Tugas Pc SILVI
-
Upload
nadya-putri-dwi-yanari -
Category
Documents
-
view
20 -
download
0
Transcript of Tugas Pc SILVI
1. Penggunaan Obat Rasional
Penggunaan Obat secara Rasional (POR) atau Rational Use of Medicine (RUM) merupakan
suatu kampanye yang disebarkan ke seluruh dunia, juga di Indonesia. Dalam situsnya,
WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien
menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan
kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya
dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu,
dan biaya yang sesuai, POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang
efektif.
Kampanye POR oleh WHO dilatarbelakangi oleh dua kondisi yang bertolak
belakang. Kondisi pertama menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 50% obat-obatan di
dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Bertolak
belakang dengan kondisi kedua yaitu kenyataan bahwa sepertiga dari jumlah penduduk
dunia ternyata kesulitan mendapatkan akses memperoleh obat esensial.
Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan
Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat
diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan
lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat.
Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat tetapi penjabarannya tetap
sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga kesehatan dapat menganalisis secara sistematis
proses penggunaan obat yang sedang berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis
adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh
pasien. Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi Obat yaitu 8 Tepat dan
1 Waspada:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan
diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan
pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya
misalnya pasien diare yang disebabkan Ameobiasis maka akan diberikan Metronidazol.
Jika dalam proses penegakkan diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah
Amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan metronidazol. Pada pengobatan oleh tenaga
kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi
oleh pasien, Apoteker mempunyai peran sebagai second opinon untuk pasien yang telah
memiliki self-diagnosis.
2. Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat.
Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat
yang sesuai dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan
keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis
obat yang akan digunakan pasien juga seharusnya jumlahnya seminimal mungkin.
3. Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa Dokter. Misalnya
Antibiotik hanya diberikan kepada pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.
4. Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang
bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau
kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus
dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya Pemberian obat golongan
Aminoglikosida pada pasien dengan gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik
sehingga harus dihindari.
5. Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai
karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar
obat di dalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi
pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
6. Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan mempertimbangkan keamanan
dan kondisi pasien. Hal ini juga akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat
pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet parasetamol
dapat diganti dengan sirup. Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pemberian
yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan
dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan
antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama
3-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak
terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus tepat.
7. Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien,
termasuk peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada pasien ISPA
non pneumonia dan diare non spesifik yang sebenarnya tidak diperlukan hanya
merupakan pemborosan serta dapat menyebabkan efek samping yang tidak
dikehendaki.l
8. Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan
sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada
peresepan Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah menjadi
berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti minum obat walaupun urinnya
berwarna merah
9. Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin
menyebabkan jantung berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi indikator untuk menganalisis
rasionalitas dalam penggunaan Obat. Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan
efektivitas dan efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat untuk
memperoleh obat dengan harga terjangkau. POR juga dapat mencegah dampak penggunaan
obat yang tidak tepat sehingga menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan.
2. Tabel 3-3
Kategori Masalah Yang Terkait Dengan Terapi Obat
1. Pasien yang sedang dalam masa pengobatan, membutuhkan terapi awal obat baru atau
obat tambahan
2. Pasien diberikan terapi obat yang seharusnya tidak diberikan dengan kondisi pasien
3. Pasien diberikan terapi obat yang salah
4. Pasien diberikan terapi obat dengan dosis yang lebih kecil daripada dosis yang
seharusnya
5. Pasien mengalami efek samping obat pada saat dilakukan terapi obat
6. Pasien diberikan terapi obat dengan dosis obat yang lebih besar daripada dosis yang
seharusnya
7. Terjadi masalah lain pada saat terapi obat akibat dari penggunaan obat yang tidak tepat
3. Tabel 3-4
Masalah Terapi Obat yang Potensial
1. Diperlukannya terapi obat tambahan pada pasien beresiko tinggi karena adanya
perkembangan dari terapi obat.
2. Pasien yang mengalami resiko tinggi akibat adanya pemberian obat yang tidak
diperlukan untuk terapi pengobatan
3. Pasien yang megalami resiko tinggi akibat adanya pemberian obat yang salah
4. Pasien yang mengalami resiko tinggi akibat diberikannya dosis obat yang kurang dari
dosis seharusnya.
5. Pasien yang mengalami resiko tinggi akibat perkembangan dari pengobatan sehingga
membutuhkan obat tambahan untuk mengurangi reaksi efek samping dari pengobatan
6. Pasien yang mengalami resiko tinggi akibat perkembangan pengobatan karena jumlah
obat yang diberikan terlalu banyak.
7. Pasien yang mengalami resiko tinggi perkembangan pengobatan karena ketidak patuhan
terhadap resep yang diberikan atau tidak rekomendasi terapi obat.
4. Tabel 3-5
Penyebab Masalah Terapi Obat
1. Indikasi yang tepat untuk pengobatan :
Membutuhkan terapi obat tambahan
Pasien dengan kondisi awal pengobatan mendapatkan terapi obat baru
(Indikasi yang tidak diobati) : terapi awal essensial hipertensi tidak dapat
diobati dengan golongan diuretik tiazid
Memiliki penyakit kronis memerlukan terapi pengobatan terus menerus :
hipertensi yang kurang terkontrol karena kegagalan penambahan beta-bloker
pada tiazid
Memiliki kondisi pengobatan yang memerlukan kombinasi farmakoterapi
untuk mendapatkan hasil yang sinergis / potensial : pasien dengan penyakit
tukak lambung diberi pengobatan ranitidine selama 6 minggu, namun tetap
mengelukhan sakit perut setelah makan malam, memerlukan obat sinergis
(ppi)
Menerima terapi obat yang tidak perlu
Pasien menerima obat yang tidak ada indikasi medis yang valid pada saat ini :
antibiotic untuk infeksi akibat virus
Masalah penggunaan obat yang dapat menyebabkan kecanduan / dapat
menimbulkan reaksi pada obat : pasien tukak usus 12 jari yang sudah sembuh
pada tahap pertama dengan ranitidin, masih memiliki keadaan perut yang tidak
nyaman akibat kebiasaan mengkonsumsi kopi dan nikotin.
Kondisi medis yang lebih baik diobati dengan terapi non-obat : bypass arteri
coroner pada keadaan angina yang parah
Mendapatkan terapi obat ganda : sediaan transdermal (koyok) dan oral dari
golongan nitrat.
2. Obat yang paling efektif: pasien menerima obat yang salah satu atau dosis terlalu
rendah.
Menerima obat yang salah
Bentuk sediaan tidak sesuai. Contoh: obat antihipertensi sustained release pada
pasien dengan kolostomi.
Adanya kontraindikasi. Contoh: beta blocker diberikan pada penderita asma.
Kondisi pasien sukar disembuhkan. Contoh: dosis tinggi steroid inhalasi pada
pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang tidak responsive
terhadap steroid.
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien. Contoh: pada pasien
osteoarthritis tanpa peradangan akan lebih efektif bila diberikan analgetik biasa
daripada nonsteroid anti-inflammatory drugs (NSAID) jangka panjang.
Obat yang lebih efektif tersedia. Contoh: obat hipoglikemia golongan statin
lebih efektif daripada golongan fibrat untuk hiperlipidemia primer.
Dosis terlalu rendah
Dosis obat salah. Contoh: dosis rendah ACE inhibitor pada pasien gagal
jantunglebih bermanfaat dari dosis yang lebih tinggi.
Adanya toleransi. Contoh: disebabkan oleh kegagalan untuk mengamati 8 jam
periode bebas nitrat.
Durasi tidak sesuai. Contoh: 3 hari penggunaan antibiotic untuk pasien PPOK
dengan infeksi paru berulang.
Kehilangan efek obat karena kesalahan penyimpanan. Contoh: penyimpanan di
tempat dingin untuk vaksin.
Penggunaan obat yang tidak benar. Contoh: penggunaan inhaler yang tidak
benar.
Pengurangan penyerapan akibat interaksi obat. Contoh: pembentukan kelat
dari tetrasiklin dan besi.
3. Obat yang paling aman: pasien mengambil atau menerima terlalu banyak obat yang
benar atau pasien secara klinis mengalami reaksi obat yang merugikan.
Terlalu banyak obat yang tepat
Dosis terlalu tinggi untuk indikasi tertentu. Contoh: 5 mg bendroflumethiazide
untuk hipertensi.
Salah dosis. Contoh: lebih dari 4 gram parasetamol per hari untuk orang
dewasa.
Durasi tidak sesuai. Contoh: 10 hari penggunaan antibiotic untuk infeksi
saluran kemih (ISK) yang tidak berat.
Peningkatan kadar serum akibat interaksi obat. Contoh: penggunaan teofilin
dan siprofloksasin akan meningkatkan toksisitas teofilin.
Reaksi obat yang merugikan
Obat yang tidak aman bagi pasien. Contoh: kontrasepsi oral bagi pasien
dengan riwayat deep vain thrombosis (DVT).
Reaksi alergi. Contoh: anafilaksis dengan penisilin.
Interaksi obat. Contoh: beta blocker dan verapamil akan menyebabkan
atrioventrikular (AV) block.
Dosis meningkat terlalu cepat. Contoh: peningkatan dosis fenitoin (kinetika
order nol).
Efek yang tidak diinginkan. Contoh: ototoksisitas dengan penggunaan
aminoglikosida.
4. Kepatuhan dan kenyamanan pasien
Produk tidak tersedia-masalah persediaan local atau nasional
Produk tidak terjangkau oleh pasien atau pelayanan kesehatan pemerintah
Pasien tidak bisa menelan. Pasien stroke dengan disfagia
Instruksi tidak dipahami, diingat atau bahkan disetujui oleh pasien
Pengobatan tidak dilakukan karena keyakinan, budaya atau alas an lain.
6 contoh dari masalah yang terkait dengan terapi obat
5. Interaksi obat antara kontrasepsi oral dengan antibiotik
Amoxicillin merupakan induktor enzim P450, obat kontrasepsi juga dimetabolisme
oleh ezim P450, sehingga jika dikombinasi dapat meningkatkan metabolisme obat
kontrasepsi oral, sehingga jumlah dalam darah menurun dan efek kontrasepsinya
berkurang
Obat yang melewati usus harus polar, oleh karena itu perlu dikonjugasi terlebih dahulu
di hati (ikatan konjugasi). Sedangkan, obat saat didistribusikan dalam darah ikatannya
harus dilepas, proses ini disebut dengan dekonjugasi. Setelah obat di dekonjugasi, obat
sudah bisa didistribusikan di dalam darah dan membentuk ikatan protein plasma. Pada
proses dekonjugasi tersebut membutuhkan flora normal.
Bila kontrasepsi oral diberikan bersama antibiotik yang berspektrum luas, maka
antibiotik tersebut akan mengganggu flora-flora normal yang ada di dalam usus,
sehingga kontrasepsi oral tidak dapat di dekonjugasikan dan tidak dapat
didistribusikan dalam darah. Jadi, efektifitas dari kontrasepsi oral menurun.
Obat-obat siklus enterohepatik seperti kontrasepsi oral membutuhkan flora normal,
jadi tidak boleh diberikan dengan antibiotik spektrum luas.
TUGAS PHARMACEUTICAL CARE
Disusun Oleh :
SILVIA WAHYU WIDIARTI
2013001267
KELAS B
PROGRAM APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2014