War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS -...

50
Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 1 WAR ON TERRORISM DAN RUNTUHNYA HEGEMONI AS: Suatu Analisis Gramscian atas Tatanan Dunia Kontemporer Oleh: Shohib Masykur Yogyakarta, Februari 2008 Tulisan ini saya buat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dalam studi saya di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, menjelang akhir 2007 hingga awal 2008. Setelah mengedit redaksionalnya di beberapa bagian, saya memutuskan untuk mengunggah skripsi ini ke blog pribadi saya karena beberapa alasan, antara lain demi keamanan penyimpanan sekaligus untuk berbagi dengan mereka yang bersedia membacanya.

Transcript of War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS -...

Page 1: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 1

WAR ON TERRORISM DAN RUNTUHNYA HEGEMONI AS:

Suatu Analisis Gramscian atas Tatanan Dunia Kontemporer

Oleh: Shohib Masykur

Yogyakarta, Februari 2008

Tulisan ini saya buat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik dalam studi saya di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, menjelang akhir 2007 hingga awal 2008. Setelah mengedit redaksionalnya di beberapa bagian, saya memutuskan untuk mengunggah skripsi ini ke blog pribadi saya karena beberapa alasan, antara lain demi keamanan penyimpanan sekaligus untuk berbagi dengan mereka yang bersedia membacanya.

Page 2: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 2

Suatu Pengantar

Dalam kondisi mendesak, manusia sering kali menunjukkan kemampuannya yang di kala biasa sulit bahkan untuk sekedar dibayangkan kemunculannya. Sudah lama saya berkenalan dengan pameo tersebut dari berbagai buku yang pernah saya baca, terutama buku-buku novel klasik kegemaran saya. Namun belum lama ini saya baru benar-benar menyelami maknanya. Itu terjadi ketika saya diharuskan untuk segera menentukan tema apa yang akan saya ambil sebagai tugas akhir kuliah saya di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM. Himpitan yang menindih saya kala itu seolah-olah merupakan cemeti yang mendera saya untuk segera menentukan satu pilihan bahasan di antara sekian banyak tema yang sempat terbersit dalam benak saya. Akhirnya, hanya dalam tempo dua jam, saya putuskan mengambil tema tertentu sekaligus mengerjakan penggarapan pengajuan judulnya. Jadilah tema terorisme dan hegemoni sebagaimana yang sekarang tersaji dalam naskah sederhana ini.

Kajian pemikiran tokoh barang kali bukan termasuk bahasan yang umum dalam karya-karya skripsi di jurusan HI. Hal ini bisa dimaklumi mengingat di antara sekian banyak mata kuliah yang ditawarkan, hanya sedikit di antaranya yang secara khusus mengelaborasi pemikiran tokoh tertentu. Beberapa yang sedikit itu bisa disebutkan di antaranya adalah Teori-teori Sosialisme (waktu saya mengambil mata kuliah ini pengampunya adalah mas Eric) dan Teori Politik Internasional (dengan dosen pengampu Pak Muhadi, kebetulan juga merupakan pembimbing skripsi saya). Beruntung saya mengambil keduanya.

Meski demikian, ketertarikan saya kepada sosok Gramsci bukan berasal dari kedua mata kuliah tersebut. Ketertarikan saya lebih bersifat insidental berkat perjumpaan saya berkali-kali dengan pemikiran Gramsci di berbagai kajian yang pernah saya sapa, semisal kajian jender, pembangunan, politik internasional dan kajian budaya (cultural studies). Saya mendapati bahwa pemikiran Gramsci, khususnya tentang hegemoni, memberi warna dalam berbagai kajian intelektual di banyak bidang studi. Secara lebih spesifik, keputusan saya untuk mengambil tema hegemoni AS dengan perspektif Gramscian bersifat agak kebetulan, yakni ketika saya membaca buku yang disunting oleh Vedi R. Hadiz (2006) berjudul Empire and Neoliberalism in Asia.

Dalam buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut saya menemukan satu tulisan dari

Goran Therborn yang berjudul The Pole and the Triangle: US Power and the Triangle of the Americas, Asia and Europe. Di akhir tulisannya, Therborn mengemukakan satu pernyataan yang menjadi pijakan saya untuk mengembangkan skripsi saya. “For all its attractive popular culture and opulent lifestyle, the USA is not politically hegemonic in the contemporary world. It is force and fear than admiration and respect that sustain its power,” demikian tulisnya (Hadiz, 2006: 36). Secara implisit pernyataan Therborn tersebut sudah menggunakan perspektif Gramscian dalam memandang hegemoni. Yang saya lakukan dalam skripsi saya adalah mengelaborasi lebih jauh pernyataan tersebut dengan mencari runutan sebab akibat, rangkaian kronologi historis, dan elaborasi teoritisnya sehingga dapat memberikan konteks bagi pernyataan yang disampaikan oleh Therborn tersebut.

Page 3: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 3

Sebagai manifestasi paling utama dari kebijakan luar negeri AS, war on terrorism merupakan isu yang sangat penting dan menarik. Jangkauannya yang mengglobal dan keseriusan para aktor yang terlibat di dalamnya kiranya tidak kalah dengan Perang Dingin yang selama 45 tahun menjadi aspek paling menentukan yang membentuk konstelasi kekuatan politik global. Karenanya, bisa dimaklumi jika isu tersebut menjadi pintu masuk bagi saya untuk menuju kepada pembahasan tentang hegemoni AS dan tatanan dunia kontemporer. Secara agak berlebihan mungkin kita bisa simplifikasikan sebagai berikut: war on terrorism = kebijakan luar negeri AS. Itu artinya, war on terrorism yang sekarang bersifat global itu sangat ditentukan oleh AS, dan seluruh kebijakan luar negeri AS berada dalam kerangka war on terrorism.

Dalam sebuah diskusi yang berlangsung di Lafadl Initiatives, sebuah diskusi yang secara khusus diselenggarakan untuk mengapresiasi skripsi sederhana saya ini, muncul pertanyaan dari seorang teman. “Kamu berbicara soal Amerika. Amerika yang mana yang kamu maksudkan? Apakah Amerika adalah sebuah ketegori yang tunggal?” Begitu saya disodori pertanyaan tersebut, segera saya sadar bahwa dalam banyak hal saya masih terjebak pada tradisi realisme yang mengasumsikan negara sebagai aktor politik tunggal yang memiliki pertimbangan rasional di setiap aksi politiknya. Secara jujur saya harus akui ini karena pada kenyataannya saya tidak terlalu ambil pusing dengan subjek yang bernama Amerika Serikat. Meskipun saya menyadari bahwa terdapat banyak sekali kepentingan yang saling berebut di balik kategori “AS” (semisal korporasi, masyarakat sipil, rakyat, pemerintahan, dll),

namun demi kemudahan terpaksa saya harus mengabaikan mereka semua dan melabeli AS hanya sebagai satu aktor tunggal.

Pada akhirnya, ibarat sebuah hidangan, kewajiban saya sebagai koki hanyalah sekedar memasak dan menyajikan. Adapun penilaian dan keputusan untuk memanfaatkannya tergantung kepada khalayak sebagai penikmat masakan. Dengan kata lain, keputusan berada di tangan Anda para pembaca yang budiman. Selamat membaca.

Page 4: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 4

Daftar Isi Suatu Pengantar ......................................................................................................................... 2 Daftar Isi ..................................................................................................................................... 4 Bab I Terorisme dan Hegemoni: Membaca Tatanan Dunia Kontemporer dengan Analisis Gramscian ............................................................................................... 5 Teori Hegemoni Gramsci ......................................................................................................... 8 HI dan Tatanan Dunia Kontemporer dalam Perspektif Gramscian ..................................... 12 Bab II Pax-Americana: Dari Konsolidasi Hegemoni hingga Krisis ............................... 15 Tatanan Dunia Pasca-Perang dan Hegemoni AS .......................................................................... 15 Krisis Hegemoni dan Rekonstruksinya: Menuju Tatanan Neoliberal .................................. 21 Bab III Runtuhnya Hegemoni: Neoliberalisme dan War on Terrorism . . . . . . . . . . . . . . 27 Terorisme sebagai Refleksi Runtuhnya Hegemoni .................................................................. 27 Kegagalan Neoliberalisme dan Munculnya Terorisme ................................................................ 28 Neoliberalisme, Militerisme, dan Empire ...................................................................................................32 Neoliberalisme, Terorisme, dan Pengarusutamaan Paksaan ................................................... 37 Bab IV Kesimpulan ......................................................................................................................... 42 Daftar Bacaan ..................................................................................................................... 44

Page 5: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 5

BAB I TERORISME DAN HEGEMONI:

Membaca Tatanan Dunia Kontemporer dengan Analisis Gramscian

Permulaan abad dua puluh satu diwarnai dengan fenomena politik dunia yang amat penting dan menentukan. Satu dasawarsa setelah berakhirnya Perang Dingin, muncul perang baru yang tidak kalah kerasnya dengan Perang Dingin: yakni perang melawan terorisme (war on terrorism). Meski terorisme bukanlah fenomena baru, namun pemaknaan atasnya menemukan kebaruannya pada awal abad dua satu setelah terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan seluruh planet pada 11 September 2001 di Amerika Serikat: runtuhnya gedung WTC dan Pentagon akibat serangan menggunakan pesawat yang dilakukan oleh teroris.1

Segera setelah terjadi tragedi yang kemudian dikenal dengan sebutan Nine-eleven tersebut, dunia disibukkan dengan perang baru yang diberi tajuk “Perang Global Melawan Terorisme” (Global War on Terrorism/GWOT) dengan Amerika Serikat sebagai motor penggeraknya. Sebagai sasaran, AS mengidentifikasi beberapa musuh: negara busuk (rogue states), senjata pemusnah masal (weapon of mass destruction/WMD), organisasi teroris, dan terorisme itu sendiri (Record, 2003). Seperti serangan ke Pearl Harbor yang memicu keterlibatan AS di Perang Dunia II, serangan 11 September memicu AS untuk meluncurkan perang global melawan terorisme. Terorisme yang dulunya merupakan persoalan parsial masing-masing negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian dan keterlibatan semua negara.

Merujuk pada Buzan et.al (1998), kita bisa memaknai propaganda war on terrorism ini sebagai proses sekuritisasi, di mana aktor sekuritisasi (securitizing actor) melakukan speech act untuk mengarahkan pandangan umum agar memandang suatu persoalan sebagai ancaman terhadap keamanan. Suatu isu menjadi isu kemanan bukan (semata-mata) karena adanya ancaman eksistensial (existential threat) di dalamnya, melainkan lebih karena isu tersebut dihadirkan sebagai sebuah ancaman (presented as a threat). Cara pandang terhadap security semacam ini merupakan bagian dari tradisi kontstruktivisme. Dalam tradisi konstruktivisme, politik internasional tidak dipahami sebagai sesuatu yang given, melainkan constructed. Alexander Wendt, misalnya, mengemukakan bahwa “anarchy is what states make of it” (Zehfuss, 2002).

Kita bisa menyimak proses sekuritisasi ini misalnya dalam pidato yang disampaikan oleh

1 Kebaruan pemaknaan atas terorisme ini bisa kita amati jika kita menyimak Time Line of Terrorist yang disusun

oleh US Department of Defense. Dalam rentang waktu yang dibuat yang meliputi 1960-1969, 1970-1979, 1980-1989, 1990-1999, dan 2000-2006, terdapat pergeseran kecenderungan peristiwa terorisme. Sebagai misal, sebelum era 2000-2006, hampir semua kejadian yang dirujuk sebagai kegiatan teroris tidak terkait dengan Islam maupun Timur Tengah. Namun pada era 2000-20006, kecenderungan ini berbalik 180 derajat dan hampir semuanya terkait dengan Islam dan atau Timur Tengah (lihat di http://www.army.mil/terrorism/1989-1980/index.html).

Page 6: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 6

Presiden Bush di The National Cathedral pada tanggal 14 September 2001, “just three days removed from this events, American do not yet have the distance of history. But our responsibility to history is already clear: to answer these attacks and rid the world evil. War has been waged against us by stealth and deceit and murder. This nation is peaceful, but fierce when stirred to anger” (U.S. National Security Council, 2002: 5). Di bagian lain dia menyatakan, “our nation‟s cause has always been larger than our nation‟s defense. We fight, as we always fight, for a just peace—a peace that favours liberty”. Pernyataan- pernyataan senada semacam itu bisa dijumpai di dokumen National Security Strategy yang diterbitkan tahun 2002, dokumen keamanan pertama yang diluncurkan setelah peristiwa 11 September.

Sejak saat itu perang melawan terorisme menjadi wacana dominan di lingkungan Departemen Pertahanan AS. Selama tiga tahun antara Oktober 2002 dan Oktober 2005, para pejabat tinggi keamanan AS mengeluarkan 562 pernyataan terkait dengan kata “terror”. Hal itu berarti pernyataan resmi Dephan yang terkait dengan terorisme 36 persen lebih banyak dibanding pernyataan tentang transformasi militer yang menjadi agenda utama Donald Rumsfeld, dua puluh kali lebih banyak dibanding tema tentang senjata nuklir, 43 kali lebih banyak dibanding tema tentang proliferasi, dan 51 kali lebih banyak dibanding pertahanan misil balistik (Lustick, 2007).

Proses sekuritisasi itu membuat dunia di mata AS terpecah menjadi dua: teroris dan kontra-teroris. You are either with us or with terrorist, sebuah bionary opposition yang luar biasa diwacanakan oleh Presiden Bush: kita (yang damai) dan mereka (yang teroris). Pertempuran melawan terorisme kemudian diidentikkan dengan perjuangan menciptakan perdamaian. Yang tidak mendukung perjuangan melawan terorisme berarti anti-perdamaian. Dalam rangka menjalankan misi besar “menciptakan perdamaian dengan memusnahkan terorisme” ini, Amerika Serikat memposisikan dirinya sebagai the leader. Di samping fakta bahwa dalam tragedi 11 September AS menjadi sasaran, hal ini juga mengingat posisi AS sebagai kekuatan paling dominan dalam kancah politik internasional saat ini. “Today, the United States enjoys a position of unparalleled military strength and great economic and political influence (U.S. National Security Council, 2002: IV). Karenanya, “the United States, with its unique ability to build partnerships and project power, will lead the fight against terrorist organizations of global reach” (U.S. National Security Council, 2003: 2)

Ada dua poin yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, speech act yang dilakukan oleh Presiden Bush telah membentuk opini dunia tentang makna terorisme dan perdamaian. Itu artinya terorisme dan lawannya, perdamaian, merupakan sesuatu yang constructed dan invented. Pemaknaan atasnya dilakukan oleh aktor sekuritisasi. Yang mana yang teroris dan yang mana yang bukan teroris ditentukan oleh aktor sekuritisasi tersebut, yakni AS dan negara-negara sekutunya. Pada saat yang sama, terorisme mengalami penarasian. Kaum teroris dinarasikan sebagai the other yang benci perdamaian, pembuat onar, dan berbahaya. Adalah kewajiban “kita” (yang cinta damai) untuk memusnahkan “mereka” (yang merusak perdamian) demi terciptanya perdamaian. Penarasian ini penting dalam rangka melakukan propaganda global anti-terorisme (Hakim dan Mustafid, 2005). Hal ini mengingatkan kita

Page 7: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 7

terhadap Edward W. Said (2001; 2002) dengan Orientalisme-nya, yakni tentang bagaimana konstruksi Barat melalui kekuatan medianya telah menghadirkan “realitas” Timur di mata dunia. “There is no such thing as a delivered presence; there is only re-presence, or representation,” kata Said.

Dampak lebih jauh dari penarasian tersebut, yang membawa kita ke poin perhatian yang kedua, adalah bahwa perang melawan terorisme dianggap sebagai perang yang “lain dari pada yang lain”. Karenanya, cara menghadapinyapun harus “spesial”. “The struggle against global terrorism is different from any other war in our history. It will be fought on many fronts against a particularly elusive enemy over an extended period of time” (U.S. National Security Council, 2002: 5. Garis bawah dari penulis). Karena “mereka” bukan bagian dari “kita”, apapun cara yang “kita” lakukan adalah sah. Dari sini lah AS mencari basis legitimasi bagi doktrin pre-emptive strike-nya.

Implikasi lebih jauh dari “penghalalan segala cara” ini adalah sangat mungkinnya tindakan unilateralisme. Hal ini bisa dilihat antara lain dari lontaran Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri AS bahwa “while the United States will constantly strive to enlist the support of the international community, we will not hesitate to act alone, if necessary, to exercise our right of selfdefense by acting preemptively against such terrorists, to prevent them from doing harm against our people and our country” (U.S. National Security Council, 2002: 6).2 Ini telah dibuktikan dengan invasi AS ke Irak tanpa restu PBB. Hasilnya, seluruh dunia melihat. Alih-alih mendatangkan perdamaian, yang muncul justru konflik yang terus menerus yang mengakibatkan jatuhnya banyak sekali korban baik di pihak sipil maupun militer, baik di pihak AS maupun Irak.

Fenomena politik internasional tersebut, dari Serangan 11 September, kampanye GWOT AS, hingga invasi AS atas Irak, membawa kita pada diskusi tentang tatanan dunia dan hegemoni. Secara khusus penulis menggunakan terma “hegemoni” dalam pengertian Gramscian, hal yang akan penulis bahas di bab pertama. Berangkat dari asumsi bahwa AS merupakan hegemon dalam tatanan dunia, hal yang akan penulis elaborasi lebih jauh di bab selanjutnya, penulis bermaksud menunjukkan bahwa tatanan dunia kontemporer sekarang bukanlah sebuah kondisi hegemoni, dan AS saat ini tidak lagi menjadi hegemon. Terorisme dan perang melawan terorisme, dalam konteks ini, merupakan fenomena lanjutan sekaligus refleksi dari proses runtuhnya hegemoni AS. Poin terakhir ini akan menjadi pembahasan di bab tiga. Bab empat berisi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan.

2 Kontradiksi tampak ketika di bagian lain dari dokumen yang sama tertulis “We are also guided by the conviction

that no nation can build a safer, better world alone” (U.S. National Security Council, 2002: VI).

Page 8: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 8

Teori Hegemoni Gramsci

Bagian ini tidak berpretensi untuk menjelaskan secara urut dan komprehensif pemikian Gramsci mengingat sudah banyak penulis yang melakukannya. Bab ini hanya bertujuan untuk memberikan sketsa teoritis pemikiran Gramsci yang relevan dengan pembahasan mengenai hegemoni dan tatanan dunia.

Untuk memahami pemikiran Antoni Gramsci (1891-1937), kita harus menempatkannya pada posisi intelektual dan gerakannya, yakni tradisi Marxis. Sebagai salah seorang pemikir Marxis terpenting, teori politik Gramsci tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran Marxis yang mencurahkan perhatiannya pada revolusi. Semua pemikiran Gramsci diarahkan untuk satu tujuan, yakni menyediakan panduan bagi aksi-aksi revolusioner. Karenanya, teori hegemoni disebut sebagai philosophy of praxis (Femia, 1987: 11). Hal ini tidak lepas dari posisi Gramsci sendiri yang selain sebagai seorang pemikir/intelektual juga merupakan aktivis Partai Komunis Italia.

Persoalan utama yang mendasari pemikiran Gramsci mengenai hegemoni adalah mengapa begitu sulitnya revolusi untuk terjadi di Eropa Barat. Karl Marx telah meramalkan bahwa di negara-negara kapitalis, revolusi secara tak terelakkan akan terjadi dengan sendirinya, sealamiah bayi yang keluar dari kandungan ibunya. Sementara di Rusia yang nota bene merupakan negara dengan sistem kapitalisme yang kalah matang dibanding Eropa Barat revolusi telah berlangsung, mengapa justru di Italia yang kapitalismenya lebih maju revolusi tidak kunjung terjadi? Mengapa setiap percobaan revolusi di Eropa Barat dan Tengah selalu menemui kegagalan? Hal ini, simpul Gramsci, karena terdapat kekurangan teoritis dalam Marxisme Ortodox (Ismail, 2007: 3-4).

Menurut Gramsci, Marxisme ortodox dicirikan oleh apa yang disebutnya sebagai ”saintisme kasar” dan ”ekonomisme primitif”. Yang dimaksud sebagai “saintisme kasar” adalah keayakinan kukuh bahwa terdapat kontradiksi inhern dalam mode produksi

kapitalisme yang dapat dianalisis secara ilmiah, diprediksikan dan dikuantifikasikan. Sejarah manusia dipandang tidak lebih sebagai kelanjutan dari kasus sejarah alamiah yang tidak membutuhkan penejelasan spesifik. Otonomi individu sebagai agen sejarah tidak diakui karena manusia hanya dilihat semata-mata sebagai agen pasif yang tujuannya didominasi oleh reaksinya terhadap lingkungannya. Hal ini menghasilkan ciri yang kedua, yakni “ekonomisme primtif,” sebuah keyakinan bahwa keunggulan kekuatan ekonomi dan teknologi merupakan determinan perubahan sejarah. Elemen-elemen struktural semacam politik, ideologi, dan kebudayaan hanyalah merupakan epifenomena belaka dari elemen substruktur, yakni mode ekonomi produksi. Jadi, sejarah bisa direduksi hanya sebagai manifestasi dari mode produksi yang tunduk pada hukum-hukum yang tak terelakkan (Sugiono, 1999: 21-23).

Ortodoksi teoritis di satu sisi, dan impotensinya untuk menjelaskan realitas di Eropa Barat di sisi yang lain, membawa Gramsci pada gagasannya tentang hegemoni, dan sekaligus juga

Page 9: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 9

menandai keterputusannya dengan tradisi Marxisme Ortodox. Menurutnya, kepercayaah pada kemutlakan sejarah dan keniscayaan revolusi telah mengebiri aktivisme politik para pemimpin dan massa sehingga kapitalisme tetap mampu bertahan meski diterpa badai krisis di tahun 30-an. Meskipun tetap menganggap penting peran substruktur, Gramsci menolak gagasan bahwa unsur-unsur dalam suprastuktur seperti ideologi, kebudayaan, kesadaran, dan politik hanya merupakan epifenomena belaka dari mode produksi. Gramsci berpendapat bahwa unsur-unsur tersebut juga berperan penting dalam menentukan proses perubahan. Dengan gagasannya tentang hegemoni, Gramsci bermaksud memberikan tempat yang lebih bagi “ide” dalam proses penentuan sejarah (Ismail, 2007: 4; Sugiono, 1999: 26-29; Femia, 1987: 27 ).

Istilah “hegemoni” sendiri sebenarnya bukan temuan Gramsci. Istilah ini digunakan pertama kali oleh Plekhanov dan para pengikut Marxis di Rusia lainnya pada tahun 1880-an untuk membangun aliansi dengan petani dengan tujuan menumbangkan gerakan Tsarisme. Gagasan tentang hegemoni ini lebih jauh dikembangkan oleh Lenin yang menjadikannya sebagai strategi revolusi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja dan para anggotanya untuk memperoleh dukungan mayoritas. Yang khas dari h e g e m o n i a l a Gramsci adalah

bahwa dia menambahkan dimensi baru dengan memperluas pengertiannya sehingga mencakup peran kelas kapitalis beserta para anggotanya, baik dalam merebut kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaan yang telah diperoleh (Simon, 2004: 20-21).

Menurut Gramsci, supremasi suatu kelompok sosial atau klas berlangsung dalam dua bentuk: dominasi dan hegemoni. Yang pertama berbasis pada paksaan (coercion), sedangkan yang kedua berbasis pada persetujuan (consent). Dengan kata lain, supremasi bisa diperoleh melalui dua jalur, yakni eksternal (melalui ganjaran dan hukuman) dan internal (internalisasi nilai dan norma pada diri individu), atau mudahnya s e c a r a terpaksa dan suka rela. Sementara dominasi diperoleh melalui penggunaan alat pemaksa berupa negara, atau lebih tepatnya masyarakat politik, hegemoni diperoleh melalui masyarakat sipil berupa pendidikan, agama, dan lembaga-lembaga sosial. Hegemoni, karenanya mensyaratkan “kepemimpinan moral dan kultural” (moral and cultural leadership) (Gramsci, 1971: 57; Femia, 1987: 24).

Sebuah tatanan yang hegemonik, dalam perspektif Gramscian, adalah suatu kondisi di mana hubungan antar klas dan antara negara dan masyarakat sipil dicirikan oleh persetujuan (consent) alih-alih paksaan (coercion) (Gill dan Law dalam Gill, ed., 1993: 93). Agar yang dikuasi mematuhi yang menguasi, menurut Gramsci, yang pertama tidak saja harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma-norma yang diusung oleh yang kedua, tetapi juga lebih dari itu mereka harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka (Sugiono, 1999: 31).

Dalam situasi hegemonic, persetujuan mengambil bentuk berupa komitmen aktif yang didasarkan secara mendalam pada pandangan bahwa posisi superior dari kelompok penguasa adalah legitimate. Massa yang memberikan persetujuannya harus benar-benar menganggap

Page 10: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 10

bahwa kepentingan dari kelompok dominan merupakan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, dan bahwa kelompok tersebut berperan untuk mempertahankan tatanan sosial sebagaimana yang dikehendaki oleh semua orang (Femia, 1987: 42). Persetujuan itu diperoleh melalui sistem dan struktur kepercayaan, nilai, norma dan praktik keseharian yang secara tidak disadari melegitimasi tatanan yang ada (Holub, 1992: 43).

Mengingat pentingnya aspek persetujuan dalam teori hegemoni Gramsci, maka penggunaan metode koersif merupakan pilihan terakhir untuk mengantisipasi ”situasi krisis kepemimpinan ketika kesadaran spontan menemukan kegagalannya.” (Gramsci, 1971: 12). Dus, penggunaan metode koersif tersebut menunjukkan kelemahan ideologis dan cultural dari penguasa yang sedang mengalami krisis hegemoni.

Selain persetujuan, aspek penting yang lain, yang juga terkait dengan aspek persetujuan, adalah legitimasi. Persetujuan yang diberikan oleh kelompok atau kelas yang dipimpin sama artinya dengan legitimasi bagi kelas atau kelompok yang memimpin. Jika persetujuan ini gagal diperoleh, atau sudah mulai tercerabut, maka akan terjadi krisis legitimasi yang pada akhirnya akan mengancam status hegmonik suatu kelas atau kelompok. Dus, hegemoni sangat identik dengan legitimasi (lebih jauh tentang legitimasi dalam teori hegemoni Gramsci, lihat Martin, 1997)

Sebagai upaya lebih jauh untuk menjelaskan tentang hegemoni, Gramsci memberikan pemaknaan yang berbeda atas konsep negara (state) dan memuculkan konsep “blok historis” (historic bloc).

Gagasan Gramsci tentang negara semakin menegaskan keterputusannya dengan Marxisme ortodox. Gramsci membagi suprastruktur ke dalam dua kategori: masyarakat politik dan masyarakat sipil. Pembagian ini sekaligus juga menunjukkan arti penting suprastruktur dalam pandangan Gramsci. Masyarakat politik merupakan semua institusi publik yang memegang kekuasaan untuk melaksanakan “perintah,” yang di antaranya meliputi institusi seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi, dan pemerintah. Dalam pemaknaan yang umum, masyarakat politik ini biasanya diidentikkan dengan negara. Sedangkan masyarakat sipil meliputi seluruh aparatus transmisi yang umum disebut swasta seperti universitas, sekolah, media massa, gereja, dan sebagainya. Melalui masyarakat sipil ini lah hegemoni diperoleh (Sugiono, 1999: 34-35; Femia, 1987: 31) Keduanya membentuk apa yang bagi Gramsci disebut ”negara”. Dus, negara bagi Gramsci adalah perpaduan antara masyarakat politik dan masyarakat sipil.

State: political society + civil society (Gramsci, 1971: 263).

Menurut Gramsci, negara dan masyarakat secara bersama-sama membentuk suatu struktur yang solid. Struktur inilah yang dinamakannya “blok historis” (historic bloc). Suatu blok historis tidak akan ada tanpa adanya klas sosial hegemonic (Cox dalam Gill, ed., 1993: 56). Karenanya, sebuah blok historis mengharuskan adanya kemampuan pemimpin blok untuk membuat dan menguniversalkan ide-ide hegemonik. Secara singkat, blok historis dimaknai

Page 11: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 11

sebagai “suatu hubungan resiprokal antara wilayah a ktivitas politik, etik, maupun ideologis dengan wilayah ekonomi” atau “suatu aliansi dari berbagai kekuatan sosial (kelas-kelas) berbeda yang disatukan secara politis oleh seperangkat ide hegemonik” (Sugiono, 1999: 42-43).

Dalam rangka membangun blok historis ini, intelektual memainkan peran yang amat penting. Mereka berfungsi sebagai pembentuk dan pemelihara imaji mental, teknologi, dan organisasi yang menyatukan anggota-anggota kelas dan blok historis ke dalam identatas bersama, atau dengan kata lain membangun dan memelihara ide-ide hegemonik. Suatu ide menjadi hegemonic ketika sudah terinternalisasi ke dalam diri masyarakat sehingga diterima sebagai “common sense” yang keberadaannya tidak perlu dipertanyakan lagi (taken for granted). Ketika yang mendominasi dalam blok historis adalah kelas borjuis, maka para intelektual borjuis melakukan fungsi tersebut. Agar dapat merebut blok historis, maka kelas pekerja pun harus memiliki intelektual yang memainkan peran serupa. Intelektual ini lah yang dinamakan sebagai intelektual organik. Mereka harus mampu menciptakan institusi dan sumber-sumber intelektual alternative sebagai upaya hegemoni tandingan (counter hegemony) (Cox dalam Gill, ed., 1993: 53, 57).

Secara lebih sistematis, peran intelektual organik mewujud dalam strategi yang ditawarkan Gramsci untuk menuju ke sosialisme. Gramsci membedakan dua strategi, yakni perang gerakan (war of movement) dan perang posisi (war of position). Sementara perang gerakan identik dengan serangan frontal ke basis musuh dengan menggunakan kekerasan fisik, perang posisi lebih mengarah kepada perebutan makna dalam aspek “kepemimpinan moral dan kultural”. Dalam perang posisi diperlukan penetrasi dan subversi dari berbagai mekanisme

penyebaran ideologi. Tugas untuk menyebarkan ideologi ini berada di pundak intelektual organik. Perang posisi ini terjadi di arena masyarakat sipil dengan menggunakan berbagai unsur seperti sekolah, universitas, penerbitan, media masa, dan gereja sebagai alatnya. Bagi Gramsci, perang posisi ini lebih ampuh dan lebih dahsyat pengaruhnya dibanding perang gerakan. Kemenangan yang dicapaipun jauh lebih langgeng. Dalam konteks semcam inilah hegemoni tanding (counter hegemony) diejawantahkan (Femia, 1987: 51-52, Sugiono, 1999: 46-47). Perang posisi ini lah yang menurut Gramsci lebih tepat diterapkan di negara- negara Eropa barat. Pengabaian akan hal tersebut, menurut Gramsci, telah mengakibatkan kegagalan yang selalu berulang dalam uji coba revolusi di Eropa Barat.

Dengan gagasannya tentang hegemoni ini, Gramsci membantu kita untuk memahami mengapa kelas atau kelompok sosial tertentu mampu melanggengkan posisinya sebagai kelas atau kelompok dominan yang memimpin dan memperoleh letigimasi dari mereka yang dipimpin untuk kepemimpinannya itu. Sebagaimana diungkapkan secara apik oleh Renate Holub:

“Hegemony is a concept that helps us to understand not only the ways in which a predominant economic group coercively uses the state apparatuses of political society in the preservation of the status quo, but also how and where political society and,

Page 12: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 12

above all, civil society, with its institutions ranging from education, religion and the family to the microstructures of the practices of everyday life, contribute to the production of meaning and values which in turn produce, direct and maintain the „spontaneous‟ consent of the various strata of society to that same status quo (Holub, 1992: 5).

HI dan Tatanan Dunia Kontemporer dalam Perspektif Gramscian

Dalam studi Ilmu Hubungan Internaisonal, perspektif Gramscian merupakan perkembangan baru. Dirintis oleh Robert W Cox (1981; 1987), perspektif ini menjadi pisau analisis yang penting dalam rangka menjelaskan krisis hegemoni pasca-perang dan transformasinya menuju tatanan pasca-perang (Sugiono, 1999: 17). Menulis di awal 90-an, Stephen Gill mengatakan bahwa perspektif Gramscian tidak begitu berkembang dalam studi HI dikarenakan dari sekian banyak tema yang diusung Gramsci, hanya sedikit di antaranya yang terfokus pada pembahasan mengenai ekonomi politik per see. Selain itu juga karena Gramsci dianggap berada dalam kungkungan asumsi-asumsi Marxisme klasik tentang ekonomi politik kapitalisme dan feodalisme (Gill, ed., 1993: 4). Namun demikian, tampaknya saat ini perspektif Gramscian sudah cukup berkembang dalam HI. Hal ini bisa ditengarai dengan munculnya berbagai tulisan tentang politik nternasional yang menggunakan teori Gramsci sebagai pijakan teoritisnya (lihat misalnya Anderson, 2002; Silver dan Arrighi, 2003; Bina, 2004; Arrighi, 2005; Peters, 2005; Engel, 2005; Iseri, 2007; Ismail, 2007).

Perlu dicatat bahwa wilayah operasi pemikiran Gramsci berkutat pada level negara. Artinya, dia berbicara tentang relasi-relasi sosial yang berlangsung di dalam suatu negara. Namun demikian, meski Gramsci tidak secara spesifik berbicara tentang hubungan internasional, dia mengatakan bahwa logika hubungan internasional tidak jauh beda dengan logika yang berlaku pada level negara. Ini tampak dari kalimat:

Do international relations precede or follow (logically) fundamental social relations? There can be no doubt that they follow. Any organic innovation in the social structure, through its technical military expression, modifies organically absolute and relative relations in the international field too (Gramsci, 1971: 176).

Logika inilah yang kemudian dikembangkan oleh para pemikir politik neo- Gramscian semisal Robert W. Cox dan Stephen Gill untuk menganalisis tatanan dunia (world order). Logika serupa diamini oleh Perry Anderson yang menulis dalam editorialnya untuk New Left Review edisi September-Oktober 2002:

In the notebooks he wrote in prison, Gramsci theorized hegemony as a distinctive synthesis of „domination‟ and „direction‟, or a dynamic equilibrium of force and consent. The principal focus of his attention was on the variable ways in which this balance was achieved, or broken, within national states. But the logic of his theory, of which he was aware, extended to the international system as well (Anderson, 2002: 21).

Page 13: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 13

Menurut Cox, teori hegemoni Gramsci merupakan teori hegemoni kritis. Lain dengan teori hegemoni dalam tradisi realis, sebagaimana diusung oleh Keohane (1984) dan Waltz (1979), yang sibuk dengan upaya untuk mempertahankan tatanan lama, teori hegemoni Gramsci justru bertujuan untuk mempertanyakan tatanan lama. Teori ini tidak menerima institusi dan relasi sosial dan kekuasaan sebagaimana adanya (taken for granted), tetapi mempertanyakan bagaimana tatanan tersebut muncul dan bagaimana peluang perubahannya dimungkinkan (Bieler dan Marton, 2004: 86).

Sementara teori HI konvensional memaknai hegemoni hanya sebatas dimensi tunggal dominasi yang didasarkan pada supremasi ekonomi dan militer, perspektif neo-Gramscian yang dikembangkan Cox memperluasnya dengan memberikan atribut ”persetujuan” (consent) pada dominasi tersebut. Bagi Cox, hegemoni mewujud dalam ekspresi persetujuan (konsensual) yang bersifat meluas yang didasarkan pada penerimaan ide dan ditopang oleh sumber daya material dan institusi. Karena pentingnya aspek konsensual, maka ”dominance by a powerful state may be a necessary but not a sufficient condition of hegemony.” (Bieler dan Marton, 2004: 87).

Hegemoni diraih pada mulanya dalam skala nasional (state), baru kemudian diimpor ke luar dan bersifat global (world scale). “Ekspor” hegemoni ini akan mengakibatkan apa yang oleh Gramsci disebut sebagai “revolusi pasif” (passive revolution), yakni penerimaan (impor) oleh negara-negara lain secara pasif. Negara-negara ini mengalami revolusi berupa pergantian blok historis dan munculnya hegemon baru karena pengaruh dari luar. Perlu dicatat bahwa pengaruh hegemoni di negara-negara inti (core) lebih kuat dibanding di negara- negara pinggiran (peripheries) (Bieler dan Marton, 2004: 87; Cox dalam Gill, ed., 1993: 61).

Lebih jauh, Cox mengidentifikasi interaksi jangka panjang antara coercion dan consent dalam konteks hubungan kekuasaan antar negara, dan mengatakan bahwa penggunaan consent lebih dominan dibanding coercion dalam kondisi hegemoni. Hal ini dikarenakan dalam kondisi hegemoni, sang (negara) hegemon mengidentikkan kepentingannya dengan

kepentingan negara-negara lain sehingga ia mampu meraih persetujuan dari negara-negara tersebut untuk memperoleh kepentingannya yang lebih besar, yakni menjadi pemimpin (Iseri, 2007: 3).

Untuk menjadi hegemonik, suatu negara harus membangun dan memelihara tatanan dunia yang memiliki konsepsi universal, yakni suatu tatanan di mana mayoritas negara, atau setidaknya negara-negara yang berada di wilayah cakupan hegemoni, merasa bahwa kepentingannya bersesuaian dengan dan terakomodasi oleh sang hegemon, dan bukan suatu tatanan di mana satu negara dengan kekuatan adidaya mengeksploitasi negara-negara yang lain. Kondisi semacam itu tidak bisa diraih hanya dengan mengandalkan kekuatan masyakat politik (atau negara dalam pemaknaannya yang umum), tetapi harus melibatkan masyarakat sipil secara global. Ada 3 (tiga) kekuatan yang menjadi penopang dalam hegemoni tatanan dunia: ide, kekuatan material (ekonomi dan militer), dan institusi.

Page 14: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 14

Ketiga hal tersebut berjalin-kelindan di dalam masyarakat politik dan masyarakat sipil. Dus, dalam skala global, hegemoni didasarkan pada keherensi antara konfigurasi kekuatan material, imaji kolektif tentang tatanan dunia yang ada (meliputi norma-norma tertentu), dan seperangkat institusi yang berfungsi untuk mengoperasionalkan imaji tersebut secara universal (Cox dalam Gill, ed., 1993: 61; Bieler dan Marton, 2004: 87). Secara skematis, Cox merumuskannya sebagai berikut:

Ide

Kapabilitas Institusi

material

Momen Dialektik Hegemoni (Bieler dan Marton, 2004: 88)

Sebenarnya gagasan Cox tentang hegemoni tidaklah merujuk pada dominasi satu negara tunggal, namun kepada sekelompok negara dan kelas sosial dominan yang mampu menciptakan prinsip-prinsip untuk melanggengkan supremasi mereka. Ini terlihat dari pernyataannya:

“I am using the term hegemony here as meaning more than the dominance of a single world power. It means dominance of a particular kind where the dominant state creates an order based ideologically on a broad measure of consent, functioning according to general principles that in fact ensure the continuing supremacy of the leading state or states and leading social classes but at the same time offer some measure or prospect of satisfation to the less powerful (Cox, 1987: 6, garis bawah dari penulis).

Meski demikian, tetap saja terdapat satu negara yang menjadi pemimpin dan penopang bagi tatanan tersebut. Itulah mengapa Cox menyebut Pax-Americana untuk merujuk pada kondisi hegemoni di abad dua puluh, yakni tatanan dunia hegemonic yang dikomandoi oleh Amerika Serikat. Lebih jauh, menurut Anderson, suatu tatanan hegemonik niscaya mensyaratkan satu negara tunggal sebagai aktor yang mampu menciptakan disiplin pada sistem secara keseluruhan. Pendisiplinan tersebut, perlu digarisbawahi, harus bukan merupakan produk brutal dari kekerasan, melainkan hasil dari sebuah persuasi dari kepemimpinan yang bisa menawarkan model produksi dan budaya universal yang bisa diimitasi oleh negara-negara lain. Anderson menambahkan, suatu negara hegemon harus memiliki kesejarahan yang berbeda (differential history) dan seperangkat karakter nasional khas (set of national peculiarities) yang tidak dimiliki oleh negara lain (Anderson, 2002: 20-21).

Page 15: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 15

BAB II PAX-AMERICANA:

Dari Konsolidasi Hegemoni hingga Krisis

Bab II ini akan membahas proses konsolidasi hegemoni AS pasca-perang dan krisis yang menimpanya di tahun 70-an. Krisis tersebut penting untuk melihat konteks kemunculan terorisme dan war on terrorism yang menjadi pembahasan utama skripsi ini. Secara khusus, perbincangan mengenai keterkaitan antar keduanya akan dilakukan di bab III. Bab ini lebih dimaksudkan untuk memberi gambaran bagaimana konteks kemunculan AS sebagai hegemon pasca-Perang Dunia II dan situasi tatanan dunia semacam apa yang diciptakannya.

Tatanan Dunia Pasca-Perang dan Hegemoni AS

Proses konsolidasi hegemoni AS tidak bisa dipisahkan dari konteks pasca- Perang Dunia II. Perang tersebut telah menyebabkan kerusakan infrastruktur dan populasi yang luar biasa dahsyat di seluruh Eropa dan Asia, dari Samudra Atlantik hingga Pasifik. Satu-satunya negara yang masih memiliki cukup kekuatan waktu itu adalah AS (Wallerstein, 2002). Dengan kapabilitas dan sumberdaya finansialnya yang luar biasa, AS memiliki kemampuan untuk menjadi aktor kunci dalam peralihan hegemoni (hegemonic interregnum) dan mengatur, menentukan, serta membentuk tata ekonomi internasional dunia pasca-perang (Amemasor, 2007: 12).

Karenanya, di bawah kepemimpinan AS negara-negara yang rusak karena perang tersebut segera mengkonsolidasikan diri. AS yang tadinya merupakan negara isolasionis segera berubah menjadi negara yang berkomitmen untuk lebih aktif di kancah internasional. Negara-negara sekutu sendiri memang menghendaki agar AS berperan lebih aktif di kancah internasional dan meninggalkan kebijakan isolasionis yang selama ini diterapkannya seperti pasca- Perang Dunia I (Cox, 1987: 213). Setelah konsolidasi pasca-perang, negara- negara kapitalis yang tadinya memiliki zona-zona dominasi ekonomi dan politik yang terpisah-pisah tersebut menjadi bersatu ke dalam satu kekuatan blok kapitalis tunggal di bawah hegemoni AS (Gowan, 2003: 1).

Tantangan utama yang dihadapi negara-negara tersebut, dan AS sebagai pemimpinnya, adalah bagaimana merekonstruksi tatanan dunia pasca-perang. Ada dua elemen utama yang harus dicakup di sini. Pertama, rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi negara-negara yang terlibat perang, baik di pihak Sekutu maupun di pihak Negara Poros yang menjadi musuh. Kedua, rekonstruksi yang mencakup negara-negara baru yang muncul sebagai akibat dari tumbangnya sistem kolonial lama di Asia dan Afrika, negara-negara yang di kemudian hari disebut sebagai negara dunia ketiga (Sugiono, 1999: 61-63).

Page 16: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 16

Pada saat yang sama Perang Dingin mulai mengemuka. Perbedaan, dan akhirnya pertentangan, ideologi di antara dua negara utama pasca-perang, yakni AS dan US, membawa implikasi pada adanya perbedaan desain yang ingin diterapkan oleh keduanya dalam rangka mereorganisasi tatanan dunia pasca-perang. Maka tantangan rekonstruksi tatanan dunia pasca-perang bagi AS dan negara-negara sekutu adalah juga untuk menghambat dan meminggirkan komunisme dengan memastikan bahwa paham tersebut tidak akan muncul dan berkuasa di negara-negara yang baru merdeka. Meski persoalan tersebut sebelumnya sudah coba diantisipasi dengan adanya Perjanjian Yalta, yakni pertemuan antara AS (Roosevelt), Inggeris (Churcil), dan US (Stalin) pada bulan Februari 1945 yang hasil terpentingnya adalah pembagian wilayah antara pihak Barat (AS dan sekutunya) dan US dengan sepertiga wilayah dunia untuk US dan sisanya untuk AS, namun segera tampak bahwa masalah masih jauh dari selesai (Wallerstein, 2003).

Dalam perkembangannya, justru perang ideologi inilah, yang kemudian dilabeli dengan Perang Dingin, yang menjadi salah satu aspek penting guna menopang hegemoni AS. Perang Dingin menjadi alat legitimasi bagi AS untuk bertindak atas nama kepentingan umum (baca: negara-negara non- komunis). Sebagaimana ditulis David Harvey:

The Cold War provided the U.S. with a glorious opportunity . . . While we know enough about decision-making in the foreign policy establishment of the Roosevelt-Truman years and since to conclude that the U.S. always puts its own interests first, sufficient benefits flowed to the propertied class in enough countries to make U.S. claims to be acting in the universal (read propertied) interest credible and to keep subaltern groups (and client states) gratefully in line (dikutip dari Iseri, 2007: 5)

Dalam kondisi semacam itu, sebagai warisan dari Depresi Besar di tahun 1930-an, terjadi perdebatan antara dua orientasi kebijakan yang terjadi di negara- negara kapitalis utama: mereka yang lebih berorientasi ke perekonomian dunia yang terbuka (internasionalis liberal) di satu pihak dan mereka yang cenderung kepada peran negara yang lebih besar untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (kapitalisme negara) di pihak yang lain. Secara singkat bisa dikatakan bahwa pihak pertama, yakni internasionalis liberal, memenangkan pertarungan wacana tersebut (Cox, 1987: 213-214; Sugiono, 1999: 64).

Di AS sendiri, kelompok internasionalis liberal berhasil menyatukan kelompok-kelompok penting dalam negeri dan juga mengkonsolidasikan negara-negara kapitalis yang lain. Dalam proses konsolidasi tersebut, mereka tidak hanya bermain di level pemerintah (political society), tetapi juga di forum-forum privat (civil society). Hegemoni mereka tampak ketika mereka berhasil menjadikan kepentingan sendiri sebagai kepentingan bersama dari negara sekutu, yakni menjadikan keterbukaan ekonomi internasional sebagai orientasi kebijakan bersama (Scherrer, 2001: 1).

Wujud dari kemenangan kelompok internasionalis liberal tadi adalah dibentuknya sistem Bretton Woods. Sistem ini bermula dari sebuah Konferensi Bretton Woods di tahun 1944

Page 17: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 17

yang menghasilkan beberapa kesepakatan penting, antara lain liberalisasi terbatas atas perdagangan dan penciptaan aturan-aturan yang mengatur kegiatan ekonomi internasional serta penciptaan sistem pertukaran mata uang yang stabil dengan dolar AS sebagai patokannya (dipancang dengan emas).

Sebagai manifestasi kelembagaan dari sistem ini, dibentuklah 3 (tiga) organisasi internasional yang nantinya akan berperan penting dalam pembangunan ekonomi dunia: International Monetary Fund (IMF) yang berfungsi mengatur sistem keuangan internasional, International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau di kemudian hari disebutWorld Bank yang berfungsi memberikan pinjaman bagi pembangunan kembali Eropa pasca-perang (di tahun 1950 terjadi perluasan fungsi Bank Dunia, yakni untuk membiayai berbagai proyek industrial di negara-negara berkembang), dan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang berfungsi mengurusi perumusan dan pelaksanaan kesepakatan perdagangan multilateral. GATT ini nantinya akan berubah menjadi World Trade Organization (WTO) di tahun 1995 (Steger, 2005: 39-40). Dengan lembaga-lembaga tersebut lah AS beserta negara-negara kapitalis lainnya kemudian mengarahkan model pembangunan perekonomian dunia, utamanya negara-negara dunia ketiga.

Perlu dicatat bahwa meskipun pihak internasionalis liberal memenangkan pertarungan wacana, namun tatanan ekonomi dunia yang diciptakannya tidaklah murni liberal sebagaimana yang terjadi di abad 19 di bawah hegemoni Inggris. Tatanan liberal pasca-perang ini tetap memberikan ruang kepada negara dalam proses akumulasi kapital dan memberi tugas khusus pada negara untuk menyediakan jaring pengaman bagi mereka yang tidak diuntungkan dalam sistem pasar bebas. Dalam tatanan liberal yang baru ini, bentuk negara yang muncul adalah apa yang oleh Cox (1978: 220-221) disebut sebagai negara neoliberal (catatan: tidak sama dengan neoliberalisme yang akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan berbagai kalangan). Mewarisi model tripartit pemerintah-bisnis- buruh dari bentuk negara kesejahteraan nasionalis dan perangkat manajemen permintaan makro-ekonomi Keynesian, negara neoliberal memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

“Pertama, negara menjadi aktor ekonomi yang memiliki peran dalam proses akumulasi dengan cara menjalankan tugas-tugas yang tidak menguntungkan bagi industri swasta. Kedua, negara memikul tanggung jawab politik untuk melindungi kelompok-kelompok sosial yang rentan terkena “hukuman” pasar... Ketiga, struktur ekonomi bukanlah terdiri dari pasar yang setara (equals) sebagaimana digambarkan dalam ideology di abad 19, melainkan merupakan struktur yang tersegmentasi di mana konsentrasi kapital dalam sektor oligopolistik bersanding dengan sektor kompetitif bisnis berskala kecil yang merupakan warisan dari doktrin di abad 19 dan dengan sektor negara” (Cox, 1987: 220).

Instrumen yang digunakan oleh AS untuk merekonstruksi perekonomian dunia pasca-perang dalam kerangka Bretton Woods, dan sekaligus menancapkan hegemoninya, adalah Marshall Plan, yakni kesediaan AS untuk memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara sekutunya yang mengalami kerusakan ekonomi dan infrastruktur akibat perang. Penerapan

Page 18: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 18

Marshall Plan didasarkan pada sistem multilateralisme melalui organisasi bernama Organization for European Economic and Cooperation (OEEC). Melalui organisasi ini, persetujuan-persetujuan mengenai pembagian dana diraih dan konsepsi tentang sebuah perekonomian internasional yang terbuka menemukan jalan penerepannya ke negara-negara Eropa Barat. Berkat Mashall Plan, AS berhasil memastikan sekutu-sekutunya di Eropa Barat menerapkan perdagangan dan kebijakan nilai tukar mata uang yang lebih liberal. Pada akhirnya Marshall Plan tidak hanya mampu mempengaruhi kebijakan negara-negara Sekutu, tetapi juga memunculkan perimbangan di antara kekuatan-kekuatan sosial di dalam masing-masing negara dan konfigurasi blok historis (Sugiono, 1999: 66-67; Cox, 1987: 214-215).

Kerangka institusional yang dibentuk AS ini memberikan apa yang oleh Ikenberry disebut sebagai “daya tawar institusional” (institutional bargain) kepada AS, yakni kemampuan AS untuk mengikat negara-negara sekutu ke dalam model negosiasi multilateral dan pada saat yang sama AS sendiri tidak terikat sebagaimana negara-negara sekutunya. Atau lebih tepatnya, keterikatan AS adalah atas kemauan sendiri (self-binding). Dengan daya tawar institusional ini, AS menyediakan perlindungan ekonomi dan militer kepada kelas-kelas pemilik modal dan elite-elite politik dan militer di negara-negara non-komunis. Para elit dan kelas pemodal ini akhirnya menjadi agen AS untuk melakukan ”revolusi pasif” (passive revolution), yakni membangun blok historis di negara masing-masing melalui “ impor” dari AS. Maka, bisa dikatakan bahwa hegemoni AS meraup dua aspek: kelas dan negara-bangsa. Dalam bahasa Scherrer, AS menerapkan ”hegemoni ganda” (double hegemony). Dengan sistem ini AS tidak saja melakukan pengepungan (containment) atas blok Sosialis, tetapi juga pada saat yang sama memproduksi consensus di antara negara-negara kapitalis dengan didasarkan pada mekanisme institusional multilateral internasional yang bisa memberi legitimasi atas kepemimpinan AS dan melanggengkan tatanan hegemonik

yang dibangunnya. Dalam bahasa khas Gramsci, AS telah menjadi pemimpin “moral dan intelektual” (Ikenberry, 2001; Iseri, 2007: 6; Schrerrer, 2001: 1; Bina, 2004: 15).

Dengan kepemimpinannya itu, AS membuat negara-negara Sekutu di blok non-komunis tunduk pada AS secara suka rela. Sementara negara-negara Sekutu harus membatasi otonomi mereka demi menjalankan aturan-aturan yang di-setting secara multilateral oleh AS, pada saat yang sama mereka secara suka rela tunduk pada AS dan mengafirmasi privileges yang dimiliki AS tersebut. Sebagai kompensasi dari ketundukan itu, mereka menikmati banyak hal: perlindungan militer, dukungan untuk melawan penentang-penentang internal, bantuan ekonomi dan militer, stabilitas mata uang dolar sebagai penopang sistem moneter internasional, akses terhadap pasar di AS, dan dukungan AS terhadap aturan-aturan dan institusi-institusi internasional yang bisa menyediakan kebaikan bersama dan memelihara tatanan internasional (Skidmore, 2004: 4).

Merujuk pada Ikenberry (2005: 4-5), maka secara singkat bisa dikatakan bahwa AS menggunakan dua macam strategi dalam membangun tatanan dunia pasca-perang. Strategi pertama berorientasi realis. Strategi realis ini berupa pengepungan (containment) atas

Page 19: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 19

US yang dilakukan dengan melibatkan negara- negara sekutu dan negara-negara dunia ketiga untuk memastikan bahwa US tidak akan menyebarkan pengaruhnya di luar daerah kekuasaannya (ingat Perjanjian Yalta). Stabilitas dicapai melalui balance of power antara AS dan US dalam hal kekuatan militer, utamanya nuklir. Secara kelembagaan, manifestasi dari strategi ini adalah dibetuknya NATO dan aliansi AS-Jepang. Strategi ini pada akhirnya tidak hanya berorientasi pada aspek keamanan dan militer, tetapi juga telah membantu mengintegrasikan negara-negara Eropa Barat, Amerika Utara, dan Asia Timur Laut secara ekonomi dan politik. Namun ketika US runtuh di tahun 1991, strategi ini tidak lagi relevan digunakan.

Adapun strategi kedua lebih berorientasi liberal. Strategi ini dimaksudkan untuk melakukan rekonstruksi tatanan ekonomi dunia yang rusak pasca-perang dengan mengubahnya menjadi lebih liberal guna menghindari apa yang terjadi di tahun 30-an, yakni situasi di mana blok-blok regional merupakan keumuman, konflik perdagangan marak terjadi, dan permusuhan-permusuhan berlangsung di antara kekuatan-kekuatan dunia (penulis sudah membahasnya di depan).

Konstruksi tatanan dunia pasca-perang ini, dengan Bretton Woods dan Marshall Plan sebagai penopangnya, menghasilkan rezim akumulasi pasca-perang yang kemudian mampu membangkitkan perekonomian di seluruh negara kapitalis dan mengukuhkan hegemoni AS. Ada 4 (empat) elemen yang menjadi kunci penting dalam proses ini. Pertama, pembentukan struktur ekonomi, politik, dan keamanan yang berpusat pada AS untuk dunia non-komunis dan mampu menciptakan perdamaian di negara-negara non-komunis. Kedua, kemampuan AS untuk mempertahankan pertumbuhan permintaan agregat global melalui defisit neraca berjalan, yang sebagian di antaranya disebabkan oleh belanja militer yang sangat besar. Ketiga, adanya harmoni dalam hal ide, institusi, dan kebijakan di antara negara- negara kapitalis utama dalam sebuah sistem yang disebut ”embedded liberalism” (liberalism yang ditanamkan). Keempat, adanya suplai berlebih bahan-bahan mentah, terutama minyak, yang murah (Gill dan Law dalam Gill, ed., 1993: 96).

Akhirnya, berbicara tentang hegemoni, selain aspek ide dan institusi yang telah penulis uraikan di atas, kita juga tidak boleh melupakan aspek material. Kekuatan ekonomi dan militer AS bagaimanapun menjadi prasyarat yang penting untuk menopang sistem yang sedang dan telah dibangun. Sebagaimana dicatat oleh Beams (2005), fondasi hegemoni AS secara material meliputi 3 (tiga) hal. Pertama, superioritas metode produksi AS dan kekuatan ekonominya. Kedua, keunggulan dolar AS sebagai refleksi dari produktivitas perekonomiannya yang tinggi. Ketiga, kekuatan militer AS.

Mode produksi yang diterapkan oleh AS, dan setelah itu diekspor ke negara- negara Sekutu (Eropa Barat dan Jepang), adalah apa yang disebut dengan Fordisme, sebuah mode produksi yang belum pernah diterapkan oleh negara-negara kapitalis di Eropa sebelumnya. Dalam mode produksi ini, produksi dilakukan secara massal dengan memanfaatkan tenaga kerja buruh semata-mata hanya untuk keperluan produksi. Negara-negara kapitalis tidak lagi

Page 20: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 20

bergantung pada negara-negara jajahan dengan pola yang sama seperti di era kolonialisme. Hasil dari produksi kemudian dijual kepada kalangan kelas menengah di seluruh dunia yang menjadi pangsa pasarnya (Gowan, 2003: 34).

Antara akhir tahun 40-an hingga awal 50-an, secara ekonomi AS sangat dominan. Sebagaimana dicatat oleh McCormick, “the American economy by 1946 was the workshop, the bakery, and the banker of the postwar world.” Empat puluh persen dari total produksi dunia di tahun 1950 dihasilkan oleh AS, dan 59 persen cadangan minyak dunia berada di bawah kontrol AS. Di tahun yang sama, perekonomian AS tiga kali lebih besar dibanding US yang merupakan rival utama sekaligus kekuatan ekonomi kedua terbesar setelah AS. Selama dekade 40-an, 82 persen penemuan (inventions dan discoveries) dan inovasi teknologi datang dari AS. AS juga menguasai pasar besi, mesin-mesin pertanian, peralatan-peralatan mesin, peralatan listrik, mesin konstruksi, dan otomobil. Pada saat yang sama, negara-negara kapitalis di Eropa dan juga Jepang masih berada dalam proses pemulihan pasca-perang. AS yang tidak terkena dampak destruktif perang di dalam negeri tentu saja sangat diuntungkan dengan kondisi semacam ini (Keohane, 1991: 3; Hingaroni, 2003: 17; Lake dalam Frieden dan Lake, 2000: 132).

Selain kapasitas ekonominya yang perkasa tersebut, kekuatan AS juga terletak pada kemampuannya untuk menciptakan korporasi-korporasi internasional yang terintegrasi secara vertikal dan multidimensional. Dengan korporasi-korporasi ini, AS bisa menaklukkan pasar di negara-negara lain melalui penanaman modal langsung (foreign direct investment/FDI) bahkan ketika negara-negara tersebut melakukan proteksi atas impor. Alasan semacam ini lah yang membuat AS sangat concerned terhadap penciptaan pasar yang besar di Eropa segera setelah perang usai. AS bisa memberi toleransi terhadap negara yang melakukan proteksi impor, tapi tidak terhadap negara yang menolak masuknya korporasi (Silver dan Arrighi, 2003: 340).

Dominasi dolar AS didasarkan tidak semata-mata pada ukuran perekonomian AS yang raksasa, tetapi juga pada aspek politik dan finansial. Seperti telah ditunjukkan oleh pengalam Inggris di abad 19, negara yang mampu melindungi rezim dan rute perdagangan akan memperoleh privileges berupa mata uang dunia. Kemampuan AS untuk mengontrol sumber minyak dunia secara politik memastikan bahwa mata uangnya akan menjadi mata uang dominan di dunia internasional mengingat semua negara membutuhkan minyak. Selain itu, negara yang secara politik paling aman merupakan tempat yang paling aman pula untuk menyimpan properti finansial. Juga, negara dengan pasar finansial terbesar dunia merupakan tempat dengan risiko terkecil untuk menyimpan kekayaan karena setiap saat kekayaan tersebut bisa diambil untuk keperluan lain (Gowan, 2003: 40)

Kepercayaan diri (confidence) terhadap dolar ini, dan kapasitas ekonomi AS sebagai motor perekonomian global, memberi AS apa yang oleh Susan Strange disebut sebagai kekuasaan structural (structural power). Dengan kekuasaan structural ini AS mampu mengarahkan perekonomian global dengan cara mempengaruhi negara-negara lain untuk melakukan praktik

Page 21: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 21

ekonomi yang sesuai dengan konsep dan praktik kapitalisme global yang diinginkan oleh AS dan mengadopsi cara pikir bersama (common way of thinking) dalam hal ekonomi (Cox, 2004: 312-313).

Sementara di bidang militer, AS merupakan satu-satunya negara peserta perang yang kemampuan militernya tidak terpengaruh akibat perang. Ketika militer Jerman, Jepang, dan Inggris sangat melemah, kekuatan militer AS masih tetap kokoh, bahkan kemampuan militer US tidak bisa membandinginya. Hingga tahun 1949, AS memonopoli kepemilikan senjata atom, sementara US baru memiliki kemampuan untuk menggunakan senjata tersebut dari jarak jauh, dan artinya menjadi ancaman nyata bagi AS, di tahun 1960. (Keohane, 1991: 3; Hingaroni, 2003: 17). Kekuatan militer yang tak tertandingi ini menjadi alat ampuh bagi AS untuk melakukan konfrontasi dengan US dan pada saat yang sama menjadi perangkat bagi AS untuk mempromosikan liberalisasi dan ekspansi perdagangan dunia. Dengan kekuatannya itu, AS mampu memobilisasi negara- negara Sekutu (allies) dan negara-negara pengikut (vassals) untuk melakukan perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral yang dari waktu ke waktu mengarah menuju liberalisasi perdagangan dan investasi (Silver dan Arrighi, 2003: 340).

Tatanan dunia pasca-perang ini bisa diberi label hegemonik dalam perspektif Gramscian paling tidak karena dua hal. Pertama, AS berhasil mendefinisikan kepentingannya sendiri untuk kemudian menguniversalkan kepentingan tersebut sehingga menjadi kepentingan bersama di antara negara- negara sekutunya. Dalam hal ini AS bersedia menopang beban sistem dengan Marshall Plan-nya. Kedua, kepemimpinan AS atas negara-negara sekutunya tidak semata-mata didasarkan pada keunggulan militer dan ekonomi, tetapi juga aspek konsensual dalam penerimaan negara-negara sekutu atas kepemimpinanAS dengan visi internasionalis liberalnya (Sugiono, 1999: 67-68).

Krisis Hegemoni dan Rekonstruksinya: Menuju Tatanan Neoliberal

Di tahun 70-an, fondasi tatanan dunia hegemonik yang dibangun AS mulai goyah. Menurut Silver dan Arrighi, krisis di tahun 70-an merupakan krisis profitabilitas dan krisis legitimasi. Krisis profitabilitas dipicu oleh meningkatnya kapasitas ekonomi negara-negara Eropa Barat dan Jepang sejak tahun 50-an hingga 60-an yang mengakibatkan makin kuatnya tekanan kompetitif atas perusahaan-perusahaan kapitalis, termasuk korporasi-korporasi multinasional AS. Mengafirmasi pendapat Robert Brenner yang mengkhususkan pembahasannya pada Jepang dan Jerman, Silver dan Arrighi mengatakan bahwa kapasitas kedua negara tersebut untuk mengombinasikan antara teknologi berproduktivitas tinggi yang sebelumnya telah dirintis oleh AS dengan suplai tenaga kerja yang elastis, murah, dan berjumlah besar telah menaikkan tingkat profit dan investasi kedua negara tersebut. Hingga awal 60-an kecenderungan kenaikan tingkat profit dan investasi tersebut tidak berdampak buruk bagi AS karena barang-barang yang diproduksi di luar AS tetap tidak dapat bersaing di pasar AS dan karena para produsen AS hanya sedikit bergantung kepada

Page 22: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 22

penjualan di luar negeri” (Silver dan Arrighi, 2003: 341-342).

Namun situasi berubah ketika di pertengahan 60-an kapasitas Jerman dan Jepang dalam industri-industri utama seperti tekstil, besi, otomobil, peralatan mesin, dan elektronik telah mulai menyusul AS. Kedua negara tersebut, diikuti oleh negara-negara Eropa Barat yang lain, mulai merebut pangsa pasar AS berkat keunggulan mereka dalam meminimalisir biaya produksi dan, sebagai implikasinya, menurunkan harga produk. Selama delapan tahun sejak 1965, tingkat pengembalian modal industri manufaktur AS mengalami penurunan sebesar 40 persen. Sebagai upaya paling penting untuk mengatasi krisisi profitabilitas tersebut, AS melakukan devaluasi nilai dolar atas mark Jerman dan yen Jepang: 50 persen dari 1967 hingga 1973 untuk yang pertama, d a n 28,2 persen dari 1971 hingga 1973 untuk yang kedua. Akibatnya, berbalik Jepang dan Jerman lah yang mengalami penurunan profitabilitas. Meski hal ini tidak mengatasi krisis profitabilitas global yang terjadi, namun setidaknya beban krisis tersebut tidak hanya ditanggung oleh AS, tetapi telah dibagi bersama negara-negara kapitalis yang lain. Krisis ini merupakan bagian dari sebuah krisis yang lebih besar, yakni krisis hegemoni. Sebagaimana ditulis Silver dan Arrighi dengan mengutip Brenner:

“The massive devaluation of the dollar of 1969-73 did help the United States in shoving the burden of the crisis of profitability off onto Germany and Japan. The crisis of profitability, however, was only one component of a broader crisis of U.S. hegemony—a crisis that was deepened rather than alleviated by the massive devaluation of the dollar” (Silver dan Arrighi, 2003: 342-343).

Gejolak di atas didahului oleh apa yang terjadi di Perancis sebelumnya. Di tahun 1965, Presiden Perancis Charles De Gaulle melakukan upaya untuk mengubah cadangan dolar di French Central Bank menjadi emas. Hal ini berakibat pada menurunnya nilai dolar dan mendorong munculnya krisis finansial internasional. Terlebih lagi, manuver tersebut diikuti oleh bank-bank sentral di negara-negara lain. Akibatnya, krisis financial tidak bisa terelakkan lagi. Ujungnya, AS memutuskan untuk menarik diri secara unilateral dari sistem Bretton Woods dan menghentikan patokan emasnya untuk dolar pada tanggal 15 Agustus 1971. Meski hal ini bisa menghilangkan beban yang harus dipikul AS untuk menjamin nilai emas, tapi ini juga berarti membuat sistem keuangan internasional tidak stabil dan membahayakan posisi hegemonik AS. Meski dengan “rezim dolar-Wall Street” yang baru ini AS bisa menentukan nilai dolar sekehendaknya, tapi ini juga berarti AS kehilangan legitimasinya untuk bisa melakukan klaim atas tindakan menjaga kepentingan bersama dalam me-manage ekonomi internasional, satu hal yang sangat esensial dalam kerangka hegemoni (Iseri, 2007: 7).

Menurut Gowan, hal ini membawa dampak quasi-imperial karena dua alasan. Pertama, dengan memporak-porandakan sistem moneter internasional, berarti AS telah memaksa para pelaku ekonomi dan negara untuk mencari stabilitas dengan menggunakan dolar. Kedua, dengan sistem nilai tukar yang mengambang tanpa adanya batasan aturan yang disepakati bersama,

Page 23: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 23

AS bisa dengan secara unilateral menundukkan kondisi moneter internasional demi kepentingan kapitalisme AS. Misalnya, ketika mengalami resesi ekonomi, AS bisa dengan seenaknya menurunkan nilai dolar untuk membangkitkan ekspor, sementara ketika mengalami kenaikan ekonomi, AS bisa menaikkan nilai dolar terhadap mata uang negara lain (Gowan, 2003: 39). Selain itu, sistem nilai tukar mengambang juga membuat AS tidak perlu melakukan penyesuaian (adjustment) ketika menghadapi krisis utang karena dalam sistem nilai tukar tetap dengan patokan emas AS harus membayar utangnya sebagaimana yang dilakukan negara-negara dunia ketiga dengan ongkos menurunnya kedaulatan dan porgram penghematan domestik yang tidak populer (Gaan, 2006: 309).

Penurunan supremasi ekonomi AS tampak dari data-data berikut ini. Dari yang tadinya merupakan negara sumber likuiditas dan investasi langsung di tahun 50-an dan 60-an, AS berubah menjadi negara penghutang terbesar dan negara penerima modal asing terbesar di tahun 80-an. Selama periode 1965-1969, neraca pembayaran AS memiliki surplus sebesar 12 milyar dolar (setara dengan 46 persen total surplus negara G7). Periode berikutnya, yakni 1970-1974, surplus tersebut turun menjadi 4,1 milyar dolar (setara dengan 21 persen total surplus negara G7). Pada periode 1975-1979, surplus tersebut berubah menjadi defisit sebesar 7,4 milyar dolar. Periode-periode berikutnya selalu menunjukkan angka defisit neraca pembayaran: 146 milyar dolar pada periode 1980-1984, 660,6 milyar dolar pada periode 1985-1989, 324,4 milyar dolar pada periode 1990-1994, dan 912,4 milyar dolar pada periode 1995-1999 (Silver dan Arrighi, 2003: 345).

Aspek krisis yang kedua, yakni krisis legitimasi, terkait dengan munculnya nasionalisme dan komunisme di negara-negara dunia ketiga. Puncak dari krisis ini, yang bersamaan tahun

dengan krisis profitabilitas, adalah ketidakmampuan AS untuk menaklukkan perlawanan rakyat Vietnam dalam Perang Vietnam dan merebaknya oposisi terhadap perang tersebut baik di dalam maupun di luar AS. Besarnya ongkos yang harus dikeluarkan AS untuk membiayai Perang Vietnam, termasuk untuk membungkam para oposan perang di dalam negeri, juga menjadi faktor pemicu runtuhnya sistem Bretton Woods dan massifnya devaluasi dolar AS. Kekalahan AS tersebut mengakibatkan menurunnya prestis AS di mata dunia internasional dan juga melemahkan kekuatan AS. Yang lebih parah lagi, gelombang inflasi di seluruh dunia yang mengikutinya merupakan ancaman bagi struktur kredit dan jaringan akumulasi kapital yang menjadi sandaran kekayaan dan kekuatan AS (Silver dan Arrighi, 2003: 344).

Di samping kedua hal di atas, kita juga tidak boleh melupakan gejolak yang muncul di dunia ketiga berupa tuntutan terhadap Tatanan Ekonomi Internasional Baru (New International Economic Order) di tahun 70-an. Naiknya pamor negara-negara dunia ketiga yang tergabung dalam OPEC sebagai akibat dari meroketnya harga minyak dunia berimplikasi pada menguatanya daya tawar mereka di hadapan negara-negara kapitalis blok barat. Pemerintah di negara-negara dunia ketiga menghendaki agar tatanan ekonomi internasional diubah. Meski pada akhirnya tuntutan mereka tidak terpenuhi, tapi tampak bahwa negara-negara dunia ketiga mulai tidak menyukai konstruksi tatanan dunia yang ada dan berupaya untuk

Page 24: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 24

mengubahnya dengan memanfaatkan momentum yang tercipta berkat krisis minyak. Di samping krisis legitimasi, kita bisa memaknai hal tersebut sebagai krisis relasi blok Barat (AS dan sekutunya) dengan negara-negara dunia ketiga (Augelli dan Murphy dalam Gill, 1993: 131-132).

Namun bagaimanapun kehandalan sistem yang telah dibangun oleh AS dan kemampuannya untuk melakukan adaptasi terhadap situasi baru memberinya kesempatan untuk melakukan rekonstruksi dan mempertahankan supremasinya. Hanya saja, kalau kita merujuk pada Gramsci, wujud supremasi itu tidak lagi berupa hegemoni, melainkan lebih merupakan dominasi. Sebagaimana dikatan oleh Silver dan Arrighi:

”This nation is much more capable than Great Britain ever was a hundred year ago to convert its decreasing hegemony into an exploratory domination. If the system collapses, it will mainly be due to the North American resistance in adapting and conciliating. Moreover, on the other hand the American adaptation and conciliation to the increasing economic power of the Eastern Asia region is essential for a non-catastrophic transition towards a new world order” (Ayerbe, 2005: 305).

Dalam dominasi ini, basis bangunan supremasi AS yang tadinya lebih berupa consent beralih menjadi coercion. Menurut Wallerstein (2003), ada dua hal pokok yang dilakukan oleh AS untuk mengatasi krisis di tahun 70-an. Pertama, AS berupaya untuk mengesankan kepada negara-negara Eropa Barat dan Jepang serta yang lain bahwa AS bisa bertindak kooperatif setelah apa yang dilakukannya terhadap dolar secara khusus dan sistem Bretton Woods secara umum. Negara-negara tersebut diyakinkan bahwa AS bisa bekerja sama dengan mereka dalam pososi yang semi-sejajar, meskipun tentu saja tetap AS yang jadi pemimpin. Di antara manifestasi kelambagaan dari upaya ini adalah pembentukan Trilateral Commission dan G7. Kedua, dimunculkanlah apa yang disebut dengan Washington Consensus yang pada intinya adalah mengganti pembangunan (developmentalism) yang menjadi wacana dominan di era pra-krisis dengan globalisasi. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Washington Consensus berarti menyingkirkan semua batas dan halangan untuk lalu-lintas barang dan modal, tetapi tidak buruh.

Rekonstruksi pasca-krisis tersebut, terutama strategi yang kedua, mengantarkan dunia menuju ke sebuah tatanan ekonomi internasional yang jauh lebih liberal coraknya (Sugiono, 1999: 119). Krisis yang terjadi membuat AS dan sekutunya, terutama Inggris, menyadari bahwa model manajemen ekonomi Keynesian tidak bisa lagi diterapkan untuk menata perekonomian internasional. Maka bersamaan dengan munculnya krisis itu, muncul pula para intelektual kanan baru yang menyebarkan gagasan ekonomi hiperliberal, atau kemudian dikenal dengan neoliberalisme (penulis ulangi, ini berbeda dengan ”negara neoliberal” à la Cox), yang menawarkan gagasan alternatif bagi manajemen Keynesian.

Dimotori secara intelektual oleh Fredrich A. Hayek dan Milton Friedman dan secara politik oleh Ronald Reagan (AS) dan Margareth Tatcher (Inggris), neoliberalisme segera

Page 25: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 25

menjadi tatanan ekonomi internasional dominan setelah restrukturisasi krisis 70-an. Sebagai teori praktik ekonomi politik, ”neoliberalisme mengandaikan bahwa kesejahteraan manusia bisa diraih secara optimal dengan cara memaksimalkan kebebasan berusaha dalam sebuah kerangka institusional yang bercirikan hak-hak kepemilikan privat, kebebasan pribadi, pasar yang tidak terbebani, dan perdagangan bebas” (Harvey, 2007: 22).

Di bawah payung baru ini, peran negara berubah dari yang tadinya mengambil alih tugas-tugas yang tidak menguntungkan bagi pihak swasta dan melindungi kelompok-kelompok yang rentan terkena dampak mekanisme pasar bebas menjadi ”abdi pasar” yang memastikan bahwa pasar bebas akan berjalan tanpa halangan. Negara harus memiliki kekuatan militer, pertahanan, kebijakan, dan fungsi hukum yang diperlukan untuk menjaga hak-hak atas kepemilikan properti privat dan mendukung berfungsinya pasar bebas. Jika di bidang tertentu (semisal pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial) pasar tidak ada, maka negara harus menciptakannya. Karena kebijakan welfarism à la Keynesian dianggap sebagai pengganggu mekanisme pasar, maka negara berkewajiban untuk meninggalkan kebijakan tersebut dan berpaling ke arah kebijakan yang lebih mendukung sirkulasi modal transnasional. Selain itu, negara harus menjadi aktor yang kuat supaya mampu menundukkan perlawanan pihak-pihak yang dirugikan oleh mekanisme pasar bebas. Dalam konteks yang demikian, penggunaan kekuatan koersif negara pun disahkan. Lebih dari itu negara tidak berhak ikut campur. Intervensi yang dilakukan negara justru hanya akan mendistorsi berjalannya mekanisme pasar bebas. Dari sini bisa dilihat bahwa neoliberalisme menghancurkan aliansi tripartite pemerintah-bisnis-buruh yang menjadi fondasi tatanan ekonomi dunia pasca-perang (Sugiono, 1999: 147-148; Harvey, 2007: 22-23).

Perangkat institusional terpenting yang digunakan oleh AS untuk menegakkan neoliberalisme adalah WTO, IMF, dan World Bank. Melalui institusi-institusi tersebut AS mengikat negara-negara dunia ketiga dan memaksa mereka untuk mengadopsi kebijakan neoliberal yang berorientasi kepada pengagungan modal transnasional. IMF, misalnya, menggunakan perangkat Structural Adjustment Programs (SAPs) untuk memaksa negara-negara penghutang meliberalkan perdagangannya. Didampingi World Bank, IMF mewajibkan negara-negara penghutang untuk melaksanakan rekomendasi fiskal dan makroekonomi yang berasal dari kedua lembaga tersebut dan mereformasi institusi-institusi politik, hukum, dan perbankan yang sudah tentu diarahkan kepada berjayanya pasar dan mundurnya negara. Selain itu, isu-isu good governance seperti kredibilitas, kepastian, dan transparansi juga menjadi alat untuk memastikan semakin banyak negara yang akan mengadopsi kebijakan neoliberal (Peters, 2005: 5).

Dalam tatanan baru yang kemudian dikenal dengan globalisasi neoliberal ini, terjadi intensifikasi internasionalisasi produksi yang memunculkan apa yang oleh Robinson (2002; 2005) disebut sebagai kelas kapitalis transnasional (Transnational Capitalist Class/TCC). Sebagaimana penulis kemukakan di muka, tatanan yang baru ini mengarah kepada pengagungan modal transnasional melalui pembebasan sirkulasinya ke seluruh dunia diiringi dengan peminggiran peran negara. Ketidakmampuan (atau lebih tepatnya ketidakmauan)

Page 26: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 26

negara untuk melakukan intervensi dalam proses akumulasi kapital global ini dibarengi dengan menguatnya peran kelas kapitalis transnasional dalam proses yang sama. Kelas kapitalis transnasional ini terdiri dari para pemilik korprosai-korporasi transnasional (Trans-National Corporations/TNCs) yang memiliki kapasitas produksi berskala global tanpa dihalangi oleh teritori negara-bangsa (nation-state). Peran kelas ini dalam menentukan tatanan ekonomi dunia lebih besar dibanding negara-bangsa. Beranjak dari analisis berbasiskan negara-bangsa, Robison mengatakan bahwa kelas ini lah yang menjadi hegemon baru menggantikan AS (sebagai negara-bangsa) dan sekaligus menandai berakhirnya periode Pax-Americana.

Meski demikian, secara sepintas tampak bahwa AS masih sangat berkuasa dalam proses internasionalisasi produksi ini. Hal ini dikarenakan, sebagaimana penulis sudah singgung di muka, AS menjadi pemimpin baik secara politik maupun intelektual proses menuju tatanan yang baru tersebut (baca: neoliberalisme). Hanya saja jika kita lihat lebih cermat, tampak bahwa AS tidak lagi setangguh dahulu di era Pax-Americana. Hal ini terutama terjadi justru setelah Perang Dingin berakhir.

Page 27: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 27

BAB III RUNTUHNYA HEGEMONI:

Neoliberalisme dan War on Terrorism

Bab ini akan berisi pembahasan tentang keterkaitan antara hegemoni, neoliberalisme, dan terorisme. Dalam bab ini penulis bermaksud mengatakan bahwa terorisme dan perang melawan terorisme merupakan refleksi dari keruntuhan hegemoni AS yang memunculannya tidak bisa dilepaskan dari neoliberalisme, suatu model tatanan ekonomi internasional yang hadir setelah krisis hegemoni tahun 70-an.

Terorisme sebagai Refleksi Runtuhnnya Hegemoni

Dalam tulisan yang berjudul Terrorism and Hegemonic Decline (tanpa tahun), Bergesen dan Lizardo mengemukakan enam karakter terorisme yang mereka sebut sebagai “potongan-potongan teka-teki” (pieces of puzzle). Potongan pertama, terorisme muncul secara bergelombang. Pecahnya terorisme Arab-Israel di awal 70-an yang berlanjut hingga serangan 11 September 2001 merupakan gelombang ketiga atau terakhir dari sejarah panjang terorisme. Sampai kapan periode ketiga ini berakhir, menurut mereka, masih belum bisa dipastikan. Potongan kedua, berdasarkan pengalaman di masa lalu, terorisme muncul di saat hegemoni menurun. Misalnya, gelombang kedua terorisme berlangsung pada saat hegemoni Inggeris menurun di akhir abad 19 dan awal 20. Potongan ketiga, terorisme muncul di zona semi-pinggiran (semiperipheral zones).

Untuk gelombang ketiga, misalnya, terorisme marak di daerah Timur Tengah dan beberapa vnegara di Asia. Potongan keempat, negara-negara di zona semi-pinggiran ini tidak berperan dalam proses pertarungan memperebutkan dan mempertahankan dan hegemoni. Misalnya, negara-negara yang berpotensi menjadi pesaing bagi hegemoni AS bukanlah negara-negara Timur Tengah, melainkan China dan India (disamping Uni Eropa) (Gupta, 2006). Potongan kelima, para teroris menggunakan sentimen religius dan/atau nasionalisme etnis sebagai retorika perlawanan terhadap kekuatan asing, penjajah, atau hegemoni.

Potongan keenam, terorisme menyebar secara global dari zona semi-pinggiran hingga daerah pusat (cores). Mencermati apa yang ditulis oleh Bergesen dan Lizardo di atas, terutama poin kedua, kita bisa melihat terdapat hubungan yang tidak kebetulan antara hegemoni dan terorisme. Di gelombang pertama, mengiringi menurunnya hegemoni Spanish Hapsburgs, terorisme mengambil bentuk berupa perampokan oleh tentara-tentara yang tidak dipekerjakan dan kekerasan agama antara umat Katolik dan Protestan. Terorisme model ini memang agak sulit dipisahkan dengan terorisme negara dan perang yang terjadi antara para pengeran karena di awal terjadi kekaburan antara kekerasan yang terjadi antara negara dan masyarakat sipil dengan tindakan terorisme. Namun di gelombang

Page 28: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 28

kedua, mengiringi menurunnya hegemoni Inggris, pemisahan itu semakin jelas dengan munculnya kekerasan- kekerasan sipil berupa terorisme anarkis yang berujung pada kekerasan negara di Perang Dunia I. Sebagaimana umum diketahui, perang tersebut dipicu oleh sebuah tindakan anarkis, yakni pembunuhan seorang pangeran Austria Francis Ferdinand yang dilakukan oleh seorang anarkis radikal dari Bosnia bernama Gavrilo Princip (Bergesen dan Lizardo, tanpa tahun: 6).

Untuk gelombang ketiga, sebagaimana penulis sampaikan di depan, terorisme muncul mengiringi menurunnya hegemoni AS mulai dari tahun 70-an. Terorisme, sebagaimana dicatat Cox (2004: 318), muncul karena legitimasi dari tatanan mapan yang ada telah runtuh, dan konflik yang muncul sebagai lanjutan dari keruntuhan tersebut tidak terdamaikan. “„Terrorism‟ is the weapon of the weaker force confronting military and police power. It arises when conflict appears to be irreconcilable, non-negotiable. It can work when the legitimacy of the established order is already undermined,” tulis Cox. Penggunaan kata ”teroris” syarat dengan muatan politis, yakni penciptaan dan pencitraan liyan (otherness) yang illegitimate, yang diposisikan sebagai lawan dari kemapanan yang legitimate. Sebagaimana dinyatakan oleh Cox (2004: 318), ”The word „terrorist‟ is used by established authority to stress the illegitimacy of the perpetrators of irregular violence. Those people prefer words like „freedom fighters‟ and „martyrs‟ that lay claim to an alternative legitimacy”.

Dalam konteks inilah war on terrorism sebenarnya merupakan bagian dari upaya AS untuk mempertahankan supremasinya. Apakah berhasil? Menurut penulis tidak. Dan penulis tidak sendirian. Wallerstein, misalnya, mengatakan dengan tegas bahwa “the United States has been fading as a global power since the 1970s, and the U.S. response to the terrorist attacks has merely accelerated this decline” (Wallerstein, 2002). Lebih jauh, dalam konteks hegemoni Gramscian, upaya AS untuk mempertahankan supremasi melalui war on terrorism ini menunjukkan runtuhnya hegemoni dan membawanya kepada model supremasi yang kedua, yakni dominasi.

Kegagalan Neoliberalisme dan Munculnya Terorisme

Sebagaimana penulis kemukakan di muka, neoliberalisme muncul sebagai respon terhadap krisis di tahun 70-an. Begitu dirasa bahwa model manajemen ekonomi Keynesian tidak lagi mampu menjawab tantangan krisis yang ada, maka negara-negara di blok kapitalis dipimpin oleh AS dan Inggris mengubah orientasi kebijakan perekonomiannya menjadi hiperliberal. Dengan perangkat institusi-institusi internasional—yang terpenting di antaranya adalah IMF, World Bank, dan WTO—AS menyebarkan gagasan dan praktik neoliberal ke negara-negara lain baik dengan cara yang halus (untuk negara-negara Eropa mislanya) maupun yang kasar (Amerika Utara, Asia, dan Amerika Latin). Tergambarkan secara singkat dan tepat dalam slogan yang amat terkenal dari Margareth Tatcher, “there is no

Page 29: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 29

alternative” (TINA), para pendukung neoliberalisme ini percaya bahwa satu-satunya jalan yang bisa dan harus ditempuh negara untuk menuju kemakmuran dan kesejahteraan adalah dengan mengadopsi model perekonomian neoliberal. Mereka juga percaya bahwa neoliberalisme baik untuk semua orang karena mampu menyediakan apa yang dibutuhkan manusia, semisal pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan keamanan.

Berangkat dari sebuah kepercayaan bahwa kebebasan dan kemerdekaan pribadi (individual liberty and freedom) merupakan nilai pokok peradaban yang suci dan harus dijunjung tinggi, para pendiri neoliberalisme beranggapan bahwa nilai tersebut terancam tidak hanya oleh fasisme, kediktatoran, dan komunisme, tetapi juga oleh adanya berbagai bentuk intervensi negara yang mengambil alih kebebasan individu untuk memilih. Mereka berkesimpulan bahwa adalah sulit untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang menjaga dan menghargai kebebasan pribadi tanpa adanya kakuatan dan inisiatif yang diasosiasikan dengan kepemilikan pribadi (private property) dan pasar yang kompetitif (competitive market) (Harvey, 2005: 24). Karena itu lah peran negara harus diminimalisir.

Meskipun gagal mengembalikan hegemoninya seperti era pra 70-an, namun pada mulanya AS berhasil menjadikan neoliberalisme sebagai sistem perekonomi dominan di dunia melalui proses “naturalisasi” ide (Harvey, 2003) yang membuatnya diterima sebagai “common sense” (Peterson, 2005). Meski demikian, lama-kelamaan tampak bahwa sistem ini semakin terdeligitimasi. Menurut Peterson (2005), neoliberalisme tidak stabil setidaknya karena dua hal. Pertama, apa yang dihasilkan oleh neoliberalisme tidak sama dengan klaim yang dikeluarkannya. Kesenjangan antara klaim dan fakta ini bukan hanya merupakan suatu ekses yang ”bersifat mengganggu,” melainkan sudah berupa suatu kontradiksi yang sistemik. Kedua, buah dari kesenjangan itu sendiri, yakni marjinalisasi yang ditimbulkan oleh neoliberalisme, bersifat merusak kestabilan (destabilizing) sistem.

Sebagaimana dicatat Harvey (2003), neoliberalisme telah membuahkan berbagai kerusakan tidak hanya pada kerangka institusional dan kekuasaan yang dulunya ada (semisal kedaulatan negara di bidang ekonomi-politik), tapi juga hal-hal lain seperti pembagian kerja (division of labor), hubungan sosial, penyelenggaraan kesejahteraan, pola hidup, kepemilikan lahan, pola pikir, dan lain-lain. Melalui privatisasi social security, neoliberalisme melakukan apa yang oleh Harvey (2004) disebut sebagai accumulation by dispossession, yakni perampasan hak-hak universal manusia secara masif dalam rangka mengakumulasi kapital. Secara singkat bisa dikatakan bahwa alih-alih mendatangkan kemakmuran bagi semua orang sebagaimana klaim yang dilontarkan para pendukungnya, neoliberalisme justru telah mengakibatkan makin meningkatnya kesenjangan global dan termarjinalisasinya mayoritas penduduk dunia. Pada akhirnya, menurut Peterson (2005), marjinalisasi yang berjalan secara ekstensif ini akan mengancam koherensi, legitimasi, dan keberlangsungan stabilitas sistem yang ada karena akan memunculkan respon berupa kemarahan, resistensi, dan kekerasan.

Misalnya, sebagaimana dikemukakan Reitan (2005), globalisasi neoliberal telah berdampak pada bangkit dan tumbuh suburnya aktivisme transnasional. Ia mencatat antara tahun 1973

Page 30: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 30

hingga 1993, s e b u a h p e r i o d e yang beririsan dengan masa kejayaan neoliberalisme, terdapat kenaikan jumlah organisasi pergerakan sosial transnasional yang memiliki perhatian terhadap isu-isu HAM, lingkungan, hak-hak perempuan, perdamaian, dan pembangunan menjadi berjumlah 600, atau mengalami kenaikan tiga kali lipat. Sejak tahun 1983, organisasi-organisasi ini saling meningkatkan jejaring di antara mereka. Yang lebih mengesankan, sekarang aktivisme ini tidak semata-mata terkonsentrasi di satu atau dua benua saja sebagaimana di tahun 80-an, melainkan menyebar di seluruh benua: Amerika Utara, Amerika Latin, Asia, Eropa, dan Afrika.

Para aktivis yang terlibat dalam gerakan ini menyuarakan kritisisme mereka terhadap neoliberalisme beserta atribut-atributnya semisal internasionalisasi keuangan, rejim perdagangan tertentu, dan korporasi-korporasi transnasional. Secara lebih spesifik, mereka mengecam adanya kecenderungan negatif yang berjalan seiring dengan neoliberalisme, yakni terjadinya konsentrasi kekayaan dan kekuasaan dan rusaknya ekosistem, lingkungan, dan kehidupan. Konsentrasi kekayaan yang terjadi misalnya ditunjukkan oleh beberapa fakta berikut: dari 100 pelaku ekonomi paling kaya dunia, 51 di antaranya bukanlah negara, melainkan korporasi; di awal 90-an, gaji para CEO di Amerika 104 kali lebih tinggi dibanding gaji pekerja dan naik menjadi 458 ka l i di tahun 2000; aset 475 orang terkaya dunia setara dengan aset separoh orang termiskin dunia; sementara di tahun 1960 rata-rata pendapatan penduduk di negara-negara utara sembilan kali lipat dibandingkan penduduk Afrika, di tahun 1990-an angka tersebut naik dua kali lipat.

Salah satu ironi paling besar dari globalisasi neoliberal, menurut para aktivis ini, adalah bahwa negara-negara di Asia yang berperan untuk mengecilkan kesenjangan yang terjadi—negara-negara yang mendapat julukan ”macan Asia”seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Malaysia—justru bukanlah negara-negara yang mengikuti resep-resep yang

ditawarkan oleh neoliberalisme seperti privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi, melainkan negara-negara yang menerapkan proteksionisme guna menyokong industri dalam negeri dan pertanian serta mengontrol masuknya modal asing (Reitan, 2005: 4). Hal ini bisa dimengerti mengingat suatu negara yang mengadopsi neoliberalisme akan memiliki banyak keterbatasan. Misalnya, negara tersebut menjadi kurang stabil ketika harus menghadapi kekuatan modal yang selalu berpindah (Moon, 2004: 12).

Para pemrotes tersebut sebenarnya tidak menolak sepenuhnya globalisasi. Yang mereka tolak adalah ekses-ekses destruktif dari globalisasi neoliberal. Bagi mereka, pemujaan terhadap pasar bebas telah membuat para pendukung neoliberalisme buta terhadap ekses negative yang dihasilkan oleh beroperasinya pasar bebas tanpa kendali. Yang menjadi persoalan, sebagaimana dicatat Silver dan Arrighi (2003: 350), ”bukanlah bahwa pasar selalu salah dan karenanya harus dikoreksi. Persoalan yang sesungguhnya adalah bahwa beberapa negara memiliki kekuatan untuk membuat beroperasinya pasar bebas di dunia menguntungkan bagi mereka, sementara negara-negara yang lain tidak memiliki kemampuan itu dan harus menanggung bebannya.” Penanggungan beban ini telah memicu munculnya resistensi dari kalangan akar rumput (grassroot) dan meningkatkan kecenderungan terjadinya kekacauan

Page 31: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 31

sosial di negara-negara dunia kedua dan ketiga.

Dalam konteks ini, maka terorisme bisa kita maknai sebagai bagian dari resistensi orang terhadap marjinalisasi yang berlangsung secara eksesif. Para teroris itu, yang sering dilabeli sebagai kaum ekstremis Islam, merupakan representasi dari orang-orang miskin yang termarjinalkan, dan aksi terorisme yang mereka lakukan adalah ”wujud salah” dari ekspresi perlawanan mereka terhadap eksploitasi dan ketidakadilan yang berlangsung. Sebagaimana dikatakan Friedman (2004), “The terrorists are mere intermediaries, whose reaction against oppression and poverty is the displaced action of the imperial center upon itself.

Sementara perang melawan terorisme, di sisi lain, bisa kita maknai sebagai respon terhadap munculnya perlawanan yang dipicu oleh dampak destruktif globalisasi neoliberal. Sebagaimana dikatakan Walden Bello, salah satu pengkritik paling keras globalisasi, “with the growing illegitimacy of corporate-driven globalization and the growing divide between a prosperous minority and an increasingly marginalized majority, military intervention to maintain the global status will become a constant feature of international relations, whether this is justified in terms of fighting drugs, fighting terrorism, containing "rogue states," opposing "Islamic fundamentalism," or containing China (Bello, 2001).

Tentu saja pendapat semacam ini mendatangkan dilema. Pertanyaannya adalah, jika marjinalisasi yang disebabkan oleh neoliberalisme menjadi pemicu bagi terorisme, mengapa terorisme tidak muncul di daerah-daerah di mana marjinalisasi berlangsung dengan lebih massif seperti Afrika dan Amerika Latin? Pertanyaan ini menggoda kita untuk memilih mencari penjelasan lewat Huntington dengan toerinya yang masyhur tentang benturan peradaban (clahs of civilisations). Penulis tidak bermaksud mengabaikan anggapan yang demikian karena pada kenyataannya orang-orang Islam, terutama di Timur Tengah, beranggapan bahwa AS merupakan negara yang arogan dan berstandar ganda, yang parahnya lagi menjadi pendukung utama gerakan zionisme Israel, musuh paling besar di mata orang-orang Islam. New York Times edisi 16 Juli 2001, dua bulan sebelum serangan ke WTC, menggambarkan dengan tepat persepsi orang- orang Islam dan Arab terhadap AS dengan kalimat “...to most people in the Islamic and Arab worlds, the official US is synonymous with arrogant power, known for its sanctimoniously munificent support not only of Israel but of numerous repressive Arab regimes, and its inattentiveness even to the possibility of dialogue with secular movements and people who have real grievances (dikutip dari Friedman, 2004: 2).

Namun demikian, penulis bermaksud mengajukan pertanyaan lanjutan: jika memang benturan peradaban menjadi penjelas utama di balik munculnya terorisme, mengapa terorisme gelombang ketiga (meminjam istilah Bergesan dan Lizardo) baru muncul akhir-akhir ini saja? Bukankah perbedaan peradaban sudah terjadi sejak dulu? Mengapa baru mengalami benturan sekarang?

Dengan mempertimbangkan baik globalisasi neoliberal maupun benturan peradaban,

Page 32: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 32

penulis bermaksud mengatakan bahwa dua hal tersebut berjalin- kelindan dalam kemunculan terorisme. Globalisasi neoliberal telah mendatangkan marjinalisasi yang luar biasa bagi sebagian besar umat Islam, tidak hanya di dunia Arab tetapi juga di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Dan, terima kasih kepada globalisasi, teknologi informasi yang berkembang pesat memberi kesempatan kepada semua orang untuk mengakses berbagai macam informasi dari seluruh dunia. Dipadu dengan kebencian yang memang sudah lama terpendam dalam diri orang-orang Islam tertentu, maka faktor-faktor pemicu munculnya terorisme menjadi semakin komplit. Perlu juga dicatat bahwa para teroris memanfaatkan internet, salah satu simbol teknologis utama globalisasi, sebagai sarana untuk menjalankan aksi-aksi teror.

War on Terrorism di antara Neoliberalisme, Militerisme, dan Empire

Membaca keterkaitan antara neoliberalisme dan militerisme akan dihadapkan pada sebuah dilema. Hal ini dikarenakan neoliberalisme dan militerisme memiliki logika yang berbeda, bahkan berlawanan. Di satu sisi, neoliberalisme mengandaikan sebuah tatanan dunia yang dicirikan oleh adanya keterbukaan, kebebasan, dan kesalingtergantungan. Neoliberalisme ingin menghilangkan batas-batas negara bangsa dalam interaksi ekonomi sehingga mengasumsikan dunia sebagai sebuah desa global (global village). Dalam konteks semacam ini, kerja sama (cooperation) antar negara menjadi sesuatu yang sangat penting. Para pendukung neoliberalisme berpendapat bahwa negara-negara liberal-demokratis yang menerapkan sistem pasar bebas akan cenderung menghindari perang, dan sebaliknya inisiatif perang akan lebih mungkin muncul dari negara yang tidak demokratis (Friedman, 2000: 249).3

Sementara itu, militerisme, dalam konteks internasional, memperoleh legitimasi teoritisnya

dari realisme yang mengandaikan setiap negara selalu punya kecenderungan untuk berperang dengan negara lain. Karena itu, setiap negara harus berlomba-lomba memperkuat kemampuan berperangnya. Sebagaimana dikatakan Kenneth Waltz:

“The state among states, it is often said, conducts its affairs in the broading shadow of violence. Because some states may at any time use force, all states must be prepared to do so—or live at the mercy of their militarily more vigorous neighbours. Amont states, the state of nature is the state of war” (Waltz, 1979: 03).

Namun demikian, yang terjadi sekarang adalah keduanya saling berkait dengan erat. Secara skematis, hubungan antara neoliberalisme dan militerisme mewujud sebagai berikut:

3 Perlu dicatat bahwa neoliberalisme sebagai terma ekonomi yang identik dengan globalisasi tidak sama dengan

neoliberalisme yang dalam diskursus politik internasional seringkali dilawankan dengan neorealisme. Hanya saja, dalam beberapa asumsi dasarnya terdapat kesamaan yang menjadi benang merah penghubung di antara keduanya. Misalnya, kepercayaan bahwa perdagangan bebas akan mendatangkan perdamaian (Friedman, 2000: 249. Lebih jauh soal perdebatan antara neorealisme dan neoliberalisme dalam konteks politik internasional, lihat Baldwin, 1993).

Page 33: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 33

neoliberalisme membutuhkan kekuatan militer untuk kepentingan ekspansi pasar bebas, dan ekspansi pasar bebas menjadi bagian dari strategi untuk memelihara keamanan dan tatanan dunia (Friedman, 2000; Figueredo, 2007). Yang pertama tergambarkan dalam pernyataan masyhur Thomas L. Friedman, salah satu pendukung paling gigih neoliberalisme, dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree yang terbit di tahun 1999.

”The hidden hand of market will never work without a hidden fist…McDonald‟s cannot flourish without McDonnel Douglas” (dikutip dari Engler, 2004). McDonnel Douglas adalah desainer US Air Force F-15, dan hidden fist yang dimaksud adalah “US Army, US Air Force, Navy and Marine Corps.”

Secara lebih gamblang, Ralph Peter, mantan pejabat intelejen AS, memberi tahu kita tentang arti penting peran militer dalam konteks neoliberalisme dan pemeliharaan supremasi AS.

“We are entering a new American century, in which we will become still wealthier, culturally more lethal, and increasingly powerful. We will excite hatreds without precedent… The de facto role of the US armed forces will be to keep the world safe for our economy and open to our cultural assault. To those ends, we will do a fair amount of killing” (dikutip dari Pieterse, 2004: 134).

Sedangkan yang kedua bisa kita telusuri dalam strategi keamanan nasional AS di era Presiden Bush (dikenal sebagai Bush Doctrine) yang menjadi semacam manifesto war on terrorism. Salah satu poin strategi keamanan AS adalah “ignite a new era of global economic growth through free markets and free trade” (U.S. National Security Council, 2002: 17: 2006: 25). Karenanya, tidak mengherankan jika retorika yang dipakai oleh Presiden Bush dalam dokumen strategi kemanan nasional-nya merujuk pada retorika neoliberal. Misalnya, dokumen itu diawali dengan sebuah kalimat“the great struggles of the twentieth century between liberty and totalitarianism ended with a decisive victory for the forces of freedom—and a single sustainable model for national success: freedom, democracy, and free enterprise” (US National Security Council, 2002: iv).

Kalau kita memperhatikan pernyataan Robert Zoellick, salah satu penandatangan Project for a New American Century, akan kita temukan kesamaan logika yang menghubungkannya. “Trade is more than economic efficiency. It‟s about America‟s role in the world,” tulisnya (dikutip dari Pieterse, 2004).

Kesalingterkaitan antara neoliberalisme dan militerisme ini mengarah kepada apa yang oleh Pieterse (2004) disebut sebagai neoliberal empire. Dalam neoliberal empire, proyek neoliberal diarahkan untuk menjaga kepentingan dari empire, dalam hal ini AS, dan memastikan bahwa negara-negara lain berada di bawah kendali dan kemauan AS. Neoliberal empire ditandai dengan inkonsistensi penerapan kebijakan neoliberal dan upaya untuk menggabungkan antara Amerika yang bisnisnya adalah bisnis dengan Amerika yang bisnisnya adalah perang (dengan catatan ketika bisnis yang pertama tidak berjalan baik). Inkonsistensi ini

Page 34: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 34

menjadi keniscayaan karena sementara neoliberalisme menghendaki terbangunnya legitimasi transnasional melalui prinsip-prinsip ekonomi politik (transparansi, akuntabilitas, good governance), empire justru membutuhkan kurangnya transparansi (karena empire menghendaki kerahasiaan), kurangnya akuntabilitas (karena empire menghendaki hak istimewa bagi para elitenya), dan kurangnya good governance (karena kebebasan sipil dapat menghalangi konsentrasi kekuasaan).

Maka, sebagaimana dicatat Hadiz (2006: 1-2), neoliberalisme menjadi semakin tidak liberal, bahkan semakin otoriter, baik dalam sifat maupun konsekuensi dari praktiknya. Hal ini bisa dilihat dari praktik war on terrorism yang dilakukan di Asia. Selain dilakukan dengan cara yang tidak liberal, war on terrorism juga telah menguatkan kecenderungan negara-negara Asia untuk mengarah ke otoritarianisme.

Dalam neoliberal empire, kebijakan luar negeri yang dijalankan diwarnai oleh apa yang disebut sebagai offensive liberalism (Miller, 2004). Offensive liberalism percaya bahwa mempengaruhi rezim internal suatu negara yang menjadi musuh untuk mengarah ke liberalisasi merupakan solusi yang paling efektif dan fundamental bagi persoalan keamanan. Liberalisasi ekonomi, bagi para penganut liberalisme model ini, akan menghasilkan keterbukaan politik dan demokrasi, dan karenanya meminimalisir kecenderungan berperang. Demi tujuan itu, maka mereka tidak segan menggunakan metode koersif untuk menekan negara-negara tertentu agar menerapkan perekonomian pasar bebas, atau disebut sebagai ”politik pintu terbuka” (open door policy). Dalam konteks semacam itu, bisa dikatakan bahwa kebijakan liberal disebarkan dengan cara yang iliberal, atau lebih tegasnya, imperial.

Kalau kita melihat kembali ke belakang, tampak bahwa frekuensi aksi-aksi imperial yang dilakukan AS lebih besar di era pasca-70-an dibanding sebelumnya. Go (2007) mencatat pada periode 1946-1980, AS melakukan aksi imperial sebanyak 25 kali, sedangkan dari tahun 1981-2003 j u m l a h n y a m e n i n g k a t h a m p i r d u a k a l i l i p a t m e n j a d i 46 kali (lihat table 1). Menurut Go, hal ini menunjukkan bahwa di era penurunan hegemoni, kecenderungan perilaku imperial sang hegemon lebih besar dibanding di era kematangan hegemoni (lihat Tabel).

Tabel Jumlah Aktivitas Imperialistik AS periode 1907-2003 Sumber: Go (2007: 26).

Years Historical Phase Number

1907-45

1946-80

1981-2003

Pre-hegemony

Hegemonic maturity and beginning of decline

Decline

46

25

46

Page 35: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 35

Jika demikian, kita bisa katakan bahwa sejak dulu AS memang memiliki kecenderungan ke arah aktivitas imperial. Hanya saja, postur kecenderungan tersebut tidak konstan. Pada masa di mana hegmeoni AS mulai menurun, bersamaan dengan itu pula aktivitas imperial lebih sering dilakukan, dan lebih sering bersifat agresif-ekspansionis. Pertanyaanya adalah, mengapa kecenderungan itu kelihatan sangat besar, bahkan terlalu besar, di era Presiden Bush? Tentu saja, sebagaimana sudah penulis sampaikan di muka, ini ada kaitannya dengan neoliberal empire. Namun demikian, untuk mencari penjelasan yang lebih lengkap lagi, kita perlu melihat aspek dinamika politik domestik AS sendiri. Dalam kerangka perumusan kebijakan luar negeri yang dibuat oleh Allison (1971), inilah yang disebut sebagai model govermental politics.

Menurut Beeson (2004), kecenderungan pengarusutamaan (mainstreaming) kekuatan militer dalam kebijakan luar negeri AS tidak bisa dilepaskan dari bangkitnya neokonservatifme (neocons) dalam tubuh pemerintahan Presiden Bush. Para penganut neocons ini, yang merupakan sayap kanan Partai Republik, dibekali dengan kepercayaan kuat terhadap keistimewaan Amerika (American Exceptionalism) sebagai negara yang diberkati oleh Tuhan dan memperoleh misi agung untuk menjadi mercusuar dunia. Nilai-nilai yang dimiliki Amerika, seperti kebebasan dan demokrasi, merupakan nilai luhur yang harus ditularkan kepada negara-negara lain.

Selain itu, sebagaimana dikatakan Callinicos (2003), mereka juga dipengaruhi oleh tiga sikap, yakni pesimisme, optimisme, dan ketidaksabaran terhadap prosedur. Pesimisme dipicu oleh pandangan bahwa supremasi Amerika akan terancam oleh munculnya pesaing baru setelah runtuhnya Uni Soviet. Sedangkan optimisme dipicu oleh fakta bahwa saat ini AS tidak, atau lebih tepatnya belum, memiliki rival di level global dan jika menghendaki AS bisa mengalahkan semua musuh yang berpeluang menjadi ancaman (dalam bahasa Bush yang ideologis, ”axis of evil” atau ”rouge states”). Kekuatan militer AS merupakan yang tertangguh di seluruh dunia. Paduan antara pesimisme dan optimisme ini membuat AS tidak sabar terhadap prosedur-prosedur yang hanya akan memperlambat dan melemahkan respon terhadap peluang ancaman yang akan muncul. Kita bisa simak ini dari kecenderungan tindakan unilateral yang sejak awal pemerintahannya sudah dikedepankan oleh Presiden Bush (Brown, 2005; Peschek, 2005; Smith, 2002). Misalnya, keputusannya untuk menarik diri dari Anti-Balistic Missile Treaty yang selama 30 tahun telah membawa stabilitas di antara negara-negara pemegang kekuatan nuklir, terutama antara AS dan Uni Soviet (Rusia).

Selain Presiden Bush sendiri ,ada banyak aktor di balik bangkitnya neocons ini. Misalnya, untuk aktor politik, nama-nama yang terkenal antara lain Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Condoleezza Rice, John Bolton (Wakil Menteri Negara Urusan Kontrol Senjata dan Keamanan Internasional serta mantan Presiden The American Enterprise Institute), Elliot Abrams (Kepala U.S. National Security Council), dan Richard Perle (mantan Asisten Sekretaris Pertahanan di era Reagan, pendiri Center for Security Policy dan salah satu pendukung utama Perang Irak). Sedangkan aktor-aktor intelektual utamanya adalah

Page 36: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 36

William Kristol, Robert Kagan, dan Norman Podhoretz. Lembaga-lembaga yang menaungi para neocons ini adalah Project for New American Century, The American Enterprise Institute, The Jewish Institute for National Security Affairs, The Hudson Institute, The Heritage Foundation, dan The Center for Security Policy (Callinicos, 2003; Beeson, 2004).

Para pemeluk neocons ini juga merupakan para pemuja neoliberalisme. Paul Wolfowitz, misalnya, pernah menjadi Gubernur Bank Dunia sebelum akhirnya diberhentikan karena tersandung skandal keuangan yang melibatkan kekasihnya. Selain itu, para pemeluk neocons ini juga merupakan aktor penting di balik p r o y e k war on terrorism dan—sekedar sebagai catatan—beberapa di antaranya, semisal Wolfowitz dan Podhoretz, adalah o r a n g Yahudi. Begitu kuatnya pengaruh neocons dalam tubuh pemerintahan Presiden Bush sehingga mereka yang tidak neocons akan tersisih dari jabatan-jabatan kunci yang berperan dalam mengambil keputusan strategis. Collin Powel, misalnya, pada akhirnya harus rela mundur dari jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri dan digantikan oleh tokoh yang sangat neocons, Condoleezza Rice.

Untuk melihat lebih jauh bagaimana war on terrorism, neoliberalisme, militerisme, dan empire saling terkait, “beruntung” kita memiliki contoh yang sangat tepat, yakni Perang Irak tahun 2003. Dengan berbagai retorikanya tentang Senjata Pemusnah Massal, sarang teroris, axis of evil, rough state, dan panggilan Tuhan untuk membebaskan rakyat Irak dari cengkeraman rezim despotik Saddam Husein, tampak bahwa Presiden Bush menjadikan Perang Irak sebagai bagian dari upayanya untuk melawan terorisme. Pada saat yang sama, setidaknya ada tiga argumen yang bisa diajukan untuk mengaitkan antara perang Irak dengan agenda neoliberal. Pertama, AS menggandeng partner dari kalangan bisnis untuk

keperluan perang Irak. Kedua, demi kepentingan perang, AS menaikkan anggaran militer sedemikian rupa sehingga anggaran untuk jaring pengaman sosial semakin dikurangi. Ketiga, restrukturisasi atas Irak yang dilakukan AS sangat diwarnai oleh agenda-agenda neoliberal seperti privatisasi (Engler, 2004).

Militerisasi dan empire bisa dibaca dari cara-cara AS melancarkan Perang terhadap Irak: penaikan anggaran militer besar-besaran, pengabaian resolusi PBB, berbagai kasus pelanggaran terhadap hukum perang (semisal kasus Abu Ghuraib), kepentingan AS terhadap kontrol atas minyak, dan berbagai propaganda media baik ke dalam maupun ke luar untuk mendukung perang. Yang perlu dicatat, selain menghasilkan kecenderungan ke arah otoritarianisme ke luar, war on terrorism juga mengasilkan otoritarianisme ke dalam. Sebagaimana dicatat Giroux (2005), perang melawan terorisme yang dilancarkan oleh Bush telah membawa Amerika ke dalam rezim fasisme baru yang disebutnya proto-fascism. Di antara beberapa cirinya adalah: Pertama, pemujaan terhadap tradisionalisme dan modernisme reaksioner. Ini bisa dilihat dari bangkitnya para ekstremis Kristen Evangelis yang bergandengan dengan para neo-conservatis. Kedua, korporatisasi masyarakat sipil dan menghilangnya ruang publik (public sphere). Ini bisa dilihat dari dihancurkannya ruang publik oleh korporasi. Ketiga, kontrol atas media yang dilakukan pemerintah melalui regulasi

Page 37: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 37

untuk kepentingan propagandanya. Keempat, manipulasi bahasa untuk kepentingan propaganda rezim.

Neoliberalisme, Terorisme, dan Pengarusutamaan Paksaan

Dengan mencermati apa yang telah disampaikan di muka, penulis sampai pada kesimpulan bahwa hegemoni AS semakin menunjukkan kelemahannya dengan adanya war on terrorism yang berkaitan dengan neoliberalisme. Beberapa argumen berikut kiranya bisa dijadikan pijakan. Pertama, terjadinya pengarusutamaan penggunaan kekuatan pemaksa (mainstreaming the use of force) dalam kebijakan luar negeri AS. Ini mencakup dua hal, yakni penyebaran neoliberalisme dan perang melawan terorisme. Penyebaran neoliberalisme dengan metode koersif tidak saja dilakukan melalui tekanan-tekanan struktural dari lembaga-lembaga internasional semacam IMF dan World Bank serta WTO, tetapi juga melalui kekuatan militer sebagaimana yang diceritakan oleh sang Economic Hitman dalam karyanya yang kontroversial, The Confession of an Economic Hitman (Perkins, 2004), ketika metode persuasif tidak berfungsi (sebuah gambaran yang sangat jelas dari perselingkuhan McDonald dengan McDonnel Douglas).

Sedangkan untuk perang melawan terorisme, penggulingan rejim Taliban di Afganistan dan Saddam Husein di Irak (yang ini juga terkait dengan agresivisme neoliberal), serta ancaman AS terhadap negara-negara yang disebut sebagai “rouge state” atau “axis of evil” menjadi bukti konkret dari kecenderungan tersebut. Dilihat dari perspektif Gramscian, jelas pengarusutamaan penggunaan kekuatan pemaksa ini merupakan indikasi dari lemahnya “cengkeraman ideologis” sang hegemon. Sebagaimana penulis tulis di Bab I, ”penggunaan metode koersif tersebut menunjukkan kelemahan ideologis dan kultural dari penguasa yang sedang mengalami krisis hegemoni.”

Selain itu, menurut Peschek (2005), penggunaan kekuatan militer untuk mengalahkan terorisme tidak akan berhasil. AS harus memfokuskan diri pada lebih dari sekedar kelompok teroris, tetapi juga aktor-aktor non-negara yang menyebabkan kesenjangan antara Utara dan Selatan serta melakukan upaya untuk merekonstruksi tatanan dunia agar bisa memerangi kerusakan negara-negara dunia ketiga yang diakibatkan oleh gagalnya strategi pembangunan dan kurangnya bantuan. Senada dengan itu, Aysha (2005) mengatakan bahwa penggunaan kekuatan koersif dalam war on terrorism hanya akan membangkitkan kemarahan publik sehingga memberi tanah yang subur bagi tumbuhnya terorisme.

Kedua, berbagai aksi global yang dilakukan AS sekarang lebih sering kekurangan legitimasi, baik di level negara maupun masyarakat sipil. Kurangnya legitimasi ini juga meliputi dua hal, yakni legitimasi terhadap gagasan dan praktik neoliberal dan legitimasi terhadap perang melawan terorisme. Untuk deligitimasi terhadap gagasan neoliberal di level negara, kita bisa menengoknya ke Amerika Latin di mana ”pemimpin-pemimpin alternatif” seperti Hugo

Page 38: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 38

Chavez dan Evo Morales sekarang menjadi bintang dunia. Selain itu, keberhasilan negara-negara berkembang dalam ”perang urat” melawan negara-negara maju di Konferensi WTO di Cancun tahun 2003 yang mengakibatkan deadlock juga tidak boleh diabaikan.

Adapun di level masyarakat sipil, delegitimasi bisa dilihat dari menguatnya gerakan-gerakan perlawanan global sebagaimana yang telah penulis sampaikan di muka (ingat Geger Seattle tahun 1999). Yang juga tidak boleh dilupakan adalah deligitimasi secara intelektual. Dalam hal ini penulis kira Joseph E. Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001 yang juga mantan Ketua Dewan Penasehat Ekonomi Gedung Putih (1993-1997) dan ekonom utama Bank Dunia (1991-2000), dengan buku masyhurnya Globalization and Its Discontents (2002) menjadi salah satu symbol perlawanan intelektual yang paling kuat terhadap neoliberalisme.

Sedangkan untuk deligitimasi terhadap perang melawan terorisme, kita juga bisa melacaknya di level negara dan masyarakat sipil. Di level negara, kegagalan Presiden Bush untuk menggalang dukungan di PBB menunjukkan bahwa retorika perang melawan terorisme dalam Perang Irak 2003 tidak memperoleh sambutan sebagaimana yang diharapkan dari negara-negara lain, terutama kekuatan- kekuatan besar pemegang hak veto seperti Perancis, Rusia, dan China (Odom, tanpa tahun: 8). Untuk level masyarakat sipil, opini publik yang dilacak lewat berbagai poling—salah satunya dilakukan oleh The Pew Center, sebuah lembaga poling internasional yang sudah berpengalaman melakukan survei terhadap perilaku global—menunjukkan bahwa mayoritas publik dunia, meskipun sudah coba dikonstruk melalui berbagai upaya propaganda dan sensor oleh pemerintah AS (Seppälä, 2004), tidak setuju dengan Perang Irak dan menganggap bahwa pemerintahan Presiden Bush gagal dalam menangani terorisme (lihat Ginneken, 2007).

Misalnya, mayoritas suara di dua belas dari lima belas negara (termasuk AS dan Eropa) menyatakan bahwa Perang Irak justru semakin membahayakan dunia alih-alih memberikan rasa aman. Bahkan semua negara, kecuali AS dan Jerman, memandang bahwa kehadiran AS di Irak merupakan ancaman yang lebih besar bagi dunia dibanding Iran dengan program nuklirnya (Ginneken, 2007: 325).

Sebuah survei lain yang dilakukan oleh The Center for American Progress dengan koresponden lebih dari 100 ahli terkemuka di bidang keamanan nasional dan kebijakan luar negeri di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa mayoritas responden menganggap Presiden Bush menapaki jalur kebijakan yang salah. Terungkap juga bahwa 86 persen di antaranya beranggapan bahwa dunia saat ini menjadi lebih berbahaya bagi warga AS, dan 84 persennya mengatakan bahwa AS tidak memenangkan perang melawan terorisme (Ginniken, 2007: 326). Ini menunjukkan bahwa upaya penggunaan perangkat hegemonik oleh Presiden Bush, yakni media masa, tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

Ketiga, kecenderungan tindakan unilateral AS semakin menjauhkannya dari para sekutunya dan mengabaikan kepentingan mereka. Sebagaimana dicatat Aysha (2005: 202), tatanan dunia yang hegemonik menurut Cox adalah suatu tatanan dunia yang mampu menyediakan

Page 39: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 39

keuntungan material yang nyata bagi negara-negara lain dan para elitnya, selain juga harus memberikan keuntungan jangka panjang bagi sang hegemon. Dalam konteks ini, maka tindakan AS yang sangat bernuansa unilateral, semisal keenggenannya untuk meratifikasi Protokol Kyoto, penarikan dirinya dari Anti-Balistic Missile Treaty (ABM Treaty), dan invasinya ke Irak yang jelas-jelas tidak mempertimbangkan kepentingan negara- negara lain, menjadi penanda betapa AS tidak lagi mau, atau mampu, menjaga tatanan dunia yang hegemonik.

Selain itu, tindakan unilateral juga merupakan indikasi bahwa AS tidak lagi bisa mengorganisir persetujuan (consent) dan memperoleh legitimasi dari para sekutunya. Padahal persetujuan, dalam kerangka hegemoni Gramscian, merupakan aspek yang paling vital. Sebagaimana dikatakan Cox:

”The legitimacy—or hegemony in the Gramscian sense—of a world order requires the existence of force in the background to sustain an institutional process that states and people generally will find acceptable or will at least acquiesce in. It also requires a commitment to seek consensus on the part of all major powers” (Cox, 2004: 314).

Lebih jauh, tindakan unilateral sangat berpotensi mengancam sistem multilateral yang telah dibangun AS sejak era kematangan hegemoninya. Sebagaimana dicatat Barber (2002: xxx),

”hampir tidak ada sebuah lembaga internasional yang belum diragukan, direndahkan, atau dilarang oleh Amerika Serikat atas nama kebutuhannya untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertingginya.” Jika kita kaitkan ini dengan institutional bargain yang menjadi salah satu aspek penting dalam hegemoni AS sebagaimana telah penulis singgung sebelumnya, maka kita bisa mengatakan bahwa tindakan unilateral AS yang semakin menjadi-jadi tidak lain hanyalah merupakan pertanda bahwa hegemoninya semakin lama semakin menurun. Alih-alih hegemoni, yang diterapkan AS adalah dominasi, penggunaan kekuatan koersif untuk memaksakan supremasinya sebagai pemimpin dunia.

Akhirnya, sebagai poin keempat atau terakhir dari argument penulis tentang runtuhnya hegemoni AS, perbincangan mengenai menurunnya kapabilitas material AS, khususnya ekonomi, tak bisa dihindarkan. Sebagaimana ditulis Du Boff (2003), berakhirnya Perang Dingin telah menurunkan komitmen AS untuk menyediakan kemanan bagi negara-negara non-komunis. Konsekuensinya, muncul struktur-struktur institusional yang berupaya untuk melawan dominasi AS di bidang ekonomi, misalnya European Central Bank dan mata uang Euro sebagai pesaing bagi dolar AS. Cox (2004: 313-314) mencatat, “in Europe, the adoption of the Euro, the establishment of the European Central Bank, and the prospect of further integration of European financial markets are de facto steps towards independence from the rule of the dollar and towards the consolidation of a plural world in finance.”

Munculnya Euro ini menjadi lebih strategis lagi kalau kita menyimak apa yang dikatakan oleh kepala Departemen Analisis Pasar OPEC, Javad Yarjani, dalam sebuah pidatonya di Spanyol pada bulan April 2002, “…in the long run the euro is not at such a disadvantage

Page 40: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 40

versus the dollar. The Euro-zone has a bigger share of global trade than the US and...a more balanced external accounts position,” dan penggunaan Euro oleh produsen minyak Eropa akan menciptakan "a momentum to shift the oil pricing system to euros", dan pada akhirnya, sebagai kesimpulan, "OPEC will not discount entirely the possibility of adopting euro pricing and payments in the future" (Du Boff, 2003).

Di Asia, krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997-1998 telah membangkitkan kecurigaan di kalangan negara-negara Asia Timur akan adanya tindak kesengajaan dari AS. Salah satu indikasinya adalah penolakan AS atas inisiatif Jepang untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara regional, sementara pada saat yang sama perusahaan-perusahan Barat mengambil keuntungan dari krisis yang semakin memburuk (Iseri, 2007: 9). Sebagaimana ditulis Cox (2004: 313), “the experience of the Asian financial crisis has encouraged a movement towards a regional economy in Asia with built-in protection against dependence on U.S. financial dominance. China has now displaced Japan as the principal U.S. creditor and has become the new focus of Asian economic regionalism.”

Di bagian berikutnya dia menulis:

“The economic structure of American empire is viewed with caution by European and Asian financial powers, apart altogether from the resentments it arouses in many economically weaker countries. A major crisis of confidence could deal US structural power a vital blow; and confidence is troubled by the erratic behaviour of US political and military unilateralism.”

Secara sistematis, beberapa poin yang dicatat oleh Du Boff (2003) di bawah ini akan membantu kita dalam melihat lebih jauh menurunnya supremasi AS di level material (ekonomi).

1. Suplai AS untuk produk dunia bruto dunia di tahun 1950 adalah separoh, sementara sekarang hanya 21 persen. Produksi manufaktur AS di tahun 1950 mencapai 60 persen dari produksi dunia, sementara di tahun 1999 hanya 25 persen.

2. Industri-industri mayor di tahun 2002 didominasi oleh perusahaan-perusahaan non-AS (meliputi sembilan dari sepuluh manufaktur elektronik dan peralatan listrik terbesar; delapan dari sepuluh pembuat kendaraan bermotor terbesar; tujuh dari sepuluh perusahaan minyak terbesar; enam dari sepuluh perusahaan telekomunikasi terbesar; dan lain-lain).

3. Dari seratus korporasi pemegang aset asing tertinggi di tahun 2000, hanya 23 yang dimiliki AS. Sementara kombinasi negara Jerman, Perancis, Inggeris, dan Belanda (Uni Eropa) memiliki 40, dan Jepang memiliki 16.

4. Di tahun 1960, 47 persen stok investasi asing dunia di negara-negara lain dimiliki AS, tapi di tahun 2001 hanya tinggal 21 persen. Antara 1996 hingga 2001, sebanyak 17 persen investasi asing langsung dunia datang dari AS, sementara dari Inggris 16 persen dan gabungan dari Perancis dan Belgia- Luxemburg 21 persen.

Page 41: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 41

5. Sementara sampai tahun 1970 dolar tidak memiliki saingan, sekarang Euro muncul sebagai pesaing paling potensial. Antara 1981 hingga 1995, tabungan swasta dunia yang disimpan dalam Euro meningkat dari 13 persen menjadi 37 persen, sementara dolar menurun dari 67 menjadi 40 persen.

Selain poin-poin di atas, Du Boff juga mencatat beberapa perkembangan yang menunjukkan semakin terancamnya posisi hegemonik AS. Sala satu di antaranya adalah inisiatif Uni Eropa utuk meluncurkan sistem navigasi satelitnya sendiri (diberi nama Galileo) di tahun 2000 guna melepaskan diri dari ketergantungan terhadap AS. Sebagaimana dikatakan Komisioner Transportasi UE, Loyola de Palacio, Galileo merupakan "a civil program under civil control that permits the EU to shake off dependence on GPS] ... and to be present on the international scene, in all aspects of cutting-edge technologies" (dikutip dari Du Boff, 2003).

Ini artinya, UE mengancam monopoli AS atas teknologi Global Positioning System (GSP) yang telah dijalankannya selama sepuluh tahun sejak kemunculannya, sebuah teknologi yang pada mulanya didesain untuk kepentingan militer AS—dan karenanya dibiayai dan dikontrol oleh Departemen Pertahanan AS—dan sekarang berkembang melayani ribuah perusahaan dan individu pengguna di seluruh dunia. Respon AS, seperti bisa diduga, adalah sedapat mungkin menghambatnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Wolfowitz, Wakil Menteri Pertahanan kala itu, yaitu bahwa Galileo akan bercampur dengan GPS dan menyebabkan ”tantangan dan persoalan serius bagi aliansi NATO” (dikutip dari Du Boff, 2003).

Page 42: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 42

BAB IV KESIMPULAN

Dalam skripsi ini penulis mencoba mengelaborasi pemikiran Antonio Gramsci, khususnya gagasannya tentang hegemoni, dan menerapkannya untuk menganalisis tatanan dunia kontemporer. Secara lebih spesifik, penulis menggunakan teori hegemoni Gramsci untuk menganalisis supremasi AS di era sekarang. Mengulang Gramsci, ada dua macam cara supremasi diraih, yakni hegemoni dan dominasi. Yang pertama lebih mengedepankan persetujuan, sementara yang kedua lebih mengutamakan paksaan.

Supremasi AS diraih dengan model yang pertama mulai dari tahun 40-an ketika Perang Dunia II baru saja berakhir hingga tahun 70-an ketika krisis terjadi. Pascakrisis tersebut, perlahan tapi pasti AS mulai bergeser ke model yang kedua. Ini bisa dilihat dari berbagai indikasi yang tampak, mulai dari melemahnya kekuatan ekonomi AS, terdeligitimasinya kepemimpinan AS, terdeligitimasinya tatanan dunia yang dibangun AS pasca-krisis (baca: neoliberalisme), hingga, yang paling utama, pengarusutamaan kekuatan paksaan (mainstreaming the use of force).

Dalam konteks semacam ini, perang melawan terorisme tidak bisa dipisahkan dari runtuhnya hegemoni AS. Pertama, terorisme sendiri muncul karena kekuatan hegemonic AS tidak lagi sekuat dulu. Kecenderungan AS untuk semakin mengedapankan aspek coercion memunculkan resistensi dari berbagai pihak, terutama mereka yang merasa dirugikan oleh dominasi AS. Resistensi ini hampir tidak kita temukan di era kematangan hegemoni AS dari tahun 1945 hingga akhir 60-an. Sejak perang Vietnam, memang muncul berbagai tindakan protes yang bersifat mendelegitimasi supremasi AS di level global. Dari hari ke hari , resistensi ini bukannya mengurang tetapi justru semakin besar dan bertambah kuat. Dalam konteks terorisme, mereka yang memunculkan resistensi adalah kalangan Islam yang selama ini dicap sebagai kaum radikal. Namun kalau dilihat secara lebih luas, yang dirugikan dan melancarkan resistensi tidak melulu kalangan radikal Islam ini, tetapi juga kalangan

anti-kapitalisme AS di Amerika Latin, para demonstran di negara dunia ketiga, bahkan kalangan masyarakat sipil kritis di dunia pertama.

Kedua, upaya AS untuk menghabisi terorisme tidak diakukan dengan cara-cara yang menunjukkan kemampuan hegemoniknya, yakni dengan basis persetujuan dan legitimasi, tetapi dilakukan dengan model kekerasan dan paksaan. Kita tidak bisa pungkiri bahwa AS telah berupaya untuk menggunakan apa yang oleh Lou i s Althusser (2007: 147) disebut sebagai ”aparat ideologis negara” (state‟s ideological apparatuses)—yang memiliki peran serupa dengan masyarakat sipil dalam konsep Gramscian—yakni lembaga pendidikan, lembaga agama, media masa, dan lain-lain untuk melakukan propaganda war on terrorism-nya dan meraih persetujuan dari massa. Namun yang terjadi adalah sebaliknya dari yang diharapkan.

Meskipun di awal-awal era perang propaganda tersebut tampak membuahkan hasil, namun semakin lama, terutama sejak Perang Irak, semakin tampak bahwa propaganda tersebut

Page 43: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 43

mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan banyaknya kelemahan dalam basis legitimasi AS dalam melancarkan war on terrorism, misalnya tidak ditemukannya senjata pemusnah missal di Irak, menyeruaknya kasus Abu Ghuraib, agenda neoliberal yang sangat terasa dalam rekonstruksi Irak pasca-invasi, dan lain-lain. Singkat kata, AS gagal dalam melakukan war of position (meskipun p a d a t i n g k a t t e r t e n t u berhasil dalam war of movement). Hal ini memberi tahu kita bahwa hegemoni AS telah runtuh. Ditambah beberapa fakta tentang kondisi material yang ada, kita bisa menyimpulkan bahwa hegemoni AS memang telah usai.

Page 44: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 44

Daftar Bacaan:

Allison, Graham T. (1971), Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis, Boston: Little, Brown and Company.

Althusser, Louis (2007), Filsafat sebagai Senjata Revolusi, Yogyakarta: Resist Book.

Amemasor, James (2007), Neoliberal Globalization and the “Competition State” Model: Is There Another Alternative?, International Student Association, http://64.112.226.70/one/isa/isa07/index.php?cmd=isa07, 30 Juli 2007.

Anderson, Perry (2002), Force and Consent, Newleft Review, http://www.newleftreview.org/?view=2407, 25 September 2007.

Ayerbe, Luis Fernando (2005), The American Empire in the New Century: Hegemony or Domination?, Journal of Developing Societies; 21, http://jds.sagepub.com/cgi/content/abstract/21/3-4/301, 5 November 2007.

Aysha, Emad El-Din (2005), September 11 and the Middle East Failure of US „Soft Power‟: Globalisation Contra Americanisation in the „New‟ US Century, International Relations, 19, http://ire.sagepub.com/cgi/content/abstract/19/2/193, 5 November 2007.

Baldwin, David A., ed. (1993), Neorealism and Neoliberalism, the Contemporar Debate, New York: Columbia University Press.

Barber, Benyamin R. (2002), Jihad vs McWorld: Fundamentalisme, Anarkisme Barat, dan Benturan Peradaban, Surabaya: Pustaka Promothea.

Beams, Nick (2005), The Invasion of Iraq and the crisis of American and World Capitalism, htttp://www.wsws.orgarticles2005jan2005nb-j17.html, 9 September 2007.

Beeson, Mark (2004), The Rise of the „Neocons‟ and the Evolution of American Foreign Policy, Asia Research Center, Working Paper No. 107, http://wwwarc.murdoch.edu.au/wp/wp107.pdf, 25 September 2007.

Bello, Walden (2001), Global Capitalism: Multilateral System in Crisis, http://www.globalpolicy.org/socecon/bwi-wto/imf/2001/globalcapitalism.htm, 15 Juli 2007.

Bergesen, Albert J. dan Omar A. Lizardo (tanpa tahun), Terrorism and Hegemonic Decline, www.nd.edu/~olizardo/papers/terrorheg.pdf, 26 September 2007.

Bieler, Andreas dan Adam David Morton (2004), A Critical Theory Route to Hegemony,

Page 45: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 45

World Order and Historical Change: Neo-Gramscian Perspective in International Relations, Capital & Class, Academic Research Library.

Bina, Cyrus (2004), The American Tragedy: The Quagmire of War, Rhetoric of Oil, and the Conundrum of Hegemony, Journal of Iranian Research and Analysis, Vol. 20, No. 2, November, http://www.urpe.org/bina_oil_2.pdf, 25 September 2007.

Brown, Seyom (2005), From Pax-Americana to Polyarchy, www.allacademic.com/meta/p71102_index.html, 26 September 2007.

Buzan, Barry, et al. (1998), Security, A New Framework for Analysis, London: Lynne Rienner Publisher.

Callinicos, Alex (2002), The Grand Strategy of The American Empire, International Socialism, Winter.

Chomsky, Noam (2007), War, Neoliberalism and Empire in the 21stCentury, An Interview with Sameer Dossani, http://www.counterpunch.org/, 12 Juni 2007.

Cox, Robert W. (1987), Production, Power, and World Order: Social Forces in the Making of History, New York: Columbia University Press.

Cox, Robert W. (2004), Beyond Empire and Terror: Critical Reflections on the Political Economy of World Order, New Political Economy, Vol. 9, No. 3, September.

Du Boff, Richard B. (2003), U.S. Hegemony: Continuing Decline, Enduring Danger, Monthly Review, Desember, www.monthlyreview.org/1203duboff.htm, 25 September 2007.

Engler, Mark (2004), Are War and Globalizaation Really Connected?, http://www.commondreams.org/views04/102-21.htm, 26 September 2007.

Femia, Joseph V. (1987), Gramsci‟s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary Process, New York: Oxford University Press.

Figueredo, Dario Salinas (2007), Hegemony in the Coordinates of U.S. Policy: Implications for Latin America, Latin American Perspectives, 34, http://lap.sagepub.com/cgi/content/abstract/34/1/94, 5 November 2007.

Friedman, Jonathan (2004), Chaos, Violence and the Systematicity of Declining Hegemony, http://uit.no/getfile.php?PageId=5468&FileId=10, 25 September 2007.

Friedman, Thomas L. (1999), The Lexus and the Olive Tree, New York: Anchor Books.

Page 46: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 46

Friedman, Thomas L. (2000), The Lexus and the Oliver Tree, Bandung: ITB.

Gaan, Narottam (2006), United States, Globalization and the International System: Economic and Political Challenges, International Studies 2006, 43, http://isq.sagepub.com/cgi/content/abstract/43/3/305, 26 September 2007.

Gill, Stephen, ed. (1993), Gramsci, Historical Materialism and International Relations, Cambridge: Cambridge University Press.

Ginneken, Jaap van (2007), 9/11 As A Trigger For Long-Term Shifts In World Public Opinion, The International Communication Gazette, Sage Publications, http://gaz.sagepub.com/cgi/reprint/69/4/323, 26 November 2007.

Go, Julian (2007), Waves of Empire: US Hegemony and Imperialistic Activity from the Shores of Tripoli to Iraq, 1787-2003, International Sociologi, 22, http://iss.sagepub.com/cgi/content/abstract/22/1/5, 5 November 2007.

Gowan, Peter (2003), US Hegemony Today, Monthly Review, Jul/Aug, findarticles.com/p/articles/mi_m1132/is_3_55/ai_105368629/pg_6, 26 Januari 2007.

Gramsci, Antonio (1971), Selection from The Prison Notebooks, London: Lawrence and Wishart.

Gupta, Amit (2006), US. China. India: Assessing Tripolarity, China Report, 42, http://chr.sagepub.com/cgi/content/abstract/42/1/69, 11 November 2007.

Hadiz, VediR., ed. (2006), Empire and Neoliberalism in Asia, London and New York: Routledge.

Hakim, Ahmad L. dan Mustafid (2005), “ Diskursus Politik Global: Politik Luar Negeri AS, Terorisme, dan Antiamerikanisme,” dalam Jurnal Tradem, Rethinking Revolution in the Age of Globalisation, Februari-April, Jogjakarta: PMII Cabang Sleman.

Harvey, David (2004), Understanding New Imperialism, Conversation with History; Institute for International Studies, UC Barkeley, http://globetrotter.berkeley.edu/people4/Harvey/harvey-con4.html, 26 November 2007.

Harvey, David (2007), Neoliberalism as Creative Destruction, The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science; 610; 21, http://ann.sagepub.com/cgi/reprint/610/1/21, 26 November 2007.

Holub, Renate (1992), Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism, London: Routledge.

Page 47: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 47

Huntington, Samuel P. (1993), The Clash of Civilisation?, Foreign Affairs, http://www.foreignaffairs.org/19930601faessay5188/samuel-p- huntington/the-clash-of-civilizations.html, 26 Januari 2008.

Ikenberry, G. John (2001), Getting Hegemony Right: Analysis of the United States as a "Hyperpower" Nation, The National Interest, Spring, www.mtholyoke.edu/acad/intrel/pol116/ikenberry.htm, 28 Oktober, 2007.

Ikenberry, G. John (2005), Power and Liberal Order: America‟s Postwar World Order in Transition, International Relations of the Asia-Pacific, Volume 5, http://rac.sagepub.com/cgi/reprint/19/3/239, 26 November 2007.

Iseri, Emre (2007), Neo-Gramscian Analysis of US Hegemony Today, http://www.in-spire.org/articles/ei02062007_Neo- Gramscian_US_Hegemony.pdf, 30 Agustus 2007.

Ismail, Muhammad Takiyyuddin (2007), Doktrin Bush: Satu Analisis Hegemoni Berideologi Gramsci, Jurnal e-Bangi, http://pkukmweb.ukm.my/~ebangi/makalah-j2-b2-jan-julai-07/Takiy-latest.pdf, 30 Agustus 2007.

Keohane, Robert O. (1991), The United States and the Postwar Order: Empire or Hegemony?, Journal of Peace Research, http://jpr.sagepub.com/cgi/content/abstract/28/4/435, 5 November 2007.

Lake, David A. (2000), “British and American Hegemony Compared: Lessons for the Current Era of Decline,” dalam Frieden, Jeffry A. dan David A. Lake (2000), International Political Economy, Perspectives on Global Power and Wealth, Boston and New York: Bedford/St. Martin‟s.

Lustick, Ian S. (2007), Fractured Fairy Tale: The War on Terror and the Emperor‟s New Clothes, Homeland Security Affairs, Vol. III, February, http://www.newamerica.net/publications/articles/2007/beyond_american_hege mony_5381, 23 November 2007.

Martin, James (1997), Hegemony and the Crisis of Legitimacy in Gramsci, History of the Human Sciences, 10, http://hhs.sagepub.com/cgi/content/abstract/10/1/37, 5 November 2007.

Miller, Benny (2004), The Rise (and Decline?) of Offensive Liberalism, The Annual Meeting of the International Studies Association, Montreal, Canada, March, www.allacademic.com/meta/p73862_index.html, 25 Juli 2007.

Odom, William (tanpa tahun), American Hegemony, How to Use It, How to Lose it, www.middlebury.edu/NR/rdonlyres/356611EE-B599-4C5B-A8FB-

Page 48: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 48

84C78F89C2C6/0/OdomPaper.pdf, 30 Juli 2007.

Perkins, John (2004), Confession of an Economic Hit Man, Jakarta: Abdi Tandur.

Peschek, Joseph G. (2005), Theorizing US Empire and Hegemony After 9/11, www.dandurand.uqam.ca/download/pdf/conferences/program_en.pdf, 30 Juli 2007.

Peters, Natalie (2005), The role of the International Monetary Fund and World Bank in the Construction and Maintenance of Global Neoliberal Hegemony, www.uow.edu.au/arts/research/hegemony/events/2005-workshop/natalie- peters.pdf, 27 Juli 2007.

Peterson, V. Spike (2005), „Identities‟ and Instabilities of Neoliberal Marketization: Arguing for the Necessity of Critical Poststructuralism, www.allacademic.com/meta/p69990_index.html, 27 Juli 2007.

Pieterse, Jan Nederveen (2004), Neoliberal Empire, Theory Culture Society, 21, http://tcs.sagepub.com/cgi/content/abstract/21/3/119, 11 November 2007.

Record, Jefrey (2003), Bounding The Global War on Terrorism, www.globalsecurity.org/military/library/report/2003/record_bounding.pdf, 26 Januari 2007.

Reitan, Ruth, (2005), Transnational Activism‟s Trigger: The Structural Violence of Neoliberal Globalization, www.allacademic.com/meta/p71883_index.html, 30 Juli 2007.

Robison, William I. (2002), Global Capitalism and The Hegemony of The Transnational Elite: Theoretical Notes and Empirical Evidence, nandigramunited.blogspot.com/2008/01/global-capitalism-and-hegemony- of.html, 30 Juli 2007.

Robison, William I. (2005), Gramsci and Globalisation: From Nation-State to Transnational Hegemony, Critical Review of International Social and Political Philosophy, Vol. 8, No. 4, 1-6.

Said, Edward W. (2002), Covering Islam, Bagaimana Media dan Pakar Menentukan Cara Pandang Kita Terhadap Dunia, Yogyakarta: Jendela.

Said, Edward W. (2001), Orientalisme, Bandung: Penerbit Pustaka.

Scherrer, Christoph (2001), „Double Hegemony‟? State and Class in American Foreign Economic Policymaking, Amerikastudien 46, http://www.uni- kassel.de/fb5/globalization/pdf/AmSt%20-%20double%20hegemony.pdf, 25 September 2007.

Page 49: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 49

Seppälä, Tiina (2004), Constructing the Hierarchical International System through (Image)War, Propaganda and Censorship, www.allacademic.com/meta/p73901_index.html, 30 Juli 2007.

Silver, Beverly J. dan Giovanni Arrighi (2003), Polanyi‟s “Double Movement”: The Belle Époques of British and U.S. Hegemony Compared, POLITICS & SOCIETY, Vol. 31 No. 2, Juni.

Simon, Roger (2004), Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press.

Skidmore, David (2004), The Hegemon‟s Prerogative: Unilateralism, Multilateralism and American Foreign Policy, www.allacademic.com/meta/p72744_index.html, 30 Juli 2007.

Smith, Steve (2002), The End of the Unipolar Moment? September 11 and the Future of World Order, International Relations, 16, http://ire.sagepub.com/cgi/content/abstract/16/2/171, 11 November 2007.

Steger, Manfred B. (2005), Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta: Lafadl Pustaka.

Stiglitz, Joseph E. (2002), Globalization and Its Discontents, London: The Penguin Press.

Sugiono, Muhadi (1999), Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tellis, Ashley J. (2004), Assessing America‟s War on Terror: Confronting Insugency, Cementing Primacy, NBR Analysis, Vol. 15, No. 4, http://www.carnegieendowment.org/files/NBRAnalysis- Tellis_December2004.pdf, 23 November 2007.

U.S. Department of Defense (2007), Time Line of Terrorist, Washington DC., http://www.army.mil/terrorism/1989-1980/index.html, 19 September 2007.

U.S. National Security Council (2002), The National Security Strategy of The United States of America, Washington DC., http://www.whitehouse.gov/nsc/nss/2002/nss.pdf, 19 September 2007.

U.S. National Security Council (2002), The National Security Strategy of The United States of America, Washington DC., http://www.whitehouse.gov/nsc/nss/2006/nss2006.pdf, 19 September 2007.

U.S. National Security Council (2003), National Strategy for Combating Terrorism,

Page 50: War on Terrorism dan Runtuhnya Hegemoni AS - …uc.blogdetik.com/173/17311/files/2010/12/war-on-terrorism-dan... · negara berubah menjadi persoalan global yang menuntut perhatian

Sumber: http://thepenguinus.blogdetik.com 50

Washington DC., http://www.whitehouse.gov/news/releases/2003/02/counter_terrorism/counter_terrorism_strategy.pdf, 19 September 2007.

Wallerstein, Immanuel (2002), The Eagle Has Crash Landed, Foreign Policy, July-August, http://www.revolutionintheair.com/strategy/Waller1.pdf, 25 September 2007.

Wallerstein, Immanuel (2003), U.S. Weakness and the Struggle for Hegemony, http://www.monthlyreview.org/0703wallerstein.htm,25 September 2007.

Waltz, Kenneth N. (1979), Theory of International Politics, Philippines: Addison-Wesley Publishing Company.

Zehfus, Maja (2002), Constructivism in International Relations, The Politic of Reality, Cambridge: Cambridge University Press.