tugas referat
description
Transcript of tugas referat
BAB I
PENDAHULUAN
Retinoblastoma merupakan suatu bentuk keganasan intra okuler primer
yang sering ditemukan pada bayi dan anak-anak. Angka kejadiannya sekitar 1 :
15.000 sampai 1 : 20.000 kelahiran hidup dan merupakan 4% dari seluruh
keganasan pada anak-anak. Umumnya retinoblastoma didiagnosa di bawah usia 5
tahun.1-3 Bisa terjadi pada pria dan wanita, dapat mengenai semua ras.4 Pada 60 –
70 % kasus Retinoblastoma bersifat sporadik dan non herediter akibat mutasi
somatik yang secara klinis merupakan Retinoblastoma unilateral (unifokal).
Sisanya ( 30-40 % ) bersifat herediter akibat mutasi tingkat germinal yang
menghasilkan Retinoblastoma bilateral ( terutama multifokal) dan dapat
diwariskan secara autosomal dominan pada 50 % turunannya. Biasanya
Retinoblastoma bilateral didiagnosa lebih awal ( umur 14 bulan ) dan unilateral
lebih lambat ( umur 24 bulan ).5
Gambaran klinis RetinoBlastoma beraneka ragam dan masing-masing
mempunyai kemiripan dengan kelainan-kelainan mata lain pada anak. Disamping
itu sering terdapat kekeruhan media yang tidak memungkinkan untuk dilakukan
pemeriksaan funduskopi.5 Diagnosis dini dan pengobatan adekuat pada tumor
yang masih terbatas intraokular dapat menghasilkan survival rate 90- 95 %. Tanpa
pengobatan tumor ini akan berektensi ke ektraokular dan mempunyai prognosis
yang buruk. Pada stadium ini angka mortalitas dapat mencapai 100 %.5
Perkembangan metode diagnostik dan tatalaksana RetinoBlastoma
berkembang dengan pesat. Di negara maju, RetinoBlastoma telah banyak
terdiagnosis pada stadium awal, sehingga meningkatkan survival rate dan
prognosis penglihatan. Survival rate di negara maju mencapai 90%, sedangkan di
negara berkembang sekitar 50%.2,6 Metode skrining RetinoBlastoma belum
berkembang, sehingga penegakkan diagnosis dengan teliti, terutama diagnosis
pada stadium dini sangat penting. Diagnosis dini RetinoBlastoma sangat
menentukan metode terapi dan prognosis pasien.7
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Mata
2.1.1 Anatomi Bola Mata
Bola mata manusia berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24
mm. Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan–lapisan
tersebut adalah sklera, jaringan uvea, dan retina. 8,9
Gambar 2.1 Struktur bola mata manusia8
Bagian-bagian bola mata adalah sebagai berikut8,9 :
2
a. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang menutupi
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebral) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbi). Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang
dihasilkan oleh sel Goblet. Musin ini berfungsi untuk membasahi bola mata
terutama kornea.
b. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat fibrosa yang memberikan bentuk pada
mata. Bagian terdepan sklera adalah kornea yang transparan. Kornea
memudahkan sinar masuk ke bola mata. kelengkungan kornea lebih besar
dibanding sklera.
c. Uvea
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Terdiri atas iris, badan siliar,
dan koroid. Pada iris terdapat pupil yang berfungsi mengatur jumlah sinar yang
masuk pada mata. Badan siliar terletak di belakang iris dan menghasilkan akuos
humor, yang dikeluarkan melalui trabekulum yang terletak di pangkal iris di batas
kornea dan sklera.
d. Vitreus ( badan kaca )
Badan kaca merupakan suatu jaringan seperti kaca bening yang terletak
antara lensa dengan retina,tidak berwarna, bening dan konsistensi lunak. Bagian
luar merupakan lapisan tipis (membran hiolid). Struktur badan kaca tidak
mempunyai pembuluh darah dan menerima nutrisinya dari jaringan sekitarnya :
koroid, badan siliar dan retina. Badan kaca bersifat semi cair di dalam bola mata.
Mengandung air sebanyak 90 % sehingga tidak dapat lagi menyerap air.
Sesungguhnya fungsi badan kaca sama dengan fungsi cairan mata, yaitu
mempertahankan bola mata agar tetap bulat. Peranannya mengisi ruang untuk
meneruskan sinar dari lensa retina. Badan kaca melekat pada bagian tertentu
jaringan bola mata. Pelekatan itu terdapat pada bagian yang disebut oraserata, pars
plana, dan papil saraf optik. Kejernihan badan kaca disebabkan tidak terdapatnya
pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak terdapatnya kekeruhan badan
kaca akan memudahkan melihat bagian retina pada pemeriksaan oftalmoskopi.
3
d. Retina
Retina merupakan membran neurosensoris yang akan mengubah sinar
menjadi rangsangan pada saraf optik untuk kemudian diteruskan ke otak. Retina
merupakan lapisan paling dalam dan mempunyai susunan sebanyak sepuluh lapis.
Retina mempunyai ketebalan sekitar 1 mm terdiri atas :
1. Membran limitan internal, merupakan membran hialin antara retina
dan badan kaca
2. Lapisan serabut saraf, merupan lapis akson sel ganglion menuju ke
arah saraf optik. Didalam lapiasan-lapisan ini terletak sebagian besar
pembuluh darah retina.
3. Lapisan sel ganglion yang merupakan lapisan badan sel daripada
neuron kedua.
4. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aselular merupakan
tempat sinaps sel bipolar,sel amakrin dengan sel ganglion.
5. Lapisan nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal
dan sel Muller. Lapis ini memdapat metabolisme dari arteri retina
sentral.
6. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapisan aselular dan merupakan
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapisan nukleus sel kerucut
dan batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan memndapat metabolisme
dari kapiler koroid.
8. Membran limitan eksternal, yang merupakan membran ilusi.
9. Lapisan batang dan kerucut,merupakan lapisan penangkap sinar,
memdapat nutrisi dari koroid.
10. Lapisan epitel pigmen.
4
Gambar 2.2 lapisan dari Retina
2.1.2 Perdarahan retina
Pembuluh darah retina merupakan cabang arteri oftalmika yaitu arteri
retina sentral. Arteri retina sentral masuk ke dalam retina melalui papil saraf optic
yang akan memberi nutrisi pada retina bagian dalam. Diameter arteri lebih kecil
(0,1mm), warnanya lebih merah, bentuknya lebih lurus-lurus dan merupakan end
artery. Arteri retina mudah dikenali karena refleksnya yang jelas dan tidak ada
pulsasi. Diameter vena lebih besar, warna lebih tua/merah gelap, bentuk lebih
berkelok-kelok, dengan cahaya yang sempit. Pada vena retina sentral terlihat
adanya pulsasi di papil optic. Perbandingan normal diameter arteri dan vena
adalah 2 : 3. Pada papil, arteri retina sentral biasanya muncul di sebelah nasal dari
vena retina sentral. Pada lapisan 1-6 mendapat perdarahan dari arteri retina
5
sentral. sedangkan lapisan retina dari 7-10 tidak berisi pembuluh darah dan kapiler
sehingga perdarahannya berasal dari kapiler koroid.9
Retina mendapat nutrisi dari dua system peredaran darah yang berlainan,
yakni pembuluh darah retina dan pembuluh darah koroid atau uvea. Keduanya
berasal dari arteri oftalmikus yang merupakan cabang pertama dari arteri karotis
interna. Koroid diperdarahi oleh system vena vortex, biasanya terdiri dari 4-7
pembuluh darah besar. Pada kondisi yang patologis seperti myopia tinggi, vena
vortex posterior dapat terlihat memperdarahi tepi dari lempeng optic. Kedua
system peredaran darah retina dan koroid berhubungan dengan sinus kavernosus. 9
Pengaturan aliran darah melalui koroid sama seperti dalam tubuh pada
umumnya, di bawah pengaruh system saraf otonom. Perangsangan saraf simpatis
akan menurunkan aliran darah koroid dan sebaliknya. Tidak ada bukti mengenai
autoregulasi di dalam koroid. Perubahan tekanan intra okuler (TIO) tidak
diakibatkan oleh perubahan kompensator pada tekanan vaskuler koroid, dan
perubahan TIO mendadak, misalnya jika membuka mata selama operasi, dapat
menyebabkan efusi uvea. Karena tonus otonom mungkin melindungi mata dari
peningkatan tekanan darah sistemik sementara, jika pengaturan saraf terganggu
pada hipertensi sistemik, cairan dapat terdorong melalui sawar epitel pigmen
retina masuk ke dalam retina. Dalam hal ini tidak ada system saraf yang mengatur
peredaran darah retina, sehingga peredaran darah retina hanya bergantung pada
autoregulasi local untuk menjaga agar lingkungan metabolisme tetap konstan. 9
Sawar darah retina dibentuk oleh pembuluh darah retina dan epitel pigmen
retina. Fungsi sawar ini tergantung dari sambungan erat, yang membatasi
pergerakan interseluler dari seluruh molekul yang mudah larut dalam air sehingga
mencegah molekul tersebut masuk ke dalam retina. Makromolekul dan ion-ion
secara pasif tidak berdifusi ke dalam retina dari peredaran darah, namun
berhubungan dengan transport aktif tertentu ke dalam retina. Membrane Bruch
yang terletak diantara koriokapilaris dan epitel pigmen retina, bertugas hanya
sebagai sawar difusi untuk molekul besar. 9
6
2.1.3 Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk dapat melihat,
mata harus berfungsi sebagai alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan
sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan
fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf
yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya
ke korteks penglihatan. Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar
yang avaskuler pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi
kimia yang mencetuskan proses penglihatan. Sel batang berfungsi dalam proses
penglihatan redup dan gerakan sementara sel kerucut berperan dalam fungsi
penglihatan terang, penglihatan warna, dan ketajaman penglihatan. Sel batang
memiliki sensitivitas cahaya yang lebih tinggi daripada sel kerucut dan berfungsi
pada penglihatan perifer. Sel Kerucut mampu membedakan warna dan memiliki
fungsi penglihatan sentral.4
1. Fotokimiawi Penglihatan
Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia
rodopsin dan pigmen kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila
rodopsin sudah mengabsorbsi energi cahaya, rodopsin akan segera terurai
akibat fotoaktivasi elektron pada bagian retinal yang mengubah bentuk cis
dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-trans memiliki struktur
kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya berbeda,
yaitu lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang
melengkung. Oleh karena orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal
all-trans tidak lagi cocok dengan tempat reaksi protein skotopsin, maka
terjadi pelepasan dengan skotoopsin. Produk yang segera terbentuk adalah
batorodopsin, yang merupakan kombinasi terpisah sebagian dari retianal
all-trans dan opsin. Batorodopsin sendiri merupakan senyawa yang sangat
tidak stabil dan dalam waktu singkat akan rusak menjadi lumirodopsin
yang lalu berubah lagi menjadi metarodopsin I. Metarodopsin I ini
selanjutnya akan menjadi produk pecahan akhir yaitu metarodopsin II
yang disebut juga rodopsin teraktivasi, yang menstimulasi perubahan
7
elektrik dalam sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke
otak4
Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah
all-trans retinal menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula
mengubah all-trans retinal menjadi menjadi all-trans retinol yang
merupakan salah satu bentuk vitamin A. Selanjutnya, di bawah pengaruh
enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-cis retinol lalu diubah
lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin
membentuk rodopsin4
2. Adaptasi Terang dan Gelap
Bila seseorang berada di tempat yang sangat terang untuk waktu
yang lama, maka banyak sekali fotokimiawi yang yang terdapat di sel
batang dan kerucut menjadi berkurang karena diubah menjadi retinal dan
opsin. Selanjutnya, sebagian besar retinal dalam sel batang dan kerucut
akan diubah menjadi vitamin A. Oleh karena kedua efek ini, maka
konsentrasi bahan kimiawi fotosensitif yang menetap dalam sel batang dan
kerucut akan sangat banyak berkurang, akibatnya sensitivitas mata
terhadap cahaya juga turut berkurang. Keadaan ini disebut adaptasi terang.
Sebaliknya, bila orang tersebut terus berada di tempat gelap dalam
waktu yang lama, maka retinal dan opsin yang ada di sel batang dan
kerucut diubah kembali menjadi pigmen yang peka terhadap cahaya.
Selanjutnya, vitamin A diubah kembali menjadi retinal untuk terus
menyediakan pigmen peka cahaya tambahan, dimana batas akhirnya
ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan kerucut.
Keadaan ini disebut adaptasi gelap. 4
8
2.2 Retinoblastoma
2.2.1 Definisi
Retinoblastoma adalah tumor ganas okular yang berasal dari sel retina
embrional, dapat terjadi dalam bentuk herediter dan non-herediter, dapat
mengenai satu mata (unilateral) dan kedua mata (bilateral).10
2.2.2 Epidemiologi
Retinoblastoma merupakan tumor ganas okular yang sering ditemukan
pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma merupakan tumor ganas okular kedua
terbanyak setelah melanoma uvea untuk kasus kanker pada semua kelompok usia.
Insidens retinoblastoma bervariasi mulai dari 1:15000 hingga 1:20.000 kelahiran
hidup, bergantung tiap negara. Terdapat variasi insidens berdasarkan geografik.
Di Meksiko dilaporkan ada 6,8 kasus per 1 juta penduduk, sedangkan di Amerika
Serikat dilaporkan ada 4 kasus per 1 juta penduduk. Negara dengan insidens
retinoblastoma tertinggi di dunia dilaporkan adalah Afrika dan India.3 Menurut
Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI), dari data registrasi kanker
berbasis Rumah Sakit di DKI Jakarta tahun 2005 di 26 Rumah Sakit, tercatat ada
187 kasus kanker pada anak usia 0-17 tahun. Kasus kanker terbanyak adalah
leukemia (33,7%), neuroblastoma (7%), dan retinoblastoma (5,3%).
Menurut pusat data registrasi kanker tahun 2012 di Indonesia,
retinoblastoma merupakan penyakit kanker terbanyak kedua setelah kanker darah
(leukemia). Dua pertiga kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, kasus-kasus
yang jarang dilaporkan ada hampir di segala usia. Sekitar 30% kasus bersifat
bilateral yang merupakan tanda dari penyakit herediter, namun lebih dari sepertiga
kasus dapat terjadi secara unilateral. Tidak ada predileksi untuk jenis kelamin,
ras, dan mata yang terkena. Sekitar 60-70% kasus bersifat unilateral dengan usia
rerata saat didagnosis adalah 24 bulan. Sekitar 30-40% kasus bersifat bilateral
dengan usia rerata saat didiagnosis adalah 12 bulan.11,12
9
2.2.3 Etiologi
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1 yang terletak pada
lengan panjang kromosom 13 pada lokus 14 (13q14) yang mengkode protein
pRB. Gen retinoblastoma normal yang terdapat pada semua orang adalah suatu
gen supresor atau anti-onkogen karena protein pRB berfungsi sebagai supresor
pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat pada DNA
(Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G1
sampai fase S, sehingga perubahan keganasan dari sel retina primitif terjadi
sebelum diferensiasi berakhir.3 Individu dengan retinoblastoma herediter memiliki
satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel
retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada
bentuk retinoblastoma nonherediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel
retina yang sedang tumbuh dinonaktifkan oleh mutasi spontan. Pengidap bentuk
herediter yang bertahan hidup (5% dari kasus baru yang orangtuanya sebagai
penderita atau mengalami mutasi germinativum) memiliki peluang hampir 50%
menghasilkan anak dengan retinoblastoma.13
2.2.4 Patogenesis
Retinoblastoma terbagi atas 2 tipe, yaitu retinoblastoma yang muncul pada
anak yang membawa gen retinoblastoma dari salah satu atau kedua orang tuanya
(familial retinoblastoma) dan retinoblastoma yang muncul karena adanya mutasi
baru pada sel sperma atau sel ovum (sporadic heritable retinoblastoma).11Tumor
tumbuh melalui mutasi genetik secara spontan dan sporadik, atau diturunkan
melalui autosomal dominan. Retinoblastoma secara umum diklasifikasikan
melalui tiga cara, yaitu familial atau sporadik, bilateral atau unilateral, dan
herediter atau nonherediter. Retinoblastoma familial dan bilateral disebabkan oleh
mutasi genetik sehingga termasuk herediter. Sedangkan, retinoblastoma unilateral
dan sporadik termasuk nonherediter.10,11
Retinoblastoma timbul ketika kedua lokus homolog pada gen supresor
menjadi nonfungsional akibat delesi atau mutasi. Walaupun 1 gen normal dapat
menekan perkembangan retinoblastoma, namun bila gen normal dipertemukan
10
dengan 1 gen abnormal dapat menyebabkan situasi menjadi tidak stabil. Situasi
tersebut menyebabkan mutasi pada gen normal dan hilangnya kemampuan supresi
tumor, sehingga retinoblastoma dapat berkembang. Pada tahun 1974, Knudson
mengajukan hipotesis two-hits yang menyatakan bahwa retinoblastoma dapat
berkembang bila terjadi dua mutasi (hits). Keduanya melibatkan gen
retinoblastoma yang terletak di kromosom 13q14. Kedua alel normal lokus
retinoblastoma harus dinonaktifkan (two hits) agar retinoblastoma dapat
berkembang.10
Pada kasus familial, anak mewarisi satu salinan gen retinoblastoma di sel
germinativum dan salinan lainnya normal. Retinoblastoma timbul apabila gen
retinoblastoma normal mengalami mutasi somatik. Agar ekspresi penyakit timbul,
cukup terjadi satu mutasi somatik, sehingga pola pewarisan familial
retinoblastoma mengikuti pola autosomal dominan. Pada kasus sporadik, kedua
alel retinoblastoma normal hilang akibat mutasi somatik di salah satu retinoblas,
sehingga sel retina kehilangan kedua salinan normal dari gen retinoblastoma.14
Gambar 2.3. Hipotesis two-hits yang dikemukakan oleh Knudson
Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar (eksofitik), ke dalam
(endofitik), atau kombinasi keduanya. Retinoblastoma endofitik akan meluas
ke dalam vitreus. Kedua jenis retinoblastoma secara bertahap akan mengisi
mata dan meluas bersama nervus optikus ke otak dan, lebih jarang, di
sepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh darah di sklera ke jaringan orbita
11
lainnya. Tumor ini terkadang tumbuh secara difus di retina, melepaskan sel-
sel ganas ke dalam vitreus dan bilik mata depan, sehingga menimbulkan
proses pseudoinflamasi yang dapat menyerupai retinitis, vitritis, uveitis, atau
endoftalmitis.15
2.2.5 Gambaran Klinis
Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai tumbuh cukup besar untuk
menimbulkan suatu pupil putih (leukokoria), strabismus, atau peradangan. Semua
anak dengan strabismus atau peradangan intraokular harus dievaluasi untuk
mencari adanya retinoblastoma. Tumor stadium awal biasanya terlihat hanya bila
dicari, misalnya pada anak dengan riwayat herediter atau pada kasus-kasus yang
mata sebelahnya sudah terkena. Keluhan lain yang dapat timbul namun jarang,
meliputi heterokromia iris, hifema spontan, dan selulitis orbita. Keluhan gangguan
penglihatan jarang dilaporkan karena umumnya penderita adalah anak-anak
dengan usia belum bersekolah (preschool-aged children).10,11
Rata-rata umur pada saat diagnosis tergantung riwayat keluarga dan lateral
penyakit. Pasien dengan riwayat keluarga retinoblastoma umumnya terdiagnosis
pada usia 4 bulan. Pasien dengan penyakit bilateral umumnya terdiagnosis pada
usia 12 bulan. Pasien dengan penyakit unilateral umumnya terdiagnosis pada usia
24 bulan. Sekitar 90% kasus didiagnosis pada pasien umur dibawah 3 tahun.15
Tabel 2.1. Tanda klinis Retinoblastoma15
Usia <5 tahun Usia ≥5 tahun
Leukokoria (60%) Leukokoria (35%)
Strabismus (20%) Penurunan daya penglihatan (35%)
Inflamasi okular (5%) Strabismus (15%)
Hipopion Floaters (5%)
Hifema (1%) Nyeri (5%)
Heterokromia iris (1%)
Perforasi spontan
Proptosis
12
Katarak
Glaukoma (7%)
Nistagmus
Anisokoria
Gambar 2.4. Leukokoria di mata kiri pada penderita retinoblastoma12
Gambaran klinis yang ditemukan pada fase awal retinoblastoma umumnya
adalah leukokoria dan strabismus. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan
gambaran nodul bewarna putih kekuningan yang menembus dari retina ke vitreus
bila pertumbuhan terjadi secara endofitik. Pada pertumbuhan eksofitik,
pemeriksaan oftalmologi menunjukkan adanya eksudat dan lepasnya retina akibat
proliferasi tumor subretina. Pada tumor dengan perkembangan lanjut, dapat
memberikan gambaran uveitis, glaukoma neovaskular sekunder, dan keterlibatan
orbita. Uveitis timbul akibat ekspansi tumor yang disertai eksudat ke vitreus dan
bilik mata depan menyebabkan akumulasi material selular yang menyerupai
gambaran proses inflamasi (pseudohipopion).10
Adanya nekrosis di antara sel-sel tumor menyebabkan pelepasan vascular
endothelial growth factor dengan neovaskularisasi di retina dan iris, sehingga
terjadi glaukoma akut sudut tertutup yang pada kasus ini disebut sebagai
13
glaukoma neovaskular sekunder. Nekrosis masif sel-sel tumor di orbita
menyebabkan selulitis orbita akut. Tumor yang menyebar ke sepanjang nervus
optikus mencapai kranial, transklera, hingga ke orbita akan menyebabkan
terjadinya proptosis.10,11 Tumor dengan ukuran yang lebih besar akan memberikan
gambaran area kehitaman yang merupakan area nekrosis, fokus bewarna
kecoklatan yang merupakan perdarahan, granul bewarna putih atau flek dari
kalsifikasi yang distrofi. Pertumbuhan lebih lanjut menyebabkan tumor mengisi
rongga orbita dan area nekrosis menjadi lebih luas. 10
Gambar 2.5. Tampak retinoblastoma multipel
Gambar 2.6. Retinoblastoma endofitik dengan vitreous sheeding
14
Gambar 2.7. Retinoblastoma eksofitik. Tampak gambaran detachment retinal.
2.2.6 Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan derajat keparahan
retinoblastoma guna menentukan hasil terapi yang akan digunakan menurut Nana
Wijaya SD, yaitu : 4
1. Stadium Tenang
Pupil lebar. Di pupil tampak refleks kuning yang disebut “amaorotic cat’s
eye “ hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian
berobat. Pada funduskopi, tampak bercak yang berwarna kuning
mengkilap. Dapat menonjol ke dalam badan kaca. Dipermukaannya ada
neovaskularisasi dan perdarahan. Dapat disertai dengan ablasio retina.
2. Stadium Glaukoma
Oleh karena tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler
meninggi. Glaukoma sekunder yang disertai rasa sakit yang Sangat. Media
refrakta menjadi keruh, sehingga pada funduskopi sukar menentukan
besarnya tumor.
3. Stadium Ekstra Okular
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar. Menyebabkan
eksoftalmus, kemudian dapat pecah kedepan sampai keluar dari rongga
orbita, disertai nekrose diatasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi
15
kebelakang sepanjang N.II. Penyebaran ke kelenjar getah bening, juga
dapat masuk ke pembuluh darah,untuk kemudian menyebar keseluruh
tubuh.
Selain itu, terdapat dua klasifikasi yang saat ini juga digunakan untuk
mengelompokkan retinoblastoma, yaitu Klasifikasi Reese-Ellsworth dan
Klasifikasi Retinoblastoma Internasional.11
Klasifikasi Reese-Ellsworth
Klasifikasi ini merupakan metode penggolongan retinoblastoma
intraokular yang populer, sehingga paling sering digunakan. Klasifikasi
ini tidak menyertakan penggolongan retinoblastoma ekstraokular.
Klasifikasi ini didasarkan pada jumlah, ukuran, dan lokasi tumor, serta
ada tidaknya vitreous seeding. Pada klasifikasi Reese-Ellsworth,
retinoblastoma digolongkan menjadi very favorable group (grup 1)
hingga very unfavorable group (grup 5). Penggolongan tersebut
didasarkan pada kemungkinan bola mata dapat diselamatkan setelah
dilakukan External Beam Radiotherapy (ERBT). Klasifikasi Reese-
Ellsworth tidak mencakup informasi mengenai prognosis penglihatan
penderita dan kemampuan penderita bertahan hidup.
Tabel 2.2 Klasifikasi Reese-Ellsworth
Grup A B
1 Tumor soliter, ukuran kurang dari 4
diameter papil nervus optikus, pada
Tumor multipel, ukuran kurang dari 4
diameter papil nervus optikus, semua
16
atau di belakang ekuator pada atau di belakang ekuator
2 Tumor soliter, ukuran 4-10 diameter
papil nervus optikus, pada atau di
belakang ekuator
Tumor multipel, ukuran 4-10 diameter
papil nervus, di belakang ekuator
3 Lesi di anterior sampai ekuator Tumor soliter, ukuran ≥10 diameter
papil nervus optikus, posterior sampai
ekuator
4 Tumor mulitipel, ukuran > 10
diameter papil nervus optikus
Lesi anterior hingga ora serata
5 Tumor masif yang melibatkan lebih
dari setengah retina
Vitreous seeding
Klasifikasi Retinoblastoma Internasional atau International
Classification of Retinoblastom (ICRB)
Klasifikasi ini diharapkan mampu memberikan prediksi yang lebih
baik terhadap mata yang dilakukan kemoterapi. Penggolongan
didasarkan pada ukuran tumor, ada tidaknya cairan subretina, serta ada
tidaknya perluasan tumor ke vitreus dan subretina. Adanya keterlibatan
bilik mata depan, glaukoma neovaskular, perdarahan vitreus, dan/atau
nekrosis, digolongkan sebagai kelompok mata yang tidak terselamatkan
(unsalvageable group).
Tabel 2.3 International Classification of Retinoblastom
Grup A Tumor kecil (≤3mm) terbatas pada retina; >3 mm dari fovea; >1,5 mm dari
diskus optikus
Grup B Tumor (>3mm) terbatas pada retina di beberapa lokasi, dengan cairan
17
subretinal yang jernih ≤ 6mm dari tepi tumor
Grup C Berlokasi di vitreous dan atau benih tumor di subretinal (<6 mm dari tepi
tumor) jika lebih dari satu bagian subretinal/vitreus, total luas tumor harus <
6mm
Grup D Difus pada vitreus dan atau penyebaran di subretinal (≥6 mm dari tepi tumor)
jika ada lebih dari 1 bagian pada subretinal/vitreus, total luas tumor harus
≥6mm, cairan subretinal > 6 mm dari tepi tumor.
Grup E Tidak dapat melihat, atau ada ≥1 atau gejala berikut ini:
Tumor di bagian segmen anterior
Tumor di dalam atau pada badan siliar
Glaukoma neovaskular
Perdarahan vitreus yang menyebabkan hifema
Phthisical atau pre-pthisical eye
Selulitis orbita
2.2.7 Diagnosis Banding
Beberapa Diagnosis Banding dari Retinoblastoma adalah sebagai
berikut :6,12
Primary persistent hyperplastic vitreous adalah kelainan anomaly
congenital yang mempunyai ciri khas; menetapnya jaringan mesenchym
embrio yang terdapat pada cavitas. Pada pasien sering muncul leukokoria;
namun tidak ada massa yang muncul pada Primary persistent hyperplastic
vitreous.
Catarak congenital juga merupakan penyebab dari leukokoria pada anak-
anak. Dapat muncul pada saat lahir dan merupakan kelainan idiopatik,
familial atau berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan
penyakit maternal seperti rubella, sifillis dan galaktosemia. Pemeriksaan
yang hati-hati dengan slit lamp dapat mengidentifikasi katarak.
18
Toxocara infection dapat menyebabkan scar retinochoroidal dan inflamasi
dari cairan vitreous; hal ini dapat membuat distorsi dari bentuk retina
normal dan bermanifestasi seperti leukokoria pada ophthalmoskop. Serum
enzyme-linked immunosorbent assay untuk toxocara canis dapat digunakan
untuk memeriksa diagnosis.
Retinopathy of prematurity ( ROP ) adalah kegagalan dari retina normal
yang terjadi pada bayi yang lahir premature yang terpapar oksigen
konsentrasi tinggi selama periode postnatal. Ini berhubungan dengan
vaskularisasi yang abnormal, fibrosis dan lepasnya retina yang dapat
mengakibatkan reflex putih dan harus diperhatikan pada bayi yang lahir
premature.
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis retinoblastoma ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
oftalmologis, dan pemeriksaan penunjang. Standar baku emas untuk memastikan
diagnosis retinoblastoma adalah dengan biopsi. Jenis biopsi yang dapat digunakan
adalah Biopsi Aspirasi Jarum Halus atau Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB)
yang hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis mata subdivisi Onkologi yang
telah berpengalaman.
1. Anamnesis
Pada pasien dengan kecurigaan Retinoblastoma, maka perlu dilakukan
anamnesis lanjutan. Perlu ditanyakan onset dan durasi kelainan mata,
terutama lekocoria atau strabismus. Kesehatan anak secara keseluruhan
juga perlu ditanyakan. Adanya penurunan berat badan atau selera makan
dapat menjadi salah satu gejala yang perlu diwaspadai. Pertanyaan tentang
penglihatan yang perlu ditanyakan adalah apakah pasien mengalami
gangguan penglihatan, seperti penglihatan kurang fokus, perbedaan
gerakan mata kanan dan kiri, atau kesulitan meraih benda, dan ada atau
tidaknya nistagmus. Pertanyaan lain adalah ada tidaknya riwayat trauma,
terutama pada mata, serta riwayat penyakit keluarga dengan
retinoblastoma.14
19
2. Pemeriksaan Fisik
Pasien anak yang diduga Retinoblastoma harus mendapatkan pemeriksaan
fisik dan penunjang lengkap oleh onkologis anak dan dokter mata.
Pemeriksaan mata pada anak yang tidak kooperatif dapat dilakukan
dengan pengaruh anestesi (examination under anesthesia). Beberapa hasil
pemeriksaan yang dapat ditemui pada pemeriksaan yaitu :
a. Penurunan visus, biasanya dapat ditemukan pada anak yang sudah
dapat berkomunikasi dan kooperatif
b. Cover/uncover test dapat ditemukan adanya strabismus
c. Leukocoria
d. Hifema dan atau hipopion
e. Pada pasien kooperatif dapat dilakukan pemeriksaan slit lamp,
biasanya dapat ditemukan adanya uveitis atau glaucoma
f. Peningkatan tekanan intraokuler
g. Pemeriksaan funduskopi dilakukan dengan anestesi. Lesi kecil dapat
terlihat sebagai area tembus cahaya atau lesi berbentuk seperti kubah.
Pada lesi yang lebih besar, dapat ditemukan area berwarna keputihan
seperti kapur. Tumor endofitik tumbuh kearah corpus vitreum,
sedangkan eksofitik tumor tumbuh ke spatium subretina.6,7
Gambar 2.5 Hasil pemeriksaan funduskopi pasien Retinoblastoma. A) hasil pemeriksaan
mata kanan pasien Retinoblastoma dengan lesi kecil, tambak gambaran keputihan di
superotemporal, B) lesi Retinoblastoma besar, dimana tumor sudah menyebar ke korpus
vitreum
20
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai
Retinoblastoma adalah:
a. Ultrasonografi orbital : untuk konfirmasi adanya massa pada segmen
posterior mata dan kalsifikasi intralesi. USG mempunyai nilai akurasi
mencapai 80%, Retinoblastoma ditemukan adanya massa tumor
hiperekoik dengan kalsifikasi.
b. CT/MRI scan : merupakan pemeriksaan yang paling dianjurkan untuk
mengevaluasi nervus optikus, orbita, dan otak. MRI tidak hanya
menampilkan resolusi jaringan lunak yang baik, tetapi juga mencegah
pajanan radiasi yang berbahaya. pemeriksaan ini tidak dijadikan
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan jika dicurigasi adanya
penyebaran tumor pada intra maupun ekstrakranial, adanya
pinealblastoma/ trilateral retinoblastoma, atau jika diagnosis
diragukan.2,6
Gambar 2.8. Pada CT-scan retinoblastoma didapatkan kalsifikasi intraokular di segmen
posterior okuli sinistra
4. Gambaran Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran sel-sel tumor bulat
keil dengan sitoplasma bening, nukleus berbentuk bulat atau oval, dan
kromatin berbentuk granular halus. Nukleoli, sitoplasma, dan membran sel
21
sulit dibedakan. Beberapa gambaran sel yang umum ditemukan pada
retinoblastoma adalah Flexner-Wintersteiner rosettes, Horner-Wright
rosettes, fleurettes.2,10
a. Flexner-Wintersteiner rosettes, yang terdiri dari lumen sentral
kosong yang dikelilingi oleh sel kolumner tinggi. Nucleus sel ini
lebih jauh dari lumen.
b. Homer Wright rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan
sel terbentuk mengelilingi masa proses eosinofilik.
c. Fleurettes, adalah focus sel tumor yang mana menunjukkan
differensiasi fotoreseptor, kelompok sel dengan proses
pembentukan sitoplasma dan tampak menyerupai karangan
bunga.10
Gambar 2.9 Histopatologi retinoblastoma. a) Flexner-Wintersteiner rosettes, b) Homer Wright
rosettes, dan c) Fleurettes
2.2.9 Tatalaksana
Saat Retinoblastoma pertama kali diterapi, yang paling penting dipahami
bahwa Retinoblastoma adalah suatu keganasan. Saat penyakit ditemukan pada
22
mata, angka harapan hidup melebihi 95% di negara barat. Walaupun dengan
penyebaran ekstraokular, angka harapan hidup menurun sampai kurang dari 50%.
Selanjutnya dalam memutuskan strategi terapi, sasaran pertama yang harus adalah
menyelamatkan kehidupan, kemudian menyelamatkan mata, dan akhirnya
menyelamatkan visus. Managemen modern Retinoblastoma Intraokular sekarang
ini dengan menggabungkan kemampuan terapi yang berbeda mencakup
Enukleasi, Eksenterasi, Kemoterapi, Photocoagulasi, Krioterapi, External-Beam
Radiation dan Plaque Radiotherapy. 15
External Beam Radiotherapy jarang digunakan saat ini sebagai terapi
utama Retinoblastoma Intraokular karena berhubungan dengan deformitas
kraniofacial dan tumor sekunder pada daerah radiasi. Enukleasi primer pada
Retinoblastoma unilateral lanjut masih direkomendasikan untuk menghindari efek
samping kemoterapi sistemik. Manipulasi yang tidak diperlukan harus dihindari
pada bola mata dan sepanjang saraf optikus untuk menghindari penyebaran tumor
ke Ekstraokular.15
Enukleasi
Enukleasi adalah tindakan yang paling umum dilakukan pada pasien
Retinoblastoma yang sudah berkembang. Enukleasi biasanya dilanjutkan
dengan terapi lainnya, untuk mencegah metastasis. Tindakan ini biasanya
dilakukan pada Retinoblastoma intraokuler yang sudah diikuti adanya
neovaskularisasi iris, glaucoma sekunder, invasi tumor ke kamera okuli
anterior, tumor mengisi > 75% korpus vitreus, tumor nekrosis dengan
inflamasi orbital sekunder, dan tumor yang berhubungan dengan adanya
hifema atau hemoragik vitreus.6,7
Enukleasi dipertimbangkan sebagai intervensi yang tepat jika:
- Tumor melibatkan lebih dari 50% bola mata
- Dugaan terlibatnya orbita dan nervus optikus
- Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa Glaukoma
Neovaskular
- Potensi untuk melihat pada mata yang terkena hanya sedikit
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada tindakan enukleasi adalah :
23
a. Manipulasi minimal
b. Menghindari perforasi mata
c. Mendapatkan tunggul nervus optikus > 15 mm
d. Melakukan inspeksi hasil enukleasi, untuk mengetahui perluasan
tumor ke ekstraokuler dan keterlibatan nervus optikus
e. Jaringan segar hasil enukleasi segera dikirim ke laboratorium untuk
pemeriksaan patologi anatomi.
Kemoterapi
Kemajuan yang berarti dalam penatalaksaan Retinoblastoma Intraokular
Bilateral pada dekade terakhir masih menggunakan kemoterapi sistemik
primer. Pemberian kemoterapi sistemik mengurangi ukuran tumor,
berikut dapat menggunakan gabungan fokal terapi dengan laser,
krioterapi atau radioterapi, perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat
kemajuan dalam terapi kedua tumor otak dan metastasis
Retinoblastoma. Saat ini regimen kombinasi bermacam-macam seperti
Carboplatin, Vincristine, Etoposide dan Cyclosporine. Anak-anak yang
mendapat obat kemoterapi secara intravena setiap 3-4 minggu untuk 4-9
siklus kemoterapi.6,7
Kemoterapi sistemik primer (chemoreduction) diikuti oleh terapi lokal
(gabungan) sekarang secara lebih sering digunakan vision-sparing
tecnique. Kebanyakan studi Chemoreduction untuk Retinoblastoma
menggunakan Vincristine, Carboplatin, dan Epipodophyllotoxin, lainya
Etoposide atau Teniposide, tambahan lainya Cyclosporine. Agen
pilihan sebaiknya bervariasi dalam jumlah dan siklus menurut lembaga
masing-masing. Kemoterapi jarang berhasil bila digunakan sendiri, tapi
pada beberapa kasus terapi lokal (Kriotherapy, Laser Photocoagulation,
Thermotherapy atau Plaque Radiotherapy) dapat digunakan tanpa
Kemoterapi. Efek samping terapi Chemoreduction antara lain hitung
darah yang rendah, rambut rontok, tuli, toksisitas renal, gangguan
neurologik dan jantung. Leukemia myologenous akut pernah dilaporkan
24
setelah pemberian regimen chemoreduction termasuk etoposide.
Pemberian kemoterapi lokal sedang diteliti, berpotensi meminimalkan
komplikasi sistemik.
Berikut ini terdapat tabel menjelaskan regimen kemoterapi yang sering
digunakan. Terapi standar digunakan untuk Retinoblastoma dengan
ukuran kecil dan sedang (ICIOR grup A sampai C), sedangkan dosis
tinggi untuk tumor yang lebih lanjut (ICIOR grup D).
Tabel 2.4. Regimen kemoterapi dan dosis untuk retinoblastoma
intraokuler16
Periocular Chemotherapy
Periocular Chemotherapy yang akan datang dimasukkan dalam COG
trial berdasarkan pada data terbaru penggunaan carboplatin
subconjunctiva sebagai terapi Retinoblastoma pada percobaan klinis
phase 1 dan 2, keduanya baik vitreous seeding dan tumor retina didapati
adanya respon terhadap terapi ini. Toksisitas lokal minor berupa orbit
myositis pernah dilaporkan setelah pemberian Carboplatin
subconjuctiva dan respon terhadap kortikosteroid oral, dan reaksi yang
lebih berat termasuk optik atropi pernah dilaporkan. 6,7
Photocoagulation dan Hyperthermia
Xenon dan Argon Laser (532 nm) secara tradisional digunakan
untuk terapi Retinoblastoma yang tinggi apek kurang dari 3mm dengan
25
dimensi basal kurang dari 10 mm, 2-3 siklus putaran Photocoagulation
merusak suplai darah tumor, selanjutnya mengalami regresi. Laser yang
lebih berat digunakan untuk terapi langsung pada permukaan tumor.
Laser diode (8-10mm) digunakan sebagai hyperthermia. Penggunaan
langsung pada permukaan tumor menjadikan temperatur tumor sampai
45-60oC dan mempunyai pengaruh sitotoksik langsung yang dapat
bertambah dengan Kemoterapi dan Radioterapi. 6,7
Krioterapi
Krioterapi dilakukan pada tumor ukuran kecil, yaitu diameter maksimal
4 mm, dan ketebalan maksimal 2 mm. Biasanya dilakukan tiga kali
dalam interval 4-6 minggu sampai terjadi regresi tumor. Krioterapi
dilakukan dengan alat yang dapat mengeluarkan suhu – 60 sampai – 80
ᵒC, sehingga terjadi krionekrosis tumor.1,6
Krioterapi juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal
kurang dari 10mm dan ketebalan apical 3mm. Krioterapi digunakan
dengan visualisasi langsung dengan Triple Freeze-Thaw Technique.
Khususnya Laser Photoablation dipilih untuk tumor pada lokasi
posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak lebih
anterior.Terapi tumor yang berulang sering memerlukan kedua tekhnik
tersebut. Selanjut di follow up pertumbuhan tumor atau komplikasi
terapi.
External-Beam Radiation Therapy
Tumor Retinoblastoma respon terhadap radiasi, digunakan teknik
terbaru yang dipusatkan pada terapi radiasi megavoltage, sering
memakai Lens-SparingTechnique, untuk melepaskan 4000-4500 cGy
dengan interval terapi lebih dari 4-6 minggu. Khusus untuk terapi pada
anak Retinoblastoma bilateral yang tidak respon terhadap Laser atau
Krioterapi. Keselamatan bola mata baik, dapat dipertahankan sampai
26
85%. Fungsi visual sering baik dan hanya dibatasi oleh lokasi tumor
atau komplikasi sekunder. 7
Dua hal penting yang membatasi pada penggunaan External Beam
Radiotherapy dengan teknik sekunder adalah :
1. Gabungan mutasi germline gen RB1 dengan peningkatan umur
hidup pada resiko kedua, tidak tergantung pada keganasan primer
(seperti osteosarcoma) yang dieksaserbasisi oleh paparan External
Beam Radiotherapy.
2. Sequele yang dihubungkan dengan kekuatan Radiotheraphy
meliputi midface hypoplasia, Radiation Induced-Cataract, dan
Radiation Optic Neuropathy dan Vasculopathy.
Bukti menunjukkan kemampuan terapi yang dikombinasi menggunakan
External Beam Radiotherapy dosis rendah dan Kemoterapi
diperbolehkan untuk meningkatkan keselamatan bola mata dengan
menurunkan morbiditas radiasi. Sebagai tambahan penggunaan
kemoterapi sistemik dapat memperlambat kebutuhan External Beam
Radiotherapy, memberikan perkembangan orbita yang baik dan secara
bermakna menurunkan resiko malignansi sekunder sewaktu anak
berumur satu tahun.
Plaque Radiotherapy (Brachytherapy)
Radioactive Plaque terapi dapat digunakan bila terapi penyelamatan
bola mata gagal untuk menghancurkan semua tumor aktif dan sebagai
terapi utama terhadap beberapa anak dengan ukuran tumor relatif kecil
sampai sedang. Teknik ini secara umum dapat digunakan pada tumor
yang dengan diameter basal kurang dari 16mm dan ketebalan apikal 8
mm. Isotop yang sering digunakan adalah lodine 125 dan Ruthenium
106. 6,7
Terapi suportif
27
a. Pemasangan prosthesis atau mata buatan setelah enukleasi, tindakan
ini merupakan bagian yang cukup penting untuk rehabilitasi.
Biasanya dilakukan beberapa minggu setelah operasi
b. Dukungan psikologis untuk pasien dan keluarganya
c. Penggunaan pelindung mata pada mata yang sehat saat beraktivitas
d. Konseling pada keluarga tentang risiko RB pada anggota keluarga
lainnya.6
2.2.10 Prognosis
Anak-anak dengan Retinoblastoma Intraokular yang mendapat perawatan
medis modern mempunyai prognosis yang baik untuk bertahan hidup dengan
angka keselamatan hidup pada anak mencapai lebih dari 95%. Kebanyakan faktor
resiko penting yang dihubungkan dengan kematian adalah tumor yang meluas ke
ekstraokular, secara langsung melalui sklera, atau yang lebih sering dengan invasi
saraf optikus, khususnya pada pembedahan Reseksi Margin.
Anak yang bertahan dengan Retinoblastoma Bilateral meningkatkan
insiden keganasan non-okular dikemudian hari. Rerata waktu laten untuk
perkembangan tumor sekunder adalah 9 tahun dari penatalaksaan Retinoblastoma
primer. Mutasi RBI dihubungkan dengan insiden 26,5% perkembangan tumor
sekunder dalam 50 tahun pada pasien yang diterapi tanpa terpapar terapi radiasi.12
28
BAB III
KESIMPULAN
Retinoblastoma merupakan tumor ganas intraokular yang sering
ditemukan pada masa kanak-kanak. Insidens retinoblastoma bervariasi mulai dari
1:14.000 hingga 1:20.000 kelahiran hidup. Retinoblastoma disebabkan oleh
mutasi gen RB1 yang terletak pada lengan panjang kromosom 13 pada locus 14
(13q14) yang mengkode protein pRB. Retinoblastoma yang diturunkan secara
genetik terbagi atas 2 tipe, yaitu retinoblastoma yang muncul pada anak yang
membawa gen retinoblastoma dari salah satu atau kedua orang tuanya (familial
retinoblastoma) dan retinoblastoma yang muncul karena adanya mutasi baru pada
sel sperma atau sel ovum (sporadic heritable retinoblastoma). Retinoblastoma
memberikan gambaran klinis berupa pupil putih (leukokoria), strabismus, atau
peradangan. Diagnosis retinoblastoma ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan oftalmologis, dan pemeriksaan penunjang. Standar baku emas untuk
memastikan diagnosis retinoblastoma adalah dengan biopsi. Jenis biopsi yang
dapat digunakan adalah Biopsi Aspirasi Jarum Halus atau Fine Needle Aspiration
Biopsy (FNAB). Managemen modern Retinoblastoma Intraokular sekarang ini
dengan menggabungkan kemampuan terapi yang berbeda mencakup Enukleasi,
Eksenterasi, Kemoterapi, Photocoagulasi, Krioterapi, External-Beam Radiation
dan Plaque Radiotherapy. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma
berukuran besar. Mata dengan tumor yang berukuran lebih kecil dapat diterapi
29
secara efektif dengan radioterapi plaque atau external beam, krioterapi, atau
fotokoagulasi laser. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil ukuran
tumor besar sebelum dilakukan terapi jenis lain dan terkadang sebagai terapi
tunggal. Kemoterapi juga digunakan untuk mengobati tumor yang sudah meluas
ke otak, orbita, atau ke distal, dan mungkin diberikan setelah dilakukan enukleasi
pada pasien dengan risiko metastase yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aerts, I., L. L. Rouic, M. Gauthier-Villars, H. Brisse, F. Doz, and L. Desjardins. Review : Retinoblastoma. Orphanet Journal of Rare Disease. 2006. p1:31.
2. Dunãrintu, S., F. Birsasteanu, D. Onet, M. Pascut, D. Bejenaru, and M. Mogoseanu. Imaging of Ocular Malign Tumors in Children. Journal of Experimental Medical & Surgical Research. 2008. p89-95.
3. Deegan, W. F. Retinoblastoma : A Review of Current Treatment Strategies. Journal of Ophthalmic Prosthetics. 2005.
4. Wijaya Nana. Ilmu Penyakit Mata. cetakan ke-6. 1993. hal 59-69,5. Suhardjono Setiowati. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Reinoblastoma Di
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta in Update in Retinoblastoma and Pediatric Ophthalmology, Vumc.
6. Parulekar, M. V. Retinoblastoma – Current treatment and future direction. Early Human Development. 2010. 86: 619-25.
7. Chintagumpala, M., P. Chevez-Barrios, E. A. Paysse, S. E. Plon, and R. Hurwitz. Retinoblastoma : Review of Current Management. The Oncologist. 2007. 12: 1237-46.
8. Riordan-Eva, P., and J. P. Whitcher. Anatomy and Embryology of the Eye. In : Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. 17th Edition. McGraw-Hill’s. 2007.
9. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata: Anatomi dan Fisiologi Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI.2010
10. Sehu, K. Weng, Lee, William R. Retinoblastoma. Chapter 11: Intraocular Tumors. In: Ophtalmic Pathology. London: Blackwell Publishing. 2005. p.260-262
11. Dryja TP, Cavenee W, White R, et al. Retinoblastoma. Chapter 19: Retinoblastoma. Section 4: Ophtalmic Pathology and Intraocular Tumors. In: American Academy of Ophtalmology Basic and Clinical Science Course 2011-2012. San Fransisco: 2011. p.300-308.
12. Lang K Gehard. Retinoblastoma. In: Opthalmology. NewYork: D-70469 Stuttgart, Germany. 2000. p 353-55
30
13. Riordan-Eva, Paul, P. Whitcher, John. Oftalmologi Umum: Retinoblastoma. Edisi 17. Jakarta: Widya Medika. 2005. hal.208-209.
14. Kumar, Robbins. Buku Ajar Patologi: Patogenesis Retinoblastoma. Volume 1 Edisi 7. Jakarta: EGC. 2007. hal.205-207.
15. Dryja TP, Cavenee W, White R, et al. Intraocular tumors. Chapter 26: Ocular and Periocular Tumors in Childhood. Section 6: Pediatric Ophtalmology and Strabismus. In: American Academy of Ophtalmology Basic and Clinical Science Course 2011-2012. San Fransisco: 2011. p.354-361
16. Reddy, V. A. P., and S. G. Honavar. Retinoblastoma – Advanced inManagement. Apollo Medicine. 2008. 5(3): 183-9.
31