tugas qurdis 3

download tugas qurdis 3

of 42

description

manusia sebagai makhluk khalifah

Transcript of tugas qurdis 3

KEWAJIBAN TEGAKNYA KHILAFAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangManusia selain diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna juga memiliki tugas sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Tugas itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai khalifah diatas bumi yang dilengkapi dengan akal sehat serta hasrat ingin tahu, sehingga ia selalu tanya atau mempertanyakan sesuatu, mulai dari hal-hal yang sangat sederhana sampai kepada hal-hal yang sangat rumit. Oleh karena itu kenapa manusia belajar? Jawabannya adalah karena ia ingin mengetahui atau memperoleh pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan. Jawaban lengkapnya adalah manusia belajar karena mempunyai bakat untuk belajar, yang dipacu oleh sikap ingin tahu dan didukung oleh kemampuan untuk mengetahui.Dalam surah al-Baqarah ayat 30, Allah Swt. menerangkan kepada malaikat akan menciptakan manusia untuk mengelola bumi. Akhirnya terjadilah dialog antara Allah Swt. dan para malaikat berkaitan dengan penciptaan manusia tersebut. Dalam dialog tersebut seolah meragukan kemampuan manusia karena sifat manusia yang selalu merusak dan menumpahkan darah. Menurut malaikat mengapa manusia bukan mereka. Bukankah mereka adalah makhluk yang taat dan selalu mengagungkan Allah setiap saat? Namun malaikat menjadi mengerti setelah Allah menjelaskan keunggulan kualitas manusia dibandingkan makhluk lain termasuk malaikat.

Bila alam ini merupakan lapangan khilafah dan lapangan kehidupan bagi manusia, alangkah bodoh orang yang melalaikan urusan kehidupannya setelah mati. Alangkah celaka orang yang tak beriman kepada Hari Akhir. Alangkah rugi orang yang tidak berpegang pada hidayah Allah, Tuhan sekalian langit dan bumi, Tuhan seluruh alam. Maka dari itu seorang khalifah harus memegang perannya sebagai manusia seutuhnya, peranan yang harus diemban pula oleh setiap individu. Allah membukakan baginya kesempatan kerja dan usaha, dan diberlakukannya pula baginya hukum sukses dan gagal bagi upayanya. Sebagian ada yang bisa ia ketahui, sebagian tidak. Maha Suci Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah tugas seorang khalifah di muka bumi?

2. Apa sebab dipilihnya manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, dan mengapa bukan malaikat? 3. Kriteria apa yang harus kita miliki sehingga dapat menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi ini?4. Apa sabab nuzul diturunkannya ayat tentang manusia sebagai Khalifah Allah di bumi?

5. Bagaimana konteks dan maksud hadits tentang manusia sebagai Khalifah Allah di bumi?1.3 Pembatasan masalah

Didalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dimana didalamnya meliputi: ayat al-quran, mana mufrodat, sabab nuzul, tafsir global, ayat munasabah, takhrij hadits, konteks dan maksud hadits. 1.4 Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui tugas seorang khalifah di bumi.2. Untuk mengetahui sebab dipilihnya manusia di bumi

3.Untuk mengetahui kriteria apa yang harus dimiliki seorang khalifah di bumi

4. Untuk mengetahui sabab nuzul diturunkannya ayat tentang manusia sebagai Khalifah Allah di bumi

5. Untuk mengetahui konteks dan maksud hadits tentang manusia sebagai Khalifah Allah di bumi?

1.5 Sumber Data Sumber buku:

1. Buku Pintar ayat-ayat Al-quran2. Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul Ayat

3. Manusia dalam Al-quran

4. Manusia dan Alam Gaib

5. Tafsir al-Waie

6. Tafsir Adhwaul Bayan

7. Tafsir Ibnu Masud

Sumber Website1. http://makalahpelajar.blogspot.com/2011/11/manusiasebagai-khalifahdi-bumi.html?m=1.

2. http://alicoverboy.blogspot.com/2012/06/fungsi-manusia-sebagai-khalifah-di-muka.html?m=1BAB II

PEMBAHASAN2.1 Ayat Pokok Sesuai Tema

2.1.1 Teks Ayat 2.1.2 Terjemah

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah [2]:30)

2.1.3 Mana Mufrodat

(dan), (ingatlah ketika), (berfirman), (berfirman), (pada para malaikat ), (Sesungguhnya Aku), (hendak menjadikan), (di muka bumi), (seorang khalifah) , (Mereka berkata), (mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu), (orang yang akan membuat kerusakan padanya), (dan menumpahkan darah), (padahal kami), (senantiasa bertasbih), (dengan memuji Engkau), (dan mensucikan Engkau) , (Tuhan berfirman), (sesungguhnya Aku), (lebih mengetahui), (apa yang tidak), (kamu ketahui). 2.1.4 Sabab Nuzul

Al-Baqarah :30

( Dan )ingatlah hai Muhammad (ketika Tuhan-Mu berfirman pada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi) yang akan mewakili Aku dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-praturanku padanya, yaitu Adam as. (kata mereka: kenapa hendak Engkau jadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya) yakni dengan berbuat maksiat (dan menumpahkan darah) artinya mengalirkan darah dengan jalan pembunuhan sebagaimana dilakukan oleh bangsa jin yang juga mendiami bumi? Tatkala mereka berbuat kerusakan, Allah mengirim malaikat kepada mereka maka di buanglah mereka ke pulau-pulau dan ke gunung-gunung (padahal kami selalu bertasbih) maksudnya selalu mengucapkan tasbih (dengan memuji-Mu) yakni dengan membaca Subhanallahi Wabihamdih artinya Maha Suci Allah dan aku memuji-Nya. (dan mensucikan-Mu) membersihkan-Mu dari hal-hal yang tidak layak bagi-Mu. Huruf Lam pada Laka itu hanya sebagai tambahan saja, sedangkan kalimat semenjak pada hal berfungsi sebagai hal atau menunjukkan, keadaan, dan maksudnya ialah pada hal kami lebih layak untuk diangkat sebagai khalifah itu! (Allah berfirman) . (sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui) tentang maslahat atau kepentingan mengenai pengangkatan Adam, dan bahwa diantara anak cucunya ada yang taat dan ada pula yang durhaka hingga terbukti dan tampaklah keadilan diantara mereka. Jawab mereka: Tuhan tidak pernah menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih tahu dari kami, karena kami lebih dulu dan melihat apa yang tidak dilihatnya. Maka Allah Taala pun menciptakan Adam dari tanah atau lapisan bumi dengan jalan mengambil dari setiap corak atau warnanya barang segenggam, lalu diaduk-Nya dengan bermacam-macam jenis air lalu di bentuk dan di tiupkan-Nya padanya roh hingga menjadi makhluk yang dapat merasa, setelah tadinya ia hanya barang beku dan tidak bernyawa. 2.1.5 Ayat MunasabahSetelah ayat sebelumnya menegaskan bahwa bumi diciptakan Allah Swt untuk manusia, ayat ini memaparkan kisah awal penciptaan manusia, makhluk yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Dikisahkan sebelum manusia diciptakan Allah Swt lebih dahulu memberitakannya kepada para malaikat.

Beberapa ayat berikutnya juga mengisahkan rentetan kejadian setelah itu.

Selain ayat ini, peristiwa awal kehidupan manusia ini- dengan perbedaan penekanan juga dikisahkan beberapa ayat lain. Diantaranya adalah QS al-Araf: 11-25, al-Hijr: 26-44, al-Isra:61-65, al-Kahfi:50, Thaha: 115-126, Shad:67-88, dan lain-lain. Pemaparan kisah itu dalam beberapa ayat mengisyaratkan, betapa pentingnya peristiwa itu hingga harus benar-benar di perhatikan setiap manusia.

2.2 Hadis Pokok Sesuai Tema

2.2.1 Teks Hadis

Dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh muttafaqunalaih sebagai berikut: : : . 2.2.2 TerjemahDari Abdillah bin Umar r.a. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan di mintai pertanggung jawabannya terhadap yang di pimpinnya. Imam itu adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin (pemelihara), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpinnya, dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pemelihara) dalam rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpin (dipeliharanya). Seorang buruh adalah pemimpin (pemelihara) pada harta majikannya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya (dipeliharanya). Dan seorang anak laki-laki adalah pemimpin (pemelihara) terhadap harta ayahnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpin (dipeliharanya). Kamu semua adalah pemimpin (pemelihara), dan bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpin (dipelihara).

2.2.3 Mana Mufrodat

: Dari Abdillah bin Umar r.a. berkata

: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda,

: Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan di mintai pertanggung jawabannya terhadap yang di pimpinnya

: Imam itu adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya

: Dan seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin (pemelihara), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpinnya : dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pemelihara) dalam rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpin (dipeliharanya).

: Seorang buruh adalah pemimpin (pemelihara) pada harta majikannya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya (dipeliharanya).

: Dan seorang anak laki-laki adalah pemimpin (pemelihara) terhadap harta ayahnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpin (dipeliharanya).

: Kamu semua adalah pemimpin (pemelihara), dan bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpin (dipelihara). 2.2.4 Takhrij Hadis

Takhrij Hadits dari Hadits tentang tema tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, yaitu terdiri dari: sanad, matan, dan perawinya.

a). Sanad Hadits

Sanad dari ayat hadits tersebut adalah:

Jadi, hadits ini disandarkan oleh sahabat nabi yaitu dari Abdillah bin Umar r.a. beliau merupakan orang yang mendengar langsung dari sabda Rasulullah mengenai Tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Karena hadits ini disandarkan oleh sahabat nabi, maka dari itu hadits ini memenuhi syarat dari hadits yang shahih. Dimana salahsatu syarat hadits yang shahih itu sanadnya harus bersambung artinya masing-masing perawi betul-betul pernah menerima hadits secara langsung dari perawi di atasnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad.

b). Matan Hadits

Matan dari ayat hadits tersebut adalah: : .

Jadi, matan itu merupakan isi dari hadits tersebut. Arti dari hadits ini adalah Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan di mintai pertanggung jawabannya terhadap yang di pimpinnya. Imam itu adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin (pemelihara), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpinnya, dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pemelihara) dalam rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpin (dipeliharanya). Seorang buruh adalah pemimpin (pemelihara) pada harta majikannya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya (dipeliharanya). Dan seorang anak laki-laki adalah pemimpin (pemelihara) terhadap harta ayahnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpin (dipeliharanya). Kamu semua adalah pemimpin (pemelihara), dan bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpin (dipelihara).

Dengan memperhatikan hadist Rasulullah SAW ini jelaslah bagi kita bahwa semua manusia ini adalah pemimpin (pemelihara) sesuai dengan status dan kedudukannya. Matan ini disampaikan atau di jelaskan langsung oleh Rasulullah yang dibuktikan dengan adanya kata ini maka dengan itu terbuktilah bahwa hadits ini termasuk ke dalam hadits shahih. Maka dari itu, hadits ini di sebut hadits makbul atau dapat diterima oleh semua umat muslim, karena disampaikan langsung oleh Rasullullah sehingga tidak ada keraguan didalamnya. c). Perawi Hadits

Perawi dalam Hadits Rasulullullah ini diriwayatkan oleh Muttafaqun Alaih, dimana itu berarti hadits ini sama saja diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Hadits yang diriwayatkan oleh Muttafaqun Alaih (Bukhari Muslim) merupakan hadits yang shahih, karena hadits ini dapat diterima (makbul) oleh semua umat dimana didalam matan hadits ini benar-benar dari Rasulullah jadi sudah tidak diragukan lagi keshahihannya. Berdasarkan ijma(konsensus) ulama ahli hadits, ulama ahli ushul fiqih, dan ulama ahli fiqih, hadits shahih wajib diamalkan karena ia merupakan salah satu hujjah (dasar) syariah islam. Kitab yang pertama yang memuat hadits shahih adalah kitab shahih al-Bukhari, kemudian shahih Muslim. Keduanya merupakan kitab yang paling shahih setelah al-Quran dan masyarakat muslim-secara konsensus-menerima kedua kitab tersebut.

2.2.5 Hadis Terkait

Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya: Mendengar dan taat kepada pemimpin adalah hak, selama tidak disuruh kepada maksiat, apabila disuruh kepada maksiat, maka tidak usah mendengar dan tidak usah taat.

Nabi Muhammad SAW. bersabda: : . .

Artinya: Dari Abi Said dan Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah bersabda, Apabila pergi tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah salah seorang di antaranya diangkat menjadi kepala rombongan.

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW. diatas nyatalah bagi kita adanya keharusan/kewajiban untuk mengangkat pemimpin. Tentunya pemimpin itu adalah pemimpin yang mementingkan kewajiban dan perbaikan kemaslahatan serta kesejahteraan umum, bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan.

2.2.6 Konteks dan Maksud Hadis

Didalam masyarakat primitif ataupun masyarakat sedang berkembang (development society) dan masyarakat tidak dapat tidak harus ada pemimpin khalifah, tanpa adanya pemimpin/ khalifah yang melaksanakan tata tertib peraturan dan hukum kehidupan di dalam masyarakat, maka akan mengalami kehancuran.

Dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh muttafaqunalaih sebagai berikut: : : . Dari Abdillah bin Umar r.a. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan di mintai pertanggung jawabannya terhadap yang di pimpinnya. Imam itu adalah pemimpin (pemelihara) dan akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpinnya. Dan seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin (pemelihara), dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpinnya, dan seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pemelihara) dalam rumah tangga suaminya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang di pimpin (dipeliharanya). Seorang buruh adalah pemimpin (pemelihara) pada harta majikannya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya (dipeliharanya). Dan seorang anak laki-laki adalah pemimpin (pemelihara) terhadap harta ayahnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap yang dipimpin (dipeliharanya). Kamu semua adalah pemimpin (pemelihara), dan bertanggung jawab terhadap semua yang dipimpin (dipelihara).Dengan memperhatikan hadist Rasulullah SAW ini jelaslah bagi kita bahwa semua manusia ini adalah pemimpin (pemelihara) sesuai dengan status dan kedudukannya.

Perkataan rain didalam hadits itu artinya: pemelihara yang selalu berusaha melaksanakan kemaslahatan sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya. Orang yang senantiasa menjalankan tugasnya serta memelihara kewajibannya itu dengan baik, maka disebutlah ia pemimpin.

Pemimpin adalah orang yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk memelihara dan memajukan yang di pimpinnya. Dan tidak pulalah dinamakan seorang pemimpin bila didalam kepemimpinannya itu tidak dapat bertanggungjawab dan memelihara serta memajukan kepemimpinannya. Bahkan sebaliknya adalah perusak yang harus diamankan dan di perbaiki.Akan tetapi bila pemimpin sudah tidak pada proporsi yang sebenarnya dalam mengemban kepentingan dan kesejahteraan rakyat maka rakyat tidak wajib taat kepada pemimpin/ pemerintah tersebut, malah disuruh untuk tidak taat dan mendengarnya sekalipun. Sudah barang tentu rakyat harus dengan segera mengambil tindakan untuk mengganti pemimpin/ pemerintah tersebut.

Rasulullah SAW. bersabda: Artinya: Mendengar dan taat kepada pemimpin adalah hak, selama tidak disuruh kepada maksiat, apabila disuruh kepada maksiat, maka tidak usah mendengar dan tidak usah taat.

Demikianlah asas-asas kepemimpinan (leadership) yang digambarkan dalam Al-Quran untuk menuju kepada suatu kemakmuran dan keadilan bersama dalam membina masyarakat sejahtera lahir dan batin. Berdasarkan asas-asas tersebut dapatlah kita melihat leadership system yang dikehendaki oleh Al-Quran (Islam) itu ialah kepemimpinan yang didasari atas asas-asas musyawarah berdasarkan petunjuk dan hukum dari Allah SWT.

Adapun musyawarah yang dimaksud ialah: musyawarah yang mengandung pengertian bahwa kekuasaan itu ada ditangan rakyat. Pemimpin adalah Mandataris Rakyat, sedang kedaulatan adalah kedaulatan, kebenaran yaitu kedaulatan hukum.

Setelah kita mengetahui konsepsi-konsepsi dasar kepemimpinan dalam Al-Quran marilah kita meninjau kembali tentang kewajiban-kewajiban pemimpin terhadap yang dipimpin (rakyat).

Kata-kata pemimpin dapat kita ambil dari kata-kata khalifah yang terdapat di berbagai ayat dan surat dalam Al-Quran sebagaimana yang telah di jelaskan pada pembahasan yang terdahulu, seumpama dalam QS. Al-Baqarah: 30, yang artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat , sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

Mengenai pengertian-pengertian daripada kata-kata khalifah dalam ayat ini ialah: penyambung, penghubung, dan yang diserahi untuk menyampaikan atau mengerjakan sesuatu.

Bila diperhatikan secara sederhana akan kelemahan manusia dalam menghadapi hidup ini, secara fisik tidak mungkin menang dari makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Karena itu tidak mungkin manusia memperoleh suatu kebahagiaan dan keamanan secara lahiriah bahkan kebatinan, maupun secara individu dan sosial, bila tidak ada yang memimpin.

Karena itu kemaslahatan umat manusia tidak bisa sempurna kecuali dengan bermasyarakat, sebab masing-masing pribadi saling butuh membutuhkan, harus mempunyai ketua (pemimpin).Berdasarkan faktor-faktor kelemahan dan keterikatan pada kelompok ataupun masyarakat, adalah suatu keharusan (kewajiban) bagi kelompok, masyarakat, bangsa untuk mengangkat seorang ketua/ pemimpin untuk memelihara dan menjalankan kemaslahatan bagi kesejahteraan umat.

Nabi Muhammad SAW. bersabda: : . .

Artinya: Dari Abi Said dan Abi Hurairah r.a. berkata: Rasulullah bersabda, Apabila pergi tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah salah seorang di antaranya diangkat menjadi kepala rombongan.

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW. diatas nyatalah bagi kita adanya keharusan/kewajiban untuk mengangkat pemimpin. Tentunya pemimpin itu adalah pemimpin yang mementingkan kewajiban dan perbaikan kemaslahatan serta kesejahteraan umum, bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan.

Mengenai kewajiban para pemimpin didalam memajukan masyarakat/ bangsa dan negara menuju kepada kesejahteraan umum lahir dan batin, dapatlah ditentukan secara garis besarnya sebagai berikut:

1. Menggali dan memikirkan aturan-aturan bagi ketertiban kesejahteraan dan kemajuan masyarakat dalam berbagai bidangnya.

2. Melaksanakan, memelihara, dan menjamin terlaksananya tata tertib, peraturan-peraturan dan hukum dalam masyarakat.

3. Membina dan memelihara keutuhan persatuan dan persatuan umat.

4. Memajukan masyarakat dalam berbagai seginya baik segi pendidikan, kesehatan, perekonomian, maupun lain-lainnya untuk mencapai kesejahteraan mereka.

5. Memelihara dan mempertahankan masyarakat dari berbagai penyakit yang merusakkan kehidupan.

6. Memberikan nasihat, advis-advis, tuntunan, dan bimbingan kepada masyarakat.

Demikianlah beberapa pokok dan ketentuan sebagai pedoman seorang pemimpin untuk memajukan masyarakat ataupun rakyat yang di pimpin menuju kesejahteraan umat.2.3 Tafsir Global a). Tafsir Ayat Menurut TAFSIR al-Waie

Allah Swt berfirman: Wa idz qala Rabbuka li al-malaikah ( ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf al-zaman (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau. Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Sedangkan khithab-nya diitujukan Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamir mukhathab pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Sehingga, Ibnu Katsir, al-Wahidi dan beberapa mufasir lain memaknainya: Ingatlah wahai Muhammad kettika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat. seruan kepada Rasulullah saw berarti juga seruan kepada umatnya.

Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Bahwa sebelum menciptakan manusia, Allah Swt terlebih dahulu memberitakannya bentuk kepada para malaikat. Kata al-malaikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak. Kata al-Samarqandi, kata ini tidak dapat diqiyaskan karena bentuk tunggalnya tanpa huruf al-alif, sementara bentuk jamaknya ada huruf al-alif-nya.

Kepada para malaikat itu Allah Swt berfirman: inni ja;il[un] fi al-ardhi khalifah (sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata ja;il[un] bermakna khaliqun. sementara al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt akan menjadika khalifah.

Kata khalifah berasal dari kata khalif (wazan fail). Tambahan huruf al-ha berfungsi li al-mubalaghah (untuk melebihkan). Secara bahasa, kata khalifah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalifah di sini adalah Adam as. Namun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat mengenai khalifah bagi siapakah Adam itu?

Pertama khalifah bagi jin atau banu al-jan. Alasannya sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banu al-jan. Namun karena mereka bbanyak berbuat kerusakan, Allah swt kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung, Adam as diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.

Kedua, khalifah bagi malaikat. Demikian pendapat al-Syaukani, al-Nasafi, dan al-Wahidi. Sebab, seteelah menyingkirkan banu al-jan, malaikatlah yang tinggal di bumi. Sehingga yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banu al-jan.Ketiga, bagi ssesama manusnya Adam beserta anak cucunya disebut sebagai khalifah karena mereka menjadi kaum yang sebagian mereka menggantikan sebagian lainnya, generasi dengan generasi lain. Diantara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir. Pendapat ini didasarkan beberappa ayat yang menyebutkan manusia sebagai khalaif , seperti firman Allah Swt: . Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS al-Anam [6]:165)Firman Allah Swt:

Artinya: Atau siapakahyang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepaada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? (QS al-Naml[27]:62).Disamping itu juga firman Allah Swt dalam QS al-Zukhruf [43]: 6, dan QS Maryam 59.

Keempat, menjadi khalifah bagi Allah di bumi dalam rangka untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan al-Syanqithi. Status ini bukan hanya disandang Adam as, namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia. Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didaasarkan firman Allah Swt:

Artinya: Hai dawud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di mukaa bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. (QS Shad [38]: 26).

Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa Dawud telah dijadikan sebagai khalifah fi al-ardh (khalifah di muka bumi). Karena kedudukan tersebut, Dawud diperintahkan untuk memutuskan perkara diantara manusia dengan berdasarkan kebenarran dan tidak mengikuti hawa nafsu.

Diantara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafssiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekedar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thaah, bukan ahl al-mashiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thaah. Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadits Mauquf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan. Padahal, perkara tersebut termasuk dalam perkara ghaib. Sehingga untuk menghasilkan keyakinan diperlukan dalil yang qathi.

Dalam frasa berikutnya disebutkan: Qali ataj alu fiha man yufsidu fiha wa yafsikud dimaa (mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah). Kata fasad berarti kerusakan. Kerusakan di bumi adalah kekufuran dan segala tindakan maksiat. Sedangkan yang dimaksud dengaan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syara. Sebenarnya, pembunuhan secara dzalim itu termasuk dalam cakupan fasad atau kerusakan. Disebutkannya secara khusus setelah ungkapan umum (athf al-khash ala al-amm) itu menunjukkan besarnya maksiat dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pembunuhan.

Lalu, dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Ayat ini dan ayat-ayat lain tidak memberitakan secara jelas tentang itu. Mengenai hal ini, ada beberapa penjelasan yang diberikan oleh para mufassir. Bahwa pengetahuan itu berasal dari pemberitahuan Allah Swt. Bisa pula dari al-lawh al-mahfuzh. Atau berdasarkan analogi terhadap sifat banu al-jan yang sebelumnya menghuni bumi. Bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah Swt. Bahwa merka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS al-Hijr [15]: 26). Atau dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezhaliman yang terjadi diantara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa.

Selanjutnya mereka juga berkata: wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka (padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?). bertasbih keppada Allah Swt berartti mensucikan-Nya dari segala sesuatu yang buruk dalam kerangka tazhim. Mereka terus mennerus memuji-Nya. Aktivitas para malaikat ini juga diberitakan dalam QS al-asyura[42]: 5.

Patut dicatat, para mufassir sepekt bahwa pertanyaan malaikat itu bukan dimaksudkan untuk membantah kehendak Allah Swt atau dilndasi sikap hasud terhadap Adam as. Sebab, mereka adalah hamba Allah Swt yang mulia, taat, dan tidak pernah membangkan perintah-Nya. Allah Swt berfirman dalam (QS. Al-Tahrim [66]:6). Juga terdapat dalam (QS. Al-Anbiya [21]:26-27).

Perkataan para malaikat itu semata bertujuan untuk meminta kejelasan atau untuk mengungkap hikmah tersembunyi dibalik penciptaan itu. Sehingga ucapan para malaikat itu dapat ditafsirkan, Wahai Tuhan kami, apa hikmah penciptaan mereka padahal diantara mereka ada yang berbuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah? Jika yang dimaksudkan adalah beribadah kepada-Mu, maka kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. Tidak ada suatu masalah yang kami timbulkan, mengapa tidak mencukupkan pada diri kami saja?

Allah Swt menjawab pertanyaan para malaikat itu dengan firman-Nya: Qaala innii alamu maa laa talamuun (Tuhan berfirman: sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui). Bahwa Allah Swt lebih mengetahui kemaslahatan yang rajih pada penciptaan itu. Sesungguhnya Dia akan mengutus para rasul di tengah-tengah manusia. Di antara mereka juga ada orang-orang yang membenarkan (al-shiddquun), syahid, shalih, ahli ibadah, zhuhud, wali, berbuat kebajikan, al-muqarrabuun, ulama al-aamiluun, khusyu, mencintai Allah Swt dan mengikuti rasul-rasul-Nya.

- KEWAJIBAN TEGAKNYA KHALIFAH

Ayat ini secara jelas menerangkan kedudukan manusia di dunia. Sejak awal penciptaanya, manusia telah ditetapkan sebagai khalifah di muka bumi. Sebagaimana telah terungkap, kedudukan sebagai khalifah mewajibkan manusia untuk memutuskan dan menerapkan perkara-perkara kehidupan dengan hukum-hukum Allah Swt.

Untuk keperluan itu Allah Swt pun telah mengutus para nabi dan rasul. Mereka semua diutus untuk menyampaikan kepada manusia risalah-Nya yang juga berisi hukum-hukum yang wajib diterapkan. Kendati dalam perkara akidah semua nabi dan rasul itu sama, yakni akidah tauhid, namun dalam perkara hukum mereka diberikan syirah dam minhaaj yang berbeda-beda(Qs. al-Maidah [5]:48). Masing-masing nabi dan rasul beserta umatnya wajib terikat dengan hukum yang berlaku buat mereka. Tatkala mereka menerapkan dan memutuskan hukum berdasarkan syariah-Nya, maka mereka telah melaksanakan tugasnya sebagai khalifah.

Kepada nabi Muhammad saw, Allah telah memberikan diin islam. Sebagai diin paripurna, islam memiliki syariah yang syaamil kaamil (komprehensif lagi sempurna) lihat (QS. Al-Nahl [16]:86 dan al-Maidah [5]:3). Tidak ada satupun aspek kehidupan yang dibiarkan lepas begitu saja, tanpa islam mengaturnya. Seluruh interaksi manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya sendiri, maupun antar sesama manusia diatur oleh islam.

Interaksi manusia dengan Allah Swt, diatur dalam akidah dan hukum-hukum ibadah. Interaksi manusia dengan dirinya sendiri, diatur dengan hukum-hukum seputar makanan dan minuman, pakaian, dan akhlak. Sementara interaksi sesama manusia di medan kehidupan diatur dalam hukum-hukum muamalat dan uqubat.Seluruh hukum islam wajib diterapkan (QS. Al-Maidah [5]:49, al-Hasyr [59]:7). Hanya saja, diantara hukum-hukum syara itu ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu, seperti akidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Juga beberapa hukum muamalat yang pelaksanannya dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara, seperti perdagangan, ijaarah, pernikahan, warisan, dan sebagainya.

Ada pula hukum-hukum syara yang pelaksanannya dibebankan kepada negara. Hukum-hukum tersebut adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan aturan hubungan antara sesama manusia, semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri. Juga, berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sangsi yang diberikan pada setiap bentuk pelanggaran hukum syara. Hukum-hukum seprti tidak boleh dilakukan oleh individu. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olenya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dharuri (sangat penting) untuk melaksanakan islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil bisa memberlakukan syariah secara total. Banyak sekali hukum syara yang terbengkalai. Padahal, syariah wajib diterapkan secara total. \

Patut ditegaskan, negara yang diterapkan islam untuk menerapkan syariah adalah khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Rasulullah saw bersabda:

Artinya : ditengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa tiu ketika berkekehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa khilafah alaa minhaaaj al-nubuwwah (HR. Ahmad). Rasulullah saw juga menetapkan, para khalifah adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur dan mengurusi umatnya setelan beliau wafat:

Artinya: dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, digantikan oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Tetapi nanti akan ada banyak khalifah (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, dengan lafadz Al-Bukhari).Khalifah itulah yang diwajibkan untuk diangkat dengan jalan baiat. Sehingga, dengan adanya khalifah, kewajiban adanya baiat dipundak setiap muslim dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika tidak ada khalifah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada dipundak setiap kaum muslim. Rasulullah mencela keadaan tersebut dengan menyebut para pelakunya mati jahiliyah. Beliau bersabda:

Artinya: dan barang siapa mati, sementara diatas pundaknya tidak ada baiat, maka matinya dalam keadaan jahiliyah (HR. Muslim).

Jika realita hukum islam ini dihubungkan dengan kedudukan manusia sebagai khalifah dibumi, maka dapat dinyatakan: kedudukan umat rasulullua saw hanya bisa menjadi khalifah (dalam pengertian QS Al- Baqarah [2]:30) secara sempurna jika kehidupannya dibawah naungan khilafah yang dipimpin seorang khalifah (dalam pengertian syara, yakni: orang yang mewakili umat untuk menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah). Sebab, hanya ketika ada khilafah seluruh hukum-hukum Allah Swt bisa dilaksanakan secara total.

Bertolak dari pemikiran ini, tak mengherankan jika al-Qurthubi menyatakan, ayat ini menjadi dasar wajibnya mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum khalifah. Pendapat ini juga didukung al-Zuhaili. Mereka menegaskan, seluruh ulama sepakat tentng wajibnya mengangkat khalifah diantara umat dan para imam. Menurutnya, hanya Abu Bakr al-Asham dari kalangan mutazilah yang saja yang menyimpang dari pendapat tersebut.

Disamping ayat ini, kedua mufassir itu juga mendassrkan pada (QS. Shad [38]:26 dan QS. Al-Nur [24]:55). Para sahabat juga berijma untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq setelah perselisihan kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah Bani Saidah.

Walhasil, khilafah wajib ditegakkan. Setiap muslimpun wajib turut berjuang bahu-membahu menegakkan khilafah yang menerapkan islam dan menyebarkannya keseluruh dunia dengan dawah dan jihad. WaLlah alam bi al-shawab.

b). Tafsir Adhwaul Bayan

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Qs. Al Baqarah [2]:30)

Berkaitan dengan firman Allah seorang khalifah ini, terdapat dua macam penafsiran di kalangan para ulama:

Pertama: Yang dimaksud dengan khalifah di sini adalah nenek moyang kita, Nabi Adam semoga keberkahan dan keselamatan tercurahkan kepadanya. Sebab, Nabi Adam merupakan khalifatullah di bumi ini yang bertugas untuk melaksanakan perintah perintahNya. Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu adalah disebabkan karena Nabi Adam telah menjadi khalf bagi jin yang telah menghuni bumi ini sebelum Adam di turunkan. Berdasarkan pendapat ini, maka kata khalifah merupakan sebuah kata yang mengikuti pola (wazan) faiilah dengan arti faail (sang pelaku). Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu di sebabkan karena ketika Adam wafat, ia akan digantikan oleh orang yang hidup setelahnya. Berdasarkan pendapat ini, maka kata khalifah merupakan sebuah kata yang mengikuti pola faiilah tapi dengan arti mafuul (sesuatu yang terkena pekerjaan/menjadi obyek). Penafsiran yang menyatakan bahwa Adam merupakan khalifah yang dimaksud dalam ayat ini merupakan sebuah pemahaman yang terllihat jelas dan pertama kali terlintas dalam benak seseorang ketika ia memperhatikan konteks ayat ini.

Kedua : Kata Khalifah merupakan sebuah kata mufrad yang mengandung arti jamak, sehingga maksudnya adalah para khalifah. Pendapat ini merupakan pendapat yang di pilih oleh ibnu katsir. Kata tunggal yang merupakan ism jins (kata yang menunjukkan jenis) yang biasa digunakan dalam percakapan orang-orang Arab untuk menunjukkan arti jamak, seperti pada firman Allah Swt, (QS. Al-Qamar [54]:54) sesungguhnya orang orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai. Meskipun kata nahar (sungai) merupakan kata tunggal, akan tetapi maksudnya adalah sungai-sungai (jamak). Jika ayat tersebut di atas mengandung dua kemungkinan arti seperti yang telah di sebutkan di atas. Maka ketahuilah bahwa ada beberapa ayat yang menunjukkan arti kedua, yaitu bahwa yang di maksud dengan kata khalifah adalah para khalifah yang telah mencakup Adam dan anak keturunannya, jadi tidak hanya Adam saja yang ada melainkan yang dimaksud khalifah disini juga anak keturunannya Adam as., sebagaimana seperti dalam firman Allh Swt dalam (QS. Al-Baqarah [2]:30). Sebagaimana diketahui, Adam -semoga keberkahan dan keselamtan tercurahkan kepadanya dan juga Nabi Muhammad Saw- Mereka bukanlah termasuk orang yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Selain itu juga ayat yang menjelaskan tentang khalifah ini terdapat dalam firman Allah Swt, dalam (Qs. Al Anaam [6] 165); dan juga dalam (Qs. An-Naml [27]: 62); serta masih banyak lagi ayat lainnya.

Pendapat kedua ini dapat di bantah dengan mengatakan bahwa yang di maksud dengan Khalifah pada ayat tersebut adalah Adam As. Kemudian Allah Swt telah memberitahukan kepada para malaikat bahwa didalam anak keturunan Adam akan ada orang yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Yang dimaksud dengan kekhilafahan Adam adalah (khilaafahsyariyyah (kepemimpinan yang legal dalam agama), sedangkan kekhilafan anak keturunannya adalah lebih umum dimana jika salah satu generasi pergi maka mereka akan digantikan oleh generasi lainnya.

Catatan: Dalam menafsirkan ayat yang mulia, Imam Qurthubi menjelaskan, Ayat ini merupakan ayat yang menjadi dasar dalam hal pengangkatan seorang imam (pemimpin) atau khalifah yang harus didengar perkataannya dan ditaati perintahnya. Semua itu bertujuan agar umat islam dapat bersatu dan kebijakan sang khalifah pun dapat dilaksanakan dengan baik. Tidak ada perselisihan diantara umat islam ataupun para imam mengenai kewajiban untuk menaati perintah sang imam tersebut, kecuali ada satu pendapat yang diriwayatkan Al-Asham. Sayangnya, Al-Asham merupakan orang yang tidak mengetahui hukum-hukum syariah dengan baik hingga diapun berkata, Allah akan menjadikan beberapa orang khalifah dari golongan orang-orang yang beriman, seperti yang terdapat dalam dalil atau firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]:30, QS. Shaad [38]:26, QS. An-Nur [24]:55, dan masih banyak ayat-ayat lainnya.

Jika Anda telah mengetahui tentang wajibnya pengangkatan imam (pemimpin) terbesar bagi umat islam itu, maka ketahuilah bahwa jabatan imamah (kepemimpinan) itu akan diberikan kepada seseorang melalui salah satu dari hal-hal berikut ini:

Pertama: Adanya penegasan dari Rasulullah Saw bahwa Fulan-lah yang akan menjadi imam (pemimpin). Jika ada penegasan seperti itu, maka jabatan imamah (kepemimpinan) pun harus diberikan kepada orang tersebut.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakar itu melalui jalan ini. Sebab, dalam pemerintahan Nabi Saw kepada umat islam untuk mendahulukan Abu Bakar sebagai imam shalat dimana imamah jenis ini merupakan sesuatu yang paling penting- terdapat petunjuk kepada mereka untuk mendahulukan Abu Bakar sebagai pemegang imamah kubraa (kepemimpinan besar). Hal ini merupakan bukti yang sangat jelas.

Kedua: kesepakatan ahlul halli wal aqdi (majelis permusyawaratan tertinggi) untuk membaiat (mengkukuhkan) sesejorang sebagai imam (pemimpin).

Sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakar itu adalah didasarkan pada kesepakatan ini yang berasal dari kaum muhajirin dan kaum anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan diantara mereka. Dalam hal ini, sikap tidak rela sebagian orfang diantara mereka terhadap kesepakatan tersebut tidak dianggap. Seperti sikap tidak relanya Saad bin Ubadah ra yang tidak mau menerima pengukuhan Abu Bakar ra.

Ketiga: Penunjukan yang telah dilakukan oleh khalifah sebelumny, seperti yang telah dilakukan oleh Abu Bakar kepada Umar ra.

Cara seperti ini juga telah dilakukan oleh Umar ra namun dia menyerahkan masalah pengangkatan khalifah itu kepada Majelis Syuuraa yang terdiri dari 6 orang sahabat rasulullah, dimana rasulullah Saw telah ridha (mempercayakan) kepada mereka hingga beliau meninggal dunia.

Keempat: keberhasilan seseorang dalam mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan mengggunakan pedangnya, lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan (kepemimpinan) dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat islampun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat islam akan taat kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat islam dan dapat mnumpuhkan darah mereka.2.4 Analisis

Berdasarkan QS.Al-Baqarah:30, maka terdapat tiga poin yang dapat dianalisis dari isi kandungan ayat tersebut, diantaranya:

a) Ayat ini telah menjelaskan tentang percakapan antara Allah dengan malaikat, ketika Allah hendak menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi, yaitu sebagai pengemban amanat Allah di muka bumi untuk melakukan usaha-usaha agar alam semesta dan segala isinya tetap lestari, sehingga umat manusia dapat mengambil manfaat, menggali, dan mengolahnya untuk kesejahteraan umat manusia dan sekaligus sebagai bekal dalam beribadah dan beramal sholeh.

b) Ayat ini juga menjelaskan tanggapan malaikat yang kurang setuju atas keinginan Allah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, alasannya karena manusia cenderung untuk berbuat kerusakan di bumi dan suka menumpahkan darah.

c) Di akhir ayat ini dijelaskan bahwa keputusan Allah sudah bulat, menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi.

Didalam hadits Rasulullah SAW, riwayat muttafaqun alaih diatas jelaslah bagi kita bahwa semua manusia itu adalah pemimpin (pemelihara) sesuai dengan status dan kedudukannya.

Perkataan rain didalam hadits itu artinya: pemelihara yang selalu berusaha melaksanakan kemaslahatan sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya.

Orang yang senantiasa menjalankan tugasnya serta memelihara kewajibannya itu dengan baik, maka disebutlah ia pemimpin.

Pemimpin adalah orang yang mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk memelihara dan memajukan yang di pimpinnya.

Dan tidak pulalah dinamakan seorang pemimpin bila didalam kepemimpinannya itu tidak dapat bertanggungjawab dan memelihara serta memajukan kepemimpinannya. Bahkan sebaliknya adalah perusak yang harus diamankan dan di perbaiki.

Dalam al-Quran surah Al-Anam ayat 165 Allah berfirman:

Artinya: dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, karena Dia hendak mengujimu tentang apa yang dibeerikan-Nya padamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kemudian dalam ayat yang lain disebutkan sebagai berikut: Al-Baqarah:30. Dengan demikian dapatlah kita meyakini bahwa manusia itu salah satu tujuan diciptakan Tuhan adalah untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi ini. Bila ayat ini dihubungkan dengan hadist sebelumnya, maka tampaklah bagi kita suatu korelasi yang erat antara keduanya, dimana semua manusia ini adalah pemimpin, dan memang Allah pun menciptakan manusia salah satu tujuannya adalah sebagai khalifah.

Kemudian bila kita bertanya apakah semua manusia ini harus menjadi pemimpin yang menjabat sebagai presiden, menteri, gubernur, rector, dekan, dan lain sebagainya? Tentu jabatan kepemimpinan yang demikian tidak semua orang mampu karena membutuhkan dan memerlukan keutamaan tersendiri.

Namun pemimpin yang di maksud itu tentunya sesuai dengan status atau kedudukan serta kemampuannnya dalam mengemban dan memelihara status tersebut, sehingga bila seorang ayah sebagai pemimpin keluarga, dapat bertanggungjawab dan memelihara dengan baik dan maju maka ayah tersebut sudah dapat dinamai seorang pemimpin yang berhasil.

Sehubungan dengan kemampuan manusia ini dalam mengemban statusnya dan menjalankan fungsinya. Allah berfirman dalam Al-Quran: Al-Baqarah:286 yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat (siksa dari kejahatan) yang dikerjakannya.

Dengan bertitik tolak pada beberapa ayat di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa manusia adalah sebagai pemimpin di bumi Allah ini. Sudah barang tentu sifat kepemimpinan yang dikehendaki dalam Al-Quran ialah pemimpin yang menggambarkan aspirasi dan kemampuan segala lapisan masyarakat, bukan pemimpin yang mempunyai sifat mementingkan segolongan lapisan masyarakat dan menekan sebagian golongan masyarakat yang lain, ataupun pimpinan yang dictator.

Max Weber seorang ahli sosiologi membagi sifat-sifat kepemimpinan itu kepada tiga macam:

1. Kekuasaan yang bersifat Rasional, berdasarkan kepercayaan akan sahnya peraturan hukum yang tersusun rasional dan kepercayaan kepada pembesar-pembesar yang di serahi melakukan kekuasaan itu.

2. Kekuasaan yang Tradisional, dimana atas dasar tradisi dikehendaki ketaatan dan dimana absahnya pembesar-pembesar menurut tradisi itu oleh semua orang yang bersangkutan dianggap sebagai yang sewajarnya.

3. Kekuasaan yang bersifat kharisma, artinya kekuasaan yang bersendikan kesetiaan yang dilimpahkan kepada seorang pemimpin atau sejumlah orang pemimpin.Pada bagian pertama dari teori Max Weber ini dapatlah diketahui bahwa dalam kekuasaan yang bersifat Rasional segala ketundukan dan kesetiaan itu lebih banyak ditujukan kepada peraturan-peraturan dan hukum-hukum, bukan kepada perseoarang.

Hal ini adalah karena pemimpin-pemimpin/ penguasa-penguasa diangkat oleh masyarakat untuk menjalankan dan melakukan sesuatu kekuasaan.

Bentuk pimpinan rasional ini jauh sekali bedanya dengan bentuk pimpinan yang tradisional, sebab pimpinan disini didasarkan kepada sejarah dan kebangsawanan, hal ini dapat diumpamakan kepemimpinan seorang raja dan kepala suku. Ketaatan dan kesetiaan masyarakat pada pimpinannya adalah karena melihat kepada sejarah dan keturunannya. Bukan kepada kemampuan dan kepandaian seorang pemimpin.

Sedang dalam bentuk rasional seorang pemimpin itu harus didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional, kecakapan dan kepandaiannya serta kesetiaannya terhadap amanah rakyat adalah merupakan landasan pengangkatannya sebagai seorang pemimpin.

Kemudian dalam bentuk pimpinan yang kharismatik adalah berdasarkan kepercayaan dan keyakinan yang emosional atas kekuatan dan kebijaksanaan pemimpin.

Adapun mengenai ketaatan dan kesetiaan rakyat terhadap pimpinannya didasarkan kepada kepercayaan yang penuh dan dicintai serta dikagumi, bukan memandang kepada benar tidaknya sesuatu tindakan pemimpin. Kharisma artinya penumpahan ampun.

Demikianlah skema Max Weber yang terkenal itu tentang pembagian tiga macam sifat-sifat seorang leader.

Suatu hal yang sangat perlu diketahui, bagaimanakah seorang leader (pemimpin) itu dalam membawa leadership mission (misi kepemimpinan)-nya di tengah-tengah umat dan bangsa yang heterogen.

Maka pimpinan itu dapat digolongkan kepada pimpinan yang otoriter, pimpinan demokratis dan pimpinan Laisserz Faire.

1. Pimpinan OtoriterPimpinan yang otoriter adalah pemimpin yang memegang kekuasaan pada tangan sendiri, tidak memberikan kebebasan kepada orang yang dipimpinnya.

Segala ketentuan dan hukum yang berlaku dalam pimpinan otoriter ini adalah dibuat sendiri tanpa memberikan kesempatan kepada rakyatnya. Rakyat hanyalah menerima keputusan-keputusan dan melaksanakannya. Hal yang semacam ini sangat berakibat negative pada rakyat, karena rakyat terbiasa menerima perintah dan hilang rasa ketegasan dan kreatif sehingga masa depannya tidak dapat dilihatnya secara positif.

Kemudian pimpinan otoriter ini tidak mempunyai kepercayaan kepada rakyatnya, sehingga segala sesuatu yang dikerjakan oleh rakyat (anggota)-nya pun harus ditentukan sendiri.

2. Pimpinan DemokratisPimpinan yang demokratis selalu memperhatikan pendapat-pendapat orang yang di pimpinnya dan mengikutsertakan mereka dalam menentukan langkah-langkah yang akan diputuskannya, karena tugas kewajiban yang di percayakan kepadanya.

Bila pimpinan otiriter segala sesuatu ketentuan dan keputusan bersifat memaksa kepada yang dipimpinnya, maka pimpinan yang demokratis adalah sebaliknya, pimpinan demokratis setiap langkah dan kegiatan terlebih dahulu di bawa kepada sidang musyawarah untuk dibahas dan diputuskan.

Musyawarah adalah wadah tempat memutuskan segala sesuatunya. Sebagai seorang pemimpin demokratis segala pendapatnya tidak selalu memberikan tekanan-tekanan kepada yang dipimpinnya supaya mematuhi dan melaksanakan pendapatnya, tetapi yang dipimpin juga mempunyai hak untuk memberikan pendapat, dan pemimpin berkewajiban juga menerimanya supaya diselesaikan secara demokratis.

Oleh karena itu demokrasi hanyalah ada pada Negara Hukum, artinya pada negara yang tidak ada perbuatan sewenang-wenang dari pihak yang berwajib dan berkuasa, semuanya harus berdasarkan pada undang-undang.

Sebab itu dalam Negara Demokrasi hak-hak asasi setiap manusia dalam berpendapat, bersuara, memilih, bekerja, mengajukan perbaikan mendapat perlindungan dari hukum yang telah ditetapkan bersama. Tetapi bila terjadi yang sebaliknya pada Negara Demokrasi itu adalah Demokrasi Otoriter yang konyol dan brutal.

3. Pemimpin Laisserz FairePemimpin Laisserz Faire dikatakan juga pemimpin liberal memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada orang-orang yang dipimpinnya untuk menentukan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan mereka, sehingga dengan demikian arti kepemimpinnya hampir-hampir tidak ada.

Dapatlah kita ambil suatu contoh dari politik Laisserz Faire dalam dunia ekonomi yang mengkehendaki liberalisme.

Menurut ajaran liberalisme dari golongan Manchester; mereka tidak suka ekonomi yang di kendalikan oleh pemerintah, melainkan harus ekonomi itu dibiarkan saja mengatur keseimbangan dalam masyarakat.

Dengan demikian cara memimpin dalam pimpinan Laisserz Faire adalah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada perseorangan, kelompok ataupun masyarakat tanpa campur tangan pemimpin.

Pemimpin sedikitpun tidak akan memberikan komentarnnya mengenai kegiatan orang-orang yang di pimpinnya, kecuali apabila dimintai.

Bercermin pada keterangan-keterangan di atas tentang sifat dan cara pemimpin dalam membawa leadership mission-nya terungkaplah beberapa corak kepemimpinan antara sistem dengan sistem yang lainnya sehingga dapat menimbulkan beberapa kontradiksi yang menyolok.

Pimpinan otoriter digambarkan sebagai pimpinan diktator dimana kekuasaannya tidak terbatas, sehingga menimbulkan perasaan negatif pada anggota/rakyat yang di pimpinnya tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dan mengidentifisir dirinya sebagai tujuan pemimpin. Mereka itu hanya mengerjakan apa-apa yang di perintahkan pemimpin, dan akibatnya kreatif anggota/ rakyatnya hilang. Bila pemimpin tidak ada kegiatan-kegiatan mereka pun akan berhenti dan mereka bekerja bukan atas kesadaran dan keinsafan mereka, tapi karena perintah dari pemimpin otoriter.

Sebaliknya dalam masyarakat atau kelompok yang dipimpin oleh Laisserz Faire, memberikan kebebasan pada anggota/ rakyatnya untuk melaksanakan segala kegiatan-kegiatan tanpa adanya ikatan dari pimpinannya.

Leadership semacam ini bukanlah merupakan suatu citra kebaikan manusia, dan jalan yang baik untuk ditempuh, karena didalam masyarakat atau antara perorangan dan kelompok akan timbul persaingan yang tajam untuk memperoleh sesuatu hasil umpamanya dalam ekonomi, politik sehingga orang yang miskin dan lemah semakin miskin, lemah dan terintimidasi.

Sehingga wujud masyarakat demokratis, hal yang tersebut diatas tidak di dapati karena dalam pimpinan yang demokratis rasa persahabatan (brotherhood), solidaritas dan kerjasama selalu dijiwai oleh setiap anggota ataupun rakyat. Dalam pimpinan demokratis semua kegiatan-kegiatan dan ketentuan hukum serta pedoman umum di putuskan dalam suatu forum alat pemersatu, yaitu dalam musyawarah dan mufakat yang dijiwai dengan rasa persaudaraan dan kepentingan bersama.Dengan demikian semua anggota akan bertanggung jawab dan sadar akan kewajiban masing-masing untuk dilaksanakan karena mereka telah bersama-sama membuat suatu keputusan dan ketepatan. Ketaatan dan kepatuhan mereka adalah kepada hukum bukan kepada pimpinan. Pimpinan adalah sebagai pelaksana saja daripada seluruh keputusan yang sudah di tetapkan. Oleh Karen itulah dalam pimpinan demokrasi seorang pemimpin tidak boleh berbuat sesuka hatinya dan bertindak sewenang-wenang terhadap yang dipimpinnya.

Demikianlah beberapa bentuk dan cara pemimpin dalam pimpinannya yang sebagiannya masih berlaku ditengah-tengah masyarakat, bangsa.

Kalau demikian dapatlah teori Max Weber, maupun teori otoriter, demokrasi dan Laisserz Faire, diterima menurut konsepsi Al-Quran untuk diterapkan pada manusia yang benar-benar menginginkan suatu kemuliaan dan keharmonisan hidup. Bila dianalisa kesemua sifat dan cara pemimpin yang di sebutkan di atas, sadarlah kita bahwa itu semua adalah ciptaan rasio manusia. Dan sebagai manusia pastilah mempunyai kelemahan, kekurangan, dan kesalahan. Justru itulah datang konsep Al-Quran yang autentisitas, abadi, harmonis berlaku untuk semua manusia dan bangsa.

Lebih jelasnya marilah kita teliti beberapa kelemahan, kesalahan daripada sifat dan cara pimpinan tersebut. Dapat kita simpulkan bahwa pimpinan otoriter dan Laisserz Faire sama sekali tidak dapat diterima, dan di tolak oleh konsep Al-Quran. Karena dalam pimpinan otoriter hak asasi manusia tertindas, tertekan segala sesuatunya ditentukan dan ditetapkan oleh pimpinan, kebebasan tidak ada. Sebaliknya dalam pimpinan Laisserz Faire kebebasan dan persaingan serta ketidakterikatan dalam masyarakat merupakan dasar dan cirri pemerintahannya. Sehingga yang miskin dan lemah tetap tertindas, yang minoritas tetap terpencil dan keluar dari gelanggang kehidupan, sedang yang kaya dan penguasa juga golongan mayoritas semakin kaya, kuat, dan maju. Oleh karena itu kemaslahatan umum tidak mendapat jaminan untuk terwujud.

Sementara bentuk pimpinan yang demokratis sebagian sesuai dengan konsepsi Al-Quran, sebab dalam pimpinan sistem demokratis didasari atas persamaan, segala ketentuan dan ketetapan adalah hasil keputusan bersama dan ketaatan serta kepatuhan anggotanya bukan kepada pemimpin tetapi adalah kepada hukum yang telah dibentuk beersama. Disamping ada hal-hal yang tidak dapat di terima oleh konsep Al-Quran seumpama sistem demokrasi barat.

Sistem demokrasi barat, ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum di buat dan di putuskan sepenuhnya oleh rakyat berdasarkan suara terbanyak.

Suara terbanyak dapat memutuskan untuk mencabut segala hukum yang berlaku dan menggantinya dengan hukum-hukum yang mereka kehendaki.

Sistem distribusi suara terbanyak inilah yang tidak sesuai dengan pandangan konsepsi Al-Quran, sebab dengan demikian akan tertindaslah golongan minoritas dan lemah, akhirnya hukum dan ketetapan yang tidak di putuskan oleh suara terbanyak akan tertindas dan tertekan, karena yang dianggap menentukan ialah suara terbanyak. Apabila golongan mayoritas menghendaki perubahan hukum dan undang-undang maka bagaimanapun bentuknya golongan minoritas hrus menerimanya.

Sebagai contoh di Inggris, homosexual dipandang sebagai kejahatan sedang perzinaaan yang di lakukan oleh orang-orang dewasa dan dengan kehendak masing-masing tidak dipandang sebagai kejahatan. Padahal perzinaan terang sekali akibat-akibatnya lebih besar daripada homosexual. Di Afrika Selatan dikeluarkan undang-undang rasdiskriminasi yang memperbedakan orang-orang yang berkulit putih dengan yang berkulit hitam.

Syukurlah sekarang ini kita telah mengetahui dari majalah-majalah dan surat-surat kabar bahwa mereka yang digolongkan rendah yaitu kulit hitam di Amerika Serikat, Afrika, Inggris, dimana saat ini sedang memberontak menuntut persamaan hak dalam segala lapangan hidup dan kehidupan seperti kulit putih, bahkan mereka menuntut suatu pemerintahan sendiri di bawah kekuasaan orang-orang kulit hitam sendiri seperti dinegara-negara yang mayoritas kulit hitam di Afrika.

Perzinaan, rasdiskriminasi jelas sangat bertentangan dengan fitnah dan kodrat manusia yang sangat di tentang oleh konsepsi ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Quran. Membedakan wrna kulit, kebangsawanan, kedudukan, suku, dan marga yang mengakibatkan rendahnya martabat dan kemuliaan manusia bahkan perbudakan.

Oleh karena itu segala bentuk diskriminasi adalah suatu pemerkosaan dan menginjak-nginjak hak asasi manusia, intimidasi kejam sangat terkutuk. Untuk itulah Al-Quran sebagai bentuk kitab suci yang terakhir datang mengangkat dan memulihkan serta menjamin seluruh hak-hak kemanusiaan dalam wujud kesejahteraan dan kebahagiaan bersama didunia dan akhirat.

Sejarah telah membuktikan kolonial Belanda dan Jepang di Indonesia, koloni Inggris di Malaysia, koloni Prancis di Chad sungguh-sungguh membawa manusia kealam kejahiliahan dan kejumudan.

Amatlah berbahagianya seluruh manusia dengan datangnya kitab suci Al-Quran yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad SAW. yang membawa ajaran yang sesuai fitrah dan kodrat manusia dalam segala lapangan hidup dan kehidupan. Seluruh peraturan hidup dan ketetapan hidup dan pelaksanaannya benar-benar didasari atas kebaikan dan kemuliaan manusia seluruhnya. Bukan karena mayoritas (suara terbanyak), kebangsawanan, kedudukan suku, dan ras.

Keputusan bukanlah didasarkan atas suara terbanyak melainkan atas kebenaran atas hukum-hukum dan prinsip-prinsip islam. Karena itu tidak akan terjadi keputusan-keputusan yang melindungi kejahatan, memperkosa hak-hak kemanusiaan atau merugikan umat manusia.

Hal ini dapat kita lihat dalam kitab suci Al-Quran sebagai berikut, yang artinya: putuskanlah perkara diantara manusia dengan kebenaran, dan janganlah engkau turut kemauan (nafsu), nanti engkau akan disesatkannya dari jalan Tuhan. Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Tuhan itu, akan memperoleh siksaan yang sangat (keras), disebabkan mereka melupakan hari perhitungan.

Sesungguhnya Kami menurunkan kitab kepada engkau dengan sebenarnya, supaya engkau dapat mengadili manusia menurut yang telah di perlihatkan Tuhan kepada engkau. Janganlah engkau menjadi pembela orang-orang yang khianat.

Dua ayat yang tersebut diatas adalah menuntut manusia supaya didalam menghukum dan mengadili serta memutuskan segala sesuatu agar di landasi diatas prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.

Disamping itu dalam Al-Quran juga di terangkan beberapa prinsip dan dasar-dasar kepemimpinan untuk ditaati oleh manusia sebagai berikut:

1. Persamaan dan persaudaraanPrinsip dan persamaan serta persaudaraan ini dapat dilihat dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut:

Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Tuhan ialah yang lebih bertakwa (memelihara diri dari kejahatan). Sesungguhnya Tuhan itu Maha Tahu dan Mengerti.

Dalam hal persaudaraan ditandaskan bahwa setiap orang yang beriman itu adalah bersaudara, berlaku bagi setiap mukmin. Apabila dia seorang pejabat, rakyat, raja, dan budak, semuanya adalah bersaudara derajatnya pun sama di sisi Allah SWT. Allah berfirman yang artinya: orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu, dan takutlah (memenuhi kewajiban) terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.

Oleh karena itu sebagai seorang pemimpin, pejabat kepala sesuatu instansi dan perusahaan tidak diperkenankan merasakan dirinya superman ataupun high class, lebih mulia, terhormat, dan bawahannya harus patuh dan tunduk kepada semua kemauannya. Akan tetapi konsepsi Al-Quran tidak membenarkan tindakan yang semacam itu bahkan harus mengorbankan sebagian harta, waktu bahkan jiwa dan raganya untuk kepentingan kemaslahatan umat seluruhnya.2. MusyawarahPemimpin tidak boleh bertindak otoriter atau diktator terhadap orang yang dipimpinnya, tetapi harus selalu musyawarah dengan mereka. Allah berfirman dalam Al-Quran dalam surat Asy-Syura ayat 38 sebagai berikut yang artinya: dan bagi sekalian mereka yang memenuhi seruan Tuhan mereka mendirikan sembahyang, sedang pekerjaan mereka dipermusyawarahankan diantara mereka dan mereka menafkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Allah pun berfirman dalam ayat dan surat yang lain, yang artinya: dan adakanlah musyawarah dengan mereka dalam beberapa urusan, dan bila engkau telah mempunyai keputusan yang tetap, percayakanlah dirimu kepada Tuhan. Sesungguhnya Tuhan itu menyukai orang-orang yang mempercayakan dirinya kepada-Nya.

Prinsip musyawarah adalah sendi-sendi demokrasi yang dibangun semenjak Al-Quran diturunkan 15 abad yang lalu. Dalam tafsir Al-Quran yang dikarang oleh H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, musyawarah yang dimaksud disini ialah melakukan permusyawaratan dalam urusan, terutama dalam urusan pemerintahan, hal-hal yang penting dalam masyarakat mereka menentukan perang dan damai, dan soal-soal yang lain.3. Hukum itu hanyalah pada Allah dan pemimpin di amati oleh masyarakatHukum dan persoalan apapun yang hendak di bahas dan ditetapkan manusia sekali-kali tidak boleh bertentangan dengan hukum yang ada di dalam Al-Quran, karena hukum yang tertinggi adalah hukum Allah. Hal ini dapatlah dilihat dalam Al-Quran, yang artinya: Tiadalah hukum itu, melainkan punya Allah. Dia menyebut (menerangkan) kebenaran (Dia menetapkan yang hak dengan seterang-terangnya). Dan dia sebaik-baik pemutus perkara antara hamba-hamba-Nya dan menetapkan hukum.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman, yang artinya: Dan hendaklah engkau hukum di antara mereka, menurut apa yang diturunkan Tuhan.

Dalam ayat yang lain juga Allah menyuruh kita kembali kepada Al-Quran bila terdapat perselisihan di dalam suatu masalah. Seperti firman Allah yang artinya: Dan kalau kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Tuhan Hari Kemudian, itulah yang lebih baik dan lebih bagus kesudahannya.

Adapun yang dimaksud perbantahan atau berlainan pendapat di dalam ayat ini Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-shiddieqy berpendapat, bahwa ayat ini mewajibkan kepada kita mengembalikan segala perselisihan yang terjadi antara kita dengan umara, atau antara kita dengan ulama kepada Kitab dan Sunnah.4. Ketaatan Umat kepada Pemimpin

Menurut konsepsi Al-Quran bahwa ketaatan kepada pemimpin adalah wajib, sebab pemimpin itulah yang memikul dan menjalankan seluruh perbaikan kesejahteraan dan kemajuan didalam masyarakat. Akan tetapi ketaatan rakyat kepada pemimpinnya adalah selama pemimpin/ pemerintah tidak keluar dari kewajibannya, tidak mementingkan dirinya sendiri atau golongan, tidak membawa kehancuran atau permusuhan. Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya: Hai segala mereka yang telah berfirman, taatilah oleh kamu akan Allah, dan taatilah oleh kamu akan Rasul dan akan Ulul Amri daripada kamu".

Ketaatan kepada Ulil Amri disini maksudnya ialah: orang-orang yang mengurus kepentingan kamu, dengan pengertian yang luas, yaitu pemimpin-pemimpin kaum muslimin baik dalam lapangan keduniaan atau kerohanian.

Akan tetapi bila pemimpin sudah tidak pada proporsi yang sebenarnya dalam mengemban kepentingan dan kesejahteraan rakyat maka rakyat tidak wajib taat kepada pemimpin/ pemerintah tersebut, malah disuruh untuk tidak taat dan mendengarnya sekalipun. Sudah barang tentu rakyat harus dengan segera mengambil tindakan untuk mengganti pemimpin/ pemerintah tersebut.

Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya: Mendengar dan taat kepada pemimpin adalah hak, selama tidak disuruh kepada maksiat, apabila disuruh kepada maksiat, maka tidak usah mendengar dan tidak usah taat.

Demikianlah asas-asas kepemimpinan (leadership) yang digambarkan dalam Al-Quran untuk menuju kepada suatu kemakmuran dan keadilan bersama dalam membina masyarakat sejahtera lahir dan batin. Berdasarkan asas-asas tersebut dapatlah kita melihat leadership system yang dikehendaki oleh Al-Quran (Islam) itu ialah kepemimpinan yang didasari atas asas-asas musyawarah berdasarkan petunjuk dan hukum dari Allah SWT.

Adapun musyawarah yang dimaksud ialah: musyawarah yang mengandung pengertian bahwa kekuasaan itu ada ditangan rakyat, pemimpin adalah Mandataris Rakyat, pemimpin adalah Mandataris Rakyat, sedang kedaulatan adalah kedaulatan, kebenaran, yaitu kedaulatan hukum.

Setelah kita mengetahui konsepsi-konsepsi dasar kepemimpinan dalam Al-Quran marilah kita meninjau kembali tentang kewajiban-kewajiban pemimpin terhadap yang dipimpin (rakyat).

Kata-kata pemimpin dapat kita ambil dari kata-kata khalifah yang terdapat di berbagai ayat dan surat dalam Al-Quran sebagaimana yang telah di jelaskan pada pembahasan yang terdahulu, seumpama: dalam QS. Al-Baqarah:30 yang artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat , sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

Mengenai pengertian-pengertian daripada kata-kata khalifah dalam ayat ini ialah: penyambung, penghubung, dan yang diserahi untuk menyampaikan atau mengerjakan sesuatu.

Bila diperhatikan secara sederhana akan kelemahan manusia dalam menghadapi hidup ini, secara fisik tidak mungkin menang dari makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Karena itu tidak mungkin manusia memperoleh suatu kebahagiaan dan keamanan secara lahiriah bahkan kebatinan, maupun secara individu dan sosial, bila tidak ada yang memimpin.

Karena itu kemaslahatan umat manusia tidak bisa sempurna kecuali dengan bermasyarakat, sebab masing-masing pribadi saling butuh membutuhkan, harus mempunyai ketua (pemimpin).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang kami jelaskan diatas, yaitu mengenai tugas manusia

sebagai khalifah Allah di muka bumi, maka kami dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

1. Manusia sebagai khalifah disini dimaksudkan sebagai seorang pemimpin (wakil) Allah di muka bumi.

2. Tugas seorang khalifah (pemimpin) Allah di muka bumi yaitu sebagai pengemban amanat Allah di muka bumi untuk melakukan usaha-usaha agar alam semesta dan segala isinya tetap lestari, sehingga umat manusia dapat mengambil manfaat, menggalih, dan mengolahnya untuk kesejahteraan umat manusia dan sekaligus sebagai bekal dalam beribadah dan beramal sholeh, serta sebagai penghubung atau mewakili untuk menyampaikan perintah Allah di muka bumi, menjaga bumi Allah, untuk memajukan masyarakat ataupun rakyat yang di pimpin demi menuju kesejahteraan umat lahir dan batin.3. Sebab Allah lebih memilih manusia daripada malaikat untuk dijadikan khalifah Allah di muka bumi karena Allah itu Maha Mengetahui kalau manusia itu bisa di percaya untuk mewakili Allah di muka bumi, walaupun memang sebagian ada yang saling menumpahkan darah diantaranya.4. Kriteria yang harus kita miliki agar dapat menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi yaitu: kepemimpinan yang didasari atas asas-asas musyawarah berdasarkan petunjuk dan hukum dari Allah SWT, pemimpin yang mementingkan kewajiban dan perbaikan kemaslahatan serta kesejahteraan umum, bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan, serta pemimpin yang selalu bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya (dipeliharanya).3.2 Kritik dan Saran

Hendaklah kita semua, dimana kedudukan kita sebagai khalifah Allah dimuka bumi ini untuk selalu mengemban amanat Allah untuk menjaga bumi Allah. Karena sebagai seorang khalifah Allah kita harus bisa memimpin di setiap kedudukan kita masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, karena Allah telah mempercayakan kita semua untuk menjadi seorang khalifah maka kita harus melaksanakan setiap perintah-Nya dan menerapkan jiwa kepemimpinan kita di dalam kehidupan sehari-hari.Daftar Pustaka

S. Labib, Rokhmat M.E.I.2010.TAFSIR al-Waie.Jakarta Selatan:Wadi Press.Rais Sinar,Ahmad.1993.MANUSIA DAN ALAM GAIB.Jakarta:Pustaka Firdausa.Rijal Hamid,Samsul.2010.Buku Pintar ayat-ayat Al-Quran.Jakarta:Qibla.Ahmad Isawi,Muhammad.2009.Tafsir Ibnu Masud.Jakarta:Pustaka Azzam.Imam Al-Mahaliyah,Jalaludin dkk.1990.Tafsir Jalalain berikut Asbabun nuzul Ayat. Bandung:Sinar BaruMuamar Pulangan,Syahid.1984.Manusia Dalam Al-Quran.Surabaya:PT.Bina Ilmu.Asy-Syanqiti,Syaikh.2006.Tarsir Adhwaul Bayan.Jakarta:Pustaka Azam

http://makalahpelajar.blogspot.com/2011/11/manusiasebagai-khalifahdi-bumi.html?m=1.

http://alicoverboy.blogspot.com/2012/06/fungsi-manusia-sebagai-khalifah-di-muka.html?m=1 S. Labib, Rokhmat M.E.I.TAFSIR al-Waie.Jakarta Selatan:Wadi Press.hal.1

al- Samin al-Halbi, al-Durr al-Mashun, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 174; al-Alusi, Ruh al-Maani, vol. 2 (Beirut: Dar al-Ilmiyah, 1994), 220; al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 132

Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, vol. 1 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997), 90; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasith fi Tafsir al-Quran al-Majid, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 112; al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, vol. 1, 132.

al-Samarqandi,Bahr al-Ulum, vol.1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 107

Ini juga merupakan pendapat Hasan al-Basri . sebagaimana dikutip al-Qurthubi, al-jami li Ahkam al-Quran, vol 1. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), 182, ibnu Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz, vol 1. . (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), 116

18