Trakeostomi

27
TRAKEOSTOMI DISUSUN OLEH: GINATRI FLORINDA GULTOM 112014272 DOKTER PEMBIMBING: DOKTER IWAN H, Sp. THT 1

description

trakeostomi

Transcript of Trakeostomi

TRAKEOSTOMI

DISUSUN OLEH:

GINATRI FLORINDA GULTOM

112014272

DOKTER PEMBIMBING:

DOKTER IWAN H, Sp. THT

RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, DAN

TENGGOROKAN

1

Pendahuluan

Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk

bernafas. Trakeostomi per definisi adalah suatu insisi yang dibuat pada trakea, sementara

trakeostomi merupakan membuat stoma agar udara dapat masuk ke paru-paru dengan memintas

jalan nafas bagian atas.

Menurut waktu dilakukan tindakan trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat dan

segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan 2) trakeostomi berencana (persiapan sarana

cukup) dan dapat dilakukan secara baik (lege artis).

Sejarah Trakeostomi

Tindakan bedah ini memiliki reputasi yang panjang sampai baru-baru ini kurang baik.

McClelland percaya terdapat lima periode dalam perkembangan dan penerimaan tindakan

trakeostomi yang dapat dilihat. Catatan trakeostomi yang paling awal terkubur dalam legenda.

Buku suci agama Hindu Rig Veda yang ditulis antara tahun 2000 dan 1000 SM menjelaskan

“satu tindakan yang dapat menyatukan kembali pipa udara bila rawan leher dipotong.” Namun,

para ahli sejarah menganggap Asclepiades yang lahir sekitar 124 SM merupakan orang pertama

yang melakukan operasi ini. Tidak ada catatan bedah mengenai keberhasilan tindakan ini

sebelum Brasalova (1500-1570) mengemukakan penanganan bedah yang berhasil pada angina

Ludwig pada tahun 1546. Pada era kedua, dari tahun 1546 hingga 1833, tindakan bedah seperti

ini sangat ditakuti, dan hanya 28 trakeostomi yang dilaporkan berhasil selama tiga abad ini.

Trousseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis. Mereka

melakukannya untuk menangani kasus difteri dengan angka keberhasilan 25% (angka

penyembuhan yang cukup tinggi pada saat itu). Era trakeostomi yang ketiga terangkat pada tahun

1921 saat Chevalier Jackson mengemukakan teknik-teknik modern dan menentang insisi

kartilago krikoid atau cincin trakea pertama. Saran ini, bila diikuti, mengurangi angka

komplikasi yang tinggi akibat stenosis subglotis iatrogenic. Selama masa ini, indikasi untuk

trakeostomi hamper eksklusif merupakan sumbatan jalan nafas bagian atas.

Era keempat dimulai tahun 1932 dengan usulan Wilson bahwa koreksi jalan nafas dapat

dilakukan pada kasus-kasus paralisis pernafasan yang sulit, khususnya poliomyelitis. Galloway

juga ikut berperan dalam mengarahkan pemikiran dalam era ini, dengan melakukan trakeostomi

untuk indikasi seperti cedera kepala, cedera dada yang berat, intoksikasi barbiturate, dan control

2

jalan nafas pasca bedah. Era ini merupakan masa-masa yang penuh rasa antusias. Selama tahun-

tahun ini, lahirlah ungkapan “jika anda mempertimbangkan trakeostomi, lakukanlah”, dan

pepatah ini masih diikuti sebagian dokter untuk menghindari trakeostomi pada saat kritis.

Sejak awal 1960-an, kecenderungan melakukan trakeostomi guna memintas sumbatan

dan mengatasi akumulasi secret atau kegagalan ventilasi mulai muncul ke permukaan. Intubasi

endotrakea telah menjadi lebih kompetitif, dimana perawatannya dapat lebih baik termasuk

penghisapan trakea yang sering, serta pemakaian udara lembab dan tube baru yang dibuat dari

plastic guna mengurangi pembentukan keropeng, dengan demikian tidak lagi dapat

dihindarkannya komplikasi trakeostomi membuat teknik ini menarik.

Anatomi

Trakea merupakan suatu tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago (elastin)

yang tidak penuh dibagian posterior. Trakea berawal di bawah kartilago krikoid yang berbentuk

cincin stempel dan meluas ke anterior pada esophagus, turun ke dalam toraks dimana membelah

menjadi 2 bronkus utama pada karina. Pembuluh darah besar pada leher berjalan sejajar dengan

trakea disebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas

trakea di sebelah depan dan lateral. Ismus melintas trakea di sebelah anterior, biasanya setinggi

cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekurens terletak pada sulkus trakeoesofagus.

Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan adalah otot-otot leher

suprasternal, yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid.

Penanggulangan Sumbatan Laring

Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan

dengan cepat atau membuat jalan nafas baru yang dapat menjamin vetilasi. Sumbatan laring

dapat menjamin ventilassi. Sumbatan laring dapat disebabkan oleh 1) radang akut dan radang

kronis, 2) benda asing, 3) trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan

senjata tajam, 4) trauma akibat tindakan medic, 5) tumor laring, baik berupa tumor jinak ataupun

tumor ganas, 6) kelumpuhan nervus rekuren bilateral.

Gejala dan tanda sumbatan laring ialah :

1. Suara serak (disfoni) sampai afoni

2. Sesak nafas (dipsnea)

3

3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi

4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula

dan intercostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernafasan untuk

mendapatkan oksigen yang adekuat.

5. Gelisah karena pasien haus udara 9air hunger)

6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia

Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda dan gejala :

Stadium 1 : Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu

inspirasi dan pasien masih tenang.

Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah

lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah. Stridor

terdengar pada waktu inspirasi.

Stadium 3 : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di

infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dipsnea. Stridor terdengar pada waktu

inspirasi dan ekspirasi.

Stadium 4 : Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak

sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka pasien akan kehabisan

tenaga, pusat pernafasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur, akhirnya

meninggal karena asfiksia

Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan supaya jalan nafas

lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi, antibiotic,

serta pemberian oksigen intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan

peradangan. Tindakan operatif untuk membebaskan saluran nafas ini dapat dengan cara

memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi

nasotrakea), membuat trakeostoma atau krikotirotomi.

Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring

stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4. Jika

ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan trakeostomi.

4

Indikasi Trakeostomi

1. Mengatasi obstruksi laring

2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas bagian atas seperti daerah

raongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen

yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu.

Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.

3. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.

4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernafasan)

5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk

bronkoskopi.

Obstruksi jalan nafas bagian atas menakutkan baik bagi pasien maupun dokternya.

Timbul dipsnea dan stridor, biasanya inspirasi (bunyi gagak) bila lesi terletak pada atau di atas

pita suara sejati. Stridor ekspirasi yang khas pada obstruksi setinggi atau di bawah rima glotidis,

bernada tinggi dan menimbulkan mengi. Retraksi pada insisura suprasternal dan supraklavikula

dan celah iga mencerminkan suatu usaha untuk menciptakan tekanan negative intratoraks guna

menarik udara ke dalam paru-paru. Pasien dapat tampak pucat atau sianotik, sementara disfagia

atau mengiler memberi kesan adanya obstruksi mekanis saat menelan. Kegelisahan yang

menyertai tanda-tanda ini adalah khas pada anak-anak dan harus mewaspadakan dokter akan

kemungkinan perlunya mengendalikan jalan nafas segera. Sedasi berat merupakan kontraindikasi

absolut pada anak yang gelisah dengan distress pernafasan, sampai jalan nafas yang tersumbat

dapat dipintas, kekecualian pada saat pembedahan. Pada obstruksi mekanis pernafasan, anak

yang semula gelisah namun kemudian menjadi tenang tanpa tanda-tanda kelegaan, berada dalam

bahaya kematian, sehingga memerlukan tindakan segera.

Pasien kategori kedua tidak mengalami obstruksi jalan nafas bagian atas, namun

kemampuan membersihkan secret atau ventilasi yang tidak efektif atau kedua-duanya, menjadi

berkurang. Pasien dengan obstruksi secret akibat hilangnya silia, ketidakmampuan batuk oleh

karena nyeri (fraktur iga) atau akibat cedera SSP dapat tenggelam dalam secret yang

dihasilkannya. Kegagalan membersihkan secret menimbulkan sumbatan mucus yang shunt darah

arteri pulmonalis. Shunt ini menyebabkan hipoksia oleh karena alveoli yang mengalami ventilasi

tidak mampu mentransfer cukup oksigen. Pengambilan sampel darah arteri menunjukkan PO2

5

yang rendah, PCO2 rendah minimal (oleh karena rasio kemampuan difusi karbondioksida yang

20:1 terhadap oksigen), dan peninggian pH. Pemberian oksigen serta koreksi patofisiologi

dengan jalan trakeostomi yang memungkinkan penghisapan secret dan dengan demikian dapat

mengatasi masalah hilangnya reflex batuk, merupakan terapi yang memadai.

Intubasi yang lama

Menimbulkan beberapa komplikasi dengan angka kesakitan dan bahkan kematian

bermakna. Antara lain sinusitis akut ; destruksi hidung, mukosa dan kartilago; otitis media

serosa; dan gangguan laring dan subglotis. Gangguan laring dapat lebih sukar diatasi

dibandingkan stenosis trakea akibat trakeostomi, karena laring merupakan organ berotot

fungsional dan bukan hanya suatu tube berongga untuk menghantarkan udara. Rekonstruksi

laring mungkin sukar dan rehabilitasi terkadang tidak memuaskan.

Saat ini, diberbagai pusat, intubasi dilakukan pada kasus-kasus darurat atau jika tube

dianggap dapat dilepaskan dalam satu minggu. Setelah 24 jam, bila tube masih diperlukan,

barulah dilakukan trakeostomi. Telah terjadi sedikit komplikasi pada daerah laring dan subglotis

bilamana menjalankan protocol ini. Namun intubasi dewasa yang lama jelas meingkatkan resiko

dan keparahan komplikasi.

Pada anak dan bayi, intubasi yang lebih lama ternyata cukup berhasil. Tube dapat

dipertahankan untuk waktu yang lebih lama hingga enam hari, seperti yang diperlihatkan

penelitian klinis. Bayi dapat ditangani untuk waktu yang lebih lama, oleh karena akan lebih sulit

melakukan dan merawat trakeostomi pada kelompok usia ini. Bahkan pada neonates, intubasi

hingga lebih dari 6 bulan telah dilaporkan berhasil. Namun adakalanya terjadi komplikasi laring

setelah intubasi yang lama pada anak.

Frekuensi stenosis subglotis dapat meningkatkan dengan semakin banyaknya bayi yang

menderita berbagai sindrom distress pernafasan yang diatasi dengan tindakan ini, dan perlu

berhati-hati terhadap dorongan untuk melakukan intubasi. Ungkapan lebih baru, ‘jika anda

mempertimbangkan trakeostomi, lakukanlah intubasi, dan pertimbangkan lagi’ cukup bijaksana,

namun harus mengingat kenyataan bahwa intubasi adalah suatu tindakan sementara dan harus

dihentikan atau digantikan dengan tube trakeostomi.

6

Argumentasi mengenai intubasi vs trakeostomi masih belum dapat diselesaikan. Namun

demikian, jika memilih intubasi, maka peralihan menjadi trakeostomi setelah 6 hari pada anak,

dan setelah 72 hingga 96 jam pada dewasa memberikan hasil yang paling memuaskan saat ini.

Alat Trakeostomi

Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah semprit dengan obat

analgesia (novokain), pisau (scalpel), pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul, sepasang

pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea yang ukurannya cocok

untuk pasien.

Teknik Trakeostomi Pada Orang Dewasa

Bila pembedahan tidak mendesak, maka trakeostomi dilakukan di ruang operasi, kecuali

bila kondisi pasien memerlukan peralatan yang tidak praktis sehingga menyusahkan perjalanan

ke ruang operasi. Pasien berbaring terlentang dengan bagian kaki tempat tidur direndahkan 30

derajat guna menurunkan tekanan vena sentral pada vena-vena leher. Suatu selimut terlipat

ditempatkan diantara scapula agar leher cukup terekstensi, dan leher anterior dibersihkan secara

antisepsis dan ditutup. Ahli bedah dan asistennya mengenakan sarung tangan dan masker bila

mengoperasi di tempat, serta mengenakan baju kamar bedah bila mengoperasi di ruang operasi.

Setelah penerangan ruangan dipastikan memadai, jaringan subkutan diinfiltrasi dengan lidokai

7

dan epinefrin 1:100.000. Insisi kulit sebaiknya horizontal. Insisi dibuat dengan scalpel tajam

setinggi pertengahan antara tonjolan krikoid dan insisura suprasternalis. Insisi sedikitnya 2 inci

dan mencapai batas-batas medial otot sternokleidomastoideus. Setelah insisi kulit mencapai otot

plastima, diseksi dilakukan vertical tetap pada garis tengah. Diseksi dilakukan secara tajam dan

tumpul memakai gunting dan hemostat. 2 klem allis merupakan retractor otot-otot leher yang

baik, otot ini dibelah pada garis tengah dan diretraksi ke lateral hingga terlihat fasia pretrakealis.

Palpasi yang sering pada trakea selama melakukan insisi akan memastikan bahwa diseksi

dilakukan tetap pada garis tengah.diseksi vertical pada gars tengah menghindari sebagian besar

vena, dan seandainya ada yang ditemukan, maka segera di kauterisasi atau dipotong, atau diligasi

dan retraksi. Kelenjar tiroid dengan ismus yang terletak di atas trakea, biasanya dapat diretraksi

ke bawah, dengan demikian dapat langsung mencapai keempat cincin trakea yang pertama. Bila

kelenjar tidak mudah diretraksi, maka ismus harus diklem, dipotong dan ditambahkan jauh dari

garis tengah lapangan operasi.

Sampai dengan tahap operasi pasien yang sadar, diinjeksikan lidokain 4% trans-trakea

untuk mencegah spasme batuk hebat setelah insisi dan intubasi. Bilamana digunakan suatu tube

trakeostomi dengan bermanset, maka manset harus dikembangkan pada saat ini dan diperiksa

dalam air apakah ada kebocoran sebelum dilakukan insisi pada dinding trakea.

Palpasi kartilago krikoid dan tiroid serta identifikasi keduanya dapat mencegah

trakeostomi tinggi. Cincin kedua dan ketiga diidentifikasi dan setelah kait krikoid ditempatkan di

bawah krikoid guna menarik trakea ke atas dan ke dalam luka, insisi trakea dapat dimulai di

sebelah anterior, dengan segera di bawah cincin kedua. Jaringan diangkat berukuran cukup besar

agar memadai untuk lumen tube, sedikitnya pada cincin ketiga atau bila perlu cincin keempat.

Dapat pula dibuat insisi vertical tanpa perlu mengangkat jaringan kartilago. Eksisi tiga atau lebih

cincin terlalu beresiko, dan percobaan binatang memperlihatkan kejadian stenosis trakea yang

cukup bermakna setelah tindakan ini. Tube trakeostomi yang dipakai pada orang dewasa adalah

Jackson No.7 atau tube lain dengan diameter sebelah dalam yang sebanding (8mm). Hemostasis

absolut dapat tercapai pada tahap ini, dan pita umbilicus yang mengikat tube trakeostomi di

sekeliling leher, diikat erat sambil memfleksikan kepala. Insisi kulit tidak dijahit.

Balon yang harus lentur, kemudian dikembangkan. Tersedia manset yang telah

diproduksi secara tepat dan tersedia cukup lentur; bila tidak menggunakan manset tersebut,

manset dapat diregang sebelumnya dengan metode Geffin.

8

9

10

Teknik Trakeostomi Pada Anak

Dalam penatalaksanaan trakeostomi elektif pada anak dan bayi, maka semakin kecil

pasien, semakin diperlukan pula suatu ventilasi terkontrol dengan masker atau tube. Jika jalan

nafas terkontrol, maka suatu insisi horizontal akan lebih memuaskan secara kosmetik, sedangkan

diseksi garis tengah secara teliti adalah penting oleh karena pembuluh-pembuluh besar terletak

berdekatan. Palpasi tube endotrakea atau bronkoskop memudahkan tindakan ini. Saat inspirasi,

kupla pleura meluas ke dalam leher, terutama dalam pernafasan bertekanan positif. Hal ini harus

dihindarkan selama diseksi, karena kupula dapat menekan trakea. Menakik kupula akan

menimbulkan pneumotoraks. Aspirasi jarum pada trakea merupakan prosedur yang dapat

diterima pada anak, untuk memastikan agar suatu pembuluh darah arteri jangan sampai

dikelirukan dengan jalan nafas. Jahitan sutera dibuat antero-lateral pada kedua sisi garis tengah,

menembus 2 cincin trakea sebelum dibuat suatu insisi vertical pada cincin kedua dan ketiga.

Sekali lagi, kartilago krikoid dan cincin pertama tidak boleh diganggu. Jaringan trakea tidak

dieksisi pada anak. Gunakan ukuran tube yang sesuai dengan lumen trakea.

Tindakan bedah darurat guna mengendalikan jalan nafas dapat dilakukan dengan

krikotirotomi atau trakeostomi. Suatu insisi kulit vertical akan mengurangi perdarahan, dan

prosedur dapat dilakukan dengan cepat, tetap pada garis tengah. Kartilago tidak boleh dieksisi

sebelum jalan nafas terkontrol dan kanula terpasang. Kartilago krikoid cincin pertama harus

dihindari. Jika krikotirotomi mendadak diputuskan, maka dapat dilakukan dengan suatu trocar

Mosher atau pisau scalpel. Leher diekstensikan, kartilago krikoid dan tiroid diidentifikasi dan

membrane krikotiroid diinsisi. Jalan nafas dipertahankan dengan retractor atau bila ada, dengan

ukuran tube endotrakea atau trakeostomi yang sesuai. Prosedur krikotirotomi memungkinkan

pencapaian segera pada jalan nafas, aman karena prosedur ini tepat di bawah pita suara sejati dan

pada daerah yang relative tidak berdarah; tindakan ini diteruskan dengan trakeostomi biasa

sesegera mungkin dalam kondisi terkontrol. Demikian pula suatu trakeostomi darurat, dapat

dilakukan dengan memotong kartilago krikoid dan cincin pertama bila tidak ada bahaya dini

yang dikenali oleh ahli bedah. Tindakan ini juga dilanjutkan dengan suatu insisi pada cincin

ketiga dan keempat dan pengangkatan tube yang pertama; tidak ada komplikasi bilamana

prosedur ini dikenali dan diperbaiki dalam 24 jam.

11

Perawatan Segera Pasca Operasi

Jalan nafas atas telah dipintas dan fungsinya sebagai sarana penghangat udara inspirasi

hingga 36 C, humidifikasi, dan pengeluaran partikel-partikel asing telah hilang. Silia pada trakea

telah kehilangan fungsi dan reflex batuk menjadi tidak efektif. Pada perawatan awal dari stoma

perlu dilakukan auskultasi dada dan pada anak juga memerlukan radiogram dada segera untuk

mencek posisi tube agar tidak melampaui karina sehingga masuk ke bronkus kanan dan

menyumbat bronkus kiri, serta untuk memastikan bahwa tidak terjadi pneumotoraks. Radiogram

perlu diperiksa oleh ahli bedah setelah prosedur selesai dilaksanakan. Emfisema mediastinum

sering ditemukan pada radiogram dada dan film ilangan setelah 48 jam seharusnya tidak

memperlihatkan perluasan emfisema. Suatu kerah pelembab yang mengalirkan udara dingin

jenuh air atau oksigen dipasang pada stoma. Disamping tempat tidur perlu dipersiapkan peralatan

trakeostomi dan suatu tube pengganti, gunting serta tersedia alat penghisap, demikian pula bel

untuk meminta pertolongan.

Secret di trakea dan kanul harus sering dihisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-

kurangnya 2 kali sehari, lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Pasien dapat dirawat di

ruang perawatan biasa dan perawatan trakeostomi sangatlah penting. Bila kanul harus dipasang

untuk jangka waktu lama, maka kanul luar harus dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kassa di

bawah kanul harus diganti setiap basah, untuk menghindari terjadinya dermatitis.

Secret trakea banyak selama 24 hingga 48 jam pertama setelah pembedahan tanpa

memandang penyakit primer yang memerlukan trakeostomi. Bronkore perlu dibersihkan karena

secret tersebut dapat menyumbat dan menimbulkan atelectasis, pneumonia dan shunt pembuluh

pulmonalis. Reflex batuk tidak memadai dan secret perlu diaspirasi melalui tube. Tindakan ini

perlu dilakukan berulangkali, setidaknya tiap 15 menit dalam beberapa jam pertama. Setelah itu

dapat dilakukan dalam frekuensi sesuai kebutuhan perorangan berdasarkan banyaknya secret,

hasil auskultasi dada dan mendengarkan pernafasan pasien. Pasien trakeostomi yang berbunyi

menggelegak berada dalam resiko besar dan harus dilakukan penghisapan. Teknik ini dilakukan

dalam kondisi steril, setiap kalinya menggunakan kateter sekali pakai yang baru. Operator harus

mengenakan sarung tangan dan mencuci tangannya sebelum dan setelah melakukan tindakan

pada penderita.

Secret cenderung mengumpul pada trakea, seringkali tepat dibawah tube. Aspirasi

bronkus juga perlu dan dapat dicapai dengan teknik penghisapan ini. Kateter dihubungkan

12

dengan perangkat vakum melalui suatu penghubung V. Tekanan jangan dibuat negative sebelum

penghubung V disumbat. Cara yang dipilih adalah dengan memasukkan kateter lewat lumen tube

trakeostomi tanpa tekanan hisap negative. Bila tube trakeostomi memiliki kanula dalam, maka

kanula ini harus dikeluarkan sebelum tindakan dilakukan. Setelah kateter penghisap tidak lagi

dapat masuk lebih jauh ke dalam bronkus, maka kateter tersebut ditarik perlahan-lahan dengan

memutar pergelangan tangan sambil ujung jari menutup penghubung V hingga seluruh kateter

dikeluarkan. Tindakan ini kemudian diulangi pada bronkus satunya stelah suatu periode istirahat.

Periode istirahat ini perlu karena penghisap vakum mengeluarkan udara dari paru-paru dan jika

penghisapan diulangi dalam selang waktu yang berdekatan, volume residu paru-paru akan

berkurang. Penghisapan ulang pada sisi yang sama dilanjutkan hingga auskultasi menjadi bersih

atau respirasi menggelegak lewat tube trakeostomi menjadi reda.

Tube dengan kanula dalam memerlukan pengeluaran dan pembersihan kanula yang

sering. Tube PVC dan Silastic merupakan tabung yang kompak dan tidak menyebabkan

pengumpulan mucus ataupun krusta seperti halnya tube logam. Tube ini harus dikeluarkan dan

diperiksa 48 jam setelah pembedahan, diganti dan diperiksa ulang setiap minggu untuk

memastikan tidak ada bolus mucus yang menyumbat lumen. Tube plastic kini dirancang agar

paling lunak pada suhu tubuh. Sifat ini lebih lanjut akan mengurangi resistensi kekakuan ukuran

dan arah trakea yang merupakan masalah dengan tube logam.

Kini tersedia manset plastic bertekanan rendah untuk tube trakeostomi. Manset ini

dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap dibawah 25 cm H2O. Tekanan

demikian mengurangi insidens stenosis akibat manset trakea.

Orang dewasa yang awas dan berpendidikan dapat diajarkan perawatan stoma yang

menyeluruh, dan perawatan trakeostomi pada anak di atas 6 bulan dapat dilakukan dirumah.

Dokter perlu sangat berhati-hati dan harus memikirkan dengan cermat sebelum memulangkan

anak yang berusia kurang dari 6 bulan sementara anak tersebut masih mengenakan tube

trakeostomi.

Dekanulasi

Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang diperlukan, terutama pada

anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk mengurangi timbulnya trakeobronkitis, ulserasi

trakea, stenosis trakea, trakeomalasi, dan fistula trakeokutan menetap. Segera setelah keadaan

13

pasien membaik, ukuran pipa trakeostomi diperkecil sampai ukuran yang memungkinkan udara

dapat memintas pipa menuju saluran nafas bagian atas. Hal ini menolong menghindari

ketergantungan fisiologik pada pipa yang besar akibat menurunnya resistensi pernafasan.

Kemudian pipa ditutup dan dinilai apakah jalan nafas adekuat, kemampuan menelan dan

mengeluarkan sekret. Jika pipa dapat ditutup selama 8 – 12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel

trakeokutan ditutup. Segera setelah dekanulasi, pasien harus diamati dengan ketat dan alat yang

diperlukan untuk mendapatkan jalan nafas kembali selalu harus tersedia.

Komplikasi

1. Cepat

Perdarahan

Dapat dicegah dengan diseksi garis tengah elektif, dengan mengikat semua

pembuluh darah dan pemeriksaan yang cermat pada tiap permukaan di mana

darah merembes. Biasanya terjadi pada 5% kasus, perdarahan biasanya berasal

dari vena atau insisi ismus tiroid. Untuk mengatasi perdarahan sedang bisa

14

dilakukan mengangkat kepala untuk menurunkan tekanan vena atau menggunakan

kassa (gauze) pada daerah perdarahan. Jika perdarahan mayor, biasanya berasal

dari arteri tiroid superior jadi untuk mengatasinya dilakukan eksplorasi kemudian

ligasi pembuluh darah.

Pneumothorak

Merupakan komplikasi trakeostomi pada anak-anak akibat posisi pleura,

ini dapat dicegah seperti yang telah dijelaskan diatas, dapat ditemukan secara dini

melalui auskultasi dan radiogram dada serta diatasi dengan pemasangan tube

dada. Insidens pada anak adalah 3%, komplikasi ini jarang terjadi pada dewasa,

namun bila terjadi biasanya dengan tekanan intratoraks yang tinggi dan dengan

rupture bleb emfisematosa.

Obstruksi tube

Obstruksi tube merupakan yang paling umum penyebab insufisiensi

ventilasi dalam post trakeostomi dan paling sering ialah hasil dari lendir. Sekret

lendir, cairan di dalam dan sekitar tube trakeostomi dapat membentuk kerak-kerak

(plug) yang menjadi besar sehingga menyumbat lumen tabung. Terdengarnya

aliran udara dan adanya kesulitan melewati suction kateter melalui tube adalah

tanda-tanda akan terjadinya obstruksi tube. Tindakan irigasi, frekuensi suction

yang berulang, dan pembersihan kanula dapat membantu mengurangi risiko

penyumbatan dan obstruksi tube.

Henti jantung

Dapat diakibatkan hilangnya rangsangan hipoksia terhadap respirasi, dapat

diatasi dengan tindakan yang lazim, antara lain berupa bantuan pernafasan hingga

CO2 dapat dibersihkan dari medulla oblongata. Pneumomediastinum tidak

tergolong sebagai komplikasi, namun merupakan akibat. Kondisi ini biasanya

terjadi pada anak, dan harus ditindak lanjut guna memastikan tidak adanya

perkembangan kearah pneumotoraks.

2. Lambat

Komplikasi ini cukup bermakna dalam hal variasi dan jumlahnya, sehingga perlu

dilakukan usaha-usaha pencegahan. Perdarahan lanjut adalah akibat erosi trakea pada

pembuluh utama, biasanya arteri inominata. Tindakan mengekstensikan kepala pasien

15

dan menarik trakea ke atas dengan suatu pengait trakea dapat menggambarkan cincin

trakea ke sembilan. Trakeostomi rendah (dibawah cincin kelima) seringkali salah.

Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding trakea juga ikut berperan

dalam erosi pembuluh darah. Mathog menganjurkan pemakaian tube plastic lunak lebih

aman. Penanganan dari perdarahan mayor tindakan darurat dan memerlukan pemakaian

tube yang cukup panjang untuk mencapai bagian distal dari pembuluh yang tererosi.

Tindakan ini dapat mencegah aspirasi darah ke dalam paru. Kesalahan dalam membedah

dan menjahit pembuluh darah mungkin mengharuskan tindakan sternotomi parsial.

Infeksi

Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi. Antibiotic

profilaksis harus dilarang karena memungkinkan perkembangan bakteri

oportunistik. Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi

trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu

dilakukan mungkin hanyalah membasahi kassa dengan larutan asam asetat 0,5%.

Pasien mendapat banyak antibiotic mungkin mengalami kontaminasi candida

albicans pada lokasi trakeostomi. Namun, sebelum memulai pengobatan sistemik,

harus di coba perawatan luka secara local.

Tube yang tergeser

Penanganan obstruksi jalan nafas akibat posisi tube yang tergeser atau oklusi

lumen adalah berbeda, tergantung pada berapa lama terjadinya setelah

pembedahan. Bila melampaui 48 jam dilakukan trakeostomi, maka perawat dapat

diperintahkan untuk memotong tali pengikat leher, mengeluarkan tube, dan

memeriksa lumen dan tube. Sumbat mucus yang menutup lumen tube harus

dibersihkan. Memasukkan kembali tube dapat dilakukan setelah dokter datang.

Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini dilakukan sendiri oleh dokter.

Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik dengan hati-hati ke lateral akan

mempertahankan jalan nafas dan menunjukkan jalur kembali ke stoma untuk

penggantian tube.

Fistula trakeoesofagus

Biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan telah menjalani intubasi yang

lama dengan tube bermanset dan ventilasi terkontrol. Pasien demikian

16

memerlukan tube nasogastric, namun seringkali meninggal akibat penyakit

primernya ataupun pneumonia aspirasi lewat fistula. Perbaikan bedah amat

kompleks dan melibatkan penempatan otot-otot leher di antara trakea dan

esophagus setelah perbaikan primer pada fistula.

Stenosis trakea

Frekuensi komplikasi ini semakin meningkat karena pasien seringkali

memerlukan ventilasi terkontrol jangka lama dengan tube bermanset. Menurut

fearon, stenosis stoma bukanlah suatu komplikasi melainkan suatu parut pasca

operasi yang telah diperkirakan, dan bahwa gejala hanya akan timbul bila

diameter lumen sama dengan atau kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi

diatas stoma atau kartilago dalam lumen, maka masalah dapat diatasi dengan

eksisi endoskopik atau memasang stent pada jalan nafas. Tube bermanset

menyebabkan obstruksi mukosa sirkumferensial dalam beberapa jam. Manset

harus dikembangkan dan kemudian sejumlah udara dilepaskan hingga

menimbulkan bunyi. Manset bertekanan rendah juga bersifat protektif. Perbaikan

stenosis trakea menjadi semakin sulit bilamana sikatriks makin panjang.

Kesimpulan

Trakeostomi merupakan tindakan pembukaan dinding anterior leher guna mencapai

trakea sebagai jalan pintas untuk bernapas yang bersifat sementara, yang dapat dilakukan dalam

kondisi elektif maupun darurat. Tindakan trakeostomi bisa dilakukan jika sudah ada indikasi

untuk trakeostomi. Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena sekret dapat

menyumbat sehingga kanul harus dicuci sekurangnya 2 kali sehari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2007. 243-253

2. Maisel, Robert, H. Trakeostomi dalam Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Enam.

Jakarta : EGC, 1997. 473-485

3. Jacob Ballenger, John. Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi enam belas. :

BC Decker, 2003.1155 – 1159.

17

4. Byron. Otolaryngology – Head and Neck Surgery, 3rd edition. North Carolina : Byron.

p66.

5. Sjamsuhidajat R, De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 2004. 421 – 422.

18