Tugas Ujian Tengah Semester
-
Upload
irsyad-m-rifaie -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
description
Transcript of Tugas Ujian Tengah Semester
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
TENTANG LAHAN BASAH DI KALIMANTAN BARAT
MATA KULIAH : PENGELOLAAN LAHAN BASAH
NAMA : IRSYAD MUHAMMAD RIFA’IE
NIM. D1091131010
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan basah adalah “daerah – daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau
sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, asin; termasuk wilayah
perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut”(Konvensi
Ramsar). Lahan basah memiliki peranan bagi kehidupan manusia. Fungsi lahan basah tidak
semata berfungsi ekonomi yakni sebagai sumber kehidupan manusia secara langsung seperti
sumber air minum dan habitat beraneka ragam mahluk hidup yang dapat dimanfaatkan untuk
keberlangsungan hidup manusia, namun juga memiliki fungsi ekologis seperti pengendalian
air banjir, dll.
Keberadaan lahan gambut dunia semakin dirasakan peran pentingnya terutama dalam
menyimpan lebih dari 30% karbon terrestrial, memainkan peran penting dalam siklus
hidrologi, serta memelihara keanekaragaman hayati. Luas lahan gambut dunia yang berkisar
38 juta ha terdapat lebih 50% berada di Indonesia. Lahan gambut di Indonesia diperkirakan
seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta
ha (22.7%) dan Pulau Irian 10.9 juta ha (42.6%). Di wilayah Sumatera, sebagian besar
gambut berada di pantai Timur, sedangkan di Kalimantan ada di Provinsi Kalimantan Barat,
Tengah dan Selatan (Driessen et al, 1974, dalam Setiadi, 1995).
Provinsi Kalimantan Barat memiliki luas wilayah kurang lebih 14jt Ha. Dari luasan
tersebut terdapat lahan basah seluas kuranglebih 2jt Ha atau setara 15%nya. luas total lahan
basah ada 3 jenis klasifikasi, yakni ; pertama, lahan rawa pasang surut air asin/payau yang
luasnya kurang lebih 470rb Ha yang berada di Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, dan
Bengkayang, 183rb Ha, kabupaten Pontianak dan Kubu Raya, 178rb Ha di Kabupaten
Ketapang dan Kayong Utara seluas 109rb Ha; kedua, lahan rawa pasang surut air tawar total
luasnya kurang lebih 1jt Ha, yang tersebar di Kabupaten Sambas, Kota Singkawang,
Kebupaten Bengkayang, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, serta Kabupaten
Ketapang dan Kayong Utara; ketiga, lahan rawa lebak atau non pasang surut atau rawa
pedalaman dengan total kurang lebih 613rb Ha yang tersebar di berbagai kabupaten kota di
Kalimantan Barat.
1.2. Rumusan Masalah
- Bagaimana permasalahan lahan basah yang terjadi di Kalimantan Barat?
- Bagaimana potensi yang ada pada lahan basah di Kalimantan Barat?
- Bagaimana pengelolaan lahan basah di Kalimantan Barat?
- Bagaimana tantangan dalam pengelolaannya?
1.3. Tujuan
- Menjelaskan permasalahan seputar lahan basah di Kalimantan Barat
- Menjelaskan Pontensi yang dapat di kembangkan pada lahan basah di Kalimantan
Barat
- Menjelaskan bagaimana pengelolaan lahan basah yang ada di Kalimantan Barat
- Menjelaskan bagaimana tantangan yang dihadapi dalam pegelolaan kawasan lahan
basah di Kalimantan Barat
1.4. Ruang Lingkup Wilayah
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan
dengan ibu kota Provinsi Kota Pontianak. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah
146.807 km².
Provinsi Kalimantan Barat memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara Sarawak, Malaysia Timur
Selata
n
Laut Jawa
Barat Laut Natuna, Selat Karimata dan Semenanjung Malaysia
Timur Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Tengah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Permasalahan Lahan Basah
Berdasarkan data hasil interventariasi kondisi hutan mangrove pada tahun 1999
kerusakannya mencapai 44,36 persen dan setiap tahunnya bertambah dari 44,36 %
sebanyak 11,98 % hutan mangrove sudah rusak secara ekologis maupun ekonomi.
Sedangkan kerusakan yang terjadi pada lahan basah pasang surut air tawar dan lahan
basah rawa lebak atau non pasang surut pada tahun 2005 melihat kondisi hutan yang
rusak tidak kurang dari 56,04 % dalam kondisi rusak parah, dengan laju kerusakan
pertahunnya 1,9%.
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia hampir terjadi tiap tahun, terutama
dimusim kemarau. Kebakaran ini biasa terjadi di areal milik masyarakat, areal
perkebunan, areal HPH, areal HTI, bahkan di kawasan lindung. Sebagian kebakaran
ditimbulkan oleh kegiatan penyiapan lahan oleh masyarakat dengan menggunakan api.
Teknik penyiapan lahan melalui pembakaran masih dianggap sebagai cara yang paling
murah dan praktis sehingga beberapa perusahaan perkebunan dan HTI dengan alasan
lebih ekonomis masih melakuannya sekalipun secara hukum telah dilarang. Berdasarkan
fakta yang ada, hampir semua kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh kegiatan
manusia (secara sengaja maupun tidak) dan belum ada bukti kebakaran yang terjadi
secara alami. Dengan tidak disadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari kebakaran
lahan gambut disamping sulit untuk dipadamkan, karena apinya berada di bawah
permukaan juga lokasinya jauh serta keterbatasan alat dan teknologi, juga akan
menimbulkan pencemaran/polusi udara.
Dampak dari kerusakan ni yaitu menyebabkan kemiskinan ekosistem lahan basah luar
biasa bagi umat manusia, satwa liar yang menyebabkan penurunan keanekaragaman
hayati dan penurunan fungsi hidrologis atau pengatur tata air.
2.2. Pontensi Lahan Basah
Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang
sangat besar. Apabila jenuh, gambut saprik, hemik dan fibrik dapat menampung air
berturut-turut sebesar 450%, 450 – 850%, dan lebih dari 850% dari bobot keringnya atau
hingga 90% dari volumenya. Karena sifatnya itu, gambut memiliki kemampuan sebagai
penambat (reservoir) air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat
musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau sehingga
dapat mencegah intrusi air laut ke darat.
Pengembangan tanaman bawang merah di Kalimantan Barat relatif kurang, bahkan
tidak berkembang sehingga kebutuhan akan komoditi ini masih harus mendatangkan dari
luar pulau. Kalimantan Barat memiliki luas wilayah 14,68 juta ha, dengan ekosistem
lahan kering (dataran rendah dan sedang) dan lahan basah (rawa lebak ,gambut dan
pasang surut) (BPS, 2008). Dengan melihat wilayah yang masih luas tersebut
memungkinkan komoditas ini dicoba untuk diadaptasikan pada agroekosistem dataran
rendah lahan gambut.
2.3. Pengelolaan Lahan Basah
Terbatasnya persediaan air irigasi untuk usaha taninya selalu menjadi masalah. Salah
satu kendala pada daerah ini adalah terbatasnya air untuk tanaman, oleh karena itu
dibutuhkan sistem irigasi pada saat terjadi saat-saat kering. Untuk mengantisipasi dampak
kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna
akan sangat membantu diantaranya adalah sistem irigasi mikro, Teknologi Embung,
Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), dan Sistem Irigasi Kendi.
A. Sistem Irigasi Mikro
Irigasi mikro adalah salah satu terobosan yang bisa dilakukan. Teknologi ini adalah suatu
istilah bagi sistem irigasi yang mengaplikasikan air hanya di sekitar zona penakaran
tanaman. Irigasi mikro ini meliputi irigasi tetes (drip irrigation), microspray dan mini-
sprinkler. BBP Mekanisasi Pertanian telah melakukan pengembangan sistem irigasi
mikro. Lokasi pengembangan pertama dilakukan di kebun percobaan BBP Mektan
Serpong. Pengembangan sistem irigasi tetes (drip) diterapkan untuk budidaya cabai dan
jagung manis. Sistem irigasi sprinkler diterapkan pada tanaman kacang tanah. Pengujian
kinerja terhadap sistem irigasi tetes diperoleh bahwa tingkat keseragaman tetesan untuk
tanaman cabai mencapai 82.82% (SU) dan 88.74% (DU) sedangkan untuk tanaman
jagung 83.46% (SU) dan 88.21% (DU). Dengan hasil uji tersebut dapat dikatakan bahwa
sistem irigasi tetes yang digunakan untuk tanaman cabai dan jagung termasuk dalam
katagori BAIK. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keseragaman tersebut antara
lain adalah: kondisi filter air, kondisi lubang emitter yang tersumbat oleh tanah,
perubahan koefisien gesek pada pipa lateral karena tumbuhnya lumut dsb.di lahan pasang
surut Kalimantan barat yang dilaksanakan tahun anggaran 2006. Sistem irigasi yang
diterapkan adalah irigasi tetes (drip) dengan menggunakan komponen emiter yang lebih
murah (bekas tutup botol aqua). Hal ini merupakan terobosan baru untuk menjawab
penggunaan teknologi tepat guna. Atas dasar beberapa terobosan baru yang telah
dilakukan oleh BBP Mektan, diharapkan mampu mengurangi kesulitan petani di musim
kemarau. Juga disadari bahwa terobosan penerapan irigasi mikro di lahan kering
membutuhkan investasi awal yang mahal. Untuk mengurangi beban petani, peran
pemerintah dan dinas terkait sangat diperlukan dalam pendampingan kelembagaan.
Penguatan kelembagaan di tingkat petani harus segera dilakukan, karena dengan
kelembagaan yang kuat dapat mengelola sistem irigasi mikro dengan baik. Diharapkan
petani di lahan kering dapat memanfaatkan salah satu sistem irigasi dalam pertaniannya.
B. Embung
Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan
beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah: Teknologi
Embung. Teknologi ini pernah digalakkan beberapa tahun lalu dan telah terbukti berhasil
pada daerah Semi Arid Tropic di dunia. Di beberapa tempat di Indonesia teknologi ini
sudah diterapkan. Embung adalah kolam penampung air hujan untuk mensuplai air di
musim kemarau, menurunkan volume aliran permukaan sekaligus meningkatkan
cadangan air tanah, dan mengurangi kecepatan aliran permukaan hingga daya kikis dan
daya angkutnya menurun. Teknologi Embung dapat meningkatkan intensitas tanah dan
hasil usaha tani. Di Yogyakarta penanaman dapat dilakukan sepanjang tahun dengan pola
padi, tembakau, jagung. Nilai usaha tani pada sawah tadah hujan meningkat dari Rp 4,3
juta/ha/tahun menjadi Rp 11,7 juta/ha/tahun. Pada lahan kering, maka usaha tani
meningkat dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 8,3 juta/ha/tahun. Selain itu, Embung juga dapat
digunakan untuk pemeliharaan ikan, dan air embung dapat pula dimanfaatkan untuk
minum bagi ternak. Dengan penerapan teknologi ini, dalam jangka panjang diharapkan
muka air tanah naik sehingga dapat dibuat sumur untuk keperluan rumah tangga. Lokasi
yang sesuai untuk konstruksi umum bagi teknologi embung adalah :
1) Lapisan tanah bagian bawah kedap air,
2) kemiringan lahan kurang dari 40%,
3) tidak langsung dilalui oleh saluran pembuangan air utama.
2.4. Tantangan Pengelolaan Lahan Basah
1. Keterbatasan data dan penyebaran informasi serta pengetahuan masyarakat tentang lahan
gambut. Data dan informasi tentang kondisi dan status lahan gambut yang akurat di
Indonesia masih terbatas dan -jika ada- itupun tersebar hanya di beberapa Kabupaten
Kota dan instansi terkait yang menangani masalah gambut.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa lahan basah merupakan suatu lahan yang memerlukan
penanganan khusus dalam pengelolaannya sehingga pengetahuan yang luas dapat menjadi
kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan basah tersebut. Strategi pengelolaan lahan
basah/rawa terpadu dan berkelanjutan harus dilakukan secara multidisplin, lintas sektor
dan bertahap. Pengelolaan kawasan dan penataan ruang dengan aturan yang jelas sangat
diperlukan untuk konservasi ataupun pengembangan lahan basah. Pengelolaan muka air
tanah merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pengelolaan lahan basah/ rawa untuk
pertanian berkelanjutan.