walaupun kejang demam dapat menyebabkan kekhawatiran dan perhatian yang
besar dari orang tua, banyak kejang demam menimbulkan efek yang tidak menetap.
Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kerusakan otak, retardasi mental atau
gangguan belajar, dan ini tidak berarti bahwa anak memiliki gangguan dasar yang lebih
serius atau epilepsi.
38
Komplikasi paling sering dari kejang demam adalah kemungkinan kejang
demam lagi. Kira-kira sepertiga anak yang pernah kejang demam akan mengalaminya
pada saat demam berikutnya. Resiko kambuh lebih tinggi jika anak demam tidak terlalu
tinggi pada saat pertama kali mengalami kejang demam, jika waktu antara permulaan
demam dan kejang adalah pendek atau jika ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
kejang demam. Tetapi faktor besar yang berpengaruh adalah usia. Pada anak yang lebih
muda saat kejang demam pertama kali terjadi, kemungkinan besar dia akan mengalami
lagi.
2.13 Prognosis
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya
kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal
(1973) mendapatkan:
Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50%
dan pria 33%.
Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Living-ston
(1954) mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi
epilepsi dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam temyata 97% yang
menjadi epilepsi.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita
kejang demam.
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
39
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari
akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya
terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam
hanya 2% - 3% saja ("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada penelitian
yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project di Amerika Serikat,
dalam hal mana 1.706 anak pasca kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia
7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai akibat kejang demam. Anak dengan
kejang demam ini lalu dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal,
terhadap tes iQ dengan menggunakan WISC. Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93
pada anak yang pernah mendapat kejang demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari
saudara kandungnya (kontrol). Anak yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah
abnormal atau dicurigai menunjukkan gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang
lebih rendah daripada saudara kandungnya. Hasil yang diperoleh the National
Collaborative Perinatal Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris
oleh The National Child Development-Study* Didapatkan bahwa anak yang pernah
mengalami KD kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum waktu di tes pada usia
7 dan 11 tahun.
Pada penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ waktu
diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang tanpa kejang
demam
Demam Tifoid
Defenisi Demam Tifoid
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .11
2.2. Infectious Agent 4
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam
40
air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama
15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 12
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin.
Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan
menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
2.3. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina
propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala dan sakit perut.
41
2.4. Gejala Klinis14
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing
dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore
dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) .
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung
(meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya
didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis
sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.5. Epidemiologi Demam Tifoid 2.5.1. Distribusi dan Frekwensi 11,12,17
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata
antara insiden pada laki-laki dan perempuan.
42
Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun
10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %.
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun
dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun
sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di
Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000
penduduk.6 Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta
Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada
tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
terercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid
dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform
(OR=6,4) .
2.6. Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid.4
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
2.6.1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang
sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih
mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
2.6.2. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung
Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis.
43
Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat
ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca
penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal
(infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-
mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan
batu atau memperbaiki kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.21
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah
menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur
penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis,
hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi
telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti
pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari
penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut
untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan
umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti
pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
2.7. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.7.1. Komplikasi Intestinal13
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat
perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
44
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,
tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
2.7.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.
2.8. Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.13
2.8.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.b. Vaksin parenteral
45
sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan
anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu.
Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada
tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada
pemberian pertama. c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur
Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3
tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang
demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak
mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita
karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup
bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan
memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan
penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai
penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini
dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3
metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2,5,6
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada
demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada
penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada
penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis
demam tifoid.
46
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini
menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%.
Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu
90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur
urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4.
Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan
kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya
untuk jangka waktu yang lama.
c.Diagnosis serologik12
c.1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang
pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.25
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :12
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
47
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :11,18
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu
minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan
antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan
antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan
antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin
O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah.
Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
48
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi
hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen Daya aglutinasi suspensi
antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain
lain.
c.2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak
langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen
yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam
spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
49
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus
istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid
dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah
jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan
relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III
karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh
karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoksilin.
2.8.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya
tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
50
BAB III
PEMBAHASAN
Anamnesis:
Fakta Teori
• Demam 5 hari sebelum MRS.
• Mengigau 2 hari SMRS
• Sakit kepala 5 hari sebelum
MRS.
• Mual 4 hari sebelum MRS.
• BAB dan BAK dalam batas
normal.
• Tampak sangat lemah
• Pasien mempunyai riwayat
kejang demam pada umur 4
bulan
• Kejang kurang dari 15 menit
• EEG normal
Pada bulan juni pasien di
diagnosa Ensefalitis +
Hemiparese sinistra
• Pasien mengalami kejang
yang didahului demam
• Pasien mengalami penurunan
Demam tifoid:
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai
suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu
kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering
mengigau (derilium), malaise, anoreksia, nyeri
kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah,
perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat
dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus.
Kejang demam sederhana:
• Kejang bersifat umum
• Waktu singkat (kurang dari 15 menit)
• Umur serangan pertama kurang dari 6 tahun
• Frekuensi serangan 1-4 kali pertahun
• EEG normal
Ensefalitis:
• Demam
• Kejang
• Kesadaran menurun
• Kadang-kadang disertai tanda Neurologis
tokal berupa Afasia, Hemifaresis, Hemiplegia,
51
kesadaran Ataksia, Paralisis syaraf otak.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi dari yang ringan bahkan asimtomatik
sampai dengan berat. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam satu minggu atau lebih, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran.17
Dalam kasus ini timbul gejala klinis berupa demam, sakit kepala, mual, dari hari
pertama sakit. Berdasarkan literatur, pada minggu pertama gejala klinis penyakit demam
tifoid ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau
diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis.7
Dalam minggu kedua pasien terlihat toksik dan lemah, gejala-gejala menjadi lebih
jelas berupa demam, pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf
pusat, seperti kesadaran berkabut atau derilium atau obtundasi, atau penurunan
kesadaran mulai apati sampai koma.7 Pada kasus diketahui bahwa pasien mulai
mengigau dua hari sebelum masuk rumah sakit bersamaan dengan kondisi tubuh pasien
yang panas sekali dan pasien tampak sangat lemah.
Pada minggu ketiga gejala akan kelihatan lebih jelas lagi yaitu perut terasa sakit
sekali, tidak buang air besar, denyut nadi cepat dan lemah, kesadaran menurun dan
kadang-kadang sampai tidak sadar. Pada stadium ini dapat terjadi perdarahan usus, lalu
disusul kematian.19 Pada pasien yang bertahan sampai minggu keempat, demam, status
mental, dan distensi abdomen secara perlahan mulai membaik tetapi komplikasi saluran
cerna masih terjadi. Pemulihan biasanya berlangsung lambat.15
52
Pemeriksaan fisik:
Fakta Teori
Compos mentis
TD = 110/70 mmHg
Nadi = 30x/menit
Suhu = 37,80C
Kepala/leher(dbn)
Thorax(dbn)
Abdomen: hepar dan lien tidak
teraba, tympani, BU (+) normal
• Pasien mengalami kejang yang
disertai deman dengan suhu
39,0oC
• Kejang kurang dari 15 menit
• Mata melihat ke atas
• Tangan dan kaki kaku
• Setelah kejang pasien sadar
kembali
Kesadaran menurun, derilium
Suhu badan meningkat
Bradikardi relatif jarang dijumpai pada
anak
Bibir kering dan pecah-pecah
Lidah tampak kotor dengan putih di
tengah sedangkan tepi dan ujungnya
kemerahan.
Rose spot
Ronkhi dapat terdengar
Hepatomegali,splenomegali,
meteorismus
Kejang demam sederhana
• kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
mencapai 380C atau lebih
• Umumnnya kejang berlangsung singkat,
berupa serangan tonik atau klonik.
• mata terbalik keatas dengan disertai
kekakuan atau kelemahan
Pada pemeriksaan fisik seharusnya didapatkan suhu badan meningkat, karena
selama minggu kedua penyakit, demam tinggi bertahan. Tetapi, dalam kasus ini suhu
badan pasien dalam batas normal. Hal ini dapat disebabkan karena pasien telah minum
obat penurun panas sebelum dilakukannya pemeriksaan. Pada pasien perlu dilakukan
pemeriksaan suhu pada sore atau malam hari sebelum diberikannya antipiretik untuk
mencari bukti kebenaran laporan orangtua pasien bahwa suhu lebih meningkat
menjelang malam hari.
53
Bradikardi relatif dibandingkan dengan tingginya suhu tubuh dapat menjadi
petunjuk klinis pada tifoid, tetapi hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien.
Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali
per menit) jarang dijumpai pada anak.1,18
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain, lidah nampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih
pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan
terjadi desquamasi epitel, sehingga papilla lebih prominen.5
Bintik merah muda (rose spot), lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama
dan awal minggu kedua. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3
hari. Rose spots yang disebabkan oleh embolisasi bakteri di mana didalamnya
mengandung kuman Salmonella merupakan suatu ruam makulopapular yang berwarna
merah pucat dengan ukuran 2-4 mm, yang dapat menghilang jika ditekan, sering kali
dijumpai pada daerah abdomen, torak, ekstremitas, dan punggung orang kulit putih.
Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah
menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap. Tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia.5,18
Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan
menganggap bronkitis sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Limpa umumnya
membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan
dengan pembesaran oleh karena malaria, pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.18
Pemeriksaan penunjang:
Fakta Teori
11/11/2012
Hemoglobin : 11,6 g/dl
Leukosit : 13.300/mm3
Trombosit : 431.000/mm3
Anemia
Leukopenia
Limfositosis relatif
Trombositopenia
54
Hematrokit : 36,8%
Natrium : 135
Kalium : 4,2
Chloride : 102
GDS : 125
12/11/2012
BJ 1,010
Warna kuning
Kejernihan : Jernih
Ph : 7,0
Sel Epitel +
Leukosit 0-2
Eritrosit 0-1
Serologi Widal: kenaikan titer Salmonella
typhi O
Biakan darah terutama pada minggu 1-2
dari perjalanan penyakit.
Biakan feses dan urin positif biasanya pada
minggu kedua, ketiga.
Biakan sumsum tulang masih positif sampai
minggu ke-4.
13/11/2012
Tes Widal 13-11-2012
Tes salmonella typhi O positif
(1/160)
Hasil CT Scan kepala pada bulan juni
2012:
Kesan: Susp bleeding lama
Kesimpulan: susp. Ensefalitis + obs
kejang
Diagnosa : Ensefalitis + Hemiparese
sinistra
pada kasus ensefalitis herpes simpleks, CT-scan kepala biasanya menunjukan adanya perubahan pada lobus temporalis atau frontalis,tapi kurang sensitif dibandingkan MRI. Kira-kira sepertiga pasienensefalitis herpes simpleks mempunyai gambaran CT-scan kepala yang normal.
55
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan
dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopeni. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.7 Penelitian
oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid.
Uji serologi Widal merupakan suatu metode serelogik untuk mendeteksi antibodi
aglutinasi terhadap antigen O dan H. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O (pada
hari ke 6-8), kemudian diikuti dengan aglutinin H (pada hari 10-12). Pada orang yang
telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian,
setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi. Peran
widal dalam diagnosis demam tifoid sampai saat ini masih kontroversi dan uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.1,2,5,7
Ada 2 metode yang sampai saat ini dikenal yaitu Widal cara tabung
(konvensional) dan cara slide. Tidak ada kepustakaan yang menyebutkan nilai titer
Widal yang absolut untuk memastikan diagnosis demam tifoid. Hasil negatif palsu
pemeriksaan Widal disebabkan karena pengaruh antibiotik sebelumnya. Epitop
Salmonella typhi juga bereaksi silang dengan Enterobacteriaceae lain sehingga
menyebabkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu juga dapat terjadi pada kondisi
klinis yang lain misalnya malaria dan sirosis. Spesifisitas pemeriksaan widal kurang
begitu baik karena Salmonella yang lain juga memiliki antigen O dan H.2 Sensitivitas
pemeriksaan widal kurang begitu baik karena adanya sejumlah penderita dengan hasil
biakan positif tetapi tidak pernah dideteksi adanya antibodi dengan tes ini.5
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu pengobatan dini dengan
antibiotik, gangguan pembentukan antibodi dan pemberian kortikosteroid, waktu
pengambilan darah, daerah endemik atau non-endemik, riwayat vaksinasi, reaksi
56
anamnestik yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat
infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, dan faktor teknik pemeriksaan antar
laboratorium.7
Diagnosis pasti dengan ditemukan kuman Salmonella typhi pada salah satu
biakan darah, feses, urin, sumsum tulang, cairan duodenum, atau dari rose spots. Kultur
darah adalah metode diagnosis standar (golden standard) tetapi pada kasus ini kultur
darah ataupun pemeriksaan bakteriologis lainnya tidak dilakukan, hal ini dapat
dikarenakan karena pada saat masuk rumah sakit pasien memberikan respon yang baik
terhadap pemberian terapi antibiotik dan pasien sudah tidak mengalami demam. Waktu
pengambilan darah yang paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum
pemakaian antibiotik. Karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar
ditemukan dalam darah. Metode biakan darah mempunyai spesifisitas tinggi (95%) akan
tetapi sensitivitasnya rendah (± 40%) terutama pada anak dan pada pasien yang sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.10,17
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid.7 Hasil negatif mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik yang menyebabkan pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat.7 Hal ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan sistem
kultur darah otomatis dengan media kultur yang dilengkapi dengan resin untuk
mengikat antibiotik.20
2. Volume darah yang kurang. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa
negatif. 2
3. Riwayat vaksinasi.7
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin
meningkat.7
Jadi, pada kasus ini hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
menunjang sangat mendukung diagnosis demam tifoid, walaupun pemeriksaan golden
standard tidak dilakukan.
57
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis, dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraselular seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis,
dan malaria juga perlu dipikirkan.18
Penatalaksanaan:
Fakta Teori
IVFD D5½ NS 14 tpm
Sanmol syr 3x1/2 cth
Amoxicilin Inj. 3x500mg iv
CTM 1,5mg Efedrin 7,5
DMP 3,5 mf. Pulv 3x1
Pada saat pasien kejang diberikan stesolid suppos 5 mg
Medikamentosa
Antibiotik: kloramfenikol (drug of
choice), amoksisilin, kotrimoksazol,
seftriakson, sefiksim
Kortikosteroid diberikan pada kasus
berat dengan gangguan kesadaran
Bedah
Pada penyulit perforasi usus.
Suportif
Tirah baring
Isolasi memadai
Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi
o Beri Diazepam (Valium) iv pelan-
pelan (dalam 2-3 menit) dengan
dosis:
o BB < 10 kg:0,5 mg/ kg BB
minimal 2,5 mg atau Stesolid
suppos. 5 mg
o BB > 10 kg;0,5 mg/ kg BB
minimal 7,5 mg atau stesolid
suppos. 10 mg
58
o Bila dalam 20 menit tidak
berhenti dapat diulangi
dengan dosis yang sama dan
bila dalam 20 menit tidak
juga berhenti -> ulangi
dengan dosis yang sama
tetapi im.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Pada pasien An Az, umur 3 tahun dari anamnesa, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium
sudah memenuhi kriteria untuk diagnosa demam typoid. Berdasarkan tipe kejang yang
dialami pasien adalah kejang demam sederhana. Pada pasien ini mempunyai riwayat
Ensefalitis, namun kejang yang ditimbulkan bukan dari Ensefalitis. Karena pasien tidak
mengalami penurunan kesadaran. Adapun gejala sisa dari Ensefalitis pada pasien ini
adalah adanya perubahan perilaku pasien yang sering membenturkan kepala ke tembok
apabila sedang marah.
59
SARAN
Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan LCS
Pemeriksaan CT Scan kepala
Memberikan edukasi pada keluarga pasien mengingat pasien mempunyai riwayat
kejang demam,sehingga apabila pasien demam segera di turunkan demamnya, agar
tidak sampai terjadi kejang
DAFTAR PUSTAKA
1. Keusch GT. Salmonelosis. Dalam: Asdie A (Ed.), Harisson Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 E/13. Jakarta: EGC; 1999. Hal. 755-758.
2. World Health Organization. Background Document: The diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Initiative for Vaccine Research of the Department of Vaccines and Biologicals in collaboration with Epidemic Disease of the Control Department of Communicable Disease Surveillance and Response. (online); 2003. (http://www.who.int/vaccines-documents/
3. Davey P. Tifoid. Dalam: Safitri A (Ed.), At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga; 2005. Hal. 298.
4. Pegues DA, Ohl ME, Miller SI. Salmonella Species, Including Salmonella Typhi. Dalam: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease Edisi 6 Volume 2. United States of America: Elsevier Churchill Livingstone; 2005. Hal. 2638.
60
5. Rampengan TH, Laurents IR. Demam Tifoid. Dalam: Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC; 1993. Hal. 53-71.
6. Muliawan SY, Surjadwijaja JE. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Tifoid di Rumah Sakit. Cermin Dunia Kedokteran. (online); 1999. No. 124,(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08.html
7. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW dkk (Eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. Hal. 1774-1779.
8. Laporan Bulanan Data Kesakitan Tahun 2007. 2008. Dinas Kesehatan Kota Samarinda bagian Pelayanan Kesehatan.
9. Cleary TG, Ashkeazi S. Infeksi Salmonella. Dalam: Behrman RE, KliegmanRM, Jenson HB (Eds.), Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC; 1999. Hal. 970-973.
10. Hadinegoro SR. Demam Tifoid pada Anak. Makalah disajikan dalam simposium Masalah Alergi dan Penyakit Infeksi pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur Komisariat Kalimantan Timur: IDAI Wilayah Propinsi Kalimantan Timur; 2004. Hal. 1-8.
11. Lesser CF, Miller SI. Salmonellosis. Dalam: Kasper DL (Ed.), Harrison’s Principles of Internal Medicine Edisi 15 Volume 1. New York: McGraw-Hill; 2004. Hal. 970-973.
12. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. (Eds.). Demam Tifoid. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2000. Hal. 421-423.
13. Jawetz E, Melnick J, Adelberg E. Batang Gram Negatif Enterik. Dalam: Irawati S (Ed.), Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC; 1996. Hal. 243-245.
14. Gillespie S. Salmonella Infections. Dalam: Cook G, Zumla A (Eds.), Manson’s Tropical Disease. London : ELST; 2003. Hal : 937-943.
15. Lee TP, Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam: Strickland GT. Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease. United States of America: W.B. Saunders Company; 2000. Hal. 471-483.
16. Tumbelaka AR. Tata Laksana Demam Tifoid pada Anak. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IDAI Jaya. Malang: IDAI Cabang Jawa Timur; 2005. Hal. 37-43.
17. Soedarmo SP. Demam Tifoid. Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Sagung Seto; 2002. Hal. 338-345.
18. Novianti T. Pemeriksaan Anti Salmonella Typhi IgM untuk Diagnosis Demam Tifoid. Informasi Laboratorium Klinik Prodia. (online)
19. Westbrook GL. Seizures and epilepsy. Dalam: Kandel ER, Scwartz JH, Jessel TM, ed. principal of neural science. New York: MCGraw-Hill, 2000. h. 940-55.
61
20. Najm I, Ying Z, Janigro D. Mechanisms of epileptogenesis. Neurol Clin North Am 2001; 19:237-50.
21. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am 2001;48:683-94.
22. Chusid,J.G. NEUROANATOMI KORELATIF dan NEUROLOGI FUNGSIONAL.Gajah Mada University Press.Bagian Dua. 1990. Hal. 579-583
23. Mardjono,Mahar dan Sidarta,Priguna. NEUROLOGI KLINIS DASAR. Dian Rakyat. 2003. Hal. 313-314, 421, 327-333.
24. Markam,Soemarmo. KAPITA SELEKTA NEUROLOGI. Gajah Madah University Press. Edisi Ke Dua.2003. Hal.155-162
62