Tugas PB

13
GURU SEBAGAI “CARETAKER” DALAM PENGAJARAN BAHASA YANG KOMUNIKATIF PENDAHULUAN Bahasa adalah alat komunikasi utama dalam kehidupan. Bekal utama dan pertama manusia dalam kehidupan komunikasinya adalah bahasa. Penguasaan bahasa secara baik di masa usia dini akan membekali anak untuk dapat terampil berbahasa di kemudian hari. Potensi yang dimilki anak perlu dikembangkan secara baik melalui stimulus yang aktif dari berbagai pihak. Keterlibatan guru dan peran orang di sekitar anak dapat membantu anak mengusai bahasa secara lebih maksimal. Dalam hal ini, guru sebagai orang terdekat anak di lingkungan sekolah haruslah peka terhadap perkembangan bahasa setiap anak didiknya. Banyak sekali batasan tentang belajar, tetapi penulis berpegang kepada batasan kaum kognisi, khususnya Jean Piaget, yang pada intinya mengemukakan bahwa belajar merupakan interaksi antara individu pebelajar (learner) dengan lingkungan. Dalam Language Two, oleh Heidy Dulay, dkk mengemukakan adanya empat lingkungan makro dan tiga lingkungan mikro yang bisa berpengaruh. Lingkungan makro ialah (1) kealamian bahasa yang didengar; (2) peranan pebelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan alat acuan untuk memperjelas makna; dan (4) siapa yang menjadi model bahasa sasaran. Lingkungan mikro terdiri dari (1) tonjolan (salience), (2) balikan (feedback), dan (3) frekuensi. Pertanyaannya, di mana posisi guru? menurut saya, guru merupakan salah satu tonggak lingkungan: pada lingkungan makro dia setidaknya bisa berposisi sebagai nara sumber, pemberi masukan, model bahasa sasaran, dan pemberi balikan sedangkan pada lingkungan mikro guru berposisi sebagai pemberi balikan. Salah satu kesulitan para pelajar/mahasiswa dalam pemerolehan bahasa kedua (second language acquisition) adalah jika bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajarinya itu memiliki lebih banyak fonem-fonem (bunyi-bunyi) yang tidak dimiliki oleh bahasa ibu (bahasa pertama) dari pelajar bahasa kedua atau bahasa asing tersebut. Kesulitan yang timbul pada umumnya adalah kesulitan dalam pelafalan fonem-fonem bahasa kedua Kesulitan ini disebabkan oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa tersebut, baik dari sisi cara maupun posisi artikulasi. Kesulitan-kesulitan yang muncul itu mengakibatkan kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua yang dipelajari. Hal itu akan membawa dampak yang sangat fatal jika tidak diajarkan dengan baik kepada pelajar bahasa kedua. Dampak kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua itu selanjutnya akan membawa pada keliruan makna. Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh para pelajar bahasa kedua atau bahasa asing akan membingungkan lawan bicaranya khususnya lawan bicara penutur asli. Kesalahan makna dan kesalahan interpretasi ini mengakibatkan komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik.

Transcript of Tugas PB

Page 1: Tugas PB

GURU SEBAGAI “CARETAKER” DALAM PENGAJARAN BAHASA YANG KOMUNIKATIF

PENDAHULUAN

Bahasa adalah alat komunikasi utama dalam kehidupan. Bekal utama dan pertama manusia dalam kehidupan komunikasinya adalah bahasa. Penguasaan bahasa secara baik di masa usia dini akan membekali anak untuk dapat terampil berbahasa di kemudian hari. Potensi yang dimilki anak perlu dikembangkan secara baik melalui stimulus yang aktif dari berbagai pihak. Keterlibatan guru dan peran orang di sekitar anak dapat membantu anak mengusai bahasa secara lebih maksimal. Dalam hal ini, guru sebagai orang terdekat anak di lingkungan sekolah haruslah peka terhadap perkembangan bahasa setiap anak didiknya.

Banyak sekali batasan tentang belajar, tetapi penulis berpegang kepada batasan kaum kognisi, khususnya Jean Piaget, yang pada intinya mengemukakan bahwa belajar merupakan interaksi antara individu pebelajar (learner) dengan lingkungan. Dalam Language Two, oleh Heidy Dulay, dkk mengemukakan adanya empat lingkungan makro dan tiga lingkungan mikro yang bisa berpengaruh. Lingkungan makro ialah (1) kealamian bahasa yang didengar; (2) peranan pebelajar dalam komunikasi; (3) ketersediaan alat acuan untuk memperjelas makna; dan (4) siapa yang menjadi model bahasa sasaran. Lingkungan mikro terdiri dari (1) tonjolan (salience), (2) balikan (feedback), dan (3) frekuensi. Pertanyaannya, di mana posisi guru? menurut saya, guru merupakan salah satu tonggak lingkungan: pada lingkungan makro dia setidaknya bisa berposisi sebagai nara sumber, pemberi masukan, model bahasa sasaran, dan pemberi balikan sedangkan pada lingkungan mikro guru berposisi sebagai pemberi balikan.

Salah satu kesulitan para pelajar/mahasiswa dalam pemerolehan bahasa kedua (second language acquisition) adalah jika bahasa kedua atau bahasa asing yang dipelajarinya itu memiliki lebih banyak fonem-fonem (bunyi-bunyi) yang tidak dimiliki oleh bahasa ibu (bahasa pertama) dari pelajar bahasa kedua atau bahasa asing tersebut. Kesulitan yang timbul pada umumnya adalah kesulitan dalam pelafalan fonem-fonem bahasa kedua Kesulitan ini disebabkan oleh perbedaan fonem-fonem kedua bahasa tersebut, baik dari sisi cara maupun posisi artikulasi. Kesulitan-kesulitan yang muncul itu mengakibatkan kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua yang dipelajari. Hal itu akan membawa dampak yang sangat fatal jika tidak diajarkan dengan baik kepada pelajar bahasa kedua.

Dampak kesalahan pelafalan fonem-fonem bahasa kedua itu selanjutnya akan membawa pada keliruan makna. Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh para pelajar bahasa kedua atau bahasa asing akan membingungkan lawan bicaranya khususnya lawan bicara penutur asli. Kesalahan makna dan kesalahan interpretasi ini mengakibatkan komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik.

PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan “semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu”. Misalnya, McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa sebelum masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya pun tidak maksimal. Masa emas itu sudah tidak dimiliki oleh orang dewasa. Namun, bukan berarti orang dewasa tidak mampu menguasai bahasa kedua (bahasa asing). Lenneberg mengemukakan, orang dewasa dengan inteligensia rata-rata pun mampu mempelajari bahasa kedua selewat usia 20 tahun. Bahkan ada yang mampu belajar berkomunikasi bahasa asing pada usia 40 tahun. Kenyataan itu tidaklah bertentangan dengan hipotesis mengenai batasan usia untuk penguasaan bahasa karena penataan bahasa pada otak sudah terbentuk pada masa kanak-kanak. Hanya saja lewat masa pubertas terjadi “hambatan pembelajaran bahasa” (language learning blocks). Jadi, maklum bila belajar bahasa selewat masa pubertas, justru lebih repot daripada ketika usia lima belas atau lima tahun. Pada penguasaan bahasa pertama dikenal

Page 2: Tugas PB

istilah “masa kritis” (critical period). Pada penguasaan bahasa kedua (bahasa asing) terdapat istilah “masa peka” (sensitive period). Berdasarkan penelitian Patkowski, masa peka penguasaan sintaksis bahasa asing adalah masa sampai usia 15 tahun. Anak yang dihadapkan pada bahasa asing sebelum usia 15 tahun mampu menguasai sintaksis bahasa asing seperti penutur asli. Sebaliknya, pada orang dewasa hampir tak mungkin aksen bahasa asing dapat dikuasai. Lebih detail dipaparkan oleh peneliti lain. Penelitian Fathman terhadap 200 anak berusia 6 – 15 tahun yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di sekolah di AS, menunjukkan bahwa anak yang lebih muda (usia 6 – 10 tahun) lebih berhasil pada penguasaan fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris. Sedangkan pada anak lebih tua (11 – 15 tahun) lebih berhasil pada penguasaan morfologi (satuan bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan kata dan kalimat).Masih tentang penguasaan aspek tertentu dari bahasa asing dalam kaitannya dengan faktor usia, Scovel menyebutkan, kemampuan untuk menguasai aksen bahasa asing berakhir sekitar usia 10 tahun. Sedangkan penguasaan kosa kata dan sintaksis, menurut catatannya, tidak mengenal batasan usia.

Masa ideal anak belajar bahasa bertolak dari apa yang disebut periode kritis bagi penguasaan bahasa ibu. Periode kritis sebenarnya masih berupa hipotesis bahwa dalam perjalanan hidup manusia terdapat jadwal biologis yang menentukan masa-masa kegiatan seseorang (Brown, 1994).Periode kritis sering dihubung-hubungkan dengan proses pembelahan antara otak kiri dengan otak kanan. Hasil penelitian neurologis menyebutkan, pada usia menjelang dewasa, fungsi-fungsi kemanusiaan terbagi atas dua bagian. Fungsi intelektual, logika, analisis, dan kemampuan berbahasa berada pada otak bagian kiri. Sedangkan fungsi yang berhubungan dengan emosi dan fungsi lain yang bersifat sosial dikendalikan oleh belahan otak kanan. Ketika memasuki proses pembelahan otak itulah, menurut para pakar anatomi bahasa, masa peka bahasa itu berlangsung.Setelah proses “penyebelahan” (lateralization) otak selesai, menurut hipotesis Lenneberg, perkembangan bahasa cenderung menjadi “beku”. Keterampilan dasar yang belum dapat dicapai pada masa itu (kecuali untuk artikulasi) biasanya akan tetap tidak sempurna. Kapan tepatnya proses terjadinya masa pembelahan otak, masih terdapat ketidaksepakatan di antara para ahli. Pandangan-pandangan yang berseberangan antara lain dikemukakan oleh Sorenson dan Jane Hill.Menurut penelitian Sorenson terhadap suku Tukaro di Amerika Selatan, menjelang usia dewasa masyarakat Tukaro paling tidak sudah menguasai dua atau tiga dari 24 bahasa yang biasanya mereka pergunakan. Yang lebih mengherankan lagi, jumlah penguasaan bahasa itu malahan semakin banyak dan lebih sempurna ketika mereka menjelang usia tua. Bukti lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya terhadap masyarakat Barat, Jane Hill berkesimpulan bahwa dalam perkembangan normal seseorang dapat mempelajari bahasa asing dengan sempurna, terlepas dari apakah ia berusia muda atau tua.Proses pembelahan otak, menurut Eric Lenneberg, terjadi sejak anak berusia dua tahun dan berakhir menjelang pubertas. Sedangkan Norwan Geshwind berpendapat, pembelahan otak (periode kritis) usai jauh sebelum masa pubertas. Lebih ekstrem lagi pendapat Stephen Krashen, yakni proses pembelahan itu berakhir sewaktu anak berusia lima tahun.

Dengan demikian, jelas bahwa hipotesis periode kritis tidak bisa dijadikan kriteria keberhasilan pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Keberhasilan seseorang belajar bahasa kedua, menurut Gardner dan Lambert, tidak tergantung pada kemampuan intelektual atau kecakapan bawaan berbahasa, tetapi sangat ditentukan oleh motif atau kebutuhan berkomunikasi dalam lingkungannya. Bukan jaminan bahwa anak yang belajar bahasa kedua sejak masuk SD bahkan TK anak tersebut dapat dengan mudah menguasai bahasa tersebut. Terlebih lagi jika anak tersebut “dituntut” menguasai lebih dari satu bahasa seperti pada sekolah-sekolah Madrasah Ibtidaiah (MI) yang mengharuskan anak didiknya untuk belajar 4 bahasa sekaligus ; bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Betapa beratnya beban mereka, empat bahasa harus mereka kuasai dalam satu periode, misalnya. Kenyataan itu bukannya menambah cepat anak menguasai bahasa asing. Di samping akan menimbulkan beban psikologis, tak tertutup kemungkinan laju perkembangan bahasa daerah dan nasional anak pun malahan terhambat, atau justru merusak sistem-sistem bahasa yang terlebih dahulu dia kuasai.Jeperson jauh-jauh sebelumnya memperingatkan bahwa anak yang mempelajari dua bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu dengan sama baiknya. Juga tak akan sebaik mempelajari satu bahasa. Kerja otak untuk menguasai dua bahasa akan menghambat anak untuk mempelajari hal lain yang harus dia kuasai. Perkembangan bahasa anak terganggu, baik dalam penggunaan kosa kata, struktur tata bahasa, bentuk kata, dan beberapa penyimpangan bahasa lainnya. Tidak terelakkan, dalam era global penguasaan bahasa Inggris hukumnya wajib. Siapa yang ingin luas

Page 3: Tugas PB

pergaulan, sukses berbisnis, maupun menguasai ilmu pengetahuan mau tidak mau harus menguasai bahasa yang satu ini. Namun, dalam penanamannya kita dituntut bersikap bijak dan tidaktergesa-gesa.

Dalam hipotesis masukan oleh Krashen, kita memperoleh bahasa dengan cara “menjajaki makna” dan baru kemudian sebagai hasilnya kita memperoleh “struktur”. Menurut Krashen dalam bukunya Guntur Tarigan (1988) hipotesis masukan terdiri dari empat bagian, yakni:

1. Hipotesis masukan berhubungan dengan pemerolehan bukan dengan belajar2. Kita memperoleh dengan memahami bahasa yang mengandung struktur sedikit di sekitar

tingkat kompetensi (i+1). Ini dilakukan dengan bantuan konteks atau informasi ekstra linguistik

3. Jika komunikasi berhasil, masukan terpahami dan cukup, i+1 tersedia secara otomatis4. Kemampuan berproduksi muncul, tidak diajarkan secara langsung

Hipotesis masukan Krashen tersebut di tunjang oleh beberapa fakta penunjang yang meliputi:a. Pemerolehan bahsa pertema pada anak b. Fakta-fakta dari pemerolahan bahasa kedua yang berupa sandi-sandi sederhanac. Fakta-fakta dari pemerolehan bahasa kedua yang berupa perode tenang dan pengaruh

bahasa pertamad. Keuntungan dan kerugian penggunaan kaedah-kaedah bahasa pertamae. Penelitian linguistik terapan atau “applied linguistik research”

Menurut Guntur (1988) hipotesis masukan Krashen ini memang sangat konsisten dengan apa yang diketahui mengenai “caretaker speech” atau “ujaran pengasuh”, perubahan-perubahan yang di buat oleh orang tua atau guru saat berbicara kepada anak-anak atau murid-muridnya. Beberapa ciri atau karakteristik yang paling menarik dari “ujaran pengasuh” atau “caretaker speech” ini adalah :

- Bahwa hal itu bukan merupakan upaya yang di sengaja untuk mengajarkan bahasa- Bahwa secara sintaksis ujaran pengasuh lebih sederhana di bandingkan ujaran orang-orang

dewasa yang secara kompetensi linguistik lebih sukar untuk anak-anak atau murid-murid- Prinsip “disini” dan “kini”. Prinsip ini menetapkan bahwa pembicaraan pengasuh atau guru

kebanyakan mengenai apa yang dirasakan atau apa yang ada dalam lingkungan anak/murid secara langsung

Dalam faktor penunjang kedua hipotesis masukan yang berupa kode-kode sederhana atau sandi-sandi sederhana, pemeroleh bahasa kedua baik itu anak-anak atau orang dewasa juga di sebut “pemeroleh”, persis seperti sang anak memperoleh bahasa pertama mereka. Menurut Krashen para pemeroleh bahasa kedua dapat juga menerima jenis masukan yang di modifikasi. Masukan yang termodifikasi tersebut ada tiga jenis, yaitu:

1. Pembicaraan orang asing (foreigner talk) yang merupakan akibat dari modifikasi-modifikasi para pembicara asli dengan dengan lebih sedikit daripada para pembicara bahasa mereka yang berkompetensi penuh.

2. Pembicaraan guru (teacher- talk) merupakan pembicaraan orang asng di dalam kelas, bahasa pengelolaan dan penjelasan kelas, jika dilakukan denga bahasa kedua.

3. Sandi sederhana yang berupa pembicaraan antar bahasa (interlanguage-talk), yaitu ujaran para pemeroleh bahasa kedua lainnya.

Teacher-talk dan foreigner talk mungkin saja tidak selalu berbentuk “disini” dan “kini”, tetapi para pembicara asli dan para guru yng suka menolong memenuhi cara-cara lain membuat masukan mudah di penuhi. Sebagai tambahan pada perubahan-perubahan atau alterasi-alterasi linguistik, mereka mengambil keuntungan dari pengetahuan sang pemeroleh mengenai dunia, yang tentu saja lebih besar daripada yang diperoleh sang anak pada bahsa pertama. Sebagai tambahan para guru menggunakan sarana-sarana atau bantuan-bantuan pedagogis, seperti gambar-gambar dan sebaginya.Hipotesis masukan (input hipotesis) Krashen meramalkan bahwa sandi-sandi yang disederhanakan ini akan berguna sekali bagi pemeroleh bahasa kedua, seperti halnya ujaran pengasuh yang di anggap berguna bagi anak atau pembicaraan guru (teacher-talk) yang berguna bagi murid-muridnya. Hipotesis ini juga meramalkan bahwa masukan alamiah, komunikatif yang mudah di pakai mempunyai beberapa keuntungan nyata melebihi masukan yang agak mudah yang secara langsung bertujuan pada i+1, dengan kata lain, latihan-latihan kelas yang bertujuan mengajarkan struktur hari itu.

Page 4: Tugas PB

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Usia belajar B2

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penguasaan B2 secara sempurna dapat terjadi jika B2 tersebut dipelajari pada usia kritis (critical period). Patkowsky (1990) mengklaim bahwa semakin dini usia yang mempelajari B2 , semakin bagus dan sempurna cara pelafalannya. Dia menyatakan bahwa pemerolehan B2 , terutama dalam hal pelafalan (pronounciation) akan berbeda jika dipelajari sebelum dan sesudah usia kritis (critical period). Usia dini tersebut adalah sebelum usia 15 tahun. Di sisi lain, Bialystock (1997) mengungkapkan bahwa umur subjek atau mereka yang mempelajari B2 juga dipengaruhi oleh tingkat kerumitan sistem B2 yang dipelajari tersebut. Artinya jika subjek telah memperoleh atau telah memiliki rasa bahasa pada bahasa pertama atau bahasa ibu (B1), maka pengaruh B1 terhadap B2 akan semakin besar. Karena itu, dia menyatakan bahwa usia kritis (critical period) adalah pada usia 6 tahun. Pada usia ini, subjek yang mempelajari B2 belum terlalu menguasai atau memiliki rasa bahasa B1 dan karenanya sangat baik untuk mempejari B2.

Peneliti lain yang berbicara tentang usia kritis ini adalah Moyer. Dia (Moyer, A, 1999) menyimpulkan bahwa usia kritis memang berpengaruh dalam pemerolehan B2 atau BA karena hal tersebut berhubungan dengan perubahan alat-alat atau artikulasi dan perkembangan otak selama masa perkembangan. Moyer juga memberi penjelasan lain bahwa selama masa perkembangan tersebut, hasil atau tingkat pemerolehan B2 atau BA merupakan interaksi sistem dwibahasa (B1 dan B2) di lingkungan B2.

Berdasarkan ketiga peneliti tersebut, terlihat dengan jelas usia memberi pengaruh terhadap tingkat pemerolehan B2, walaupun batas usia kritis atau usia yang paling baik mempelajari B2 masih berbeda-beda.

Dalam hubungannya dengan usia kritis, Bongaerts dkk. (1997) dan Piske dkk. (2001) berpendapat lain. Dalam studinya, Bongaerts (1997) meneliti aksen pelafalan orang Belanda dewasa yang mempelajari bahasa Inggris. Orang Belanda yang ikut berpartisipasi dalam penelitian ini mempelajari bahasa Inggris secara formal mulai di bangku sekolah menengah. Selanjutnya, mereka memperoleh input lansung dari penutur asli secara berkesinambungan saat duduk di bangku kuliah.

Dalam penelitian mereka, dua kelompok terlibat sebagai partisipan, yaitu orang Belanda dewasa dan penutur asli bahasa Inggris (berfungsi sebagai kontrol group). Selajutnya, empat penutur bahasa Inggris (tidak memiliki pengalaman dalam pengajaran bahasa Inggris) dilibatkan untuk menilai hasil rekaman dari dua kelompok partisipan (kelompok Belanda dan kelompok penutur bahasa Inggris) secara random. Hasilnya menunjukkan bahwa empat penilai tersebut tidak dapat membedakan antara orang Belanda dan penutur bahasa Inggris. Akhirnya Bongaerts dkk menyimpulkan bahwa orang dewasa pun yang belajar B2 dapat beraksen atau berbahasa seperti penutur B2 atau BA yang dipelajarinya.

Lain halnya dengan Piske dkk (2001) yang mengimplementasikan beberapa variabel yang mereka curigai berpengaruh terhadap pelafalan B2. Mereka meneliti usia dwibahasawan (Italia-Inggris), lama tinggal di lingkungan B2 (Canada), frekuensi penggunaan bahasa Italia dan kelancaran menggunakan B1 (Italia) dan B2 (Inggris).

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa usia kritis sangat berpengaruh dalam pemerolehan B2. Penelitian mereka juga membuktikan bahwa usia merupakan faktor paling berpengaruh dalam pemerolehan B2. Penelitian mereka juga mendukung bahwa selain usia, faktor lain yang berpengaruh adalah lama tinggal di lingkungan B2 motivasi dan frekuensi penggunaan B2 tersebut.

Dari beberapa penelitian tersebut di atas jelas sekali bahwa B2 lebih mudah diperoleh jika dipelajari pada usia kritis. Bahkan hampir semua peneliti menyetujui bahwa B2 dan BA dapat diperoleh secara total seperti penutur asli jika dipelajari sebelum usia 12 tahun. Namun demikian, saya mendukung pendapat yang menyatakan bahwa aksen B2 dan BA dapat dicapai seperti penutur asli walau dipelajari pada usia dewasa dengan beberapa persyaratan. Persyaratan itu antara lain adalah motivasi, input dari penutur asli, dan pemberian latihan khusus (formal instruction) untuk keahlian bahasa tertentu (pelafalan, percakapan, leksikon, tata bahasa, dan wacana).

Lama tinggal di lingkungan B2

Reney dan Flege (1998) merekam 11 penutur asli bahasa Jepang di International Christian Univeristy, Tokyo sejak awal tahun (T1) hingga akhir tahun (T2). Jarak antara T1 dan T2 adalah 42

Page 5: Tugas PB

minggu. Sedangkan penutur asli bahasa Inggris yang tinggal di Birmingham, Alabama, menilai kalimat-kalimat bahasa Inggris yang diucapkan oleh ke 11 mahasiswa tersebut. Hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa tiga mahasiswa mencapai hasil yang sangat signifikan berbeda antara T2 dan T1. Alasan terhadap kesimpulan ini adalah karena 3 dari 11 mahasiswa tersebut pernah tinggal di lingkungan B2, California selama satu tahun. Hal itulah yang dicurigai sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam pemerolehan B2.

Piske dkk (2001) mengklaim bahwa korelasi antara pemerolehan B2 dengan lama tinggal di lingkungan B2 sangat signifikan. Mereka meneliti korelasi antara kemampuan berbahasa Inggris penutur bahasa Italia dengan usia, lama tinggal di Canada dan frekuensi penggunaan bahasa Italia di lingkungan B2.

Hasil penelitian Piske dkk menunjukkan bahwa korelasi antara kemampuan menggunakan B2 (bahasa Inggris) dengan lama tinggal di lingkungan B2 sangat signifikan jika efek frekuensi penggunaan B1 (bahasa Italia) diabaikan. Namun, korelasi antara kedua hal tersebut menjadi tidak signifikan jika faktor usia diabaikan. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemampuan menggunakan B2. Lingkungan B2 hanya faktor pendukung dari faktor usia yang lebih dominan mempengaruhi kemampuan B2 tersebut.

Patut diperhatikan penelitian Flege (1998) yang sama sekali kontras dengan penelitian sebelumnya. Dia menyatakan bahwa lama tinggal di lingkungan B2 sama sekali tidak berpengaruh terhadap kemampuan B2 tersebut. Flege meneliti dua group orang Taiwan yang belajar bahasa Inggris di lingkungan berbahasa Inggris dengan lama tinggal yang berbeda (1,1 tahun VS 5.1 tahun). Kemampuan berbahasa Inggris kedua group ini tidak signifikan berbeda. Dia lalu menyimpulkan bahwa setelah usia kritis, lama tinggal di lingkungan B2 tidak akan mempengaruhi kemampuan aksen B2 orang dewasa.

Dapat disimpulkan dari berbagai penelitian ini bahwa tidak semua peneliti menyimpulkan adanya signifikasi hubungan antara lama tinggal di lingkungan B2 dengan kemampuan orang dewasa memperoleh B2. Yang pasti, efek lama tinggal di lingkungan B2 berpengaruh lebih kecil dari usia terhadap kemapuan memperoleh B2.

Motivasi.

Faktor ini telah diteliti oleh Bongaerts dkk (1997). Mereka mengamati sebuah group yang terdiri atas 11 orang Belanda yang belajar bahasa Inggris pada usia dewasa. Ke 11 partisipan ini teridentifikasi sebagai partisipan yang sangat tinggi motivasinya belajar bahasa Inggris. Dua dari partisipan tersebut adalah dosen dengan tingkat kemampuan sama dengan pengajar bahasa Inggris. Kedua partisipan ini memiliki prinsip tentang pentingnya berbahasa Inggris tanpa dipengaruhi aksen bahasa Belanda. 5 dari 11 partisipan itu memiliki kemampuan yang sama dengan kontrol group (partisipan berbahasa Inggris). Sayang sekali, Bongaerts dkk tidak menilai jumlah input bahasa Inggris yang diperoleh oleh ke 11 partisipan itu dan kapan mereka memperoleh bahasa Inggris sebagai B2.

Penelitian yang lain adalah penelitian Moyer (1999) yang merekrut 24 penutur bahasa Inggris yang belajar bahasa Jerman pada usia dewasa. Mereka adalah mahasiswa S1 di Jerman yang diajar dengan dengan bahasa pengantar bahasa Jerman. Moyer menyatakan sebuah argumen bahwa disebabkan oleh tingkat profesional (S1) dan motivasi yang tinggi, mereka mampu berbahasa Jerman seperti penutur bahasa Jerman. Walau terdapat korelasi yang sangat tinggi antara faktor mitivasi dengan kemampuan B2, namun sangat sulit untuk menilai jumlah input bahasa Jerman yang diserap setiap hari oleh partisipan Moyer tersebut.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor seperti motivasi dan perhatian yang tinggi terhadap pelafalan B2 tidak secara otomatis membantu kemampuan aksen B2, namun pelafalan yang menyerupai tingkat kemampuan penutur B2 dapat diperoleh walaupun B2 tersebut dipelajari pada usia dewasa.

Frekuensi Penggunaan Bahasa Ibu

Faktor ini termasuk faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan pemerolehan dan pelafalan B2. Guion dkk (2000) meneliti tentang interaksi antara sistem B1 pada partisipan yang dwibahasawan dengan melihat efek B1 terhadap penggunaan B2. Mereka menggunakan desain baru dalam penelitian bahasa dengan latar partisipan yang menggunakan B1 di lingkungan B1. Lokasinya (setting) adalah Otavalo, Ekuador. 30 penutur bahasa Quichua yang tinggal di Spanyol terlibat dalam penelitian ini. Mereka terdiri atas tiga group dengan frekuensi penggunaan bahasa Quichua sebagai

Page 6: Tugas PB

B1 yang berbeda. Partisipan ini masing-masing direkam pada saat mengucapkan kalimat-kalimat dalam B1 dan bahasa Spanyol (B2). Pendengar monolingual dari masing-masing penutur B1 dan B2 memberi nilai terhadap hasil rekaman tersebut.

Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan yang sering menggunakan B1 kelihatan aksen B1 dalam penggunaan B2, sedangkan partisipan yang menggunanakan B1 dan B2 dengan frekuensi sama, tidak jelas aksen B1 atau pun B2nya. Dengan kata lain, frekuensi B1 sangat singnifikan mempengaruhi B2.

Instruksi Formal /Formal instruction (FI)

Faktor ini dicurigai dan diramalkan berpengaruh terhadap permerolehan B2. Bongaerts dkk (1997) mengidentifikasi 5 dari 11 partisipan orang Belanda dewasa yang belajar bahasa Inggris dan memiliki aksen sama dengan penutur bahasa Inggris. Demikian halnya dengan partisipan yang terlibat pada penelitian Moyer (1999) yang meneliti penutur bahasa Inggris yang belajar di Jerman. Dalam kedua penelitian ini, para partisipan memiliki aksen B2 yang mendekati level penutur aslinya.

Sayang sekali, para peneliti ini tidak mencantumkan metode, prototipe atau pun model yang digunakan dalam mengimplementasikan FI dalam kelas. Dengan kata lain, FI telah dilihat secara sepintas oleh beberapa peneliti. Hanya saja metode atau model yang digunakan belum jelas. Demikian pula dengan setting serta lama penggunaan FI yang tidak diungkapkan. Karena itu, sangat sulit untuk membuktikan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut. Sama sulitnya mengulang model atau prototipe FI yang digunakan dalam kedua penelitian itu. Itulah sebabnya, faktor F1 dalam pemerolehan B2 menjadi penting untuk diteliti.

METODE PENGAJARAN BAHASA

Pada waktu bahasa Inggris diajarkan dengan Metode Gramatika-Terjemahan (Grammar-Translation Method), tes bahasa terdiri dari soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa untuk dapat menghafalkan kaidah-kaidah tata bahasa, menerjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya, menganalisis kalimat, mengajukan serangkaian pertanyaan tentang suatu bacaan untuk mengetahui apakah siswa memahami isi bacaan atau tidak. Untuk mengukur kemampuan menulis, siswa ditugaskan menulis komposisi atau karangan bebas mengenai topic yang sudah ditentukan atau topik yang dipilih sendiri oleh siswa. Karena metode ini menekankan pengetahuan tentang bahasa dan tata-bahasanya serta kemampuan menerjemahkan. Kemampuan berbicara boleh dikatakan tidak disinggung sama sekali dan oleh karena itu tidak terfikirkan bagaimana bentuk dan cara mengukur kemampuan berbicara. Pengetahuan bahasa siswa dan kemampuan berbahasa siswa diukur secara terpisah-pisah, karena cara mengajarnya pun secara terpisah-pisah (discrete point teaching).

Setelah Metode Gramatika-Terjemahan diganti secara berangsur-angsur dengan Metode Audiolingual seperti dalam kurikulum 1975, dunia tes bahasa tentu saja ikut mengalami perubahan. Berlainan dengan Metode Gramatika-Terjemahan yang mengutamakan bahasa tulisan, penghafalan kaidah-kaidah tatabahasa, dan penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa ibu dan sebaliknya, Metode Audiolingual menekankan pentingnya penguasaan bahasa lisan dengan latihan-latihan kaji ulang lisan (oral drills) dan praktek-pola (Pattern Practica). Seperti kita ketahui, Metode Audiolingual yang berlandaskan teori dari ilmu Linguistik Struktural dan Behaviorisme, sedang menjadi mode pada saat itu. Moulton (1961) dalam International Congress of Linguistics mengemukakan lima asumsi Metode Audiolingual yang menjadi terkenal hingga awal tahun tujuhpuluhan sebagai ‘slogan’, yaitu (1) bahasa adalah ujaran, dan bukan tulisan (2) bahasa adalah seperangkat kebiasaan (3) ajarkan bahasa, bukan tentang bahasa (4) bahasa adalah apa yang diucapkan oleh penutur asli, bukan apa yang dianggap seharusnya dikatakan oleh orang-orang itu (5) bahasa berbeda satu dengan yang lain. Metode Audiolingual yang mengambil landasan teoritis dari teori belajar yang dikembangkan oleh para ahli Psikologi Behaviorisme, terutama didasarkan pada ‘operant conditioning’ yang dikembangkan oleh B.F.Skinner (1957). Menurut teori ini manusia adalah organisme yang bisa memberikan respon (operant) baik oleh karena adanya stimulus atau rangsangan yang nampak atau tidak. Respon tersebut diusahakan terus karena adanya reinforcement atau penguat. Dalam proses belajar bahasa asing atau bahasa kedua, organisme itu adalah siswa, stimulus adalah pengajaran yang diwujudkan dalam bentuk suruhan atau contoh, respon operant adalah tingkah laku bahasa siswa sebagai reaksi terhadap pengajaran yang diajarkan guru, sedangkan penguat adalah umpan

Page 7: Tugas PB

balik dari guru yang dinyatakan dalam bentuk persetujuan, pengakuan, atau pujian. Kegiatan belajar diusahakan mencerminkan kerangka berfikir stimulus-respon-penguat.Wujud konkrit prinsip ini dalam kelas adalah penggunaan kaji-ulang (drills) secara intensif dengan dukungan alat-alat elektronik di laboratorium. Dengan kelima slogan dari Moulton dan pemasyarakatan Analisis Kontrastif (1957) sebagai landasan untuk memilih dan mengembangkan materi pelajaran maupun tes bahasa Metode Audiolingual boleh dikatakan mendominasi dunia pengajaran bahasa sebagai bahasa asing hamper selama 25 tahun tanpa ada yang menandinginya. Metode Audiolingual mulai goyah kedudukannya dengan lahirnya Gramatika Transformasi dari Chomsky (1957) dan aliran Psikologi Kognitif. Lebih-lebih lagi setelah hasil-hasil penelitian eksperimental menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa yang diperoleh dengan Metode Audiolingual tidak sehebat yang didengung-dengungkan selama ini (Scherer dan Wertheimer,1964; Smith,1970; dan Levin,1970). Menurut Chomsky, pemerolehan bahasa (Language Acquisition) tidak dapat dicapai melalui pembentukan kebiasaan (Habit Formation) karena bahasa terlalu sulit untuk dipelajari dengan cara semacam itu, apalagi dalam waktu yang singkat. Menurut Chomsky, proses pembentukan kaidah (Rule Formation Process), bukan proses pembentukan kebiasaan (Habit Formation Process). Ia berpendapat bahwa manusia memiliki apa yang disebut ‘Innate Capacity’, suatu kemampuan pada dirinya untuk memahami dan menciptakan ungkapan-ungkapan baru. Tidak jauh berbeda dengan Metode Gramatika-Terjemahan, Metode Audiolingual melihat bahasa sebagai suatu kompleksitas yang dapat dipecah-pecah menjadi unsur atau segmen yang terpisah-pisah, seperti fonem, morfem, dan seterusnya. Karena bahasa dianggap seperti itu, maka materi pelajaran juga diberikan secara terpisah-pisah. Bahan pelajaran maupun tes bahasa diseleksi dan dikembangkan atas dasar hasil analisis kontrastif antara bahasa ibu dan bahasa kedua/asing yang diajarkan. Analisis kontrastif ini dilakukan pada semua tingkat struktur, sintaktik sampai fonologikal.

PENDEKATAN KOMUNIKATIF

Dengan adanya pendapat bahwa proses belajar bahasa adalah proses pembentukan kaidah atau rule formation process (Chomsky,1957), dan bukan proses pembentukan kebiasaan atau habit formation process, hal ini membawa konsekuensi pada peranan siswa. Siswa tidak lagi dipandang sebagai peniru atau “pembeo” masukan bahasa yang sangat terkendali, tetapi merupakan pelaku aktif dalam proses kreatif belajar bahasa. Sebaliknya, guru tidak lagi merupakan pemberi informasi saja (information giver), tetapi juga penerima informasi (information receiver) dan moderator. Kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa dianggap sesuatu yang wajar dan tidak dapat dihindari. Berbeda dengan Analisis Kontrastif dari Lado, bahasa ibu tidak dianggap sebagai sumber interferensi tetapi sumber hipotesis tentang bagaimana bahasa sasaran berfungsi. Dengan demikian mempelajari bahasa seharusnya dilihat sebagai suatu proses kognitif yang wajar dimana siswa sendiri akhirnya yang bertanggung jawab.Menurut Finocciaro dan Brumfit (1983), pengajaran bahasa yang menggunakan pendekatan komunikatif mempunyai cirri-ciri pokok sebagai berikut:

1. Kebermaknaan sangat penting, dibandingkan dengan Metode Audiolingual yang lebih mengutamakan struktur dan bentuk bahasa.

2. Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi, bukan mempelajari struktur, bunyi atau kosakata secara terpisah-pisah.

3. Tujuan yang ingin dicapai adalah kemampuan komunikatif atau communicative competence, yaitu kemampuan menggunakan sistem bahasa secara efektif dan betul.

4. Kelancaran menggunakan bahasa yang dapat diterima menjadi tujuan utama yang ingin dicapai. Keakuratan penggunaan bahasa dilihat dari konteks penggunaannya. Kontekstualisasi merupakan premis dasar.

5. Yang ingin dicapai adalah komunikasi yang efektif, bukan overlearning. 6. Materi pelajaran disusun dan ditahapkan melalui pertimbangan isi, fungsi, atau makna yang

menarik.7. Variasi kebahasaan merupakan konsep sentral dalam materi pelajaran dan metodologi.8. Alat apapun yang dapat membantu siswa dalam proses belajar-mengajar dapat digunakan,

beraneka ragam sesuai dengan umur, minat dan sebagainya.9. Apabila diperlukan dan berguna bagi siswa, penerjemahan dapat dilakukan.10. Jika diperlukan, penggunaan bahasa ibu dapat dilakukan.11. Dialog, apabila digunakan, berkisar pada fungsi-fungsi komunikatif dan biasanya tidak

dihafalkan.

Page 8: Tugas PB

12. Bukan ucapan yang persis seperti ucapan penutur asli yang dicari, tetapi ucapan yang dapat difahami.

13. Usaha untuk berkomunikasi dianjurkan sejak tingkat permulaan.14. Kaji ulang atau drill dapat dilakukan tetapi secara periferal saja.15. Pelajaran membaca dan menulis dapat dimilai sejak hari pertama, jika dikehendaki.16. Bahasa diciptakan oleh individu-individu sering kali melalui ‘trial and error’ 17. Guru membantu siswa dengan cara apa pun yang mendorong siswa menggunakan bahasa

yang dipelajari.18. Siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kerja berpasangan atau

kelompok, baik secara langsung maupun melalui tulisan.

PENUTUP

Mengacu pada ciri-ciri pendekatan komunikatif di atas timbul pertanyaan “Guru yang bagaimanakah yang sanggup menggunakan pendekatan komunikatif dalam mengajar bahasa?” kiranya jelas bahwa jawaban yang paling umum atas pertanyaan tersebut yakni:@ mengetahui bagaimana berkomunikasi dalam bahasa itu@ mengerti dan mengetahui latar belakang teori pendekatan komunikatif@ mampu menyampaikan materi pelajaran kepada siswanya secara komunikatif@ mampu memilih/memoifikasi/menulis materi pelajaran yang komunikatif@ dapat menguji (= mengetahui tingkat)kemampuan/keterampilan komunikatif siswanyaPengajaran bahasa kedua yang diajarkan melalui “pengelolaan dan penjelasan dalam bahasa kedua” (disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris jika pelajaran bahasa Inggris) oleh guru sebagai “care taker” dalam kelas akan lebih memudahkan bagi para siswa untuk merasa lebih dekat dengan bahasa kedua tersebut. Hal ini menuntut keterampilan berbicara dalam bahasa kedua yang baik bagi para guru agar dapat memberikan input yang dapat di pahami oleh peserta didik dengan lebih mudah. Penggunaan sandi-sandi sederhana juga akan sangat membantu siswa dalam memperoleh bahasa kedua melalui kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam kelas-kelas bahasa. Pengajaran bahasa yang komunikatif nampak lebih humanistik yaitu sentralitas kegiatan kelas lebih banyak terletak pada siswa ketimbang supremasi guru (learner-centered rather than teacher-centered), dan guru dalam proses ini berfungsi sebagai fasilitator; siswa diberi kebebasan, otonomi, tanggungjawab dan kreativitas yang lebih besar dalam proses belajar (Stevick,1982). Sebagai fasilitator guru mengkoordinasikan kegiatan siswa dan harus bisa menjamin kegiatan-kegiatan kelas berjalan dengan baik. Dalam pengajaran membaca dan menulis, guru bisa juga berperan sebagai pengajar biasa: menyajikan materi, memberi latihan dan melakukan evaluasi serta memberikan umpan balik. Dalam kegiatan-kegiatan komunikatif, guru berperan sebagai individu yang diharapkan memberi nasihat, memantau kegiatan siswa, menentukan latihan, dan memberikan bimbingan (Littlewood,1981).

Page 9: Tugas PB

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Douglash.H. 2008. Prinsip pembelajaran dan Pengajaran bahasa. Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta. Pearson Education IncDulay, Heidy. 1985. Seluk Beluk Belajar Bahasa Kedua. Adaptasi Langage Two. 1982Krashen, Stephen. D.1981. Second Language Aquisition and Second Language Learning. California. Pergamon Press IncSubyakto Sri Utari N. 1988. Psikolinguistik Suatu Pengantar.Jakarta. Depdikbud. Dikti. P2LPTKSubyakto Sri Utari N. 1987. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta. Depdikbud. Dikti. P2LPTKTarigan, Henry G. 1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa.Jakarta. Depdikbud. Dikti. P2LPTK

Page 10: Tugas PB