BAB II KAJIAN PUSTAKA - Universitas Udayana · 2018. 7. 5. · elektroensefalografi (EEG), yaitu...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - Universitas Udayana · 2018. 7. 5. · elektroensefalografi (EEG), yaitu...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epilepsi
2.1.1 Definisi epilepsi
Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24 jam
antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal, 2012).
Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien.
Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau
beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau gabungan keduanya.
Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya
penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar dengan cepat
dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian besar berlangsung singkat
(Panayiotopoulos, 2005).
2.1.2 Epidemiologi epilepsi
Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada usia dewasa muda, dan
meningkat pada usia lanjut (Hauser dan Nelson, 2013). Sebanyak 25% dari seluruh kasus
epilepsi terjadi pada anak umur kurang lima tahun (Yilmas dkk., 2013). Sebuah penelitian
melaporkan bahwa insiden epilepsi pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2 kasus/100.000
populasi/tahun (Khatria dkk., 2003). World Health Organization memperkirakan prevalens
epilepsi pada anak di dunia 4-6 per 1000 anak umur 8-11 tahun. Insiden pada tahun pertama
kehidupan sekitar 120 pada 100.000 (Shakirullah, 2014). Prevalens epilepsi di negara maju 4-
9/1000 populasi, dengan insiden 25-50/100.000 populasi/tahun, sedangkan di negara
berkembang prevalensi 14-57/1000 populasi, insiden 30-115/100.000 populasi/tahun (Kwan
dkk., 2010). Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
peningkatan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada
anak-anak (Harsono, 2006). Insiden epilepsi pada anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Sanglah Denpasar, Bali selama kurun waktu 2007-2010 didapatkan 5,3%, terutama
terjadi pada anak laki-laki (56,9%) dengan jumlah kasus 276 pasien (Suwarba, 2011). Penelitian
epidemiologi mendapatkan epilepsi fokal idiopatik 10%, fokal simtomatik 12% dan fokal
kriptogenik 37% dari 613 kasus epilepsi umur kurang 16 tahun (Berg dkk., 2012).
Telaah sistematis pada 19 negara berkembang, termasuk Thailand, India dan Cina, jumlah
penyandang epilepsi yang sebenarnya diduga jauh lebih besar dibandingkan jumlah yang
terdiagnosis dan mendapat tatalaksana. Penderita epilepsi memiliki angka kematian dua sampai
tiga kali lebih besar dibandingkan populasi umum. Penyebab kematian dini pada epilepsi antara
lain status epileptikus (37,7%), tenggelam, luka bakar, atau trauma kepala akibat kejang yang
terjadi pada keadaan berbahaya (11,4%) dan kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya (sudden unexplained death in epilepsy; 6,6%). Penyakit yang mendasari epilepsi,
misalnya tumor susunan saraf pusat (SSP) atau kelainan neurometabolik juga dapat merupakan
faktor penyebab kematian dini pada anak dengan epilepsi (Hauser dan Nelson, 2013).
2.1.3 Klasifikasi epilepsi
Klasifikasi epilepsi dibuat berdasarkan pada tipe kejang, penyebab dan sindrom epilepsi.
International league againts epilepsy (ILAE) pada tahun 2010 menetapkan klasifikasi epilepsi
berdasarkan tipe kejang. Tipe kejang berdasarkan semiologi kejang dan gambaran
elektroensefalografi (EEG), yaitu epilepsi fokal (parsial) dan epilepsi umum. Epilepsi fokal
adalah kejang dimulai dari fokus tertentu yang terlokalisir di otak dan kejang muncul pada satu
sisi tubuh saja. Epilepsi fokal bisa menjadi umum jika terjadi perjalanan listrik otak ke hemisfer
kontralateral. Epilepsi umum adalah kejang pada daerah lebih luas di kedua hemisfer otak dan
manifestasi kejang pada kedua sisi tubuh (Berg dkk., 2012).
Berdasarkan penyebabnya, epilepsi digolongkan menjadi idiopatik, simtomatik dan
kriptogenik. Epilepsi idiopatik yaitu epilepsi yang tidak jelas ditemukan penyebabnya dan sering
dihubungkan dengan faktor genetik. Epilepsi simtomatik jika penyakit yang mendasari jelas
ditemukan, sedangkan epilepsi kriptogenik, diduga ada penyebab yang mendasari tetapi belum
bisa dibuktikan (Kwan dkk., 2011). Penyebab epilepsi pada bayi dan anak di Finlandia adalah
idiopatik (64%), masalah prenatal (15%), perinatal (9%), dan post natal (12%) (Sillanpaa dan
Schmidt, 2011).
Sindrom epilepsi menurut ILAE tahun 2010 dibagi menjadi 2 yaitu, sindrom epilepsi umum
yang sering pada bayi dan anak adalah sindrom Ohtahara, sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut, epilepsi mioklonik juvenile, sedangkan sindrom epilepsi fokal antara lain epilepsi
Rolandic, epilepsi lobus temporal, epilepsi oksipital benigna (Stafstorm dkk., 2011; Berg dkk.,
2012).
2.1.4 Patofisiologi epilepsi
Mekanisme bangkitan epilepsi terjadi karena adanya gangguan pada membran sel neuron,
membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel terhadap ion natrium dan kalium.
Membran neuron sangat permeabel terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion
natrium sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natrium
yang rendah didalam sel dalam keadaan normal (Henry, 2012). Sifat permeabel membran sel
dapat berubah sehingga terjadi perubahan kadar ion dan perubahan potensial aksi. Perubahan
potensial aksi pada membran sel tersebut akan menjadi stimulus yang efektif pada membran sel
dan menyebar sepanjang akson, sehingga terjadilah kejang (Mantegazza dkk., 2010).
Mekanisme lain kejang berhubungan dengan inhibisi presinap dan pascasinap. Sel neuron
berhubungan satu sama lain melalui sinap-sinap. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron
dihantarkan melalui neural akson yang kemudian melepaskan neurotransmitter pada sinap, zat
tersebut dapat mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinap. Neurotransmitter eksitasi
(asetilkolin, glutamic acid, aspartat, norepinephrin, histamin, purin, peptida) mengakibatkan
depolarisasi, sedangkan neurotransmitter inhibisi (gamma-amino butyric acid (GABA), glisin,
dopamin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron sehingga terjadi inhibisi pada transmisi sinap
(Henry, 2012). Kegagalan mekanisme inhibisi akan menimbulkan lepasnya muatan listrik yang
berlebihan dan gangguan sintesis GABA sehingga terjadi perubahan keseimbangan eksitasi-
inhibisi, aktifitas eksitasi lebih dominan dibandingkan aktifitas inhibisi sehingga muncul
bangkitan epilepsi (Benarroch, 2007).
2.1.5 Diagnosis epilepsi
Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang ditegakkan atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisis-neurologis. Pemeriksaan penunjang EEG untuk konfirmasi diagnosis.
Pencitraan kepala yaitu computed tomography scan (CT scan) atau magnetic resonance imaging
(MRI) untuk menemukan penyebabnya (Stroink dkk., 2003; Kuzniecky, 2005; Fisher dkk.,
2014).
2.1.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis harus dipastikan apakah kejadian itu memang kejang atau bukan kejang.
Rekaman video kejadian kejang yang terjadi di rumah sangat membantu dokter. Jika belum jelas
sebaiknya ditunggu sampai bisa dipastikan bahwa kejang berulang ≥ 2 kali dengan interval harus
> 24 jam (Maria, 2009; Berg dkk., 2012; Swaiman dan Ashwal, 2012). Riwayat gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, kelainan kongenital dan gangguan
neurologik sebaiknya ditanyakan. Kejadian kejang harus dipastikan bahwa tidak ada pencetus
yang jelas (unprovoked seizure), seperti demam, gangguan elektrolit dan gangguan metabolik
lainnya (Van Donselaar, 2006; Arzimanoglou dkk., 2009).
2.1.5.2 Pemeriksaan fisis umum dan neurologis
Pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, asimetri ukuran
tubuh yang dapat menunjukkan adanya gangguan neurologi. Gambaran dismorfik pada muka,
tanda-tanda tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul, dan makula untuk melihat
kemungkinan sindrom epilepsi tertentu (Kwan dkk., 2011; Hauser dan Nelson, 2013).
Pada epilepsi umum, kejang mulai pada satu area tertentu di otak, kemudian secara serentak
menyebar ke hemisfer otak kiri dan kanan (Stafstorm, 1998). Pada epilepsi umum didapatkan
kejang umum disertai gelombang epiletiform pada seluruh hemisfer otak. Manifestasi klinis
kejang umum yaitu serangan dari awal mengenai seluruh tubuh dan ekstremitas dan berakhir
bersamaan (Nordli, 2005; Medina dkk., 2012).
Epilepsi fokal terjadi pada satu sisi tubuh saja (Berg dkk., 2012). Epilepsi fokal dapat
menjadi umum bila terjadi hipereksitabilitas pada neuron korteks yang menyebar ke daerah
sekitarnya melalui korpus kalosum ke hemisfer otak kontralateral atau melalui jalur subkortikal
(thalamus, batang otak). Manifestasi klinis kejang fokal pada anak dapat muncul dalam bentuk
aura, kepala menengok (nonversive head turning), deviasi mulut, disfasia pascakejang, iktal
speech, automatisme unilateral. Manifestasi klinis epilepsi fokal tergantung dari lobus mana
fokus epileptik berasal, setiap lobus akan memberikan manifestasi yang khas (Berg dkk., 2012).
Kejang yang berasal dari lobus frontalis merupakan 30% dari seluruh pasien epilepsi fokal, dan
merupakan fokus tersering kedua setelah lobus temporalis (Swaiman dan Ashwal, 2012).
2.1.5.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.5.3.1 Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi jika fasilitas tersedia.
Gambaran EEG berperan dalam konfirmasi diagnosis epilepsi, menentukan tipe kejang dan
sindrom epilepsi, pemilihan OAE dan menentukan prognosis (Silanpaa dan Schmidt, 2011).
Gambaran EEG pada rekaman pertama hanya menunjukkan abnormalitas sekitar 37-40% kasus
epilepsi (Chabolla dan Cascino, 2005; Kwan dkk., 2011). Empat puluh persen anak dengan
kejang akan memiliki hasil EEG normal (Stroink dkk., 2003; Smith, 2005; Khan dkk., 2013).
Sensitivitas EEG 56% dan spesifisitas 78% (Stroink dkk., 2003). Elektroensefalografi
menunjukkan gelombang paroksismal pada 32% anak normal dan sering diiterpretasikan sebagai
gelombang abnormal sehingga gelombang EEG saja tanpa memandang informasi klinis tidak
dapat menyingkirkan maupun menegakkan diagnosis epilepsi (Gailard, 2009).
2.1.5.3.2 Pencitraan
Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada epilepsi. Pada keadaan
fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau dengan kontras dapat
dilakukan, meskipun memberikan hasil tidak sebaik MRI kepala. Magnetic resonance imaging
kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti neoplasma otak,
ensefalitis autoimun, dan leukomalasia serebral (Kuzniecky, 2005).
2.1.6 Tatalaksana epilepsi pada anak
Pemilihan OAE didasarkan atas: jenis kejang, sindrom epilepsi, efek samping, dan interaksi
antar OAE. Pengobatan dimulai dengan OAE lini pertama, dosis ditingkatkan sampai dosis
maksimal. Pemberian dua jenis terapi (politerapi) dapat dipertimbangkan bila hasil belum
optimal setelah pemberian monoterapi (Maria dan Drayton, 2009).
Tujuan pengobatan epilepsi adalah menghentikan kejang dan mengurangi frekuensi kejang
(Mcnamara, 2011). Tujuan terpenting dalam pengobatan adalah mempertahankan kadar obat
dalam therapeutic range tanpa menimbulkan gejala toksik, setelah pemberian dosis tunggal
OAE, kadar plasma akan tercapai dalam waktu tertentu tergantung pada proses absorbsi (Walker,
2009). Obat antiepilepsi dosis konvensional dengan persediaan enzim yang cukup akan
mengikuti kaidah first order enzyme kinetics yaitu kecepatan biotransformasi bertambah secara
linier dengan konsentrasi obat. Kadar enzim yang telah jenuh akan menyebabkan kecepatan
biotransformasi akan tetap sama pada konsentrasi obat yang berbeda (zero order). Kenaikan
dosis sedikit saja akan menyebabkan peningkatan kadar plasma yang berlebihan dan
menimbulkan gejala toksik (Maria dan Drayton, 2009). Obat anti epilepsi lini pertama meliputi:
a. Fenitoin
Fenitoin berguna untuk kejang tonik-klonik, kejang parsial (Maria dan Drayton, 2009).
Absorbsi per oral berlangsung lambat dan tidak lengkap dengan 10% dari dosis oral akan
diekskresikan bersama tinja dalam bentuk utuh, kadar puncak akan tercapai dalam 3-12 jam.
Pemberian dalam bentuk injeksi intramuskular akan menyebabkan pengendapan di tempat
suntikan kira–kira 5 hari dan absorbsinya berlangsung lambat (Conway dan Henry, 2012).
Obat ini kurang baik untuk pengobatan jangka panjang pada anak karena banyak efek
samping dan adanya variasi yang besar dalam absorbsi dan metabolisme yang mudah
terganggu oleh antikonvulsan lain. Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah nistagmus,
ataxia, letargis, bradikardi, hipotensi. Efek idiosinkrasi fenitoin adalah hyperplasia ginggiva,
jerawat, defisiensi asam folat, kemerahan (Maria dan Daryton, 2009).
Cara kerja utama fenitoin pada epilepsi adalah memblok pergerakan ion melalui kanal
natrium dengan menurunkan aliran ion natrium yang tersisa maupun aliran ion natrium yang
mengalir selama penyebaran potensial aksi (Walker dkk., 2009). Dosis fenitoin adalah 5 – 7
mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik (10 – 20 mikrogram/ml)
dalam 7-10 hari (Conway dan Henry, 2012).
b. Fenobarbital
Fenobarbital (asam 5,5 fenil etil barbiturat) merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial
sederhana kompleks dan kejang tonik-klonik umum (grand mal). Efikasi, toksisitas yang
rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting untuk tipe-tipe
epilepsi ini. Efek sedasi serta kecenderungan menimbulkan gangguan perilaku pada anak telah
mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (Harsono dkk., 2012). Aksi utama
fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan natrium dan kalium.
Fenobarbital menurunkan kadar kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor
GABA, aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA
dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida (Solehiomran dkk., 2010). Dosis awal
penggunaan fenobarbital 4-6 mg/kg/hari dalam 2 dosis dan akan mencapai kadar terapeutik
dalam 2-3 minggu. Fenobarbital juga dapat menyebabkan peningkatan profil lipid dan
sindrom Stevens-Johnson (Nikolaos dkk., 2004).
c. Karbamazepin
Karbamazepin merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin digunakan sebagai
pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik. Karbamazepin menghambat kanal
natrium yang mengakibatkan masuknya ion natrium kedalam membran sel berkurang dan
menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (Radeef
dkk., 2013). Dosis pada anak dengan umur kurang dari 6 tahun 10-30 mg/kg/hari dibagi
dalam 2-3 dosis sehari, pemberian dimulai dengan dosis 5-10 mg/kg/hari dinaikkan setiap 5-7
hari sampai mencapai target 15-20 mg/kg/hari (Maria dan Drayton, 2009).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan
penglihatan, diplopia, pusing, lemah, mengantuk, mual dan akibat pemberian dalam jangka
waktu yang lama dapat mengakibatkan peningkatan profil lipid, ganguan fungsi hati,
leukopenia. Sindrom Steven-Johson relatif sering terjadi akibat penggunaan obat ini sehingga
penderita harus diperingatkan apabila timbul vesikel setelah meminum obat ini (Aggarwal
dkk, 2004; Conway dan Henry, 2012).
d. Asam Valproat
Asam valproat merupakan pilihan terapi untuk kejang umum, fokal, absan, dan kejang
mioklonik. Pemberian asam valproat (dipropilasetat, atau 2-propilpentanoat) secara oral cepat
diabsorbsi dan kadar maksimal serum dapat tercapai dalam 1-3 jam. Masa paruh asam
valproat adalah 8–10 jam dan kadar dalam darah stabil setelah 48 jam terapi. Asam valproat
selain dapat menghambat sodium chanel juga dapat meningkatkan GABA dengan
menghambat degradasinya atau mengaktivasi sintesis GABA. Dosis penggunaan asam
valproat 15 – 40 mg/kg/hari dalam 2–3 dosis untuk mencapai kadar terapeutik (40 – 150
mikrogram/ml) dalam 1 – 4 hari (Dewan dkk., 2008). Efek samping yang sering terjadi adalah
gangguan pencernaan, termasuk mual, muntah, anorexia, peningkatan berat badan, pusing,
gangguan keseimbangan tubuh, tremor, rambut rontok, dan hepatotoksik (Greenwood, 2000;
Conway dan Henry, 2012).
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan satu OAE dengan dosis kecil, kemudian
dosis dinaikkan bertahap sampai kejang teratasi. Obat antiepilepsi lini pertama monoterapi I
sudah diberikan dengan dosis maksimal namun masih didapatkan kejang maka dapat diganti ke
monoterapi II. Dosis monoterapi II dinaikkan bertahap sedangkan dosis monoterapi I diturunkan
bertahap (Maria dan Drayton, 2009). Pilihan monoterapi I pada epilepsi umum adalah asam
valproat, sedangkan pilihan monoterapi I pada epilepsi fokal adalah karbamazepin. Monoterapi
lebih baik untuk mengurangi efek samping dan meningkatkan kepatuhan penderita dan belum
ada bukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi. Politerapi kurang efektif karena interaksi
antar obat justru akan mengganggu efektivitas dan adanya akumulasi efek samping (Kliegman
dkk, 2011). Epilepsi dinyatakan remisi atau “sembuh” bila dengan OAE tercapai keadaan bebas
kejang selama 2-3 tahun dengan gambaran EEG normal (Shorvon, 2007).
2.1.7 Interaksi antar obat antiepilepsi
Pemberian OAE ≥ 2 jenis dapat menimbulkan interaksi antar OAE. Karbamazepin
dikombinasikan dengan fenobarbital dan fenitoin akan menurunkan kadar karbamazepin dalam
plasma. Fenobarbital dikombinasikan dengan fenitoin dan asam valproat akan meningkatkan
kadar fenobarbital. Fenitoin dikombinasikan dengan karbamazepin atau asam valproat akan
menurunkan kadar fenitoin dalam plasma, sedangkan fenitoin dikombinasikan dengan
fenobarbital dapat meningkatkan kadar fenitoin dalam plasma. Asam valproat bila
dikombinasikan dengan karbamazepin atau fenitoin atau fenobarbital akan menurunkan kadar
serum asam valproat (Conway dan Henry, 2012).
2.2 Profil Lipid
2.2.1 Definisi profil lipid
Lipid adalah senyawa yang berisi karbon dan hidrogen yang tidak larut dalam air tetapi larut
dalam pelarut organik non polar. Lipid berfungsi sebagai sumber energi untuk metabolisme
tubuh dan berperan dalam pembentukan membran dan struktur sel. Profil lipid adalah gambaran
kadar lipid di dalam darah dan diperoleh dengan memeriksa kadar kolesterol total, trigliserida,
LDL, dan HDL (Genest dkk., 2009).
2.2.2 Jenis lipid
Lipid terdiri dari triasilgliserol (16%), fosfolipid (30%), kolesterol total (14%), ester
kolesterol total (36%) dan asam lemak bebas (4%), agar lipid dapat diangkut dalam sirkulasi
dengan cara modifikasi susunan molekul lipid yaitu dalam bentuk lipoprotein yang bersifat larut
dalam air (Guyton, 2007). Lipoprotein dapat dibagi menjadi lima yaitu kilomikron, VLDL, IDL,
LDL, dan HDL (Harris, 2010). Jenis lipid penting yang dibutuhkan di dalam tubuh adalah
sebagai berikut :
2.2.2.1 Trigliserida
Trigliserida adalah satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak dan mengandung
asam lemak jenuh yang saling berikatan serta berbentuk padat pada suhu kamar. Trigliserida
dalam plasma diangkut oleh kilomikron dan VLDL. Trigliserida merupakan simpanan lipid yang
utama dan berfungsi sebagai sumber energi. Apabila sel membutuhkan energi maka enzim lipase
dalam sel lipid akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepaskan ke
pembuluh darah untuk selanjutnya di metabolisme menjadi energi melalui siklus Kreb’s
(Kliegman dkk., 2011).
2.2.2.2 Kolesterol total
Kolesterol total adalah alkohol steroid yang strukturnya mempunyai inti
siklopentanoperhidrofenanten. Dalam tubuh berperan untuk memperbaiki membran sel, sintesis
asam empedu dan vitamin D, prekursor hormon adrenokortikal, androgen dan estrogen.
Kolesterol total di angkut oleh LDL dan sebagian kecil (15-25%) diangkut oleh HDL (Ye dan
Russell, 2011).
2.2.2.3 Lipoprotein
Lipoprotein merupakan molekul lipid dan protein yang disintesis di hati. Tiap jenis
lipoprotein berbeda dalam ukuran dan densitas serta mengangkut jenis lipid dalam jumlah yang
berbeda pula. Fungsi lipoprotein adalah mengangkut lipid di dalam plasma ke jaringan yang
membutuhkan energi, sebagai komponen membran sel atau prekursor metabolit aktif.
Lipoprotein terdiri dari (Kliegman dkk., 2011):
a. High density lipoprotein mengandung 30% protein dan 48% lipid. High density lipoprotein
dikatakan kolesterol total baik karena berperan membawa kelebihan kolesterol total di
jaringan kembali ke hati untuk diedarkan kembali atau dikeluarkan dari tubuh. High
density lipoprotein ini mencegah terjadinya penumpukkan kolesterol total di jaringan
terutama di pembuluh darah.
b. Low density lipoprotein mengandung 21% protein dan 78% lipid. Low density lipoprotein
dikatakan kolesterol total jahat karena LDL berperan membawa kolesterol total ke sel dan
jaringan tubuh sehingga bila jumlahnya berlebihan, kolesterol total dapat menumpuk dan
mengendap pada dinding pembuluh darah dan mengeras menjadi plak.
c. Kilomikron merupakan lipoprotein yang paling besar dan memiliki densitas rendah.
Kilomikron berperan dalam mengangkut lipid dari saluran cerna ke seluruh tubuh. Lipid
yang diangkut terutama adalah trigliserida. Di dalam pembuluh darah, kilomikron
berikatan dengan Apo C-II dan Apo E dari HDL plasma, sedangkan dalam kapiler
berikatan dengan jaringan adiposa dan otot, asam lemak yang terdapat dalam kilomikron
dilepaskan dari trigliserida melalui aktivitas lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat di
permukaan sel endotel, fosfolipid, Apo A dan Apo C ditransfer ke HDL.
d. Very low density lipoprotein dibentuk di hati, berperan dalam transpor trigliserida ke
berbagai jaringan di dalam tubuh. Komponen VLDL terdiri dari trigliserida, kolesterol
total bebas, kolesterol total ester, fosfolipid dan apolipoprotein. Bagian asam lemak dari
VLDL dilepaskan ke jaringan adiposa dan otot melalui cara yang sama dengan
kilomikron. Aktivitas lipoprotein lipase mengubah VLDL menjadi IDL dan IDL akan
berubah menjadi LDL.
2.2.3 Metabolisme lipid
Lipid mengalami pemecahan menjadi asam lemak bebas, trigliserida, fosfolipid dan
kolesterol total di dalam usus, kemudian diolah dan diserap ke dalam darah. Trigliserida
disimpan dalam jaringan lipid diseluruh tubuh dan hati. Trigliserida yang berada dalam hati dan
kolesterol total disintesis dari karbohidrat (Genest dkk., 2003). Sebagian kolesterol total ini akan
dibuang kedalam empedu sebagai asam empedu dan sebagian lagi bersama-sama dengan
trigliserida akan bergabung dengan apoprotein B membentuk VLDL (Kliegman dkk., 2011).
Very low density lipoprotein ini dipecah oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) menjadi IDL
yang bertahan selama 2-6 jam kemudian berubah menjadi LDL. Fungsi LDL adalah membawa
kolesterol total ke jaringan perifer juga dinding pembuluh darah arteri sehingga dapat digunakan
oleh sel-sel tubuh yang memerlukan dan yang sebagian lagi dimanfaatkan oleh hati untuk diolah
kembali. Ikatan lain antara kolesterol total dengan apoprotein A akan membentuk HDL.
Fungsinya berlawanan dengan LDL, yakni mengambil kolesterol total dari jaringan dan
membawanya ke hati untuk dikeluarkan lewat empedu (Kliegman dkk., 2011).
2.3 Faktor-faktor yang memengaruhi Profil Lipid
2.3.1 Umur
Profil lipid meningkat seiring pertambahan umur. Kadar trigliserida meningkat 18 mg/dl
setiap dekade pada lelaki sampai usia 80 tahun sedangkan 70 tahun pada perempuan.
Peningkatan profil lipid disebabkan karena penurunan aktivitas LPL sehingga terjadinya
akumulasi lemak seiring peningkatan umur (Kushnick dan Panton, 2006).
2.3.2 Jenis kelamin
Kadar kolesterol total, trigliserida dan LDL 2-3 kali lebih tinggi pada lelaki dibandingkan
perempuan. Penelitian oleh Raul tahun 2009 didapatkan peningkatan profil lipid 3,4 kali lebih
besar pada lelaki dibandingkan perempuan. Perbedaan ini disebabkan hormon estrogen pada
perempuan lebih tinggi dibandingkan lelaki. Peranan estrogen sebagai antioksidan adalah
mencegah proses oksidasi LDL sehingga kadar LDL pada perempuan lebih rendah (Sonmez
dkk., 2006).
2.3.3 Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan beberapa faktor biologis spesifik dan secara fisiologis
terjadi akumulasi jaringan lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa (Sonmez
dkk., 2006). Sel lemak dalam tubuh dapat menghasilkan adinopektin. Adinopektin adalah protein
sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh sel lemak. Adinopektin kadarnya menurun pada
obesitas (Castro-Cago dkk., 2006).
2.3.4 Diabetes melitus
Penderita dengan obesitas kadar adiponektin akan menurun. Kadar adinopektin yang
menurun dalam tubuh menyebabkan sensitivitas insulin menurun sehingga glukosa dalam darah
tidak dapat masuk ke dalam organ tubuh sebagai sumber energi, sehingga hal ini akan memicu
terjadinya diabetes melitus (Castro-Cago dkk., 2006).
2.3.5 Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, LDL, dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol total HDL (Genest, 2009).
Kriteria dislipidemia adalah kadar trigliserida > 150 mg/dl, konsentrasi HDL < 35 mg/dl, kadar
kolesterol total > 200 mg/dl, kadar LDL > 130 mg/dl (Conway dkk., 2007; Daniels dan Greer,
2008).
2.3.6 Lama pemberian OAE
Pemberian OAE jangka panjang akan memengaruhi fungsi hati dan meningkatkan
aktivitas sistem enzim mikrosom hati. Peningkatan aktivitas enzim ini dapat mengubah
metabolisme asam empedu, bilirubin dan berbagai molekul endogen lainnya termasuk
metabolisme lipid. Semakin lama OAE diberikan maka semakin lama fungsi hati dipengaruhi
oleh OAE sehingga metabolisme lipid semakin lama juga semakin meningkat (Aynaci, 2000).
2.3.7 Obat-obat hepatotoksik
Obat-obat hepatotoksik seperti analgetik, antiaritmia, relaksasi otot, antidepresan,
antiretroviral, obat anti tuberkulosis, anti jamur, antihipertensi dan antibiotika. Obat-obat tersebut
bekerja dihati dan menggunakan enzim hati. Enzim hati ini berperan dalam metabolisme obat
dan lipid. Obat-obat hepatotoksik akan menganggu metabolisme lipid sehingga kadar lipid dalam
darah akan meningkat (Nikolaos dkk., 2004).
2.4 Efek Obat Antiepilepsi terhadap Profil Lipid
Pengaruh OAE terhadap profil lipid tidak terlepas dari hati yang mempunyai fungsi terhadap
metabolisme obat dan lipid. Hati merupakan komponen utama yang berperan dalam
metabolisme berbagai macam obat, termasuk OAE dan proses biotransformasi dari hasil
metabolisme ke sirkulasi dan jaringan dengan perantara sejumlah enzim CYP450. Enzim
CYP450 merupakan enzim yang berfungsi sebagai katalis oksidator pada lintasan metabolisme
steroid, asam lemak, obat, racun dan karsinogen (Zhang dkk., 2008; Lorbek dkk., 2012).
Induksi enzim sitokrom P450 akan meningkatkan 3-hidroksi-3-metilglutaryl coenzyme A
reductase (HMG-CoA reductase), dimana enzim tersebut dapat meningkatkan sintesis profil
lipid (Nebert, 2002). Enzim sitokrom P450 berperan sentral dalam proses metabolisme dan
eliminasi obat (Bogaert, 2011). Sistem CYP450 terdiri dari 12 kelompok atau sembilan
kelompok yang memetabolisme substansi endogen dan tiga kelompok yang berfungsi dalam
metabolisme obat. Tiga kelompok tersebut antara lain CYP1, CYP2, dan CYP3 (Bibi, 2008).
Kelompok enzim CYP3 memetabolisme sekitar 50%, kelompok enzim CYP2 kira-kira 45%, dan
kelompok enzim CYP1 kira-kira 5% (Booven, 2010). Fenobarbital, fenitoin dan karbamazepin
sebagai enzim inducer terhadap sitokrom 2C (CYP2C), sitokrom 3A (CYP3A), sitokrom A2
(CYP1A2), sedangkan asam valproat sebagai enzim inhibitor sitokrom 2C9 (CYP2C9)
(Panayiotopoulos, 2005; Bibi, 2008; Booven, 2010; Lorbek dkk, 2012; Sridar dkk., 2012).
Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat
kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi maka tidak
penting secara klinis (Bogaert, 2011). Obat antiepilepsi lini pertama seperti karbamazepin,
fenitoin, fenobarbital dapat menginduksi lebih kuat enzim CYP450. Penelitian yang dilakukan
Kantoush tahun 1998 didapatkan bahwa kadar profil lipid meningkat secara signifikan pada
pemberian karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin. Berbeda dengan asam valproat yang tidak
didapatkan peningkatan pada kadar profil lipid karena tidak terbukti dalam menginduksi enzim
CYP450. Dampak induksi enzim atau inhibisi enzim hati ini adalah interaksi dengan terapi
farmakologis lainnya. Induksi dari enzim ini dapat menurunkan konsentrasi serum dan efikasi
terapi obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP450 dalam hal ini termasuk OAE itu sendiri dan
obat lain seperti antikoagulan, antibiotik, antineoplastik, immunosupresan (Bogaert, 2011).
2.5 Efek Obat Anti Epilepsi terhadap Metabolisme Lipid melalui perantara
Reseptor Inti (Nuclear Reseptor)
Hati merupakan organ utama dalam homeostasis lipid yang meliputi fatty acid synthese
(FASN), ATP citrate lyase (ACLY), steroyl coa desaturase-1(SCD-1) dan reseptor utama yang
berperan dalam implikasi homeostasis lipid adalah liver X receptor alfa dan beta (LXRa, LXRβ).
Peran LXR terhadap lipogenesis terjadi secara simultan dengan sejumlah reseptor lain yang telah
diidentifikasi seperti pregnane X receptor (PXR), farnesoid X receptor (FXR), constilutive
androstane receptor (CAR), peroxysome proliferator activated receptor (PPAR) melalui suatu
mekanisme yang sangat komplek (Ihunnah, 2011).
Reseptor intraseluler atau nuclear receptor (NR) adalah kelas reseptor yang diaktifkan ligan
faktor transkripsi yang aktifitas utamanya adalah regulasi transkripsi gen. Hasil ikatan antara
ligan dan reseptor intraseluler ini akan menghasilkan sejumlah besar ekspresi gen yang akhirnya
akan menghasilkan efek pada organisme tersebut. Nuclear receptor (NR) berada di dalam
sitoplasma atau nukleus dengan aktivitas utama adalah regulasi transkripsi gen. Ligan untuk
reseptor ini umumnya berbobot molekul kecil (< 1000 dalton), bersifat lipofilik, sehingga dengan
mudah dapat menembus membran sel dan masuk ke dalam sel untuk mencapai reseptornya
(Ihunnah dkk., 2011).
Implikasi klinis dari penggunaan OAE terhadap profil lipid terkait dengan metabolisme obat
tersebut di hati. Hal ini akan mengakibatkan induksi dari enzim mikrosomal hati yaitu CYP450
dan selanjutnya dapat mengganggu aktifasi LXR dalam homeostasis lipid sehingga memengaruhi
secara luas biosintesis kolesterol total dan trigliserida melalui perantara sterol regulatory
element-binding proteins (SREBP), SREBP-2 yang mengkoordinasi aktifasi gen terhadap
kolesterol total hepatic dan SREBP-lc dapat menginduksi biosintesis trigliserida (Ihunnah dkk.,
2011; Ye dan Russell, 2011).
Adanya suatu agen inhibitor CYP450 akan menyebabkan peningkatan oxysterol
intermediate dan terjadi inhibisi hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase
sehingga terjadi penurunan produksi kolesterol total, namun sebaliknya pada kondisi induksi
enzim CYP450 menurunkan oxysterol intermediate level dan mengurangi proses inhibisi umpan
balik hydroxymethylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA) reduktase sehinggga meningkatkan
produksi kolesterol total (Bogaert, 2011).
Peran LXR dalam lipogenesis ini mengakibatkan ikatan dengan heterodimer partner yang
lain seperti PXR, PPAR, dan CAR. Ikatan PXR dengan LXR dan PPARγ mengakibatkan adanya
peningkatan deposit trigliserida di hati melalui perantara enzim lipogenik yaitu SCD-1
(Booven, 2010) dan fatty acid elongase (FAE) (Nikolaos, 2004).
Berdasarkan pembahasan di atas maka kelainan metabolisme lipid sering dikaitkan dengan
penggunaan obat-obat anti konvulsan melalui proses induksi enzim sitokrom P450 yang dapat
meningkatkan transkripsi sejumlah reseptor nuklear yang berperan dalam metabolisme lipid
(Yilmaz, 2001; Ihunnah dkk, 2011; Radeef dkk., 2013). Mekanisme ini menjadi penting
mengingat gangguan metabolisme lipid yang mengarah ke suatu dislipidemia. Obat-obat OAE
lini pertama yang sangat potensial menginduksi enzim sitokrom P450 sehingga kemungkinan
akan munculnya efek yang merugikan perlu dipertimbangkan (Silva dkk., 2007). Fenitoin,
karbamazepin dan fenobarbital adalah suatu agen yang kuat dapat menginduksi enzim sitokrom
P450 (Kantaoush, 1998; Sonmez dkk., 2006; Dewan dkk., 2008). Pengaruh OAE terhadap profil
lipid sangat komplek dan belum sepenuhnya dapat dipahami.
Laporan penelitian kombinasi OAE baik fenitoin dengan fenobarbital atau fenitoin dengan
karbamazepin akan merangsang sintesis hepatik kolesterase dan meningkatkan pembentukan
asam empedu, yang akan diikuti oleh peningkatkan penyerapan kolesterol total oleh usus
(Yilmaz, 2001; Silva dkk., 2007). Peningkatan kolesterol total serum dapat dianggap sebagai
dampak buruk terhadap pengobatan epilepsi, karena dapat meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskuler dan serebrovaskuler (Hamed dkk., 2007; Jakubus dkk., 2009; Chuang dkk.,
2012). Oleh karena itu kadar profil lipid dalam serum harus dipantau secara teratur pada pasien
yang mendapat OAE. Obat antiepilepsi sering kali digunakan jangka panjang, sehingga
memungkinkan terjadinya kelainan metabolik dan hati dengan mengubah fungsi hati dan
meningkatkan aktivitas enzim mikrosomal hati. Fenomena induksi enzim ini akan berdampak
terhadap perubahan metabolisme berbagai macam zat dan lipid. (Mintzer dkk., 2009; Radeef
dkk., 2013).
Penelitian tentang efek pemberian OAE terhadap profil lipid pada pasien yang mendapat
terapi karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin didapatkan kadar kolesterol total, trigliserida, dan
LDL yang secara signifikan meningkat dalam 6 bulan setelah terapi. Sedangkan pada terapi
menggunakan asam valproat perubahan kadar profil lipid tidak signifikan dibandingkan sebelum
terapi (Kantaoush dkk., 1998). Penelitian yang membandingkan efek fenitoin dan asam valproat
sebagai monoterapi terhadap peningkatan profil lipid dan didapatkan kadar trigliserida serta
kolesterol total yang meningkat pada kelompok yang mendapat terapi fenitoin dibandingkan
dengan asam valproat (Dewan dkk., 2008). Hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh
Salehiomran pada tahun 2010, terjadi peningkatan signifikan kadar kolesterol total, LDL, HDL,
SGPT, SGOT, ALP, dan lipoprotein a pada kelompok fenobarbital setelah pemberian pada bulan
ke-3 dan bulan ke-6. Pada kelompok asam valproat terjadi peningkatan HDL, SGPT, SGOT, dan
LPa setelah pemberian 3 dan 6 bulan.
Penelitan yang lain menemukan bahwa pada pemberian asam valproat dapat menurunkan
kolesterol total, trigliserida, LDL, dan VLDL sedangkan pasien yang mendapat karbamazepin,
fenitoin, dan fenobarbital mengalami peningkatan kolesterol total, LDL, dan HDL (Sonmez dkk.,
2006). Tidak ada perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah pemberian asam valproat
terhadap kadar profil lipid dan fungsi hati (Karaoglu dkk., 2009).
2.6 Hubungan Kejang terhadap Metabolisme Lipid
Kejang berulang akan meningkatkan kebutuhan energi, energi yang bersumber dari
karbohidrat dan protein akan habis terpakai akibat kejang berulang sehingga diperlukan energi
yang berasal dari lipid. Cadangan lipid yang tersimpan dalam jaringan adiposa yang disebut
dengan trigliserida akan terpakai untuk energi (Gervois dkk., 2000; Kliegman dkk., 2011).
Proses pemecahan lipid yang tersimpan pada jaringan adiposa ini disebut dengan lipolisis.
Trigliserida akan mengalami lipolisis menjadi gliserol dan fatty acid. Proses lipolisis diatas dapat
dilihat pada gambar 2.1. Fatty acid akan mengalami β-oksidasi menjadi acetyl CoA ini akan
masuk ke dalam siklus Kreb’s untuk pembentukan energi dalam bentuk ATP. Adenosine
triphosphate ini yang digunakan sebagai sumber energi kejang (Gibbons dkk., 2000; Bartlett
dan Eaton, 2004).
Meningkatnya penggunaan trigliserida pada jaringan adiposa yang digunakan untuk proses
pembentukan energi pada saat kejang sehingga jumlah trigliserida pada jaringan adiposa
menurun sedangkan trigliserida dalam serum akan meningkat. Kolesterol total yang dibentuk
dari acetyl CoA ini juga akan meningkat. Peningkatan kadar kolesterol total tersebut akan
meningkatkan kadar LDL didalam serum. Low density lipoprotein dikatakan kolesterol jahat
karena LDL berperan membawa kolesterol total ke sel dan jaringan tubuh. Kejang
menyebabkan peningkatan kolesterol total sehingga jumlah LDL akan meningkat. High density
lipoprotein dikatakan kolesterol baik karena berperan membawa kelebihan kolesterol total di
jaringan kembali ke hati untuk diedarkan kembali atau dikeluarkan dari tubuh. High density
lipoprotein ini mencegah terjadinya penumpukkan kolesterol total di jaringan terutama di
pembuluh darah, banyaknya kadar LDL sehingga aktivitas HDL akan menurun didalam serum
(Saponaro dkk, 2015). Penjelasan terhadap proses lipolisis diatas dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1
Proses lipolisis (Saponaro dkk, 2015)
Gambar 2.2
Siklus Kreb’s (Shi dan Gibson, 2011)
Katabolisme protein, lemak dan karbohidrat dalam pembentukan ATP terjadi melalui tiga
tahapan. Tahap pertama terjadi oksidasi asam lemak, glukosa dan asam amino membentuk
acetyl-CoA. Tahap kedua terjadi oksidasi grup acetyl dalam siklus Kreb’s. Tahap ketiga adalah
transfer electron yang dibawa oleh NADH dan FADH2 masuk ke dalam mitokondria pengubahan
O2 menjadi H2O melalui fosforilasi oksidatif sehingga terbentuklah ATP (Guyton, 2006). Acetyl
CoA yang dihasilkan dari proses lipolisis (gambar 2.1) akan masuk kedalam siklus Kreb’s
(gambar 2.2) membentuk citrate melalui perantara enzim citrate synthase. Citrate mengalami
isomerisasi dengan enzim aconitase akan membentuk isocitrate. Enzim isocitrate dehidrogenase
mengubah isocitrate menjadi α-ketoglutarate. Setiap satu reaksi melepaskan satu molekul CO2.
Alpha ketoglutarat dioksidasi menjadi suksinil Co-A oleh enzim α-ketoglutarate dehydrogenase.
Suksinil-CoA diubah menjadi suksinat dengan mengubah guanosine diphosphate (GDP) + Pi
menjadi guanosine triphosphate (GTP). Guanosine triphosphate digunakan untuk membentuk
adenosine triphosphate (ATP). Succinate akan dehidrogenase menjadi fumarat dengan bantuan
enzim succinate dehidrogenase. Penambahan atom hidrogen pada ikatan karbon ganda yang ada
pada fumarate sehingga menghasilkan malate. Enzim malate dehydrogenase mengubah malat
menjadi oksaloasetat. Oksaloasetat yang dihasilkan berfungsi menangkap Acetyl CoA sehingga
siklus Kreb’s terus berlangsung (Shi dan Gibson, 2011).