Tugas Klp Pjn

33
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum ini dapat dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat 1

description

Pembahasan tugas kelompok

Transcript of Tugas Klp Pjn

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah

negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin adanya kepastian,

ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan

keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum ini dapat

dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang memerlukan

adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban

seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian

hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran

dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris1.

Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik

dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun

yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian

peristiwa atau perbuatan hukum itu dilakukan. 2

1 Biro Humas dan HLN. Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, (www.wawasanhukum.blogspot.com, 3 Juli 2007).2 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5374/1/09E01963.pdf

1

Notaris bertindak sebagai pelayan masyarakat sebagai pejabat

yang diangkat oleh pemerintah yang memperoleh kewenangan secara

atributif dari Negara untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam

hubungan hukum yang terjadi antara mereka yang digunakan sebagai alat

bukti akan dokumen-dokumen legal yang sah yang memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna. Dalam pelayanannya Notaris terikat pada

Peraturan Jabatan dan kode etik profesi sebagai notaris.

Pengaturan mengenai notaris di Indonesia pada awalnya mengacu

pada ketentuan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Staatsblad

1860 Nomor 3) atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang merupakan

aturan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan peraturan

perundang-undangan lain yang merupakan peraturan perundang-

undangan nasional dibidang notaris.

Sesuai perkembangan zaman, Instruksi untuk para notaris

mengalami beberapa kali perubahan, antara lain :

1822, Instructie voor de Notarissen : notaris adalah Pejabat umum

(publiek ambtenaar) yang bertugas untuk membuat akte-2 dan

kontrak-kontrak.

Stb. 1860 No.3 “Reglement op het notarisambt” : Peraturan Jabatan

Notaris.

Ordonantie 16 September Tahun 1931 tentang Honorarium

Notaris.

2

Undang-Undang No. 33 – 1954, tentang Wakil Notaris dan Wakil

Notaris Sementara

Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang MA

Undang-Undang No.8 Th.2004 tentang perubahan atas UU No.2

Th.1986 ttg Peradilan Umum

PP No.11 Th.1949 tentang Sumpah/janji Jabatan Notaris

Undang-Undang No. 30 Tahun.2004 tentang Jabatan Notaris,

Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 30 Tahun.2004 tentang Jabatan Notaris3

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004

tentang jabatan notaris.4 Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta

yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat

umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pejabat Umum

merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka

yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik.

Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk

membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum,

tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat

disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat

Lelang.

3 http://ichanklaida.blogspot.co.id/2011/03/peraturan-jabatan-notaris.html4 http://www.jimlyschool.com/read/analisis/384/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/

3

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut diatas,

maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas dan mengkaji

permasalahan tersebut diatas dalam bentuk sebuah makalah berjudul:

“Notaris Sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Umum Lainnya”.

I.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis

mencoba merumuskan dan mengkaji permasalahan dalam penelitian ini.

Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan jabatan notaris sebagai pejabat umum dan

pejabat umum lainnya ditinjau dari perundangan dan peraturan

terkait yang ada di Indonesia?

i.3 METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis

normatif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang seutuhnya

mengenai suatu hal enurut pandangan manusia yang diteliti dengan

merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum yang terkait.

4

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 PENGERTIAN

Jabatan Notaris sesungguhnya menjadi bagian penting  dari negara

Indonesia yang  menganut prinsip Negara hukum (Ps.1 ay.3 UUD NRI Th

1945)5. Dengan prinsip ini,  Negara menjamin adanya kepastian hukum,

ketertiban dan perlindungan hukum, melalui alat bukti yang menentukan

dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam

masyarakat. Salah satu jaminan atas kepastian hukum yang  memberikan

perlindungan hukum adalah   alat bukti yang terkuat dan terpenuh, dan

mempunyai peranan penting berupa “akta otentik”.

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004

tentang jabatan notaris. Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta

yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat

umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Pasal 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adalah alat pembuktian

yang sempurna bagi kedua pihak & AW,sekalian org yang mendapat

haknya dari akta tsb memberikan kpd pihak-pihak suatu pembuktian yang

mutlak.

Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:

1. Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan

untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn

5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

5

kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yang

mengaturnya;

2. Kekuatan pembuktian formil; apa yang dinyatakan dalam akta tsb

adl benar.

3. Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd

peristiwa,apa yang diterangkan dalam akta itu benar.

Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau

diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam

pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya

diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu

Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu

Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.

Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika

ketentuan dalam  Wet op het Notarisambt  tersebut di atas dijadikan

rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan

Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum

yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya ,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka

Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca

sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang

berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN

dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)

6

dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi

Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang

berkaitan dengan keperdataan, yang dilindungi oleh UU.

Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah  Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang

berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,

menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan

grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu

oleh suatu peraturan tidak dikecualikan.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan

nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005

mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.

Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam

Regelement op het Notaris Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860)

S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S.Lumban

Tobing, op.cit., hlm. V.  Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat

7

dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain).  Pasal 1868

KUH Perdata menyebutkan : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang

dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta

itu dibuat. Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat

Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan

lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut

Kamus Hukum salah satu arti dari  Ambtenaren  adalah Pejabat.  Dengan

demikian  Openbare Ambtenaren  adalah pejabat yang mempunyai tugas

yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare

Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik.

Khusus berkaitan dengan  Openbare Ambtenaren yang

diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang

diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan

publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan hukum

sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak

memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena

sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya

Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi

sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai

Pejabat Umum kepada pejabat lain istilah  Openbare  diterjemahkan

sebagai Umum.

8

II.2 Notaris Sebagai Pejabat Umum Dan Pejabat Umum Lainnya Ditinjau

dari Perundangan/Peraturan yang Ada di Indonesia

NOTARIS adalah PEJABAT UMUM

Definisi Otentik yang termuat dalam pasal 1 Peraturan Jabatan

Notaris (PJN), menyatakan bahwa Notaris adalah “ Pejabat Umum yang

satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu

peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk

dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,

menyimpan asli aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan

kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu

peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat

atau orang lain “.6

Dari definisi tersebut diatas, dapat kita temukan beberapa unsur ,

antara lain :

a. Bahwa Notaris adalah PEJABAT UMUM.

b. Yang satu-satunya berwenang membuat AKTA OTENTIK.

c. Mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang

berkepentingan.

d. Menjamin kepastian tanggalnya.

e. Menyimpan aktanya.

6 http://lembagaketerampilanhukum.blogspot.co.id/2012/06/bahan-pendidikan-profesi-notaris.html

9

f. Memberikan Grosse, salinan dan kutipannya.

g. Kesemuanya itu sebegitu jauh pembuatan akta itu oleh satu

peraturan umum tidak pula ditugaskan atau dikecualikan kepada

pejabat atau orang lain.

Yang dimaksud dengan Pejabat Umum disini bukanlah Pegawai

Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 tahun

1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.Seorang menjadi pejabat umum

apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi

wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu,

karena itu ia ikut serta melaksanakan kewibawaan (gezag) dari

pemerintah.

Dalam jabatan notaris tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang

membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat,

sekalipun untuk menjalankan jabatan-jabatan lainnya kadang-kadang

diperlukan juga pengangkatan atau izin dari pemerintah; misal :

Pengacara, Dokter yang mana sifat dari pengangkatan itu sesungguhnya

pemberian izin atau pemberian wewenang yang merupakan lisensi untuk

menjalankan sesuatu jabatan dan tidak mempunyai sifat sebagai Pejabat

Umum, karena mereka tidak melaksanakan sesuatu kekuasaan yang

bersumber pada kewibawaan (gesag) dari pemerintah. Mereka orang-

orang swasta yang hanya terikat pada peraturan-peraturan mengenai

jabatannya dan selanjutnya mereka bebas dalam menjalankan profesinya,

boleh memilih sendiri tempat dimana mereka bekerja, tidak terikat

10

peraturan cuti dan peraturan Administrasi yang ketat berhubungan dengan

pekerjaannya.7

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan

dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa

Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-

akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau

orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain,

seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai

Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum

saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan

kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai

Pegawai Negeri.

Berdasarkan pengertian di atas, bahwa Notaris berwenang

membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut

aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.  Notaris sebagai

Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam

ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Berkaitan

dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar

wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut tidak

mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan  (nonexecutable).

Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di

luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke

Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris

7 Suhrawardi K. Lubis,S.H., Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 34

11

sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian

dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :

a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan

para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan

hukum yang berlaku.

b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah

dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau

menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak

yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib

membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum

yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan

dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Sepanjang suatu akta

notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka akta

tersebut  merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang

sebenarnya dari para pihak dengan didukung oleh dokumen-

dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung

jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.  Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka

ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai

dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini

12

sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan

tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum

yang berlaku. 

Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai

wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris

sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan

publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik produk

akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata

terutama dalam hukum pembuktian.

Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat

bukti, bila terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai

pedoman bagi para pihak yang bersengketa. Peran Notaris diperlukan di

Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang

menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :

1. bukti tulisan;

2. bukti dengan saksi-saksi;

3. persangkaan-persangkaan;

4. pengakuan;

5. sumpah.

Pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa

akta otentik maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang

dapat membuat akta otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara

13

menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik. Negara

mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera pada Pasal 1868

KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat

yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam

pembuatan akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah

Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap para Notaris adalah

lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini dapat juga dilihat

di dalam pasal 1 angka 1 UUJN.  Notaris Dalam Memberikan Pelayanan

Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi.8

Berdasarkan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap

warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan, oleh karena itu apapun alasannya, tidak perlu

dipersoalkan, karena pilihan menentukan sesuatu yang terbaik untuk

dijalankan dalam pekerjaan seseorang adalah hak setiap warga negara

dan semua akan kembali kepada yang menjalaninya.

Namun bagi orang (subyek) yang menduduki jabatan Notaris dan atau

PPAT, yang duduk sebagai anggota legislatif tersebut perlu mandapat

perhatian khusus dalam kaitannya dengan jabatan Notaris sebagai

Pejabat Umum berdasarkan Undang-Undang. Pasal 17 huruf d Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)

menyatakan “Notaris dilarang merangkap sebagai Pejabat Negara”.

Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

8 Ibid, hlm 35

14

Kepegawaian, Pasal 11 ayat (1), menyatakan bahwa Pejabat Negara

terdiri atas :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggot Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada

Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada

semua Badan Peradilan;

e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;

f. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan;

g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang

berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa

Penuh;

i. Gubernur dan Wakil Gubernur;

j. Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota;

k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(UUJN) juga mengatur untuk notaris sebagai Pejabat Negara, bahwa jika

seorang Notaris akan diangkat sebagai Pejabat Negara maka wajib

mengambil cuti selama memangku jabatan sebagai peajabat negara

(Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUJN), dan wajib mengangkat Notaris

Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi

15

memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat

melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6)

UUJN). Ketentuan tersebut sesuai dengan karakter jabatan notaris yaitu

harus berkesinambungan selama notaris masih dalam masa jabatannya.

Dengan demikian serta merta seorang Pejabat Umum atau Pejabat

Publik dilarang untuk merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara. Bahwa

jika melanggar ketentuan tersebut (artinya tidak mengambil cuti) akan

dijatuhi Sanksi Administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUJN.

Hal yang sama juga diatur pula dalam Pasal 30 Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1999 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dalam ayat (1)

huruf c berbunyi “PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi lain-lain

jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan”. Kemudian dalam

ayat (2) disebutkan bahwa PPAT yang merangkap jabatan tersebut wajib

mengajukan permohonan berhenti kepada kepala BPN. Selanjutnya

menurut ayat (3) jika masa jabatan telah berakhir dapat mengajukan

permohonan kembali sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

ketentuan Pejabat Umum atau Pejabat Publik yang menjadi anggota

legislatif tersebut lebih tegas lagi jika ditinjau dari Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

16

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk Dewan Perwakilan Daerah

disebutkan dalam Pasal 12 huruf l bahwa “bersedia untuk tidak berpraktek

sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaris, pejabat pembuat

akta tanah (PPAT), dan melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa

yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang

dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan

hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”.

Selanjutnya untuk anggota DPRD Kota/Kabupaten/Propinsi dan Pusat

dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l disebutkan bahwa “bersedia untuk tidak

berpraktek sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaries, pejabat

pembuat akta tanah (PPAT), dan melakukan pekerjaan penyedia barang

dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan

lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,

wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan”.

Aturan hukum yang mengatur kedudukan Pejabat Umum yang menjadi

anggota legislatif tersebut secara substansi sangat berbeda yaitu

berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, untuk Notaris wajib

mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan

setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka

Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal

11 ayat (3) – (6) UUJN), sedangkan untuk PPAT berdasarkan Pasal 30

ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, bahwa

17

yang bersangkutan wajib berhenti, dan jika masa jabatannya berakhir

dapat mengajukan permohonan kembali sesuai aturan hukum yang

berlaku, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,Pejabat Umum dilarang

berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Pejabat

Umum.

Jika menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2), untuk Notaris wajib

mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan

setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka

Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatanya sebagai Notaris (Pasal 11

ayat (3) – (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa Notaris yang

bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya dan namanya

dipakai oleh Notaris Pengganti.

Akan tetapi menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 tahun

2006 wajib berhenti dan berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1)

huruf l Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang

berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai

Notaris/PPAT sama sekali, artinya jika Notaris/PPAT menjadi anggota

legislatif tersebut dengan memakai Notaris/PPAT Pengganti masih

dikategorikan “praktek” atau menjalankan tugas jabatannya, maka

menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang

Nomor 10 tahun 2008 dilarang praktek, dengan kata lain Notaris/PPAT

yang menduduki jabatan negara bukan lagi harus cuti tapi harus

18

mengundurkan diri atau berhenti tetap sebagai Notaris/PPAT dan

menyerahkan protokolnya kepada Notaris/PPAT lain dan menurunkan

papan namanya dan menutup kantornya. Maka konsekuensi hukumnya,

jika setelah melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif dan akan

kembali praktek sebagai Notaris/PPAT, maka kepada orang yang

bersangkutan akan dikategorikan sebagai Notaris/PPAT baru yang harus

menempuh prosedur pengangkatan sebagai Notaris/PPAT baru artinya

tidak diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakuan khusus

kepada yang bersangkutan.

Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai diatas tidak

sejalan, yaitu menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) juncto ayat (3) – (6) UUJN

cukup cuti saja, dan setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat

Keputusan (SK-nya) untuk kembali menjalani tugas sebagai Notaris,

menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 wajib

berhenti, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf

l Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang

berpraktek. Hal tersebut membingungkan dalam penerapannya apakah

harus tunduk kepada Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008? mengingat Jabatan Notaris

/PPAT di atur dengan Undang-Undang tersendiri sebagaimana tersebut

diatas. Namun mengacu kepada Pasal 4 UUJN dan Pasal 34 ayat (1)

mengenai sumpah/janji sebelum menjalankan Jabatan Notaris/PPAT

19

yaitu akan patuh dan setia kepada Undang-Undang serta peraturan

perundang-undangan lainnya, maka wajib dipatuhi.

Dengan menggunakan Asas Prefensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12

huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2008 harus ditempatkan sebagai aturan yang khusus (lex specialis), yang

mengatur secara khusus mengenai persyaratan Pejabat Umum sebagai

anggota legislatif, maka Pejabat Umum yang terpilih sebagai anggota

legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai Pejabat

Umum dan jika setelah melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif

dan akan kembali praktek sebagai Pejabat Umum, maka kepada orang

yang bersangkutan harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai

Pejabat Umum yang baru berdasarkan Undang-undang.

Pejabat Umum Lainnya

Pejabat Umum mempunyai kedudukan yang tidak sama

dengan Pegawai Negeri. karena ada perbedaan antara Pejabat Umum

dan Pegawai Negeri biasa yang diatur dalam perundang-undangan

Pegawai Negeri. Meskipun Pegawai Negeri sebagai pejabat juga

mempunyai tugas untuk melayani umum tetapi bukan pejabat umum

dalam arti pasal 1868 BW, yang berhak membuat akta otentik, kecuali

Akta Kelahiran, Akta Perkawinan dan Kematian dibuat oleh pegawai

Pemerintah Daerah, yang disamping tugasnya sebagai Pegawai Negeri

juga sebagai Pejabat umum dalam arti pasal 1868 BW, peraturan dan

perundang-undangan mengenai pegawai negeri tidak berlaku untuk

20

Notaris dan segala sesuatu mengenai profesi notaris diatur dalam

peraturan tersendiri, notaris tidak menerima gaji atau pensiun dan tidak

ada suatu perhubungan kerja dengan pemerintah.

Pejabat Umum adalah Pejabat yang diangkat dan diberhentikan

oleh kekuasaan umum (negara diwakili oleh Pemerintah), dan diberi

wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu,

karena itu ia turut melaksanakan kewibawaan Pemerintah.

Notaris disebut pejabat umum karena Notaris diangkat dan

diberhentikan oleh Negara (dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah melalui

Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang

kenotariatan, untuk kabinet sekarang ini Menteri Hukum dan Ham),

Notaris menjalankan tugas Negara, akta yang dibuatnya merupakan

dokumen Negara. Jadi tugas utama Notaris yaitu membuat akta-akta

otentik guna melayani (atas permintaan) masyarakat.

Yang membedakan Notaris dengan Pejabat lainnya dalam

masyarakat, karena meskipun Pejabat lain juga diangkat oleh Pemerintah

ataupun mendapat izin dari Pemerintah, tapi sifat pengangkatannya itu

hanyalah merupakan pemberian izin atau lisensi untuk menjalankan

sesuatu jabatan, tidak langsung merupakan pengemban jabatan Negara.

Contohnya, Advokat, Dokter Umum, Akuntan Publik dan lain sebagainya.

Mereka menjalankan pekerjaan bebas, tidak mempunyai sifat seperti

Pejabat Umum, karena pekerjaan yang dilakukannya tidak bersumber dari

kekuasaan Pemerintah. Mereka adalah orang-orang swasta yang hanya

21

terikat kepada peraturan-peraturan mengenai jabatan, dan selanjutnya

mereka bebas melakukan profesinya. Mereka boleh memilih sendiri

dimana mereka akan bekerja, tidak terikat kepada peraturan cuti dan

peraturan administrasi yang erat dengan pekerjaannya.

22

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Notaris adalah Pejabat Umum yang dimaksud Pasal 1868

KUH Perdata, yang kehadirannya sangat dibutuhkan sebagai konsekuensi

logis dari meningkat dan berkembangnya kegiatan dalam bidang hukum

perdata serta transaksi dalam dunia perniagaan yang memerlukan bukti

otentik, dalam melaksanakan tugas pekerjaan yang menjadi wewenang

dan tanggung jawabnya wajib memenuhi formalitas-formalitas yang telah

ditentukan dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam PJN dan

juga dalam Kode Etik Notaris.

Notaris disebut pejabat umum karena Notaris diangkat dan

diberhentikan oleh Negara (dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah melalui

Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang

kenotariatan, untuk kabinet sekarang ini Menteri Hukum dan Ham),

Notaris menjalankan tugas Negara, akta yang dibuatnya merupakan

dokumen Negara. Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki kewenangan

tertentu. Kewenangan Notaris adalah kewenangan yang diperoleh secara

Atribusi, yakni memberian kewenangan yang baru kepada suatu jabatan

berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.

23