Resume Infeksi

30
RESUME Identitas: An. R/ perempuan/ usia 4 tahun 8 bulan/ BB 10 kg Anamnesis: Tidak mau makan sejak 1 minggu sebelum MRS. Demam hari ke-10, meningkat di malam hari, membaik di siang hari, semakin meningkat dari hari ke hari. Muntah 1 hari sebelum MRS, sebanyak 1 kali. BAB cair 1 hari sebelum MRS, 2x/hari, warna kuning kecoklatan, ampas lebih banyak daripada air. Perut kembung. Disusul BAB (-) selama 3 hari, disertai nyeri perut. Kepala pusing dan badan lemas sejak timbulnya demam. Sariawan sejak 1 minggu sebelum MRS. Batuk, pilek dan nyeri menelan 2 hari sebelum MRS. Pemeriksaan Fisik: Composmentis Tanda vital: Nadi: 102 kali/menit, Suhu: 37,1 o C, Frekuensi Nafas: 29 kali/menit Faring hiperemis (+) Tonsil T2/T2, dedritus (+) Lidah kotor (+), putih di tengah dan hiperemis pada tepinya

Transcript of Resume Infeksi

Page 1: Resume Infeksi

RESUME

Identitas:

An. R/ perempuan/ usia 4 tahun 8 bulan/ BB 10 kg

Anamnesis:

Tidak mau makan sejak 1 minggu sebelum MRS.

Demam hari ke-10, meningkat di malam hari, membaik di siang hari, semakin meningkat dari

hari ke hari.

Muntah 1 hari sebelum MRS, sebanyak 1 kali.

BAB cair 1 hari sebelum MRS, 2x/hari, warna kuning kecoklatan, ampas lebih banyak daripada

air. Perut kembung. Disusul BAB (-) selama 3 hari, disertai nyeri perut.

Kepala pusing dan badan lemas sejak timbulnya demam.

Sariawan sejak 1 minggu sebelum MRS.

Batuk, pilek dan nyeri menelan 2 hari sebelum MRS.

Pemeriksaan Fisik:

Composmentis

Tanda vital: Nadi: 102 kali/menit, Suhu: 37,1o C, Frekuensi Nafas: 29 kali/menit

Faring hiperemis (+)

Tonsil T2/T2, dedritus (+)

Lidah kotor (+), putih di tengah dan hiperemis pada tepinya

Stomatitis (+) pada mukosa bibir dan bukal, bibir kering pecah-pecah

Nyeri tekan epigastrium (+)

Pemeriksaan Penunjang :

Darah rutin : Leukosit = 18.300, Hb = 10

Widal : Salmonella typhi O (+) 1/320

Salmonella typhi H (+) 1/160

Page 2: Resume Infeksi

Diagnosis Banding: 1. Demam typhoid

2. Malaria

Diagnosis Kerja Sementara: Demam typhoid

Diagnosis Komplikasi: -

Diagnosis Lain: Tonsilofaringitis

Stomatitis

Usul Penatalaksanaan: - IVFD D5 ½ NS 10 tpm makro

- Paracetamol syrup 3 x 1 cth

- Klorampenikol syrup 3 x cth 2

- Nystatin drop 3x1 ml

- Gliseril guaiakolat 40 mg

- Epedrin 1 mg

Prognosis: Bonam

3 x 1 pulv

Page 3: Resume Infeksi

PEMBAHASAN

Patogenesis Infeksi Salmonella

Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan

yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos

masuk ke usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)

usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke

lamina propia. Di lamina propia, kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah, menyebabkan bakteriemia awal yang asimptomatik, dan

menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini,

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi, mengakibatkan bakteriemia untuk

yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman

dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.

Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif, maka

saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,

cephalgia, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.

Anamnesis

Pada minggu pertama gejala klinis demam typhoid sering ditemukan keluhan dan gejala

serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri

otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut dan batuk. Sifat

demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari.

Page 4: Resume Infeksi

Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah

terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme disini atau dapat

merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.

Tipe demam:

Demam septik :

Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke

tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.

Bila demam tinggi tersebu turun ke tingkat normal disebut juga demam hektik.

Demam remiten :

Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan

suhu yang tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang

dicatat pada demam septik.

Demam intermitten :

Suhu badan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti

ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersianan dan bila terjadi dua hari bebas demam

diantara dua serangan demam disebut kuartana.

Demam kontinyu :

Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang

terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.

Demam siklik :

Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam

untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

Pada kasus demam typhoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart

yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan

mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat febris remiten

dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat

setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.

Dalam minggu kedua penderita terus menerus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga

suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

Page 5: Resume Infeksi

Pemeriksaan Fisik

Lidah kotor

Lidah menjadi kotor diakibatkan oleh bakteri yang menginvasi daerah mulut. Secara

normal, lidah terdapat keratin. Bakteri yang berada di dalam mulut akan merangsang

pembentukan keratin sehingga terjadi peningkatan jumlah keratin pada lidah. Penumpukan

keratin inilah yang mengakibatkan lidah menjadi kotor.

Tonsil membesar dan adanya dedritus serta faring hiperemis

Tonsil yang membesar dan merah terjadi akibat adanya kuman yang menginfiltrasi

lapisan epitel, kemudian bila kuman ini terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi,

terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

Pada infeksi virus atau bakteri secara langsung menginvasi mukosa pada rongga

tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal. Infeksi/peradangan ditandai oleh

pelepasan dan invasi toksin ekstra seluler lokal dan protease.

Nyeri tekan abdomen

Bakteri berkembang biak di dalam organ retikuloendothelial seperti hati dan limpa, di

dalam kandung empedu dan menembus usus untuk kemudian masuk kembali ke sirkulasi atau

keluar bersama feses. Hal ini menyebabkan nyeri pada perabaan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan :

1. Pemeriksaan rutin :

Darah

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah terdapat tanda-tanda terjadinya infeksi serta

untuk mengetahui jumlah komponen darah guna menunjang diagnosis.

Hasil yang didapat : leukosit : 18.300 , Hb : 10 , Trombosit : 358.000

Widal test

Test ini merupakan salah satu penunjang untuk mendiagnosa penyakit tifus. Indikasi

melakukan pemeriksaan ini berdasarkan gejala klinis yang menyerupai penyakit tifosa

Page 6: Resume Infeksi

Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur

dengan suspense antigen Salmonela typhosa. Pemeriksaan yang positif adalah bila

terjadi aglutinasi. Untuk membantu mendiagnosis yang diperlukan adalah titer zat

antigen terhadap antigen O dimana titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau

menunjukan kenaikan yang progresif.

Hasil yang ditunjukan :

Titer antigen O : positif pada pengenceran 1/80, 1/160 dan 1/320

Titer antigen H : positif pada pengenceran 1/80 dan 1/160.

Demam tifoid menginduksi respon imun humoral, baik sistemik maupun lokal, tetapi

respon ini tidak dapat memproteksi dengan lengkap terhadap kekambuhan dan reinfeksi.

Beberapa pemeriksaan serologis diantaranya Widal, Tubex® TF, Typhidot, Typhidot-M, Dipstick

test, dan lain-lain.

Pemeriksaan Serologis

Di Indonesia, di mana kebanyakan rumah sakit dan puskesmas di daerah pedesaan tidak

memiliki fasilitas laboratorium, diagnosa demam tifoid ditegakkan hanya berdasarkan diagnosa

klinis, kadang didukung dengan tes Widal. Di Jawa Tengah hanya 11 dari 115 rumah sakit yang

memiliki fasilitas pengkulturan. Tes Widal banyak digunakan di Indonesia, akan tetapi kurang

bernilai dan sulit diinterpretasikan pada daerah endemik salmonellosis, apalagi apabila hanya

satu sampel yang diuji. Oleh karena itu, pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk

menegakkan diagnosis demam tifoid akan memberikan keuntungan besar, terutama dimana sutau

tempat tidak didukung oleh laboratorium yang canggih. Beberapa metode diagnostik baru untuk

menggantikan tes Widal konvensional dan kultur darah masih kontroversial dan diperlukan

penelitian lebih lanjut. Metode diagnostik terbaru seperti TUBEX®, Typhidot-M® dan dipstick

test yang cepat, mudah dan relatif terjangkau di negara-negara berkembang mulai

dipertimbangkan untuk digunakan di Indonesia.

Page 7: Resume Infeksi

Jenis-jenis pemeriksaan serologis:

Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin yang digunakan sejak tahun

1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibody agglutinin dalam serum

penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan

flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan antibody dalam

serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau

uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam

prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat

digunakan untuk informasi hasil dari uji hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas

masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H ≥1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar

34,2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99,2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid

anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-

74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain

sensitivitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang

dapat mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat setempat

(daerah endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya

melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita

demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan memperkuata dugaan pada tersangka

penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di

seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum

ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cutt-off point). Untuk mencari standar titer uji

Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana

pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibody O dan H

pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowanto di RSU Dr. Sutomo Surabaya (1998)

mendapatkan hasil uji Widal dengan titer ≥1/200 pada 89% penderita.

Page 8: Resume Infeksi

Diagnosis pasti demam tifoid adalah isolasi S. typhi dari darah, urin, tinja, atau cairan

tubuh lainnya. Hal ini sering tidak mungkin dilakukan di negara sedang berkembang, karena

fasilitas bakteriologik yang tidak memadai pada banyak rumah sakit kecil, sedangkan

penyakit demam tifoid merupakan penyakit endemis di negara tersebut. Dengan keadaan

seperti ini, diagnosis harus ditegakkan dengan menghubungkan gejala klinik yang sesuai

dengan demam tifoid dan adanya titer antibody yang meningkat bermakna dalam darah

terhadap antigen O dan/atau antigen H S. typhi (uji Widal). Sejak diketahui kegunaan uji

Widal pada tahun 1896 yang menggunakan suspensi bakteri S. typhi untuk menentukan titer

aglutinin dalam serum penderita demam tifoid, sampai saat ini uji tersebut masih merupakan

uji serologi yang paling banyak dipakai untuk menunjang diagnosis demam tifoid di klinik,

meskipun diketahui mempunyai banyak kelemahan. Walaupun demikian sejak beberapa tahun

terakhir ini beberapa peneliti mulai meragukannya sebagai suatu uji yang dapat dipercaya.

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas, maka walaupun secara

bakteriologik dinyatakan positif S.typhi, hasil uji Widal dapat memberi hasil negatif,

sebaliknya hasil uji Widal negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Akan

tetapi perlu diperhatikan pula bahwa Salmonella serogrup D lainnya dan beberapa

organismegrup A dan B memiliki antigen yang digunakan pada uji Widal, oleh karena itu uji

Widal tidak spesifik untuk S.typhi saja. Pada pemeriksaan uji Widal yang perlu diperhatikan

antara lain, adalah: (a) Saat pengambilan spesimen, (b) Kenaikan titer aglutinin antigen S.

typhi.

(A) Saat Pengambilan Spesimen

Kenaikan titer antibodi ke level diagnostik pada uji Widal umumnya paling baik pada

minggu ke dua atau ke tiga, yaitu 95.7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama

adalah hanya 85.7%. Oleh karena itu hasil Widal negatif belum dapat menyingkirkan adanya

penyakit demam tifoid, karena uji Widal mempunyai sensitivitas rendah. Oleh karena itu saat

pengambilan spesimen perlu diperhatikan, agar mendapatkan nilai diagnostik yang

diharapkan.

(B) Kenaikan Titer Aglutinin Terhadap Antigen S. typhi

Pemeriksaan uji Widal memerlukan dua kali pengambilan spesimen, yaitu pada masa

akut dan masa konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari. Diagnosis ditegakkan dengan

melihat adanya kenaikan titer lebih atau sama dengan 4 kali masa akut. Dalam

Page 9: Resume Infeksi

pelaksanaannya di lapangan, ternyata praktis pengambilan spesimen untuk pemeriksaan uji

Widal hanya menggunakan spesimen tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada

spesimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru

atau lama, juga kenaikan titer aglutinin terutama aglutini H tidak mempunyai inti diagnostik

yang penting untuk demam tifoid, namun masih dapat membantu dalam menegakkan

diagnosis tersangka demam tifoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non

endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemik, sebab pada kelompok

penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih

amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah

endemik, kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar

sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar

daerah endemik yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan

berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila

uji Widal masih diperlukan rujukan, baik pada anak maupun orang dewasa perlu ditentukan.

Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji Widal sebagai saran penunjang

diagnosis demam tifoid yaitu spesifisitas yang agak rendah dan kesukaran untuk

menginterprestasikan hasil tersebut, sebab banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan titer.

Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yang lebih

tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk

diinterprestasikan. Dengan alasan ini maka pada daerah endemis tidak dianjutkan

pemeriksaan antibodi H S. typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S. typhi.6

S. typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak

berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel kariotik. Di

samping itu mempunyaibeberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer

Membrane Protein terutama porin OMP. Penjelasan macam :

1. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur

kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C

selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.

Page 10: Resume Infeksi

2. Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak diflagela, fimbriae atau fili S. typhi dan

berstrukturkimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga

dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu

60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.

3. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari

fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam

pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk

mengetahui adanya karier.

4. OuterMembrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran

sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan

sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin

merupakan komponen utamaOMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan

merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000.

Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein

nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap

protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti

menemukan antigen OMP S typhi yang sangatspesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52

kDa.

Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor antara lain

sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status

gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran

imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis); factor antigen;

teknik serta reagen yang digunakan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji Widal

dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain :

1) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

2) Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk. kenaikan titer

antibodi ke level diagnostik pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu kedua

Page 11: Resume Infeksi

atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya

85,7%.

3) Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya dapat

menghambat pembentukan antibodi.

4) Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal ini dapat

dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H meningkat dan menetap

selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemeriksaan ulang

tes Widal seminggu kemudian. Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara

pasien yang divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer.

5) Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi.

6) Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu, kadang-

kadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita infeksi yang bukan

typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang seminggu kemudian.

7) Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat menyebabkan positif

palsu.

8) Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan

mempengaruhi hasil uji widal.4

Salmonella typhosa mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O

(somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi.

Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam typhoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Test ini merupakan salah satu penunjang untuk mendiagnosa penyakit tifus. Indikasi

melakukan pemeriksaan ini berdasarkan gejala klinis yang menyerupai penyakit tifosa Dasar

pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan

suspense antigen Salmonela typhosa. Pemeriksaan yang positif adalah bila terjadi aglutinasi.

Untuk membantu mendiagnosis yang diperlukan adalah titer zat antigen terhadap antigen O

dimana titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukan kenaikan yang progresif.

Dengan cara mengencerkan serum maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu

pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis

Page 12: Resume Infeksi

yang diperlukan adalah membuat titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200

atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat

diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.

Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk membuat diagnosis, karena dapat tetap tinggi

setelah mendapatkan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu

pemeriksaan widal positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita demam tifoid.

Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan :

- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal, karena terdapatnya basil

E. coli pathogen dalam usus.

- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.

- Terdapat infeksi silang dengan rickettsia (Weil Felix)

- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil per oral atau pada keadaan

infeksi subklinis.

Di Indonesia pengambilan angka titer O agglutinin > 1/40 dengan memakai uji widal

aglitination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai normal

positif 96%. Artinya apabila tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, tetapi apabila

negative tidak menyingkirkan diagnosis demam typhoid. Banyak center mengaturpendapat

apabila titer O agglutinin sekali periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4

kali maka diagnosis demam typhoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dapat dikaitkan dengan

pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi agglutinin dipakai pada deteksi

pembawa kuman S.typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologis widal

kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada aderah endemis, dan sebaliknya

timbul negative palsu pada kasus demam typhoid yang telah terbukti biakan darah positif.

Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan

agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6

bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama, antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji

Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya

melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita

Page 13: Resume Infeksi

demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada

tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara

luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena

belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar

titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi

dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O

dan H pada anak-anak sehat.4 Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin

yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering digunakan hanya

kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai

laboratorium setempat.

Tes TUBEX®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang dari 2 menit) dengan menggunakan paertikel yang berwarna untuk

menungkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan titer O9 yang

benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat

akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibody IgM dan tidak

mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan TUBEX® ini, beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%

dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di Negara

berkembang.

Metode Enzym Immonoassay (EIA) dot

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50Kd Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal

infeksi pada demam tifoid akut, sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan

demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat

Page 14: Resume Infeksi

transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik, akan tetapi

tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-

M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG

total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen

terhadap IgM spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa

spesifisitas uji ini sebesar 76,74% dengan sensitivitas sebesar 93,16%, nilai prediksi positif

sebesar 85,06% dan nilai prediksi negative sebesar 91,66%. Sedangkan penelitian oleh

Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan efisiensi uji ini

sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain

mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan Salmonellosis non-tifoid bila

dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,

sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu

diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji

Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut

yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang

tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,

murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan

alat khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas

kesehatan sederhana dan belum tersedia saran biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa

antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap

stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3

jam setelah penerimaan serum pasien.

Metode Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi

IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibody IgG terhadap antigen flagella d (Hd)

dan antibody terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk

mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody

Page 15: Resume Infeksi

sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada

sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita

yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta

spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam

tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-

masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine

ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,

terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu

diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai pita

pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Dengan

mengikatkan antigen zat warna khusus yaitu colloidal red atau palanil red dan selanjutnya zat

warna khusus yang telah mengikat antigen tadi ditempelkan pada kertas nilon. Bila serum

penderita mengandung antibodi IgM Salmonella typhi akan memperlihatkan reaksi positif,

yang mana akan terlihat pada kertas nilon berupa pita berwarna merah. Pemeriksaan ini

menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan

dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69,8% bila

dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86,5% bila dibandingkan dengan kultur darah

dengan spesifisitas sebesar 88,9% dan nilai prediksi positif sebesar 94,6%. Penelitian lain oleh

Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitifitas uji ini sebesar

90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65,3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan

adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya

cepat dan dapat diandalkan, dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang

Page 16: Resume Infeksi

menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana

penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat kultur secara luas.

Diagnosis Lain

Tonsilofaringitis dan stomatitis

Gejala klinis : Demam, Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC, malaise, anoreksia, mialgia,

nyeri kepala, batuk, rhinorhea, secret dapat berupa seromukosa atau mukopurulen

bila ada infeksi sekunder, nyeri tenggorokan, muntah, nyeri perut, diare.

Tanda fisik : Tonsil membesar dan hiperemis, faring hiperemis.

Pemeriksaan penunjang : Leukosit terjadi peningkatan. (18.300)

Usul Penatalaksanaan

IVFD D5 ½ NS 10 tpm makro

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

BB: 10 kg , jadi kebutuhan cairan : (10x100 cc) = 1000 cc/ 24 jam

Untuk tetesan makro: 1000 x 15 = 10 tpm

24 x 60

1000 cc/ 24 jam + 40 cc/ jam 40 tpm 1cc = 15 tetes 40 x 15 = 10 tpm makro

60 60

Paracetamol syrup 3 x 1 cth (jika demam)

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan

umum penderita, yakni antipiretik (penurun panas) untuk kenyamanan penderita terutama anak.

Obat ini mempunyai nama generik acetaminophen. Parasetamol adalah drivat p-

aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Paracetamol utamanya digunakan

untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya.

Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan

Page 17: Resume Infeksi

intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati,

overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.

Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan.

Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun

parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol

mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya

untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim

siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu

molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.

Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat

enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi,

dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga

tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi.

Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat

inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh,

dimana kondisinya tidak oksidatif.

Dosis: 10-15 mg/KgBB/kali

10 mg x 10 kg = 100 mg

15 mg x 10 kg = 150 mg

100-150 mg / kali

Sediaan: 125 mg/5 ml x 60 ml jadi dapat diberikan 1 cth

Khloramfenikol syrup 3 x 2 cth

Obat pilihan pertama bagi demam typhoid adalah kloramfenikol, diberikan selama 10-14

hari. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada

ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak

terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap

secara cepat. Kadar puncak tercapai dalm 2 jam. Kira-kira 50% terikat dalam albumin. Obat

didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan

serebrospinal dan mata. Dalam hati mengalami konjugasi dengan asam glukuronat oleh enzim

glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfenikol memanjgnka pada pasien

Page 18: Resume Infeksi

gangguan hati. Kloramfenikol merupakan pilihan pertama. Dosis yang diberikan adalah 100

mg/kgBB/hari dibagi 4 kali pemberian selama 14 hari.

Dosis: 75-100 mg/kgBB/hari (3-4 kali/hari)

75 mg x 10 kg = 750 mg

100 mg x 10 kg = 1000 mg

500-1000 mg / kali atau 250-333 mg/ kali

Sediaan: 125 mg/5 ml, jadi dapat diberikan 2 cth.

GG (Gliseril guaiakolat)

GG memiliki aktivitas sebagai ekspektoran dengan meningkatkan volume dan mengurangi

kekentalan sputum yang terdapat di trakhea dan bronki. Dapat meningkatkan reflek batuk dan

memudahkan untuk membuang sputum. Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi mukosa

lambung dan selanjutnya secara reflek merangsang sekresi kelenjar saluran nafas lewat N.

Vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak.

Dosis : 4mg/kgBB/kali

Efedrin

Merupakan obat dekongestan glin ini memiliki eolongan simpatomimetik yang beraksi pada

reseptor adrenergic pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciiutkan

mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernafasan. Efek sentral lebih kuat dengan efek

bronchodilatasi lebih ringan dan bertahan lebih lama (4 jam).

Dosis : 0,1 mg/kgBB/hari

PROGNOSIS :

Bonam dengan pengobatan yang adekuat.

Page 19: Resume Infeksi

DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo D. Demam Typhoid. Dalam : Sudoyo AW dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Peyakit Dalam FKUI;

2006, Hal. 1774-1779.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Salmonellosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta; 1995. Hal. 593-

598

3. Karsinah, M Lucky, Suharto, HW Mardiastuti. Batang Negatif Gram. Dalam: Buku Ajar

Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: PT.Binarupa Aksara; 1993. Hal. 168-173.

4. Prasetyio, V.P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Divisi

Tropik dan Penyakit Infeksi . Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr.

Soetomo Surabaya. 2007.

5. Muliawan, S.Y., Surjawidjaj. J.E., Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat

Diagnostik Penyakit Demam Typhoid di Rumah Sakit. Bagian Mikrobiologi, Fakultas

Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No 124.

1999.

6. Syarif,A, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.

2006.