lapkas trakeostomi
-
Upload
sitapradjnadewi -
Category
Documents
-
view
122 -
download
10
Transcript of lapkas trakeostomi
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M. Y
Usia : 64 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Komplek PLN, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara
Tanggal masuk RS : 3 Januari 2012
ANAMNESIS (Allonamnesis)
Keluhan Utama :
Sesak
Keluhan Tambahan :
Nyeri dada, muntah warna hitam, tangan dan kaki kanan lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RS Islam Cempaka Putih atas rujukan dari RS
Sulianti Saroso setelah perawatan 12 hari di ICU menggunakan intubasi atas
indikasi gangguan pernafasan. Pasien terlihat sangat sesak dan mengorok
disertai penurunan kesadaran. Sesak sudah dirasakan pasien sejak 13 hari
SMRS. Sebelum masuk RS, selain sesak pasien juga mengeluh nyeri dada,
batuk, pilek, demam, lemas pada tangan dan kaki kanan disertai tidak bisa
menahan BAK. Menurut keluarga pasien sebelum pindah rawat ke RS Islam
1
Cempaka Putih, pasien muntah 1x, kira-kira sebanyak 1/2 gelas belimbing,
konsistensi cair, muntahan berwarna hitam, makanan (-).
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat Asma sejak usia 3 tahun
- Riwayat Hipertensi sejak 20 tahun lalu
- Riwayat DM sejak 10 tahun lalu
- Riwayat Stroke ringan tahun 2001
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Hipertensi pada ayah pasien
- DM pada ibu pasien
Riwayat Alergi :
Tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan, debu, dan
cuaca.
Riwayat Pengobatan :
Pernah dirawat di RS Sulianti Saroso selama 12 hari atas indikasi
gangguan pernafasan, dipasang intubasi selama itu dan diberikan pengobatan
untuk hipertensi, DM, stroke dan bronkopneumoni.
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Somnolen
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
GCS : E3M6V3
Tanda Vital
- TD : 150/78 mmHg
- Nadi : 106 x/menit
- Pernapasan : 43 x/menit
2
- Suhu : 37,5 0C
STATUS GENERALIS
KEPALA : Normocephal
MATA : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya
(+/+), pupil isokhor kanan kiri.
TELINGA : Lihat status THT
HIDUNG : Lihat status THT
MULUT : Mukosa bibir kering, pucat, faring & tonsil lihat status THT
LEHER : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP 5-2
cmH2O
THORAX :
Paru : Simetris statis dan dinamis, krepitasi (-), nyeri tekan (-),
vesikular (+/+), wheezing (-/-), rochi (+/+).
Jantung : Bunyi jantung I-II murni tunggal reguler, gallop (-), murmur
(-). Batas jantung normal.
ABDOMEN : Supel, BU (+) normal, timpani pada seluruh kuadran abdomen,
nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hepar dan lien, ascites
(-).
EKSTREMITAS: Akral hangat, RCT < 2 detik, pitting edema +/+, atrofi (-/-)
Motorik 2 4 Sensorik N N
2 4 N N
STATUS TELINGA-HIDUNG-TENGGOROK
1) Aurikula Dextra-Sinistra
a) AD :
Canalis Auricula Externa : Hiperemis (-), edema (-), sekret (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik (-/-).
Membran Timpani : Intak, refleks cahaya (+).
Retro Aurikula : edema (-), hiperemis (-), nyeri tekan mastoid
(-), fistula (-).
3
b) AS :
Canalis Auricula Externa : Hiperemis (-), edema (-), sekret (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri tari (-/-).
Membran Timpani : Intak, refleks cahaya (+).
Retro Aurikula : edema (-), hiperemis (-), nyeri tekan mastoid
(-), fistula (-).
2) Cavum Nasi
Rhinoskopi anterior :
a) Mukosa :Hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-), sekret (+)/(+).
b) Konka : Hiperemis (-)/(-), edema (-)/(-).
c) Septum : Deviasi (-)
d) Passase udara : (+)/(+)
e) Massa : (-)/(-)
Rhinoskopi posterior : tidak dilakukan
3) Nasofaring / Orofaring
a) Faring : Hiperemis (+), granule (-), sekret (+)
b) Tonsil : TI / TI., hiperemis (-)/(-), kripte (-)/(-), detritus (-)/(-),
perlengketan (-).
Laringoskop : tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen thorax 3 Januari 2011
Infiltrat pada kedua lapangan
paru, cor tidak membesar,
aorta elongasi.
4
Rontgen thorax 7 Januari 2011
Dibandingkan foto tanggal 3
Januari 2011, infiltrat di kedua
paru bertambah, cor tidak
membesar, aorta elongasi.
Rontgen thorax 10 Januari 2011
Dibandingkan foto tanggal 7
Januari 2011, infiltrat di kedua
paru relatif bertambah, cor tidak
membesar, aorta elongasi.
CT scan
Perdarahan hemisfer otak kiri.
5
Laboratorium :
Hemoglobin : 10,4 mg/dl%
Hematokrit : 31 mg/dl%
Trombosit : 192 103 u/l
Leukosit : 14,7 103 u/l
LED : 23 mm
PT : 13,6 detik
aPTT : 14,2 detik
GDS : 364 mg/dL
Hitung Jenis Hasil Satuan Nilai rujukan
Basofil 0 % 0 – 1
Eosinofil 2 % 2 – 4
Neutrofil batang 7 % 3 – 5
Neutrofil Segmen 70 % 25 – 60
Limfosit 14 % 25 – 50
Monosit 7 % 1 – 6
Elektrolit Hasil Satuan Nilai rujukan
Natrium 126 mg/dl 135 - 147
Kalium 3,3 mg/dl 3,5 - 4,5
Klorida 9,1 mg/dl 94 – 111
Kalsium 8,4 mg/dl 8,8 - 10,3
Magnesium 1,7 mg/dl 1,8 – 3,0
6
Analisa Gas Darah Hasil Satuan Nilai rujukan
Temperatur 37,0 C
pH 7,523 7,37 – 7,45
p CO2 28,9 mmHg 33 – 44
P O2 138,3 mmHg 71 – 104
O2 saturation 98,5 % 94,00 – 98,00
HCO3 24 mmol/L 21- 28
BE 1,00 mmol/L -2,00 - + 3,00
BE 25,00 mmol/L -2,4 - + 2,3
pCO2 total 24,90 mmol/L 23,00 – 27,00
Mikrobiologi : ditemukan koloni jamur
DIAGNOSIS KERJA (dari segi THT)
Prolonged Intubation
DIAGNOSIS BANDING
Stenosis trakea
RENCANA PEMERIKSAAN
Micro laryngoscopy
PENATALAKSANAAN
Trakeostomi
PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Malam
Quo ad Functionam : Malam
Quo ad Sanationam : Malam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TRAKEOSTOMI
Trakeotomi dan trakeostomi adalah kata yang seringkali digunkan untuk
tindakan pembukaan dinding anterior leher guna mencapai trakea yang bersifat
sementara. Trakeotomi per definisi adalah suatu insisi yang dibuat pada trakea,
sementara trakeostomi merupakan tindakan membuat stoma agar udara dapat
masuk ke paru-paru dengan memintas jalan nafas bagian atas. Stoma permanen
setelah laringektomi yang dibuat dengan menjahitkan kulit pada mukosa trakea
sebaiknya disebut sebagai trakeostomi permanen.
SEJARAH TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah pembuatan lubang di dinding anterior trakea untuk
mempertahankan jalan napas. Tindakan bedah ini memiliki reputasi yang panjang
sampai baru-baru ini kurang baik. McClelland percaya terdapat lima periode
dalam perkembangan dan penerimaan tindakan trakeostomi yang dapat dilihat.
Catatan trakeostomi yang paling awal terkubur dalam legenda. Buku suci agama
hindu Rig Veda yang ditulis antara tahun 2000 sampai 1000 SM menjelaskan
“satu tindakan yang dapat menyatukan kembali pipa udara bila rawan leher
dipotong.” Namun para ahli sejarah menganggap Asclepiades yang lahir sekitar
124 SM merupakan orang pertama yang melakukan operasi ini. Tidak ada catatan
bedah mengenai keberhasilan tindakan ini sebelum Brasalova (1500-1570)
mengemukakan penanganan bedah yang berhasil pada angina Ludwig pada tahun
1546. Pada era kedua, dari tahun 1546 hingga 1833, tindakan bedah seperti ini
sangat ditakuti, dan hanya 28 trakeostomi yang dilaporkan berhasil selama 3 abad
ini. Prosedur ini disebut dengan berbagai istilah, antara lain laringotomi dan
bronkotomi sampai istilah trakeostomi diperkenalkan oleh Heister pada tahun
1718. Pipa trakeostomi yan pertama dengan kanul dalam diperkenalkan oleh
George Martine di Inggris kira-kira tahun 1730 untuk menghindari sumbatan pipa
pascabedah.
8
Trousseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis. Mereka
melakukannya untuk menangani kasus difteria dengan angka keberhasilan 25%
(angka keberhasilan yang cukup tinggi pada saat itu). Era trakeostomi yang ketiga
terangkat pada tahun 1921saat Chevalier Jackson mengemukakan teknik-teknik
modern dan menentang insis kartilago krikoid atau cincin trakea pertama. Saran
ini bila diikuti mengurangi komplikasi akibat stenosis subglotis iatrogenik.
Selama ini, indikasi trakeostomi masih eksklusif merupakan sumbatan jalan nafas
bagian atas.
Era keempat dimulai tahun 1932 dengan usulan Willson bahwa koreksi
jalan nafas bisa dilakukan pada kasus-kasus paralisis pernafasan yang sulit
khususnya poliomielitis. Galloway juga ikut berperan dalam mengarahkan
pemikiran dalam era ini, dengan melakuakan trakeostomi untuk indikasi seperti
cedera kepala, cedera dada yang berat, intoksiskasi barbiturat, dan kontrol jalan
nafas pasca bedah. Era ini merupaka masa-masa yang penuh antusias. Selama
tahun-tahun ini, lahirlah ungkapan “jika anda mempertimbangkan trakeostomi,
lakukanlah”, dan pepatah ini masih diikuti oleh sebagian dokter untuk
menghindari trakeostomi pada masa kritis.
DEFINISI TRAKEOSTOMI
Trakeostomi merupakan tindakan bedah trakea untuk membuat
trakeostoma. Trakeotomi dapat menyelamatkan jiwa penderita yang mengalami
obstruksi jalan napas di atas trakea dan tidak dapat diatasi dengan cara lain,
misalnya intubasi. Trakeostomi juga dilakukan pada penderita yang memerlukan
bantuan pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang memerlukan bantuan
pernapasan buatan untuk waktu lama dan yang memerlukan pertolongan
pembersihan jalan nafas secara memadai. Trakeostoma merupakan fistel antara
trakea dan kulit leher yang dipertahankan dengan kanul.
Menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam :
1. Trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang.
2. Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara
baik.
9
PATOFISIOLOGI OBSTRUKSI SALURAN NAFAS ATAS
Obstruksi saluran napas atas mengakibatkan hipoventilasi alveolus dan
menimbulkan tiga perubahan biokimiawi : hipoksi arterial (hipoksemi), retensi
CO2 (hiperkapni) dan asidosis respirasi dan metabolik (penurunan serum).
Asidosis metabolic disebabkan oleh terbentuknya asam laktat dan
penimbunan asam karbonat. Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan asfiksia.
Hipoksi menyebabkan gangguan fungsi seluler terutama pada SSP. Badan karotis
dan aorta merupakan reseptor kimiawi terpenting yang mendeteksi perubahan O2.
Hipoksemi pada tingkat tertentu akan meningkatkan usaha pernapasan, takikardi,
vasokonstriksi perifer dan hipertensi, peningkatan resistensi pembuluh darah paru,
peningkatan aktivitas adrenal, dan peningkatan aktivitas korteks serebri akibat
rangsangan reseptor kimia san sistem saraf simpatis. Efek ini diperkuat oleh
asidosis dan hiperkapni, yang biasanya menyertai hipoksemi sebagai akibat
hipoventilasi alveolus.
Jika hipoksia berlangsung beberapa hari terjadi penyesuaian fisiologik dan
perbaikan gejala. Peningkatan aliran darah dan polisitemia memperbaiki
oksigenisasi jaringan. Hiperkapni dapat merangsang langsung SSP (merangsang
pernapasan). Umumnya dapat meninggikan frekuensi pernapasan dengan akibat
lainnya berupa sakit kepala, peka terhadap rangsangan, bingung, gatal, lemas dan
lesu. Hiperkapni berat menyebabkan pasien tidak sadar, reflex menurun, kaku,
tremor, dan kejang. Akhirnya terdapat narkosis CO2 dan koma.
10
Ion H+ merupakan stimulan pernapasan spesifik untuk pusat pernapasan di
medulla. Tetapi H+ dalam cairan serebrospinal tidak dapat menembus sawar
darah – otak dengan baik, sedangkan CO2 dapat dengan cepat memasukinya.
Kadar CO2 yang meningkat menyebabkan asidosis cairan serebrospinal dan
stimulasi pernapasan. Oleh karena CO2 harus berdifusi dalam cairan serebrospinal
yang tidak mempunyai sistem buffer maka kadar ion H+ abnormal dalam cairan
serebrospinal akan timbul secara bertahap tetapi berlangsung lebih lama dan lebih
hebat daripada kelainan darah perifer.
ANATOMI
Trakea merupakan suatu tabung berongga yang disokong oleh cincin
kartilago (elastin) yang tidak penuh di bagian posterior. Trakea berawal di bawah
kartilago krikoidyang berbentuk cincin stempel dan meluas ke anterior pada
esofagus, turun dalam toraks dimana ia membelah menjadi dua bronkus utama
pada karina. Pembuluh besar pada leher berjalan sejajar dengan trakea diseblah
lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid terletak di atas
trakea sebelah depan dan lateral. Ismus melintas trakea diseblah anterior, biasanya
setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekurens terletak pada
sulkus trakeoesofagus. Dibawah jaringan subkutan dan menutupi trakea dibagian
depan adalah otot-otot leher suprasternal, yang melekat pada kartilago tiroid dan
hioid.
SUMBATAN LARING
Sumbatan laring dapat disebabkan oleh:
1. Radang akut dan radang kronik.
2. Benda asing.
3. Trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata
tajam.
4. Trauma akibat tindakan medik.
5. Tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas.
6. Kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah:
11
1. Suara serak (disfoni) sampai afoni.
2. Sesak napas (dispnea).
3. Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
Stridor merupakan suara nafas bernada rendah saat insipirasi yang
disebabkan oleh udara yang melewati saluran nafas yang menyempit pada saluran
nafas atas yang biasanya memiliki saluran yang besar. Sering terjadi akibat
sumbatan pada laring dan trakea bagian atas.
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula, dan interkostal. Cekungan ini terjadi sebagai upaya dari otot-otot
pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger).
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium dengan tanda
dan gejala:
Stadium 1 : Cekungan tampak waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada waktu
inspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium 2 : Cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam,
ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah
mulai gelisah. Stridor terdengar waktu inspirasi.
Stadium 3 : Cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di
infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor
terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Stadium 4 : Cekungan-cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat gelisah,
tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka
pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea.
Pasien lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.
PENANGGULANGAN SUMBATAN LARING
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab
sumbatan dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin
ventilasi. Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan
12
supaya jalan napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti
inflamasi, anti alergi, antibiotika, serta pemberian oksigen inttermitten dilakukan
pada sumbatan laring stadium 1 yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif
atau resursitasi untuk membebaskan saluran napas ini dapat dengan cara
memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea) atau melalui
hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan
krikotirotomi.
Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan
sumbatan laring stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada
sumbatan laring stadium 4. Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan
berdasar analisis gas darah (pemeriksaan Astrup).
Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan
pertama sednagkna jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya
dilakukan trakeostomi.
INTUBASI YANG LAMA
Sejaka awal 1960-an kecenderungan melakukan trakeostomi guna
mwmintas sumbatan dan mengatasi akumulasi sekret atau kegagalan ventilasi
mulai muncul ke permukaan. Intubasi endotrakea telah menjadi lebih kompetitif
dimaan perawatannya dapat lebih baik termasuk penghisapan trakea yang sering,
serta pemakaian udara lembab dan tuba baruyang dibuat dari plastik guna
mengurangi pembentukan keropeng, dengan demikian tidak lagi memerlukan
penggantian tuba yang sering. Kecepatan intubasi dan kemudahan ekstubasi serta
dapat dihindarkannya komplikasi trakeostomi membuat teknik ini menarik.
Intubasi yang lama menimbulkan beberapa komplikasidengan angka
kesakitan dan bahkan angka kematian bermakna. Antara lain sinusistis akut;
destruksi hidung, mukosa dan kartilago; otitis media serosa; dana gangguan laring
dan subglotis. Gangguan laring dapat lebih sukar diatasi dibandingkan stenosis
trakea akibat trakeostomi, karena laring merupakan organ berotot fungsional dan
bukan hanaya suatu tuba berongga untuk menghantarkan udara. Rekonstruksi
laring mungkin sukar dan rehabilitasi terkadang tidak memuaskan.
13
Saat ini, di berbagai pusat, intubasi dilakuakan pada kasus-kasus darurat
atau jika tuba dianggap dapat dilepaskan pada satu minggu. Setelah 72 jam, bila
tuba masih diperlukan barulah dilakukan trakeostomi. Telah terjadi sedikit
komplikasi pada daerah laring dan subglotis bilamana menjalankan protokol ini.
Namun intubasi dewasa yang lama jelas meningkatkan resiko dan keparahan
komplikasi.Pada anak dan bayi , intubasi yang lama ternyata cukup berhasil. Tuba
dapat dipertahankan untuk waktu yang lebih lama hingga enam hari, seperti yang
diperlihatkan penelitian klinis. Bayi dapat ditangani untuk waktu yang lebih lama,
oleh karena itu akan lebih sulit melakukan dan merawat trakeostomi pada
kelompok ini. Bahkan pada neonatus, intubasi hingga enam bulan dilaporkan
berhasil. Namun ada kalanya komplikasi laring setelah dilakukan intubasi yang
lama pada anak.
Frekuensi stenosis subglotis dapat meningkat dengan semakin banyaknya
bayi yang menderita berbagai macam sindrom distress pernafasan yang diatasi
dengan tindakan ini, dan perlu berhati-hati terhadap dorongan untuk melakukan
intubasi. Ungkapan yang lebih baru, “jika anada mempertimbangkan trakeostomi,
lakukanlah intubasi, dan pertimbangkan lagi” cukup bijaksana, namuan harus
mengingat kenyataan bahwa intubasi adalah tindakan sementara dan harus
dihentikan atau digantikan dengan tuba trakeostomi.
Argumentasi mengenai intubasi versus trakeostomi masih belum dapat
diselesaikan. Namun demikian, jika memilih intubasi, maka peralihan menjadi
trakeostomi setelah enam hari pada anak, dan setelah 72 jam hinngga 96 jam pada
dewasa memberikan hasil yang paling memuaskan saat ini.
INDIKASI TRAKEOSTOMI
Indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi adalah :
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh
oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru.
14
3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasien koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
untuk bronkoskopi.
6. Bantuan jalan napas diperlukan lebih dari 2 minggu.
7. Refleks laring atau kemampuan untuk menelan hilang (misalnya penyakit
serebrovaskular).
8. Cedera kepala dan leher.
Trakeostomi dapat dilakukan untuk tujuan terapi atau sebagai suatu
prosedur berencana. Trakeostomi berencana mungkin diperlukan bila diramalkan
akan terjadi problem pernafasan pada pasien pasca bedah daerah kepala, leher,
atau toraks, atau pasien dengan insufisiensi paru kronik. Indikasi yang jarang ialah
pada pasien, yang intubasi orotrakea sukar dilakukan atau tak mungkin dilakukan
untuk tujuan anestesi umum. Trakeostomi juga harus dilakukan sebelum
pembedahan tumor – tumor orofaring atau laring untuk menghindari manipulasi
tumor yang tidak perlu.
Trakeostomi untuk terapi perlu dilakukan pada tiap kasus insufisiensi
pernafasan yang disebabkan oleh hipoventilasi alveolus untuk memintas
sumbatan, mengeluarkan sekret, atau untuk tujuan penggunaan pernapasan buatan
secara mekanis.
Bila mungkin, trakeostomi harus didahului oleh intubasi endotrakea.
Walaupun intubasi endotrakea dapat segera memperbaiki gangguan jalan nafas,
trakeostomi harus dilakukan bila diperhitungkan perlu perawatan jalan nafas lebih
dari 48 jam, karena :
1. Mengeluarkan sekret jauh lebih mudah lewat suatu pipa trakeostomi, dan
kemungkinan terjadinya obstruksi pipa lebih kecil.
2. Pasien sangat sulit menelan dengan adanya pipa endotrakea.
3. Membersihkan pipa endotrakea pada posisinya sulit dan untuk mengganti pipa
diperlukan laringoskopi berulang.
4. Intubasi lama endolaring menimbulkan ulserasi mukosa yang akhirnya dapat
menjadi granuloma, adhesi, dan stenosis laring.
15
5. Trakeostomi kurang menyebabkan rangsangan refleks batuk, yang mungkin
penting pada pasien dengan kelainan saraf dan pasca bedah.
6. Dengan trakeostomi pasien yang sadar dapat berbicara.
Kontraindikasi trakeostomi adalah pasien dengan obstruksi laring oleh
tumor ganas.
PERALATAN TRAKEOSTOMI
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi adalah semprit
dengan obat analgesia (novokain), pisau (skapel), pinset anatomi, gunting panjang
yang tumpul, sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta
kanul trakea yang ukurannya cocok untuk pasien.
Seperti pipa endotrakeal, kaf pipa yang bertekanan rendah dan bervolume
banyaklah yang dipilih. Yang sering digunakan adalah pipa yang terbuat dari
klorida polivinil (KPV), silastik dan metal. Pipa KPV dan silastik umum
digunakan untuk UTI sedangkan pipa metal digunakan untuk trakeostomi jangka
panjang terutama bila kaf tidak diperlukan.
16
PROSEDUR TRAKEOSTOMI
1. Trakeostomi elektif.
Pada kebanyakan kasus trakeostomi dilakukan di Intensive Care Unit atau
di kamar operasi. Pada lokasi tersbut pasien terus dimonitor dengan pulse
oxymetri dan elektrokardiogram. Anestesiologis biasanya melakukan gabungan
antara medikasi intravena dan anestesi lokal.
Teknik trakeostomi ditentukan sampai batas tertentu oleh keadaan yang
memerlukan tindakan tersebut. Yang terpenting ialah memperoleh udara
pernafasan secepat dan seefisiensi mungkin dengan menghindari trauma pada
laring, trakea, dan struktur yang berdekatan.
Bila mungkin, dilakukan intubasi endotrakea sebelum trakeostomiterapi,
terutama pada anak. Jika tidak mungkin melakukan intubasi,ventilasi dan
oksigenasi melalui kantong dan masker sangat membantu. Jika udara pernafasan
telah terkontrol, dapat dilakukan trakeostomi dengan lebih cermat dan trauma
minimal.
Pasien tidur telentang dengan bantal di bawah bahu untuk memperoleh
ekstensi leher yang maksimal. Anestesi tidak diperlukan pada pasien yang tidak
sadar. Anestesi lokal pada umumnya sudah cukup untuk pasien sadar, termasuk
anak. Anestesi lokal diberikan dengan infiltrasi kulit pada garis insisi dan bahan
disuntikkan ke jaringan yang lebih dalam di garis tengah sampai pada dinding
trakea anterior. Dapat digunakan lidocaine (Xylocaine) 1% dengan epinefrin 1 :
150.000.
17
Insisi kulit ditentukan berdasarkan situasi dan kondisi. Jika trakeostomi
dilakukan bersamaan dengan bedah kepala dan leher, insisi disesuaikan dengan
rencana operasi yang akan dilakukan. Jika trakeostomi dilakukan tersendiri, bila
mungkin dibuat insisi horizontal. Insisi dibuat sepanjang 5 cm, kira – kira dau jari
di atas fosa suprasternal.
Hasil kosmetik insisi horizontal lebih baik dibandingkan insisi vertikal.
Dalam keadaan gawat dan bantuan tidak tersedia, dilakukan insisi vertikal di garis
tengah sepanjang 4 cm supaya cepat dan perdarahan minimal. Insisi kulit
diperdalam sampai terlihat otot penggantung. Pada titik ini, untuk menentukan
letak trakea perlu dilakukan palpasi untuk menghindari diseksi terlalu lateral. Otot
penggantung dipisahkan secara vertikal di garis tengah dan disingkirkan ke lateral,
maka tampak fasia pre-trakea yang menutupi trakea dan ismus tiroid.
Tampak banyak vena turun ke fasia dari tiroid, tetapi dengan tetap bekerja
di garis tengah pada bidang vertikal, sebagian besar vena dapat dihindari. Ismus
tirois hampir selalu berada di atas cincin trakea ke-3 dan biasanya dapat
disingkirkan ke atas dengan retractor kecil dan tumpul untuk membebaskan
trakea. Ismus tiroid tidak perlu dipotong, sehingga perdarahan dapat dihindari,
kecuali pada ismus yang luar biasa lebar, harus dipotong diantara dua klem, dan
diikat pada pinggir potongan.
Trakea harus difiksasi dengan memasukkan pengait pada dinding anterior
antara cincin ke-1 dan ke-2, kemudian ditarik ke arah atas dan luar. Dinding
anterior trakea diinsisi secara vertikal, sebanyak 2 sampai 3 cincin. Insisi trakea
jangan lebih tinggi dari cincin ke-2, untuk mencegah rangsangan pipa trakeostomi
pada kartilago krikoid yang dapat menyebabkan perikondritis. Jangan membuang
tulang rawan dari dinding anterior trakea, karena dapat menimbulkan defek besar
pada trakea yang tidak perlu pasca ekstubasi, sehingga terjadi granulasi yang
mengganggu dan memperlambat penyembuhan. Insisi trakea diperlebar dengan
dilator Truosseau atau klem yang besar, kemudian pipa dimasukkan , dijaga agar
tidak mngenai dinding posterior trakea.
Balon dikontrol dengan cara inflasi untuk mengetahui ada tidaknya
kerusakan pada balon pada waktu memasukkan pipa. Segera setelah pipa masuk
sering timbul batuk hebat, dan beberapa pasien dapat timbul apnea karena
18
kehilangan rangsangan hipoksia untuk bernafas. Pipa trakeostomi harus dipilih
dengan hati – hati. Akhir – akhir ini pemakaian pipa perak ukuran standar tipe
Holinger dan Jackson telah ditinggalkan dan diganti dengan pipa jenis silikon atau
Portex. Alasannya untuk mengurangi trauma pada dinding trakea, mengurangi
kanul dalam, dan ekonomis. Panjang pipa trakeostomi juga penting dan seringkali
perlu disesuaikan panjangnya untuk tiap individu.
Diameter pipa dipilih yang terbesar, kira – kira sesuai dengan tiga per
empat diameter trakea. Ukuran rata – rata np. 6 untuk wanita dewasa atau no. 7
dan 8 untuk pria. Pipa dengan balon mungkin perlu bila ada masalah aspirasi, atau
jika diperlukan respirator dengan tekanan positif. Insisi kulit tidak dijahit dan
tidak diperban dengan tekanan karena dapat menimbulkan emfisema subkutan,
pneumomediastinum, dan pneumotoraks. Kasa kecil dapat diletakkan antara
pinggir pipa dan kulit leher.
19
20
2. Trakeostomi Darurat
Pada keadaan darurat, trakeostomi harus dapat dilakukan dalam 2 – 3
menit, dimana anoksia akan terjadi dalam 4 – 5 menit. Pada trakeostomi darurat
lebih baik dilakukan insisi secara vertikal, yang dimulai pada level kartilago
krikoid, lanjutkan ke inferior sekitar 2,5 – 3,75 cm. Gunakan tangan kiri untuk
menstabilkan laring dan mengekstensi leher bila tidak ada kontraindikasi (seperti
cedera servikal). Sementara tangan kanan digunakan untuk membuat insisi.
Jari telunjuk tangan kiri dapat digunakan untuk mendorong ismus tiroid ke
inferior dan mempalpasi trakea. Insisi kulit secara vertikal ini sangat krusial dalam
keadaan darurat, karena tindakan dapat dilakukan lebih cepat dan kurangnya
resiko trauma terhadap struktur leher yang lain.
TRAKEOSTOMI PADA BAYI DAN ANAK
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan ukuran
dan konsistensi trakea pada bayi dan anak. Pada semua kasus trakeostomi
seharusnya hanya dilakukan setelah bronkoskop, pipa enotrakea atau kateter
dimasukkan untuk memperbaiki saluran udara pernafasan dan memberi kekakuan
pada trakea, sehingga memudahkan diseksi dan identifikasi trakea.
Pada anak kecil, sangan mudah melakukan diseksi yang terlalu dalam dan
21
lateral dari trakea, sehingga merusak nervus laringius rekuren, arteri karotis
komunis atau apeks pleura. Saat melakukan insisi pada dinding trakea, harus hati
– hati agar pisau tidak masuk terlalu dalam dan merobek dinding posterior.
Dengan bronkoskop dalam trakea dapat membantu untuk terhindar dari
komplikasi ini.
Kesulitan lain pada anak ialah pipa trakeostomi sering keluar dari trakea,
karena leher bayi yang pendek dan sering gemuk, terutama bila leher dalam
keadaan fleksi. Dapat juga dilakukan jahitan dengan benang sutra pada tepi insisi
trakea untuk menandai dan benang ini dilekatkan ke leher untuk mencegah
hilangnya lumen trakea jika pipa bergeser. Trakea harus diperiksa setelah pipa
dimasukkan, untuk menjaga agar tidak terjadi lipatan ke dalam dari cincin trakea
yang dipotong, yang dapat menyebabkan pergeseran pipa dan obstruksi pada saat
dekanulasi.
Sering terjadi kesulitan untuk mendapatkan pipa trakeostomi yang sesuai.
Pipa yang terlalu panjang dapat masuk ke karina atau salah satu bronkus,
menyebabkan atelektasis paru sisi lain. Jika lengkung pipa terlalu panjang, akan
menekan trakea pada batas atas insisi trakea, sedangkan ujung bawah pipa
menempel pada dinding anterior trakea, dan lengkung yang terlalu tumpul dapat
menyebabkan ulserasi dinding posterior trakea dan esofagus. Oleh karena itu
harus dibuat foto Rontgen leher dan dada pasca bedah pada bayi.
Pipa plastik rancangan Aberdeen ialah yang terbaik digunakan pada bayi
dan anak. Alat ini fleksibel, dapat dipotong untuk meyesuaikan panjang, dan
memungkinkan aliran udara yang lebih baik, karena kanul dalam.
22
PERAWATAN TRAKEOSTOMI
Hal-hal penting pada perawatan trakeostomi adalah :
1. Humidifikasi.
2. Fiksasi harus aman dan ganti setiap hari.
3. Bersihkan luka setiap 6 jam atau sesering yang diperlukan.
4. Penghisapan trakeobronkial dilakukan dengan mengindahkan kaidah a dan
antisepsis. Gunakan kateter dan sarung tangan steril.
5. Radiografi dada harus diambil untuk konfirmasi posisi ujung pipa. Pipa
dipertahankan selama 7 hari setelah itu ganti setiap 4 hari. Bila digunakan pipa
metal, pipa bagian dalam dapat sering diganti tanpa mengganti pipa utama.
6. Kultur luka dan sputum harus diperiksa.
7. Alat-alat untuk keadaan darurat harus selalu tersedia tidak jauh dari pasien,
seperti :
a.Pipa trakeostomi yang baru dengan ukuran yang sama dan satu nomor lebih
kecil.
b. Dilator trakea, speculum hidung dan laringoskop untuk anak yang dapat
digunakan untuk dilatasi stoma dan pemasangan pipa kembali.
c.Peralatan untuk menghisap dan fasilitas untuk ventilasi kendali.
d. Sungkup muka, laringoskop dan pipa endotrakeal. Jika pipa trakeostomi tidak
berhasil dimasukkan kembali, kadang-kadang dilupakan bahwa pasien dapat di
ventilasi melalui laring.
Anak – anak yang memerlukan trakeostomi lama dapat dirawat di rumah,
dengan memberikan pendidikan yang cermat pada orangtua dalam penggunaan
alat penyedot yang steril, pengaturan kelembaban dan penggantian pita
trakeostomi.
Pipa trakeostomi pada trakeostomi yang baru harus dipertahan 2 sampai 3
hari sebelum diganti. Pada saat itu telah terbentuk saluran yang permanent, dan
sedikit sekali kemungkinan tidak dapat memasukkan pipa kembali. Mengganti
pipa sebelum 2 – 3 hari dapat menyebabkan bahaya hilangnya lumen trakea.
Mengganti pipa trakeostomi pada bayi untuk pertama kali harus tersedia
sebuah bronkoskop. Kelembaban khusus udara inspirasi diperlukan untuk
mencegah trakeitis dan pembentukan krusta, yaitu ruangan dengan alat
23
humidifikasi Watson atau sebuah kerah trakea dengan uap basah. Untuk
menambahkan kelembaban atmosfir perlu diteteskan 3 atau 4 tetes larutan garam
hipotonik atau larutan Ringer Laktat ke dalam pipa setiap 3 atau 4 jam. Pasien
dengan sekret yang kental dan banyak perlu pemberian mukolitik intratrakea
untuk mencairkan sekret.
DEKANULASI
Pipa trakeostomi jangan dibiarkan lebih lama dari waktu yang diperlukan,
terutama pada anak. Harus diangkat secepat mungkin untuk mengurangi
timbulnya trakeobronkitis, ulserasi trakea, stenosis trakea, trakeomalasi, dan
fistula trakeokutan menetap. Segera setelah keadaan pasien membaik, ukuran pipa
trakeostomi diperkecil sampai ukuran yang memungkinkan udara dapat memintas
pipa menuju saluran nafas bagian atas. Hal ini menolong menghindari
ketergantungan fisiologik pada pipa yang besar akibat menurunnya resistensi
pernafasan. Kemudian pipa ditutup dan dinilai apakah jalan nafas adekuat,
kemampuan menelan dan mengeluarkan sekret. Jika pipa dapat ditutup selama 8 –
12 jam, pipa dikeluarkan dan fistel trakeokutan ditutup. Segera setelah dekanulasi,
pasien harus diamati dengan ketat dan alat yang diperlukan untuk mendapatkan
jalan nafas kembali selalu harus tersedia.
24
KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI
Seperti tindakan bedah lainnya, trakeostomi juga memiliki resiko
komplikasi dan cedera. Karena setiap individu bervariasi dalam hal sirkulasi
jaringan dan proses penyembuhan, maka tidak dapat dijamin tidak akan terjadi
komplikasi akibat tindakan trakeosotmi. Trakeostomi darurat dan trakeotomi yang
dilakukan pada pasien sakit berat memiliki resiko lebih besar terhadap komplikasi
setelah prosedur.
Jenis komplikasi :
1. Segera
a. Komplikasi perioperatif seperti perdarahan, emfisema, pneumotorak, emboli
udara dan kerusakan tulang rawan krikoid.
b. Diskoneksi.
c. Salah menempatkan trakeostomi, misalnya di jaringan pretrakea atau bronkus
utama kanan.
d. Herniasi kaf yang menyebabkan pipa tersumbat.
e. Ujung pipa tertutup dinding trakea atau carina.
f. Apnea akibat hilangnya rangsangan hipoksia pernafasan.
Trakeostomi yang dilakukan pada pasien dengan riwayat hipoksia kronik,
tarikan nafas pertama atau kedua setelah pipa dimasukkan dapat diikuti dengan
henti nafas. Hal ini sehubungan dengan denervasi fisiologik pada reseptor kimia
perifer karena naiknya PO2 tiba – tiba. Oleh karena hipoksia sangat
mempengaruhi rangsangan pernafasan, maka dapat terjadi apnea.
25
A. Trakea tertekuk ke depan
B. Tukak dinding depan trakea karena ukuran kanul terlalu besar
C. Emfisema subkutis karena dislokasi kanul
D. Tukak karina karena kateter isap
E. Manset ditiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul ( herniasi
akibat ditiup berlebihan )
F. Manset kanul terlepas di trakea
G. Nekrosis cincin trakea karena manset ditiup terlalu kuat
H. Cedera dinding belakang (hati – hati fistel trakeo-esofagus)
2. Menengah
a. Tersumbat sekret, dapat terjadi segera atau gradual. Tetapi hal ini jarang terjadi
bila humidifikasi, hidrasi dan penghisapan lendir baik.
b. Infeksi pada stoma atau trakeobronkial.
Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi.
Antibiotik profilaksis harus dilarang karena memungkinkan perkembangan
bakteri oportunistik. Pseudomonas aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi
trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi sistemik. Tindakan yang perlu
dilakukan mungkin hanya mebasahi kasa dengan larutan asam asetat 0,5%. Pasien
yang mendapat banyak antibiotik mungkin mengalami kontaminasi Candida
albicans pada lokasi trakeostomi. Namun sebelum memulai pengobatan sistemik
harus dicoba perawatan luka secara lokal.
c. Ulserasi trakea kerena penekanan kaf.
d. Erosi yang dalam dapat menyebabkan perdarahan dari a. Inominata atau fistel
trakeoesofagus.
3. Lanjut
a. Granuloma trakea yang bisa menyebabkan kesulitan bernapas bila pipa
diangkat.
b. Trakeomalasia dan dilatasi trakea.
c. Stenosis trakea.
26
Merupakan komplikasi mayor yang tersering. Frekuensi komplikasi ini
semakin sering meningkat karena pasien sering kali memerlukan ventilasi
terkontrol jangka lama dengan tuba bermanset. Menurut Fearon, stenosis stoma
bukanlah suatu komplikasi melainkan merupakan parut pasca operasi yang telah
diperkirakan, dan gejala hanaya kan timbul bila diameter lumen sama dengan atau
kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi di atas stoma atau kartilago dalam
lumen, maka masalah dapat di atasi dengan eksisi endoskopik atau memasang
stent pada jalan nafas. Tuba bermanset dapat menyebabkan obstruksi mukosa
sirkumferensial dalam beberapa jam. Manset harus dikembangkan dan kemudian
sejumlah udara dilepaskan hingga menimbulkan “bunyi”. Manset bertekanan
renda juga bersifat protektif. Perbaikan stenosis trakea semakin sulit bilamana
sikatriks makin panjang.
d. Fistel trakeokutan menetap
e. Fistel trakeoesofagus
Biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan telah menjalani intubasi
yang lama dengan tuba bermanset dan ventilasi terkontrol. Pasien demikian
memerlukan tuba nasogastrik, namun seringkali meninggal akibat penyakit
primernya ataupun akibat pneumonia aspirasi lewat fistula. Perbaikan bedah amat
kompleks dan melibatkan pnempatan otot-otot leher diantara trakea dan esofagus
setelah perbaikan primer pada fistula.
f. Masalah jaringan parut trakeostomi
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Jacob Ballenger, John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Jilid 1. Edisi ketiga belas. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994.435 –
456.
2. Soepardi, Arsyad., Iskandar, Nurbaiti. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 243-253
3. Maisel, Robert, H. Trakeostomi dalam Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
Enam. Jakarta : EGC, 1997.
28