Tugas Pak Direktur TBC

23
TUGAS STASE PULMONOLOGY BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA Achmad Nur Ansyah Ririh Rahadian Syaputri Laylla Lathiifahayyu Nindya Anggraeni Puspaningrum Sri Khodijah Jean Stevany S.P Nia Sahra Labetubun Anjar Wida Rini Yanuar Murna Tiara Ridia Seprina PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

description

tuberculosis

Transcript of Tugas Pak Direktur TBC

TUGAS STASE PULMONOLOGYBALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

Achmad Nur AnsyahRirih Rahadian SyaputriLaylla LathiifahayyuNindya Anggraeni PuspaningrumSri KhodijahJean Stevany S.PNia Sahra LabetubunAnjar Wida RiniYanuar MurnaTiara Ridia Seprina

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIKILMU PENYAKIT PARUFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2015

IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. H PUsia : 75 tahunAlamat : KartasuraPekerjaan: WiraswastaANAMNESISKeluhan Utama : sesak nafasRIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :Pasien mengeluh sesak nafas yang dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan sesak disertai dengan batuk berdahak warna putih kekuningan. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Keluhan demam (-), keringat dingin malam hari (-), penurunan nafsu makan (+). Badan terasa lemas. Nyeri dada (+) dirasakan terutama setelah batuk, nyeri dada tidak menjalar, rasanya seperti tetindih. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Riwayat penyakit serupa : disangkal Riwayat hipertensi : diakui Riwayat diabetes : disangkal Riwayat asma: diaangkal Riwayat alergi: disangkal Riwayaat pengobatan TB : disangkalRIWAYAT PENYAKIT KELUARGA Riwayat penyakit serupa : disangkal Riwayat hipertensi : disangkal Riwayat diabetes : disangkal Riwayat asma: disangkal Riwayat alergi: disangkal Riwayaat pengobatan TB : disangkal

PEMERIKSAAN FISIKKeadaan umum : lemas, tampak sesakKesadaran : compos mentisVital sign TD : 132/94N : 80 x / menitS : 36, 6 o CRR: 40 x/ menit

Kepala leher : normocephal, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), perbesarankelenjar getah bening (-/-)Thoraks : Paru : inspeksi simetris Palpasi fremitus +/+ Perkusi sonor Auskultasi SDV (+/+), Rh (+/+), Wh (-/-) Cor : BJ I/II murni regulerAbdomen : distended (-), peristaltik usus (+), nyeri tekan (-)Extremitas : akral hangat, edem (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANGLaboratorium :Hb : 13,0SGOT/SGPT : 22/23Albumin : 2.10Al: 16.700GDS: 155Globulin: 3,76LED: 77/126Protein total : 5,86Foto thoraks : Cor normalPulmo corakan vaskuler kasar, infiltrat di paru kiri, diafragma sinus normalKesan : TB paru lesi luas aktifDIAGNOSIS KERJA : Bronkitis akut TB paru lesi aktifTATALAKSANA O2 2 lpm Inf RL 30 tpm Ij ranitidin 1A/12 j Nebulizer V/P : 1:1 /12 jam Ij ondansetron 1A/8j Ij ceftriaxon 2gr/24j Ambroxol tab 3x1 Xanvit tab 1x1

Managemen pasien TBC paru

1. Promotif (Upaya memberdayakan perorangan, kelompok, dan masyarakat agar memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui peningkatan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan yang dilakukan dari, oleh, dan untuk masyarakat sesuai dengan faktor budaya setempat) : Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TB Edukasi penderita dan keluarga mengenai pengobatan TB paru dan pengobatannya oleh petugas kesehatan atau dokter yang menangani Edukasi penderita dan keluarga untuk membuka jendela tiap pagi, penggunaan genteng kaca, dan menjaga kebersihan rumah dan lingkungan rumah. Memberikan pengertian kepada penderita dan anggota keluarga mengenai penyakit TB bahwa penyakit TB bukan penyakit keturunan dan merupakan penyakit menular yang dapat disembuhkan. Mensosialisasikan imunisasi BCG di masyarakat2. Preventif (upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit) : Menjaga kebersihan diri dan lingkungan Melakukan imunisasi sejak dini, imunisasi BCG Ventilasi ruangan yang adekuat Makanan yang tinggi karbohidrat dan tinggi protein Penderita jangan meludah di sembarang tempat Menutup mulut dengan kain atau masker saat batuk, bersin Rajin membersihkan rumah Rajin menjemur bantal, guling, dan kasur Semua barang yang digunakan penderita harus terpisahkan begitu juga mencucinya dan tidak boleh digunakan secara bersama-sama Membuka jendela pagi agar sinar matahari pagi dapat masuk terutama kamar tidur Mencuci tangan Istirahat yang cukup Bila ada gejala-gejala TB segera ke puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara dini3. Kuratif (pengobatan) :a) Kategori-1

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3)

Obat ini diberikan untuk : 1) Penderita baru TBC Paru BTA Positif.2) Penderita TBC Paru BTA negatif Rontgen Positif yang sakit berat.3) Penderita TBC ekstra Paru berat. b) Kategori-2

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK (2HRZE-S). Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari (HRZE). Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu (5H3R3E3).

Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk :1) Penderita kambuh (relaps)2) Penderita gagal (failure)3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default)

c) Kategori-3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Obat ini diberikan untuk :1) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan.2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenetis), pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

d) OAT Sisipan Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan. 4. Rehabilitatif ( usaha untuk mengembalikan bekas penderita kedalam masyarakat, sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat, semaksimalnya sesusai kemampuannya) : Mengembalikan kepercayaan pasien sehingga tetap memiliki semangat untuk sembuh Latihan pernafasan berupa :a. Latihan pernafasan diafragmatik untuk meningkatkan gerakan pengembangan dinding dadab. Latihan pernafasanpursed lipuntuk mengurangi kolaps paru, dyspneu dan frekuensi pernafasan.c. Latihan posisi tubuh tertentu untuk meningkatkan ventilasi dan relaksasi, misalnya duduk dengan posisi tubuh mendatar ke depan(eaning forward).

IMPLEMENTASI DOTS DI BBKPM

PendahuluanTuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Dibeberapa negara berkembang, 10 15% dari morbiditas berbagai penyakit anak dibawah umur 6 tahun adalah penyakit tuberkulosis paru (Tabrani, 2010).Berdasarkan data WHO (2013) TB masih menjadi maslah kesehatan global utama. Pada tahun 2012, diperkirakan 8,6 juta orang menderita TB dan 1,3 juta meninggal karena penyakit tersebut (termasuk 320.000 kematian yang terjadi di pasien HIV dengan TB). Hampir 20 tahun sejak WHO mendeklarasikan TB sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat global menjadikan kemajuan besar (WHO, 2013).Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematianpertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun (KEMENKES, 2011).Menurut prediksi WHO pada saat sekarang ini Indonesia menduduki peringkat pertama, sehingga WHO telah menyarankan untuk diterapkannya program DOTS di negara kita. WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis adalah menerapkan strategi DOTS, yang telah teruji ampuh di berbagai negara. Karena itu, pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang amat penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan baik (Aditama, 2001).

DefinisiDOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) merupakan pengawasan langsung pengobatan jangka pendek, yang kalau kita jabarkan pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untukdirect attentiondalam usaha menemukan penderita dengan kata lain mendeteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus diobserveddalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan penderita harus di depan seorang pengawas. Selain itu tentunya penderita harus menerimatreatmentyang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup. Kemudian, setiap penderita harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatanshort coursestandard yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2011).

TujuanTujuan dari pelaksanaan DOTS adalah menjamin kesembuhan bagi penderita, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul, yang pada akhirnya dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (Ami, 2011).

Komponen DOTSLima komponen DOTS (WHO, 2015):1. Peningkatan Komitmen Politis dengan adanya Rencana Jangka Panjang PenanggulanganTB yang didukung oleh penganggaran yang tetap dan memadai sesuai dengan targetWorld Health Assembly 2005danMillenium Development Goals 2015Legislasi, perencanaan, sumber daya manusia, manajemen, pelatihan2. Penegakkan diagnosis dengan mikroskopis dahak dan serta penguatan jejaringlaboratorium mikroskopis TBPenguatan laboratorium TB, surveilans resistensi obat3. PengobatanTB standar dengan PMO (Pengawas Menelan Obat) dalam upaya mengurangi risiko terjadinya MDsR dan peningkatan kesembuhan penderita.Pengobatan TB dan manajemen program pedoman, Standar Internasional Perawatan TB (ISTC / International Standart TB Care), PPM (Public Privat Mix), Pendekatan Praktis untuk Kesehatan Paru (PAL), keterlibatan masyarakat-pasien4. Jaminan ketersediaan dan sistim pengelolaan OAT yang efektif.Ketersediaan obat TB, manajemen obat TB, Global Drug Facility (GDF), Green Light Committee (GLC)5. Sistim Pencatatan dan Pelaporan baku untuk TBPencatatan TB dan sistem pelaporan, Global Penanggulangan TB Report, data dan profil negara, perencanaan TB dan alat anggaran, WHO Epidemiologi dan pelatihan online pengawasan.

Penerapan DOTS di BBKPMPenerapan DOTS di setiap instansi kesehatan harus mengenai 5 komponen DOTS yang sudah dipaparkan sebelumnya. Implemenstasi DOTS di BBKPM menurut 5 komponen DOTS tersebut sebagai berikut :1. Peningkatan komitmen politis dengan adanya rencana jangka panjang penanggulangan TB yang didukung oleh penganggaran yang tetap dan memadai :Tuberkulosis sudah menjadi prioritas utama dalam program kesehatan yang ada di Indonesia. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka dibuat program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk (guideline) dan pelatihan yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat di implementasikan dalam program atau sistem kesehatan umum yang ada. Dari hal tersebut penerimaan kader di BBKPM Surakarta untuk klinik DOTS diberikan pelatihan secara berkala dalam program pemerintah yang diharapkan para kader dapat mengimplementasikan DOTS dengan baik. Selain itu BBKPM Surakarta menerima anggaran dari pemerintah untuk melaksanakan kegiatan DOTS.2. Penegakan diagnosis dengan mikroskopis dahak serta pengguatan jejaring laboratorium mikroskopis TB: Pemeriksaan mikroskopis sputum merupakan metode yang paling efektif untuk penyaringan terhadap TB paru. WHO juga merekomendasikan strategi penanganan TB dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi bauk untuk mendeteksi dari mulai awal tindakan lanjutan dan menetapkan pengobatan. BBKPM Surakarta sudah dilengkapi laboratorium yang berfungsi dengan baik untuk mendeteksi kasus TB. Laboratorium tersebut telah berkolaborasi dengan klinik DOTS agar setiap penderita atau suspek TB dapat tercatat dengan baik. 3. Pengobatan TB standart dengan PMO dalam upaya mengurangi resiko terjadinya MDR dan peninghkatan kesembuhan penderita:Pemberian obat yang diawasi secara langsung atau DOTS, yaitu pasien diawasi secara langsung ketika menelan obat, dimana obat tersebut juga harus diberikan sesuai standart. Dalam klinik DOTS BBKPM Surakarta telah menerapkan program konseling untuk penderita dan keluarga dalam hal gizi, pngetahuan tentang obat, dan pengawasan untuk meminum obat. Pengawasan dalam meminum obat sebenarnya dapat dilakukan dengan cara langsug didepan dokter, mengutus petugas kesehatan, kerjasama dengan pemuka masyarakat atau orang yang disegani dan apabila di rumah dapat dengan suami atau istri atau keluarga yang serumah. Dalam penerapan DOTS di BBKPM Surakarta sudah dilakukan konseling dengan baik namun untuk penerapan penderita TB masih belom maksimal. Pengawasan yang dilakukan oleh petugas kesehatan masih dirasakan kurang maksimal dikarenakan kurangnya jumlah kader yang turun langsung pada msyarakat.4. Jaminan ketersediaan dan sistem pengelolaan OAT yang efektifKetersediaan obat yang dikelola di farmasi BBKPM bekerjasama dengan DOTS untuk memenuhi dan mengatur pengelolaannya agar lebih efektif. Masalah utama dari hal ini yaitu, perencanaan dan pemeliharaan stok obat tergantung pencatatan dan pelaporan obat yanag baik kepada pemerintah.5. Sistem pencatatan dan pelaporan baku untuk TBSistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk evaluasi pengajuan pasien dan hasil pengobatan. Setiap pasien TB yang adadi BBKPM melalui klinik DOTS harus mengisi dan mengikuti alur pencatatan pasien yang ada di BBKPM. Alur pencatatan pasien sebagai berikut, diharapkan agar mempunyai data pasien secara lengkap untuk pengobatan TB menjadi lebih efektif:a. Kartu pengobatan pasien TBb. Kartu indentitas pasien TBc. Register TB kabupaten atau kotad. Register laboratorium TBe. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahakf. Daftar tersangka pasien (suspek) TB yang diperiksa dahak SPSg. Laporan triwulan penemuan dan pengobatan pasien TBh. Laporan triwulan hasil pengobatan pasien TBi. Formulir rujukan atau pindah pasien TBj. Formulir hasil akhir pengobatan pasien TB pindahank. Laporan triwulan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis akhir tahap intensifl. Formulir jaga mutu pemeriksaan laboratorium TB:Metode cross chek menggunakan :a. Formulir pengiriman sediaan untuk cross chekb. Formulir rekapitulasi cross chek kabupaten atau kotac. Formulir rekapitulasi cross chek provinsiMetode lot sampling menggunakan: a. Formulir uji silang pemeriksaan mikroskopis BTAb. Formulir pemeriksaan uji silang dengan hasil ketidakcocokan (discordance)c. Formulir rekapitulasi uji silang kabupaten atau kotad. Formulir rekapitulasiuji silang provinsim. Laporan triwulan OAT: a. Laporan triwukan penerimaan dan penggunaan OAT kabupaten atau kota b. Rekapitulasi laporan triwulan penerimaan dan penggunaan OATkabupaten atau kotan. Contoh formulir:a. Data situasi ketenagaan program TB b. Data situasi UPK dalam pelayanan TBc. Data situasi public private mix (PPM) dalam pelayanan TB

Harapan DOTS BBKPM SURAKARTASemoga pelaksanaan klinik DOTS lebih terpadu dengan diwujudkan dengan pelayanan klinik DOTS satu pintu. Dan diadakan penambahan tenaga kesehatan terampil dalam mengisi klinik DOTS.

INTERNATIONAL STANDARDS FOR TUBERCULOSIS CARE (WHO, 2014)

A. Standard untuk Diagnosis1. Standard 1Untuk memastikan diagnosis awal, petugas kesehatan harus peduli pada individu dan kelompok yang memiliki faktor risiko tuberkulosis dan melakukan evaluasi klinik yang tepat dan menyediakan uji diagnostik yang tepat pada pasien dengan gejala dan temuan yang sesuai dengan tuberkulosis.2. Standard 2Semua pasien termasuk anak-anak dengan batuk yang tidak jelas penyebabnya selama 2 minggu atau dengan penemuan yang mengarah pada tuberkulosis yang tidak jelas pada foto radiologi thorak, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.3. Standard 3Semua pasien termasuk anak-anak yang diduga menderita tuberkulosis pulmonal dan mampu menghasilkan dahak harus memiliki minimal dua spesimen dahak untuk pemeriksaan dahak mikroskopis atau uji MTB/RIF sesuai standard laboratoris. Pasien yang memiliki resiko resistensi obat, resiko HIV, atau penyakit yang kritis harus memiliki tes MTB/RIF sebagai diagnosis awal. Pemeriksaan serologis darah dan interferon gamma tidak bisa digunakan untuk diagnosis TB aktif. 4. Standard 4Semua pasien termasuk anak-anak yang diduga memiliki TB ekstra pulmoner, spesimen utamanya dari bagian organ yang terlibat, harus mendapatkan pemeriksaan mikrobiologis dan histologis. Tes MTB/RIF direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal mikrobiologis pada kecurigaan meningitis TB yang membutuhkan diagnosis cepat.5. Standard 5Pada pasien yang dicurigai memiliki TB pulmoner dan hasil pemeriksaan dahak yang negatif, uji MTB/RIF dan kultur dahak harus dilakukan. Pada orang dengan pemeriksaan dahak dan MTB/RIF negatif namun memiliki bukti klinis secara kuat dan dicurigai TB, terapi OAT harus diberikan lebih awal setelah pengumpulan dahak untuk uji kultur.6. Standard 6Untuk semua anak-anak yang dicurigai memiliki TB intra-thorakal (pulmoner, pleura, mediastinal, atau hilus limfenodi) tuberkulosis, bakteri harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan sekresi saluran pernafasan (sputum dan cairan lambung) untuk uji mikroskopis dahak, tes MTB/RIF, dan kultur.

B. Standard untuk Pengobatan7. Standard 7Untuk memenuhi tanggung jawab kesehatan masyarakat sama seperti tanggung jawab terhadap masing-masing individu, dokter harus memberikan resep regimen pengobatan utama, memonitor ketaatan penggunaan regimen obat, dan yang terpenting adalah harus menentukan kelanjutan pengobatan. Dalam memenuhi kewajiban tersebut dibutuhkan koordinasi dengan pelayanan kesehatan masyarakat setempat dan petugas-petugas lainnya.8. Standard 8Semua pasien yang tidak pernah mendapatkan terapi sebelumnya dan tidak memiliki faktor risiko lain untuk resistensi obat harus mendapatkan terapi regimen pertama yang disetujui WHO. Fase awal harus mengandung Isoniazid, Rifampisisn, Pirazinamid, dan etambutol selama 2 bulan. Fase lanjutan harus terdiri atas isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis OAT harus digunakan sesuai rekomendasi WHO. FDC tersedia dan merupakan bentuk yang lebih baik. Etambutol tidak diberikan pada anak-anak dengan HIV negatif dan yang memiliki TB non kavitas.9. Standard 9Pendekatan terapi yang berpusat pada pasien bertujuan untuk menganjurkan ketaatan dalam mengkonsumsi obat, meningkatkan kualitas hidup, dan menyembuhkan pasien. Pendekatan ini harus berdasarkan kebutuhan pasien, respon yang sesuai antara dokter dan pasien.10. Standard 10Respon untuk pengobatan pasien dengan TB pulmoner (termasuk TB yang didiagnosis dengan tes molekuler cepat), harus dimonitor dengan pemeriksaan mikroskopis apusan dahak pada saat selesai mengkonsumsi obat fase awal (2 bulan). Jika apusan dahak positif pada akhir fase awal, pemeriksaan apusan dahak harus dilakukan lagi setelah 3 bulan, dan jika hasil positif, uji molekuler sensitivitas obat harus dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra pulmoner dan pada anak-anak, respon pengobatan dinilai berdasarkan kondisi klinis.11. Standard 11Diagnosis dari kemungkinan resistensi obat, didasarkan pada riwayat pengobatan sebelumnya, didapatkan organisme yang menjadi sumber resistensi obat, dan prevalensi komunitas yang resisten terhadap obat tersebut (jika diketahui), harus diterapkan pada semua pasien. Uji resistensi obat harus dilakukan pada awal terapi untuk semua pasien yang memiliki risiko resistensi obat. Pasien dengan pemeriksaan dahak positif setelah pengobatan 3 bulan, pasien dengan pengobatan gagal, dan pasien yang putus obat atau kambuh, harus dilanjutkan 1 atau lebih rangkaian pengobatan dan didiagnosis resistensi obat. Untuk pasien yang memiliki resistensi obat harus dipertimbangkan untuk uji MTB/RIF sebagai uji diagnosis awal. Jika terdeteksi resistensi rifampisin, harus dilakukan kultur dan uji resistensi isoniazid, florokuinolon, dan obat suntikan kategori-2. Edukasi dan konseling pasien untuk terapi lini kedua, harus dimulai secara tepat untuk meminimalisir potensial transmisi. Perlu dilakukan tindakan untuk mengontrol infeksi dengan tepat.12. Standard 12Pasien yang masih menderita TB karena resistensi obat (MDR/XDR) harus diterapi dengan regimen khusus yang mengandung OAT kategori 2. Dosis OAT harus sesuai rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih mungkin terstandarisasi atau didasarkan pada pola resistensi obat. Minimal 5 kelompok obat, yaitu pirazinamid, dan 4 obat yang diketahui menyebabkan resistensi termasuk regimen injeksi yang harus digunakan dalam fase intensif selama 6-8 bulan dan 3 obat yang digunakan dalam fase lanjutan yang sering diketahui rentan terhadap resistensi. Terapi minimal diberikan selama 18-24 bulan. Pendekatan terapi yang berpusat pada pasien termasuk observasi pengobatan diperlukan untuk memastikan kepatuhan pasien. Konsultasi dengan spesialis lainnya dalam pengobatan MDR/XDR TB harus dilakukan.13. Standard 13Secara sistematis obat yang diberikan, respon bakteriologis, hasil, dan efek samping harus mendapatkan perhatian pada semua pasien.

C. Standard untuk Infeksi HIV dan Kondisi Komorbid Lainnya14. Standard 14Konseling dan tes HIV harus dilakukan untuk semua pasien dengan atau diduga menderita TB, kecuali ada tes yang negatif dalam 2 bulan sebelumnya. Karena hubungan dekat antara TB dan infeksi HIV diperlukan pendekatan terpadu, untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan dari kedua penyakit tersebut, terutama di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Tes HIV penting sebagai bagian dari manajemen rutin untuk semua pasien di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi HIV pada populasi umum, pada pasien dengan gejala dan tanda yang terkait dengan HIV, dan pada pasien yang berisiko tinggi terpapar HIV.15. Standard 15Pada orang dengan infeksi HIV dan TB yang memiliki kelainan imunosupresan (jumlah CD4