Macam-macam Kandang Sapi Perah dan Layout Kandang Sapi Perah
Tumpek Kandang
-
Upload
nikomangdhanagitaiswari -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of Tumpek Kandang
LAPORAN BULANANPELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU
TANGGAL/ BULAN : 11 Januari 2014 .
I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat
II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN A. METODE
a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ).B. ALAT BANTU
a. Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku RefrensiC. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN
a. Topik / Thema : Tumpek Kandang : Perwujudan Kasih Terhadap Binatangb. Butir – Butir Bahasan : Pengertian dan makna hari Tumpek Kandang
III . PESERTA a. Laki –laki : 26 Orang b. Perempuan : 20 Orang .
IV. PENYELENGGARAN A. Waktu : 16.00 s/d . 17.30 wita B. Tempat : Pura Goa Lawah BTN Taman Indah Mataram.C. Pelaksana : Pengurus Pura Goa Lawah
V . EVALUASI a. Materi : Aktual .b. Peserta : Sangat Responsif .c. Pelaksanaan : Sangat Positif .
VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman makna Tumpek Kandang.
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN : Mantapkan Pembinaan dan Penyuluhan serta sosialisasi makna Tumpek kadang.
Mengetahui,An. KepalaKepala Bidang Bimas Hindu Penyuluh Agama Hindu
I Wayan Widra, S.Ag, M.Pd.H Dra. Ni Ketut MiasihNip. 19651122199203 1 003
LAPORAN BULANANPELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU
TANGGAL/ BULAN : 29 Januari 2014 .
I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat
II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN D. METODE
a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ).E. ALAT BANTU
b. Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku RefrensiF. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN
c. Topik / Thema : Hari Raya Siwa Latrid. Butir – Butir Bahasan : Aplikasi Barata SiwaLatri dalam Kehidupan sehari-hari
III . PESERTA b. Laki –laki : 30 Orang b. Perempuan : 20 Orang .
IV. PENYELENGGARAN D. Waktu : 17.00 s/d . 18.30 wita E. Tempat : Pura Manik Galih BTN Pagesangan Indah Mataram.F. Pelaksana : Pengurus Pura Manik Galih
V . EVALUASI d. Materi : Aktual .e. Peserta : Sangat Responsif .f. Pelaksanaan : Sangat Positif .
VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman hari Raya Siwalatri
VII. ALTERNATIF PEMECAHAN : Mantapkan Pembinaan dan Penyuluhan serta sosialisasi tentang aplikasi barata Siwalatri
Mengetahui,An. KepalaKepala Bidang Bimas Hindu Penyuluh Agama Hindu
I Wayan Widra, S.Ag, M.Pd.H Dra. Ni Ketut MiasihNip. 19651122199203 1 003
TUMPEK KANDANG: PERWUJUDAN KASIH PADA BINATANG
Oleh : Dra. Ni Ketut Miasih
Di dalam agama Hindu dikenal adanya berbagai usaha atau media untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu dari usaha atau media itu adalah melalui pelaksanaan
hari-hari raya keagamaan. Di antara demikian banyak hari-hari raya Hindu, satu di antaranya
adalah hari untuk memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui pemeliharaan atas ciptaan-
Nya berupa binatang ternak atau peliharaan. Umat Hindu di Bali menyebut hari itu adalah hari
Tumpek Kandang atau Hari Tumpek Uye, yakni jatuh pada setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Uye
menurut perhitungan kalender Bali-Jawa. Hari ini datang setiap enam bulan (210 hari) sekali.
Pada hari ini umat Hindu membuat upacara memuja keagungan Tuhan Yang Mahaesa sebagai
Siva atau Pasupati, yang memelihara semua makhluk di alam semesta ini. Pemujaan kepada
Tuhan Yang Mahaesa ini diwujudkan dengan memberikan upacara selamatan terhadap semua
bintang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.
Bagi mereka yang bukan masyarakat Bali tentunya bertanya-tanya, demikian sibuknya
masyarakat Bali melaksanakan berbagai aktivitas kegamaan. Hampir seharian waktu ibu-ibu
digunakan untuk membuat sesajen atau sarana upacara keagamaan. Pertanyaan sejenis juga
sering ditanyakan oleh pengamat Manca Negara. Seorang Professor dari Universitas California
pernah menemui penulis menanyakan tentang kesibukan masyarakat Bali yang diabdikan untuk
kepentingan agamanya. Terhadap pertanyaan ini, agama Hindu menyatakan bahwa harta benda
yang diperoleh hendaknya didayagunakan untuk tiga hal, yaitu Artha kasadyaning Dharma,
kasadyaning Artha dan kasadyaning Kama yang maknanya untuk didayagunakan untuk
kepentingan Dharma, untuk kepentingan Artha dan untuk kepentingan Kama. Jadi sepertiga
didayagunakan untuk kepentingan Dharma dalam pengertian yang luas termasuk berbagai
aktivitas agama dan pendidikan, sepertiga untuk kepentingan Artha sendir, yakni pengembangan
modal (investasi) dan sepertiga lagi untuk kepentingan Kama, yakni untuk dinikmati. Dalam
menikmati sesuatu, hendaknya yang dinikmati itu dipersembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan
Yang Mahaesa. Kitab suci Veda maupun Bhagavadgita menyatakan adalah seorang pencuri yang
menikmati dosanya sendiri bila seseorang menikmati sesuatu tidak mempersembahkannya
terlebih dahulu kepada Tuhan Yang Mahaesa. Makanan yang telah dipersembahkan kemudian
dimohon untuk dinikmati disebut Yajnasesa atau Prasadam, yang di Bali disebut 'lungsuran',
makanan ini diyakini telah diberkati oleh Tuhan Yang Mahaesa.
Apakah Hindu memuja binatang ?
Di samping hari Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali
terdapat juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga yakni
upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan untuk senjata, Tumpek
Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang, selamatan untuk wayang dan Tumpek
Krulut, selamatan untuk unggas. Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan
pada hari Tumpak Uye ini.
Lontar Sundarigama yang memberi petunjuk tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia
menyatakan : Hari Tumpek Kandang adalah upacara selamatan untuk binatang-binatang,binatang
yang disemblih dan binatang piaraan, hakekatnya adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa,
Siwa yang disebut Rare Angon, penggembala makhluk. Berdasarkan kutipan ini, tegas bahwa
yang dipuja adalah Tuhan Yang Mahaesa, bukan memuja binatang, demikian pula terhadap
tumbuh-tumbuhan, senjata-senjata, gamelan dan sebagainya. Mengapa membuat upacara
selamatan terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan
semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya selaras dan
hidup hamonis dengan alam semesta,khususnya bumi ini dan dengan ciptaan-Nya yang lain,
termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam ajaran Hindu, semua makhluk diyakini
memiliki jiwa yang berasal dari Tuhan Yang Mahaesa. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja
Tri Sandhya) dengan tegas menyatakan : Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk
hidup sejahtra) adalah doa yang bersifat universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala
isinya. Upacara selamatan kepada binatang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang
kepada semua binatang, khususnya binatang ternak atau piaraaan. Bagi masyarakat agraris,
binatang khususnya sapi sangat membantu manusia. Tenaganya untuk bekerja di sawah, susunya
untuk kesegaran dan kesehatan manusia bahkan kotorannya bermanfaat untuk menyuburkan
tanaman. Umat Hindu sangat memuliakan sapi, dan sapi dalam tradisi Hindu hendaknya
dihormati sebagai ibu, di samping juga bumi pertiwi, kitab suci dan lain sebagainya.
Bagaimana halnya dengan barong dan binatang-binatang mitos dalam agama Hindu ? Binatang-
binatang tersebut diyakini sebagai binatang piaraan, wahana atau tunggangan para dewa,
berbagai manifastasi Tuhan Yang Mahaesa. Di dalam kitab suci Veda dinyatakan Tuhan
mengambil wujud sebagai garuda untuk memberikan rasa aman dan kesejahtraan bagi umat
manusia, demikian pula angsa, merak, barong dan lain- sebagainya. Tuhan Yang Mahaesa dapat
mengambil wujud-wujud tertentu sebagai yang didambakan oleh umat manusia. Ia hadir
berwujud atau tidak berwujud (Sarupa atau Nirrupa), personal atau impersonal sesuai dengan
kemampuan manusia. Barong disebut Banaspati yang artinya raja hutan atau raja pohon, ia juga
disebut Mrgapati, raja dari semua binatang buas. Tuhan Yang Mahaesa atau Siva disebut
Pasupati, pengendali dan gembala semua binatang piaraan. Dalam Hindu, Tuhan Yang Mahaesa
disebut dengan ribuan nama (Sahasra nama Brahman).
Pelestarian lingkungan hidup
Agama Hindu di Bali telah manyatu padu dengan kehidupan masyarakat Bali. Bagi para
pengamat sepintas, sangat sulit membedakan antara agama, adat, budaya, tradisi dan sebagainya
yang telah sedemikian rupa terjalin bagaikan kain endek atau tenun ikat Bali. Seseorang sering
menyatakan untuk kegiatan upacara agama disebut upacara adat. Di Bali tidak ada adat yang
memiliki upacara. Semua upacara yang dilakukan di Bali sesungguhnya adalah upacara agama.
Demikian pula seni budaya Bali, pada mulanya diabdikan hanya untuk keagungan Tuhan Yang
Mahaesa, namun kini merupakan sesuatu yang menarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan.
Upacara-upacara keagmaan di Bali, khususnya upacara Tumpek membawa missi pelestarian
lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Pelestarian lingkungan alam
ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya,
selanjutnya pelestarian lingkungan budaya ditujukan antara lain kepada benda-benda seni seperti
gamelan, wayang dan lain sebagainya. Upacara-upacara yang terkait dengan pelestarian
lingkungan hidup ini disebut upacara Bhuta Yajna dengan berbagai jenis atau tingkatannya, Dari
yang paling sederhana mempersembahkan sejumput nasi setelah memasak, sampai pula Tawur
atau Caru Ekadasa Rudra yang dilakukan seratus tahun sekali. Apakah upacara-upacara sejenis
ditemukan di India ? Penulis sepintas menemukan adanya benang merah antara India dan Bali.
Sebagai dimaklumi bahwa ciri khas dari agama Hindu adalah dimana agama ini dianut, disana
budaya setempat dilestarikan. Ibarat air sungai Gangga, kemana aliran sungai itu mengalir, di
sanalah daerahnya berkembang dan tumbuh subur. Demikian pula halnya upacara-upacara yang
kita jumpai di Indonesia, di India juga dilaksanakan misalnya Ayudhapuja, yakni upacara
selamatan terhadap semua senjata, di Indonesia kita kenal dengan Tumpek Landep. Demikian
pula untuk tumbuh-tumbuhan (Sankarapuja) dan lain-lain, misalnya Sarasvati, Sivaratri,
Galungan-Kuningan dan sebagainya. Dari beraneka hari-hari raya itu tidak semua dirayakan
dengan besar-besaran, ada dengan sangat sederhana bahkan ada hanya dengan melaksanakan
Brata atau Upavasa (puasa). Demikian pula tentang pelaksanaannya di India Utara dan Selatan,
Timur atau Barat sangat berbeda, apalagi dengan Indonesia atau Bali. Semua perbedaan itu
disebabkan pula oleh faktor budaya umat pendukungnya.
Wujud luar nampak bergeser, maknanya tetap sama
Seorang wartawan sempat menanyakan kepada penulis, bukankah semua hari-hari raya itu
adalah ekspresi dari masyarakat agraris ? Bagaimana halnya dengan masyarakat kita yang mulai
berubah menjadi masyarakat agraris ? Memang nampak terjadinya pergeseran namun prosesnya
secara evolusi. Seperti halnya di India, dahulu tidak ada orang mengupacarai kendaraan
bermotor, televisi atau komputer. Di sana kini juga seperti di Bali. Pada hari Tumpek Landep
orang membuat upacara selamatan untuk segala benda yyang terbuat dari besi, pada hal pada
mulanya hanya untuk senjata saja. Demikian pula terhadap sebagian fungsi sapi digantikan
dengan traktor, kini traktor diupacarai, tetapi hal ini tidakk dilakukan pada waktu Tumpek Uye,
melainkan pada waktu Tumpek Landep. Bila kita melihat di Bali sopir bemo, bus wisata atau
penumpang umum, bahkan juga dilakukan oleh kusir dokar, yakni mempersembahkkan sesajen
atau canang pada dashboard kendaraannya, di India juga dilakukan hal yang sama, merekka tidak
mempersembahkan canang, melainkan karangan bunga kecil yyang dipersembahkkan terhadap
arca-arca kecil atau gambar-gambar dewa yang diletakkan pada dashboard kendaraannya.
Apakah pemujaan melalui gambar atau arca itu, sebagai perwujudan berhala. Bagi umat Hindu
yang idipuja atau disembah adalah Tuhan Yang Mahaesa, para dewa manifestasi-Nya dan juga
para rsi atau leluhur. Arca-arca atau pratima dan berbagai benda sarana pemujaan itu hanya
berfungsi sebagai media, sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan Yang
Mahaesa, menifestasi-Nya atau siapa saja yang dipuja.
Hemat kami walaupun telah terjadi proses industrialisasi, essensi beragama akan tetap
dilaksanakan. Pada usaha industri, Tuhan Yyang Mahaesa dalam wuju-Nya sebagai dewi
Laksmi, dewi yyang memberikan kemakmuran dan kebahagiaan akan selalu dihadirkan oleh para
pengusaha yang beriman.Kembali kepada topik tulisan ini, kapada binatang saja umat manusia
hendaknya mengembangkan cinta kasihnya apa lagi kepada sesama manusia, tentunya kasih
sayang hendaknya lebih bersemi lagi.
Aplikasi Brata Siwaratri Dalam Kehidupan Sehari-hari
Oleh : Ni Ketut Miasih
Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan
setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. Han suci Siwaratri sangat
identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu
Tanakung.
Difinisi Siwarat.ri menurut Ketut Sukartha dan kata “Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri.
Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan
difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa
sansekerta yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan.
Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa
yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau
pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam
untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan
renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas
semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya
pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci
keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri
mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni
merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan
sehari-hari.
Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari Pada waktu pelaksanaan Brata
Siwaratri sebagai lambang yang bennilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk.
Menurut Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya
janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat
disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata
Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan
sehari-hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri
dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 1 sampai pukul
18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan
jagra.
1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)
Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur semalam
suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas
pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga
dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur
semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diaplikasikan dengan cara selalu eling
(waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan
musuh-musuh, baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi)
maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang
relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut. Kewaspadaan yang tinggi
tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu tetap mawas
diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa
nafsu dan keinginan tidak pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya
tidur. Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa
sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini adalah keadaan yang
selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga
malas. Orang yang malas bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan
keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan
oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik
dan suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan
bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, berfikir
buruk serta percaya dengan hukum karma.
Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai dengan
dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai berikut:
III.3
O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku ajarkan dari
jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang
lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif.
III. 4
Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak
melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
III. 5
Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan
pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa-apa
lagi.
III. 20
Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu
harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara dunia.
Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat menghindari
kehancuran duniâ baik secara spiritual maupun material. Disamping itu juga, kerja dapat
meningkatkan kedudukan sehingga menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah
bekerja maka dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu,
diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh
dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.
2. Upawasa (tidak makan dan minum)
Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada
waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan
sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan
oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita
makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum. Makanan
yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan bersinergi membentuk dan
merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri
Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak
oleh orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut.
Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan cemar, bersih
dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita
sebagai berikut:
III.13
Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa.
Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri
mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
XVII. 7
Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga
yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.
XVII. 8
Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka cita,
yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak adalah yang disukai
oleh orang yang baik (sattwika).
XVII. 9
Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus dan
menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).
XVII. 10
Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah yang
disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang dilarang
orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit sehingga mempengaruhi
pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang
sering mabuk prilakunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika dilandasi
dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik
dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha.
Setiap orang selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan
(karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan sekarang
ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan
berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini disebabkan
karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan
dimasa-masa yang akan datang.
3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)
Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini
relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-
kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan
dan diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi
manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh
ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna baik bagi
diri sendiri maupun orang lain.
Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan dengan lemah lembut akan
memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan perkataan seseorang akan memperoleh
kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian. Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya
tentang kegunaan kata dan ucapan sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan
yang lainnya.
Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras,
menghardik, kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain
yang perlu dihindari dalam pergaulan. Adanya 10 (sepuluh) pengendalian diri yang dapat
dilakukan dalam kehidupan yang disebut karmaphala.
Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri
untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati. Siwaratri bukanlah malam
penebusan dosa, tetapi malam yang disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai
kesadaran akan Sang Diri. Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan
perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri
justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. Mari dalam Siwaratri dan
diawal tahun 2008 mulai kembali memburu kebajikan dengan membunuh musuh-musuh dalam
diri dengan memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.