Trauma Kapitis

13
TRAUMA KAPITIS Pendahuluan Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat 1,2 . Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala. 1

Transcript of Trauma Kapitis

Page 1: Trauma Kapitis

TRAUMA KAPITIS

Pendahuluan

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika

Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum

tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai

tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang

seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan

dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat1,2.

Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia

produktif antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki

dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak

adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada

anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh

kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas

kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan

pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi

penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita

tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di

antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas

kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan

sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan

tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya

trauma kepala.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap

petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan

keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan

live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit. Diharapkan

dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas

dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya

1

Page 2: Trauma Kapitis

rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan

berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.1,2,3

Anatomi, Fisiologi Dan Patofisiologi

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak,

cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas.

Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen

magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer

serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium.

Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak

(ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien

normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan

sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160

mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian

tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak

dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah.

Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau

hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).

Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K =

V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbentuknya

lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas

kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara

tajam.

Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik

dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan intrakranial

meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang

meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian

mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat

peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi

lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi

sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak

bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi

2

Page 3: Trauma Kapitis

batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi

lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir

kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO

akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang

otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada

otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial,

tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau

kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya,

banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak

dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun

akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat

memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari

15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan

muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala.

Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun

memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak

tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi

konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala.

Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yaitu

cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler

batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat

menurunkan tingkat kesadaran.4

Klasifikasi

Didasarkan pada aspek :

1) Mekanisme trauma

a) Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah

b) Tajam : cedera peluru, bacok, dll

2) Beratnya. Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)

a) Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)

b) Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)

c) Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)

3

Page 4: Trauma Kapitis

3) Berdasar morfologi :

a) Fraktura tengkorak.

i) Kalvaria :

(1)Linier atau stelata.

(2)Terdepres atau tidak terdepres.

ii) Basiler :

(1)Anterior.

(2)Media.

(3)Posterior.

b) Lesi intrakranial.

i) Fokal :

(1)Perdarahan meningeal :

(a)Epidural.

(b)Subdural.

(c) Sub-arakhnoid.

(2)Perdarahan dan laserasi otak :

(a) Perdarahan intraserebral dan atau kontusi. Benda

asing, peluru tertancap.

(b) Difusa :

(i) Konkusi ringan.

(ii) Konkusi klasik.

(iii) Cedera aksonal difusa.4

4

Page 5: Trauma Kapitis

Pemeriksaaan Glasgow Coma Scale

Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon

verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon

motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

Respon membuka mata (eye)

(4).Spontan dengan adanya kedipan

(3).Dengan suara

(2).Dengan nyeri

(1).Tidak ada reaksi

Respon bicara (verbal)

(5). Orientasi baik

(4). Disorientasi (mengacau/bingung)

(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur

(2). Suara yang tidak berbentuk kata

5

Page 6: Trauma Kapitis

(1). Tidak ada suara

Respon bicara (verbal) untuk anak-anak

(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek

(4). Menangis, tapi bisa diredakan

(3). Teriritasi secara menetap

(2). Gelisah, teragitasi

(1). Diam saja

Respon motorik (motor)

(6). Mengikuti perintah

(5). Melokalisir nyeri

(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang

(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)

(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)

(1). Tidak ada gerakan

Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)5

Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan6:

(1) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder;

(2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat

membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan

aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat

berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah

penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder.

Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali

6

Page 7: Trauma Kapitis

lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi

akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu,

tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan

secepatnya1.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis5:

(1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;

(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat;

(3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat;

(4) Terlambat dilakukan tindakan bedah;

(5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan

sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering

adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip

penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak

melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh

yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis3,6.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam

brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai

dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan

dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil

midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah

mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat

seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga

perlu segera bantuan pernapasan6.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika

penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam

keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita

yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan,

7

Page 8: Trauma Kapitis

jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk

membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical

spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi

yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift

atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui

hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara

membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga

patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring.

Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas

dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia,

O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan

cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat

memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya

dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat

kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat

dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai

warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi

perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status

sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera

kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100

mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi

dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila

denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90

mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan

sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba

pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila

ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.

Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,

sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-

ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap

cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan

8

Page 9: Trauma Kapitis

yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,

cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat

menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan

intrakranial3,5,8,10.

Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk

mendapatkan penanganan selanjutnya.

Rujukan

Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi,

pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan,

keadaan geografis, dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang

ditentukan. Prinsipnya adalah ‘To get 0a definitif care in shortest time’.

Dengan demikian, bila memungkinkan sebaiknya semua penderita

dengan trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas CT Scan

dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di negara

kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas

tersebut (khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit

dilaksanakan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan3:

1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita,

sebaiknya langsung dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah

saraf (rumah sakit propinsi).

2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit

terdekat yang ada fasilitas bedah.

3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat

untuk mendapatkan penanganan lebih baik.

Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok,

kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat

dalam perjalanan, keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi

ketat. Dengan adanya risiko selama transportasi, maka perlu persiapan

dan persyaratan dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal

perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat

9

Page 10: Trauma Kapitis

(di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen,

cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc,

diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat

rujukan yang lengkap dan jelas3.

Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita

untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita

untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien.

Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di

rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu5 :

1. Orientasi waktu dan tempat masih baik

2. Tidak ada gejala fokal neurologis.

3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.

4. Tidak ada fraktur tulang kepala.

5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.

6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu.

Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi

secara aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam.

Bila dijumpai nyeri kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang,

kesadaran menurun, dan adanya kelumpuhan maka segera lapor ke

puskesmas atau petugas medis terdekat5.

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for

Doctors. American College of Surgeon, 1997 : 195-227.

2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama, 1998 : 147-176.

10

Page 11: Trauma Kapitis

3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In :

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.

4. Trauma Kepala, Diakses dari

http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html

5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In :

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.

6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar

penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 :

107-128.

7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR,

ed. Head Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.

8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika

1996;10: 802-804.

9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-

injured patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.

Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 103-117.

10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured

patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds.

Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 331-344.

11