TM SK 1

26
Sri Handayani 1102011264 LI 1 M&M Anatomi Saluran Pernafasan Atas Anatomi Makroskopis Saluran pernafasan atas Makroskopik A. Hidung Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran nafas. Hidung memiliki 2 buah nares anterior yaitu lubang hidung,

description

skenario 1 blok respirasi

Transcript of TM SK 1

Page 1: TM SK 1

Sri Handayani

1102011264

LI 1 M&M Anatomi Saluran Pernafasan Atas

Anatomi Makroskopis Saluran pernafasan atas

Makroskopik

A. Hidung

Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran nafas.

Hidung memiliki

2 buah nares anterior yaitu lubang hidung, vestibulum nasi yaitu bagian depan rongga hidung tempat muara nares anterior pada

mukosa hidung yang terdapat silia yang kasar sebagai saringan udara rangka hidung bagian luar dibentuk oleh tulang-tulang yaitu os nasal, processus

frontalis os maxillaris

Page 2: TM SK 1

cavum nasi yaitu bagian dalam rongga hidung yang berbentuk terowongan. Pada dinding cavm nasi bagian lateral terdapat tonjolan tilanh conchae nasalis 3 buah yaitu superior, inferior dan media yang diantaranya terdapat saluran yang dinamakan meatus nasalis

septum nasi yaitu sekat antara kedua rongga hidung yang dibatasi oleh dinding yang berasal dari tulang dan mukosa

Persyarafan hidung

bagian depan dan atas cavum nasi mendapat persyarafan sensoris dari nervus nasalis externus dan nervus nasalis internus, nervus ethmoidalis anterior yang dipercabangkan dari nervus opthalmicus (N.51)

bagian bawah belakang termasuk mucusa chonchae nasalis depan di persyarafi oleh rami nasalis posterior cabang dari nervus maxillaris

daerah nasopharyx dan concha nasalis mendapat peryarafan sensorik dari cabang “ganglion pterygopalatinum”

serabut-serabut nervus olfactorius hanya berfungsi untuk fungsional penciuman saja

Pendarahan Hidung

Pendarahan hidung berasal dari cabang arteri carotis inetrna dan arteri carotis externa. Arteri carotis onterna mempervabangkan arteria ophtalmica. Selanjutnya arteri ophtalmica mempercabangkan :

arteri ethmoidalis anterior dengan cabang-cabang yaitu arteri nasalis externe dsn lateralis serta arteri septalis anterior

Arteri ethmoidalis poeterior dengan cabang-cabang yaitu artei nasalis posterior, laterlais dan sepatal serta arteru palatinus majus

Arteri carotis externa memercabangkan areteri maxillaris. Dari arteri maxillaris mempercabangkan arteri sphenoplatinum.

Ketiga pembuluh darah ini pada mukosa hidung membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang dinamakan “Plexus Kisselbach” yang mudah pecah pecah oleh trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

B. Larynx

Page 3: TM SK 1

Larynx adalah organ yang berperan sebagai spincter pelindung pada sistem pernafasan dan berperan dalam pembentukan suara. Terletak setinggi vertebrae cervicalis 4,5 dan 6 di bawah lidah dan tulang os hyoid (batas dagu dan leher), di bagian depan terdapat otot-otot dan bagian lateral di tutupi kelenjar thyroid.

Rangka larynx terbentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dihubungkan oleh membrane dan ligamentum serta digerakkan oleh otot-otot larynx.

Larynx merupakan ruang yang berbentuk rongga yang disebut dengan cavitas larynges. Pada bagian atasnya disebut sebagai pintu larynx yang dikenal dengan aditus larynges dan bagian bawah lebih kecil dan terbentuk oleh cartilage cricoid yang berbentuk lingkaran.

Bagian-bagian larynx Os hyoid (I buah)

Terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda Mempunyai 2 buah cornus majus dan minus Dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu Berfungsi sebagai tempat perlekatan otot mulut dan cartilage thyroid

Cartilage thyroid (1 buah) Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonojlan yang dikenal dengan

“prominen’s larynges” atau “adam’s apple” Melekat ke atas dengan os hyoid dan kebawah dengan cartilage cricoid, ke

belakang dengan cartilage arytenoid Mempunyai cornus superior dan inerior

Cartilage arytenoid (2 buah) Terletak dari lamina cartilagp throid dan di atas dari cartilage cricoid Bentuk seperti burung penguin, adsa cartlago cornulata dan cuneiforme

Epiglottis (1 buah) Tulang rawan bebrbentuk sendok yang terletak di bawah radix lingue Berfungsi membuka dan menutup aditus larynges

Page 4: TM SK 1

Mempunyai lipatan “Plica epiglotica mediana dan lateralis”, lekukan di sisi kiri dan kanan disebut sebagai “vaellecula”

Pada waktu biasa epigotis terbuka dan menutup pada waktu menelan Cartilage cricoid

Batas bawah cartilage thyroid Batas bawah adalah cincin pertama trachea

Otot-otot larynx

Otot extrinsic larynxBerfungsi untuk menarik larynx ke atas dank e bawah selama proses menelan. Pada umunya otot-oto melekat pada os Hyoid melalui membrane throhyoidea dan terjadi gerakan larynx. Otot-otot ini terbagi 2 yaitu

Otot-otot Elevator (otot-otot suprahyoid), otot yang berinsertio pada os hyoid yaitu M. Digastricus, M. Stylohyodus, M. Mylohyodeus dan M. Geniohyoideus

Otot-otot Depresor (otot-otot Infrahyoid), otot yang berorigo pada os hyoid yaitu M. Thyrohyoid, M. Sternohyoideus dan M. Omyhyoideus

Otot-otot intrinsic larynx M. Arytenoideus obliq dan M. Arytenoideus epiglotica

Berfungsi untuk mengecilkan aditus laryngis M. Thyroepiglotica

Untuk melebarkan aditus laryngis M. Cricothyroideus

Untuk menegangkan pita suara (plica vocalis) M. Thyroarytenoideus

Untuk melemaskan pita suara M. Cricoarytenoideus Posterior

Page 5: TM SK 1

Untuk abduksi pita suara (membuka rima glottis) M. Cricoarytenoideus Lateralis

Untuk adduksi pita suara (menutup rima glottis) M. Arytenoideus Tranversus

Untuk mendekatkan kedua cartilage arytenoid

Persyarafan Larynx

Otot-otot larynx mendapat persyarafan dari cabang nervus vagus yaitu dari nervus recurrent larynges sinistra dan dextra. Khusus nervus recurrent larynges sinistra l=terlihat naik ke larynx setelah melingkar pada arcus aorta, naik ke larynx di sisi trachea, sedangkan sebelah kanan tidak.

Mikroskopik

Rongga hidungRongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak),  sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.

Page 6: TM SK 1

Silia berfungsi untuk mendorong lendir ke arah nasofaring untuk tertelan atau dikeluarkan (batuk) .Sel goblet dan kelenjar campur di lamina propria mnghasilkan sekret, untuk menjaga kelembaban hidung dan menangkap partikel debu halus . Di bawah epitel chonca inferior terdapat swell bodies, merupakan fleksus vonosus untuk menghangatkan udara inspirasi

epitel olfaktori, khas pada konka superior

Sinus paranasalisTerdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

FaringNasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.Terdiri dari :

Page 7: TM SK 1

Nasofaring (epitel bertingkat torak bersilia, dengan sel goblet)

Orofaring (epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk)

Laringofaring (epitel bervariasi)

LaringLaring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.

Tulang rawan yang lebih besar (tulang rawan hyalin): Thyroid Cricoid Arytenoid

Tulang rawan yang kecil (tulang rawan elastis): Epiglottis Cuneiform Corniculata

Page 8: TM SK 1

Ujung arytenoid

epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal berupa epitel respiratori

Epiglottis Memiliki permukaan lingual dan laringeal Seluruh permukaan laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati

basis epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel bertingkat silindris bersilia

TrakeaPermukaan trakea dilapisi oleh epitel respirasi. Terdapat kelenjar serosa pada lamina propria dan tulang rawan hialin berbentuk C (tapal kuda), yang mana ujung bebasnya berada di bagian posterior trakea. Cairan mukosa yang dihasilkan oleh sel goblet dan sel kelenjar membentuk lapisan yang memungkinkan pergerakan silia untuk mendorong partikel asing. Sedangkan tulang rawan hialin berfungsi untuk menjaga lumen trakea tetap terbuka. Pada ujung terbuka (ujung bebas) tulang rawan

Page 9: TM SK 1

hialin yang berbentuk tapal kuda tersebut terdapat ligamentum fibroelastis dan berkas otot polos yang memungkinkan pengaturan lumen dan mencegah distensi berlebihan.

epitel trakea dipotong memanjang

epitel trakea, khas berupa adanya tulang rawan hialin yang berbentuk tapal kuda ("c-shaped")

LI 2 M&M Fisiologi Pernapasan

Pernafasan atau ekspirasi adalah menghirup udara dari luar yang mengandung O2 (oksigen) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 (karbon dioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi (Syaifuddin,1996).

Fungsi pernafasan adalah

1. Mengambil oksigen kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran.

2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa pembakaran, kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh tubuh).

3. dan melembabkan udara (Syaifuddin, 1996)

Page 10: TM SK 1

Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara berlangsung di alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya aliran udara timbal balik (pernafasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang terhirup paru-paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada paparan kerja (WHO, 1993).

Proses sistem pernafasan atau sistem respirasi berlangsung dengan beberapa tahap yaitu :

1. Ventilasi yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru.2. Pertukaran gas dalam alveoli dan darah atau disebut pernapasan luar.3. Transportasi gas melalui darah.4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan atau disebut pernapasan dalam.5. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut

pernapasan seluler.

Mekanisme Kerja Sistem Pernapasan

Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 yaitu :

1. Inspirasi (menarik napas)2. Ekspirasi (menghembus napas)

Inspirasi adalah proses yang aktif, proses ini terjadi bila tekanan intra pulmonal (intra alveol) lebih rendah dari tekanan udara luar. Pada tekanan biasa, tekanan ini berkisar antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Pada inspirasi dalam tekanan intra alveoli dapat mencapai -30 mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonal pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga toraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi.

Ekspirasi adalah proses yang pasif, proses ini berlangsung bila tekanan intra pulmonal lebih tinggi dari pada tekanan udara luar sehingga udara bergerak keluar paru. Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume rongga paru mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan oleh daya elastis jaringan paru. Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi mulai relaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intra alveoli berkisar antara + 1 mmHg sampai dengan + Bahan yang dapat mengganggu sistem pernapasan adalah bahan yang mudah menguap dan terhirup saat kita bernafas. Tubuh memiliki mekanisme pertahanan untuk mencegah masuknya lebih dalam bahan yang dapat mengganggu sistem pernapasan, akan tetapi bila berlangsung cukup lama maka sistem tersebut tidak dapat lagi menahan masuknya bahan tersebut ke dalam paru-paru. 3 mmHg (Alsagaff, 2002). Debu, aerosol dan gas iritan kuat menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian napas), bila zat-zat tersebut masuk ke dalam paru-paru dapat menyebabkan bronchitis kronik, edema paru atau pneumonitis. Para pekerja menjadi toleran terhadap paparan iritan berkadar rendah dengan meningkatkan sekresi mucus, suatu mekanisme yang khas pada bronchitis dan juga terlihat pada perokok tembakau (WHO, 1995).

LI 3 M&M Rhinitis Alergi

Page 11: TM SK 1

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al, 2001).

Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang

Page 12: TM SK 1

bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

Page 13: TM SK 1

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus

Page 14: TM SK 1

(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunderReaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersierReaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Manifestasi klinik

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada

Page 15: TM SK 1

sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. AnamnesisAnamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan FisikPada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjanga. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin

Page 16: TM SK 1

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

b. In vivoAlergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Simptomatisa. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja

secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

Page 17: TM SK 1

kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.3. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.

Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).

Prognosis

Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen. Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.

LI 4 M&M Pandangan Islam Tentang Saluran Pernapasan

Adab bersinRasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah SWT sukakan bersin dan benci pada menguap. Jika salah seorang kamu bersin dan memuji Allah SWT, hendaklah orang Islam yang mendengarnya mengucapkan “Yarhamukallah”. Sedangkan menguap itu adalah daripada syaitan. Maka jika seorang kamu menguap hendaklah ia mengembalikannya (menahannya) sedapat mungkin, kerana apabila kamu menguap, syaitan akan ketawa melihatnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari). Tasymid dan Tahmid Dari Anas bin Malik r.a. katanya: “Dua orang laki-laki bersin dekat Nabi SAW. Lalu yang satu ditasymitkan oleh baginda sedangkan yang satu lagi tidak. Maka bertanya orang yang tidak ditasymitkan, tetapi aku bersin tidak kamu tasymitkan. Mengapa begitu, ya Rasulullah?” Jawab baginda, “Yang ini sesudah bersin dia memuji Allah sedangkan kamu tidak.” (Sahih Muslim)Huraian:

Page 18: TM SK 1

1. Islam selaku agama yang mulia amat menekankan kesopanan dan kesantunan dari sekecil-kecil perkara hinggalah sebesar-besarnya sama ada dalam pergaulan, percakapan ataupun tingkah-laku refleks seperti menguap, bersin dan sebagainya.

2. Ketika menguap terdapat adabnya yang tersendiri iaitu hendaklah meletakkan tangan di mulut ketika menguap untuk menutup pandangan yang tidak elok ketika mulut terbuka dan juga untuk menghalang sesuatu daripada masuk ke dalam mulut. Selain itu kita disuruh mengurangkan bunyi ketika menguap, seboleh-bolehnya tidak kedengaran langsung.

3. Manakala apabila bersin pula kita hendaklah memalingkan muka ke arah lain sambil menutup mulut dan hidung untuk mengurangkan bunyi bersin tersebut selain untuk mengelak daripada terkena jangkitan pada orang lain. Selepas bersin hendaklah mengucapkan “alhamdulillah”, sebagai rasa bersyukur dengan memuji Allah. Dan orang yang mendengarnya hendaklah mengucapkan “yarhamukallah” sebagai mendoakan kesejahteraan orang yang bersin itu agar dia agar dirahmati Allah. Serta dibalas pula oleh orang yang bersin dengan mengucapkan “Yahdiinaa wayahdiikumullah”. Namun begitu sekiranya orang yang bersin itu tidak mengucapkan ‘al-hamdulillah’ selepas bersin maka dia tidak berhak untuk diberikan ucapan tersebut.

4. Menjawab orang yang bersin (jika dia mengucapkan hamdalah) hukumnya wajib, dan wajib pula menjawab orang yang mengucapkan “Yarhamukallah” dengan ucapan “Yahdiina wayahdii kumullah”, dan jika seseorang yang bersin itu terus menerus bersin lebih dari tiga kali, maka kali keempatnya hendaklah diucapkan “Afakallah” (Semoga Allah menyembuhkan anda) sebagai ganti dari ucapan “Yarhamukallah”.

5. Bersin yang terlalu kerap melebihi 3 kali menandakan seseorang itu kemungkinan diserang selsema manakala menguap yang terlampau kerap menandakan seseorang itu tidak cukup tidur selain menunjukkan ciri-ciri kemalasan yang patut dihindari dengan melakukan aktiviti senam ringan dan sebagainya.