TUGAS TERSTRUKTUR PENGELOLAAN ORGANISME … filePENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERPADU ......

19
TUGAS TERSTRUKTUR PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERPADU PENGENDALIAN PENYAKIT MOLER (LAYU FUSARIUM) PADA TANAMAN BAWANG MERAH (Allium cepa) Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI PASCASARJANA AGRONOMI PURWOKERTO 2016

Transcript of TUGAS TERSTRUKTUR PENGELOLAAN ORGANISME … filePENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERPADU ......

TUGAS TERSTRUKTUR PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERPADU

PENGENDALIAN PENYAKIT MOLER (LAYU FUSARIUM)

PADA TANAMAN BAWANG MERAH (Allium cepa)

Oleh:

Gregorius Widodo Adhi Prasetyo

A2A015009

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI PASCASARJANA AGRONOMI

PURWOKERTO

2016

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium cepa) merupakan salah satu komoditas hortikultura

yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Budidaya tanaman bawang merah sering kali

menghadapi beberapa permasalahan. Menurut Udiarto dkk. (2005) permasalahan

yang sering kali dijumpai antara lain : 1) ketersediaan benih bermutu belum

mencukupi secara tepat waktu, jumlah, dan mutu, 2) teknik budidaya yang baik dan

benar belum diterapkan secara optimal, 3) sarana dan prasarana masih terbatas, 4)

kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat mendukung usaha budi daya, 5)

skala usaha relatif kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya

permodalan, 6) produktivitas mengalami penurunan, 7) harga berfluktuasi dan masih

dikuasai oleh tengkulak, dan 8) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT)

makin bertambah.

Salah satu penyakit penting pada bawang merah yang menimbulkan banyak

kerugian di beberapa sentra produksi adalah penyakit moler (Hadiwiyono, dkk.,

2014). Penyakit moler atau layu Fusarium merupakan penyakit pada tanaman

bawang merah yang disebabkan oleh serangan cendawan Fusarium oxysporum f.sp.

cepae (Hanz.) Snyd. & Hans (Wiyatiningsih, 2003 dalam Wiyatiningsih, dkk.,

2009). Menurut Duriat et al. (1994), gejala yang dapat diamati akibat adanya

penyakit moler yang disebabkan Fusarium oxysporum yaitu tanaman layu dengan

cepat, akar tanaman membusuk, tanaman seperti akan roboh, terlihat koloni jamur

keputih-putihan pada dasar umbi lapis, warna daun kekuning-kuningan dan

bentuknya agak melengkung. Hadisoeganda, dkk., (1995) menambahkan bahwa

Fusarium oxysporum f.sp. cepae (Hanz.) Snyd. & Hans menyebabkan daun

menguning dan cenderung terpelintir, akar membusuk, pada dasar umbi lapis

terdapat pembusukan yang meluas ke atas serta ke samping. Wiyatiningsih (2003)

dalam Wiyatiningsih, dkk., (2009) menyatakan bahwa cendawan Fusarium

oxysporum f.sp. cepae (Hanz.) Snyd. & Hans dapat menimbulkan kerusakan dan

menurunkan hasil umbi lapis hingga 50%.

Santoso, dkk., (2007) menyatakan bahwa usaha pengendalian penyakit moler

pada umumnya masih ditekankan pada teknik pengendalian dengan menggunakan

pestisida. Oleh karenanya diperlukan pengendalian penyakit yang aman, murah, dan

ramah lingkungan seperti penggunaan musuh alami (parasitoid, predator dan

patogen serangga), dan dilaksanakan secara terpadu.

PEMBAHASAN

A. Gejala Penyakit Moler pada Tanaman Bawang Merah

Gejala penyakit moler atau layu Fusarium pada tanaman bawang merah dapat

diamati secara fisual. Duriat et al. (1994) menjelaskan bahwa gejala yang nampak

antara lain adalah tanaman layu dengan cepat, akar tanaman membusuk, tanaman

seperti akan roboh, pada dasar umbi lapis terlihat koloni jamur keputih-putihan, serta

warna daun kekuning-kuningan dan bentuknya agak melengkung. Menurut

Hadisoeganda et al. (1995) layu Fusarium pada tanaman bawang merah nampak

dengan gejala daun menguning dan cenderung terpelintir, akar membusuk, serta

pada dasar umbi lapis terdapat pembusukan yang berawal dari dasar umbi meluas ke

atas dan ke samping. Adapun gejala penyakit moler atau layu Fusarium pada

tanaman bawang merah ini dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Gejala Penyakit Moler pada Daun Tanaman Bawang Merah

Gambar 2. Gejala Penyakit Moler pada Umbi Bawang Merah

Kuruppu (1999) melaporkan pertama kali, adanya suatu penyakit pada

bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) yang menyebabkan kehilangan hasil

hingga 20-30% di beberapa lahan pertanaman di Kalpitiya Peninsula Sri Lanka.

Gejala penyakit meliputi klorosis diikuti daun mengeriting dan meliuk, dan

pemanjangan yang tidak normal dari bagian batang semu yang mulai tampak setelah

munculnya daun pertama dari umbi lapis, selanjutnya tanaman mati.

Havey (1995) menyatakan bahwa penyakit moler juga menyerang tanaman

bawang putih dan bawang bombay. Gejala penyakit ini adalah busuk dasar umbi

pada bawang putih dan bawang bombay, daun tanaman melengkung, menguning.

Gejala nekrosis dimulai dari ujung daun dan berlanjut hingga bawah. Batang dan

umbi mengalami diskolorasi berwarna ungu kemerahan, tanaman menjadi layu, dan

pada jaringan yang terserang tampak berwarna coklat dan basah.

B. Patogen Penyebab Penyakit Moler pada Tanaman Bawang Merah

Penyakit moler atau busuk pangkal umbi pada tanaman bawang merah

disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cepae (Hanz.) Snyd. & Hans (Nugroho,

2013). Semangun (2004) klasifikasi cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp.

cepae penyebab penyakit moler pada tanaman bawang merah ini adalah :

Kingdom : Mycetaceae

Divisi : Amastigomycota

Subdivisi : Deuteromycotyna

Kelas : Deutomycetes

Subkelas : Hyphomycetidae

Familia : Moniales

Genus : Fusarium

Fusarium oxysporum f.sp. cepae merupakan jamur patogen yang memiliki

kemampuan bertahan hidup di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama

(Nugroho, 2013). Joffe (1986), Hadisoeganda dkk., (1995) dan Havey (1995)

menyatakan bahwa Fusarium oxysporum f.sp. cepae diketahui merupakan patogen

yang terbawa dalam tanah dan sukar untuk dikendalikan. Fusarium oxysporum f.sp.

cepae yang menyerang tanaman bawang-bawangan menginfeksi jaringan tanaman

melalui penetrasi langsung ke bagian cakram umbi lapis, atau melalui luka-luka pada

jaringan akar dan bagian dasar umbi lapis. Jamur tersebut menyebar melalui tanah

yang mengandung propagul yang menempel pada peralatan tanam, sisa-sisa tanaman

terinfeksi, umbi benih terinfeksi, atau aliran air (Cramer, 2006; Jepson, 2007).

Lacy (1982) dan Joffe (1986) menyatakan bahwa Fusarium oxysporum yang

menyerang tanaman bawang-bawangan adalah Fusarium oxysporum f.sp. cepae.

Kuruppu (1999) melaporkan, uji Postulat Koch pada bawang merah yang bergejala

daun klorosis dan meliuk menunjukkan bahwa penyebabnya adalah Fusarium

oxysporum. Wiyatiningsih (2002) juga telah membuktikan bahwa Fusarium

oxysporum f.sp. cepae merupakan penyebab penyakit moler pada tanaman bawang-

bawangan. Fusarium oxysporum f.sp. cepae juga merupakan jamur penyebab

penyakit layu dan busuk bagian korteks pada lebih dari 100 tanaman pertanian

penting. Fusarium oxysporum f.sp. cepae yang ditumbuhkan pada medium Potato

Dextrose Agar menunjukkan pertumbuhan yang cepat yaitu diameter koloninya

lebih dari 2-5 cm setelah 4 hari. Isolat Fusarium oxysporum f.sp. cepae tersebut

berwarna ungu pucat (Gambar 3). Morfologi koloni Fusarium oxysporum f.sp.

cepae dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.

Gambar 3. Isolat Fusarium oxysporum f.sp. cepae

Gambar 4. Morfologi makrokonidium, mikrokonidium, dan klamidospora

Fusarium oxysporum f.sp. cepae

(a) makrokonidium (b) mikrokonidium (c) klamidospora

(Wiyatinonghsih, 2010)

Gambar 5. Pembentukan mikrokonidium Fusarium oxysporum f.sp. cepae

pada monofialid

a. monofialid b. mikrokonodium yang baru dibentuk tidak dalam rantaian

c. mikrokonidium yang sudah lepas

(Wiyatinonghsih, 2010)

Leslie dan Summerell (2006) menjelaskan bahwa secara morfologis

Fusarium oxysporum f.sp. cepae memiliki hifa bersekat, serta mempunyai

mikrokonidium dan makrokonidium. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Mikrokonidium

Fusarium oxysporum f.sp. cepae berbentuk bulat panjang, satu atau dua sel, tidak

dalam rantaian, dibentuk di dalam fialid sederhana atau konidiofor lateral yang

pendek, serta memiliki jumlah yang relatif banyak. Makrokonidium Fusarium

oxysporum f.sp. cepae berbentuk kano, berdinding tipis dan tersusun atas beberapa

sel, mempunyai sel kaki, dibentuk pada miselium udara atau sporodokium, dan

berukuran 30–45 x 3,5–4,5 µm. Klamidospora Fusarium oxysporum f.sp. cepae

dibentuk secara interkalar atau terminal pada cabang lateral pendek dari miselium,

tunggal atau berpasang-pasangan, dan memiliki dinding klamidospora halus atau

kasar. Fusarium oxysporum f.sp. cepae diidentifikasi berdasarkan morfologi struktur

reproduksi aseksualnya, namun variasi banyak terjadi pada sifat struktur tersebut.

Jamur Fusarium oxysporum f.sp. cepae dimasukkan dalam seksi Elegans, pemisahan

secara morfologis dalam seksi ini sangat sedikit perbedaannya dan ciri-cirinya

sangat bervariasi tergantung lingkungan. Selain itu, kekhususan inang dari setiap

isolat sangat terbatas, isolat-isolat dengan kisaran inang yang sama atau mirip

ditetapkan sebagai suatu forma specialis (Kistler, 1997). Fusarium oxysporum f.sp.

cepae ini terpencar luas dalam tanah dan pada bahan organik, serta banyak terdapat

di lahan pertanian di daerah tropika dan sub tropika. Sebagai jamur yang terbawa

dalam tanah, jamur Fusarium oxysporum f.sp. cepae mampu membentuk

klamidospora sehingga dapat bertahan lama di dalam tanah.

C. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Cendawan Patogen

Fusarium oxysporum f.sp. cepae pada Tanaman Bawang Merah

Perkembangan penyakit layu Fusarium dipengaruhi oleh kondisi lingkungan,

yaitu pH tanah, suhu tanah, kelembaban dan unsur hara. Sastrahidayat (2011) dalam

Supriyadi, dkk. (2013) menambahkan bahwa cendawan Fusarium berkembang

dengan baik pada kondisi tanah yang memiliki suhu yang tinggi (25-28oC) dan pH

tanah yang rendah. Peningkatan serangan Fusarium oxysporum f.sp. cepae juga

dipengarfuhi oleh kondisi tanah yang kering akibat suhu yang tinggi dan kelembaban

tanah yang rendah serta adanya pemadatan tanah. Suhu tanah dan curah hujan yang

tinggi merupakan kondisi cuaca yang sesuai untuk perkembang-biakan Fusarium

oxysporum f.sp. cepae, sehingga epidemi penyakit moler dapat berkembang

dengan baik. Curah hujan yang tinggi yang terus menerus selama musim tanam

bawang merah akan menyebabkan kelembapan udara yang tinggi di sekitar

pertanaman. Kondisi ini dapat memicu perkembangan epidemi penyakit moler.

Wiyatiningsih (2007) menyatakan bahwa kumulasi curah hujan merupakan

unsur cuaca yang memberikan pengaruh paling dominan terhadap intensitas

penyakit moler. Lebih lanjut dikatakan bahwa suhu tanah juga memberikan

pengaruh langsung yang nyata terhadap besarnya intensitas penyakit moler. Suhu

tanah mempengaruhi kelembapan udara di sekitar pertanaman, apabila suhu tanah

tinggi maka kelembapan udara rendah, dan sebaliknya. Dengan demikian,

kombinasi suhu tanah dan curah hujan yang tinggi yang mempengaruhi kelembapan

udara di sekitar pertanaman merupakan kondisi cuaca yang kurang cocok untuk

pertumbuhan tanaman bawang merah, tetapi kondisi tersebut sesuai untuk

perkembangbiakan Fusarium oxysporum f.sp. cepae, sehingga epidemi penyakit

moler dapat berkembang dengan baik.

Fusarium oxysporum yang mampu menyerang berbagai tanaman dapat

tumbuh pada kisaran suhu 10–40°C, dengan suhu optimum untuk pertumbuhannya

adalah 27–29°C. Fusarium oxysporum f.sp. cepae yang menyerang bawang bombay

pada medium padat mempunyai kisaran suhu 9-35°C, dengan suhu optimum 24-

27°C. Di lahan pertanaman bawang bombay, suhu tanah merupakan faktor penting

yang mempengaruhi aktivitas Fusarium oxysporum f.sp. cepae serta tipe gejala dan

kejadian penyakit. Pada umumnya tanaman mulai terinfeksi bila suhu tanah

mendekati 25°C. Kejadian penyakit meningkat bila terjadi kerusakan jaringan

tanaman karena suhu tinggi dan kekeringan (Larkin dan Fravel, 2002).

Hartel (2005) menyatakan bahwa sebagian besar jamur toleran terhadap

asam dan umumnya ditemukan di tanah-tanah yang bersifat masam dengan pH 5,5

ke bawah. Tanah-tanah masam biasanya terjadi ketika air hujan cukup untuk

menyebabkan senyawa-senyawa basa tercuci dari tanah. Oleh karenanya, penyakit

moler sering kali berkembang pada musim hujan dengan kondisi lingkungan yang

lembap dan intensitas sinar matahari yang rendah. Ketersediaan air adalah faktor

lingkungan paling penting yang mempengaruhi perkembangan penyakit. Pengaruh

curah hujan dan air yang mengalir merupakan faktor penting dalam penyebaran

propagul patogen. Pada musim hujan, aliran air hujan dapat menjadi media yang

efektif untuk penyebaran inokulum Fusarium oxysporum f.sp. cepae di lahan

pertanaman bawang merah. Penyakit juga banyak ditemukan di daerah-daerah yang

mempunyai jenis tanah berat, juga pada lahan yang selalu ditanami bawang merah

dengan benih yang berasal dari pertanaman sebelumnya yang menunjukkan gejala

penyakit moler (Wiyatiningsih, 2007).

D. Pengelolaan Penyakit Moler pada Tanaman Bawang Merah

Pengendalian penyakit moler pada tanaman bawang merah secara terpadu

dilakukan dengan menerapkan empat prinsip pengendalian penyakit tanaman.

Menurut Sinaga (2003) prinsip-prinsip pengendalian tersebut adalah :

1. Ekslusi patogen, yaitu mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih

bebas patogen melalui karantina dan peraturan.

2. Eradikasi patogen, yaitu memusnahkan atau mengurangi banyaknya patogen

yang berada di daerah atau bagian tanaman. Cara ini dapat ditempuh melalui

kegiatan pengendalian secara kultur teknis, pengendalian fisik, pengendalian

kimiawi, dan pengendalian hayati.

3. Proteksi Inang yang rentan, dilakukan melalui

4. Resistensi tanaman, dilakukan melalui program pemuliaan dan seleksi

varietas tahan.

Udiarto dkk (2005) menyatakan bahwa pengelolaan organisme pengganggu

tanaman dilaksanakan melalui kegiatan pemantauan dan pengamatan, pengambilan

keputusan, dan tindakan pengendalian dengan memperhatikan keamanan bagi

manusia serta lingkungan hidup secara berkesinambungan. Pemantauan dan

pengamatan dilakukan terhadap perkembangan organisme pengganggu tanaman dan

faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pengambikan keputusan dilakukan

berdasarkan hasil analisis data pemantauan dan pengamatan. Keputusan dapat

berupa : diteruskannya pemantauan dan pengamatan, atau tindakan pengendalian.

Pemantauan dan pengamatan dilanjutkan jika populasi dan atau tingkat serangan

OPT tidak menimbulkan kerugian secara ekonomis. Pengendalian dilakukan jika

populasi dan atau tingkat serangan organisme pengganggu tanaman dapat

menimbulkan kerugian secara ekonomis.

Aspek teknis pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu

dilaksanakan dengan memadukan cara-cara pengendalian yang serasi, selaras dan

seimbang sehingga dapat menekan populasi organisme pengganggu tanaman dan

atau tingkat serangan organisme pengganggu tanaman sampai batas tidak

merugikan. Cara pengendalian ini terdiri atas cara pengendalian kultur teknis, fisik,

mekanik, biologis, dan genetik. Pengendalian hayati merupakan faktor utama dalam

pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu. Penggunaan pestisida

hanya dilakukan apabila diperlukan saja, yaitu jika populasi organisme pengganggu

tanaman atau kerusakan tanaman telah mencapai ambang yang merugikan. Biaya

pengendalian diusahakan seekonomis mungkin tetapi mampu memberi manfaat

yang optimal. Pengendalian organisme pengganggu tanaman secara terpadu

diupayakan tidak mengganggu kesehatan manusia dan tidak mengganggu kehidupan

musuh alami dan organisme bukan sasaran. Selain itu juga tidak menimbulkan

gangguan dan kerusakan sumberdaya hayati dan tidak meninggalkan residu pestisida

pada lingkungan dan hasil panen. Teknologi ini juga disesuaikan dengan kondisi

sosial, budaya, agama dan tingkat pendidikan masyarakat setempat (Udiarto, dkk.

2005).

Pengendalian cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp. cepae dapat

dilakukan dengan memadukan cara sebagai berikut :

1. Pengendalian secara kultur teknis

a. Penanaman Bawang Merah pada Lahan yang Sesuai

Penanaman bawang merah pada kondisi lahan yang sesuai menyebabkan

tanaman dapat tumbuh dengan sehat dan optimal sehingga memiliki vigor

yang baik dan tahan terhadap gangguan lingkungan termasuk gangguan yang

diakibatkan oleh patogen. Bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah

sampai ketinggian 800 m di atas permukaan laut (dpl), namun pertumbuhan

optimalnya terjadi di daerah 1 – 250 m dpl. Untuk menghasilkan umbi lapis,

suhu yang cocok 25,0 – 30,0°C, kelembapan nisbi udara antara 80 – 90%,

curah hujan 2.300 – 2.500 mm/tahun atau 100 – 200 mm/bulan, tanah

gembur, subur, banyak mengandung bahan organik, cukup menyediakan air,

aerasinya baik, tidak becek, dan pH berkisar 6,0 – 6,8.

b. Pola Pergiliran Tanaman yang Sesuai

Pergiliran tanaman dengan dua tanaman atau lebih yang bukan sefamili dan

tanaman yang tahan terhadap suatu patogen atau bukan inangnya, akan

memberikan efek menurunnya ketersediaan makanan Fusarium oxysporum

f.sp. cepae, sehingga dapat menurunkan populasi patogen tersebut. Penyakit

moler lebih banyak ditemukan di lahan yang sepanjang musim ditanami

bawang merah, tanpa pergiliran tanaman. Penyakit ini juga banyak

ditemukan di lahan yang dilakukan pergiliran dengan cabai, tomat, dan

melon, dan lebih sedikit ditemukan pada lahan yang dilakukan pergiliran

dengan padi. Kematian patogen sebagai akibat perendaman itu disebabkan

kekurangan oksigen, keracunan asam arang, atau karena menjadi lebih

efektifnya antagonisme. Jamur tanah termasuk Fusarium oxysporum f.sp.

cepae umumnya bersifat aerobik, dan dapat tumbuh dengan baik di tanah

yang ketersediaan oksigennya cukup untuk respirasi.

c. Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah juga akan mempengaruhi perkembangan penyakit moler

di lahan tersebut. Hal ini dikarenakan propagul Fusarium oxysporum f.sp.

cepae yang terdapat di dalam tanah, akan terangkat ke atas dan terkena

cahaya matahari, sehingga tidak dapat bertahan lama. Pengolahan tanah

akan mengurangi jumlah propagul jamur tersebut di dalam tanah. Perlakuan

penggenangan sawah dengan air untuk menanam padi yang akan

menurunkan kemampuan hidup jamur Fusarium oxysporum f.sp. cepae,

penyebab penyakit moler di dalam tanah.

d. Penggunaan Kultivar Tahan

Penggunaan kultivar tahan merupakan salah satu usaha pengendalian

perkembangan jamur Fusarium oxysporum f.sp. cepae yang berarti pula

menekan munculnya penyakit moler yang menyerang tanaman bawang

merah. Berdasarkan hasil penelitiannya, Wiyatiningsih, dkk (2009)

mendapatkan bahwa bawang merah kultivar Tiron memiliki ketahanan

yang lebih baik daripada kultivar Kuning. Nugroho, dkk (2011)

menambahkan bahwa varietas Biru dan Filip juga memiliki tingkat

resistensi terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cepae yang lebih tinggi

dibandingkan dengan varietas Tiron, Thailan dan Kuning.

e. Pemupukan Berimbang

Unsur N akan menyebabkan bertambahnya masa vegetatif tanaman,

sehingga masa rentan menjadi lebih panjang dan kerugian menjadi lebih

besar. Kelebihan unsur N juga akan menyebabkan tanaman menjadi lebih

sukulentis sehingga perkembangan patogen menjadi lebih baik. Unsur K

berfungsi untuk memacu perkembangan jaringan mekanis sehingga menjadi

lebih kuat dan hal ini akan menghambat perkembangan patogen. Unsur P dan

K seringkali dapat mengurangi tingkat kerusakan penyakit yang dibantu oleh

kelebihan N. Penggunaan pupuk N yang berlebih dapat mengakibatkan

tanaman menjadi sukulen karena bertambahnya ukuran sel dengan dinding

sel yang tipis, sehingga mudah terserang OPT (Suryaningsih dan Asandhi

1992). Pupuk kandang sapi (15-20 t/ha) atau kotoran ayam (5-6 t/ha) atau

kompos (2,5-5 t/ha). Pupuk buatan : TSP (120-200 kg/ha, Urea (150-200

kg/ha), ZA (300-500 kg/ha) dan KCl (150-200 kg/ha).

f. Pemilihan bibit

Penggunaan bibit umbi yang berasal dari tanaman sehat, kompak (tidak

keropos) tidak luka/kulit tidak terkelupas, warnanya mengkilat akan

membantu menekan pertumbuhan dan perkembangan hama ulat bawang.

Bibit yang sehat juga memungkinkan tanaman tumbuh dan berkembang

dengan baik pula.

h. Penyiraman

Pengendalian Penyiraman yang baik, 1-2 kali tiap hari. Penyiraman dengan

air (bersih) setelah turun hujan pada siang hari dilakukan untuk

membersihkan konidia yang menempel pada tanaman bawang merah.

2. Pengendalian Mekanik

Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan mengambil dan memusnahkan

tanaman bawang merah yang terkena penyakit moler atau layu Fusarium dan

sisa-sisa tanaman serta gulma di sekitar lahan yang dapat menjadi inang jamur

Fusarium oxysporum f.sp. cepae.

3. Pengendalian Hayati

Pengendalian penyakit moler yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum

f.sp. cepae dapat juga dilakukan dengan menggunakan agensia

pengendali hayati antagonis seperti Tricoderma harzianum,

Pseudomonas fluoresence P60, dan Tricoderma koningii (Latifah, dkk.

2011 dan Santoso, dkk., 2007). Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan diketahui bahwa agensia pengendali hayati tersebut memiliki

kemampuan menekan perkembangan Fusarium oxysporum f.sp. cepae

pada tanaman bawang merah. Nugroho (2013) menambahkan bahwa

penggunaan agensia hayati Fusarium oxysporum f.sp. cepae avirulen

(Foc33) yang diformulasikan dalam zeolit juga efektif untuk menekan

intensitas penyakit moler yang disebabkan oleh cendawan Fusarium

oxysporum f.sp. cepae.

3. Pengendalian Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cepae

merupakan langkah terakhir apabila metode pengendalian lainnya tidak

memberikan hasil yang optimal. Pengendalian dengan cara kimiawi

dilakukan dengan menggunakan fungisida (pestisida pengendali fungi/

jamur). Teknik penggunaannya dapat melalui fumigasi pada tanah,

perendaman bibit dengan fungisida, maupun penyemprotan fungisida

pada tanaman.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penyakit moler atau layu Fusarium merupakan salah satu penyakit pada

menyerang tanaman bawang merah yang dapat menimbulkan kerusakan dan

menurunkan hasil umbi lapis hingga 50%.

2. Gejala penyakit moler atau layu Fusarium pada tanaman bawang merah

ditandai dengan tanaman layu dengan cepat, akar tanaman membusuk,

tanaman seperti akan roboh, pada dasar umbi lapis terlihat koloni jamur

keputih-putihan, serta warna daun kekuning-kuningan dan bentuknya agak

melengkung.

3. Penyakit moler atau layu Fusarium pada tanaman bawang merah disebabkan

oleh cendawan patogen Fusarium oxysporum f.sp. cepae (Hanz.) Snyd. &

Hans.

4. Suhu tanah dan curah hujan yang tinggi merupakan kondisi cuaca yang

sesuai untuk perkembangbiakan Fusarium oxysporum f.sp. cepae, dan

memicu epidemi penyakit moler atau layu Fusarium pada tanaman bawang.

5. Pengelolaan atau pengendalian penyakit moler atau layu Fusarium dapat

dilakukan dengan cara memadukan berbagai teknik pengendalian baik

dengan kultur teknik, secara mekanik, menggunakan agensia pengendali

hayati dan secara kimiawi.

DAFTAR PUSTAKA

Cramer, C.S., 2006. Fusarium Basal Plate Rot.

http://www.springerlink.com/content/w67611lw8234680v/ diakses 2 Mei

2016.

Hadisoeganda, W.W., Suryaningsih, dan E. Moekasan, 1995. Penyakit dan Hama

Bawang Merah. Dalam Anonim. Teknologi Produksi Bawang Merah. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Jakarta. Hal. 57–73.

Hadiwiyono, Sudadi dan Sofani, C.S., 2014. Jamur Pelarut Fosfat untuk Menekan

Penyakit Moler (Fusarium oxysporium f. sp. cepae) dan Meningkatkan

Pertumbuhan Bawang Merah. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi Vol.

11 No. 2, 2014. Hal 130-138.

Havey, M.J., 1995. Fusarium Basal Plate Rot dalam Howard F.S. and S. Krishna

M, eds. Compendium of Onion and Garlic Diseases. APS Press. Minnesota.

10–11.

Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya,

Jakarta.

Jepson, S.B., 2007. Fusarium Rot of Garlic Bulbs.

http://www.bcc.orst.edu/bpp/Plant_Clinic/Garlic/Fusarium.pdf diakses 2

Mei 2016.

Joffe, A.Z., 1986, Fusarium Species : Their Biology and Toxicology. John Wiley

and Sons. New York.

Kerr, A., 1980. Dispersal and Survival of Pathogens as Soil-borne Inoculum dalam

J.F. Brown and H.J. Ogle, eds. Plant Pathogen and Plant Disease Rockvale

Publications. Armidale. 212 – 218.

Kistler, H.C., 1997. Genetic Diversity in the Plant-Pathogenic Fungus Fusarium

oxysporum. Phytopathology 87 (4): 474 – 478.

Kuruppu, P.U., 1999. First Report of Fusarium oxysporum Causing a Leaf

Twisting Disease on Allium cepa var. ascalonicum in Sri Lanka.

http://apsjournals.apsnet.org/doi/abs/10.1094/PDIS.1999.83.7.695C diakses

2 Mei 2016

Lacy, M., 1982. Yield of Onion Cultivars in Midwestern Organic Soil Infested with

Fusarium oxysporum f.sp. cepae and Pyrenochaeta terrestris. Plant Disease

66: 1003–1006.

Larkin, R.P. and D.R. Fravel, 2002. Effects of Varying Environmental

Conditions on Biological Control of Fusarium Wilt of Tomato by

Nonpathogenic Fusarium spp. Phytopathology 92 (11): 1160 – 1166.

Latifah, A., Kustantinah dan Soesanto, L., 2011. Pemanfaatan Beberapa Isolat

Trichoderma harzianum sebagai Agensia Pengendali Hayati Penyakit Layu

Fusarium pada Bawang Merah in Planta. Eugenia Vol 17 No. 2 Agustus

2011. Hal 86-94.

Leslie, J.F. and B.A. Summerell, 2006. The Fusarium Laboratory Manual.

Blackwell Publishing. Ames, Iowa.

Nugroho, B., 2013. Optimalisasi Konsentrasi Mikrokonidium dalam Formulasi

Agens Hayati Fusarium oxysporium f. sp. cepae Avirulen dan Dosis

Penggunaannya untuk Pengendalian Penyakit Moler pada Bawang Merah.

Jurnal AgriSains Vol. 4 No. 6, Mei 2013. Hal 10-19.

Nugroho, B., Astriani, D., dan Mildaryani, W., 2011. Variasi Virulensi Isolat

Fusarium oxysporum f.sp. cepae pada Beberapa Varietas Bawang

Merah. Agrin Vol. 15 No. 1, April 2011. Hal 8-17.

Santoso, S.E., Soesanto, L., dan Haryanto, T.A.D., 2007. Penekan Hayati Penyakit

Moler pada Bawang Merah dengan Trichoderma harzianum, Trichoderma

koningii, dan Pseudomonas fluoresencens P60. Jurnal HPT Tropika Vol. 7

No. 1 Maret 2007. Hal 53-61.

Semangun. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. UGM

Press. Yogyakarta. 850 hal

Sinaga, M.S., 2003. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya,

Jakarta. 153 hal.

Supriyadi, A., Rochdjatun, I dan Djauhari, S., 2013. Kejadian Penyakit pada

Tanaman Bawang Merah yang Dibudidayakan secara Vertikultur di

Sidoarjo. Jurnal HPT Volume 1 Nomor 3. Hal. 27-40.

Suryaningsih, E dan A.A. Asandhi. 1992. Pengaruh Pemupukan Sistem Petani dan

Sistem Berimbang Terhadap Intensitas Serangan Penyakit Cendawan Pada

Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) varietas Bima. Bul. Penel. Hort.

Vol. XXIV (2) : 19 – 26.

Udiarto, B.K., Setiawati, W., dan Suryaningsih, E., 2005. Pengendalian Hama dan

Penyakit pada Tanaman Bawang Merah dan Pengendaliannya. Panduan

Teknis PPT Bawang Merah No. 2 Balai Penelitian Tanaman Sayuran,

Bandung. 46 hal.

Wiyatiningsih, S., Wibowo, A., dan Triwahyu, E., 2009. Tanggapan Tujuh Kultivar

Bawang Merah terhadap Infeksi Fusarium oxysporium f. sp. cepae Penyebab

Penyakit Moler. Jurnal Pertanian Mapeta Vol. XII No. 1, Desember 2009.

Hal 7-13.

Wiyatiningsih, S., 2002. Etiologi Penyakit Moler pada Bawang Merah. Tesis.

Program Studi Fitopatologi, Jurusan Ilmu Pertanian, Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Wiyatiningsih, S., 2010. Pengelolaan Epidemi Penyakit Moler pada Bawang Merah.

UPN Press, Surabaya. 94 hal.

Wiyatiningsih, S., 2011. Populasi Fusarium oxysporum f.sp. cepae, Intensitas

Penyakit Moler, dan Hasil Umbi Bawang Merah di Tiga Daerah Sentra

Produksi. UPN University Press, Surabaya. 54 hal.