Tugas KWN

12
Politik-Demokrasi Warga Tionghoa Makassar: Ditulis oleh Nila Sastrawaty Tanggal 29-01-2008 Refleksi Awal Asumsi dasar dari keberhasilan proses demokrasi adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat tanpa membedakan status, profesi, latar belakang kesukuan, maupun agama. Point penting dalam demokratisasi ini adalah terciptanya kesempatan yang seluas- luasnya bagi seluruh warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan, termasuk bagi masyarakat Tionghoa. Tulisan ini hendak menunjukkan bagaimana masyarakat Tionghoa khususnya di Makassar membangun interaksi dan bersosialisasi dengan masyarakat pribumi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah masyarakat Tionghoa yang begitu besar dan terus megalami perkembangan. Proses adaptasi, sosialisasi, dan interaksi terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Makassar termasuk dalam aktifitas politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum, keterlibatan tidak langsung masyarakat Tionghoa lebih dominan dibandingkan keterlibatannya secara langsung. Ini dapat dilihat dari jumlah orang-orang Tionghoa yang terlibat langsung dalam aktifitas politik yang masih relative sangat kurang, meskipun era pasca reformasi telah memberikan ruang yang seluas- luasnya. Mempercakapkan aktifitas politik warga Tionghoa di Indonesia pada dasarnya bukan suatu hal yang baru. Jika menyimak sejarah konfigurasi politik Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Liberal (1945-1950) dimana kekuatan partai politik memegang peranan yang sangat besar, warga Tionghoa mampu menempatkan enam orang wakilnya1 dalam komposisi keanggotaan KNI dan tergabung dalam Wakil Keturunan. Pada dekade selanjutnya, peran khusus warga Tionghoa dalam percaturan politik tidak nampak secara jelas seiring perubahan konfigurasi politik Indonesia yakni masa pemerintahan orde lama dengan model demokrasi terpimpin lalu disusul dengan masa pemerintahan orde baru yang sangat otoritarianisme dengan dukungan militer yang sangat kuat. Karena itu, bukan tanpa alasan mengapa warga Tionghoa kemudian memilih sector ekonomi sebagai ranah pengabdiannya. Politik Indonesia masa demokrasi terpimpin dan masa pemerintahan Orde Baru, tidak memberi ruang bagi warga Tionghoa selain ruang ekonomi. Penciptaan politik minoritas warisan Belanda masih

Transcript of Tugas KWN

Page 1: Tugas KWN

Politik-Demokrasi Warga Tionghoa Makassar:

Ditulis oleh Nila Sastrawaty Tanggal 29-01-2008

Refleksi Awal

Asumsi dasar dari keberhasilan proses demokrasi adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat tanpa membedakan status, profesi, latar belakang kesukuan, maupun agama. Point penting dalam demokratisasi ini adalah terciptanya kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan, termasuk bagi masyarakat Tionghoa. Tulisan ini hendak menunjukkan bagaimana masyarakat Tionghoa khususnya di Makassar membangun interaksi dan bersosialisasi dengan masyarakat pribumi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah masyarakat Tionghoa yang begitu besar dan terus megalami perkembangan. Proses adaptasi, sosialisasi, dan interaksi terjadi pada berbagai aspek kehidupan masyarakat Makassar termasuk dalam aktifitas politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara umum, keterlibatan tidak langsung masyarakat Tionghoa lebih dominan dibandingkan keterlibatannya secara langsung. Ini dapat dilihat dari jumlah orang-orang Tionghoa yang terlibat langsung dalam aktifitas politik yang masih relative sangat kurang, meskipun era pasca reformasi telah memberikan ruang yang seluas-luasnya.Mempercakapkan aktifitas politik warga Tionghoa di Indonesia pada dasarnya bukan suatu hal yang baru. Jika menyimak sejarah konfigurasi politik Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Liberal (1945-1950) dimana kekuatan partai politik memegang peranan yang sangat besar, warga Tionghoa mampu menempatkan enam orang wakilnya1 dalam komposisi keanggotaan KNI dan tergabung dalam Wakil Keturunan.Pada dekade selanjutnya, peran khusus warga Tionghoa dalam percaturan politik tidak nampak secara jelas seiring perubahan konfigurasi politik Indonesia yakni masa pemerintahan orde lama dengan model demokrasi terpimpin lalu disusul dengan masa pemerintahan orde baru yang sangat otoritarianisme dengan dukungan militer yang sangat kuat. Karena itu, bukan tanpa alasan mengapa warga Tionghoa kemudian memilih sector ekonomi sebagai ranah pengabdiannya.Politik Indonesia masa demokrasi terpimpin dan masa pemerintahan Orde Baru, tidak memberi ruang bagi warga Tionghoa selain ruang ekonomi. Penciptaan politik minoritas warisan Belanda masih bertahan sampai era Orde Baru, dimana konsep “asimilasi” diarahkan pada peleburan orang-orang Tionghoa ke masyarakat lainnya. Regulasi tentang asimilasi ini pada dasarnya semakin menunjukkan bahwa warga Tionghoa merupakan kelompok “serius” yang perlu diatur sehingga tidak menjadi masalah bagi tatanan sosial politik negara. Dalam kondisi ini, warga Tionghoa sangat sedikit sekali didengar gaungnya melakukan aktifitas formal selain ekonomi. Kalaupun terdapat warga Tionghoa yang berhasil berasimilasi dengan masyarakat pribumi, lebih karena “perkawinan campuran” atau menjadi mualaf (berpindah agama). Keberadaan orang-orang Tionghoa dalam perjalanan sejarah Indonesia, karena itu, telah memberikan warna tersendiri. Eksistensi kelompok masyarakat ini lebih sering dihubungkan dengan aspek ekonomi semata, padahal jika menyimak berbagai literatur sejarah perjuangan Indonesia, kelompok ini ikut serta mengambil peran dengan berbagai kerja sama yang dilakukan dengan pejuang-pejuang pribumi. Penekanan Belanda terhadap masyarakat Tionghoa yang dipaksa menjadi “kelas menengah” tak lebih sebagai taktik Belanda untuk menghindarkan orang pribumi-pedagang untuk menduduki kelas ini. Akibat lebih jauh yang ditimbulkan adalah terbentuknya stereotype warga Tionghoa sebagai kelompok pedagang. Stereotype ini sangat membantu Belanda dengan penciptaan “politik minoritas” sehingga mengurangi beban Belanda dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan dan pemberontakan, yang secara potensial juga memungkinkan keterlibatan warga Tionghoa yang membantu pejuang-pejuang pribumi melawan kolonialisme Belanda. Hal yang mengherankan adalah “politik minoritas” ini tidak berlaku bagi kelompok etnik

Page 2: Tugas KWN

lain, seperti etnik Arab.Asimilasi atau pembauran prakarsa pemerintah Orde Baru yang dilakukan warga Tionghoa menemukan bentuk konkrit pada masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut dapat kita jumpai pada lokasi-lokasi perdagangan dimana warga Tionghoa dan masyarakat sekitar sangat intens melakukan interaksi dan pertukaran nilai antar-etnis. Namun pada lingkup yang lebih luas, asimilasi tidak membawa pengaruh yang berarti pada kesempatan penyaluran demokratisasi di bidang politik. Untuk memperoleh sebuah kartu tanda penduduk (KTP) saja misalnya, warga Tionghoa harus memenuhi berbagai persyaratan yang pada akhirnya menyebabkan kelompok ini bersikap “masa bodoh”, sebab KTP inipun tidak cukup menjadi tameng dari stigmatisasi “Cina” dan warga kelas dua.Perubahan perpolitikan di Indonesia dari era Orde Baru ke era Reformasi sedikit berdampak pada aktifitas politik di kalangan warga Tionghoa.2 Khususnya tuntutan reformasi dalam aspek demokratisasi dan keterbukaan dapat dilihat dari kebebasan merayakan Imlek sebagai momentum penting dalam menampakkan aktualisasi diri dan mengekspresikan budaya mereka sebagai warga negara yang hidup pada sebuah negara dengan beragam perbedaan. Bentuk penerimaan dan pengakuan masyarakat sebagai warga negara yang sama mulai terwujud pada beberapa aspek kehidupan sosial. Di sisi lain, euphoria reformasi, menyusul jatuhnya Orde Baru warga non pribumi ikut mengambil bagian dalam pesta reformasi dengan mendirikan Partai Politik Tionghoa. Salah satu yang mendasari pembentgukan partrai tersebut karena satu kenyataan ini: bahwa perkumpulan-perkumpulan warga Tionghoa yang sejauh ini telah berkiprah di hampir seluruh bidang kehidupan—kecuali dunia politik dalam maknanya yang sempit—agaknya belum berhasil menjadi wadah penyalur aspirasi politik dan harapan-harapan masa depan mereka. Karena itu, kehadiran Partai Politik Tionghoa sebanarnya ingin meneguhkan dua hal sekaligus: mepertegas identitas keindonesiaan dan memperkuat agregasi politik di bumi pertiwi.Tuntutan reformasi yang telah berproses sejak tahun 1999 sampai dengan 2004 dengan mengambil momentum dari proses menuju Pemilihan Umum 2005 dan menjelang Pemilihan Umum tahun 2009, memerlukan pengkajian yang lebih mendalam khususnya menyangkut hak-hak politik semua warga negara tanpa memandang warga negara dari sudut perbedaan fisik (wajah), budaya, dan ras. Sebab saat ini telah lahir UU yang menyangkut keberadaan warga negara asing termasuk warga keturunan. Realitas sosial saat ini memperlihatkan, bahwa masih terdapat peraturan peundang-undangan yang berpotensi melahirkan diskriminasi dan mengarah pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bagi mayoritas warga Tionghoa. Rancangan Ketetapan Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional (RKMPEN) pada Sidang Tahunan MPR 2002 yang pada akhirnya mengalami perubahan, misalnya bisa ditunjuk untuk mewakili kecemasan itu. Dalam rancangan tersebut dikemukakan bahwa, “Memperbaiki struktur perekonomian nasional dengan memperluas partisipasi dan emansipasi masyarakat, termasuk kesetaraan gender dalam rangka mendorong dan meningkatkan perekonomian rakyat kecil dan pribumi…”. Penggunaan istilah “pribumi” dalam rancangan kebijakan tersebut, menunjukkan adanya perlakukan khusus yang justru akan menjadi pemukulan balik bagi eksistensi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Dalam realitas kehidupan masyarakat, diskriminasi tersebut semakin marak dengan penggunaan simbol-simbol khusus dan berbagai sebutan: di antaranya, “warga non pribumi”, “warga keturunan”, “Cina”, dan simbol-simbol lain meskipun terdapat beberapa produk hukum pelarangan diskriminasi warga negara, seperti dalam Instruksi Presiden (INPRES) No.26 Tahun 1998 tentang penghapusan istilah pribumi dan non pribumi. Selain itu juga dalam Keputusan Presiden (KEPRES) No. 06 Tahun 2000 tertanggal 17 Januari 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat namun tidak mampu meredam stigma tersebut.Keberadaan seperangkat aturan/hukum tidak akan berjalan efektif jika tidak membumi pada masyarakat bawah. Sebab, masyarakat lapisan bawah merupakan komponen utama yang bersentuhan langsung dengan keberadaan seperangkat perundang-undangan yang dilahirkan dari

Page 3: Tugas KWN

sebuah konfigurasi politik hukum yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan aktualisasi dan apresiasi diri terhadap aktifitas sosial politik kemasyarakatan.Mempertimbangkan kondisi sosial politik dewasa ini, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimanakah aplikasi demokratisasi politik warga Tionghoa pasca reformasi?, bagaimanakah bentuk-bentuk demokratisasi politik warga Tionghoa pasca reformasi? serta faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat aplikasi demokratisasi politik kalangan warga Tionghoa pasca refomasi?

Tulisan ini bertujuan :Mengetahui penerapan kebebasan berpolitik pada warga Tionghoa khususnya pasca reformasi di kota Makassar, mengetahui bentuk-bentuk kebebasan berpolitik pada masyarakat Tionghoa pasca reformasi di kota Makassar, dann medngetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat demokratisasi politik dikalangan warga Tionghoa pasca reformasi.Sehingga tulisan ini dapat berguna dalam Memperkaya landasan teoritis, dalam pengembangan ilmu sosial politik, khususnya dalam mengkaji demokratisasi politik pada warga negara keturunan serta secara kepentingan praktis, yaitu bahan masukan bagi pihak yang terkait dalam upaya menuju demokratisasi politik tanpa diskriminasi. A. Referensi yang Relevan Kajian berkaitan dengan warga keturunan (Cina/Tionghoa) pada dasarnya dapat dilihat dari berbagai aspek. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa tulisan dan penelitian buku, meskipun kajian yang ada cenderung menggunakan pendekatan social budaya (asimilasi dan pembauran) sedangkan kajian warga keturunan dari aspek politik masih terbatas. Penelitian dan penulisan terkait warga keturunan antara lain :Saifuddin Bahrum (2003), Cina Peranakan Makassar, Yusiu Liem (1996/disertasi), Etnik Minoritas sebagai Varibel Perkembangan Politik Dalam Proses Perkembangan Negara Indonesia, Abdul Bagir Zein (2000), Etnik Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, I. Wibowo (1999), Retrospeksi dan Rekonseptialisasi Masalah Cina, I.Wibowo (2000), Harga yang Harus Dibayar, Sketsa Pergulatan Etnik Cina di Indonesia, Jhon K Naveront (1994) Jaringan Masyarakat Cina, dan Joice Gani (1990), Cina Makassar, suatu Kajian Tentang Masyarakat Cina Di Indonesia.D. Kerangka Teoria. Istilah CinaSebagai upaya memahamai berbagai konsep, pengistilahan atau penamaan dalam tulisan ini, maka akan dikemukakan beberapa hal berkaitan dengan penggunaan istilah/nama Cina, Tionghoa, dan Cina Peranakan yang umum digunakan masyarakat untuk warga keturunan.Penggunaan istilah Cina berasal dari kata Qin yaitu nama dinasti yang berhasil mempersatukan negara itu setelah setelah bercerai berai karena perang saudara selama dua abad.3 Istilah Cina juga menunjukkan suatu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia yang berasal dari Cina.4 Etnik Cina adalah seluruh imigran Cina dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung pada kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi budaya Cina, mereka yang memandang dirinya sebagai Cina atau dianggap demikian oleh lingkungannya.6Di samping pengistilahan warga keturunan sebagai “Cina”, istilah “Tionghoa” digunakan sebagai penghalusan terhadap pemaknaan “Cina” yang dianggap mengandung arti yang kurang baik, penghinaan, dan merendahkan warga keturunan. Penolakan terhadap istilah “Cina” bahkan banyak dilakukan oleh warga keturunan yang nota bene berasal dari negara Cina.Yunus Jahja7 mengemukakan bahwa, setelah Cina berubah menjadi Republik, namanya menjadi “Chung Hwa Min Kuo” dalam dialek mandarin atau “Tionghoa Bin Kok” dalam dialek Hokkian. Sejak saat itulah orang Cina di Indonesia menamakan dirinya sebagai orang Tionghoa untuk menggantikan kata “Cina”. Panggilan “Cina” dianggap oleh mereka kurang enak didengar apalagi pada penekanan suku kata ‘na’ (Ci-na)8. Akan lebih kurang enak lagi jika diakulturasi dengan bahasa daerah misalnya Betawi menjadi “Ci-ne”.Lebih dari 30 tahun kata “Cina” dipakai di Indonesia, sedangkan istilah Tionghoa ditabukan. Pemerintah Orde Baru melegitimasikan melalui peraturan khusus yaitu Surat Edaran No : SE 06/PresKab/6/67 yang melarang sepenuhnya penggunaan istilah Tionghoa dan menggantinya dengan istilah Cina. Penggunaan istilah Cina, bagi komunitas Tinghoa sendiri dianggap sebagai

Page 4: Tugas KWN

penghinaan sebab sebutan “Cina” penuh nuansa permusuhan, diskriminatif, rasis, serta melanggar HAM.9 Pengistilahan “Cina Peranakan” digunakan untuk menunjuk suatu masyarakat keturunan Cina yang nenek moyangnya sudah kawin mawin dengan masyarakat setempat, serta telah melakukan pembauran budaya maupun membentuk budaya sendiri. Saifuddin Bahrum menggambarkan komunitas Cina Peranakan khususnya di Makassar dengan panggilan “Cina Baba-Baba” atau “Cina Nona-Nona”.b. Kajian Historis Kedatangan Orang Cina / Tionghoa di IndonesiaOrang-orang Tionghoa telah datang ke Indonesia sekitar 400 tahun yang lalu. Jauh sebelum bangsa Eropa menemukan rute pelayaran mengitari the cape of Good Hope. Mereka datang dengan kelompok-kelompok kecil maupun perorangan. Alasan mereka ke Indonesia antara lain menjadikan Indonesia tempat persinggahan, tempat berdagang dan tempat mencari nafkah.Laki-laki Tionghoa yang menetap di Indonesia kemudian menikah dengan gadis-gadis pribumi yang melahirkan keturunan yang disebut peranakan dan pada akhirnya membentuk komunitas sendiri yaitu Tionghoa Peranakan. Semakin banyaknya jumlah komunitas ini sehingga berkurang orang Tionghoa yang menikah dengan pribumi. Orang Tionghoa peranakan biasanya menikah dengan warga keturunan.10 Setelah menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan budaya local, orang Tionghoa tidak mengalami kesulitan berinteraksi dengan pribumi, meskipun berbeda. Perbedaan inilah yang oleh pihak-pihak tertentu dijadikan sebagai sarana memecah belah, termasuk keterlibatan pemerintah dalam konstalasi politik politik yang diskriminatif terhadap golongan Tionghoa yang dicap sebagai golongan non-pribumi.11 Wacana anti Cina menjadi hal yang bertolak belakang dengan isu asimilasi atau pembauran yang didengungkan pemerintah.,Dalam sejarah, sebelum kedatangan kolonialis dari daratan Eropa, kondisi kehidupan beragama dan suku-suku bangsa di Indonesia berlangsung harmonis tanpa adanya prasangka social. Hubungan komunitas Tionhoa dengan penduduk dan penguasa setempat berlangsung dengan baik.12 Dalam sejarah juga dikemukakan, bahwa jauh sebelum kedatangan orang kulit putih, telah berdiri pemukiman-pemukiman etnik Tionghoa disepanjang pesisir pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, sampai Indonesia Timur.Bukti lain bahwa hubungan antara etnik Tionghoa dan pribumi sangat harmonis hingga pertengahan abad ke 19 tergambar dalam salah satu surat RA Kartini pada Abendanon. Dalam suratnya itu, Kartini pernah mengatakan bahwa ketika dirinya sakit ia pernah mendapat nasihat dari seorang budak keturunan Tionghoa untuk berobat ke Klenteng Welahan Kudus.13 Darii surat tersebut, tergambr bahwa hubungan antara komunitas Tionghoa dari kasta rendahpun telah memiliki hubungan baik dengan masyarakat pribumiMenurut Saifuddin Bahrum,14 Kedatangan orang Cina/Tionghoa dilatarbelakangi oleh dua hal penting, pertama, sebab bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang senang berdagang dan kedua, adanya peperangan pada abad ke 17 saat terjadinya pergeseran kekuasaan.Koentjaraningrat15 mengemukakan bahwa, dari bahasa Cina yang tersebar di Makassar dapat dikenali bahwa mereka berasal dari empat golongan besar yaitu kelompok orang yang berbahasa Hok Kian, orang yang berbahasa Hakka (Khek), orang yang berbahasa Kanton, dan orang yang berbahasa Tio Tjio. Kelompok Hok Kian diyakini sebagai kelompok imigran Cina pertama yang bermukim di Makassar dalam jumlah yang cukup besar sampai abad ke 19.Saifuddin Bahrum16 dalam mengkaji Cina Peranakan Makassar memaparkan kisah La Galigo yang sangat mengakar dalam masyarakat Sulawesi Selatan yang dipercayai sebagai bagian dari sejarah Sulawesi Selatan. Dalam penggalan kisah tersebut, dipaparkan pertalian suami istri La Galigo dengan seorang putrid dari tanah Cina yang bernama We Cudai. Dari perkawinan La Galigo dengan We Cudai terlahir banyak keturunan, dimana sebagian keturunan tersebar di negeri Cina dan sebagian kembali ke tanah Bugis.Pertumbuhan jumlah warga Cina di Makassar sejak abad ke 17 sampai dengan pertengahan abad ke-20 berkisar 20% dari jumlah penduduk pribumi. Penelitian Heather Sutherland menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 1750 jumlah orang Cina di Makassar tidak lebih 500 orang tetapi

Page 5: Tugas KWN

jumlah itu pelan-pelan bertambah pada pertengahan tahun 1800-an. Tahun 1895 populasinya kira kira 2534 jiwa.Tetapi pada tahun 1915 melaonjak menjadi 6483 jiwa. Dan melonjak dua kali lipat 15 tahun kemudian yakni tahun 1935, berjumlah 15.400 jiwa.17

Tabel 1Perkembangan Orang Cina di MakassarNo Tahun Jumlah orang Cina01 1750 500 jiwa02 1895 2534 jiwa03 1915 6483 jiwa04 1930 15.400 jiwa05 Masa Jepang/revolusi fisik 30 – 35 juta jiwaSumber : Hasil Penelitian Heather Sutherland dalam Saifuddin Bahrum

E. Hasil Penelitian a Peran Politik Masyarakat Tionghoa Anton Obey, salah seorang tokoh masyarakat Tionghoa di Makassar mengemukakan bahwa masyarakat Tionghoa Makassar harus dilihat sebagai bangsa Indonesia yang utuh. Hal ini penting untuk menghindari berbagai konflik yang terjadi antara masyarakat Bugis-Makassar dengan masyarakat Tionghoa sebagaimana seringkali terjadi. Perjuangan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perjuangan masyarakat Tionghoa. Jauh seblum bangsa Indonesia terbentuk yakni saat sumpah pemuda, salah sorang tokoh pemuda Mr. Djohan Moeh Tjai yang ikut berperan dalam peristiwa tersebut. Demikian pula dengan peristiwa Tanah Abang dan peristiwa Angke dimana warga Tionghoa banyak menjadi korban pembantaian Dalam sejarah Indonesia, kelompok etnik Tionghoa telah beberapa kali menjadi sasaran pembunuhan beramai-ramai atau penjarahan, lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2 Peristiwa Pembantaian etnis Cina

Peristiwa TahunBataviaPerang JawaPembunuhan beramai-ramai di JawaRasMalariRusuhan Mei 17401825 – 19301946 – 194810 Mei 1963, 5 Agust 197319741998

Pembunuhan etnik Tionghoa di Batavia tahun 1740 melahirkan gerakan-gerakan penentangan dari kelompok etnik Tionghoa diantaranya di Jawa Tengah. Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi dalam komunitas Tionghoa. 17 Maret 1900 didirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, gerakan ini memberikan inspirasi bagi kelompok etnik lain (Arab) yang mendirikan Djamiat-ul Chair yang meniru model THHK dan gerakan Budi Utomo yang didirikan golongan bangsawan Jawa.Hubungan tokoh-tokoh Tionghoa dengan tokoh-tokoh agama Islam juga memberikan pengaruh yang positif. Tahun 1909, Sarekat Dagang Islamiyah yang diasaskan RA Tirtodisuryo di Bogor mengikut model Siang Hwee (dewan perdagangan orang Tionghoa). Demikian pula pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh hubungan yang baik H. Samanhudi dengan kelompok Tionghoa, dimana Haji Samanhudi adalah anggota Kong Sing atau kelompok tolong menolong orang Tionghoa di Surakarta. Khususnya dalam perjuangan politik yang lebih nyata, keterlibatan masyarakat Tionghoa antara lain dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3Perjuangan Etnis Cina/Tionghoa dalam Perjuangan Kemerdekaan

Page 6: Tugas KWN

Melawan Syarikat Hindia Timur BelandaBergabung dengan “Republik” Lanfong melawan pasukan BelandaMembantu mengasaskan Sumpah Pemuda, Sie Kong Liong dan Kwee Tiam Hong bersama beberapa pemuda Tionghoa lainnya mengurus bangunan Sumpah Pemuda.Akhbar Sin Po banyak memberikan sumbangan dalam penyebaran maklumat yang bersifat nasionalisme dan yang pertama kali menerbitkan lagu Indonesia Raya yang telah digubah WR Supratman, mempelopori penggunaan bahasa bumi putera Indonesia sebagai pengganti untuk bahasa BelandaLiem Koen Hian membentuk Partai Poltik “Partai Tionghoa Indonesia (PTI)Datuk Bandar John Lie menyelundupkan barang ke Singapura untuk membiayai perjuangan Republik.Rumah Djiaw Kie Song digunakan Sukarno dan Hatta untuk persiapan kemerekaanLiem Koen Han, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Yap Tjwan Bing, terlibat dalam Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 1740 – 1743abad ke 19

1928

1920-an

1931

1940-an

16 Agustus 1945

-Khususnya di Makassar, ruang gerak masyarakat Tionghoa tahun 1960 dipersempit dimana Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani menerbitkan surat edaran Gubernur yang melarang warga Tionghoa berdagang di daerah-daerah. Tujuh bulan setelah edaran tersebut dikeluarkan, Pangdam Sulawesi Selatan dan Tenggara selaku Penguasa Perang Daerah mengeluarkan perintah agar semua rumah-rumah warga Tionghoa diawasi secara ketat. Akibatnya, warga Tionghoa semakin jauh untuk mengintegrasikan diri secara total ke dalam masyarakatb Bentuk-bentuk demokratisasi politik Bentuk-bentuk demokratisasi politik lebih konkrit dapat dilihat pada sejauhmana masyarakat Tionghoa berpartisipasi atau memberikan konstribusi yang positif bagi kelangsungan pembangunan bangsa. Peran masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa merupakan salah satu komponen penting terwujudnya demokratisasi politik. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Anton Obey agar warga Tionghoa untuk tidak Golput dan secara sadar menggunakan hak pilihnya misalnya dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) tahun 2007. Menurut Anton Obey, kekhawatiran masyarakat Tionghoa berkaitan dengan penggunaan hak pilihnya adalah adanya intimidasi terkait dengan pilihannya yang pada akhirnya bermuara pada kepentingan kelompok tertentu.Secara umum, bentuk-bentuk demokratisasi politik masyarakat Tionghoa di kota Makassar pasca reformasi terbagi dalam :

1. Keterlibatan langsung- Terlibat dalam partai politik baik yang berbasis nasionalis maupun berbasis agama- Menjadi anggota parlemen (DPRD Kota Makassar)- Terlibat dalam organisasi semi politik/sosial kemasyarakatan, misalnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Ikatan Wanita Tionghoa Indonesia (IWATI)- Menggunakan hak pilih dalam pelaksanaan Pemilihan Umum baik Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) maupun pemilihan Presiden.2. Keterlibatan tidak langsung- Menjadi penyandang dana dalam kampanye politik- Menyediakan sarana dan prasarana kepada kandidat tertentu

Page 7: Tugas KWN

a. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat demokratisasi politik warga Tionghoa Bentuk-bentuk demokratisasi politik masyarakat Tionghoa di kota Makassar sebagaimana dikemukakan pada sub bab B cenderung masih terbatas. Hal tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor baik faktor pendukung maupun penghambat.1. Faktor Pendukunga Perubahan sistem politik Indonesia dengan asumsi dasar pentingnya seluruh komponen masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses pembangunan nasional. Dampak nyata dari perubahan sistem ini adalah lahirnya berbagai partai politik dengan latar belakang yang berbeda. Kehadiran partai-partai politik ini membuka ruang bagi masyarakat Tionghoa untuk ikut melibatkan pada salah satu partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung.Perubahan sistem politik ini juga berdampak pada keleluasaan masyarakat Tionghoa untuk membentuk berbagai organisasi semi politik/sosial kemasyarakatan. Frans Heming, ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Sulawesi Selatan mengemukakan bahwa kehadiran organisasi-organisasi atau paguyuban-paguyuban di kalangan masyarakat Tionghoa merupakan wadah bagi warga Tionghoa baik dalam hal menyalurkan aspirasi maupun dalam hal pengabdian terhadap bangsa dan negara.b. Lahirnya Undang Undang Kewarganegaraan. Hal yang unik dari warga Tionghoa adalah dua nama yang mereka miliki yakni nama Tionghoa yang digunakan untuk lingkungan mereka dan nama yang berciri khas Indonesia yang digunakan untuk pergaulan dan berbagai urusan di luar rumah. Frans Heming menguraikan bahwa ketika pemerintahan berada di bawah Orde Baru, warga Tionghoa diharuskan mengganti nama dari nama Tionghoa kenama Indonesia. Proses penggantian ini harus melalui birokrasi yang sedemikian rumit termasuk dalam pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tetapi dengan kehadiran UU Kewarganegaraan ini, masyarakat Tionghoa dipandang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat Bugis, Makassar, dan suku lain di Indonesia.2. Faktor Penghambata. Eksklusifisme. Beberapa penelitian tentang etnis Tionghoa menyoroti eksklusifisme yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tionghoa. Eksklusifisme ini menjadi tembok tebal kegagalan beradaptasi dan melakukan pembauran dengan masyarakat sekitar. Anton Obey sendiri membantah eksklusifisme dikalangan masyarakat Tionghoa dengan alasan bahwa perekonomian merupakan bidang yang mayoritas ditekuni masyarakat Tionghoa. Jika mereka eksklusif dan tidak melakukan interaksi dengan masyarakat sekitar maka perdagangan mereka tidak akan berhasil dengan maksimal. b. Prasangka dan streotipe dikalangan masyarakat. Psikolog Komunikasi FISIP Unhas yang menyoroti interaksi masyarakat Bugis-Makassar dengan masyarakat Tionghoa mengungkapkan bahwa kendala pertama dalam proses interaksi sosial antara keduanya adalah adanya prasangka dan streotipe. Berbagai konflik yang terjadi diawali dengan kecurigaan baik yang dilakukan masyarakat setempat maupun masyarakat Tionghoa sendiri.c. Kurang tegasnya regulasi termasuk dalam UU Kewarganegaraan dimana perlu penekanan bagi masyarakat Tionghoa untuk tidak bersikap eksklusif.F. Kesimpulan1. Mekipun belum ada data konkret tentang jumlah orang Tionghoa yang bermukim di kota Makassar, tetapi eksistensi mayarakat ini menunjukkan bahwa kota Makassar merupakan tempat pertemuan dari berbagai suku yang ada dalam masyarakat Tionghoa. Berbagai konflik ras yang terjadi dilatarbelakangi pola interaksi sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Peran politik masyarakat Tionghoa jika dilihat dari lintasan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, konstribusi positif juga ditampakkan masyarakat Tionghoa dengan ikut mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia2. Bentuk-bentuk aplikasi demokratisasi politik masyarakat Tionghoa terdiri atas keterlibatan langsung antara lain menduduki jabatan politik, keanggotaan dalam partai politik, kenaggotaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, dan memberikan suara dalam Pemilihan Umum. Adapun keterlibatan tidak langsung meliputi menyediakan sarana dan prasarana bagi aktifitas politik dan menjadi penyandag dana dalam aktifitas politik.

Page 8: Tugas KWN

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi demokratisasi politik masyarakat Tionghoa terdiri atas faktor pendukung yang meliputi : perubahan sistem politik, dan lahirnya UU Kewargaegaraan. Faktor penghambat meliputi : Eksklusifisme, prasangka dan streotype, dan kurang tegasnya regulasi.