BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filefokal simtomatik 12% dan fokal kriptogenik 37% dari 613...

59
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epilepsi Kejang merupakan manifestasi klinis akibat adanya lompatan muatan listrik berlebihan pada neuron-neuron di otak yang terganggu fungsinya. Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥2 dengan interval >24 jam antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom, atau psikis (Swaiman dan Ashwal, 2012). Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada usia dewasa muda, dan meningkat pada usia lanjut (Hauser dan Nelson, 2013). Sebanyak 25% dari seluruh kasus epilepsi terjadi pada anak umur kurang lima tahun (Yilmas dkk., 2013). Sebuah penelitian melaporkan bahwa insiden epilepsi pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2 kasus/100.000 populasi/tahun (Khatria dkk., 2003). Klasifikasi epilepsi dibuat berdasarkan tipe kejang, penyebab, dan sindroma epilepsi. International leage againts epilepsy (ILAE) pada tahun 2010 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe kejang. Tipe kejang dibuat berdasarkan semiologi kejang dan gambaran EEG, dibedakan menjadi epilepsi fokal (parsial) dan epilepsi umum. Epilepsi fokal adalah kejang dimulai dari fokus tertentu yang terlokalisir di otak dan kejang muncul pada satu sisi tubuh saja. Epilepsi fokal dapat sekunder menjadi umum jika terjadi propagasi listrik otak ke hemispher kontralateral. Epilepsi umum adalah kejang pada daerah lebih luas di

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id filefokal simtomatik 12% dan fokal kriptogenik 37% dari 613...

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi

Kejang merupakan manifestasi klinis akibat adanya lompatan muatan

listrik berlebihan pada neuron-neuron di otak yang terganggu fungsinya. Epilepsi

adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥2 dengan interval >24 jam

antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa

gangguan kesadaran, motorik, sensoris, autonom, atau psikis (Swaiman dan

Ashwal, 2012). Insiden epilepsi tertinggi pada golongan usia dini, menurun pada

usia dewasa muda, dan meningkat pada usia lanjut (Hauser dan Nelson, 2013).

Sebanyak 25% dari seluruh kasus epilepsi terjadi pada anak umur kurang lima

tahun (Yilmas dkk., 2013). Sebuah penelitian melaporkan bahwa insiden epilepsi

pada umur 0-14 tahun sebesar 82,2 kasus/100.000 populasi/tahun (Khatria dkk.,

2003).

Klasifikasi epilepsi dibuat berdasarkan tipe kejang, penyebab, dan

sindroma epilepsi. International leage againts epilepsy (ILAE) pada tahun 2010

menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan tipe kejang. Tipe kejang dibuat

berdasarkan semiologi kejang dan gambaran EEG, dibedakan menjadi epilepsi

fokal (parsial) dan epilepsi umum. Epilepsi fokal adalah kejang dimulai dari fokus

tertentu yang terlokalisir di otak dan kejang muncul pada satu sisi tubuh saja.

Epilepsi fokal dapat sekunder menjadi umum jika terjadi propagasi listrik otak ke

hemispher kontralateral. Epilepsi umum adalah kejang pada daerah lebih luas di

kedua hemispher otak dan manifestasi kejang pada kedua sisi tubuh (Berg dkk.,

2012). Pada anak lebih dari 60% epilepsi tergolong epilepsi fokal (Rauchenzauner

dan Luef, 2010). Penelitian terdahulu mendapatkan epilepsi fokal idiopatik 10%,

fokal simtomatik 12% dan fokal kriptogenik 37% dari 613 kasus epilepsi umur

kurang 16 tahun (Berg dkk., 2012).

Klasifikasi epilepsi berdasarkan penyebabnya, digolongkan menjadi tiga

jenis yaitu idiopatik, simtomatik, dan kriptogenik. Epilepsi idiopatik adalah

epilepsi yang tidak jelas ditemukan penyebabnya dan sering dihubungkan dengan

faktor genetik. Epilepsi simtomatik jika penyakit yang mendasari jelas ditemukan,

sedangkan epilepsi kriptogenik, diduga ada penyebab yang mendasari tetapi

belum bisa dibuktikan (Kwan dkk., 2011). Sekitar 60% epilepsi tergolong epilepsi

didapat, biasanya disebabkan cedera otak seperti infeksi, malformasi otak,

masalah perinatal, masalah metabolik, kejang demam lama, status epileptikus,

trauma kepala dan stroke. Penyebab epilepsi pada bayi dan anak di Finlandia

adalah idiopatik (64%), masalah prenatal (15%), perinatal (9%), dan post natal

(12%) (Sillanpaa dan Schmidt, 2011).

International leage againts epilepsy (ILAE) juga membuat klasifikasi

sindroma epilepsi pada tahun 1989. Sindroma epilepsi adalah epilepsi unik

dengan gejala dan tanda yang kompleks dengan penyebab berbeda-beda (Berg

dkk., 2012). Sindroma epilepsi umum yang sering pada bayi dan anak adalah

sindrom Ohtahara, sindroma West, sindroma Lenox-Gestaut, epilepsi mioklonik

juvenile, sedangkan sindroma epilepsi fokal antara lain epilepsi Rolandic, epilepsi

lobus temporal, dan epilepsi oksipital benigna (Stafstorm dkk., 2011).

2.2 Patofisiologi Epilepsi atau Epileptogenesis

Penyebab yang berperan pada onset dan progresivitas epilepsi ada tiga

faktor utama yaitu: 1) faktor genetik; 2) gangguan perkembangan dan atau

malformasi susunan saraf pusat; 3) cedera otak atau interaksi dari ketiga faktor

tersebut (Jefferys, 2010). Perubahan seluler dan molekuler yang terjadi akibat

cedera otak dan menyebabkan kejang berulang tanpa provokasi dinamakan

epileptogenesis. Kematian neuron di otak dipercaya sebagai faktor propagasi yang

menyebabkan epilepsi dan banyak bukti menunjukkan bahwa kematian neuron di

otak menyebabkan kejang dan sebaliknya kejang menimbulkan kematian neuron.

Kematian neuron terlibat dalam eksitoksisitas dimana kelebihan glutamat

menyebabkan stimulasi berlebihan terhadap reseptor N-methil-D-aspartat

(NMDA), dan menyebabkan akumulasi kalsium di dalam sel dan diikuti dengan

cedera dan kematian neuron. Proses seluler lain yang terlibat pada epileptogenesis

adalah neurogenesis, gliosis, axonal sprouting, cedera axon, remodeling dendrit,

angiogenesis, stres oksidatif, inflamasi, perubahan matriks ekraseluler, dan

perubahan saluran ion (Pitkanen dan Lukasiuk, 2011;Reddy, 2013).

Proses epileptogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase yakni: 1) cedera otak

awal; 2) fase laten, tanpa aktivitas kejang berlangsung beberapa bulan sampai

beberapa tahun; 3) fase kronis, dengan kejang spontan berulang. Walaupun

mekanisme yang mendasari terjadinya epilepsi belum sepenuhnya dipahami,

tetapi dipercaya bahwa terjadi interaksi akut dan kronis secara anatomis,

molekuler, dan fisiologis yang kompleks dan bersifat multifaktor. Faktor-faktor

pencetus awal mengaktivasi berbagai jalur sinyal, seperti inflamasi, stres

oksidatif, apoptosis, neurogenesis, dan plastisitas sinap yang akhirnya

menyebabkan perubahan struktur dan fungsi neuro-neuron di otak. Perubahan ini

bermanifestasi sebagai hipereksitabilitas abnormal dan terjadi kejang spontan

berulang, yang disebut epilepsi, seperti tampak pada Gambar 2.1 (Rakhade dkk.,

2009; Reddy, 2013 ).

Gambar 2.1

Proses terjadi epilepsi berawal dari cedera pada otak (Reddy, 2013).

2.3 Epilepsi Fokal

Epilepsi fokal merupakan lebih dari 60% epilepsi pada anak

(Rauchenzauner dan Luef, 2010). Gambar 2.2 menunjukkan bahwa pada epilepsi

fokal terjadi hipereksitabilitas (daerah kuning) pada neuron korteks yang

menyebar ke daerah sekitarnya (panah merah) melalui korpus kalosum atau

komisura yang lain ke hemisfer otak kontralateral atau melalui jalur subkortikal

(thalamus, batang otak) pada kejang fokal yang berkembang menjadi kejang

umum (Gambar 2.2.A). Pada epilepsi umum, kejang mulai pada satu area tertentu

di otak, kemudian secara serentak menyebar ke hemisfer otak kiri dan kanan

(Gambar 2.2.B)(Stafstorm, 1998).

Manifestasi klinis kejang fokal pada anak dapat muncul dalam bentuk

aura, automatisme, versive, kepala menengok (nonversive head turning), deviasi

mulut, disfasia pascakejang, iktal speech, dan automatisme unilateral. Manifestasi

klinis epilepsi fokal tergantung dari lobus mana fokus epileptik berasal, setiap

lobus memberikan manifestasi yang khas (Berg dkk., 2012). Kejang yang berasal

dari lobus frontalis merupakan 30% dari seluruh pasien epilepsi fokal, dan

merupakan fokus tersering ke dua setelah lobus temporalis. Kejang fokal tanpa

penurunan kesadaran disebut epilepsi fokal sederhana, jika disertai penurunan

kesadaran disebut epilepsi fokal kompleks (Swaiman dan Ashwal, 2012).

Kejang fokal kompleks hanya sedikit yang berasal dari lobus parietalis.

Manifestasi kejang fokal dengan penurunan kesadaran terjadi bila melibatkan

lobus temporalis, manifestasi klinis dapat berupa perubahan perilaku, halusinasi

visual, panik, atau bengong. Kejang yang berasal dari lobus oksipitalis berupa

kejang fokal kompleks: a) aura visual, berupa cahaya warna putih atau berwarna;

b) buta saat serangan (ictal blindness); c) gerakan kepala dan mata ke arah

kontralateral atau; d) kedip-kedip mata yang cepat. Gejala lain dapat terjadi bila

melibatkan lobus temporalis atau parietalis (Niedermeyer, 2005; Schaefer-

Foldvary, 2005).

Gambar 2.2

A. Kejang fokal dan B. Kejang umum (Stafstorm, 1998).

2.4 Diagnosis Epilepsi

Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG untuk konfirmasi diagnosis,

melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu computed

tomography scan (CT scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) untuk

menemukan penyebabnya. Pemeriksaan MRI kepala dapat memberikan informasi

lebih baik dibandingkan CT scan kepala (Kuzniecky, 2005).

2.4.1 Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena

pemeriksa atau dokter jarang menyaksikan langsung serangan kejang yang

dialami penderita. Penjelasan segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan

sesudah kejang merupakan informasi yang sangat berarti dan menjadi kunci

diagnosis epilepsi (Sillanpaa dan Schmidt, 2011).

Anamnesis penderita epilepsi harus meliputi: tipe kejang, lama kejang,

gejala sebelum, selama dan setelah kejang, frekuensi kejang, dan adanya penyakit

penyerta. Umur saat kejang pertama sangat penting dicatat, riwayat kehamilan,

persalinan dan tumbuh-kembang, riwayat penyakit, penyebab, pengobatan

sebelumnya, respon awal pengobatan, dan riwayat penyakit epilepsi dalam

keluarga (Maria, 2009; Swaiman dan Aswal, 2012). Pemeriksa harus dapat

memastikan apakah kejadian itu memang kejang atau bukan kejang. Rekaman

video kejadian kejang di rumah, bisa sangat membantu dokter. Jika belum jelas,

sebaiknya ditunggu sampai bisa dipastikan bahwa kejadian itu memang kejang

atau bukan kejang. Kejang harus dipastikan berulang ≥ 2 kali dengan interval >24

jam. Kejang yang berulang serial dalam rentang waktu 24 jam dianggap kejang

episode tunggal dan diagnosis epilepsi belum bisa ditegakkan (Berg dkk., 2012).

2.4.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi harus

diidentifikasi seperti trauma kepala, kelainan kongenital dan gangguan

neurologik. Pemeriksa harus memastikan bahwa kejang tidak ada pencetus yang

jelas, seperti demam, gangguan elektrolit dan gangguan metabolik lainnya.

Adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, asimetri ukuran anggota

tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak. Gambaran dismorfik

pada muka, tanda-tanda tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul,

makula warna pucat, dan sebagainya untuk melihat kemungkinan sindroma

epilepsi tertentu (Hauser dan Nelson, 2013).

2.4.3 Pemeriksaan penunjang

2.4.3.1 Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG sebaiknya dilakukan pada semua penderita epilepsi jika

fasilitas tersedia. Rekaman elektroensefalogram (EEGram) memperlihatkan

aktivitas listrik otak yang direkam menggunakan elektroda yang diletakkan pada

tulang kepala dengan tatacara tertentu. Elektroda kemudian merefleksikan

gabungan eksitasi dan inhibisi potensial post-sinaptik pada ujung apikal dendrit

sel piramidal. Elektroensefalografi berperan dalam konfirmasi diagnosis epilepsi,

menentukan tipe kejang dan sindrom epilepsi, pemilihan OAE, serta menentukan

prognosis. Rekaman EEG pertama menunjukkan abnormalitas sekitar 37-40%

kasus (So, 2011).

Metodelogi rekaman EEG dilakukan sesuai standarisasi American Clinical

Neurophysiology Society (ACNS). Prosedur aktivasi standar adalah stimulasi fotik,

hiperventilasi, rekaman mengantuk sampai tidur stadium non-REM, serta sleep

deprivasi. Penderita sebaiknya tidur alami pada saat direkam, premedikasi

dengan kloralhidrat dosis minimal diberikan kalau sangat diperlukan, karena dapat

menekan aktivitas gelombang epileptik (Sillanpaa dan Shinnar, 2010).

Rekaman EEG hanya bisa merekam 20 -70% gelombang paku yang ada

pada otak penderita. Pada orang normal sekitar 10% mempunyai abnormalitas

tidak khas pada rekaman EEG, sedangkan kurang lebih 1% pasien mempunyai

kelainan paroksismal EEG berupa epileptiform tanpa adanya kejang secara klinis,

pada anak-anak mencapai 2-4%. Penilaian abnormalitas EEG ditentukan

berdasarkan gelombang irama dasar dan adanya gelombang epileptik (Chabolla

dan Cascino, 2005; Wirrell dkk., 2012).

2.4.3.1.1 Gelombang irama dasar

Gelombang irama dasar menunjukkan perbedaan sesuai usia anak. Adanya

perkembangan otak ditunjukkan dengan perubahan gelombang irama dasar mulai

dari 3-4 siklus/detik pada usia 4 bulan, 5 siklus/detik usia 6 bulan, 6-7 siklus/detik

usia 9-18 bulan, 7-8 siklus/detik usia 2 tahun, 9 siklus/detik usia 7 tahun, dan 10-

11 siklus/detik pada usia 10-15 tahun (Niedermeyer, 2005; Chabolla dan Cascino,

2005).

2.4.3.1.2 Gelombang epileptik pada epilepsi fokal

Kerentanan beberapa area di otak berbeda terhadap epilepsi. Lobus

temporalis mempunyai nilai ambang kejang sangat rendah diikuti daerah motorik

Rolandik dan lobus frontalis sehingga lebih mudah mengalami epilepsi. Lobus

oksipitalis dan parietalis merupakan daerah terendah derajat epileptogenitasnya

sehingga kejadian epilepsinya lebih jarang (Chabolla dan Cascino, 2005).

Gelombang epileptik fokal dapat terjadi pada setiap daerah otak

tergantung pada usia penderita. Penderita epilepsi lobus temporalis sebagian besar

(90%) memperlihatkan gelombang paku pada saat tidur. Sebagian besar pasien

dengan gelombang paku bilateral bisinkron pada lobus temporalis memberikan

gejala epilepsi parsial lobus temporalis. Pasien dengan epilepsi parsial kompleks

yang berasal dari lobus temporalis anterior, memberikan gambaran fokal,

lateralisasi atau umum pada gelombang iktal EEG(Niedermeyer, 2005; Chabolla

dan Cascino, 2005).

Area otak kedua yang sensitif terhadap epilepsi fokal adalah lobus

frontalis. Pada area ini sangat sulit menemukan daerah epileptik dengan rekaman

EEG interiktal. Rekaman EEG interiktal tidak spesifik dan tidak sensitif pada

epilepsi lobus frontalis, tidak seperti pada epilepsi lobus temporalis. Daerah

epileptogenik pada lobus frontalis tidak berhubungan dengan aktivitas interiktal

pada rekaman EEG yang diulang atau diperpanjang. Penambahan elektroda

supraorbita dapat meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas rekaman EEG pada

pasien epilepsi lobus frontalis yang berasal dari daerah orbitofrontal

(Niedermeyer, 2005).

Gelombang paku oksipital lebih jarang ditemukan dibandingkan lobus

temporalis dan frontalis. Penderita yang mempunyai gelombang paku oksipital

40-50% menunjukkan gejala kejang klinis (Ghofrani dan Akhondian, 2010).

2.4.3.2 Pencitraan (Neuroimaging)

Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada

epilepsi. MRI kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi

epilepsi seperti neoplasma otak, ensefalitis autoimun, leukomalasia serebral, dan

sebagainya. Pada keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan

kepala tanpa atau dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil

tidak sebaik MRI kepala (Kuzniecky, 2005).

2.5 Epilepsi Resisten Obat

Resistensi obat merupakan tantangan yang besar pada penatalaksanaan

epilepsi. Istilah epilepsi resisten obat (ERO) mempunyai pengertian serupa

dengan epilepsi refrakter, epilepsi intractabl, dan epilepsi pharmaco-resistenace

(Patil dkk., 2009). Definisi ERO sampai saat ini masih diperdebatkan

(Alexopoulos, 2013 ), ada definisi sangat ketat dan ada lebih longgar, para ahli

menggunakan sesuai dengan kepentingan klinis masing-masing (Kwan dkk.,

2011; Ramos-Lizana dkk., 2012).

Pada konsep ERO terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan yaitu

jumlah OAE yang dikonsumsi sebelumnya, frekuensi kejang, dan durasi kejang

yang tidak terkontrol (Beleza,2009; So, 2011). Definisi ERO, merupakan suatu

konsep relatif (Kwan dkk.,2011). Sifat relatif konsep ERO memerlukan beberapa

persyaratan yang perlu dinilai agar definisi ini lebih mudah dipahami sebelum

mempertimbangkan terapi non-farmakologik misalnya pembedahan, stimulasi

saraf vagus, diet ketogenik, atau opsi lain (Caraballo dkk., 2011; Hao dan Kwan,

2011).

2.5.1 Mekanisme resistensi obat antiepilepsi (OAE)

Patomekanisme mengenai farmako-resisten pada epilepsi ada beberapa

hipotesis yang diajukan oleh para ahli antara lain 1) hipotesis target, 2) hipotesis

transporter obat, 3) hipotesis genetik atau mutasi, 4) hipotesis mekanisme yang

berhubungan dengan penyakit(disease-related mechanisms), 5) hipotesis

mekanisme yang berhubungan dengan obat (drug-related mechanisms)( Schmidt

dan Löscher, 2005; Viteva, 2014). Dua hipotesis utama yang banyak dibahas saat

ini adalah “hipotesis target” dan “hipotesis transporter obat”. Hipotesis target

menyatakan bahwa kegagalan OAE untuk berefek disebabkan oleh adanya

perubahan biomelokuler pada target. Hipotesis transporter obat menyatakan

bahwa kegagalan OAE untuk mencapai targetnya dalam konsentrasi yang cukup

disebabkan oleh transporter obat yang terlalu aktif bekerja pada sawar darah otak

(SDO).

“Hipotesis target” menyatakan bahwa sasaran utama OAE adalah gerbang

listrik saluran ion dan reseptor neurotransmiter. Beberapa OAE terutama bekerja

pada saluran natrium dan OAE lain bekerja pada saluran kalsium, meskipun OAE

juga bekerja pada saluran ion yang lain. Beberapa OAE juga bekerja pada efek

modulasi neurotransmiter inhibisi GABA atau menekan neurotransmiter eksitasi

glutamat (Beleza, 2009). Hipotesis target menunjukkan bahwa perubahan

biomolekuler pada target OAE, apakah bersifat intrinsik seperti polymorphisme,

atau didapat oleh karena proses penyakit itu sendiri, akibat kejang dan obat-

obatan, menyebabkan penurunan sensitivitas target terhadap OAE. Pada epilepsi,

kejang yang berulang menyebabkan terjadinya stres oksidatif dan inflamasi

kronis. Reactive oxygen space (ROS) dan berbagai sitokin proinflamasi terutama

IL-β1, IL-6 dan TNF-α menimbulkan kerusakan dan perubahan biomolukuler

pada reseptor-reseptor tersebut melalui beberapa mekanisme seperti menurunkan

reuptake dan meningkatkan pelepasan glutamat, perubahan fungsi klasik

neurotransmiter melalui remodeling N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor,

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan angiogenesis, meningkatkan kematian

sel, neurogenesis, dan menurunkan nilai ambang kejang, sehingga terjadi

penurunan sensitivitasnya terhadap OAE (Schmidt dan Löscher, 2005; Viteva,

2014), seperti tampak pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3

Skema hipotesis target dan hipotesis transporter obat (Schmidt dan Löscher,

2005).

“Hipotesis transporter obat” menyatakan bahwa resistensi OAE

disebabkan oleh aktivitas berlebih transporter yang menghambat OAE masuk ke

dalam otak dalam konsentrasi yang cukup. Transporter obat yang ada pada SDO

adalah kelompok protein ATP-binding cassette (ABC). Transporter ini pada

keadaan normal mencegah masuknya berbagai racun lipophilik atau xenobiotik

dari darah ke otak dengan mekanisme tertentu. Pada saat penderita epilepsi

memerlukan obat untuk masuk ke dalam otak, transporter ini juga bekerja aktif sehingga

menghambat OAE mencapai otak. Transporter obat utama adalah: P-glycoprotein

(P-gp) dan multidrug resistance related proteins (Mrps) (Viteva, 2014).

Transporter ini diregulasi pada suatu kompleks dan proses berbeda, yang mana

pada penderita epilepsi sangat dipengaruhi oleh stres oksidatif dan inflamasi.

Stress oksidatif, inflamasi, dan kejang merupakan mekanisme yang saling

mempengaruhi (Vezzani dkk., 2013). ROS dan berbagai sitokin proinflamasi

terutama IL-β1, IL-6 dan TNF-α menyebabkan overekpresi gen yang mengkode

beberapa transporter obat tersebut melalui aksis glutamat, N-methyl-D-Aspartate

(NMDA) reseptor, dan sinyal cycloxygenase-2 (COX-2). Mekanisme ini

menyebabkan aktivitas transpoter meningkat dan menghambat OAE masuk ke

otak dengan konsentrasi yang cukup (Miller, 2010).

Para ahli, dalam dekade terakhir ini menitikberatkan perhatian pada

beberapa faktor utama yang berperan penting pada patomekanisme epilepsi dan

ERO yakni stres oksidatif dan inflamasi kronis (Vezzani dkk., 2012). Dua faktor

ini merupakan risiko yang sangat mungkin bisa dikoreksi sehingga merupakan

harapan baru pada tatalaksana ERO (Aguiar dkk., 2012).

Penderita ERO sering disertai penyakit lain seperti palsi serebral,

gangguan menelan, dan mengunyah sehingga menyebabkan malnutrisi. Beberapa

OAE seperti topiramat juga mempunyai efek menurunkan nafsu makan. Keadaan

malnutrisi menyebabkan penurunan nilai ambang kejang dan perubahan fungsi

neurotransmiter sehingga memperberat epilepsi (Crepin dkk., 2011).

2.5.2 Resistensi obat antiepilepsi dan inflamasi

Berbagai penelitian pada hewan uji dalam satu dekade terakhir

membuktikan bahwa mediator inflamasi dilepaskan dalam jumlah besar pada saat

kejang dan eksaserbasinya. Sitokin TNF-α dilepaskan dalam jangka waktu cukup

lama setelah kejang ( > 4 jam), menyebabkan peningkatan transporter P-gp, dan

setelah 6 jam paparan oleh P-gp akan meningkatkan TNF-α lebih dua kali lipat.

Interleukin-6 juga ditemukan meningkat akibat peningkatan ekspresi P-gp

(Vezzani dkk., 2011).

Resistensi OAE melalui jalur inflamasi dapat dibuktikan pada percobaan

binatang dimana terjadi over-ekspresi transporter obat yang melibatkan ATP, dan

mengganggu kerja protein-protein seperti P-gp, Mrp-1, Mrp-2, dan Bcrp (breast

cancer-related protein). Isolasi pada kapiler otak memperlihatkan bahwa pada

saat kejang terjadi peningkatan neurotransmiter glutamat dan neurotransmitter ini

melepaskan sinyal melalui reseptor NMDA, COX-2, prostaglandin E-2 dan NF-

kB, kemudian menyebabkan peningkatan ekspresi P-gp. Sebaliknya, kejang dapat

dihentikan pada percobaan tikus yang diberikan inhibitor COX-2, antagonis

reseptor NMDA, dan antagonis reseptor prostaglandin E2, seperti tampak pada

Gambar 2.4. Meskipun pada hewan uji menunjukkan hasil yang memuaskan,

peranan P-gp dalam resistensi OAE pada manusia masih terus diteliti (Miller,

2010).

2.5.3 Resistensi obat antiepilepsi dan stres oksidatif

Penelitian memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara

epileptogenesis dengan stres oksidatif, inflamasi dan gangguan mitokondria.

Spesies oksigen reaktif (ROS) adalah oksidan paling banyak diteliti dan

menyebabkan resistensi OAE terutama melalui pengaturan ekspresi dan aktivitas

transporter ATP-binding cassette (ABC) (Devi dkk., 2008; Viteva, 2014).

Gambar 2.4

Hipotesis jalur proses inflamasi pada resistensi obat antiepilepsi

(dikutip tanpa modifikasi dari Miller, 2010).

Beberapa studi praklinis menunjukkan bahwa terdapat hubungan sebab

akibat antara stres oksidatif, epilepsi resisten obat dan resistensi OAE. Kejang

menyebabkan kerusakan mitokondria dan meningkatkan produksi ROS. Nitrit

oksida (NO) dan peroksinitrit (ONOO-) ditemukan setelah kejang lama sebelum

terjadinya kematian neuron. Transporter P-gp ditemukan meningkat 4 jam setelah

paparan ROS, dan tetap tinggi hingga 48 jam kemudian dan kembali normal

setelah 48 jam dengan pemberian oksigenasi yang baik (Devi dkk., 2008).

Hidrogenperoksida (H2O2) dan deplesi partikel glutathion juga ditemukan

menyebabkan reaksi yang serupa pada hewan uji. Sebaliknya, kejang dapat

diinduksi oleh peningkatan radikal bebas. Peningkatan produksi anion

superoksida (O2-) dalam mitokondria kemudian menyebabkan peningkatan

aktivasi reseptor NMDA merupakan komponen penting terjadinya resistensi OAE

(Waldbaum dan Patel, 2010).

Mekanisme stres oksidatif menyebabkan resistensi OAE yang sudah

diketahui adalah terjadi melalui proses kerusakan DNA mitokondria (mt-DNA),

terbentuknya H2O2, penurunan GSH/GSSG, CoA reduksi (CoASH) dan GSH

disulfide (CoASSG) dalam mitokondria (Waldbaum dan Patel, 2010).

Peranan stres oksidatif dan inflamasi yang terbukti menyebabkan resistensi

OAE dan epilepsi resisten obat, menunjukkan adanya potensi terapi epilepsi

menggunakan antiinflamasi dan antioksidan di masa depan. Meskipun terbukti

ada hubungan kuat antara inflamasi dan stres oksidatif pada kejadian resistensi

OAE, belum ada penjelasan tuntas mengenai cara kerjanya, sehingga diperlukan

penelitian untuk memahami cara kerja pada tingkat seluler (Miller, 2010;

Stafstorm dkk., 2011).

2.6 Stres Oksidatif dan Epilepsi

2.6.1 Stres oksidatif dan pertahanan antioksidan

Sel tubuh manusia secara terus-menerus menghasilkan radikal bebas

berupa ROS melalui rantai respirasi selama metabolisme aerob untuk membentuk

energi (Aguiar dkk., 2012). Tubuh juga dapat memproduksi radikal bebas lain,

yakni nitrogen yang dikelompokkan dalam reactive nitrogen species (RNS).

Keberadaan ROS dan RNS pada konsentrasi rendah atau sedang berperan sangat

penting pada fisiologi normal tubuh seperti mengatur tranduksi sinyal,

menginduksi respon mitogenik, melawan infeksi, dan sebagainya (Rodriguez

dkk., 2013). Jenis ROS antara lain anion superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH-

), dan hidrogen peroksida (H2O2) yang non-radikal. Beberapa RNS yang terlibat

dalam kematian sel karena apoptosis dan nekrosis antara lain nitric oxide (NO),

anion nitroksil (NO-), kation nitrosonium (NO+), dan peroksinitrit (ONOO-)

(Aldy, 2010;Rodriques dkk., 2013).

Radikal bebas dan antioksidan tubuh dalam keadaan normal berada dalam

keseimbangan dinamis, tetapi jika keseimbangan itu terganggu menimbulkan

keadaan stres oksidatif, seperti tampak pada Gambar 2.5. Radikal bebas

berlebihan dapat menembus membran plasma sel, menimbulkan kerusakan DNA,

lipid, dan protein pada struktur sel dan mengakibatkan modifikasi sinyal, intrupsi

transkripsi, mutasi gen, dan kematian sel termasuk neuron-neuron di otak.

Kerusakan sel jangka panjang menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker,

arterosklerosis, arthritis, dan beberapa penyakit neurodegeneratif termasuk

epilepsi (Li dkk, 2013).

Reactive oxygen species dihasilkan di mitokondria, retikulum endoplasma,

plasma membran, sitoplasma, phagosit, peroxisome, dan enzim-enzim

cytochrome P450. Mitokondria merupakan tempat utama pembentukan ROS

karena mitokondria paling tinggi mengkonsumsi O2. Dalam keadaaan normal, 1-

2% elektron bocor dari rantai transport elektron di mitokondria dan membentuk

anion superoksida (O2-).

Gambar 2.5

Ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan (Aldy, 2010).

Pembentukan O2- pada rantai respirasi mitokondria terjadi pada 2 tempat yaitu

pada NADH-ubiquinone oxidoreductase (kompleks I) dan ubiquinol-cytochrome c

oxidoreductase (kompleks III), sedangkan di dalam sitosol xantine oxidase (XO)

merupakan proses enzimatik lain sebagai sumber O2- dan H2O2. Anion superoksid

(O2-) juga dibentuk secara non-enzimatik melalui mentransfer elektron tunggal

kepada O2 oleh reduksi co-enzim, kelompok prosthetik yaitu flavin autoiron

sulfur cluster atau reduksi xenobiotik (Li dkk., 2013).

Anion superoksida (O2-) merupakan prekursor sebagian besar ROS dan

sebagai mediator pada rantai reaksi oksidatif. Anion superoksid secara spontan

diubah (dikatalisasi) oleh antioksidan superoksida dismutase (SOD) menjadi H2O2

dan O2, kemudian sebagian H2O2 direduksi menjadi radikal hidroksil (OH-)

dengan adanya Fe2+ melalui reaksi Fenton. Radikal hidroksil (OH-) juga dapat

dihasilkan melalui reaksi katalisasi logam (reaksi Heber-Weiss) (Maio, 2011; Li

dkk., 2013).

Nitric oxide (NO) dihasilkan dari L-arginine oleh enzim nitric oxide

synthases (NOS), termasuk neuronal NOS (nNOS), endothelial NOS (eNOS) dan

inducible NOS (iNOS), yang semuanya berlokasi di dalam sitosol. Hal sebaliknya,

mitokondrial NOS (mtNOS) suatu α-isoform dari nNOS, berlokasi di mitokondria,

yang mana merupakan co-existence dari NO dan O2- membentuk peroksinitrit

(ONOO-). Pada dasarnya NO- dihasilkan dari rekasi NO dengan Heme-Fe2+, dan

NO+ berasal dari reaksi NO dengan Heme-Fe3+ (Aguiar, 2012; Li dkk., 2013).

Sel tubuh melindungi diri terhadap kerusakan oksidatif melalui beberapa

cara yaitu 1) dua sistem buffer redoks yakni gluthation (GSH) dan thioredoksin

(TRX), 2) antioksidan enzimatik yaitu SOD, CAT, TR, GPx, serta 3) antioksidan

non-enzimatik, terdiri dari molekul endogen yaitu glutathion, asam urat, dan

nicotinamide adenine dinucleotida phosphate (NADPH) serta molekul eksogen

seperti vitamin C, vitamin E, asam α-lipoik, dan flavonoid (Vries dkk., 2011;

Ross, 2012).

Mekanisme sistem buffer GSH, GPx mengubah H2O2 menjadi H2O dan

O2, dan pada konversi ini mengubah GSH menjadi bentuk teroksidasi disulfida

(GSSG). GSSH kemudian direduksi oleh gluthation reduktase (GR) menghasilkan

GSH untuk digunakan kembali. Pada sistem buffer TRX, TRX dalam status

tereduksi (TRXR) dioksidasi menjadi thioredoxin teroksidasi (TRXo) selama

degradasi H2O2 dan kemudian direduksi oleh thioredoksin reduktase (TR). Selain

ROS, NO- secara enzimatik dibentuk oleh NOS, bereaksi dengan O2- untuk

membentuk peroksinitrit (ONOO-), seperti tampak pada Gambar 2.6 (Li dkk.,

2013).

Flavonoid merupakan antioksidan non-enzimatik eksogen yang bersumber

dari buah-buhan, umbi-umbian, dan sayur-sayuran. Efek antioksidan flavonoid

melalui beberapa mekanisme yang berbeda-beda. Antioksidan non-enzimatik

lainnya di dalam tubuh antara lain selenium, karotenoid, asam lipoik, coenzyme-

Q, melatonin, dan sebagainya (Delanty dan Dichter, 2000; Li dkk., 2013).

Gambar 2.6

Produksi ROS dan sistem antioksidan dalam sel tubuh (Li dkk., 2013).

2.6.2 Peranan radikal bebas pada epilepsi

Kejang berulang terus-menerus pada epilepsi terutama ERO,

meningkatkan kebutuhan energi sehingga konsumsi oksigen dan pembentukan

radikal bebas juga meningkat, menimbulkan keadaan stres oksidatif. Kejang dan

stres oksidatif menimbulkan inflamasi dan sebaliknya stres oksidatif dan inflamasi

menyebabkan hipereksitasi membran neuron dan kematian neuron serta memicu

kejang berikutnya, terbentuk sebuah lingkaran setan (Aguiar dkk., 2012; Vezzani

dkk., 2013).

Para ahli, saat ini percaya bahwa radikal bebas berhubungan dengan

epilepsi terutama ERO, baik sebagai penyebab kejang dan sebaliknya radikal

bebas timbul akibat kejang (Shin dkk., 2011). Radikal bebas menimbulkan

kerusakan lipid, protein dan DNA pada struktur sel sehingga menimbulkan

gangguan fungsi bahkan kematian sel termasuk neuron-neuron di otak (Hooper

dkk., 2011; Tov dan Gadoth, 2011).

2.6.2.1 Kerusakan sel akibat radikal bebas

Kerusakan oksidatif pada sel terjadi pada beberapa komponen sel seperti

asam nukleat (DNA/RNA), lipid, protein, dan karbohidrat (Pandey dkk., 2012).

2.6.2.1.1 Kerusakan asam nukleat (DNA)

Radikal bebas dapat menimbulkan pecahnya untaian rantai DNA atau

secara langsung memodifikasi basa purine dan pyridine, menyebabkan dilesi atau

mutasi yang mengakibatkan penyimpangan ekspresi gen dan kematian sel. DNA

mitokondria (mtDNA) merupakan target utama kerusakan oksidatif karena

terbatasnya mekanisme perbaikan dan kurangnya histones, menunjukkan tingkat

mutasi 10 kali lebih besar dibandingkan DNA pada inti sel (nDNA). Dirupsi

mtDNA menyebabkan gangguan fungsi mitokondria yang mengakibatkan

gangguan fungsi sel pada tingkat yang berbeda-beda, termasuk kegagalan rantai

transport elektron sehingga semakin menambah produksi ROS, yang mana

menciptakan lingkaran setan stres oksidatif. Biomarkers kerusakan oksidatif

terhadap DNA yang paling sering diperiksa: 8-hidroksi-2-deoksiguanosin (8-

OHdG) dan 8-hidroksiguanosin (8-OHG). Mekanisme yang terjadi adalah

oksidasi pada salah satu basa penyusun DNA yakni guanosin, dimana guanosin

yang teroksidasi membentuk 8-OHdG (Aldy, 2010).

Ribo Nucleac Acid (RNA) diketahui lebih rentan terhadap kerusakan

oksidatif dibandingkan DNA, karena RNA sebagian besar rantai tunggal, tidak

diproteksi oleh ikatan hidrogen dan kurang dilindungi oleh protein. Kerusakan

RNA dapat menyebabkan kesalahan dalam ekspresi protein atau disregulasi

ekspresi gen (Tov dan Gadoth, 2011).

2.6.2.1.2 Kerusakan lipid

Lipid polyunsaturated dalam lipoprotein dan membran sel sangat peka

terhadap kerusakan oksidatif, yang mengakibatkan peroksidasi lipid. Peroksidasi

lipid dapat menghasilkan aldehid reaktif yang disebut malondialdehid (MDA).

Aldehid reaktif dapat berikatan dengan protein secara kovalen, selanjutnya

mengganggu fungsinya dan menginduksi kerusakan sel. Produk peroksidasi

(radikal peroksil) lebih stabil dibandingkan ROS dan dapat berdifusi menyeberang

sel dan bereaksi dengan konstituen sel lain menyebabkan kerusakan sel secara

difus. Produk akhir peroksidasi lipid yang dapat dijadikan biomarker yakni:

MDA, hexanoyllysine adduct (HEL), acrolein-lysine adduct (ACR) dan 4-hydroxy

nonenal (4-HNE). Neuron di otak sangat sensitif terhadap kerusakan oksidatif

karena membran neuron sebagian besar dibentuk oleh fosfolipid (Waldbaum dan

Patel, 2010).

2.6.2.1.3 Kerusakan protein

Radikal bebas dapat mengoksidasi baik rantai utama atau rantai samping

protein. Modifikasi rantai utama menyebabkan pembentukan radikal peroksil

dengan sebuah rantai reaksi yang menyebabkan protein cross-linking dan atau

pembelahan ikatan peptida. Residu oksidasi rantai samping menyebabkan

gangguan fungsi enzim, reseptor, neurotransmiter, dan struktur protein. Inaktivasi

enzim aconitase digunakan sebagai marker kerusakan oksidatif protein.

Keberadaan iron yang labil di dalam iron sulfur center aconitase membuatnya

sensitif terhadap radikal bebas, khususnya anion superoksida dan peroksinitrit.

Modifikasi protein oleh peroksinitrit terutama terjadi pada residu tirosin dan

triptofan. Kadar 3-nitrotirosin, produk utama nitrasi protein merupakan marker

penting kerusakan protein akibat stres oksidatif (Aldy, 2010).

2.6.2.2 Pembentukan radikal bebas sebagai akibat kejang epileptik

Kadar radikal bebas meningkat setelah kejang dibuktikan pada banyak

percobaan hewan uji dengan metoda pemeriksaan berbeda, termasuk pengukuran

produksi radikal bebas secara tidak langsung, marker kerusakan oksidatif DNA,

lipid, dan protein serta evaluasi kadar antioksidan tubuh (Tov dan Gadoth, 2011;

Rodriguez dkk., 2013). Bukti-bukti tersebut antara lain: peningkatan kadar radikal

bebas pada cairan cerebrospinal otak tikus yang diinduksi kejang dengan

bicuculline. Peterson dkk (2006), melaporkan peningkatan produksi anion

superoksida dengan pengecatan hidroetidium pada otak tikus yang mengalami

status epileptikus karena induksi litium-pilokarpin. Radikal hidroksil meningkat

pada tikus yang diinduksi kejang dengan pentilenetetrazol (PTZ). Peningkatan

kadar 8-OHdG pada tikus yang diinduksi kejang dengan asam kainat. Erakovic

dkk (2007), penurunan kadar antioksidan SOD dan GPx pada otak tikus yang

mengalami syok elektrokonvulsif (Tov dan Gadoth, 2011).

2.6.2.3 Radikal bebas menyebabkan kejang epileptik

Cedera otak seperti trauma kepala, hipoksia, infeksi, dan sebagainya

bersifat epileptogenik, hal ini berhubungan dengan stres oksidatif (Aldy, 2010).

Cedera otak menyebabkan perubahan kaskade struktur, fisiologi, dan biokimia

pada otak seperti perubahan aliran darah otak (cerebral bloob flow) dan

vasoregulasi, dirupsi SDO, peningkatan tekanan intrakranial, perdarahan

fokal/difuse, inflamasi, stres oksidatif, nekrosis, dan dirupsi serabut saraf dan

pembuluh darah (Ogino dan Wang, 2007).

Peningkatan produksi ROS menginduksi perubahan seluler dan molekuler

yang menyebabkan hipereksitabilitas atau kematian neuron. Salah satu akibatnya

adalah kerusakan aktivitas Na+/K+-ATP-ase, yang dalam kondisi normal

memelihara gradient ionic membran neuron. Penurunan aktivitas Na+/K+-ATP-

ase, dapat menurunkan nilai ambang kejang. Cedera terhadap membran neuron

juga dapat menyebabkan peningkatan pelepasan neurotransmiter eksitasi utama

seperti glutamat dan aspartat atau menurunkan neurotransmiter inhibisi seperti

GABA. Jadi pelepasan berlebihan asam amino yang bersifat eksitasi dapat

mencetuskan kejang, peningkatan produksi NO dan ROS, serta radikal bebas ini

menyebabkan kerusakan sel dan memicu kejang berulang selanjutnya (Rodriguez

dkk., 2013).

Hubungan radikal bebas dan epileptogenesis didukung oleh penelitian

hewan uji dan penelitian klinis. Gangguan fungsi mitokondria yang menimbulkan

stres oksidatif ditemukan pada fokus kejang penderita epilepsi lobus temporal dan

hewan model epilepsi.Pada penderita epilepsi mioklonik progresif, aktivitas

SOD1 (cytosolic SOD) rendah pada serum. Peneliti lain melaporkan SOD2

(mitokondria manganese SOD) regulasinya menurun pada korteks serebri

penderita epilepsi dibandingkan bukan epilepsi. Aktivitas antioksidan GPx dan

selenium yang berperan penting pada aktivitas GPx rendah pada anak epilepsi

(Tov dan Gadoth, 2011; Frietas, 2012).

2.7 Epilepsi dan Inflamasi

Peranan inflamasi pada patofisiologi kejang banyak diteliti dalam dekade

terakhir, dimana terdapat banyak bukti menunjukkan adanya hubungan antara

epilepsi dan sistem imun. Sitokin dan proses inflamasi yang terjadi, tampaknya

memiliki peranan penting dalam patogenesis epilepsi (Li dkk., 2011). Pada

epilepsi resisten obat ditemukan gliosis reaktif bermakna yang terlibat dalam

epileptogenesisnya. Patogenesis lain yang diduga terlibat pada epilepsi resisten

obat adalah gangguan pada saluran membran astrosit, reseptor, dan transporternya

(Vezzani, 2011). Penelitian klinis dan patologis memperlihatkan bahwa inflamasi

dapat menjadi pemain tunggal dalam kejadian kejang tanpa disertai infeksi

ataupun adanya proses lain (Vezzani dkk., 2012; Shimada dkk., 2014). Kejang

tidak hanya menimbulkan induksi ekspresi sitokin di otak, tetapi mengakibatkan

juga perubahan sitokin di perifer (Li dkk., 2011). Proses inflamasi di otak dapat

disebabkan oleh kejang, dengan onset yang cepat (< 30 menit) dan berlangsung

beberapa hari walaupun kejang sudah berhenti, dimana mekanisme inflamasi

endogen juga turut terlibat secara tidak efisien (Vezzani dkk., 2012).

Kerusakan permeabilitas sawar darah otak (SDO) merupakan salah satu

jalur yang memudahkan terjadinya kejang pada epilepsi. Inflamasi intrinsik

menyebabkan induksi inflamasi pada keadaan kejang yang kemudian

menyebabkan kerusakan SDO (Li dkk., 2011). Adanya kerusakan SDO

memungkinkan sitokin menginduksi kejadian kejang berikutnya, seperti tampak

pada Gambar 2.7 (Shimada dkk., 2014).

2.7.1 Peranan inflamasi pada eksitabilitas otak

Cedera neuron akibat kejang, selanjutnya mengakibatkan sitokin,

prostaglandin, dan berbagai molekul inflamasi lainnya bersama reseptornya

mengalami induksi di dalam neuron dan mengaktifkan sel glia dan juga sel

endotel pada SDO di area otak yang mengalami cedera (Vezzani, 2011). Sitokin

dan berbagai

Gambar 2.7

Mekanisme inflamasi yang terlibat dalam epileptogenesis (dikutip tanpa

modifikasi dari Shimada dkk., 2014).

mediator ini merupakan bagian dari aktivasi imunitas innate dan adaptif di perifer,

namun akhir-akhir ini diketahui juga berperan dalam fungsi neuromodulator non

konvensional dalam susunan saraf pusat yang bekerja secara langsung dan tidak

langsung yang akhirnya mempengaruhi nilai ambang kejang pada tingkat selular

(Vezzani dkk., 2012).

IL-1ß

HMGB-1

IL-6 TNF-α

2.7.2 Interleukin-6

Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin multifungsi yang mengatur

berbagai respon imun dan inflamasi. Dalam sel target, sinyal IL-6 ini

ditransmisikan melalui kompleks reseptor IL-6 (IL-6R) dan dua molekul gp130.

Baik IL-6 dan sIL-6R (bentuk IL-6R yang terlarut) dapat memicu terbentuknya

sinyal gp130 tanpa harus melalui ikatan membran dengan Il-6R (Li dkk., 2011;

Erta dkk., 2012).

Interleukin-6 dengan cepat terbentuk di daerah hipokampus, korteks, girus

dentata, amigdala, dan meningen setelah terjadinya kejang, namun mRNA

reseptor IL-6 tampaknya hanya terbentuk pada hipokampus (Vezzani, 2011).

Interleukin-6 meningkat sangat cepat pada sel glia, namun sifatnya juga transien

dan menghilang dengan cepat, maksimal 6 jam setelah terjadinya status

epileptikus, hal ini mungkin disebabkan oleh depolarisasi membran yang

menyebabkan terakumulasinya protein IL-6 dan mRNA IL-6 dalam neuron

(Vezzani dkk.,2013). Pada sisi lain mRNA IL-6 meningkat pada thalamus,

korteks, amigdala, dan hipokampus dalam 10-16 jam setelah terjadinya kejang

dan menghilang setelah lima hari, sementara mRNA gp130 meningkat di lokasi

yang serupa dalam waktu yang lambat (Erta dkk., 2012; Vezzani dkk.,2013),

seperti tampak pada Gambar 2.8 di bawah ini.

Gambar 2.8

Mekanisme kerja IL-6 di dalam neuron (Erta dkk., 2012).

Penelitian mengenai keterlibatan IL-6 dalam kejadian kejang memberikan

hasil beragam dan masih terus diperdebatkan (Erta dkk., 2012). Pemberian IL-6

intranasal pada tikus dapat memperpanjang latensi dan memperpendek durasi

kejang yang diinduksi oleh demam, sementara pada penelitian lain, IL-6 intranasal

pada tikus dewasa menyebabkan latensi memendek, tingkat keparahan lebih

besar, dan mortalitas lebih tinggi pada status epileptikus. Interleukin-6 pada tikus

yang mengalami overekspresi IL-6 akan menyebabkan kekambuhan kejang tonik-

klonik, yang kemungkinan melalui reduksi inhibisi GABA (Li dkk., 2011; Erta

dkk., 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seperti sitokin lain, IL-6

menunjukkan efek ganda, seperti tampak pada Gambar 2.9, yang mungkin

dibutuhkan dalam perkembangan normal sistem saraf dan neuroplastisitas, namun

penjelasan mengenai bagaimana efek ini dapat saling melengkapi membutuhkan

penelitian lebih lanjut (Li dkk., 2011; Erta dkk., 2012).

Peningkatan IL-6 dalam plasma dan CSS terjadi secara bermakna dalam

24 jam setelah kejang epilepsi dan kejang demam. Kadar IL-6 pada CSS jauh

lebih tinggi dibandingkan kadarnya dalam plasma, sehingga diduga awalnya IL-6

terbentuk pada neuron di otak (Erta dkk., 2012).

Gambar 2.9

Peranan IL-6 pada cedera otak (Erta dkk., 2012).

Kejang dapat memengaruhi otak dan menginduksi pelepasan katekolamin.

Katekolamin yang dilepaskan dapat mempengaruhi sel mononuklear di dalam

darah perifer, yang akan memicu respon IL-6 di perifer selain prosesnya di neuron

otak. Kadar IL-6 pada darah hingga kini belum diketahui apakah memberikan

hasil sebanding dengan kadarnya dalam otak, walaupun dalam kedua sampel

didapatkan peningkatan kadar yang bermakna (Li dkk., 2011; Youn, dkk., 2013).

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa, terdapat hubungan timbal balik

seperti sebuah lingkaran setan antara cedera otak, stres oksidatif, inflammasi,

kejang, dan kematian neuron. Masing-masing proses tersebut saling

mempengaruhi dan saling memperberat keadaan. Para ahli percaya bahwa inilah

serangkaian proses yang terjadi pada epileptogenesis dan epilepsi resisten obat

(Tov dan Gadoth, 2011), seperti tampak pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Skema hubungan antara cedera otak, kejang, stres oksidatif, inflamasi dan kematian neuron (dikutip dengan modifikasi dari Tov dan Gadoth, 2011).

2.8 Antioksidan

Sistem di dalam tubuh manusia, termasuk susunan saraf pusat melindungi

dirinya terhadap dampak stress oksidatif dengan mekanisme pertahanan

antioksidan yang terdiri dari antioksidan enzimatik dan antioksidan non-

enzimatik. Antioksidan enzimatik antara lain: superoksida dismutase (SOD),

katalase (CAT), gluthation peroksidase (GPx). Antioksidan non-enzimatik dibagi

menjadi molekul endogen seperti glutathion, asam urat, dan nicotinamide adenine

Hyperexcitability

Cell Damage

Cell Death

Glutamate Inflammation

Free Radicals

Seizures

Brain Insult

Cytosolic Ca2+

Free Radicals

Free Radicals

dinucleotida phosphate (NADPH) serta molekul eksogen seperti vitamin C,

vitamin E, asam α-lipoik, dan flavonoid (Vries dkk., 2011; Ross, 2012).

Keadaan stres oksidatif mengaktifkan mekanisme adaptif tubuh yang

bertujuan melindungi sel terhadap kerusakan oksidatif dan menjaga keseimbangan

reaksi reduksi-oksidasi di jaringan. Respon ini diatur pada tingkat transkripsional

dengan transkripsi faktor nuclear factor-Erythroid 2-related factor-2 (Nrf2).

Dalam kondisi fisiologis, Nrf2 terikat pada actin-bound Kelch-like ECH yang

berhubungan dengan protein Kelch-like ECH-associated molecule-1 (Keap-1)

yang berlokasi di dalam sitoplasma. Akibat paparan ROS,Nrf2 berdisosiasi dari

Keap-1 dan berpindah tempat (translokasi) ke inti sel (nukleus), kemudian

berikatan dengan antioxidant response element (ARE) di dalam gen yang

mengkode enzim antioksidan. Sampai saat ini diketahui lebih dari 200 Nrf2-ARE

gen yang terlibat pada detoksifikasi dan pertahanan antioksidan yang telah

diidentifikasi dengan baik yakni: katalase, SOD, GPx, peroxiredoksin(Prxs), heme

oxygenases, NAD(P)H:quinineoxireductase-1(NQO1), dan NHR:quinone

oxidoreductase-2 (NQO-2). Antioksidan enzimatik terpenting di dalam tubuh

manusia adalah SOD, CAT dan GPx (Vries dkk., 2011).

2.8.1 Antioksidan enzimatik

2.8.1.1 Superoksida dismutase

Anion superoksida (O2-) merupakan salah satu radikal bebas utama di

dalam sel, sehingga antioksidan SOD memegang peranan penting pada

detoksifikasi O2-. Superoksida dismutase tergolong metalloenzym yang

mengkatalisa perubahan O2- menjadi H2O2 dan O2, yang mana H2O2 merupakan

senyawa yang kurang toksik dibandingkan O2- (Vries dkk., 2011).

Sitosol sel mengandung copper-zinc SOD (CuZnSOD/SOD1), matriks

mitokondria memiliki manganese SOD (MnSOD/SOD2) yang mengeliminasi

superoksida di dalam matriks atau pada bagian dalam membran dalam

mitokondria, disamping itu juga terdapat ekstraseluler CuZnSOD (SOD3). Di

dalam otak banyak ditemukan SOD1 dan SOD2, SOD1 terutama diekspresi oleh

astrosit, sedangkan SOD2 oleh neuron. Aktivitas SOD1 dan SOD2 relatif rendah

di dalam mikroglia dan oligodendrosit. Ada bukti kuat keterlibatan SOD pada

penyakit neurodegeneratif dan neuroinflamasi termasuk epilepsi (Delanty dan

Dichter, 2000; Vries dkk., 2011).

2.8.1.2 Katalase

Anion superoksida dikonversi oleh SOD menghasilkan hidrogen peroksida

(H2O2) dan O2 yang dapat berdifusi menembus membran sel. Keberadaan metal

iron atau copper, H2O2 dapat berubah menjadi radikal hidroksil (OH-) yang sangat

reaktif, sedangkan pertemuan H2O2 dengan NO membentuk anion peroksinitrit

(ONOO-) yang juga bersifat reaktif. Upaya menyingkirkan H2O2, sel dilindungi

oleh beberapa hydrogen peroxide–removing enzyme seperti katalase, gluthation

peroksidase (GPx), dan peroksiredoksin (Prxs). Katalase terutama dihasilkan di

peroksisom yang berfungi mengkatalisa konversi H2O2 menjadi H2O dan O2

(Vries dkk., 2011).

2.8.1.3 Gluthation peroksidase

Glutathion peroksidase yang berlokasi di dalam sitosol dan kompartemen

mitokondria, merupakan kelompok enam enzim yang mengandung selenium yang

mendetoksifikasi organik peroksida dan hidrogen peroksida. Aktivitas Glutathion

peroksidase-1 pada umumnya lebih tinggi dibandingkan katalase, menandakan

bahwa di dalam otak peranan glutathion peroksidase lebih penting dibandingkan

katalase untuk menghilangkan H2O2. Glutathion peroksidase juga mempunyai

peranan protektif pada neuroinflammasi (Hooper dkk., 2011; Vries dkk., 2011).

2.8.2 Antioksidan non-enzimatik

Antioksidan non-enzimatik dapat dibagi menjadi molekul endogen seperti

glutathion, asam urat, dan nicotinamide adenine dinucleotida phosphate

(NADPH) serta antioksidan eksogen seperti vitamin C, vitamin E, asam α-lipoik,

dan flavonoid (Park dan Hallerm, 2011; Frietas, 2012).

2.8.2.1 Vitamin C dan vitamin E

Vitamin C merupakan antioksidan larut dalam air yang dapat mereduksi

radikal bebas dari berbagai sumber. Vitamin C juga berperan pada daur ulang

radikal vitamin E. Suatu hal yang menarik, vitamin C juga berfungsi sebagai pro-

oksidan dalam kondisi tertentu. Vitamin E adalah antioksidan larut dalam lemak

yang memainkan peranan penting melindungi membran sel terhadap kerusakan

oksidatif. Aktivitas primer vitamin E adalah menghancurkan radikal peroksil di

dalam membran sel (Vries dkk., 2011; Ogunro dkk., 2013).

2.8.2.2 Glutathion

Glutathion dipertahankan sebagai thiol oleh aksi glutathion reduktase,

sebuah enzim yang mereduksi oxidized glutathione (GSSG) menjadi glutathion

(GSH). Glutathion berperan penting sebagai antioksidan di matriks mitokondria.

Dalam hal berpartisipasi sebagai substrat di dalam reaksi GPx dan GPHx, GSH

juga dapat secara langsung menangkap radikal bebas dan oksidan lainnya seperti

OH-, O2-, H2O2 dan ONOO-. GSH juga mempunyai target utama peroksinitrit

(ONOO-) (Frietas, 2012; Ogunro dkk., 2013).

2.9 Pengobatan Epilepsi

Pengobatan epilepsi bertujuan untuk mencapai remisi (“sembuh”)

sehingga dampak buruk terhadap tumbuh kembang anak dapat diminimalkan.

Beberapa pilihan pengobatan yang telah dilakukan antara lain: obat antiepilepsi

(OAE), pembedahan, stimulasi saraf vagus, dan diet ketogenik (Kwan dkk., 2011;

Berg dkk., 2012).

2.9.1 Pengobatan farmakologis menggunakan OAE

Sekitar 20 macam OAE telah dikenal sampai saat ini. Pada anak ada empat

macam OAE lini pertama yang direkomendasi penggunaannya secara rutin yaitu

fenobarbital, asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin (Berg dkk., 2012). Prinsip

pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi I, bila kejang tidak

terkontrol, dilanjutkan monoterapi II dan jika kejang tidak juga terkontrol dapat

diberikan kombinasi (duoterapi/politerapi) dengan dua atau tiga jenis OAE lini

pertama.

Pada epilepsi umum pilihan monoterapi I adalah asam valproat, sedangkan

monoterapi II dapat dipilih salah satu dari OAE lini pertama yang lain. Pada

epilepsi fokal, pilihan monoterapi I adalah karbamazepin, sedangkan monoterapi

II dapat dipilih salah satu dari OAE lini pertama yang lain. Jika dengan

monoterapi I dan II kejang tidak terkontrol, maka dapat dilakukan terapi

kombinasi (duoterapi/politerapi) dengan dua atau tiga OAE lini pertama

(selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1).

Penggunaan OAE mencapai remisi (“sembuh”) 60-70% kasus, dengan

rincian OAE monoterapi I menghasilkan remisi 47%, dan OAE monoterapi II dan

kombinasi 2 OAE (duoterapi) menambah angka remisi 13% kasus, serta

pemberian OAE ke-3 atau ke-4 menambah remisi hanya sekitar 4% kasus

sehingga sekitar 30-40% menjadi epilepsi resisten obat (Kwan dkk, 2011; Berg

dkk., 2012).

Beberapa macam OAE lini kedua atau OAE generasi baru seperti

topiramat, levitirasetam, vigabatrin, gabapentin, oksarbazepin, dan sebagainya

belum digunakan secara rutin, hanya direkomendasi untuk pengobatan add-on

pada beberapa jenis sindroma epilepsi bayi dan anak (Sillanpaa dan Schmidt,

2011).

Epilepsi dinyatakan remisi atau“sembuh” jika dengan OAE tercapai

keadaan bebas kejang selama dua sampai tiga tahun dengan gambaran EEG

normal, meskipun ada epilepsi yang membutuhkan pengobatan OAE seumur

hidup yakni epilepsi mioklonik juvenile (Berg dkk., 2012). Epilepsi yang sudah

remisi, kemungkinan mengalami kumat lagi sekitar 15-20% (Kwan dkk, 2011).

2.9.2 Terapi pembedahan pada epilepsi

Pembedahan yang dilakukan adalah menghilangkan fokus epileptogenik

atau area kecil pada otak yang dicurigai merupakan fokus kejang dengan tindakan

lobektomi, lesionectomy atau corpus callosumectomy. Tindakan bedah hanya

tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu fokus yang jelas di otak, seperti

epilepsi lobus temporalis dengan tingkat keberhasilan beragam (Kelly dan Chung,

2011). Tindakan pembedahan epilepsi di Indonesia sampai saat ini belum banyak

dikerjakan.

2.9.3 Stimulasi saraf vagus

Stimulasi saraf vagus adalah modalitas pengobatan non-farmakologi yang

merupakan alternatif atas kegagalan OAE untuk mengontrol kejang. Pengobatan

ini memberi keuntungan pada sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi absanse yang

resisten obat. Saraf vagus berhubungan dengan nukleus traktus solitarius pada

batang otak dan pada tempat tersebut akan terjadi efek yang diharapkan. Area

yang dapat diaktifkan oleh saraf vagus antara lain amygdala, hipokampus, girus

cingulate, dan korteks somatosensori kontralateral. Stimulasi pada area-area

tersebut berdampak sebagai inhibitor serangan kejang pada epilepsi (Min dkk.,

2011; Patil dkk., 2011). Stimulasi saraf vagus untuk epilepsi di Indonesia belum

banyak dikerjakan.

2.9.4 Diet ketogenik

Beberapa studi membuktikan bahwa anak epilepsi mengkonsumsi banyak

lemak, sedikit karbohidrat dan protein dapat mengalami kejang lebih jarang. Diet

ini disebut diet ketogenik yang menyebabkan tubuh berada dalam kondisi ketosis.

Bagaimana keadaan ketosis dapat menghambat terjadinya kejang, belum dipahami

dengan baik. Satu penelitian menunjukkan bahwa produk keadaan ketosis yang

dinamakan beta-hydroxybutyrate (BHB) dapat menghambat kejang pada binatang

model (Neal dkk., 2010). Pemberian secara oral sering sulit ditoleransi, tetapi

keberhasilan diet ketogenik jika diberikan secara parenteral selama beberapa

bulan dan penderita harus rawat inap (Caraballo dkk., 2011). Peneliti pernah

mencoba diet ketogenik secara oral pada beberapa pasien ERO di RSUP Sanglah,

tetapi hasilnya tidak memuaskan karena kurang dapat ditoleransi oleh penderita.

Obat antiepilepsi bersifat simtomatik saja, hanya dapat menekan aktivitas

kejang tanpa dapat memperbaiki proses patologis yang mendasari. Para ahli terus

berusaha menemukan formula pengobatan yang dapat menekan progresivitas

epilepsi melalui patofisiologi yang mendasari antara lain dengan antioksidan dan

antiinflamasi karena stres oksidatif dan inflamasi diyakini sangat berperan pada

epileptogenesis dan epilepsi resisten obat (Rodriguez dkk., 2013; Vezzani dkk.,

2013).

2.10 Peranan Antiinflamasi pada Pengobatan Epilepsi Resisten Obat

Bukti adanya peranan antiinflamasi pada epilepsi adalah penggunaan

ACTH, kortikosteroid, plasmapharesis, dan immunoglobulin untuk pengobatan

kejang dan beberapa macam epilepsi memberikan keberhasilan beragam.

Mekanisme kerja antiinflamasi adalah menekan inflamasi atau secara langsung

pada eksitabilitas neuron otak dan menekan agen proinflamasi endogen otak

(Vezzani, 2011; Vezzani dkk., 2013). Prednison dan ACTH telah digunakan

dengan hasil yang cukup memuaskan pada sindrom epilepsi spasme infantil

(Stafstorm dkk., 2011).

2.11 Peranan Antioksidan pada Pengobatan Epilepsi Resisten Obat

Efek antioksidan terhadap otak sangat tergantung pada kemampuan

senyawa tersebut melewati SDO, senyawa larut dalam lemak memberikan efek

lebih baik dibandingkan senyawa larut dalam air. Inflamasi pada otak

berhubungan dengan gangguan integritas SDO yang membuat senyawa-senyawa

tersebut lebih mudah menembusnya (Delanty dan Dichter, 2000).

Pada beberapa penelitian, terbukti stres oksidatif terlibat dalam

patogenesis dan progresivitas epilepsi (Surekha dan Melinkeri, 2010; Miguel,

2011). Efek pemberian antioksidan pada kejang yang diinduksi pilokarpin,

menunjukkan penurunan kadar pro-oksidan nitrit pada hipokampus tikus. Efek

biologi radikal bebas dikontrol secara in vivo oleh antioksidan seperti vitamin E,

vitamin C, vitamin A, dan glutathion (Freitas, 2012).

Bukti pertama manfaat antioksidan pada epilepsi dilaporkan oleh Ben-

Menachem, dkk (1995), menemukan kadar dan aktivitas antioksidan GPx, CAT,

dan SOD rendah pada epilepsi mioklonik progresif resisten obat dibandingkan

kontrol sehat. Pemberian antioksidan N-acetylcystein (NAC) dengan dosis tinggi

(6 gram/hari) dapat memperbaiki kondisi penderita (Rodriques dkk., 2013).

Pemberian vitamin E dapat mencegah berkembangnya aktivitas gelombang

epileptik yang diinduksi Fe pada otak tikus. Vitamin E juga dilaporkan nyata

dapat menghambat onset kejang elektrografik yang diinduksi dengan injeksi

ferrous klorida intraserebral. Pemberian vitamin E dan vitamin C dapat

menurunkan produksi marker stress oksidatif dan memperlambat atau menekan

gelombang epileptik pada tikus model epilepsi. Pada tikus yang diinduksi kejang

dengan Fe, pemberian antioksidan melatonin menghambat aktivitas gelombang

kejang elektrografik dengan menekan peroksidasi (Freitas, 2012).

Antioksidan eksogen yang mulai banyak digunakan pada beberapa macam

penyakit neurodegeneratif termasuk epilepsi adalah golongan flavonoid.

Flavonoid adalah kelompok senyawa polifenol yang bersumer dari berbagai buah-

buahan, umbi-umbian, dan sayur-sayuran, mempunyai efek antioksidan yang

poten, jauh lebih poten dibandingkan antioksidan klasik vitamin E. Flavonoid

yang telah diidentifikasi sampai saat ini lebih dari 8000 jenis. Flavonoid bisa

tampil sebagai glycosides yang terikat dengan sebuah molekul gula atau sebagai

aglycones yang tidak terikat molekul gula (Rytter, 2011).

Salah satu bentuk flavonoid yang mempunyai efek antioksidan sangat

poten dan efek antiinflamasi adalah anthosianin (Han dkk., 2007; Montilla dkk.,

2010), disamping itu anthosianin juga memiliki efek antikejang melalui potensiasi

reseptor GABA (Katzung, 2011 ). Anthosianin banyak terkadung pada sayur,

buah-buahan, dan umbi-umbian termasuk umbi ubi jalar ungu (Suprapta dkk.,

2004).

2.12 Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar, ketela rambat atau sweet potato berasal dari benua Amerika,

mulai menyebar ke seluruh dunia terutama negara-negara beriklim tropis pada

abad ke 16, dibawa oleh orang-orang Spanyol ke kawasan Asia, terutama Filipina,

Jepang, dan Indonesia. Ubi jalar ada yang berwarna putih, kuning, oranye, dan

ungu. Ubi jalar ungu tergolong Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, ordo Solanales, famili Convolvulaceae, genus Ipomoea, dan

spesies Ipomoea batatas. Umbi ubi jalar ungu banyak mengandung flavonoid

terutama anthosianin, disamping zat-zat lainnya (Yusuf dkk., 2008).

Ubi jalar ungu varietas baru dengan kandungan anthosianin (flavonoid)

lebih tinggi banyak dikembangkan di Jepang, Korea, dan New Zaeland. Kultivar

paling penting adalah varietas Ayamurasaki dan Yamagamamurasaki dengan

beberapa macam klonnya. Berdasarkan rasio peonidin dan cyanidin (peo/cy ratio),

klon ubi jalar ungu dibedakan dua kelompok yaitu tipe cyanidin (peo/cy < 1,0)

dengan dominan warna ungu dan tipe peonidin (peo/cy > 1,0) dengan dominan

warna merah.

Beberapa varietas ubi jalar ungu ditemukan di Indonesia, termasuk di Bali

yang dikenal dengan nama lokal sela bojog atau ubi bojog yang mempunyai

kandungan anthosianin cukup tinggi dibandingkan ubi jalar ungu di daerah lain

(Suprapta, 2004). Sejak diperkenalkan dua varietas ubi jalar ungu dari Jepang

yaitu Ayamurasaki dan Yamagamamurasaki, budidayanya semakin luas di

Indonesia. Selain itu Balitkabi juga memiliki tiga klon ubi jalar ungu yaitu MSU

01022-12, MSU 01008-16 dabn MSU 01016-19, seperti tampak pada Gambar

2.11 (Yusuf dkk., 2003; Montilla dkk., 2010). Ubi jalar ungu banyak diminati

konsumen karena umbinya mengandung gizi yang baik dan mempunyai fungsi

fisiologis tertentu untuk kesehatan termasuk untuk otak (Jeong dkk., 2013).

Kandungan anthosianin bervariasi pada beberapa kultivar ubi jalar ungu.

Di Jepang, varietas Chiran murasaki mengandung anthosianin 29,1 mg/100 gram,

Naka murasaki 6,5 mg/100 gram, Purple sweet 12,4 mg/100 gram, dan

Tanegashima murasaki 9,3 mg/100gram (Montilla dkk., 2010). Umbi ubi jalar

ungu yang tumbuh di Bali mengandung anthosianin berkisar 110-210 mg/100

gram (Suprapta, 2004), sedangkan umbi ubi jalar ungu di daerah lain berbeda-

beda seperti: umbi ubi jalar ungu Malang mengandung anthosianin 511,70

mg/100 gram, Bone 530,06/100 gram, sumedang 508,45 mg/100 gram, Salatiga

79,47 mg/100 gram, Sukabumi 606,08 mg/100 gram, Bangkok 50,68 mg/100

gram, Jambi 69,37 mg/100 gram, Yangyang 65,16 mg/100 gram, dan selo

Banyuwangi 76 mg/100 gram (Widiati, 2010).

Anthosianin berasal dari kata Yunani Antos berarti bunga dan cyanos

berarti biru. Anthosianin pada umbi ubi jalar ungu memiliki stabilitas tinggi

dibandingkan anthosianin sumber lain dan memiliki kasiat antioksidan 2,5-3,2

kali lebih tinggi dibandingkan blueberry (Ebrahimi dan Schluesener, 2012 ). Umbi

ubi jalar ungu juga sumber karbohidrat dan kalori, mengandung protein, lemak,

dan sejumlah kecil vitamin dan mineral (Dreiseitel, 2011).

Varietas ubi jalar ungu di Bali Beberapa varietas ubi jalar ungu di (Sela Bojog) Jepang

Gambar 2.11 Tanaman dan umbi ubijalar ungu (Suprapta, 2004; Jusuf dkk., 2011).

2.12.1 Flavonoid

Flavonoid tergolong senyawa polifenol, dengan struktur dasar adalah inti

flavan mengandung 15 kerangka carbon yang disusun dalam dua cincin phenyl

terikat oleh tiga jembatan carbon yang umumnya dikelilingi oksigen, kemudian

membentuk tiga cincin dinamakan cincin A,B,C, seperti tampak pada Gambar

2.12. Variasi klas flavonoid berbeda pada tingkat oksidasi dan perubahan pada

cincin C, sedangkan kandungan senyawa dalam satu klas berbeda pada cincin A

dan B. Beberapa klas flavonoid utama yaitu flavonols, flavones, flavanones,

isoflavones, flavanols, dan anthocyanidin (anthocyanin), seperti tampak pada

Gambar 2.13 (Hardman, 2014).

Gambar 2.12

Struktur kimia umum flavonoid (dikutip dari Montilla dkk., 2010).

Gambar 2.13

Klasifikasi Polifenol (dikutip tanpa modifikasi dari Hardman, 2014).

2.12.2 Senyawa anthosianin

Flavonoid utama yang banyak ditemukan di alam adalah anthosianidin,

dengan rumus bangun pokok terdiri dari tiga cincin carbon yang diapit oleh dua

cincin benzene. Bentuk 3 atau 3,5-glikosida dari anthosianidin disebut anthosianin

(Dreiseitel, 2011). Sebanyak 17 macam anthosianidin telah diketahui sampai

tahun 2003, tetapi hanya enam yang terpenting dengan distribusinya masing-

masing yakni: cyanidin (cy) 50%, peonidin (pn) 12%, pelargonidin (pg) 12%,

delphinidin (dp) 12%, malvidin (mv) 7%, dan petunidin (pt) 7% (Dreiseitel,

2011). Perbedaan struktur kimia enam anthosianidin/anthosianin terletak pada

posisi cincin 3 dan 5, dengan struktur kimia umum seperti tampak pada Gambar

2.14 (Montilla dkk., 2010).

Anthosianin dalam bentuk glikosida semua larut dalam air dan tidak larut

dalam pelarut organik. Perbedaan individual antara beberapa bentuk anthosianidin

terletak pada tingkat hidroksilasi cincin aromatik. Perbedaan individual antara

senyawa anthosianin terletak pada posisi gugus glikosil (residu gula) di dalam

molekulnya dan perbedaan ini sangat menentukan bioaktivitas dan efek

farmakologisnya masing-masing anthosianin (Kovacsova, dkk., 2010).

Gambar 2.14

Struktur kimia umum anthosianin (anthosianidin) (Montilla dkk., 2010).

Anthocyanins (Anthocyanidin)

2.12.3 Farmakokinetik anthosianin

Efek farmakologis anthosianin setelah dikonsumsi sangat bervariasi

tergantung pada bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas anthosianin secara oral

cukup rendah karena agak sulit diserap pada saluran cerna, sedangkan beberapa

jenis senyawa polifenol yakni isoflavon dan asam fenolik lebih mudah diserap

(Han dkk., 2007). Anthosianin larut dalam air, sulit larut dalam lemak,

penyerapannya di saluran cerna mencapai 13-22% (Dreiseitel, 2011). Konsentrasi

maksimal pada plasma dicapai 2 jam setelah konsumsi, menurun setelah 4 jam,

dan mencapai kadar terendah setelah 16 jam konsumsi (SutirtaYasa dan Jawi,

2014). Sekitar 68% anthosianin yang diabsorpsi, dimetabolisme secara cepat dan

sebagian besar diekskresi melalui feces dan urin (Shipp dan Abdoel, 2010).

Pemberian anthosianin secara oral, sebelum diabsorpsi anthosianin

mengalami deglikosilasi oleh enzim lactase phloridzin hydrolase (LPH) di lumen

usus atau enzim cytosolic ß-glukosidase(CBG) pada enterosit. Setelah bentuk

aglikon diabsorpsi, kemudian dikonyugasi secara methilasi, sulphatisasi, atau

glukoronidasi. Bentuk aglikon dan konyugasinya masuk ke dalam sirkulasi

sistemik dan dapat melewati sawar darah otak (SDO) (Jager dan Saaby, 2011;

Viteva, 2014).

Banyak faktor dapat memengaruhi penyerapan anthosianin yaitu pH usus,

mikroflora usus, adanya makanan, dan bentuk sediaan (Han dkk., 2007).

Penelitian in vitro menunjukkan bahwa penyerapan anthosianin terjadi paling baik

pada jejenum, dan sedikit di duodenum, hampir tidak diabsorpsi di ileum dan

kolon. Bioavilabilitas cukup rendah akibat metabolismenya cepat dan diekskresi

dalam bentuk terkonyugasi glucuronidated, methylated, dan glycosylated melalui

urin dan feces. Metabolisme anthosianin diketahui juga terjadi di hati, yakni

proses metilasi yang dibantu enzim catechol-O-methyltransferase (COMT),

menghasilkan bentuk metilasi anthosianin, diekskresi lewat empedu, seperti

tampak pada Gambar 2.15 (Dreiseitel, 2011).

Konsentrasi anthosianin utuh yang dideteksi di dalam jaringan otak setelah

pemberian secara oral cukup rendah di bawah konsentrasi yang mempunyai efek

farmakologis dan neuroprotektif bermakna yang dibuktikan in vitro. Metabolit

anthosianin dipercaya mempunyai efek farmakologis nyata in vivo dan

bertanggung jawab pada tingginya bioaktivitas, walaupun bioavailabilitasnya

rendah (Montilla dkk., 2010). Metabolit anthosianin lebih stabil daripada

anthosianin utuh, sehingga menjadi gugus yang bioaktif di jaringan target,

termasuk bentuk sulfat, methylated, glucuronidated, dan glycosylated (Bhullar

dan Rupasinghe, 2013).

Gambar 2.15 Mekanisme penyerapan anthosianin (dikutip tanpa modifikasi dari Dreiseitel,

2011).

Otak dilindungi oleh sawar darah otak (SDO) dengan integritas yang

sangat baik sehingga sangat sulit dilewati oleh senyawa-senyawa dari luar otak.

Tingkat kemampuan anthosianin (flavonoid) melewati SDO tergantung pada

tingkat lipofilisitasnya. Metabolit derivat O-methylated mempunyai kemampuan

lebih besar melewati SDO dan masuk ke dalam otak dibandingkan metabolit

derivat glukuronid, tetapi dilaporkan juga bahwa bentuk glukuronid tertentu dapat

melewati SDO dengan mekanisme spesifik in vivo (Jager dan Saaby, 2011).

Kemampuan memasuki otak juga dimodulasi oleh interaksinya dengan specific

efflux transporters yang diekspresi di dalam SDO seperti P-glikoprotein (Viteva,

2014).

2.12.4 Efek farmakologis anthosianin

Beberapa efek farmakologis anthosianin pada susunan saraf pusat terutama

otak sangat bermanfaat dan memegang peranan penting melawan beberapa

penyakit degeneratif kronis seperti penyakit Parkinson, Alzheimer, stroke, dan

epilepsi (Ogino dan Wang, 2007). Efek farmakologis terpenting anthosianin

adalah: 1) antioksidan; 2) antiinflamasi; dan 3) antikejang (Han dkk., 2007;

Montilla dkk., 2010).

2.12.4.1 Peranan anthosianin mengatasi stres oksidatif

Produksi ROS dan RNS yang berlebihan melampaui kemampuan

antioksidan tubuh menimbulkan keadaan stres oksidatif (Han dkk., 2007; Ross,

2012). Keberadaan ROS dan RNS menginisiasi serta merangsang kematian

neuron melalui kerusakan oksidatif terhadap DNA, protein, dan lipid, diikuti oleh

inflamasi dan keadaan ini akan mempermudah terjadinya kejang berulang. Stres

oksidatif merupakan mekanisme yang menonjol pada perkembangan dan

progresivitas epilepsi dan beberapa penyakit neurodegeneratif lainnya. Neuron

dan glia di otak sangat rentan terhadap kerusakan oksidatif terutama otak anak

yang sedang berkembang (Farooqui, 2012).

Aktivitas antioksidan anthosianin tergantung pada struktur dan substituen

dari cincin heterocyclic dan cincin B, khususnya keberadaan struktur O-di-OH

pada cincin B, 2-3 double bond dalam konyugasi dengan fungsi 4-oxo dan

tambahan adanya grup 3- dan 5-OH pada cincin heterocyclic (Montilla dkk.,

2010). Konfigurasi dan jumlah grup hidroksil anthosianin secara substansial

memengaruhi mekanisme aktivitas antioksidan. Konfigurasi hidroksil cincin B

paling signifikan menentukan aktivitas ROS scavenging, sedangkan substitusi

cincin A dan C mempunyai sedikit pengaruh pada efek superoxide anion

scavenging (Farooqui, 2012; Ross, 2012).

Aktivitas antioksidan anthosianin terjadi secara langsung maupun secara

tidak langsung. Secara umum mekanisme kerja anthosianin sebagai antioksidan

adalah: 1) mencegah pembentukan radikal bebas dengan cara menghambat enzim

xanthine oksidase dan khelasi metal transisi; 2) menghambat radikal bebas

merusak sel target (mendonorkan elektron dan penangkap radikal bebas); 3)

menghambat propagasi reaksi oksidatif (chain breaking antioxidant); 4)

menguatkan (reinforce) kapasitas antioksidan sel (sparing effect) dan

menginduksi ekspresi antioksidan endogen (Han dkk., 2007; Ross, 2012). Efek

antioksidan anthosianin jauh lebih kuat dibandingkan antioksidan klasik seperti

butil hidroksi anilin (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), vitamin E, cathecin, dan

quercetin (Shipp dan Abdoel, 2010).

Efek antioksidan anthosianin meningkatkan antioksidan endogen melalui

aktivasi jalur Nrf2 dan meningkatkan ikatan Nrf2 dengan ARE pada inti sel

(Parooqui, 2012). Peningkatan transkripsi Nrf2 dapat meningkatkan ekspresi

enzim-enzim detoksifikasi seperti Glutathion S-Transferase A2 (GSTA2),

NADPH: Quinone Oxidoreductase 1(NQO-1), Hem Oxigenase-1 (HO-1), γ-

Glutamylcysteine synthetase (γGCS), dan Glutamate Cysteine Ligase (GCL)

sehingga terjadi peningkatan antioksidan endogen terutama SOD, dan antioksidan

endogen lain yaitu Catalase dan GPx, seperti tampak pada Gambar 2.16 dan 2.17

(Han dkk., 2007; Farooqui, 2012).

Gambar 2.16

Mekanisme kerja Flavonoid dengan memodulasi Protein kinase, PLA2, COX, LOX, ROS, dan NF-kB (dikutip tanpa modifikasi dari Farooqui, 2012).

Gambar 2.17 Cara kerja anthosianin (flavonoid) sebagai antioksidan dan antiinflamasi

(dikuti dengan modifikasi dari Han dkk., 2007).

Keterangan: Pada gambar tampak bahwa efek anthosianin sebagai antioksidan melalui aktivasi jalur Nrf2-ARE, dan efek antiinflamasi melalui inhibisi NFkB. Efek antioksidan melalui beberapa cara aktivasi (➔) yaitu: a) anthosianin mengaktifkan Nrf2 dan meningkatkan ikatan Nrf2 dengan ARE pada inti sel sehingga meningkatkan ekspresi enzim-enzim detoksifikasi seperti GSTA2, NQO-1, HO-1, γGCS, GCL dan akhirnya meningkatkan antioksidan endogen seperti SOD, CAT, GPX. b) anthosianin mengaktifkan protein MAPK (ERK, JNK dan p38) yang selanjutnya mengaktifkan jalur Nrf2-ARE sehingga juga meningkatkan ekspresi enzim-enzim detoksifikasi seperti GSTA2, NQO-1, HO-1, γGCS, GCL dan akhirnya meningkatkan antioksidan endogen seperti SOD, CAT, GPX. c) anthosianin menghambat degradasi Nrf2 d) anthosianin secara langsung menangkap radikal bebas. Efek antiinflamasi anthosianin melalui inhibisi (⊣ ) NFkB sehingga akan menurunkan sitokin proinflamasi seperti IL-1ß, IL-6, TNF, INOS, CAMs, COX-2. 2.12.4.2 Peranan anthosianin mengatasi inflamasi

Flavonoid

(Anthosianin)

n)

SOD, CAT, GPx

IL-1ß, IL-6, TNF, iNOS, CAMs, COX-2

Nrf

2

Nrf

2

Nr

f2

Nrf

22

Nr

f2

Nrf

2

Efek antiinflamasi anthosianin secara in vitro terutama melalui inhibisi

sinyal NF-kB dan menekan ekspresi marker proinflamasi seperti IL-1ß, IL-6 dan

TNF-α.

Kapasitas anthosianin menghambat marker proinflamasi tergantung pada

gambaran struktur spesifiknya. Substitusi 5,7 hidroksil pada cincin A dan 2,3

double bond serta

4-keto group pada cincin C merupakan susunan struktur yang sangat penting.

Sebaliknya, substitusi hidroksil dari cincin B dan C, tetapi bukan cincin A, adalah

esensial untuk aktivitas antioksidan (Montilla dkk., 2010).

Aktivasi mikroglia dan astrosit pada penyakit denegeratif di otak

diketahui dapat memproduksi nitric oxide dan merangsang ekspresi sitokin pro-

inflamasi. Proses ini melibatkan sinyal jalur mitogen-activated protein kinase

(MAPK) dan kaskade sinyal NF-kB. Mitogen-activated protein kinase terdiri dari

Extracelluler signal-regulated kinase (ERK 1/2), c-Jun N-terminal kinase (JNK

1/2/3), dan p38 kinase (p38abcd), yang berhubungan dengan transfer signal dari

luar ke dalam sel dan respon sel. Selama proses trandusi, aktivasi kinase

phosphorylate dan cytosolic transcription factors (seperti STAT-1/2/3, NF-kB,

CREB), menyebabkan terjadinya nuclear translocation yang pada akhirnya

menghasilkan ekspresi gen untuk pembentukan sitokin proinflamasi (Parooqui,

2012), seperti tampak pada Gambar 2.16 dan 2.17.

Anthosianin menunjukkan efek antiinflamasi yang nyata, melalui

penekanan aktivasi NFkB, yang bertanggung jawab pada ekspresi beberapa gen

proinflamasi (Han dkk., 2007), menghambat MAPKs, JNK, dan ERK, yang

bertanggungjawab pada ekspresi sejumlah sitokin proinflamasi dan juga

menghambat cyclooxigenase-2 (COX-2),yang merupakan enzim proinflamasi

penting (Han dkk., 2007; Ross, 2012).

Eksperimen pada sel mikroglia Murine BV2 menunjukkan bahwa

anthosianin secara nyata menghambat mediator proinflamasi yang diinduksi LPS

seperti nitric oxide (NO), dan prostaglandin E2, serta sitokin proinflamasi seperti

TNF-α, IL-6 dan IL-1ß, tanpa efek toksis (Ross, 2012).

2.12.4.3 Peranan anthosianin sebagai antikejang

Glutamat dan GABA secara kuantitatif merupakan neurotransmiter

eksitasi dan neurotransmiter inhibisi terpenting pada otak mamalia.

Ketidakseimbangan sistem neurotransmiter ini sangat berhubungan dengan

epilepsi. Stimulasi berlebihan glutamat dan NMDA reseptor serta defisiensi

GABA pada neuron menyebabkan kejang sehingga dua neurotransmiter ini

menjadi target penting obat antiepilepsi (Katzung, 2011).

GABA reseptor distribusinya luas pada otak mamalia, dan merupakan

target untuk obat antiepilepsi. GABA-A reseptor merupakan heteromeric GABA-

gated chloride channel dan saluran transmembran ion dibuka oleh stimulus yang

ditimbulkan oleh GABA, serta diikuti influx ion klorida, dan menghasilkan

penurunan efek depolarisasi dan mendepresi eksitabilitas neuron. GABA-A

reseptor mengandung tempat ikatan (binding sites) untuk senyawa-senyawa yang

secara allosterik memodifikasi saluran klorida seperti benzodiazepin dan

barbiturat, yang dapat menimbulkan efek sedatif dan antikonvulsan (Parooqui,

2012).

GABA merupakan neurotransmiter inhibisi utama yang berperan pada

epilepsi, dan diperankan melalui ikatan dengan reseptor GABA. Reseptor GABA-A

ada di post sinap, permeabel terhadap ion klorida. Saluran ion membran terbuka

karena stimulasi oleh GABA, diikuti aktivasi klorida influx untuk menimbulkan

penurunan efek depolarisasi (efek kejang) dan terjadi keadaan hiperpolarisasi

sehingga menghambat potensial aksi serta akhirnya menekan aktivitas kejang

(Jager dan Saaby, 2011).

Bukti eksperimental jelas menunjukkan bahwa anthosianin memiliki

struktur yang menyerupai benzodiazepin sehingga dapat terikat pada binding site

reseptor GABA sehingga dapat menimbulkan efek antikonvulsan, seperti tampak

pada Gambar 2.18 (Katzung, 2011).

Gambar 2.18 Mekanisme aksi benzodiazepin dan ikatan anthosianin (flavonoid) pada

benzodiazepin binding site (dikutip dengan modifikasi dari Katzung, 2011).

Anthosianin (FLavonoid)

Pada reseptor GABA, disamping tempat ikatan untuk neurotransmitter

(neurotransmitter binding site), ada juga tempat ikatan modulasi (modulatory

binding site). Anthosianin dapat terikat pada kedua tempat ikatan tersebut,

menimbulkan modulasi reseptor GABA untuk lebih sensitif terhadap GABA

sehingga meningkatkan efek inhibisi kejang. Sebuah penelitian melaporkan

bahwa flavone ororylin yang diisolasi dari Lamiaceae di China, menunjukkan

efek antikejang in vivo, dengan memodulasi reseptor GABA spesifik (Jager dan

Saaby, 2011).

2.12.5 Asupan dan toksisitas anthosianin

Anthosianin (E 163), merupakan makanan tambahan yang resmi diakui di

Eropa dan telah dievaluasi oleh SCF 1975 dan JECFA pada tahun 1982. Asupan

harian (Acceptive daily intake) anthosianin 2,5 mg/kgbb/hari (Aguilar dkk., 2013).

Penelitian pada babi dan anjing, pemberian oral anthosianin ekstrak kulit

anggur sebanyak 3 gram/kg dan pada tikus 6 gram/hari, tidak ada efek samping.

Pemberian anthosianin ekstrak kulit anggur pada diet sukarelawan dengan dosis

1780 mg/kgbb/hari pada laki-laki dan 2150 mg/kgbb/hari pada perempuan selama

90 hari, tidak menimbulkan efek samping atau efek toksis (Aguilar dkk., 2013).

Asupan anthosianin pada diet rutin sangat rendah, rata-rata 0.1

mg/kgbb/hari pada dewasa dan 0,3 mg/kgbb/hari pada anak-anak. Rekomendasi

EFSA (European Food Safety Authoritry), konsumsi anthosianin disesuaikan

dengan umur seperti tampak pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Asupan regular anthosianin yang dianjurkan (mg/kgbb/hari)(Aguilar dkk., 2013)

__________________________________________________________________

__

Toddlers anak-anak remaja dewasa orang tua

(12-35 bln) (3-9 th) (10-17 th) (18-64 th) (>65 th)

____________________________________________________________________ Rerata 1,5-4,0 1,5-4,7 1,0-2,5 0,7-1,9 0,5-1,1

Level tinggi 3,2-6,9 2,7-7,8 1,6-3,9 1,1-3,4 0,9-2,3 ___________________________________________________________________ Toksisitas pemberian anthosianin oral telah diteliti pada tikus dan kelinci.

Anthosianin dari ekstraks currant, blueberries dan elderberries, nilai LD50

ditentukan 25.000 mg/kgbb pada tikus, dan tidak ditemukan efek genotoksisitas,

toksisitas kronis maupun karsinogenik (Aguilar dkk., 2013), juga tidak ditemukan

toksisitas terhadap reproduksi dan pertumbuhan-perkembangan anak (Jeong dkk.,

2013).

Indikasi bahwa anthosianin ekstrak currant, blueberries atau elderberries

menginduksi genotoksis, toksisitas pertumbuhan-perkembangan, dan

karsinogenesis pada tikus atau rabbit dengan dosis tinggi 9 gram/kgbb/hari tidak

ditemukan (Aguilar dkk., 2013). Pemberian ekstrak air umbi ubi jalar ungu dosis

tunggal 4 ml, nyata meningkatkan kadar anthosianin dengan profil farmakokinetik

baik pada tikus sehat dan tikus yang diinduksi menjadi diabetes (Sutirta-Yasa dan

Jawi, 2014).

Jadi sudah dibuktikan bahwa anthosianin ekstrak air umbi ubi jalar ungu

yang merupakan salah satu bentuk flavonoid, mempunyai efek antioksidan kuat

dengan menghambat stres oksidatif melalui proses mendonorkan elektron,

menangkap radikal bebas, memutus rantai reaksi oksidatif, dan meningkatkan

ekspresi gen antioksidan endogen melalui aktivasi jalur Nrf2-ARE. Anthosianin

juga mempunyai efek antiinflamasi melalui penghambatan NF-kB dan COX-2;

dan efek antikejang melalui modulasi efek neurotransmiter GABA pada

reseptornya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, pemberian ekstrak air umbi ubi jalar ungu

diasumsikan bahwa dapat menurunkan biomarker stres oksidatif seperti 8-OHdG,

meningkatkan antioksidan endogen SOD dan menurunkan biomarker inflamasi

seperti IL-6. Stres oksidatif dan inflamasi berperan penting pada patogenesis dan

progresivitas ERO,sehingga dengan menghambat stres oksidatif dan proses

inflamasi, meningkatkan antioksidan endogen tubuh serta menekan aktivitas

kejang pada neuron melalui modulasi GABA, secara rasional akan terjadi

perbaikan gambaran EEG dan menurunkan frekuensi kejang pada anak dengan

EFRO, yang dibuktikan pada penelitian ini.