Tumpek Kandang

19
LAPORAN BULANAN PELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU TANGGAL/ BULAN : 11 Januari 2014 . I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN A. METODE a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ). B. ALAT BANTU a.Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku Refrensi C. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN a. Topik / Thema : Tumpek Kandang : Perwujudan Kasih Terhadap Binatang b. Butir – Butir Bahasan : Pengertian dan makna hari Tumpek Kandang III . PESERTA a.Laki –laki : 26 Orang b. Perempuan : 20 Orang . IV. PENYELENGGARAN A. Waktu : 16.00 s/d . 17.30 wita B. Tempat : Pura Goa Lawah BTN Taman Indah Mataram. C. Pelaksana : Pengurus Pura Goa Lawah V . EVALUASI a.Materi : Aktual . b.Peserta : Sangat Responsif . c.Pelaksanaan : Sangat Positif . VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman makna Tumpek Kandang.

description

tumpek

Transcript of Tumpek Kandang

Page 1: Tumpek Kandang

LAPORAN BULANANPELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU

TANGGAL/ BULAN : 11 Januari 2014 .

I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat

II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN A. METODE

a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ).B. ALAT BANTU

a. Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku RefrensiC. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN

a. Topik / Thema : Tumpek Kandang : Perwujudan Kasih Terhadap Binatangb. Butir – Butir Bahasan : Pengertian dan makna hari Tumpek Kandang

III . PESERTA a. Laki –laki : 26 Orang b. Perempuan : 20 Orang .

IV. PENYELENGGARAN A. Waktu : 16.00 s/d . 17.30 wita B. Tempat : Pura Goa Lawah BTN Taman Indah Mataram.C. Pelaksana : Pengurus Pura Goa Lawah

V . EVALUASI a. Materi : Aktual .b. Peserta : Sangat Responsif .c. Pelaksanaan : Sangat Positif .

VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman makna Tumpek Kandang.

VII. ALTERNATIF PEMECAHAN : Mantapkan Pembinaan dan Penyuluhan serta sosialisasi makna Tumpek kadang.

Mengetahui,An. KepalaKepala Bidang Bimas Hindu Penyuluh Agama Hindu

I Wayan Widra, S.Ag, M.Pd.H Dra. Ni Ketut MiasihNip. 19651122199203 1 003

Page 2: Tumpek Kandang

LAPORAN BULANANPELAKSANAAN PENYULUHAN AGAMA HINDU

TANGGAL/ BULAN : 29 Januari 2014 .

I . DATA PENYULUH AGAMA 1. Nama lengkap : Dra.Ni Ketut Miasih 2. Tempat / Tgl Lahir : Singapadu , Tahun 1963 3. Jabatan Penyuluh : Penyuluh Non PNS 4. Unit Kerja : Kanwil Kemenag Prov. Nusa Tenggara Barat

II. PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN D. METODE

a. Ceramah. b.Tanya jawab. c.Diskusi. d.Bermain Peran ( Drama ).E. ALAT BANTU

b. Papan Tulis. b.Flit chart. c.OHP. d.Tape Recorder. e.Sound Sistem. f. Buku RefrensiF. MATERI BIMBINGAN DAN PENYULUHAN

c. Topik / Thema : Hari Raya Siwa Latrid. Butir – Butir Bahasan : Aplikasi Barata SiwaLatri dalam Kehidupan sehari-hari

III . PESERTA b. Laki –laki : 30 Orang b. Perempuan : 20 Orang .

IV. PENYELENGGARAN D. Waktu : 17.00 s/d . 18.30 wita E. Tempat : Pura Manik Galih BTN Pagesangan Indah Mataram.F. Pelaksana : Pengurus Pura Manik Galih

V . EVALUASI d. Materi : Aktual .e. Peserta : Sangat Responsif .f. Pelaksanaan : Sangat Positif .

VI. MASALAH YANG DITEMUKAN : Kurangnya pemahaman hari Raya Siwalatri

VII. ALTERNATIF PEMECAHAN : Mantapkan Pembinaan dan Penyuluhan serta sosialisasi tentang aplikasi barata Siwalatri

Mengetahui,An. KepalaKepala Bidang Bimas Hindu Penyuluh Agama Hindu

I Wayan Widra, S.Ag, M.Pd.H Dra. Ni Ketut MiasihNip. 19651122199203 1 003

Page 3: Tumpek Kandang

TUMPEK KANDANG: PERWUJUDAN KASIH PADA BINATANG

Oleh : Dra. Ni Ketut Miasih

Di dalam agama Hindu dikenal adanya berbagai usaha atau media untuk mendekatkan diri

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu dari usaha atau media itu adalah melalui pelaksanaan

hari-hari raya keagamaan. Di antara demikian banyak hari-hari raya Hindu, satu di antaranya

adalah hari untuk memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui pemeliharaan atas ciptaan-

Nya berupa binatang ternak atau peliharaan. Umat Hindu di Bali menyebut hari itu adalah hari

Tumpek Kandang atau Hari Tumpek Uye, yakni jatuh pada setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Uye

menurut perhitungan kalender Bali-Jawa. Hari ini datang setiap enam bulan (210 hari) sekali.

Pada hari ini umat Hindu membuat upacara memuja keagungan Tuhan Yang Mahaesa sebagai

Siva atau Pasupati, yang memelihara semua makhluk di alam semesta ini. Pemujaan kepada

Tuhan Yang Mahaesa ini diwujudkan dengan memberikan upacara selamatan terhadap semua

bintang, khususnya binatang ternak atau piaraaan.

Bagi mereka yang bukan masyarakat Bali tentunya bertanya-tanya, demikian sibuknya

masyarakat Bali melaksanakan berbagai aktivitas kegamaan. Hampir seharian waktu ibu-ibu

digunakan untuk membuat sesajen atau sarana upacara keagamaan. Pertanyaan sejenis juga

sering ditanyakan oleh pengamat Manca Negara. Seorang Professor dari Universitas California

pernah menemui penulis menanyakan tentang kesibukan masyarakat Bali yang diabdikan untuk

kepentingan agamanya. Terhadap pertanyaan ini, agama Hindu menyatakan bahwa harta benda

yang diperoleh hendaknya didayagunakan untuk tiga hal, yaitu Artha kasadyaning Dharma,

kasadyaning Artha dan kasadyaning Kama yang maknanya untuk didayagunakan untuk

kepentingan Dharma, untuk kepentingan Artha dan untuk kepentingan Kama. Jadi sepertiga

didayagunakan untuk kepentingan Dharma dalam pengertian yang luas termasuk berbagai

aktivitas agama dan pendidikan, sepertiga untuk kepentingan Artha sendir, yakni pengembangan

modal (investasi) dan sepertiga lagi untuk kepentingan Kama, yakni untuk dinikmati. Dalam

menikmati sesuatu, hendaknya yang dinikmati itu dipersembahkan terlebih dahulu kepada Tuhan

Yang Mahaesa. Kitab suci Veda maupun Bhagavadgita menyatakan adalah seorang pencuri yang

menikmati dosanya sendiri bila seseorang menikmati sesuatu tidak mempersembahkannya

terlebih dahulu kepada Tuhan Yang Mahaesa. Makanan yang telah dipersembahkan kemudian

Page 4: Tumpek Kandang

dimohon untuk dinikmati disebut Yajnasesa atau Prasadam, yang di Bali disebut 'lungsuran',

makanan ini diyakini telah diberkati oleh Tuhan Yang Mahaesa.

Apakah Hindu memuja binatang ?

Di samping hari Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, dalam hari-hari raya Hindu di Bali

terdapat juga lima jenis Tumpek yang lain, yaitu Tumpek Bubuh atau Tumpek Wariga yakni

upacara selamatan untuk tumbuh-tumbuhan, Tumpek Landep, selamatan untuk senjata, Tumpek

Kuningan, selamatan untuk gamelan, Tumpek Wayang, selamatan untuk wayang dan Tumpek

Krulut, selamatan untuk unggas. Umumnya upacara selamatan untuk unggas ini digabungkan

pada hari Tumpak Uye ini.

Lontar Sundarigama yang memberi petunjuk tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia

menyatakan : Hari Tumpek Kandang adalah upacara selamatan untuk binatang-binatang,binatang

yang disemblih dan binatang piaraan, hakekatnya adalah untuk memuja Tuhan Yang Mahaesa,

Siwa yang disebut Rare Angon, penggembala makhluk. Berdasarkan kutipan ini, tegas bahwa

yang dipuja adalah Tuhan Yang Mahaesa, bukan memuja binatang, demikian pula terhadap

tumbuh-tumbuhan, senjata-senjata, gamelan dan sebagainya. Mengapa membuat upacara

selamatan terhadap hal-hal tersebut ? Dalam ajaran agama Hindu, keharmonisan hidup dengan

semua makhluk dan alam semesta senantiasa diamanatkan. Manusia hendaknya selaras dan

hidup hamonis dengan alam semesta,khususnya bumi ini dan dengan ciptaan-Nya yang lain,

termasuk tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dalam ajaran Hindu, semua makhluk diyakini

memiliki jiwa yang berasal dari Tuhan Yang Mahaesa. Doa umat Hindu sehari-hari (dalam puja

Tri Sandhya) dengan tegas menyatakan : Sarvaprani hitankarah (hendaknya semua makhluk

hidup sejahtra) adalah doa yang bersifat universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala

isinya. Upacara selamatan kepada binatang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang

kepada semua binatang, khususnya binatang ternak atau piaraaan. Bagi masyarakat agraris,

binatang khususnya sapi sangat membantu manusia. Tenaganya untuk bekerja di sawah, susunya

untuk kesegaran dan kesehatan manusia bahkan kotorannya bermanfaat untuk menyuburkan

tanaman. Umat Hindu sangat memuliakan sapi, dan sapi dalam tradisi Hindu hendaknya

dihormati sebagai ibu, di samping juga bumi pertiwi, kitab suci dan lain sebagainya.

Page 5: Tumpek Kandang

Bagaimana halnya dengan barong dan binatang-binatang mitos dalam agama Hindu ? Binatang-

binatang tersebut diyakini sebagai binatang piaraan, wahana atau tunggangan para dewa,

berbagai manifastasi Tuhan Yang Mahaesa. Di dalam kitab suci Veda dinyatakan Tuhan

mengambil wujud sebagai garuda untuk memberikan rasa aman dan kesejahtraan bagi umat

manusia, demikian pula angsa, merak, barong dan lain- sebagainya. Tuhan Yang Mahaesa dapat

mengambil wujud-wujud tertentu sebagai yang didambakan oleh umat manusia. Ia hadir

berwujud atau tidak berwujud (Sarupa atau Nirrupa), personal atau impersonal sesuai dengan

kemampuan manusia. Barong disebut Banaspati yang artinya raja hutan atau raja pohon, ia juga

disebut Mrgapati, raja dari semua binatang buas. Tuhan Yang Mahaesa atau Siva disebut

Pasupati, pengendali dan gembala semua binatang piaraan. Dalam Hindu, Tuhan Yang Mahaesa

disebut dengan ribuan nama (Sahasra nama Brahman).

Pelestarian lingkungan hidup

Agama Hindu di Bali telah manyatu padu dengan kehidupan masyarakat Bali. Bagi para

pengamat sepintas, sangat sulit membedakan antara agama, adat, budaya, tradisi dan sebagainya

yang telah sedemikian rupa terjalin bagaikan kain endek atau tenun ikat Bali. Seseorang sering

menyatakan untuk kegiatan upacara agama disebut upacara adat. Di Bali tidak ada adat yang

memiliki upacara. Semua upacara yang dilakukan di Bali sesungguhnya adalah upacara agama.

Demikian pula seni budaya Bali, pada mulanya diabdikan hanya untuk keagungan Tuhan Yang

Mahaesa, namun kini merupakan sesuatu yang menarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan.

Upacara-upacara keagmaan di Bali, khususnya upacara Tumpek membawa missi pelestarian

lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan budaya. Pelestarian lingkungan alam

ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya,

selanjutnya pelestarian lingkungan budaya ditujukan antara lain kepada benda-benda seni seperti

gamelan, wayang dan lain sebagainya. Upacara-upacara yang terkait dengan pelestarian

lingkungan hidup ini disebut upacara Bhuta Yajna dengan berbagai jenis atau tingkatannya, Dari

yang paling sederhana mempersembahkan sejumput nasi setelah memasak, sampai pula Tawur

atau Caru Ekadasa Rudra yang dilakukan seratus tahun sekali. Apakah upacara-upacara sejenis

ditemukan di India ? Penulis sepintas menemukan adanya benang merah antara India dan Bali.

Sebagai dimaklumi bahwa ciri khas dari agama Hindu adalah dimana agama ini dianut, disana

budaya setempat dilestarikan. Ibarat air sungai Gangga, kemana aliran sungai itu mengalir, di

Page 6: Tumpek Kandang

sanalah daerahnya berkembang dan tumbuh subur. Demikian pula halnya upacara-upacara yang

kita jumpai di Indonesia, di India juga dilaksanakan misalnya Ayudhapuja, yakni upacara

selamatan terhadap semua senjata, di Indonesia kita kenal dengan Tumpek Landep. Demikian

pula untuk tumbuh-tumbuhan (Sankarapuja) dan lain-lain, misalnya Sarasvati, Sivaratri,

Galungan-Kuningan dan sebagainya. Dari beraneka hari-hari raya itu tidak semua dirayakan

dengan besar-besaran, ada dengan sangat sederhana bahkan ada hanya dengan melaksanakan

Brata atau Upavasa (puasa). Demikian pula tentang pelaksanaannya di India Utara dan Selatan,

Timur atau Barat sangat berbeda, apalagi dengan Indonesia atau Bali. Semua perbedaan itu

disebabkan pula oleh faktor budaya umat pendukungnya.

Wujud luar nampak bergeser, maknanya tetap sama

Seorang wartawan sempat menanyakan kepada penulis, bukankah semua hari-hari raya itu

adalah ekspresi dari masyarakat agraris ? Bagaimana halnya dengan masyarakat kita yang mulai

berubah menjadi masyarakat agraris ? Memang nampak terjadinya pergeseran namun prosesnya

secara evolusi. Seperti halnya di India, dahulu tidak ada orang mengupacarai kendaraan

bermotor, televisi atau komputer. Di sana kini juga seperti di Bali. Pada hari Tumpek Landep

orang membuat upacara selamatan untuk segala benda yyang terbuat dari besi, pada hal pada

mulanya hanya untuk senjata saja. Demikian pula terhadap sebagian fungsi sapi digantikan

dengan traktor, kini traktor diupacarai, tetapi hal ini tidakk dilakukan pada waktu Tumpek Uye,

melainkan pada waktu Tumpek Landep. Bila kita melihat di Bali sopir bemo, bus wisata atau

penumpang umum, bahkan juga dilakukan oleh kusir dokar, yakni mempersembahkkan sesajen

atau canang pada dashboard kendaraannya, di India juga dilakukan hal yang sama, merekka tidak

mempersembahkan canang, melainkan karangan bunga kecil yyang dipersembahkkan terhadap

arca-arca kecil atau gambar-gambar dewa yang diletakkan pada dashboard kendaraannya.

Apakah pemujaan melalui gambar atau arca itu, sebagai perwujudan berhala. Bagi umat Hindu

yang idipuja atau disembah adalah Tuhan Yang Mahaesa, para dewa manifestasi-Nya dan juga

para rsi atau leluhur. Arca-arca atau pratima dan berbagai benda sarana pemujaan itu hanya

berfungsi sebagai media, sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan Yang

Mahaesa, menifestasi-Nya atau siapa saja yang dipuja.

Page 7: Tumpek Kandang

Hemat kami walaupun telah terjadi proses industrialisasi, essensi beragama akan tetap

dilaksanakan. Pada usaha industri, Tuhan Yyang Mahaesa dalam wuju-Nya sebagai dewi

Laksmi, dewi yyang memberikan kemakmuran dan kebahagiaan akan selalu dihadirkan oleh para

pengusaha yang beriman.Kembali kepada topik tulisan ini, kapada binatang saja umat manusia

hendaknya mengembangkan cinta kasihnya apa lagi kepada sesama manusia, tentunya kasih

sayang hendaknya lebih bersemi lagi.

 

Aplikasi Brata Siwaratri Dalam Kehidupan Sehari-hari

Page 8: Tumpek Kandang

Oleh : Ni Ketut Miasih

Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan atas pranata masa yang dirayakan

setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada Purwaning Tilem Kepitu. Han suci Siwaratri sangat

identik dengan begadang semalam suntuk serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu

Tanakung.

Difinisi Siwarat.ri menurut Ketut Sukartha dan kata “Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri.

Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti puncak malam. Sedangkan

difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa

sansekerta yang artinya baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan.

Dalam hal ini kata Siwa adalah sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa

yang diberi nama gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau

pelebur. Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya malam

untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.

Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan

renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi ritualitas

semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung didalamnya. Dengan adanya

pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka hari suci

keagamaan akan sesuai dengan tujuan perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri

mesti dilaksanakan sesuai petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni

merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam wujud/kehidupan

sehari-hari.

Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari Pada waktu pelaksanaan Brata

Siwaratri sebagai lambang yang bennilai sakral bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk.

Menurut Tjok Rai Sudharta, brata Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya

janji, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat

disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran Siwaratri. Brata

Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya Siwaratri saja, melainkan perlu

diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan

Page 9: Tumpek Kandang

sehari-hari maka hari raya itu akan tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri

dilaksanakan selama 36 jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 1 sampai pukul

18.00 Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata dan

jagra.

1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)

Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur semalam

suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang tidak tidur di atas

pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga

dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur

semalam 36 jam.

Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat diaplikasikan dengan cara selalu eling

(waspada, ingat, berfikir, dll.) terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan

musuh-musuh, baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi)

maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan kewaspadaan yang

relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh tersebut. Kewaspadaan yang tinggi

tentunya diperoleh dengan menggunakan pikiran.

Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk merenung agar selalu tetap mawas

diri dan menyadari diri kita yang sejati. Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa

nafsu dan keinginan tidak pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya

tidur. Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian papa

sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini adalah keadaan yang

selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga

malas. Orang yang malas bekerja akan menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan

keberadaan dirinya sendiri. Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan

oleh seseorang. Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik

dan suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan akan

bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, berfikir

buruk serta percaya dengan hukum karma.

Page 10: Tumpek Kandang

Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan kerja yang sesuai dengan

dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh Bhagawadgita III sebagai berikut:

III.3

O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku ajarkan dari

jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang mempergunakan pikiran dan yang

lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang aktif.

III. 4

Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak

melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.

III. 5

Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa melakukan

pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan tidak berdaya apa-apa

lagi.

III. 20

Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan. Jadi kamu

harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara dunia.

Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini, kerja juga dapat menghindari

kehancuran duniâ baik secara spiritual maupun material. Disamping itu juga, kerja dapat

meningkatkan kedudukan sehingga menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah

bekerja maka dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu,

diharapkan untuk tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh

dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.

2. Upawasa (tidak makan dan minum)

Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum. Pada

waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum. Dalam kehidupan

sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan makanan yang bergizi yang dibutuhkan

oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu, dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita

makan hendaknya dicari dengan usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.

Page 11: Tumpek Kandang

Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam hal makan dan minum. Makanan

yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh, juga nanti akan bersinergi membentuk dan

merangsang pikiran, perkataan dan perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri

Guna (sattwam, rajas dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak

oleh orang yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut.

Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan cemar, bersih

dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan dinyatakan dalam Bhagawadgita

sebagai berikut:

III.13

Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa.

Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri

mereka itu adalah makan dosanya sendiri.

XVII. 7

Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga

yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.

XVII. 8

Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka cita,

yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak adalah yang disukai

oleh orang yang baik (sattwika).

XVII. 9

Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus dan

menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).

XVII. 10

Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah yang

disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).

Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra agama. Minuman yang dilarang

orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung penyakit sehingga mempengaruhi

pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang

sering mabuk prilakunya akan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Page 12: Tumpek Kandang

Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Jika dilandasi

dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang baik

dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha.

Setiap orang selagi masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan

(karma). Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan sekarang

ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang yang sadar/eling akan

berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan darma. Hal ini disebabkan

karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang lebih baik dan lebih menyenangkan

dimasa-masa yang akan datang.

3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)

Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata. Brata ini

relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari berata ini yakni berkata-

kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan

dan diteliti sebelum dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi

manusia, guna menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh

ilmu pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna baik bagi

diri sendiri maupun orang lain.

Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan dengan lemah lembut akan

memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan perkataan seseorang akan memperoleh

kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian. Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya

tentang kegunaan kata dan ucapan sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan

yang lainnya.

Perkataan yang baik, sopan, jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras,

menghardik, kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan lain-lain

yang perlu dihindari dalam pergaulan. Adanya 10 (sepuluh) pengendalian diri yang dapat

dilakukan dalam kehidupan yang disebut karmaphala.

Page 13: Tumpek Kandang

Dengan demikian, hakekatnya Hari Suci Siwaratri adalah sebagai media introsfeksi diri

untuk senantiasa mawas diri serta menyadari akan Sang Diri Sejati. Siwaratri bukanlah malam

penebusan dosa, tetapi malam yang disediakan secara khusus untuk senantiasa mencapai

kesadaran akan Sang Diri. Siwaratri merupakan perenungan diri sehingga dapat meminimalkan

perbuatan dosa dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tanpa makna jika merayakan Siwaratri

justru yang diperoleh hanya kantuk dan lapar yang sangat menyiksa. Mari dalam Siwaratri dan

diawal tahun 2008 mulai kembali memburu kebajikan dengan membunuh musuh-musuh dalam

diri dengan memohon tuntunan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.