Tugas Kelompok Filsafat Ilmu Pengetahuan (Aksiologi)

24
 MAKALAH AKSIOLOGI Oleh: 1. IDA MADE SANTI ADNYA I2B 001 029 2. ILYAS I2B 001 030 3. I KETUT PURWATA I2B 001 031 4. I KETUT SURYA BAWANA I2B 001 032 5. I MADE BADUARSA I2B 001 033 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

Transcript of Tugas Kelompok Filsafat Ilmu Pengetahuan (Aksiologi)

MAKALAH AKSIOLOGI

Oleh: 1. 2. 3. 4. 5. IDA MADE SANTI ADNYA ILYAS I KETUT PURWATA I KETUT SURYA BAWANA I MADE BADUARSA I2B 001 029 I2B 001 030 I2B 001 031 I2B 001 032 I2B 001 033

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

MAKALAH AKSIOLOGI

Oleh: 1. 2. 3. 4. 5. IDA MADE SANTI ADNYA ILYAS I KETUT PURWATA I KETUT SURYA BAWANA I MADE BADUARSA I2B 001 029 I2B 001 030 I2B 001 031 I2B 001 032 I2B 001 033

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Filsafat Ilmu Pengetahuan ini dengan judul Aksiologi sehingga dapat kami presentasikan di hadapan teman-teman mahasiswa dan dosen. Pembuatan makalah ini dibentuk dengan kerjasama anggota kelompok VII dengan fokus bahasan tentang Apakah arti dan makna etika serta kemukakan tiga permasalahan utamanya, arti dan makna estetika, bagaimana hubungan antara etika dan estetika. Tugas makalah ini merupakan bagian dari proses pembelajaran pada Magister Ilmu Hukum agar mahasiswa lebih memahami secara mendalam dan konfrehensif tentang Filsafat Ilmu Pengetahuan. Pendekatan belajar secara kelompok tentu sangat baik karena memberi ruang lebih besar terhadap interaksi pembelajaran diskusi untuk mencapai tingkat pemahaman lebih mendalam. Dari diskusi-diskusi di antara anggota kelompok dalam kelompok kecil ini, kemudian dikembangkan lagi pada diskusi-diskusi antar kelompok dan diskusi kelas. Dengan demikian diharapkan dapat digali lebih jauh masalah-masalah mengenai etika dan estetika serta bagaimana hubungan antara etika dan estetika sehingga dapat dipahami lebih jauh mengenai Aksiologi. Tulisan ini pada dasarnya secara utuh bersumber dari literatur atau buku hukum yang berkenaan dengan bahasan makalah. Mudah-mudahan tulisan ini akan mampu memberikan sumbangan pemahaman bersama mengenai hukum alam, khususnya bagi kelompok VII terhadap materi pembelajaran Filsafat Ilmu Pengetahuan yang diberikan. Mataram,

Penulis

DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................................... i Kata Pengantar ................................................................................................................... ii Daftar Isi .............................................................................................................................. iii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3 BAB II. PEMBAHASAN A. arti dan makna etika serta kemukakan tiga permasalahan utamanya.. 4 B. arti dan makna estetika............ 10 C. hubungan antara etika dan estetika... 18 BAB III. KESIMPULAN.................................................................................................... 20 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Meskipun sejak zaman yunani kuno masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengenai aksiologi secara prinsip. Sebagaimana telah diutarakan, dalam aksiologi yang membahas mengenai nilai dan penilaian, terdapat banyak pendapat menyangkut isinya. Apakah nilai dan

apakah penilaian, merupakan masalah utama pada bagian filsafat ini. Dalam pikiran seorang awam, masalah ini memang tidak sederhana. Dalam filsafat lama, termasuk filsafat Yunani kuno, temanya lebih banyak berkaitan dengan masalah-masalah yang konkret, substansi material, seperti api, udara, dan air. Masalah ini memerlukan pembahasan khusus. Oleh karena itu, kita perlu membahas nilai ini berdasarkan dua hal, ialah ada (being) dan nilai (value). Pada masa lalu, nilai berada dibawah masalah ada, tetapi diukur berdasarkan tolok ukur (parameter) yang sama. Tentu saja masalahnya menjadi tidak selaras. Sebagian orang mengartikan nilai dengan menggunakan berbagai reduksi.

Dalam hal ini, memperlihatkan adanya tiga sektor besar realitas, yaitu benda, esensi,

dan keadaan psikologis. Nilai yang diberikan orang pada sesuatu akan dikaitkan antara lain dengan apa yang membuatnya senang atau nikmat. Teori-teori lainnya, seperti yang dikemukakan oleh teori Nicolai Hartman, bahwa nilai adalah esensi dan ide platonik. Nilai selalu berhubungan dengan benda yang menjadi pendukungnya, seperti indah untuk kain, seperti warna, rasa, dan bau. Adapun kualitas tersier terjadi ketika penilaian berbeda dengan berdasarkan dua kualitas terdahulu. Jelas bahwa kualitas ini tidak nyata, tetapi suatu sifat, sui generis, yaitu bahwa nilai tidak mandiri, kata Husserl. Merupakan hal yang biasa bahwa sebuah perbedaan akan berhenti ketika seorang partisipan mengatakan de gustibus non disputandum yang artinya selera tidak diperdebatkan. Masalah ini merupakan masalah penting. Dengan nilai, seseorang dapat bersikap subjektif sehingga dapat menimbulkan masalah besar dan esensial, tetapi dibiarkan begitu saja meskipun mengacaukan situasi. Masalah ini juga merupakan masalah serius yang timbul dalam penggunaan nilai dalam penggunaan nilai dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah nilai identik dengan selera. Timbul pertanyaan, seberapa jauh perbedaan dalam penilaian itu benar-benar subjektif, dan tertutup untuk pemikiran yang bersifat kolektif ? misalnya dalam kesenian, tata boga, tata busana; juga dalam perilaku dan sikap pada umumnya, atau perilaku khusus dalam sebuah pesta pada kalangan tertentu. Kita boleh juga mempertanyakan, seberapa jauh suatu penilaian menjadi objektif, seperti nilai suatu imu pengetahuan; atau hal-hal nyata dan konkret, seperti selera makan asam atau pedas.

Masalah-masalah demikian, dalam arti yang lebih luas dan lebih banyak, boleh jadi merupakan sumber terjadinya konflik antar orang atau antar ras. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya, apakah nilai itu objektif atau subjektif. Masalah yang paling banyak dibicarakan antara lain, mengenai kebaikan perilaku, keindahan karya seni, dan kekudukan atau kesucian religius. Adapun masalah yang akan dikemukakan disini adalah pendapat dari Langeveld, bahwa aksiologi terdiri atas dua hal utama, yaitu ETIKA dan ESTETIKA. Keduanya merupakan masalah yang paling banyak ditemukan dan dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah arti dan makna etika serta kemukakan tiga permasalahan utamanya ? 2. Apakah arti dan makna estetika ? 3. Bagaimanakah hubungan antara etika dan estetika ?

BAB II PEMBAHASAN

1. Arti dan Makna Etika Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku manusia. Semua perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat suatu perilaku adalah beretika baik atau beretika tidak baik. Sejalan dengan perkembangan penggunaan bahasa yang berlaku sekarang, istilah tidak etis dan etis tidak baik dimaksudkan untuk hal yang sama. Demikian juga etis dan etis baik. Etika disebut juga sebagai filsafat kesusilaan atau moral (Driyarkara), terdapat dua perbedaan antara etika dan kesusilaan. Pertama, moralitas bersangkutan dengan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang ditegakan. Etika adalah wacana yang memperbincangkan landasan-landasan moralitas. Kedua, bahwa etika berkaitan dengan landasan falsafiah norma dan nilai dalam kehidupan kemasyarakatan atau budaya, sedangkan kesusilaan atau moral, secara khusus berkaitan dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan perilaku yang bersangkutan dengan agam. Dengan demikian, kesusilaan sering pula berkaitan dengan norma agama yang selanjutnya berhubungan dengan masalah dosa dan pahala.

Kembali pada perkembangan penggunaan etika dalam kehidupan sehari-hari, ataupun perbincangan filsafati, dalam buku ini perbedaan tersebut tidak akan ditonjolkan. Pada dasarnya etika berhubungan dengan nilai dan penilaian terhadap perilaku. Pertanyaan yang mendasarinya adalah perilaku seperti apakah yang dianggap baik ataupun dianggap jahat?. Atau lebih tepat wacana apakah yang menentukan suatu perilaku dinilai baik atau jahat. Istilah jahat digunakan untuk perbuatan buruk manusia karena memberikan akibat kerusakan pada manusia lain atau manusia pada umunya. Terdapat hubungan antara teori etis dan praktis etis, antara prinsip-prinsip falsafiah, keputusan, dan kebijakan khusus, atau partikular. Saat etika modern sering mendapat kritik sebagai terlalu ikut campur dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan orang, atau terlalu mengambil alih isu-isu linguistik mengenai makna konsep-konsep etik, dan terlalu sedikit memperdulikan masalah-masalah moral dan politik yang membutuhkan resolusi filsafati. Meskipun filsafat itu sendiri tidak dapat memberikan jawaban yang pasti mengenai maslah-masalah nyata, namun etika dapat membantu kita berpikir lebih jelas tentang prinsip-prinsip tindakan dan memecahkan secara logis masalah-masalah etis. Filsafat etis merupakan usaha untuk memberi landasan bagi usaha

menyelesaikan konflik-konflik secara rasional, jika respon otomatis kita dan aturan implisit tindakan berbelit dengan respon dan aturan yang bertentangan. Jika oposisi dari orang lain atau dari kesadaran kita membuat kita menyadari argument yang

melawan tindakan dan kebijakan kita, menjadi penting bagi kita untuk menyediakan alasan bagi mereka, dan menjadi terikat ke dalam diskusi filosofis. Craig, dalam The Shouter Routledge Encyclopedia of Phylosophy (2005) mengemukakan 3 (tiga) permasalahan utama dalam etika, yaitu masalah etika dan metaetika, masalah konsep etis dan teori etis, serta masalah etika terapan. a. Masalah Etika dan Metaetika Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan etika meliputi empat pengertian pertama, sistem-sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia yang digambarkan sebagai etika kelompok. Para filosof memperdulikan dengan mengemukakan sistem-sistem ini, tetapi hal ini dilihat sebagai tugas antropologi. Kedua istilah etika digunakan pada salah satu di antara sistem-sistem khusus tersebut, yaitu moralitas yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu. Pertanyaan sentral dalam hal ini, moral tertentu mengemukakan fungsi tertentu, seperti apa yang memungkinkan seeorang dapat bekerja sama dengan orang lain kemudian dalam bekerja sama, mestikah melibatkan perasaan tertentu, atau bahkan dengan hujatan. Ketiga, etika dalam sistem moralitas itu sendiri dapat mengacu pada prinsipprinsip moral aktual. Misalnya mengapa anda mengembalikan buku pinjaman itu. Hal ini seperti hanyalah masalah etis dalam suatu lingkungan.

Kempat, etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang membincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain. Penting untuk diingat bahwa etika filosofis tidak bebas dari area flsafiah lainnya. Jawaban terhadap masalah etika bergantung pada jawaban terhadap banyaknya pertanyaan metafisika dan area lain pemikiran manusia. b. Konsep dan Teori Etika Ada beberapa etika falsafiah yang bersifat luas dan umum, serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum atau keterangan-keterangan mengenai moralitas, cenderung memfokuskan pada analisis atas masalah sentral pada etika itu sendiri. Misalnya masalah otonomi. Perhatian terhadap pemerintahan sejajar dengan masalahmasalah yang menyangkut diri (self), hakikat moral dan relasi etis dengan masalah lain. Topik lain yang juga termasuk masalah ini adalah tentang ideal moral, makna pahala, dan responsibilitas moral. Pertanyaan mengenai apa yang dibuat untuk kehidupan kemanusiaan yang baik bagi kehidupan pribadi merupakan inti etika sejak para filosof Yunani mendalaminya ke dalam kebahagiaan (eudaimonia). Teori para filosof mengenai kebaikan secara erat menyatu dengan pandangan-pandangan mereka mengenai masalah-masalah lain. Misalnya, beberapa dari mereka memberikan penekanaan pada makna pengalaman dalam pengertian kita mengenai dunia, terganggu oleh pandangan bahwa kebaikan berisi seluruhnya di dalam suatu jenis pengalaman khusus, ialah kenikmatan.

Pandangan lain menganggap disamping kesenangan terdapat hal lain bahwa kebaikan hidup berisikan hakikat manusia yang kompleks. Filsafat moral atau etika sedikitnya membicarakan advokasi cara-cara khusus hidup dan bertindak. Beberapa tradisi lama saat ini telah menghilang sebagian lagi menurun. Tetapi masih banyak jarak atau perbedaan cara pandang mengenai bagaimana seharusnya orang hidup. Salah satu tradisi pusat modern adalah konsekuensialisme. Dalam pandangan ini, sebagaimana dipahami, kita dituntut oleh moralitas untuk membawa kebaikan menyeluruh yang terbaik. Pandangan setiap konsekuensionalis bergantung pada pandangannya tentang kebaikan. Teori yang paling berpengaruh adalah bahwa kebaikan merupakan kesejahteraan atau kebahagiaan manusia individual dan binatang lain yang apabila dikombinasikan dengan konsekuensionalisme akan menjadi utiltarianisme. Sering dinyatakan bahwa pandangan konsekuensionalis lebih berdasar pada kebaikan daripada kebenaran. Teori-teori yang berdasar pada kebenaran dapat diperikan sebagai deontologis. Puncaknya terjadi pada abad ke-18 dalam filsafat jerman, melalui Immanuel Kant. Teori-teori seperti itu beranggapan bahwa kita harus memegang janji, bahkan jika dilanggar akan membawa akibat yang berlebih. Pada paroh kedua abad ke-20, terdapat reaksi perlawanan terhadap ekses yang dipersepsi dari etika kaum konsekuensionalis dan deontologist, dan kemudian kembali kepada pegangan-pegangan masa kuno. Bekerja dibidang etika akan banyak berhubungan dengan keadaan dalam etika abad modern, juga menyangkut eloborasi dan analisis mengenai kebaikan dan konsep yang berhubungan.

c. Masalah Etika Terapan Etika falsafah selalu dikaitkan dengan taraf penerapan tertentu pada kehidupan nyata sehari-hari. Misalnya Aristoteles yakin bahwa dalam mempelajari etika tidak terdapat nilai jika hal itu tidak akan memberikan keuntungan kepada orang dalam menjalani kehidupannya. Tetapi sejak 1960-an, terdapat minat baru dalam diskusi yang lebih detail mengenai masalah-masalah kontemporer yang khusus secara praktis. Salah satu bidang keilmuan yang paling menonjol pada saat ini adalah bidang kedokteran. Secara lebih khusus, bidang ini menyangkut hidup dan mati. Bidangbidang lainnya adalah bidang ilmu dan teknologi, juga masalah-masalah kesenian yang berhubungan dengan agama dan norma-norma serta nilai sosial, misalnya masalah pornografi dan pornoaksi. Dalam bidang politik, masalah etika sering dibicarakan. Pada asasnya politik merupakan cara untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat dan Negara tetapi kemudian bidang politik tampil menonjokan dalam sisi perebutan kekuasaan Politik diartikan sebagai upaya memegang kendali pemerintahan untuk melaksanakan metode dan teknik dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dalam upaya memegang kendali pemerintahan inilah, kegiatan politik sangat menonjol. Dalam hal itulah etika diperlukan.

2. Arti dan Makna Estetika Estetika adalah bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. Indah dan jelek adalah pasangan dikotomis. Artinya bahwa yang dipermasalahkan secara esensial adalah pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada satu pihak, dan rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada baiknya kita menghargai pepatah de gustibus non disputdum, meskipun tidak mutlak, tidak untuk segala hal. Estetika mempunyai bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia (The Liang Gie, 1976) Estetika, seperti juga bidang lainnya, dapat dibahas dalam lingkup estetika filsafati dan estetika ilmiah. Selain itu, dalam memahami estetika, kita perlu memahami istilah lain yang berhubungan dengan kesenian, khususnya teori kesenian yang untuk sebagian besar mempunyai kaitan bahkan persamaan dengan filsafat seni. a. Estetika Filsafati Menurut The Liang Gie, istilah-istilah yang sering tampil untuk pengertian ini adalah filsafat keindahan (Philosophy of Beauty), Filsafat cita rasa, filsafat seni, filsafat kritik. Selain itu, terdapat pula istilah kritik seni atau tinjauan seni. Dalam bahasa inggris, istilah filsafat diganti dengan teori, sehingga namanya Theory of Five

Arts. Penggunaan istilah teori ini sering dianggap tidak tepat karena berdasarkan asumsi tertentu. Adapun estetika atau filsafat seni mencari landasan atau asumsi sehingga teori keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam mebahas fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar bagi wacana seni. Adapun yang dimaksud dengan Teori Lima Seni (Theory of Five Arts) adalah teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni pahat, arsitektur, sajak dan musik yang dianggap pilar dari kesenian pada umumnya. Terdapat pengertian lain, yaitu fine art yang kadang-kadang disebut sebagai seni halus, ialah jenis seni yang khusus menyangkut seni rupa. Bagaimana proses terjadinya istilah itu, tidak cukup jelas. Boleh jadi istilah itu muncul karena lukisan dibuat dengan cara atau tindakan lembut atau hasilnya berupa goresan-goresan warna, garis dan bidang yang halus. Pada zaman Yunani kuno, filsafat keindahan yang saat ini lebih tepat banyak dianggap sebagai bagian dari aksiologi, lebih banyak dibicarakan dalam metafisika. Pada masa yunani kuno masalah estetika antara lain dibahas oleh Socrates dan Plato. Dalam abad pertangahan dan awal abad modern, dengan mendasarkan diri pada pendapat Leibniz, Alexander Gottleib Baumgarten, mereka dianggap sebagai tokoh pertama estetika modern yang membedakan antara pengetahuan intelektual (intellectual Knowledge) yang disebutnya sebagai pengetahuan tegas dan

pengetahuan kabur. Tahun 1750 buku Baumgarten berjudul Aesthetica terbit dalam dua jilid. Buku tersebut menjelaskan estetika adalah pengetahuan tentang sensuous. Dalam bahasa Yunani, aesthetika berarti hal-hal yang diserap oleh panca indra.

Sedangkan aesthesis berarti persepsi indrawi. Baumgarten dikenal sebagai seorang filsuf yang berjasa mengangkat estetika dengan cabang tersendiri dalam filsafat. Tentunya kita perlu membedakan estetika sebagai bagian dari filsafat dan estetika sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga filsafat estetika tidak seharusnya begitu saja disebut sebagai teori estetika. Secara singkat wacana yang menyangkut hukum-hukum kesenian, adalah pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, atau estetika. Sedangkan wacana tentang hakikat, akar dari ilmu kesenian, berupa hasil perenungan, bukan eksperimen dan pengalaman-pengalaman lahiriah, yaitu filsafat estetika. Bernard Bosanquet (1961) dalam bukunya A History of Aesthetic menyatakan bahwa teori aestetika merupakan cabang filsafat, dan lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis. Dengan demikian, aestetika pertama kali ditujukan kepada mereka yang membutuhkan minat filosofis dalam memahami tempat dan nilai keindahan dalam sistem kehidupan manusia, sebagaimana diartikan oleh pemikir-pemikir pada periode yang berbeda alam sejarah dunia. Dalam menelaah masalah estetika, kita perlu berbicara mengenai kedudukan dan peranannya dalam sejarah pemikiran pada masa lalu, khususnya bangsa Yunani Kuno. Bosanquet menyatakan bahwa penciptaan seni sajak dan seni formatif Hellenik dianggap sebagai panggung pertemuan (intermediate) antara relegi praktis popular dan refleksi kritis atau filosofis. Isi legendaries mengenai kesenian ini bukanlah pekerjaan penyair atau seniman formatif, melainkan pemikiran kebangsaan

menyangkut perkembangan pemikiran yang panjang mengenai hal-hal yang berada di luar keindahan. b. Prinsip Estetika Prinsip esetika yang menjadi bahan pertimbangan ditemukan pada antikuitas Hellenistik secara umum. Prinsip ini dapat diperikan sebagai prinsip bahwa keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam kemajemukan. Apakah hakikat keindahan merupakan karakteristik presentasi yang dialami ?. Pikiran Hellenik menjawabnya secara formal. Alasannya, menurut kaum Hellenistik bahwa seni pertama kali muncul sebagai reproduksi dari realitas. Hal tersebut merupakan alasan yang ditentang analisi estetik karena berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai keindahan dalam diri manusia dan alam. Teori yang bersangkutan dengan keindahan, mempunyai tiga prinsip yang membangun kerangka kerja spekulasi Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan. Namun, hanya satu yang dapat dianggap sebagai judul yang lebih tepat bagi teori estetika. Adapun dua prinsip lainnya lebih dekat pada masalah-masalah moral dan metafisik, meskipun akar keduanya adalah asumsi metafisik yang juga memadai untuk batasan analisis estetik. Prinsip ketiga dianggap sebagai kondisi ekspresi yang abstrak.

Asumsi metafisikal diperuntukan dalam membangun pikiran bahwa representasi artistik tidak lebih daripada realitas biasa, ialah realitas seperti dipresentasikan terhadap sense persepsi dan perasaan normal. Hal itu berkaitan dengan objek persepsi yang biasa terhadap orang dengan tujuan-tujuannya. Jadi, asumsi metafisika merupakan subjek untuk reservasi dalam hubungannya dengan cara eksistensi yang kurang solid dan lengkap daripada yang terdapat dalam objek untuk mengambil suatu penilaian. Obyek persepsi umumnya dianggap sebagai standar seni. Dalam obyek persepsi terdapat suatu baris yang tidak mungkin diatasi dalam menghadapi identifikasi keindahan dengan ekspresi spiritual yang hanya dapat ditangkap oleh persepsi tingkat tinggi. Dengan kata lain untuk menerima imitasi atas alam dengan pengertian yang paling luas sebagai fungsi seni, sangat menghendaki mudah untuk menyatakan bahwa masalah keindahan adalah nyata dalam kemungkinan yang paling kasar sehingga menghendaki ketidakmampuan total untuk memecahkannya. Artinya bahwa materi presentasi keindahan merupakan sesuatu yang diangkat dari objek persepsi, indra tidak menyentuh pertanyaan Apa yang dapat seni perbuat, lebih daripada yang dilakukan alami. Timbul pertanyaan lain, Dalam segi apakah? bawahannya adalah dalam hal kondisi dan karakter umum. Apakah suatu realitas dapat ditampilkan kembali sebagai keindahan, untuk jawabannya kita telah mengangkat pertanyaan spesifik mengenai ilmu estetika. Terhadap teori kepandaian meniru timbul pertanyaan baru, Bilamana suatu realitas menampilkan diri?. Hal tersebut merupakan kebaikan suatu model seperti yang lainnya, memiliki ex hipotesis yang tidak berjawab.

c. Konsep Estetika Konsep Estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilahistilah yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan objek, satu kejadian artistic dan estetik. Pertanyaan-pertanyaan epistemologis, psikologis, logis, dan metafisik, telah diangkat sebagai perlengkapan analog dengan hal yang telah diangkat mengenai konsep-konsep itu. Pada abad ke-18, filosof Edmund Burke dan David Hume berusaha untuk menerangkan konsep estetik. Misalnya keindahan secara empiris, dengan cara menghubungkannya dengan respon-respon fisik dan psikologis serta

mengelompokannya ke dalam tipe-tipe penghayatan individual atas objek-objek dan kejadian-kejadian yang berbeda. Jadi mereka melihat suatu dasar untuk objektivitas reaksi-reaksi pribadi. Kant menyatakan bahwa konsep-konsep itu memiliki objektivitas tertentu dengan dasar bahwa pada taraf estetik murni, perasaan sakit dan senang merupakan respons yang universal. Pada abad ke-20 para filsofof kembai mengacu pada analisis Humean mengenai konsep-konsep estetik melalui patokan cita rasa kemanusiaan dan telah

mengembangkan pertimbangkan psikologis untuk mencoba melahirkan keunikan epistemologis dan logis mengenai konsep estetika. Banyak orang berpendapat bahwa meskipun tidak ada hukum-hukum estetika, seperti semua bunga mawar adalah indah, atau bahwa musik simfoni memiliki 4 (empat) gerakan dan dikontruksikan dengan

aturan dan harmoni Barok, akan menjadi menyenangkan, konsep-konsep estetika tidak memainkan peranan penting dalam diskusi atau perdebatan. Dalam hal ini beberapa filosof beragumentasi lain bahwa konesep-konsep estetik tidak secara esensial berbeda dengan tipe-tipe konsep lainnya. Teori-teori masa kini menarik, bahwa konsep-konsep estetik merupakan contextdependent- dikontruksikan di luar pendapat dan kebiasaan. Teori-teori mereka biasanya menolak pendapat bahwa konsep-konsep estetik dapat bersifat universal. Misalnya, tidak hanya tidak ada jaminan bahwa istilah harmoni akan memiliki arti yang sama pada kultur yang berbeda, sama sekali tidak dapat digunakan. Terdapat beberapa hal mengenai masalah estetika yang penting untuk memahami apa yang nyata terjadi dalam kehidupan, Pertama adalah tentang aliran estetis atau aestetisme, sikap estetis, serta hubungan estetika dan etika. Mengenai istilah aestisme, Mautner (1999) menyatakan adanya dua pengertian yang umum dipahami dan pakai orang. Pengertian pertama adalah aliran filsafat dan orang-orang yang menghadapi permasalahan apapun atau dalam berkarya apapun senantiasa mengutamakan dan mendahulukan, nilai-nilai estetis. Misalnya Goethe, menyatakan bahwa dalam kehidupan, umumnya yang harus diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis, seperti dalam bertingkah laku dan menilai situasi atau gejala apapun. Para seniman tidak harus termasuk dalam aliran ini. Ada seniman yang dalam berkarya menghitung-hitung lebih dahulu laku-tidaknya karya tersebut. Hal ini menyangkut nilai kehidupannya, bukan masalah ia seniman atau bukan, atau hidup dari dunia seni atau akuntansi.

Mengenai pengertian kedua, aestetisme diartikan sebagai teori aestetisme merupakan inti dari Iart pour Iart, bahwa seni memiliki nilai intrisik. Seyogyanya seni dinilai atas dasar ukuran seni itu sendiri, bukan untuk maksud dan fungsi lain yang dimungkinkan. Teori ini banyak didukung pada abad ke-19. Budd dalam Craifg (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sikap aestetis adalah cara kita menganggap sesuatu dan jika hanya menangkap inti estetis di dalamnya. Hal ini mengasumsikan bahwa dalam setiap estetis, setiap objek yang terdapat di dalamnya dinilai secara identik, khas untuk setiap kejadian. Hal ini menjadi problematik. Jika identitas sikap ditentukan feature-feature, maka itu diarahkan . secara definisi, pokok atau minat estetis dalam suatu obyek merupakan pokok atau minat dalam kualitas-kualitas estetisnya. Jika perhatian kualitas-kualitas estetis dapat diterangkan secara uniform, maka terdapat sikap estetis yang tunggal, ialah minat di dalam kualitas estetis menyangkut hal yang dibicarakan. Tetapi konsepsi sikap estetis ini tidak tepat untuk mencapai maksud utama dari penempatan sikap estetis itu. Maksud definisi estetis ini bahwa sikap estetis yang dipahami sebagai setiap yang ditujukan pada kualitas-kualitas estetis objek, memiliki anggapan dasar gagasan estetik, dan tidak dapat digunakan untuk menganalisisnya. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah terdapat karakterisasi sikap estetis yang memberikan hakikatnya tanpa secara eksplisit mengantarkan pada konsep estetik? Tidak ada alasan baik untuk menanggapi hal tersebut. Sehubungan dengan itu, tidak ada sesuatu pun sebagai sikap estetis. Hal itu merupakan sikap yang diperlukan untuk melengkapi minat estetis dan dikarakterisasi secara mandiri untuk estetika.

3. Hubungan Antara Etika dan Estetika Mengenai hubungan etika dan estetika, Tanner sebagaimana dikutip Craig (2005), menyatakan bahwa antara penilaian estetika dan etika telah melahirkan subjek materi estetika, terutama berlandaskan pandangan idionsinkretis Kant mengenai moralitas. Pandangan tersebut adalah mengenai moralitas sebagai serentetan isyu imperatif dalam hubungannya dengan perintah dengan alasan-alasan praktis. Menurutnya, penilaian atas cita rasa tidak didasari alasan apa pun. Bahkan Neokantianisme beranggapan bahwa penilaian estetis pertama kali bersangkutan dengan kesenian itu sendiri. Dengan kekhasannya. Sementara itu moralitas terutama berhubungan dengan tindakan dan dapat diulang. Hal ini menyebabkan seni cenderung berpisah dari aktifitas manusia lainnya.

BAB III KESIMPULAN Berdasarkan uraian dalam pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: 1) 2) baik dan buruk; serta indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika. Dapat diketahui bahwa permasalahan utama dalam etika, yaitu : masalah etika dan metaetika, masalah konsep etis dan teori etis, serta masalah etika terapan. 2. Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah. 3. Antara penilaian estetika dan etika telah melahirkan subjek materi estetika, terutama berlandaskan pandangan idionsinkretis Kant mengenai moralitas. Pandangan tersebut adalah mengenai moralitas sebagai serentetan isyu imperatif dalam hubungannya dengan perintah dengan alasan-alasan praktis.

DAFTAR PUSTAKA

Sutardjo A. Wiramihardjo, 2009, Pengantar Filsafat : Sistematika dan Sejarah Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (epistemologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi, PT Refika Aditama, Bandung