Tortikolis Spasmodik Dan Distonia Fokal Lainnya

download Tortikolis Spasmodik Dan Distonia Fokal Lainnya

of 20

description

medical

Transcript of Tortikolis Spasmodik Dan Distonia Fokal Lainnya

TORTIKOLIS SPASMODIK DAN DISTONIA FOKAL LAINNYADistonia fokal/segmental jenis ini berkebalikan dengan gangguan distonik pada BAB 4. Distonia dalam BAB ini bersifat intermiten, dengan spasme atau kontraksi memanjang sekelompok otot yang berdekatan yang membuat bagian tubuh tertentu berada dalam posisi abnormal. Posisi tersebut dapat dengan jelas terlihat. Apabila mengenai sekelompok otot leher, maka jenis distonia fokal yang umumnya tampak berupa spasme yang lebih berat pada satu sisi, dengan rotasi dan ekstensi parsial dari keplaa (distonia servikal idiopatik, atau tortikolis), atau gambaran lainnya berupa keterlibatan otot leher anterior atau posterior yang lebih dominan sehingga kepala menjadi hiperekstemsi (spasme procolli, atau retrocolli) atau condong ke depan (spasme procolli, atau anterocolli). Distonia lain yang terbatas hanya pada kelompok otot kranioservikal yaitu spame otot orbicularis oculi yang mengakibatkan penutupan paksa dari kelopak mata (blefarospasme) dan kontraksi otot mulut dan rahang, yang dapat menyebabkan pembukaan/penutupan paksa rahang dan retraksi atau pengerucutan bentuk bibir (distonia oromandibula). Dengan adanya kondisi tersebut, lidah akan mengalami potrusi otomatis (involunteer); otot tenggorokan dan leher akan mengalami spasme yang berbahaya saat pasien berusaha untuk berbicara atau akan menyebabkan otot wajah yang menyeringai; otot laring juga dapat terlibat, menghasilkan suara tegang bernada tinggi (disfonia spasmodik). Seringkali, disfonia spasmodik (terkadang disalahinterpretasikan sebagai disfonia spastik), terjadi dalam bentuk fenomena terisolasi (Bab 23). Dari sekian banyak distonia fokal yang ditemukan di klinik gangguan gerakan Rumah Sakit Columbia Presbyterian, 44% masuk dalam kategori tortikolis, 26% berupa disfonia spasmodik, 14% berupa blefarospasme, 10% berupa distonia fokal dari tangan dan lengan kanan (writers cramp), dan 3% berupa distonia oromandibular. Gangguan pergerakan tersebutbersifat otomatis (involunteer) dan tidak dapat diinhibisi yang membedakannya dari spasme akibat kebiasaan atau tics. Dulu, tortikolis pernah dianggap sebagai bentuk neurosis, namun saat ini disepakati bahwa torikolis merupakan bentuk distonia terlokalisasi. Seperti yang telah didiskusikan dalam BAB 4,bahwa karakteristik dari spasme dan distonia fokal yang mirip yang terjadi pada tangan atau kaki dengan gambaran aktivasi simultan otot agonis dan antagonis (kokontraksi), yang menyebabkan kecenderungan penyebaran spasme ke kelompok otot terdekat yang pada kondisi gerakan normal tidak pernah teraktivasi (overflow), sekaligus menyebabkan terjadinya aritmik yang bercampur dengan tremor; namun tanda terseut cenderung tidak mendominasi pada kebanyakan kasus distonia fokal jika dibandingkan dengan pada kasus distonia umum (dijelaskan dalam BAB 4). Adaya tremor dapat menyebabkan kesulitan penegakan diagnosa apabila derajat ringan distonia yang sebelumnya ada tidak diperiksa dengan pengamatan yang teliti dan dengan palpasi pada otot yang terlibat.Adanya distonia terbatas bentuk tipikal terkadang mewakili sebuah tardive dyskinesia; sebaga contoh: pemahaman yang salah terhadap obat-obat neuroleptik (lihat pada topik Tardive Dyskinesia yang diinduksi obat dan Terapi). Bentuk yang paling umum berupa gerakan repetitif konstan dari lidah dan bibir, yang meliputi gerakan bibir mengecap-ngecap, potrusi lidah, dan gerakan orolingual tidak normal lainnya. Distonia terbatas pada tangan dan kaki seringkali muncul sebagai bagian penyakit degeneratif yang meliputi penyakit Parkinson, degenerasi ganglion kortikobasalis, dan palsi supranuklear progresif (dijelaskan dalam BAB 39). Distonia bentuk tersebut juga termasuk degenerasi hepatolentikular non-Wilsonian. Distonia fokal jarang mucul secara transien setelah stroke yang melibatkan sistem striatopallidum, terutama segmen internal pallidum, atau thalamus, namun lokasi yang bervariasi dari infark tersebut membuat kesimpulan mengenai mekanisme distonia sulit untuk ditarik. Beberapa kasus yang masuk dalam kategori distonia simtomatik atau sekunder digambarkan oleh Krystkowiak dan koleganya serta Manchu dan koleganya. Sementara Janav dan Aminoff telah meringkas mengenai beberapa jenis yang disebabkan oleh gangguan sistemik, meliputi hipoksia, infeksi AIDS, obat-obatan, dan autoantibodi termasuk sistemik lupus eritematosus (SLE).Patogenesis distonia fokal idiopatik masih belum pasti, meskipun terdapat bukti menunjukkan bahwa beberapa jenis seperti distonia umum, terkait dengan masalah genetik. Ilmuwan, termasuk Marsden , telah mengklasifikasikan distonia fokal onset dewasa dengan kategori yang lebih luas dari bagian distonia torsi idiopatik. Pandnagan tersebut didasarkan atas beberapa bukti, yaitu: penemuan bahwa tiap-tiap distonia fokal dapat muncul sebagai bagian awal dari sindrom idiopatik umum pada masaanak-anak; insidensi distonia fokal dan segmental dalam satu anggota keluarga anak tersebut; serta kecenderungan distonia pada beberapa pasien dewasa untuk menyebar menuju bagian tubuh lain. Bukti yang paling mendukung adalah temuan yang menunjukkan bahwa terdapat satu keluarga dimana satu-satunya manifestasi mutasi DYT1 (abnormalitas gen yang berhubungan dengan distonia muskulorum deforman), berupa writers cramp onset lambat atau distonia fokal lainnya. Masih belum jelas apakah hal tersebut dapat menjelaskan banyak kasus distonia fokal onset dewasa, namun temuan tersebut menekankan adanya variabilitas fenotipe yang berhubungan dengan gen mutasi DYT1. Karakteristik genetis dari distonia torsio primer sangatlah kompleks dan dibahas dalam BAB 39.Perlu digarisbawahi bahwa belum pernah ditunjukkan adanya perubahan patologis yang konsisten dalam distonia idiopatik/genetik manapun. Kebanyakan fisiologis mengklasifikasikan gangguan tersebut ke dalam istilah inhibisi korteks yangberkurang atau kontraksi otot yang tidak diinginkan, sebagaimana diringkas oleh Berardelli dan koleganya. Perubahan fisiologi yang spesifik dalam area korteks terkait distonia, berhubungan dengan penggunaan berlebihan dari bagian tubuh tertentu (distonia okupaisonal) yang dijelaskan di bagian berikutnya.TORTIKOLIS SPASMODIK (DISTONIA SERVIKAL IDIOPATIK)Tortikolis spasmodik merupakan bentuk paling umum dari distonia terbatas, yang terlokalisasi pada otot leher saja. Insidennya dimulai pada fase hidup dewasa awal hingga tengah (puncak insidensi pada dekade ke-5), dan lebih sering dijumpai pada wanita, dalam bentuk kemiringan/rotasi ringan dari posisi kepala dan cenderung memburuk secara lambat (Gambar 6-2A). Dengan pengecualian pada temuan abnormalitas gen DYT1 pada beberapa pasien, distonia tersebut masih dianggap bersifat idiopatik. Kualitas pergerakan leher dan kepala bervariasi; dapat berbentuk gerakan yang tenang dan halus atau sentakan, namun seringkali mengakibatkan deviasi persisten kepala kesatu sisi. Terkadang kemunculan yang jelas dari kedutan myoklonik atau tremor iregular dengan frekuensi tinggi, mengiringi deviasi pada kepala, yang kemungkinan menandai adanya upaya untuk mengatasi kontraksi otot leher. Namun, tremor tersebut cenderung muncul dalam bentuk gerakan distonik. Pada suatu waktu, tremor tampak mendominasi distonia, mengakibatkan kesulitan diagnosis. Spasme seringkali memburuk saat pasien berdiri atau berjalan dan berkurang/hilang dengan adanya stimulus kontaktual, seperti penempatan tangan pada dagu atau leher atau pemberian tekanan perlawanan yang ringan namun stabil pada sisi deviasi atau pada sisi yang berlawanan, atau dengan cara meletakkan bagian oksiput kepala kontak dengan bagian belakang kursi yang tinggi. Manuver tersebut, disebut dengan istilah gestes, akan menjadi kurang efektif seiring dengan progresi penyakit. Dalam banyak kasus, spasme akan berkurang ketika pasien berbaring. Pada kasus kronis, seiring dengan semakin terfiksasinya posisi distonia, otot yang terpengaruh akan mengalami hipertrofi. Rasa nyeri pada otot yang berkontraksi merupakan keluhan umum, terutama jika terdapat artropati servikal terkait. Otot yang paling banyak terkena pengaruh adalah otot sternomastoid, levator scapula dan trapezius. Studi dengan EMG juga menunjukkan aktivitas yang terus berlangsung atau intermiten pada otot servikal posterior di kedua sisi leher. Spasme otot levator mengangkat bahu sedikit lebih tinggi, dan ketegangan serabut dalam otot yang dapat teraba merupakan tanda awal yang muncul. Melalui pemeriksaan umum, klinisi akan memperoleh informasi dengan cara melakukan palpasi otot leher dan bahu untuk menetapkan otot manasaja yang menjadi penyebab utama dan untuk mengarahkan terapi. Pada sebagian besar pasien, spasme terlokalisasi di otot leher dan menetap dalam bentuk tak termodifikasi, namun pada beberapa kasus, spasme menyebar, melibatkan otot gelang bahu dan punggung atau wajah dan ekstremitas. Perbedaan antara pola tersebut bukanlah hal yang mendasar. Sekitar 15% dari pasien dengan tortikolis juga mengalami tortikolis oral, mandibular atau tangan; 10% mengalami blefarospasme; dan dalam presentase yang sama memiliki keluarga dengan riwayat distonia atau tremor (Chan et al). Seperti yang telah diketahui, belum ada perubahan neuropatologis yang ditemukan dalam studi kasus tunggalyang dilaporkan oleh Tarlov dan Zweig dan koleganya. Tortikolis spasmodik resisten terhadap pengobatan dengan Levodopa dan senyawa antiparkinson lainnya, meskipun terkadang senyawa tersebut dapat sedikit meringankan gejala. Sedikit dari pasien dalam penelitian ini (4-5 dari puluhan pasien), kondisi tersebut menghilang sendiri tanpa terapi, insidensi tersebut sebesar 10-20% dalam penelitian oleh Dauer et al. Remisi biasanya terjadi selama beberapa tahun pertama setelah onset, pada pasien yang penyakitnya terjadi lebih awal. Namun, hampir seluruh pasien tersebut mengalami kekambuhan dalam waktu 5 tahun.TERAPI Injeksi periodik (tiap 3-6 bulan) sejumlah kecil toksin botulinum secara langsung ke dalam beberapa tempat dari otot yang terpengaruh, sejauh ini merupakan bentuk terapi yang paling efektif. Injeksi tersebut paling baik dituntun dengan palpasi otot yang mengalami spasme dan dengan analisis EMG untuk menentukan manakah dari otot yang mengalami kontraksi tonik yang paling bertanggungjawab terhadap postur abnormal yang muncul. Semua, kecuali 10% dari pasien tortikolis mengalami penurunan beratnya gejala dengan terapi tersebut. Efek samping (kelemahan yang berlebihan dari otot yang diinjeksi, nyeri lokal, dan disfagia-akibat efek sistemik toksin) biasnya ringan dan sementara. 5-10% dari pasien secara bertahap akan menjadi resisten terhadap injeksi berulang karena terbentuknya antibodi penetral terhadap toksin tersebut (Dauer et al). Dalam sebagian besar kasus berat dan yang refrakter terhadap terapi dengan toksin botulinum, kombinasi pembedahan dari saraf spinal aksesoria (dari otot sternomastoid yang paling terdampak) dan dari 3 cabang pertama saraf servikal motoris secara bilateral, dapat dengan sukses mengurangi spasme otot tanpa menimbulkan total paralisis. Setidaknya berkurangnya gejala dicapai hingga jangka waktu 6 tahun pada 1/3 dari total kasus yang diterapi melalui cara tersebut (Krauss et al; Ford et al). Thalatomy bilateral juga pernah dicoba, namun karena kurang fektif dan menyebabkan resiko yang cukup berat, terutama dalam hal fungsi bicara dna menelan, cara tersebut hanya dipakai untuk pasien dengan derajat sangat berat dengan distonia yang luas. Prosedur pembedahan tersebut saat ini jarang dilakukan dengan adanya terapi dengan toksin botulinum.BLEFAROSPASMEDari waktu ke waktu,pasien dalam fase kehidupan dewasa lanjut, terutama wanita, datang dengan keluhan ketidakmampuan untuk mempertahankan matanya tetap terbuka. Tiap upaya yang dilakukan untuk melihat objek akan diikuti dengan spasme tonik persisten dari kelopak mata (Gambar 6-2B). Selama sesi anamnesis, pasien akan berusaha untuk mengatasi spasme sekaligus merasa terganggu. Seluruh aktivitas harian akan terbatas pada derajat yang bervariasi. Membaca dan menonton televisi menjadi tidak mungkin dilakukan pada satu waktu, namun pada waktu lain justru sebaliknya. Jankovic dan Orman, dalam sebuah survei terhadap 250 pasien menemukan bahwa 75% kasus berlanjut ke arah perburukan selama beberapa tahun hingga sampai pada satu waktu dimana 15% dari kasus tersebut, pasien mengalami buta fungsional. Banyak dari kasus blefarospasme yang merupakan komponen dari Sindrom Meige (lihat bagian berikutnya).Pasien awalnya berpikir bahwa gangguan tersebut merupakan fotofobiaatau respon terhadap iritasi okular, dan pasien akan mengeluhkan rasa silau terhadap cahaya yang mengganggu (inflamasi okular, terutama iris, mengakibatkan refleks blefarospasme berat). Namun, spasme tersebut akan bertahan meski pada cahaya redup dan setelah anestesi kornea sekalipun. Pergerakan ekstraokular cukup normal. Blefarospasme dapat terjadi sebagai suatu fenomena terisolasi, namun seringkali bersamaan dengan spasme oromandibular dan kadang dengan disfonia spasmodik, tortikolis dan fragmen distonik lainnya. Dengan pengecualian terhadap reaksi depresif pada beberapa pasien, gejala psikiatrik jarang ditemukan, dan penggunaan psikoterapi, biofeedback , akupunktur, terapi modifikais perilaku, dan hipnosis gagal untuk menyembuhkan spasme yang muncul. Belum ada lesi neuropatologis atau profil neurokimiawi yang telah ditetapkan secara pasti untuk gangguan tersebut (Masden et al; Hallet).

TERAPIPada kasus blefarospasme, medikasi dengan variasi antiparkinson, antikolinergis, dan transkuilizer dapat dicoba, namun hasilnya kurang menjanjikan sehingga pasien diedukasi untuk tidak boleh terlalu banyak berharap. Sangat sedikit pasien yang mengalami penurunan gejala sementara maupun parsial berkat terapi dengan Levodopa dan peneliti menemukan penggunaannya bermanfaat jika dipakai sebagai uji coba klinis pada sebagian besar pasien. Terkadang, blefarospasme menghilang dengan spontan ( pada 13% kasus dalam penelitian Jankovic dan Orman). Terapi yang paling efektif terdiri atas injeksi toksin botulinum ke dalam beberapa lokasi dalam otot orbicularis okuli dan otot wajah sekitarnya. Manfaatdari terapi tersebut berlangsung selama 3-6 bulan dan diperlukan siklus terapi ulangan. Tampaknya terdapat sedikit efek samping sistemik karena rendahnya dosis yang digunakan. Destruksi termolisis pada bagian serabut dari cabang saraf wajah yang menginervasi otot orbikularis okuli berhasil diperbaiki bahkan pada kasus yang paling resisten dan mengakibatkan kecacatan sekalipun. PENYEBAB LAIN BLEFAROSPASMETerdapat beberapa kondisi klinis selain yang dijelaskan di atas, dimana blefarospasme muncul. Beberapa hari setelah terjadi infark / perdarahan serebrum, stimulus untuk mengangkat kelopak mata pasien akan menimbulkan refleks penutupan kelopak mata yang kuat. Refleks blefarospasme, sebagaimana diperkenalkan oleh Fisher berhubungan dengan hemiplegia kiri. Blefarospasme homolateral juga berhasil diamati pada kasus infark sempit struktur thalamomesencephalon. Pada pasien dengan penyakit Parkinson, palsi supranuklear progresif, atau penyakit Wilson dan dengan lesi lain pada bagian rostral/depan batang otak, sedikit saja penutupan mata akan menginduksi blefarospasme dan ketidakmampuan untuk membuka kelopak mata secara sadar (volunteer). Peneliti pernah mendapati kasus blefarospasme sebagai bagian dari ensefalitis paraneoplastik otak tengah, dan terdapat beberapa laporan mengenai kasus blefarospasme pada penyakit autoimun seperti SLE namun mekanismenya masih belum jelas seperti halnya pada blefarospasme idiopatik. Diantara pasien dari peneliti, terdapat 2 pasien dengan myastenia gravis dan blefarospasme sebagaimana telah dijelaskan oleh Roberts dan koleganya, namun peneliti masih belum dapat memastikan apakah hal tersebut mewakili gangguan fungsional atau hanya merupakan respon berlebihan untuk menjaga mata tetap terbuka. Pada akhirnya penutupan mata dengan kelopak mata yang berkedip-kedip pada pasien dengan faktor predisposisi yang tinggi, dapat menjadi indikasi gangguan psikologis. blefarospasme yang diinduksi nyeri akibat kondisi okular seperti iritis dan rosacea dari kelopak mata juga pernah dilaporkan.SPASME LINGUAL, FASIAL DAN OROMANDIBULAVariasi khusus dari gerakan tak sadar (involunteer) tersebut juga ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan onset puncak usia pada dekade ke-6. Insidensi lebih banyak ditemui pada kelompok wanita. Jenis yang paling sering ditandai dengan bukaan paksa pada rahang, retraksi bibir, spasme platysma, dan protrusi lidah; atau rahang tertutup dan bibir mengerucut (Gambar 6-2B). Pola lainnya meliputi deviasi lateral rahang dan bruksisme. Istilah umum untuk kondisi tersebut adalah Sindrom Meige, setelah neurologis dari Prancis yang memberikan deskripsi awal mengenai penyakit tersebut, dan Sindrom Brueghel , karena kemurupan dari bentuk seringaian dengan subjek pada lukisan Bruegel yang dikenal dengan De Gaper. Kesulitan untuk berbicara dan menelan (disfonia spastik atau spasmodik) dan blefarospasme dapat mengiringi dan seringkali pasien dengan gangguan tersebut akan mengalami tortikolis atau distonia vertebra dan ekstremitas. Sejumlah pasien mengalami tremor pada otot yang terdampak atau pada tangan. Keseluruhan spasme memanjang dan otomatis tersebut dari wajah, lidah dan otot leher juga terjadi setelah terapi dengan fenotiazin dan butirofen. Namun, gangguan yang diinduksi oleh neuroleptik tersebut tampak berbeda, meliputi gerakan mengunyah koreoatetotik, gerakan bibir mengerucut, dan gerakan lidah menjilat-jilat (tardive diskinesia orofasial, sindrom mulut kelinci, lihat di bab selanjutnya). Sangat sedikit kasus Sindrom Meige yang telah dipelajari secara neuropatologis. Pada sebagian besar kasus tersebut, tidak ditemukan lesi apapun. Pada 1 pasien, terdapat fokus hilangnya serabut saraf dalam striatum (Altrocchi dan Forno); pasien lainmenunjukkan hilangnya sel saraf dan adanya Lewy bodies dalam substantia Nigra dan nuklei terkait (Kulisevsky et al); keduanya masih belum pasti.Suatu bentuk distonia yang mempengaruhi otot rahang saja juga telah ditemukan (disebut dengan spasme masticator Romberg); sejenis distonia yang merupakan bagian dari distonia orofasial dan umum. Dalam kasus yang dijelaskan oleh Thompson dan koleganya, masalah berawal dengan periode spasme yang jelas dari otot pterygoideus atau massetter (pengunyah) satu sisi. Awalnya, diagnosa banding yang dipikirkan untuk kasus tersebut yaitu bruksisme, spasme hemifasial, pergerakan rahang ritmik abnormal yang berhubungan dengan penyakit Whipple, dan tetanus. Seiring dengan perjalanan penyakit, terbukanya mulut secara paksa dan deviasi lateral dari rahang dapat berlangsung hingga beberapa hari dan dapat diiringi gerakan lidah tambahan. Bentuk lainnya yang terjdi bersamaan dengan gerakan atrofi hemifasial telah ditemukan oleh Kaufman. Benztropin dosis tinggi dapat membantu, namun injeksi toksin botulinum lokal merupakan alternatif terbaik. Spasme intermiten yang terbatas pada satu sisi wajah (spasme hemifasial) tidak termasuk dalam distonia, melainkan masuk dalam kategori gangguan saraf fasialis yang dibahas pada BAB 47.TERAPIBanyak obat yang telah digunakan untuk terapi spasme kranioservikal, namun tidak satupun yang berhasil menyembuhkan. Sebagaimana dengan distonia lokal dan regional lainnya, tingkat kesuksesan yanglebih besar diperoleh dengan injeksi toksin botulinum ke dalam otot massetter, temporal dan pterygoid internal. Hal tersebut juga berlaku pada kasus disfonia spasmodik (dibahas secara lengkap di BAB 23), yang berespon dengan sangat baik terhadap injeksi toksin botulinum ke dalam otot tyroarytenoid vokalis.WRITERS CRAMP, MUSICIANS SPASM, DAN DISTONIA TERKAIT PEKERJAAN SPESIFIK LAINNYAKram oupasional atau spasme termasuk dalam pembahasan distonia karena opini yang mengatakan bahwa kasus terseut merupakan bentuk distonia terbatas atau distonia fokal terkait pekerjaan spesifikyang didapat (acquired). Insidensi pada laki-laki dan wanita bernilai sama,paling sering terjadi pada rentang usia 20-50 tahun. Bentukyang paling umum, yaitu writers cramp, pengamatan pad pasien yang terdampak saat berupaya menulis, maka satu atau seluruh otot ibu jari dan jari lainnya akan mengalami spasme atau seperti terhambat gerakannya akibat kekakuan atau nyeri atau sebab yang sulit dijelaskan oleh pasien. Spasme tersebut terasa menyakitkan dan dapat menyebar hingga menuju lengan bawah atau bahkan lengan atas dan bahu. Terkadang spasme tersebut berubah menjadi tremor yang akan mempengaruhi gerakan tangan. Segera setelah berhenti menulis, spasme tersebut akan menghilang. Pada saat yang lain, saat digunakan untuk melakuakn gerakan motorik kasar, tangan tersebut bergerak normal, dan tidak menunjukkan abnormalitas neurologis lainnya. Banyak pasien belajar untuk menulis dengan jalan baru yaitu memakai tangan yang lain, namun ternyata sisi tangan tersebut juga dapat terpengaruh. Beberapa dari pasien tersebut dengan usia yang lebih muda, mengalami tortikolis spasmodik pada fase selanjutnya. Performa gerakan motoris yang memerlukan keahlian tinggi seperti bermain piano atau memetik biola, juga dapat terkena spasme (musicians cramp) atau di masa lalu disebut dengan telegraphers paly. Dalam setiap kasus yang telah diteliti, keahlian motorik yang sangat baik dan disempurnakan dengan latihan bertahun-tahun serta dilakukan dengan otomatis, tiba-tiba memerlukan upaya yang sangat berat untuk mengerjakannya kembali. Gerakan yang berlainan mengalami kerusakan dengan adanya keterlibatan otot yang tidak diperlukan. Segera setelah berkembang, kecacatan akan menetap dalam derajat yang bervariasi, meskipun setelah bagian yang terdampak diistirahatkan dalam jangka waktu lama.Percobaan pada monyet, Byl dan koleganya menemukan bahwa gerakan stereotipik tingkat tinggi yang dipertahankan, cepat, dan repettitif mempengaruhi perkembangan area korteks yang mewakili informasi sensoris dari tangan. Peneliti tersebut berhipotesis bahwa degradasi umpan balik sensoris menuju korteks motorik bertanggungjawab terhadap munculnya aktivitas motoris yang menetap dan berlebihan, termasuk distonia. Pembesaran yang sama dari area respon korteks terhadap stimulasi magnetik telah ditemukan oleh sejumlah peneliti pada pasien dengan writers cramp, serta diikuti penemuan berupa penurunan volume substansia abu-abu otak bagian korteks sensorimotorik, thalamus dan serebelum yang berhubungan dengan tangan yang terdampak oleh Delmaire dan koleganya. Berardelli et al telah meninjau teori lain menyangkut fisiologi dari distonia fokal.TERAPITingkat keberhasilan yang besar diperoleh dengan injeksi toksin botulinum ke dalam otot yang terlibat secara spesifik, seperti pada tangan dan lengan bawah dari kasus iwriters cramp (Cohen et al; Rivest et al), dan terapi tersebut merupakan bentuk terapi yang paling banyak digunakan. Hasil terbaik diperoleh dengan mengarahkan injeksi melalui palpasi dan deteksi dengan EMG dari otot spesifik yang terlibat aktif dalam menimbulkan distonia. Stimulasi listrik transkutan (TENS) dari lenganbawah selama 20 menit memiliki efek yang ringan menurut penelitian oleh Tinazzi dan koleganya. Telah disebutkan bahwa pasien dapat dibantu dengan prosedur dekondisional yang mengirimkan kejut listrik tiap kali terjadi spasme atau dengan biofeedback, namun bentuk terapi tersebut belum diuji secara luas dan telah banyak ditinggalkan dengan adanya terapi memakai toksin botulinum.TARDIVE DISKINESIA AKIBAT INDUKSI OBAT(juga lihat BAB 43)Diskinesia merupakan istilah luas yang dipakai untuk merujuk pada berbagai gerakan tidak disadari (involunteer) termasuk tremor dan gerakan abnormal yang diakibatkan oleh terapi Levodopa pada penyakit Parkinson. Ketika istilah tardive digunakan, maka hal tersebut merujuk secara spesifik pada gerakan yang diinduksi oleh penggunaan obat antipsikotik, biasanya fenotiazin yang menetap setelah pemakaian dihentikan. Gerakan bersifat intermiten atau persisten dan tidakk diinginkan oleh pasien (tidak disadari ingin dilakukan). Otot fasial, lingual, kelopak mata dan bulbar paling sering terlibat, namun otot leher, bahu, dan tulang belakang hingga punggung juga bisa terpengaruh pada kasus tertentu. Tardive diskinesia merupakan gerakan gerakan repetitif, stereotype dari mulut dan lidah akibat pajanan Levodopa, yang berlangsung menetap selama beberapa bulan hingga tahun. Jika penggunaan obat segera dihentikan setelah gejala muncul, mungkin tardive diskinesia tidak akan menetap lama. Selain gerakan mulut bisa juga terjadi blefarospasme, gerakan truskus, tangan, leher dan akhatisia tungkai, namun hal tersebut tidak tampak sejelas diskinesia orofasial dan lingual. Masalah tersebut dapat dengan mudah dikenali dan sangat familiar diantara para klinisi yang menangani pasien psikiatri. Spasme oromandibular dan blefarospasme (Sindrom Meige) dan penyakit Huntington akan menyulitkan diagnosis.Selain fenotiazin, obat yang kurang terkenal seperti metoclorpramid, pimozide, amoxapine, dan clebropide, beberapa diantaranya dipakai untuk terapi selain psikosis, dan senyawa baru seperti risperidone juga bisa menjadi penyebab diskinesia. Semakin lama pajanan yang terjadi, maka semakin besar kemungkinan timbulnya diskinesia. Terdapat sejumlah sindrom gerakan tardive yang diinduksi oleh obat jenis lain,terutama berupa variasi distonia, dan akhatisisa. Seringkali gerakan dimulai secara fokal pada leher dan menyebar seiring waktu menuju ekstremitas. Satu pola khas yang sering ditemui yaitu berupa kombinasi retrocolli, vertebra yang melengkung ke arah belakang, rotasi internal lengan, ekstensi siku, dan fleksi pergelangan tangan yang tampak seperti postur epistotonus. Beberapa pasien mengalami diskinesia orofasial sekaligus servikal. Banyak pasien melaporkan bahwa distonia mereda selama berjalan dan aktivitas lainnya, namun hal tersebut tidak terjadi pada distonia torsio idiopatik. Konsep pemikiran terbaru mengungkapkan bahwa diskinesia akibat induksi obat tersebut merupakan hasil perubahan dalam konsentrasi reseptor dopamin, 5 diantaranya telah diketahui dan dibahas dalam BAB 4. Blokade dari reseptor D2 secara spesifik berubungan dengan perkembangan sindrom tardive.TERAPIHanya sedikit terapi yang memberikan hasil efektif. Jika tardive diskinesia terjadi segera setelah penghentian pengobatan, maka pemberian kembali obattersebut dalam dosis kecil seringkali mampu mengurangi diskinesia namun menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan seperti parskinsonisme dan rasa lemah/lesu. Atas dasar alasan tersebut, klinisi yang berpengalaman dalam bidang tersebut akan menghindari memakai obat-obatan tersebut dan beralih ke jenis obat antipsikotik yang lebih baru, yang memiliki resiko rendah untuk menginduksi munculnya gerakan tardive. Pada kenyataannya, obat antipsikosis atipikal yang lebih baru dapat menghambat pergerakan menuju tingkat yang bervariasi dan merupakan pilihan jika pasien memerlukan terapi psikiatri yang berkelanjutan. Gerakan tardive tersebut akan berkurang dalam beberapa bulan atau tahun dan kasus ringan akan menghilang dengan sendirinya atau hanya menimbulkan sedikit residu; dan jarang terjadi perburukan gejala. Efek tersebut timbul akibat blok ringan pada aktivitas D2. Dopamin dan obat pendeplesi noradrenergik seperti reserpine dan tetrabenazine juga telah memberikan hasil yang baik jika digunakan dengan hati-hati. Distonia juga berespon terhadap obat antikolinergis (THP 2,5 mg 1-2 kali/hari, dinaikkan dosisnya tiapminggu hingga 12,5 mg). Diskusi lebih lanjut mengenai efek samping obat antipsikotik dipaparkan dalam BAB 43 dan 58.TICS DAN SPASME HABITUALISSejumlah orang selama masa hidupnya terbiasa melakukan sejumlah gerakan tertentu. Gerakan tersebut bervariasi mulai dari gerakan sederhana hingga gerakan yang sangat personal, mannerisme idiosinkratik (dari bibir dan lidah) hingga gerakan berulang-ulang seperti mendengus, berdehem/batuk, memajukan dagu, atau berkedip tiap kali merasa tegang. Stereotypy dan Iresistibilitas merupakan tanda identifikasi dari fenomena tersebut. Pasien mengaku sengaja menciptakan gerakan tersebut dan merasa terpaksa untuk melakukannya dengan tujuan mengurangi tekanan yang dirasakan jika menahan gerakan tersebut. Gerakan jenis tersebut dapat disupresi untuk jangka pendek dengan adanya usaha atau kemauan untuk mengontrol, namun gerakan tersebut akan muncul kembali segera setelah perhatian subjek/pasien teralih. Dalam kasus tertentu, tics akan menjadi semakin parah sehingga pasien tidak menyadarinya dan tampak tidak mampu mengontrolnya lagi. Tanda yang menarik dari banyak tics yaitu tics berkaitan dengan tindakan terkoordinasi yang normalnya ditujukan untuk organisme. Gerakan tersebut merupakan bentuk repetisi yang tidak terputus yangsebetulnya tidakdiperlukan sehingga disebut dengan istilah spasme atau tics habitualis. Kondisi tersebut bervariasi secara luas dalam hal ekspresi dari gerakan tunggal terisolasi (sebagai contoh: mengedip, berdehem, batuk, atau meregangkan leher) hingga gerakan yang lebih kompleks. Anak usia 5-10 tahun, mempunyai kecenderungan besar mengalami spasme habitualis, yang meliputi gerakan mengedip, berdehem, batuk, menyentakkan kepala atau mata ke satu sisi, menyeringai dll. Jika diabaikan, spasme tersebut jarang bertahan lebih lama dari beberapa minggu atau bulan dancenderung hilang jika anak tersebut diistirahatkan dan dikondisikan dalam lingkungan yang lebih tenang. Pada orang dewasa, pengurangan rasa cemas dengan obat-obatan sedatif dan transkuilizer dapat membantu, namun tics akan tetap bertahan. Diduga terdapat hubungan dengan infeksi streptococcus yang dibicarakan di bagian berikutnya. Saat menganggur, orang dewasa terkadang menunjukkan sejumlah variasi gerakan bentuk kecemasan tertentu, bahasa tubuh tertentu/gesture, dan mannerisme yang bervariasi dari satu orang ke orang lain. Gerakan tersebut bersifat lebih lambat dibanding tics dan spasme, Jenis khusus dari goyangan, anggukan kepla, lambaian tangan (pada autisme) atau gerakan meremas tangan (jenis sindrom Rett), dan gerakan lainnya, yang merupakan hasil stimulasi mandiri, merupakan gangguan motilitas yang unik terutama pada kalangan dengan keterbelakangan mental. Gerakan ritmia tersebut tidak menunjukkan adanya gambaran patologi anatomi dalam ganglia basalis atau tempat lain di batang otak. Dalam beberapa kasus kerusakan fungsi penglihatan dan epilepsi fotik, gerakan mengusap mata dan menggerakkan jari secara ritmik melewati lapang pandang terjadi pada anak-anak dengan retardasi mental.SINDROM GILLES de la TOURETTE (SINDROM TOURETTE)Tics multipel-berdehem, mengorok, vokalisasi yang tidak disadari, dan impuls menganggu yang kompulsif dan aresif-merupakan bagian dari sindrom tics terberat-yaitu Sindrom Tourette. Sindrom tersebut berkembang mulai masa kanak-kanak, pada anak lelaki terjadi 3 kali lebih sering dibanding pada anak perempuan, biasanya dalam bentuk tics sederhana. Seiring dengan perkembangan penyakit, terdapat tics baru yang muncul. Sehingga sindrom tersebut merupakan multiplikasi dari tics dan kombinasi tics motorik dan vokalis yang membedakan Sindrom Tourette dengan gangguan tics terbatas yang ringan. Tics vokal, biasanya berupa nada yang tinggi dan menganggu. Beberapa psien menunjukkan perilaku motorik repetitif yang menyebalkan, seperti melompat, jongkok, atau berputar-putar. Bentuk lain yang umum dari perilaku repetitif meliputi senang menyentuh orang lain dan mengulangi perkataannya sendiri (palilaia) serta perkataan dan gerakan orang lain. Perilaku merutuk yang eksplosif dan tak disdari serta ucapan mencaci maki yang kompulsif (koprolalia) merupakan bentuk manifestasi yang paling dramatis. Fenomena yang terakhir tidak terjadi pada pasien di Jepang, yang budaya dan bahasanya mengandung sedikit ucapan caci-makian. Bentuk lengkap dari tics dan kompulsi yang menggambarkan Sindrom TOurette telah dijelaskan oleh Tolosai dan Bayes dan dalam tinjauan oleh Jankovic dan Leckman.Stone dan Jankovic telah menggarisbawahi insidensi persisten dari blefarospasme, torticolis dan spektrum distonik lainnya dalam sejumlah kecil pasien dengan Sindrom Tourette. Kontraksi terisolasi dari sekelompok otot (tics tonik) juga dapat terajdi. Sebagaimana dalam gangguan tics lainnya, terdapat sensasi rasa ketat premonitor, perasaan tak nyaman atau parestesia atau sensaki fisik atau keinginan yang hanya bisa dikurangi dengan gerakan. Bentuk gangguan yang ringan menunjukkan adanya disfungsi bicara yang disbeut dengan tanda neurologis ringan yang ditemukan pada sebagian pasien. Feinberg dan koleganya mengamati 4 pasienya dengan myoklonus aritmik dan vokalisasi, namun belum jelas apakah gejala tersebut mewakili varian yang tidak biasa dari penyakit tourette atau merupakan sindrom baru. Beberapa peneliti mengamati bahwa tics cenderung terjadi secara bersamaan selama beberapa menit atau jam dan mengelompok selama beberapa minggu hinga bulan. Fenomena tersebut memberikan gambaran sebuah proses yang naik-turun.Perjalanan penyakit tidak dapat diprediksi. Pada separuh remaja tics menghilang dengan spontan di awal masa dewasa dan pada kasus yang menetap, tics akan menjadi lebih ringan. Sementara pasien lain mengalami remisi jangka panjang namun diikuti kekambuhan dari tics tersebut, namun pada pasien lainnya gangguan motorik menetap sepanjang hidupnya. Variasi tersebut menekankan kesulitan dalam memisahkan spasme habitualis transien dari sindrom Tourette kronis dengan tics multipel. Tics motorik terisolasi yang ringan namun menetap dalam jangka waktu lama kemungkinan mewakili variasi sindrom Tourette karena menunjukkan pola heredofamilial lelaki yang sama serta respon yang mirip terhadap pengobatan.Sebagaimana gangguan perilaku pada umumnya, terdapat gangguan hiperaktif-defist atensi (ADHD) dan perilaku obsesif-kompulsif yang nampak jelas seiring dengan perjalanan penyakit dan berinterferensi pada tingkat yang lebih berat dibandingkan gangguan tics. Buruknya kontrol temperamen, impulsivitas, perilaku melukai diri-sendiri dan perilaku sosiopatik tertentu terlihat dalam beberapa anak. Bukti adanya gangguan organik melalui tes psikologis ditemukan pada 40-60% pasien dalam sebuah laporan oleh Shapiro dan koleganya, namun intelegensi pasien tidak mengalami deteriorasi. Abnormalitas nonspesifik dari EEG ditemukan pada lebih dari separuh pasien namun tidak cukup konsisten untuk dipertimbangkan sebagai salah satu tanda dari penyakit tersebut.Pada 1/3 dari kasus yang dilaporkan oleh Shapiro dan koleganya, tics terisolasi berhasil diamati pada anggota lain dari keluarga pasien. Beberapa penelitian lain telah melaporkan kasus dalam satu kelompok keluarga 9cluster) dimana pola transmisinya tampaknya bersifat autosomal dominan dengan penetransi inkomplet (Pauls dan Leckman) namun laporan tersebut menjadi sebuah kontroversi, dan beberapa gen predisposisi telah ditemukan melalui analisa gen. Hingga saat ini Sindrom Tourette tidak bisa dihubungkan hanya dengan lokus genetik tunggal. Namun dmeikian, penelitian pada pasangan kembar dengan Sindrom Tourette menunjukkan tingkat kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar monozygot dibanding dizygot. Faktor perancu dari etnis telah dilaporkan, namun belum pernah diteliti pada area dengan populasi etnis tersebut yang lebih rendah (Lees et al).Masih sedikit yang diketahui mengenai penyebab Sindrom de Tourette. Penyakit tersebut tidak berubungan dengan kelas sosial atau penyakit psikiatri; tidak terdapat hubungan yang konsisten dengan infeksi, trauma, atau penyakit lain. Anak hiperaktif yang telah diterapi dengan stimulan tampaknya beresiko tinggi mengalami tiks/eksaserbasi (Price et al) namun hubungan kausalitasnya belum pasti. Laporan mengenai hubungan dengan gangguan obesif kompulsif juga tidak konsisten. MRI tidak menunjukkan abnormalitas seragam; pencitraan fungsional menunjukkan sejumlah abnormalitas yang tidak konsisten. PErubahan histopatologi belum ditemukan dlam beberapa pemeriksaan otak dengan metode biasa. Namun, Singer dan koleganya (1991), yang menganalisa penanda dopamin pre-dan post-sinaps pada jaringan striatum post-mortem menemukan perubahan signifikan mekanisme ambilan ulang dopamin; penelitian yang lebih baru oleh Wolf dan koleganya telah menemukan bahwa perbedaan dalam pengikatan reseptor dopamin D2 dalam kepala nukleus kaudatus mencerminkan perbedaan dalam keparahan fenotipe dari Sindrom Tourette. Pengamatan tersebut, digabung dengan kenyataan bahwa Levodopa menyebabkan eksaserbasi gejala Sindrom Tourette dan bahwa haloperidol yang memblok reseptor dopamin (terutama D2), merupakan terapi efektif, mendukung teori mengenai abnormalitas dopaminergik dalam ganglia basalis, terutama dalam nukleus kaudatus. Oleh sebab itu, perilaku kompulsif terkait lesi di bagian kepala dari nukleus kaudatus dan proyeksinya dari korteks orbitofrontal dan cingulatum mungkin saja saling berhubungan. Menggunakan model Korea Sidenham, penelitian terbaru menunjukkan bahwa infeksi streptococcus berperan dalam terbentuknya jenis Sindrom Tourette yang berat serta tics umum yang lebih sedikit pada anak-anak. Hubungan tersebut telah coba untuk diperluas oleh beberapa peneliti untuk menjelaskan perilaku obsesif-kompulsif dengan onset tiba-tiba dan tidak jelas. Gangguan yang diduga berhubungan dengan post infeksi streptococcus dijelaskan oleh Swedo dan koleganya dengan memakai akronim PANDAS (pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders with streptococcal infection). Dalam beberapa kasus terjadi kekambuhan yang mirip dalam Korea Sidenham. Pengamatan tersebut masih merupakan tantangan dalam belum pasti dan beberpa kelompok masih kesulitan dalam membedakan pasien PANDAS dengan Sindrom Gilles de Tourette dalam hal autoantibodi serum (Singer et al,2005).

TERAPIDua kelas obat dipakai untuk terapi. Agonis alfa 2 adrenergik, klonidin dan guanfasin terbukti bermanfaat dalam beberapa penelitian, namun tidak menunjukkan manfaat yang sama di penelitian lain. Terapi dengan obat tersebut tidak sama poten dengan neuroleptik, namun efek sampingnya lebih ringan dan merupakan rekomendasi terapi lini pertama. Obat yang lebih baru, yaitu guanfasin memiliki manfaat yang lebih besar dibanding klonidin dari sisi dosis harian dan efek sedasinya. Dosis inisial sebesar 0,5-1 mg diberikan menjelang waktu tidur dan secara bertahap dinaikkan sesuai keperluan hingga dosis total 4mg. Pemberian klonidin dimulai dengan dosis awal mejelang waktu tidur sebesar 0,05 mg yang dinaikkan tiap selang beberapa hari sebesar 0,05 mg hingga dosis total 0,1 mg yang diberikan sebanyak 3 x sehari; guanfasin diberikan sebesar 1 mg menjelang tidur dan ditingkatkan sebesar 1 mg tiap bulannya, hingga 3 mg jika diperlukan. Obat neuroleptik seperti haloperidol, primozide, sulpiride dan tiapride telah terbukti efektif sebagai agen terapeutik namun sebaiknya digunakan hanya pada psien yang menunjukkan gejala berat dan biasanya setelah dilakukan percobaan pengobatan dengan senyawa adrenergik. Haloperidol diberikan dalam dosis kecil (0,25 mg di awal, lalu dinaikkan dosisnya secara bertahap hinga 2-10 mg tiap harinya). Penambahan benztropine mesylate (0,5 mg tiap hari) di luarterapi dapat membantu mencegah efek samping motorik dari haloperidol. Pimozide, yang memiliki aksi antidopaminergik yang lebih spesifik dibanding haloperidol, dapat bernilai lebih efektif dibanding haloperidol; namun harus diberikan dalam dosis rendah (0,5 mg tiap hari) lalu dinaikkan bertahap hingga 8-9 mg/hari. Neuroleptik atipikal, seperti risperidone, juga bermanfaat. Senyawa poten tetrabenazine, merupakan obat yang mendeplesi monoamin dan memblok reseptor dopamin dapat digunakan jika dosis tinggi obat lain tidak bisa ditoleransi. Penjelasan lebih lanjut mengenai penggunaan jenis obat tersebut dapat ditemukan dalam tinjauan oleh Leckman. Tics motorik sederhana dan terisolasi seringkali berespon baik terhadap clonazepam. Pendekatan lain yang menarik yaitu injeksi toksin botulinum pada otot yang terpengaruh/terdampak oleh tics, meliputi pada kasus tics vokalis sebagaimana dijelaskan oleh Scott dan koleganya: terapi tersebut dikatakan dapat mengurangi dorongan sensoris premonitor. Kurlan dan koleganya mencatat bahwa penurunan gejala tics setelah terapi dengan natrexon, 50 mg tiap hari. Menurut sebuah uji coba klinis yang dilakukan oleh Kelompok Penelitian Sindrom Tourette, komponen hiperaktivitas dari Sindrom Tourette dapat diterapi dengan aman memamakai methylphenidate atau klonidin tanpa ketakutan akan adanya efek samping tics.AKATHISIAIstilah tersebut dipopulerkan oleh Haskovec di tahun 1940 untuk menjelaskan perasaan yang tidak pernah lelah, ketidakmampuan untuk bertahan duduk, dan dorongan/kompulsi untuk senantiasa bergerak. Ketika duduk, pasien secara konstan menggeser badan dan tungkainya, menyilang kemudian diluruskan kembali serta mengayunkan tungkainya secara bebas. Berlari di tempat dan gerakan mondar-mandir persisten merupakan tanda yang khas. Jenis abnormalitas tersebut lebih jelas di ekstremitas bawah dan tidak diiringi oleh rigiditas atau abnormalitas neurologis lainnya (bentuk akathisia ringan). Dalam bentuk lanjut, pasien mengeluh sulit berkonsnetrasi, terganggu, pleh keinginan untuk selalu bergerak. Pertama kali ditemukan pada pasien dengan Parkinson, dan demensia senilis, akathisia saat ini sering terjadi pada pasien yang menerima pengobatan dengan obat-obat neuroleptik (BAB 43). Namun, jenis gangguan ini dapat diamati pada pasien psikiatri yang tidak memperoleh pengobatan apapun dan pada beberapa pasien Parkinson yang tidak diobati. Namun gangguan tersebut juga dapat terjadi pada individu normal yang mendapatkan obat neuroleptik Levodopa. Pertimbangan diagnostik utama yaitu adanya depresi dengan agitasi, terutama pada pasien yang telah menjalani pengobatan neuroleptik, dan sindrom restless legs- merupakan gangguan tidur yang terlihat jelas pada kasus berat (BAB 19). Pasien dengan sindrom restless legsmendeskripsikan lebih merasakan adanya sensasi mencakar atau menggambar pada tungkainya dibandingkan sensai tidak kenal lelah yang berasal dari dalam tubuhnya, meskipun kedua gangguan tersebut menciptakan keinginan yang tidak terbendung untuk bergerak. Pada satu waktu, perbedaan tersebut tidaklah jelas. Banyak pengobatan yang dipakai untuk mengobati sindrom tersebut, seperti dengan propoxyphene atau clonazepam, atau dengan terapi yang diarahkan pada akathisia dengan memilih neuroleptik yang kurang poten (apabila neuroleptik dianggap sebagai penyebabnya) atau dengan menggunakan antikolinergis, amantadine, atau terapi yang ditoleransi paling baik yaitu obat-obatan pemblok beta adrenergik.