TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam...
Transcript of TKA RAIHAN YUSUFlib.ui.ac.id/file?file=digital/2018-6/20468291-TA-Raihan... · berbagai macam...
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS PADA PEMBERIAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME
DI INDONESIA
TUGAS KARYA AKHIR
RAIHAN YUSUF
1406618530
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI
DEPOK
2018
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS PADA PEMBERIAN
KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME
DI INDONESIA
TUGAS KARYA AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
RAIHAN YUSUF
1406618530
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI SARJANA KRIMINOLOGI
DEPOK
JANUARI 2018
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
HALAMAN PERNYATAAN ORISINAI,ITAS
Tugas Karya Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baikyang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.(
Nama
NPMTanda Tangan
Tanggal
Raihan Yusuf
1406618530
11 Januari 2018
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
Telah berhasit dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagianpersyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program StudiKriminologi, Fakultas IImu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
DEWAII PENGUJI
Tugas Karya Akhtu ini diajukan oleh
Nama
NPM
Program Studi
Judul Tugas Karya Akhir
Pembimbing
Penguji Ahli
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 1.1 Januari 2018
HALAMAN PENGESAHA}{
: Raihan Yusuf
: 1406618530
: Kriminologi'
: Analisis Viktimologi Kritis pada .PemberianKqmFensasi dan Restitusi Korban Terorisme diIndonesia
,MFerdinand T. AndiLolo, S.IL, LL.M., Ph.D
Herlina Permata Sari S.Sos., M.Crim
Yogo Tri Hendiarto, S.Sos., M.Si
Dr. Anggi Aulina Harahap Dipl.-Soz
lil
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
KATA PENGANTAR
puji dan syrkur saya panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, karunia
dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Tugas Karya Akhir ini. Penulisan Tugas
Karya Akhir ini saya lakukan dalam rangka pemenuhan salah satu syarat untuk
menyelesaikan masa studi saya di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia.
Tulisan ini tidak akan berhasil saya selesaikan tanpa adanya bantuan serta bimbingan dari
berbagai pihak, dari awal masa studi saya hingga saat saya menyelesaikan Tugas Karya
Akhir ini. Maka dari itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Ferdinand T. Andi Lolo, S.H., LL.M., Ph.D, selaku dosen pembimbing
yang telah mengerahkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing saya
dalam penulisan Tugas Karya Akhir ini.
2. Dosen-dosen departemen iriminologi yang senantiasa memberi ilmu dan
perspektif baru serta para staff departemen Kriminologi yang tidak pernah
menolak membantu.
3. pihak LPSK khususnya Mas Andreas dan Mas Aat yang telah banyak membantu
dalam usaha memperoleh data yang saya butuhkan.
4. Orang tua dan keluarga saya yang selalu memberikan bantuan dalam bentuk
apapun yang mereka bisa.
5. Teman-teman seperjuatgal Ikatan Keluarga Kriminologi 2014 atas waktu
diskusi, bantuan, saran sefia dukungannya.
Akhir kata, saya berharap dapat membalas segala kebaikan kepada semua pihak yang
memberikan bantuannya dalam pembuatan tulisan ini. Semoga Tugas Karya Akhir saya
ini dapat bermanfaat bagi civitas akademik dan masyarakat'
Depok, 11 J-anuari 2018i1/
/,/,t/?V
Raihan Yusuf
IV
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASITUGAS AKIIIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
NPMProgram Studi
Departemen
Fakultas
Jenis karya
Raihan Yusuf140661 8530
Kriminologi
Kriminologi u
Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikTugas Karya Akhir (TKA)
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Viktimisasi Kritis pada Pemberian Kompensasi dan Restitusi Korban
Terorisme di Indonesia
beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini, Universitas lndonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Padatanggal : 11 Januari2018
Yang menyatakant /// y,/
\l '{''(Raihan Yusuf)
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
vi Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Raihan Yusuf
Program Studi : Kriminologi
Judul : Analisis Viktimologi Kritis pada Pemberian Kompensasi dan Restitusi Korban Terorisme di Indonesia
Tugas Karya Akhir ini membahas tentang bagaimana pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang viktimologi kritis. Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain deskriptif serta menggunakan data yang bersifat sekunder dari literatur ilmiah, media online, dan laporan LPSK sebagai instansi pemerintah terkait. Hasil dari tulisan ini menjelaskan bahwa negara melakukan viktimisasi struktural kepada korban terorisme atas tidak diberikannya kompensasi dan restitusi yang merupakan hak korban terorisme. Melalui tulisan ini, penulis menyarankan agar pemerintah mempermudah birokrasi pemberian kompensasi dan restitusi serta menghapus syarat adanya putusan pengadilan agar korban mendapatkan apa yang menjadi haknya.
Kata Kunci: korban terorisme, kompensasi, restitusi, viktimologi kritis
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
vii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Raihan Yusuf
Study Program : Criminology
Title : Critical Victimology Analysis on Compensation and Restitution Provision for Victim of Terrorism in Indonesia
This thesis discusses about how state provides compensation and restitution for the victims of terrorism in Indonesia from the point of view of Critical Victimology. The method used in this thesis is qualitative approach with descriptive design and using secondary data from the scientific literature, online media, and LPSK’s reports as the related government agency. The result of this paper explains that the state conducts structural victimization to the victims of terrorism for not providing compensation and restitution which is the right of victims of terrorism. As a recommendation, the author suggests that the government should simplify the bureaucracy of providing compensation and restitution, and also remove the court decision as a requirement in order for the victims to get their rights.
Key Words: victim of terrorism, compensation, restitution, critical victimology
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
viii Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………………….ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………………...iii KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………………….v ABSTRAK ……………………………………………………………………………vi DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..viii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………ix DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………….x 1. PENDAHULUAN ………………………………………………………………..1
2. KERANGKA PIKIR ……………………………………………………………..3 3. KERANGKA TEORI DAN KONSEP …………………………………….…4
4. HAK KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME ….……10 5. FASILITASI PEMBERIAN KOMPENSASI KORBAN TERORISME
DI INDONESIA …………………………………………………………..……19
6. MEKANISME PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DI INDONESIA ………………………………………………………………22
7. HAMBATAN DALAM PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI .........................................................................................................24
8. ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS ………………………………………...26 9. KESIMPULAN ………………………………………………………………….29 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………..31 LAMPIRAN ………………………………………………………………………….36
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
ix Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Anggaran Bantuan Kompensasi, Restitusi LPSK 2010-2013 ……………..20
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
x Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.2 Skema Pemberian Kompensasi dan Restitusi ………………………….22
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
1
Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN
Polemik dalam permasalahan terorisme di dunia mungkin tidak akan menemukan
titik penghujung. Sejalan dengan hal tersebut, dinamika terorisme pun dapat
berkembang seiring dengan proses globalisasi yang kian meningkat, yang hingga saat
ini mencapai gelombang keempat perkembangan terorisme sebagaimana dijelaskan
oleh David Rapoport (1977). Secara umum, terorisme didefinisikan sebagai suatu
perbuatan yang salah, jahat, dan merupakan sebuah bentuk kejahatan. Conte (2010)
menjelaskan lebih lanjut bahwa perbuatan ini didasari oleh alasan kompleks serta
berbagai macam ideologi. Berdasarkan data yang dilansir dari Global Terrorism Index
(2016), pada tahun 2015, terjadi peningkatan jumlah kejadian terorisme hingga 14
persen dari tahun sebelumnya di seluruh dunia. Bahkan Conte (2010), berdasarkan
data tersebut, jika dilihat sejak abad 21, sebanyak 23 negara di dunia mencatatkan
jumlah korban tewas tertinggi di negara masing-masing pada tahun yang sama.
Tren peningkatan terorisme di dunia tersebut berdampak pada Indonesia. Jika
dilihat melalui data yang dikutip dari kanal berita daring rappler.com (2016),
sepanjang tahun 2016, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menangani 170
kasus terorisme. Secara statistik, jumlah kasus ini mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dari tahun 2015 yang berjumlah 82 kasus. Aksi terorisme tidak terlepas pada
jatuhnya korban luka maupun korban jiwa, termasuk korban psikis. Berdasarkan data
yang dilansir dari perusahaan statistik daring internasional statista.com, jumlah korban
tewas akibat terorisme di dunia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mencapai angka
dua ratus ribu jiwa.
Banyaknya jumlah tersebut masih diluar angka korban luka-luka dan korban
trauma psikis. Akan tetapi, korban dalam terorisme seringkali dikesampingkan oleh
pemerintah, khususnya dalam konteks Indonesia. Setiap terjadi sebuah aksi terorisme,
pemerintah seolah terlalu berfokus pada bagaimana menangkap pelaku, bukan
bagaimana menangani para korban. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang
Negara Republik Indonesia no. 15 tahun 2003 yang membahas tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme. Isi UU tersebut secara garis besar berfokus pada pembahasan
pelaku terorisme, tentang siapa yang disebut sebagai pelaku, dan tentang bagaimana
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
2
Universitas Indonesia
hukuman yang berlaku pada pelaku terorisme. Namun dari sisi korban, UU tersebut
hanya menjelaskan tentang korban pada Bab VI, yang terbatas pada pembahasan
mengenai kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang berhak diterima korban. Hal
inilah yang menjadi sorotan penulis yakni, minimnya bahasan tentang korban
terorisme dibandingkan dengan pelaku dalam UU no. 15 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme. Sisi kebaruan pada tulisan ini adalah pada
pemberian kompensasi dan restitusi terhadap korban terorisme yang merupakan hak
korban terorisme jika dilihat dari perspektif viktimologi kritis.
Pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia masih
mengalami berbagai perdebatan. Perdebatan yang terjadi didasari oleh adanya
perbedaan pandangan terkait kompensasi dan restitusi sebagai hak korban terorisme.
Pemerintah dalam undang-undangnya menyatakan bahwa kompensasi dan restitusi
merupakan hak korban terorisme, namun hanya jika hal tersebut telah melalui putusan
pengadilan. Negara dalam hal ini tidak akan memberikan kompensasi dan restitusi jika
seseorang tidak dinyatakan berhak mendapatkannya didalam putusan pengadilan
meskipun orang tersebut memang benar-benar korban dari tindak pidana terorisme
yang terjadi. Namun disisi lain, pihak yang merasa menjadi korban terorisme merasa
bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi dari negara meskipun
pengadilan tidak menyatakan bahwa mereka adalah korban terorisme. Seiring dengan
proses perancangan UU pemberantasan tindak pidana terorisme baru yang sedang
dibuat, maka penulis merasa perlu memberikan analisis melalui perspektif viktimologi
kritis agar dapat dijadikan dasar untuk memuat hak korban terorisme berupa
kompensasi dan restitusi dengan lebih spesifik dan detil.
Berbagai media telah memuat informasi tentang bagaimana pemberian
kompensasi dan restitusi di Indonesia dilakukan. Tempo.co (2017) pada beritanya
menyatakan bahwa pemberian kompensasi dan restitusi pada korban terorisme tidak
maksimal karena terhambat putusan pengadilan. Selain itu, tribunnews (2017)
memberitakan tentang dikabulkannya permohonan kompensasi dari korban terorisme
gereja Oikumene di Samarinda pada 25 September 2017 lalu dan putusan terkait
pemberian kompensasi ini merupakan yang pertama kali dari serangkaian kasus
terorisme yang terjadi di Indonesia. Jika melihat dalam konteks undang-undang,
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
3
Universitas Indonesia
kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia akan diberikan oleh
negara hanya jika pengadilan membuat putusan demikian. Namun, jika melihat dari
konteks hak korban menurut viktimologi, kompensasi dan restitusi merupakan hak dari
korban tindak kejahatan, termasuk kejahatan kemanusiaan seperti terorisme.
Berdasarkan pemaparan tersebut, thesis statement pada tulisan ini yakni jika
melihat dari perspektif viktimologi dan diperdalam dengan pandangan viktimologi
kritis, maka dalam pemberian kompensasi dan restitusi pada korban terorisme, negara
telah melakukan viktimisasi struktural, yang juga merupakan reviktimisasi pada
korban terorisme. Hal ini diawali dari pembuatan UU yang membatasi pemberian
kompensasi dan restitusi korban terorisme pada suatu putusan pengadilan.
2. KERANGKA PIKIR
Pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di Indonesia masih
menjadi perdebatan. Secara hukum, negara tidak melakukan kejahatan karena pada
kenyataannya korban yang berhak mendapat kompensasi dan restitusi adalah korban
yang telah ditentukan dalam putusan pengadilan yang juga memuat tentang besaran
jumlah kompensasi dan restitusi yang harus diberikan negara pada para korban.
Namun, jika dilihat dari perspektif kriminologi, khususnya pada subkajian
viktimologi, maka hal ini dapat dilihat secara berbeda. Perbedaan ini akan dikaji secara
lebih mendalam dengan menggunakan viktimologi kritis sebagai landasan teori.
Dalam viktimologi kritis yang membahas secara fokus terkait hak,
kewarganegaraan dan negara tersebut kemudian mengerucut pada viktimisasi yang
dilakukan oleh negara pada pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. Kemudian,
viktimisasi yang dilakukan negara jika dilihat dari perspektif viktimologi kritis
tersebut dikerucutkan lagi ke arah viktimisasi struktural yang dilakukan pemerintah
terhadap korban terorisme karena adanya pembatasan hak. Viktimisasi struktural yang
dilakukan oleh negara tersebut kemudian dikaitkan dengan viktimisasi sekunder yang
diterima korban terorisme, dimana selain menjadi korban terorisme, korban juga
mendapat viktimisasi untuk kedua kalinya yang dilakukan oleh negara.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
4
Universitas Indonesia
Jika disimpulkan, maka kerangka berpikir dalam tulisan ini diawali dengan
perdebatan terkait pemberian kompensasi dan restitusi pada korban terorisme yang
memiliki perbedaan antara pandangan hukum dengan pandangan viktimologi.
Kemudian dianalisis menggunakan viktimologi kritis sebagai landasan, lalu berakhir
pada negara yang melakukan viktimisasi struktural dan viktimisasi sekunder.
3. KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Tulisan ini menggunakan beberapa konsep yang dianggap penting untuk
mendukung tulisan penulis dalam proses analisis. Salah satu konsep penting yang
digunakan penulis yaitu konsep korban dan secara spesifik korban tindak pidana
terorisme. Suatu tindak kejahatan tidak terlepas dari munculnya korban yang terkena
akibat dari kejahatan tersebut. Definisi tentang korban mengacu pada penjelasan
Karmen (2009) yang mengatakan bahwa korban secara umum adalah seseorang atau
sekelompok orang yang menderita cedera, kerugian, atau kesulitan dalam hal apapun.
Dalam hal korban tindak pidana terorisme, dapat diartikan sebagai seseorang atau
sekelompok orang yang menderita cedera, kerugian atau kesulitan dalam hal apapun
atas terjadinya suatu tindak pidana terorisme. Menurut Letschert (2010), para korban
dari tindak pidana terorisme biasanya tidak bersedia untuk disebut sebagai korban
karena mereka menganggap bahwa terminologi korban memiliki konotasi negatif.
Mereka biasanya menyebut diri mereka sebagai survivors atau pejuang.
Schmid dalam Letschert (2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tipologi
dalam memahami korban tindak pidana terorisme. Schmid (2010) membagi tipologi
menjadi dua, yaitu korban primer dan korban sekunder. Korban primer yang dimaksud
memiliki empat kategori. Pertama, mereka yang tewas oleh teroris penyandera, teroris
bersenjata api, atau teroris pelaku pengeboman. Kedua, mereka yang terluka, atau
kehilangan sebagian tubuhnya, atau disiksa secara mental oleh teroris, namun telah
dibebaskan. Ketiga, mereka yang terluka atau tewas dalam penyergapan oleh operasi
aparat penegak hukum yang menangani teroris atau tim tanggap bersenjata. Keempat,
mereka yang secara mental atau fisik terluka permanen atau tewas (dalam kasus bunuh
diri) dalam suatu kejadian atau beberapa kejadian terorisme dimana mereka terlibat
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
5
Universitas Indonesia
atau menjadi saksi secara langsung. Kemudian, tipologi korban sekunder terorisme
yaitu pertama, mereka yang dekat dengan keempat kategori korban primer (keluarga,
tanggungan hidup, kerabat dan kolega). Kedua, mereka yang namanya muncul dalam
daftar orang tewas. Ketiga, mereka yang memiliki alasan jelas untuk merasa takut akan
menjadi korban di masa yang akan datang. Keempat, tim tanggap yang bertindak untuk
menanggulangi terorisme dan memiliki trauma karena hal tersebut. Kelima, mereka
yang mengalami kerugian pendapatan atau kerusakan properti akibat terorisme.
Keenam, mereka yang kehidupan normalnya berubah akibat adanya ancaman
terorisme dan pendekatan aparat penanggulangan terorisme.
Selain melihat definisi korban dari perspektif viktimologi, penulis merasa perlu
untuk memasukkan literatur pembanding tentang bagaimana dunia mendefinisikan
korban. Pertama kali korban kejahatan menerima perhatian dari hukum internasional
yaitu di dalam PBB. Hal ini melalui General Assembly Resolution 40/34 yang didasari
pada Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power pada tanggal 29 November 1985. Namun, beberapa waktu lalu sebelum artikel
jurnal ini dibuat, norma internasional lain dari regional Eropa juga telah membahas
tentang korban.
Pada norma yang dijelaskan oleh PBB, terdapat dua poin dalam deklarasi tersebut.
Pertama, korban didefinisikan sebagai orang-orang yang, secara individu atau secara
kolektif, telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan
emosional, kerugian ekonomi, atau kerusakan substansial hak-hak dasar mereka,
melalui tindakan atau kelalaian yang melanggar undang-undang pidana yang
beroperasi di negara masing-masing, termasuk undang-undang yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan secara kriminal. Kedua, seseorang dapat dianggap sebagai
korban, berdasarkan Deklarasi ini, terlepas dari apakah pelaku diidentifikasi,
ditangkap, dituntut atau dihukum dan terlepas dari hubungan keluarga antara pelaku
dan korban. Istilah "korban" juga mencakup, jika sesuai, keluarga dekat atau
tanggungan dari korban langsung dan orang-orang yang telah menderita kerugian
dalam intervensi untuk membantu korban yang dalam keadaan tertekan atau untuk
mencegah viktimisasi.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
6
Universitas Indonesia
Memang benar bahwa korban terorisme juga menjadi korban kejahatan dan pada
saat bersamaan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang serius karena
terorisme merupakan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Namun, alasan
mengapa korban terorisme layak mendapat perlakuan berbeda juga karena sifatnya
terhadap tindakan teroris dan kebutuhan khusus korban terorisme. Sehubungan dengan
adanya kebutuhan spesifik korban terorisme, seperti yang disampaikan pada laporan
UNODC dalam Romani (2012) baru-baru ini, sebagian besar tindakan dianggap
sebagai terorisme jika "menimbulkan kerusakan manusiawi dan material yang sangat
besar". Selain itu, tindakan semacam itu "tidak hanya berdampak pada korban
langsung, yang dapat terluka atau terbunuh secara fisik, namun mungkin juga memiliki
efek jangka panjang pada korban tidak langsung, seperti tanggungan atau keluarga
mereka, serta korban pengganti, yang mungkin termasuk anggota yang lebih luas yakni
publik". Inilah sebabnya mengapa disimpulkan bahwa perbedaan dalam perlakuan
yang diberikan kepada korban tindakan terorisme, yang berbeda dengan korban
kejahatan lainnya, harus didasarkan pada kebutuhan spesifik mereka.
Setelah konsep korban, penulis merasa perlu mencantumkan konsep terorisme
yang dimaksud dalam tulisan ini. Terminologi terorisme pertama kali muncul pada
revolusi perancis tahun 1793 hingga kemudian David Rapoport (1977) pada usahanya
dalam menjelaskan sejarah dari terorisme internasional telah menggarisbawahi empat
gelombang utama dari terorisme internasional. Gelombang pertama dari terorisme
internasional disebut gelombang “anarchist” dimulai di Rusia tahun 1880an dan
bertahan hinggal 1920an. Gelombang kedua dikenal dengan gelombang “anticolonial”
yang dimulai pada tahun 1920an dan berakhir tahun 1960an. Kemudian, gelombang
ketiga yaitu gelombang “new left” dimulai tahun 1960an hingga tahun 1980an dan
gelombang terakhir yaitu gelombang “religious” yang dimulai tahun 1979 hingga saat
ini.
Konsep terorisme hingga saat ini menimbulkan banyak perdebatan. Kompleksitas
dalam mendefinisikan terorisme memiliki berbagai aspek. Fenomena terorisme
memiliki banyak variasi dari mulai penggunaan kekerasan hingga penyebaran rasa
takut melalui pikian. Hingga saat ini sudah lebih dari seratus definisi terorisme yang
diungkapkan para ahli dan masing-masing memiliki sudut pandangnya sendiri.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
7
Universitas Indonesia
Menurut Jeffrey Simon dalam Matuzits (2012), terdapat setidaknya 212 definisi
berbeda dari terorisme. Konsep terorisme diambil dari bahasa latin “terrere” yang
berarti memberikan rasa takut, yang pertama kali dikenal pada revolusi perancis tahun
1793-1794. Negara dan lembaga-lembaga bukan negara sudah sejak lama dan sudah
menjadi bagian dari sejarah, penggunaan “rasa takut” sudah memiliki dinamikanya
sendiri. Menurut Attan dalam Davis (2007) terorisme adalah suatu tindakan kekerasan
yang terencana dan bermotif politik yang dilakukan terhadap non-kombatan oleh suatu
kelompok, seseorang atau operasi rahasia untuk mempengaruhi masyarakat. Dimana
terorisme dan kejahatan dapat dibedakan secara khas dalam konteks motivasi pelaku
(Reichel, 2014).
Namun dalam tulisan ini, definisi terorisme yang secara spesifik digunakan adalah
menurut Golose (2014), yaitu setiap tindakan yang melawan hukum dengan cara
menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan,
baik yang diorganisir maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan
fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai
tindak kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity).
Kemudian, pemahaman terkait implementasi dari kompensasi dan restitusi,
penulis rasa perlu untuk dijabarkan lebih dalam. Implementasi erat kaitannya dengan
proses atau siklus dari suatu kebijakan publik. Konsep kebijakan publik mengacu pada
aksi dari pemerintah dan intensi yang menentukan aksi tersebut. Pembuatan kebijakan
dilakukan dengan memilih antara tujuan dari kebijakan, alternatifnya, dan juga intensi
dari pembuatan kebijakan tersebut. Kebijakan publik juga diartikan sebagai sebuah
tindakan yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau pejabat untuk menyelesaikan
masalah yang menjadi perhatian publik.
Karena kebijakan publik ini dilakukan dengan sengaja, yaitu, sebuah upaya untuk
mencapai tujuan tertentu, maka sebuah kebijakan publik bisa dikelompokkan
berdasarkan tujuannya. Jika dilihat dari makna konsep kebijakan publik, maka dapat
juga dijelaskan mengenai konsep kebijakan kriminal, yaitu sebuah tindakan yang
dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah kriminal yang menjadi perhatian
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
8
Universitas Indonesia
publik. Artinya, kebijakan kriminal adalah sebuah kebijakan publik yang spesifik
mengarah ke isu kriminal dan juga dikelompokkan berdasarkan tujuannya, yaitu untuk
mereduksi kejahatan. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut harus
dituangkan dalam bentuk hukum, pernyataan publik, peraturan resmi, atau diterima
secara luas dan pola perilaku yang terlihat publik. Kebijakan publik berakar dalam
hukum dan dalam otoritas serta pemaksaan yang terkait dengan hukum. Jika dilihat
dari pengertian kebijakan publik dan kebijakan kriminal diatas, maka UU no. 15 tahun
2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme merupakan salah satu kebijakan
publik dan juga kebijakan kriminal.
Menurut Lester (2000), suatu kebijakan publik dalam prosesnya memiliki 6
tahapan. Titik awalnya adalah agenda setting, kemudian formulasi kebijakan,
implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan, perubahan kebijakan, dan terakhir
penghentian kebijakan hingga kembali ke titik awal siklus. Dalam siklus kebijakan
publik tersebut, proses implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai serangkaian
keputusan dan tindakan pemerintah yang diarahkan untuk menerapkan sebuah mandat
yang telah diputuskan. Artinya, dalam konteks implementasi kompensasi dan restitusi
UU no. 15 tahun 2003, proses implementasi kebijakan diartikan sebagai serangkaian
upaya pemerintah dalam bentuk keputusan maupun tindakan yang ditujukan untuk
melakukan pemberian kompensasi dan restitusi kepada korban.
Konsep berikutnya yang coba penulis jabarkan dalam tulisan ini adalah konsep
kompensasi dan restitusi. Konsep kompensasi dan restitusi memiliki makna yang
berbeda-beda di setiap negara. Biasanya, konsep ini dijelaskan pada sebuah peraturan
seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, terdapat
beberapa UU yang menjelaskan tentang definisi dari kompensasi dan restitusi. Namun
dalam tulisan ini, peneliti mencoba menyajikan konsep kompensasi menurut
viktimologi. Kompensasi menurut Dussich (2006) adalah prosedur administratif
formal yang diberikan oleh undang-undang yang memberikan sejumlah uang kepada
korban untuk kerugian yang tidak dikehendakinya secara langsung akibat viktimisasi
yang harus dibayar oleh negara setelah korban dinyatakan memenuhi syarat sesuai
dengan kriteria spesifik yang ditentukan oleh negara masing-masing atau hukum
federal. Kemudian, Dussich (2006) juga menjelaskan terkait dengan restitusi di
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
9
Universitas Indonesia
dalamnya. Menurutnya, restitusi adalah prosedur peradilan formal yang digunakan
oleh hakim setelah rasa bersalah ditentukan sebagai bagian dari hukuman yang dapat
memberikan uang dan/atau layanan kepada korban atas kerusakan atau penderitaan
yang diakibatkan oleh viktimisasi yang harus dibayar atau dilakukan oleh pelaku.
Kemudian, sebagai acuan dari landasan teori dalam tulisan ini, penulis
menggunakan sudut pandang viktimologi kritis. Viktimologi kritis yang digunakan
dalam tulisan ini didasari pada tulisan dari Sandra Walklate (2003) yang menjelaskan
tentang viktimologi sebagai bagian dari kriminologi. Viktimologi yang dianggap
sebagai sub-disiplin kriminologi mencakup tiga kelompok orang dan kepentingan
masing-masing. Lingkup ini telah menjadi subyek perdebatan dan analisis yang sering
terjadi yang telah mempertemukan para intelektual, aktivis dari banyak organisasi non-
pemerintah dan juga otoritas pembuat undang-undang, yang menghasilkan banyak
ketegangan dalam boiling pot ini dengan beragam kepentingan. Beberapa penulis telah
menjelaskan bahwa viktimologi adalah disiplin akademis dan ilmiah yang spesifik dan
terhormat, yang merupakan cabang baru dalam studi ilmiah tentang korban, yang dapat
dibedakan dengan spektrum transparan dan oleh metodologi penelitian yang
komprehensif dan interdisipliner. Istilah sederhana, seperti Šeparović dalam Kostic
(2010) menyatakan yaitu, "studi ilmiah tentang korban”. Moriarty (2003) dalam
bukunya menjelaskan, beberapa viktimolog masa kini lebih memusatkan fokus
kajiannya pada pemulihan korban atau segala sesuatu yang membuat korban kembali
menjadi “utuh” dengan tujuan mengembalikan korban kepada keadaan sebelum ia
menjadi korban dengan memperbaiki penderitaan fisik, emosional, dan keuangan
mereka.
Namun, terlepas dari tujuan utamanya untuk mempelajari kepribadian korban dan
tindakannya dalam interaksi korban-pelaku dalam mekanisme menjadi korban
kejahatan. Terlepas juga dari karakteristik fenomenologis dan etiologis kepribadian
korban dan prosesnya saat menjadi korban, adalah juga perlu mempelajari korban
kolektif dan abstrak, termasuk korban kolektif yang mengikuti pelanggaran norma-
norma Hukum Humaniter Internasional atau korban bentuk perilaku menyimpang
tertentu, seperti pelacuran atau penyalahgunaan narkoba.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
10
Universitas Indonesia
Beberapa viktimolog yang terkenal, seperti Andzenge dalam Karmen (2009)
misalnya, mendefinisikan viktimologi sebagai "persepsi", cara seseorang atau
sekelompok individu memandang dirinya sebagai korban, yang merupakan persepsi
subjektif yang secara signifikan mempengaruhi tingkat viktimisasi mereka. Meskipun
demikian, Andzenge dalam Karmen (2009) juga menekankan pentingnya persepsi
subjektif peserta lain dalam proses viktimisasi, yang juga memiliki dampak signifikan
dalam membentuk pengalaman dan perilaku korban. Jika dalam terorisme, partisipan
lain dapat berwujud pelaku teror.
Walklate (2003) dalam tulisan lainnya menjelaskan bahwa viktimologi memiliki
tiga perspektif berbeda dalam pembahasannya, yaitu viktimologi positivis, viktimologi
radikal, dan viktimologi kritis. Viktimologi kritis yang diambil menjadi landasan
dalam tulisan ini mengacu pada critical victimology atau viktimologi kritis dalam
tulisan Walklate (2003) dan yang dalam tulisannya menjelaskan bahwa viktimologi
kritis sebagai perspektif viktimologi yang mencoba melihat korban kejahatan dari tiga
kunci penting teoritis terkait dengan konsep kebijakan, yaitu: rights, citizenship, dan
state. Bentuk dari viktimologi kritis ini berpusat pada kebutuhan terhadap agenda
kebijakan yang diinformasikan secara empirik. Serta menurut Mawby dan Walklate
dalam Wilson (2009), viktimologi kritis adalah upaya untuk memahami konteks sosial
yang lebih luas di mana beberapa versi viktimologi terjalin dengan pertanyaan tentang
respon kebijakan dan pemberian layanan kepada korban kejahatan.
4. HAK KOMPENSASI DAN RESTITUSI KORBAN TERORISME
Sampai munculnya gerakan korban sekitar tahun 1970, kejahatan pada umumnya
dianalisis dari sudut pandang tersangka dan tindakannya. Gerakan hak korban
hanyalah salah satu alasan pergeseran fokus dari tersangka ke korban. Menurut
Kennedy dan Sacco dalam Dietrich (2008), pertumbuhan dan penyempitan metodologi
survei korban dan data yang dikumpulkan darinya, yang paling penting berkenaan
dengan karakteristik korban, memungkinkan "pengembangan penjelasan yang
menempatkan korban di pusat teoretis".
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
11
Universitas Indonesia
Ketidakpuasan beberapa ahli kriminologi yang merasa bahwa teori dan penelitian
sebelumnya tidak menghasilkan pemahaman yang lebih baik mengapa tingkat
kejahatan berfluktuasi adalah alasan lain mengapa kejahatan mulai dianalisis dari
perspektif korban. Dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Davis dan Mulford (2008)
dijelaskan tentang hak-hak korban kejahatan dan termasuk didalamnya terdapat
pembahasan tentang kompensasi dan restitusi. Pada dua dekade terakhir, legislasi
negara-negara telah memiliki perkembangan besar terhadap hak-hak korban kejahatan.
Korban kejahatan telah memiliki beberapa hak dalam hukum di berbagai negara mulai
dari hak untuk diberi tahu tentang persidangan di pengadilan, hak untuk hadir dan
mengungkapkan pendapat pada saat penghakiman, hak untuk berkonsultasi mengenai
kesepakatan pembelaan, hak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi, dan hak
untuk menjalani persidangan yang cepat. Namun, para peneliti dan auditor telah
menunjukkan bahwa banyak korban tidak diberi kesempatan untuk menggunakan hak
mereka.
Korban kejahatan dapat dikenai biaya medis yang terkait dengan trauma fisik,
trauma, perbaikan, dan penggantian biaya yang terkait dengan kejahatan properti, dan
biaya kesempatan pendapatan, diukur dalam pendapatan yang hilang. Secara teori,
korban dapat memulihkan biaya ini baik dari pelanggar yang diharuskan membayar
ganti rugi atau melalui kompensasi publik. Hampir semua negara memberi wewenang
kepada pejabat hukum untuk meminta restitusi dari pelanggar sebagai syarat
pembebasan bersyarat. Selain itu, pejabat di sebagian besar negara bagian memiliki
wewenang untuk memerintahkan pelanggar untuk membayar restitusi sebagai bagian
dari hukuman atau pembebasan pekerjaan yang ditangguhkan. Demikian juga,
program kompensasi korban publik di sebagian besar negara bagian didanai oleh biaya
atau biaya yang harus dibayar oleh pelaku.
Dalam praktiknya, sebagian kecil korban tampaknya menerima kompensasi atau
restitusi. Sebuah studi tahun 1991 di Amerika Serikat menemukan bahwa kurang dari
sepertiga korban kejahatan kekerasan didorong oleh pejabat peradilan pidana untuk
mengajukan kompensasi oleh McCormack dalam Mulford (2008). Survei Kilpatrick
dalam Mulford (2008) menemukan bahwa kurang dari 20% orang yang memenuhi
syarat untuk mendapatkan restitusi menerimanya. Selain itu, bertentangan dengan
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
12
Universitas Indonesia
harapan, hakim di negara-negara dengan perlindungan korban yang lebih kuat secara
signifikan cenderung tidak memerintahkan restitusi korban untuk kerugian ekonomi
daripada hakim dari negara-negara yang memiliki perlindungan hak korban yang lebih
lemah. Dalam literature Mulford (2008) selain pembahasan tentang kompensasi dan
restitusi yang menjadi hak dari korban kejahatan, beberapa hak lain dari korban
kejahatan dibawah hukum negara yaitu, pemberitahuan tentang persidangan, hak
partisipasi dan mendapat konsultasi, hak untuk mendapat perlindungan, hak mendapat
percepatan persidangan atau didahulukan dalam persidangan.
Salah satu kesimpulan paling sering dari penelitian empiris tentang hak korban
menurut Mulford (2008) adalah bahwa meskipun ruang telah menjadi lingkup undang-
undang federal dan negara bagian, sistem peradilan pidana tidak menghormati hak-
hak ini. Akibatnya, beberapa negara mulai mengembangkan kantor dinas korban
tingkat negara bagian yang berfungsi sebagai agen pengawasan untuk memantau
kepatuhan dan pusat rujukan dan keterkaitan dengan organisasi layanan korban. Pada
awal 1990-an, para pembuat kebijakan di Wisconsin menciptakan Pusat Sumber Daya
Viktim Wisconsin, sebuah badan yang berfungsi untuk menegakkan undang-undang
hak korban baru (Office for Victims of Crime, 1998). Namun, seperti yang diamati
Kilpatrick dan rekan-rekannya setelah survei 1998 mereka, bahkan di negara bagian
yang memiliki undang-undang hak korban yang kuat, banyak korban tidak diberi tahu
tentang pemeriksaan dan proses persidangan, banyak yang tidak diberi kesempatan
untuk didengar, dan hanya sedikit yang menerima restitusi. Meskipun korban di
negara-negara bagian ini pada umumnya bernasib lebih baik daripada di negara-negara
yang memiliki undang-undang hak korban yang lemah, sebanyak sepertiga korban di
negara-negara yang berproteksi kuat tidak diberi kesempatan untuk menjalankan hak-
hak tertentu.
Pemberian kompensasi kepada korban merupakan satu dari beberapa tujuan akhir
adanya advokasi terhadap korban kejahatan. Advokasi ini dapat dilakukan mengacu
pada legislasi yang mengatur tentang hal tersebut. Dalam tulisan ini, legislasi yang
menjadi dasar pemberian kompensasi pada korban tindak pidana terorisme adalah UU
no. 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Menurut Siegel (2010) dalam
bukunya menjelaskan bahwa sebagai hasil dari adanya sebuah legislasi tentang
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
13
Universitas Indonesia
kompensasi, korban kejahatan biasanya menerima kompensasi tersebut dari negara
sebagai bentuk penggantian atas kerugian yang diterima atas kaitannya dengan suatu
tindak kejahatan. Siegel (2010) dalam bukunya mengacu pada legislasi atau peraturan
yang ada di Amerika Serikat yang mengatur tentang kompensasi yang diberikan
negara pada korban kejahatan dan salah satu permasalahan yang dibahas yaitu
seringkali negara tidak memiliki sumber dana yang memadai atau memiliki instansi
yang tepat dalam proses pemberian kompensasi terhadap korban.
Kompensasi dapat berupa pembiayaan medis, penanggungan kehilangan
pendapatan, kehilangan pendapatan di masa yang akan datang dan berupa konseling.
Dalam konteks korban tewas, keluarga atau kerabat korban tersebut dapat menerima
penanggungan proses pemakaman dan bantuan atas kehilangan support. Di Amerika
Serikat, nilai dari kompensasi dapat berkisar antara 100 hingga 15.000 US dollar.
Terkadang dalam sebuah program pemerintah, terdapat bantuan darurat kepada korban
sampai kompensasi dapat diberikan. Bantuan darurat dapat berupa voucher makanan
atau penggantian resep obat. Jika di Inggris, dijelaskan dalam Greer (2007) bahwa
kompensasi diberikan negara melalui lembaga bernama Criminal Injuries
Compensation Schemes atau CICS. Di Inggris dan Wales, Doak (2008) dalam bukunya
menjelaskan bahwa pengadilan sejak tahun 1973 telah diberikan wewenang untuk
memberikan kompensasi atas sebuah kerugian, cidera personal akibat suatu tindak
kejahatan.
Dari sudut pandang negara, alasan rasional dibalik negara memberikan
kompensasi pada korban adalah menurut Goodey (2004) adalah karena 4 alasan yaitu
pertama alasan legal duty, dimana negara memberikan kompensasi karena
kegagalannya dalam mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, moral duty, dimana
negara memberikan kompensasi atas dasar kemanusiaan dan bentuk pendampingan
terhadap korban dengan dalih kesehjateraan masyarakat. Ketiga, loss distribution,
dimana negara memberikan kompensasi sebagai bentuk distribusi kerugian karena
korban merupakan bagian dari masyarakat dan merupakan pembayar pajak. Terakhir
yaitu, a benefit to state, dimana negara memberikan kompensasi kepada korban karena
alasan meningkatkan kredibilitas politik di mata masyarakat.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
14
Universitas Indonesia
Mengacu pada hukum internasional yang menjelaskan kompensasi dan restitusi
bagi korban terorisme yang dalam berbagai hukum internasional diatur secara umum
pada korban kejahatan. Kembali pada Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power A/RES /40/34 PBB pada 29 November 1985
dibahas pada poin ke 12 terkait kompensasi pada korban kejahatan yaitu:
“When compensation is not fully available from the offender or other
sources, States should endeavour to provide financial compensation to: (a)
Victims who have sustained significant bodily injury or impairment of
physical or mental health as a result of serious crimes;(b) The family, in
particular dependants of persons who have died or become physically or
mentally incapacitated as a result of such victimization.”
Terjemahan bebas poin 12: “Ketika pelaku kejahatan dan sumber daya
lainnya tidak dapat memberikan kompensasi, negara harus berusaha keras
untuk menyediakan kompensasi finansial kepada: (a) Korban yang
mengalami cidera pada tubuh sebagian baik sementara maupun permanen dan
kesehatan mental akibat adanya kejahatan yang serius; (b) Keluarga dari
orang yang telah tewas atau lumpuh secara fisik dan psikis akibat dari
viktimisasi yang dialami.”
Lalu pada poin 13:
“The establishment, strengthening and expansion of national funds for
compensation to victims should be encouraged. Where appropriate, other
funds may also be established for this purpose, including in those cases where
the State of which the victim is a national is not in a position to compensate
the victim for the harm.”
Terjemahan bebas poin 13: “Pembentukan, penguatan dan perluasan dana
nasional untuk kompensasi kepada korban harus didorong. Bila perlu, dana
lain juga dapat ditetapkan untuk tujuan ini, termasuk dalam kasus di mana
negara yang menjadi korbannya adalah warga negara tidak berada dalam
posisi untuk mengkompensasi korban atas kerugian tersebut.”
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
15
Universitas Indonesia
Kemudian, dalam Rome Statute of the International Criminal Court 17
Juli 1998 dokumen A/CONF.183/9 pada artikel 75 tentang Reparations to
Victims poin 1:
“The Court shall establish principles relating to reparation to, or in
respect of, victims, including restitution, compensation and rehabilitation.
On this basis, in it’s decision the Court may, either upon request or on its
own motion in exceptional circumstances, determine the scope and extent of
any damage, loss and injury to, or respect of, victims and will state the
principles on which it is acting…”
Lalu pada poin 2:
“The Court may make an order directly against convicted person
specifying appropriate reparations to, or in respect of, victims, including
restitution, compensation and rehabilitation…..”
Terjemahan bebas poin 1:
“Pengadilan harus menetapkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan
reparasi terhadap, atau sehubungan dengan, korban, termasuk restitusi,
kompensasi dan rehabilitasi. Atas dasar ini, dalam keputusannya pengadilan
dapat, baik atas permintaan atau atas mosi sendiri dalam keadaan luar biasa,
menentukan cakupan dan tingkat kerusakan, kerugian dan kerugian, atau
penghormatan, korban dan akan menyatakan asas-asas yang dengannya
bertindak….”
Terjemahan bebas poin 2:
“Pengadilan dapat membuat perintah langsung terhadap terpidana yang
menentukan reparasi yang sesuai dengan, atau sehubungan dengan, korban,
termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi…”
Jika melihat konteks Indonesia, legislasi yang mengatur tentang
pemberian kompensasi khususnya yang dapat dikaitkan dengan kompensasi
kepada korban tindak pidana terorisme yaitu PP No. 44 Tahun 2008 tentang
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
16
Universitas Indonesia
pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan terhadap Saksi dan Korban
dimana pada Pasal 1:
(4): Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena
pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang
menjadi tanggung jawabnya.
(5): Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
Pasal 20:
(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi
(2) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya dengan surat kuasa
khusus.
(3) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas
bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
Kemudian, legislasi lain yang mengatur tentang kompensasi dan restitutsi
berikutnya adalah PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM berat pada pasal 1
menjelaskan poin pengertian kompensasi dan restitusi yang sama dengan PP
No. 4 tahun 2008.
Kemudian UU no. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada
pasal 7:
(1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban
tindak pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 6, juga berhak atas kompensasi.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
17
Universitas Indonesia
(2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan Hak
Asasi Manusia melalui LPSK.
(3) Pelaksanaan pembayaran Kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Pemberian Kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang mengatur
mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.
Jika dilihat dari poin-poin dalam pasal 7 diatas, secara jelas digambarkan
bahwa kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme diberikan oleh LPSK
melalui anggarannya.
Terakhir, UU yang membahas secara spesifik tentang kompensasi korban
tindak pidana terorisme yaitu pada PP no. 1 tahun 2002 yang kemudian
ditetapkan sebagai UU no. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan tindak
Pidana Terorisme. Pada Bab VI dijelaskan pada pasal 36:
(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak
mendapatkan kompensasi atau restitusi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya
dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti
kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan
sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Kemudian pada pasal 38:
(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada
Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
18
Universitas Indonesia
(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada
pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Lalu pada pasal 39: Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam
puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
Terkait mekanisme pelaksanaan pemberian kompensasi kemudian
dijelaskan dalam UU yang sama pada pasal 40:
(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh
Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan
yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan
pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau
restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
korban atau ahli warisnya.
(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan
tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Lalu Pasal 41:
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi
kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut
kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera
memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk
melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
19
Universitas Indonesia
Serta pasal 42 yang menyatakan bahwa dalam hal pemberian kompensasi
dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan
pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada
pengadilan.
Poin-poin peraturan hukum tersebut merupakan serangkaian aturan yang
membahas tentang kompensasi dan restitusi. Aturan-aturan tersebut memiliki
kesamaan tentang kompensasi dan restitusi sebagai hak atau sesuatu yang harus
diberikan oleh negara sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Namun, yang
menjadi permasalahan adalah bahwa pada UU yang secara spesifik membahas
terorisme yakni UU no. 15 tahun 2003 menjelaskan bahwa pemberian kompensasi
dan restitusi di Indonesia diberikan oleh Kementerian Keuangan sedangkan pada
UU no. 31 tahun 2014 dijelaskan bahwa pemberian kompensasi dan restitusi
dibebankan kepada anggaran LPSK.
5. FASILITASI PEMBERIAN KOMPENSASI KORBAN TERORISME DI INDONESIA
Di Indonesia, lembaga yang menjadi lembaga terdepan dalam mengusung
perlindungan saksi dan korban yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah
lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak
lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31
tahun 2014 yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban tersebut. LPSK
bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi
dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini. Sebagaimana diatur dalam UU tersebut, telah disebutkan bahwa LPSK
memiliki kewajiban untuk menyusun laporan tahunan terkait perlindungan saksi dan
korban di Indonesia serta tentang berbagai bentuk permohonan masyarakat terhadap
LPSK terkait kebutuhan perlindungan dan pemenuhan hak.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
20
Universitas Indonesia
Berdasarkan laporan tahunan LPSK tahun 2016, terdapat 335 kasus permohonan
terkait dengan kompensasi dan restitusi secara keseluruhan hanya sejumlah 3
permohonan yang dijadikan putusan pengadilan setelah melalui proses fasilitasi. Jika
dikaitkan dengan korban terorisme, total sebanyak 16 permohonan terkait terorisme
pada tahun 2016 dan sebanyak 3 korban terorisme yang mengajukan kompensasi dan
restitusi. Kemudian, berdasarkan data yang didapat oleh penulis melalui permohonan
data Informasi Publik, didapat data bahwa dalam bahwa dalam 3 tahun terakhir saja
hingga tahun 2017 terdapat 12 korban terorisme yang mengajukan permohonan terkait
kompensasi dan restitusi dan tidak satupun yang mendapat hak kompensasi dan
restitusinya.
Namun, beberapa waktu lalu untuk pertama kalinya, dilansir dari laman
tribunnews.com (2017), pada kasus Bom Gereja di Samarinda, Majelis Hakim
membuat putusan terkait pemberian kompensasi dan restitusi sebesar Rp 237.871,152
dari yang semula diajukan sebesar Rp1.479.535,400. Hal ini merupakan gebrakan baru
yang pertama kali terjadi di Indonesia dan diharapkan LPSK dapat menjadi rujukan
bagi pengadilan terorisme kedepannya.
Kemudian, Mengacu pada UU no. 31 tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan
korban, LPSK telah ditetapkan sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan
kompensasi dan restitusi berdasarkan suatu putusan pengadilan dimana kompensasi
dan restitusi ini telah dianggarkan dalam Anggaran Bantuan, Kompensasi dan Restitusi
yang kemudian hanya berhasil didapat penulis dari laporan Institute of Criminal
Justice Reform dari tahun 2010 hingga 2013 dijelaskan melalui tabel sebagai berikut:
Tahun Jumlah (Rupiah)
2010 4.120.569.500
2011 2.890.543.000
2012 3.294.809.000
2013 2.852.680.000
Tabel 1.1 Anggaran Bantuan Kompensasi, Restitusi LPSK 2010-2013 (diolah oleh penulis)
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
21
Universitas Indonesia
Anggaran tersebut merupakan anggaran yang diberikan negara untuk LPSK
dalam pemberian kompensasi dan restitusi untuk korban secara keseluruhan, dimana
artinya dana tersebut adalah dana yang digunakan untuk pemberian kompensasi dan
restitusi bagi korban terorisme. Jika dilihat dari perkembangannya, besaran anggaran
LPSK pada tiap tahunnya hingga tahun 2013 mengalami fluktuasi. Namun, untuk
anggaran LPSK dari tahun 2014 hingga 2017 mengenai besaran jumlah yang
dianggarkan untuk bantuan kompensasi dan restitusi hingga saat ini tidak
dipublikasikan secara rinci. Berdasarkan UU no. 31 tahun 2014 juga dijelaskan bahwa
LPSK memiliki wewenang untuk memberikan bantuan berupa bantuan dana medis dan
bantuan psikososial.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
22
Universitas Indonesia
6. MEKANISME PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI DI INDONESIA
Gambar 1.2 Skema Pemberian Kompensasi dan Restitusi (diolah penulis)
Berdasarkan data yang didapat dari UU no. 31 tahun 2014 tentang perlindungan
saksi dan korban, dapat disimpulkan dalam bentuk sebuah siklus dan dapat dilihat
dalam gambar 1.2 diatas. Berdasarkan UU tersebut dan ditambah dengan yang diatur
pada Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dijelaskan bahwa pengajuan kompensasi dan restitusi yang ingin dilakukan
oleh korban terorisme dapat melalui LPSK dalam proses pengajuannya.
Diawali dengan proses pengajuan permohonan kepada LPSK yakni dalam bentuk
permohonan Fasilitasi Kompensasi dan Restitusi yang kemudian jika mengacu pada
Laporan Tahunan LPSK 2016 bahwa pengajuan permohonan kepada LPSK akan
dirapatkan terlebih dahulu dan dilihat terkait kesiapan berkasnya. Setelah dirapatkan
oleh LPSK dan kemudian disetujui untuk diregister dan difasilitasi oleh LPSK barulah
LPSK kemudian membantu proses fasilitasi kompensasi dan restitusi korban terorisme
LPSK(Fasilitasi
Permohonan)
Jaksa(membuattuntutan)
KorbanTerorisme
(MengajukanPermohonan)
LPSK(MengeluarkanKompensasidanRestitusi)
Jaksa(menjalankanputusan)
MajelisHakim
(membuatputusan)
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
23
Universitas Indonesia
dengan cara mengajukan permohonan kepada Jaksa Penuntut Umum yang ditugaskan
dalam pengadilan terkait kasus terorisme yang dialami oleh korban tersebut dan terkait
besaran jumlahnya ditentukan melalui rapat yang dilakukan LPSK selaku fasilitator
untuk menentukan besaran yang layak diterima oleh korban sebagai bentuk ganti rugi.
Kemudian peran implementasi pemberian kompensasi dan restitusi dilanjutkan
kepada Jaksa Penuntut Umum yang kemudian mencantumkan permohonan
kompensasi dan restitusi yang diajukan oleh LPSK kepada tuntutan yang diserahkan
kepada Hakim dalam Persidangan. Kemudian Hakim yang ditugaskan dalam
persidangan terorisme tersebut menentukan apakah tuntutan Jaksa Penuntut Umum
terkait dengan kompensasi dan restitusi yang diminta oleh korban terorisme melalui
LPSK sebagai fasilitator tersebut dikabulkan atau tidak. Setelah Hakim menyetujui
permohonan kompensasi dan restitusi yang diminta dan juga menyetujui terkait
besaran jumlah kompensasi dan restitusi yang diberikan kemudian Hakim memuat hal
tersebut didalam putusan pengadilan dan kemudian putusan pengadilan tersebut
dikembalikan ke Jaksa dan kemudian Jaksa memberikan putusan tersebut kepada
LPSK untuk dijadikan dasar pemberian kompensasi dan restitusi yang akan diberikan
melalui anggaran LPSK yang telah ditetapkan kepada korban yang mengajukan
tuntutan.
Namun, mekanisme pemberian kompensasi dan restitusi tersebut memiliki sedikit
perbedaan yang signifikan pada bagian terakhir dan diawal jika mengacu pada undang-
undang terorisme yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan UU no. 15 tahun 2003 pada
Bab VI, pemberian dana kompensasi diberikan melalui Kementerian Keuangan yang
tidak disebutkan secara jelas bagian dalam Kemenkeu yang memberikan kompensasi
dan restitusi bagi korban terorisme. Kemudian pada bagian awal yakni dimana melalui
UU tersebut tidak mencantumkan lembaga yang berwenang untuk memfasilitasi
pengajuan kompensasi dan restitusi korban sehingga korban harus mengajukan sendiri
didalam persidangan kasus terorisme.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
24
Universitas Indonesia
7. HAMBATAN DALAM PEMBERIAN KOMPENSASI DAN RESTITUSI
Setelah memahami bagaimana ekspektasi atau mekanisme dari pemberian
kompensasi dan restitusi kepada korban terorisme di atas, maka penulis merasa perlu
menyajikan beberapa hambatan yang dapat ditemui ketika proses implementasi
pemberian kompensasi dan restitusi tersebut. Hambatan pertama berasal dari sisi
korban. Berdasarkan data yang dimiliki LPSK tersebut hanya terdapat 16 permohonan
pada tahun 2016 terkait terorisme. Hal ini berbanding cukup jauh dibandingkan dengan
tindak pidana lain dimana tindak pidana terorisme merupakan yang hampir menjadi
yang paling sedikit dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan data LPSK tahun
2016, Terdapat 796 kasus pelanggaran HAM, diurutan kedua yaitu kasus pidana umum
sebanyak 564 Permohonan, kemudian kasus perdagangan orang sebanyak 140 kasus,
lalu kasus korupsi sebanyak 109 permohonan, kasus kekerasan seksual terhadap anak
sebanyak 66 permohonan, kasus penyiksaan sebanyak 28 kasus, dan kasus terorisme
hanya unggul dari kasus narkotika sebanyak 6 kasus.
Selain hambatan karena minimnya pemohon, kemudian hambatan dapat terjadi di
tingkat LPSK. Hambatan yang dapat memberikan dampak cukup signifikan terhadap
jumlah permohonan adalah proses merapatkan dan merundingkan kasus-kasus yang
akan diregister dan yang ditolak karena alasan tertentu. Berdasarkan data, terdapat
sebanyak 660 kasus yang ditolak karena satu dan lain hal atas pertimbangan LPSK dan
hal ini dapat menyebabkan permohonan terkait korban terorisme dapat terhenti pada
proses rapat internal LPSK. Hal ini menunjukkan bahwa LPSK sebagai lembaga yang
seharusnya berada pada sisi korban untuk memfasilitasi korban menuntut haknya
seolah hanya memfasilitasi korban yang diinginkan LPSK tanpa indikator yang
bahkan tidak diketahui oleh korbannya. Dalam rangkaian pemberian kompensasi dan
restitusi bagi korban terorisme, hal ini menunjukkan LPSK menjadi bagian dari
pemerintah yang membatasi korban terorisme untuk mendapatkan haknya.
Hambatan selanjutnya ditemukan dalam tingkat Jaksa Penuntut Umum dan
Hakim dalam persidangan. Berdasarkan Laporan Tahunan 2016, LPSK tersebut pada
kasus terakhir di 2016 yakni pada kasus Bom Thamrin, pada persidangan terhadap
terdakwa Fahrudin pada 1 November 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, LPSK
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
25
Universitas Indonesia
mencoba memfasilitasi 9 orang korban kasus tersebut dengan permohonan sejumlah
1,3 Milyar Rupiah secara total dan hal tersebut sudah dibaca oleh Jaksa Penuntut
Umum yang bersangkutan. Namun, meskipun permohonan tersebut dibacakan oleh
jaksa, jaksa tersebut tidak mencantumkan permohonan tersebut kedalam tuntutan
kepada hakim sehingga oleh majelis hakim tidak dimasukkan ke dalam putusan
pengadilan. Mengenai hal ini, LPSK sempat mengirimkan surat kepada Kejaksaan
Agung terkait hal ini. Hal-hal seperti ini yang dapat menghambat proses pengajuan
kompensasi dan restitusi di tingkat Jaksa dan Hakim. Proses peradilan dilihat
menghambat pemberian hak dari korban terorisme yang membuat korban tidak
mendapatkan apa yang menjadi haknya dimana hal ini juga menjadi sebuah viktimisasi
yang dilakukan oleh negara.
Saat putusan hakim diberikan kembali ke jaksa dan kemudian diserahkan lagi
kepada LPSK untuk memberikan kompensasi dan restitusi yang ditentukan, hambatan
yang dapat terjadi adalah terbatasnya anggaran yang dimiliki LPSK dan minimnya
anggaran LPSK yang dialokasikan untuk dimasukan ke dalam anggaran bantuan
kompensasi dan restitusi. Institute of Criminal Justice Reform dalam laporannya
mengkritisi terkait minimnya alokasi anggaran yang diberikan negara terhadap LPSK.
Karena berdasarkan data anggaran LPSK, hanya sekitar 7% yang dialokasikan khusus
untuk anggaran perlindungan serta anggaran bantuan kompensasi dan restitusi. Jika
dikaitkan dengan satu-satunya kasus yang berhasil mendapatkan putusan untuk
mendapat kompensasi dan restitusi maka besaran jumlah kompensasi dan restitusi
yang menjadi putusan sudah mengambil sekitar 10% dari keseluruhan anggaran dan
bahkan anggaran tersebut tidak hanya diperuntukan untuk korban terorisme saja.
Dalam tulisan ini, penulis tidak mencoba menjelaskan bahwa hal-hal tersebut
yang menyebabkan terhambatnya pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban
terorisme. Namun, hal tersebut dapat menjadi satu dari sekian pemicu yang membuat
pengimplementasian pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban terorisme di
Indonesia tidak sesuai dengan hak yang dimiliki para korban.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
26
Universitas Indonesia
8. ANALISIS VIKTIMOLOGI KRITIS
Kajian tentang korban kejahatan dalam perspektif kriminologi dibahas dalam
lingkup yang lebih spesifik yaitu viktimologi. Sebelum membahas tentang viktimologi
perlu juga dipahami tentang ilmu yang mendasari kajian ini, yaitu kriminologi yang
menurut Bonger dalam Santoso (2001) yakni sebagai ilmu pengetahuan yang
bertujuan untuk menyelidiki kejahatan seluas-luasnya, atau menurut Walklate (2005)
menjelaskan secara sederhana bahwa kriminologi merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari kejahatan secara spesifik dan viktimologi sebagai bagian yang erat
didalamnya.
Walklate (2005) menyatakan bahwa viktimologi adalah studi ilmiah tentang
kerugian fisik, emosional, dan finansial yang dialami seseorang karena aktivitas ilegal.
Karmen (2009) dalam bukunya yang membahas tentang viktimologi menjelaskan
bahwa definisi korban secara umum mengacu pada seseorang atau sekelompok orang
yang menderita cidera, kerugian, atau kesulitan dalam hal apapun. Seseorang dapat
menjadi korban kecelakaan, bencana alam, penyakit, atau permasalahan sosial seperti
peperangan, diskriminasi, dan ketidakadilan lainnya.
Karmen menambahkan bahwa korban kejahatan merupakan pihak yang dirugikan
atas suatu tindakan ilegal. Dalam konteks kejahatan, tindakan ilegal yang dimaksud
adalah dalam bentuk tindak pidana. Kasus tindak pidana yang menciptakan korban
kejahatan dalam beberapa kasus tidak ditujukan pada target perorangan atau kelompok
tertentu. Misalnya dalam kasus terorisme, jumlah korban yang berjatuhan dalam
sebuah aksi ledakan bom oleh teroris biasanya berjumlah lebih dari satu orang dan
tidak menuju pada target tertentu, melainkan secara acak sehingga seringkali terdapat
kesulitan dalam melakukan identifikasi jumlah korban dalam kasus terorisme.
Dalam tulisan ini akan mencoba menganalisis pemberian kompensasi dan restitusi
yang merupakan hak korban terorisme melalui sudut pandang viktimologi kritis.
Pemahaman mengenai hubungan antara warga negara dengan negara dapat didasarkan
pada adanya perbedaan asumsi. Dalam konteks viktimologi kritis, menurut analisis
dari Barbelet dalam Walklate (2003) menunjukkan bahwa hubungan antara warga
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
27
Universitas Indonesia
negara dengan negara tidak mudah. Maksudnya adalah negara seringkali pada
akhirnya meghibahkan atau menolak hak bagi warga negaranya.
Menurut Offe dan Ronge dalam Walklate (2003), kontradiksi antara kesehjateraan
dengan kapitalisme negara telah meningkat menjadi semakin parah, stabilitas negara
hanya dapat dipertahankan dengan menciptakan legal dan didasari pada persoalan
ekonomi yang terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari anggaran Bantuan Kompensasi dan
Restitusi milik LPSK yang cenderung menurun. Viktimologi kritis adalah bahasan
dalam viktimologi yang berfokus dalam memahami mekanisme apa yang mematenkan
kebijakan, keadaan ekonomi dengan tujuan untuk memahami kolektivitas dengan hak.
Tulisan ini mencoba melihat implementasi pemberian kompensasi dan restitusi
tersebut sebagai hubungan antara state atau yang diartikan sebagai pemerintah yang
dalam konteks kompensasi dan restitusi dikaitkan dengan seluruh elemen
pemerintahan terkait, dengan keadaan ekonomi negara tersebut dan kaitannya dengan
hak-hak warga negara yang dalam hal ini merupakan warga negara yang menjadi
korban terorisme.
Fokus dari viktimologi kritis yaitu untuk menantang penggunaan konsep korban
dan lingkungan dimana konsep tersebut dapat diaplikasikan. Dimana makna critical
yang dimaksud oleh Walklate (2003) yaitu mempertanyakan secara kritis tentang
bagaimana pelabelan korban ditentukan oleh siapa yang memiliki kekuasaan untuk
menerapkan label tersebut. Atau dalam tulisan ini jika dilihat dari pandangan
viktimologi kritis maka seseorang dapat dikatakan sebagai korban terorisme dan
berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi jika negara sebagai sang pemilik
kekuasaan telah memberikannya label sebagai korban. Pelabelan korban ini dilakukan
negara melalui undang-undangnya yang menjadi alat atau media negara dalam
mendefinisikan dan menerapkan label “korban”.
Jika dikaitkan dengan data yang ada, ketiga konsep yang dijabarkan oleh
viktimologi kritis berbanding lurus dengan realita yang ada. Viktimologi kritis
mencoba memberikan penggambaran antara hubungan state, rights dan citizenship
dalam menjelaskan suatu fenomena korban. Viktimologi kritis menurut Walklate
(2003) melihat munculnya korban disebabkan adanya kesalahan interpretasi yang
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
28
Universitas Indonesia
membuat terjadinya suatu viktimisasi oleh negara kepada warga negaranya atau
rakyatnya. Jika dikaitkan dari konsep rights atau hak, korban terorisme menurut warga
dunia yang dituangkan dalam Rome Statute of the International Criminal Court 17 Juli
1998 dokumen A/CONF.183/9 pada artikel 75 tentang Reparations to Victims dan
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power
A/RES /40/34 PBB pada 29 November 1985, dinyatakan bahwa korban kejahatan
apapun (termasuk kejahatan terorisme) memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi
dan restitusi yang diberikan oleh pelaku yang berkaitan atau jika pelaku tidak
menyanggupi karena alasan tertentu, maka negara atau pemerintah yang wajib untuk
memberikannya pada korban. Konsep hak ini kemudian menurut paradigm
viktimologi kritis disalahartikan oleh state atau negara (dalam konteks pemerintah)
yang kemudian misinterpretasi tersebut ditunjukkan dengan adanya perbedaan poin
dalam penerapan hak korban sebagai warga dunia dan sebagai Warga Negara
Indonesia. Jika dilihat dari aturan yang ada di Indonesia terkait pemberian kompensasi
dan restitusi, di Indonesia memiliki kesamaan dengan UU no. 31 tahun 2014 tentang
lembaga perlindungan saksi dan korban dan UU no. 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara lingkup dasar kompensasi namun
berbeda pada poin terakhir yang menyatakan “pemberian kompensasi dilakukan
melalui amar putusan pengadilan”.
Hal ini yang dilihat oleh paradigma viktimologi kritis sebagai kesalahan
interpretasi karena hal ini membuat proses implementasi dari pemberian kompensasi
dan restitusi yang menurut warga dunia sebagai sebuah hak yang tidak memiliki syarat
namun di Indonesia memiliki syarat yaitu melalui amar putusan pengadilan. Kemudian
kesalahan interpretasi ini membuat korban-korban terorisme di Indonesia tidak
mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai warga dunia karena secara yuridis
mereka adalah warga negara (citizen) Indonesia yang harus mengikuti aturan yang ada
di Indonesia.
Indonesia memang sebuah negara yang sudah berdaulat dan memiliki kekuasaan
untuk menciptakan undang-undangnya sendiri namun didalam membuat Undang-
undangnya pemerintah Indonesia harus mengikuti dasar-dasar internasional seperti
General Assembly PBB bahkan Statuta Roma dalam membuat kebijakan karena
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
29
Universitas Indonesia
Indonesia merupakan anggota dari persatuan negara-negara di dunia termasuk PBB itu
sendiri terkhusus sejak General Assembly PBB tahun 1985, Indonesia merupakan
salah satu negara yang telah menjadi anggota PBB.
9. KESIMPULAN
Dari penjabaran pada awal tulisan ini, yakni permasalahan terkait pemberian
kompensasi dan restitusi pada korban terorisme di Indonesia dapat disimpulkan bahwa
permasalahan yang ada memang merupakan suatu permasalahan yang nyata dimana
berdasarkan data yang ada, bahwa dari sekian banyak kasus terorisme di Indonesia
hanya satu kasus yang pernah membuat putusan pengadilan terkait pemberian
kompensasi dan restitusi pada korban terorisme. Banyak diantara yang lainnya para
korban tidak mendapat kompensasi dan restitusi sesuai haknya yang tercantum pada
Rome Statute of the International Criminal Court 17 Juli 1998 dokumen
A/CONF.183/9 pada artikel 75 tentang Reparations to Victims dan Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power A/RES /40/34
PBB pada 29 November 1985 dinyatakan bahwa korban kejahatan apapun (termasuk
kejahatan terorisme) memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi dan restitusi yang
diberikan oleh pelaku yang berkaitan atau jika pelaku tidak menyanggupi karena
alasan tertentu maka negara atau pemerintah yang wajib untuk memberikannya pada
korban.
Disisi lain, di Indonesia menerapkan peraturan yang memiliki sedikit perbedaan
pada poin “pemberian kompensasi diberikan melalui amar putusan pengadilan” jika
mengacu pada UU no. 13 tahun 2006 dan UU no. 15 tahun 2003. Hal ini seolah
menjadi polemik permasalahan hak kompensasi dan restitusi di Indonesia yang seakan
memiliki syarat dimana jika mengacu pada Deklarasi PBB dan Statuta Roma
kompensasi merupakan mutlak hak korban tanpa syarat apapun. Kemudian, setelah
dilihat melalui Paradigma Viktimologi Kritis oleh Walklate (2003), maka terdapat
penggambaran yang seirama dengan konsep yang dijelaskan Walklate (2003), yaitu
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
30
Universitas Indonesia
rights, state dan citizenship dimana ketiganya memiliki kaitannya dan dapat
memberikan gambaran dari sudut pandang viktimologi.
Kemudian, melalui paradigma viktimologi kritis tersebut dan berdasarkan data
dan fakta yang ada maka dapat disimpulkan bahwa negara telah melakukan viktimisasi
kepada korban terorisme yang merupakan warga negaranya. Hal ini kemudian dapat
dilihat sebagai sebuah viktimisasi struktural yang dilakukan oleh negara terhadap
warga negaranya melalui undang-undang yang berlaku di Indonesia sebagai instrumen
yang menunjukkan adanya perbedaan struktur sosial. Lalu, hal ini memiliki kaitan
dengan konsep viktimisasi sekunder dalam viktimologi yang dilihat karena adanya
viktimisasi untuk kedua kalinya (setelah menjadi korban terorisme) yaitu dari aparat
hukum dan sistem peradilan yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
31
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Davis, R. C. dan Lurigio, A. J. (2007). Victim of Crime: 3rd Edition. California: Sage
Publication hal 142
Doak, J. (2008). Victim’s Rights, Human Rights and Criminal Justice. Portland: Hart
Publishing
Fattah, E. A. (1991). Understanding criminal victimization: an introduction to theoretical
victimology. Canada: Prentice-Hall
Golose, P. (2014). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh
Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Goodey, J. (2004). Victims and Victimology: Research, Policy and Practice. Harlow:
Longman Criminology Series
Gosita, A. (2004). Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan). Jakarta ; PT.
Bhuana Ilmu Populer.
Greer, C. dan Davies, P. (2007). Victims, Crime and Society. London: Sage Publication
Karmen, A. (2009). Crime Victims: An Introduction to Victimology. Seventh Edition.
Wadsworth Cengage Learning. Hal 1-3
Letschert, R., Staiger, I., dan Pemberton, A. (2010). Assisting Victim of Terrorism:
Towards European Standard of Justice. Leuven Institute of Criminology: Belgium
Lester, J., Stewart J., dan Hedge, D. (2000). Public Policy: an Evolutionary Approach,
Third edition. Thomson Wadsworth Publication.
Mawby, R. I. dan Walklate, S. (1994). Critical Victimology: International Perspectives.
London: Sage Publication
Moriarty, L. J. (2008). Controversies Victimology 2nd Edition. Virginia: Virginia
Commonwealth University
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
32
Universitas Indonesia
Reichel, P. L. dan Albanese, J. (2014). Handbook of Transnational Crime and Justice
Second Edition. London: Sage Publication
Santoso, T. dan Zulfa, E. A. (2001). Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 7
Siegel, L. J. (2010). Criminology: Theories, Patterns, and Typologies, Tenth Edition.
Massachusettes: University of Massachusetts.
Walklate, S. (2003). Understanding Criminology: Current Theoretical Debate. Open
University Press.
Walklate, S. (2005). Criminology: The Basics. New York: Taylor and Franciss Group.
hal 2
Walklate, S. (2007). Imagining the Victim of Crime. Berkshire: Open University Press.
Wilson, J.K. (2009). The Praeger Handbook of Victimology. United States of America:
Praeger.
Wolhuter, L., Olley, N., dan Denham, D. (2009) .Victimology: Victimisasion and
Victim’s Rights. New York: Routledge-Cavendish. Chapter 7.
Jurnal Ilmiah
Albert, J.W. The Secondary Victimization of Crime Victims: The Impact of Seeking
Justice System, diakses melalui laman https://justiceclearinghouse.com/wp-
content/uploads/2016/03/Secondary-Victimization.pdf
Andari, A.J. (2011). “Analisis Viktimisasi Struktural terhadap Tiga Korban Perdagangan
Perempuan dan Anak Perempuan”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 7, No. 3.
Conte. A. (2010). Human Rights in the Prevention and Punishment of Terrorism, New
York: Springer, hal 7
Romani, C. F. (2012). “International Categories of Victims”, International Law of
Victims, pp. 39-61. Springer.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
33
Universitas Indonesia
Davis C. dan Mulford, C. (2008). “Victim Rights and New Remedies: Finally Getting
Victims Their Due”. Journal of Contemporary Criminal Justice Vol. 24 No. 2. Sage
publication.
Dietrich, H. L. (2008). Victimology: An Emphasis on the Lifestyle-Exposure Theory and
the Victim Precipitation Theory as it Applies to Violent Crime.
Dussich, J. P. (2006). Victimology–past, present and future. In 131st International Senior
Seminar.
Eddyono, S. W. (2016). Memastikan Pemenuhan Hak Atas Reparasi Korban Pelanggaran
HAM Berat. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform. Hal 34
Kostic, M. (2010). Victimology: A Contemporary Theoretical Approach to Crime and its
Victim. Law and Politics Vol. 8. No. 1 pp 65-78.
Matuzits, J. (2012). Terrorism and Communication: What is terrorism?. Sage
Publication.
Rapoport, D. C. (1977). “The Government Is Up in the Air over Combating Terrorism”.
National Journal, 9, pp. 1853–1856.
Zeoli, M. A., Echo, R., dan Chris, S. (2012). Secondary Victimization of Abused Mothers
by Family Court Mediators. Volume 7. Michigan State University: Sage Publication
Media Online
Budiman, A. “LPSK: Kompensasi bagi para korban terorisme tak maksimal” diakses
pada 3 Oktober 2017 pukul 00.53 melalui
https://nasional.tempo.co/read/860919/lpsk-kompensasi-bagi-para-korban-
terorisme-tak-maksimal
Amriyono. (2017). “Kompensasi Korban Terorisme Samarinda Dikabulkan, LPSK Minta
Putusan Ini Jadi Rujukan” diakses melalui laman
http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/25/kompensasi-korban-terorisme-
samarinda-dikabulkan-lpsk-minta-putusan-ini-jadi-rujukan
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
34
Universitas Indonesia
Rappler. (2016). “Daftar aksi dan rencana teror di Indonesia sepanjang 2016”. Diakses
melalui http://www.rappler.com/indonesia/data-dan-fakta/156900-daftar-aksi-
rencana-teror-indonesia-2016 pada 18 Juli 2017
Undang-Undang dan Peraturan
Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power
A/RES /40/34 PBB pada 29 November 1985
PP No. 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan terhadap
Saksi dan Korban
PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap korban
pelanggaran HAM berat
Rome Statute of the International Criminal Court 17 Juli 1998 dokumen A/CONF.183/9
pada artikel 75 tentang Reparations to Victims
Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
Undang-Undang no. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Negara
Republik Indonesia No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban
Data Instansi
Institute for Economic and Piece. (2016). Global Terrorism Index 2016. Diakses melalui
laman http://economicsandpeace.org/wp-content/uploads/2016/11/Global-
Terrorism-Index-2016.2.pdf
Laporan Keuangan Kementerian Keuangan 2012-2016 diakses melalui www.
kemenkeu.go.id
Laporan Tahunan LPSK 2016
Laporan Informasi Publik atas permohonan data LPSK terkait Jumlah Korban Terorisme
yang mengajukan Kompensasi dan Restitusi
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
35
Universitas Indonesia
Skripsi, Tesis dan Disertasi
Munir, A. (2013). Viktimisasi Struktural terhadap Buruh Melalui Sistem Outsourcing
(Studi Kasus Buruh Outsourcing PT X , yang Dipekerjakan pada PT Y Di Kabupaten
Serang. Tesis Program Sarjana Kriminologi Universitas Indonesia, Depok.
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
36
Universitas Indonesia
Lampiran: Laporan Tahunan LPSK 2016
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
37
Universitas Indonesia
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017
38
Universitas Indonesia
Laporan informasi Publik atas Permohonan Data
Analisis viktimologi kritis..., Raihan Yusuf, FISIP, 2017