TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP · Perkebunan yang menerapkan pola kemitraan juga...

15
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X Santi Indriani; 54 -68 54 Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA) Oleh: Santi Indriani Abstract Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable. Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment Pendahulauan Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945. Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut. Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA sedang Studi di Magister Hukum FH UNSRI

Transcript of TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP · Perkebunan yang menerapkan pola kemitraan juga...

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 54

Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam

Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)

Oleh: Santi Indriani

Abstract Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable.

Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment

Pendahulauan

Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah

tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah

dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah,

pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara

kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945.

Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,

banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut.

Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal

kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian

karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai

pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan

pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah,

termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses

pemerintahan dan pembangunan.

Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih

pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah

Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA sedang Studi di Magister Hukum FH UNSRI

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 55

justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat

daerah dari implementasi otonomi daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa

mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.

Sebagai salah satu dampak dari otonomi daerah yaitu desentralisasi. Maka Kabupaten

Ogan Komering Ulu berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan pada prinsip otonomi

yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Pada prinsipnya penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat

dilaksanakan di kabupaten dan kota. Asas dekonsentrasi tercermin dari pelimpahan

wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur atau bupati/walikota sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah. Sementara itu tugas pembantuan merupakan penugasan dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang

disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan wajib

melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, maka pemerintah daerah

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan

pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yaitu pada

pasal 10 (2) yang berbunyi: “Dalam urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah diluar urusan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud meliputi: urusan

politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.

Urusan yang wajib dan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten

merupakan urusan yang berskala kabupaten, di mana urusan tersebut meliputi:

perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan dan pemanfaatan serta

pengawasan tata ruang, penyeleggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,

penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan

pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas

pengembangan koperasi, usaha kecil menengah, pengendalian lingkungan hidup,

pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi

umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, penyelenggaraan

pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya.

Terhadap peningkatan pembangunan dan kesehjateraan masyarakat di Kabupaten

OKU, pemerintah daerah dalam hal ini melakukan terobosan melalui pemberian izin

prinsip pembukaan lahan oleh PT. Mitra Ogan di wilayah Kecamatan Semidang Aji

Kabupaten OKU. Namun persoalan izin yang dikeluarkan oleh bupati ini masih debatable

antara eksekutif dengan legislatif. Bahwa pembangunan ataupun pembukaan perkebunan

kelapa sawit di Kecamatan Semidang Aji belum ada studi amdalnya, namun bupati telah

mengeluarkan izin prinsip yang diberikan kepada PT. Mitra Ogan sebagai investor yang

memperoleh Hak Guna Usaha (HGU).

PT. Mitra Ogan sebagai investor besar perkebunan kelapa sawit di Kecamatan

Semidang Aji Kabupaten OKU Sumsel ini, sudah memiliki izin prinsip dari bupati seluas

9.650 hektare lahan untuk pembuatan kebun sawit. Perkebunan yang menerapkan pola

kemitraan juga mendapatkan dukungan masyarakat di 10 desa. "Dari 9.650 hektare, yang

bisa digarap sekitar 8 ribu hektare. Sebab sebagian lahan merupakan lahan produktif milik

warga. Dari jumlah tersebut yang berhasil dibuka mencapai 4.300 hektar.

Mayoritas lahan yang telah dibuka ternyata milik masyarakat yakni 3.300 hektar

sedangkan sisanya 1.000 hektar lahan milik desa. Kawasan perkebunan kelapa sawit yang

akan dicetak tersebar di 10 desa dalam Kecamatan Semidang Aji. Seluruh tanah desa yang

telah digarap telah mendapat persetujuan dari kades beserta perangkatnya dan Badan

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 56

Perwakilan Desa (BPD). Sedangkan tanah masyarakat yang telah digarap semuanya hasil

penyerahan dan tak satupun yang diperoleh dengan cara pembebasan atau pembelian.

Sebelum pemberian izin pembukaan perkebunanan kelapa sawit ini berdasarkan

rekomendasi paripurna pansus pembahasan RAPERDA. Pansus merekomendasikan

pembangunana dan pembukaan perkebunan kelapa sawit di Semidang Aji untuk ditunda

terlebih dahulu karena belum adanya studi AMDAL. Namun bupati tidak mengindahkan

rekomendasi pansus terkait izin pembukaan lahan tersebut. Bahkan yang paling miris

adalah lahan masyarakat tidak dapat digarap lagi. Selain itu pemerintah daerah kurang

memperhatikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang akan diakibatkan dari

pembukaan lahan tersebut. Sebelumnya, investasi perkebunan sawit di Kecamatan

Semidang Aji oleh PT. Mitra Ogan harus dibatalkan. "Izin prinsip yang dimiliki dan

dikeluarkan bupati tanpa sepengetahuan dewan dan tanpa adanya kajian AMDAL (Harian

OKU EKSPRES, 1 Juni 2011:11).

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, pada tulisan ini ada beberapa hal yang

sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis, terkait izin prinsip yang dikeluarkan oleh

Bupati OKU yang tanpa dilandasi dengan kajian AMDAL yang jika kita kaitkan dengan

ketentuan UUPLH sudah barang tentu bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, selanjutnya dalam hal pemberian izin pembukaan lahan akan dikaitkan juga

dengan UU sektoral yaitu UUPA terutama berkenaan dengan penyerahan kewenenangan

Bidang pertanahan menurut medebewind (tugas pembantuan).

Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU terhadap PT. Mitra Ogan Terkait

Pembukaan Lahan Perkebunanan Kelapa Sawit Tanpa Adanya Kajian Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)

Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdasarkan konstitusi

dan berkedaulatan hukum, ada tiga konsep dari negara yang berkonstitusi yaitu: a)

pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; b) Pemerintah dilaksanakan menurut

hukum berdasarkan pada ketentuan –ketentuan umum bukan hukum yang dibuat secara

sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; c) pemerintahan

berkonstitusi berarti peerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan beruuupa

paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. (Tahir Azhary, 1992:63).

Perumusan unsur-unsur negara hukum ini tidak terlepas dari falsfah dan sosio-politis

yang melatarbelakanginnya, terutama pengaruh falsafah individualisme yang

menempatkan individu atau warga negara sebagai premus interperes dalam kehidupan

bernegara. Oleh karena itu unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak

individu menempati posisi yang significan. Semangat membatasi kekuasaan negara ini

semakin kental setelah lahirnya adagium yang menyatakan bahwa power tends to corrupt,

but absolut power corrupt absolutly (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung

untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut)

pasti akan disalahgunakan). Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintahan

tercantum didalam konstitusi sehingga sering dakatakan bahwa negara berdasarkan

konstitusi (Sri Soemantri, 1987:2-3).

Pada tataran implementasi negara hukum memiliki karakteristik dan model yang

beragam, terlepas dari berbagai model negara hukum tersebut, boediono mencatat bahwa

sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap menuju

kesimpulan bahwa yaitu negara merupakan negara yang akan mewujudkan harapan para

warga negara akan kehidupan yang tertib, adil dna sejahtera jika negara itu

diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main (Boediono Kusumahamidjodjo,

1999:147).

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 57

Pengertian perizinan

Menurut pendapat Spelt dan Ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan

sempit yaitu sebagai berikut: Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak

dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk

mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa

berdasarkan Undang-Undangan atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu

menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan (dalam Philipus M. Hadjon,

1993:3).

Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pda suatu peaturan izin pada

umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu

tatanan tertentu atau untuk menghalangi suatu keadaan yang buruk. Tujuannya adalah

untuk mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya

hanya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan

sekadarnya.

Unsur-Unsur perizinan

Bedasarakan uraian sebelumnya bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu

berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk ditetapkan pada peristiwa hukum

konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Ada beberapa unsur dalam perizinan

yaitu:

1) Instrumen Yuridis; dalam negara hukum moderen, tugas kewenangan pemerintah tidk

hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan (rust en order), tetapi juga

mengupayakan kesehjateraan umum (bestuursang). Tugas dan keweangan pemerintah

untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai saat ini

masih dipertahankan. Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang

bersifat konstitutif dan yang digunakan pemerintah untuk untuk menghadapi atau

menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan izin ini dibuat dengan ketentuan dan

persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya,sebagaimana telah ditetapkan

diatas (Ridwan H.R, 2006:2-3);

2) Peraturan perundang-undangan; pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan

tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan hukum maka harus ada wewenanag

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas

legalitas . Tanpa dasar wewenang tindakan hukum tersebut menjadi tidak sah. Oleh

karena itu dalam membuat dan menerbitkan izin haruslah adanya dasar wewenang

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Ridwan H.R., 2006:212);

3) Organ Pemerintah; organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan

pemerintah baik ditigkat Pusat maupu ditingkat daerah (Ridwan H. R., 2006: 213).

Yang menjadi fokus analisis adalah izin yang dikeluarkan oleh Bupati OKU;

4) Peristiwa Kongkret; izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan, yang

digunakan pemerintah dalam menghadapi suatu peristiwa yang bersifat konkret dan

individual. Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu ,orang

tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. (Ridwan H. R., 2006:216);

5) Prosedur dan Persyaratan; pada umumnya permohonnan izin harus menempuh

prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 58

harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus mmenuhi persyaratan-

persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihakoleh pemerintah atau pemberi.

Subsistem Hukum Lingkungan Hidup

Menurut Mattias Finger krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini

setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal, teknologi

yang tidak efisien bahkan cenderung merusak, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan

ideology yang akhirnya merugikan lingkungan tindakan dan tingkah laku menyimpang dari

aktor-aktor negara yang „tersesat‟, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs;

merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme serta individu-

individu yang tidak terbimbing dengan baik. Beranjak dari hal tersebut, maka pada

umumnya menurut Finger jalan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan

akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik, teknologi baru dan berbeda;

penguatan komitmen politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-

lingkungan (green thinking); penanganan terhadap aktor-aktor “sesat” serta merubah pola

kebudayaan, tingkah laku, dan kesadaran tiap tiap individu (Matthias Finger, 2006:125).

Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya bersifat praktis,

konseptual, ekonomi saja, tetapi juga masalah etika baik sosial maupun bisnis, yang

dilindungi oleh hukum pidanan tidak hanya alam, flora dan fauna /the ecological

approach) tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat

gradasi lingkungan hidup (the antroposentris approach) dengan demikian muncul istilah

the environmental laws carry penal sancsion that protect a multimedia of interest

(Muliadi, 1997:156).

Permasalahan lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Disisi lain

perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi usaha

pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.

Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi angkasa, gunung, perut

bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber

daya hayati. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-

undang tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan yangmemiliki arah

dan ciri yang serupa. Oleh karena itu sifat Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPLH) mengatur ketentuan pokok, asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi

sebagai payung bagi penyusunan peraturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan

hidup (Koesnadi Hardja Soemantri, 1999:67).

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan berupa

pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesehjateraan umum seperti

tercantum didalam UUD 1945. Lahirnya UUPL merupakan dasar ketentuan pelaksanaan

dalam pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan

atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang

bulat, utuh didala m satu sistem.

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memuat prinsip tersebut, yaitu

dalam pasal 3 UU No.23 tahun 1997 yang telah diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang maksudnya adalah

“Pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan

terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses

pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa

kini dan masa depan”.

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 59

Prinsip intergeneration equity merupakan prinsip yang menjadi acuan dalam upaya

pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) begitu pentingnya prinsip itu

sehingga perlu dituangkan dalam suatu deklarasi yang bertaraf internasional.

Pembangunan ekonomi dengan eksploitasi sumber-sumber alam beserta dampak-

dampaknya akan menjadi beban yang harus dibayar mahal oleh generasi yang akan datang

akibat kerusakan lingkungan hidup. Pemenuhan kebutuhan ekonomi oleh generasi

sekarang yang tidak seimbang, akan meninggalkan persoalan-persoalan yang akan

dihadapi oleh generasi yang akan datang, sehingga prinsip intergeneration equity menjadi

prinsip dasar dalam pembangunan.

Menurut Lucas Prakoso (2010:48), intergeneration equity dapat didekati dari

beberapa model:

1) Preservasionist model; metode pendekatan ini bertolak dari adanya kemauan dari

generasi sekarang untuk tidak merusak dan menghabiskan sumber-sumber kekayaan

alam, melainkan memeliharanya untuk kepentingan generasi yang akan datang

2) Opulence Model; model pendekatan ini menyatakan bahwa generasi sekarang dapat

mengkonsumsi kekayaan alam dengan sepuas-puasnya serta mencapai kesejahteraan

semampunya. Dasar pikiran dari model ini adalah bahwa generasi yang akan datang itu

akan ada atau tidak, memaksimalkan konsumsi yang ada sekarang bagi generasi yang

akan datang ;

3) Technology Model; pendekatan model ini menyatakan bahwa kita tidak perlu menaruh

perhatian terhadap lingkungan untuk kelangsungan generasi yang akan dating karena

inovasi teknologi akan memungkinkan kita untuk mengenalkan pada sumber pengganti

yang tidak terbatas, dan;

4) Eviromental Economic Model; argumentasi Model ini menyatakan bahwa jika kita

memperhitungkan dan mempergunakan sumber-sumber kekayaan dengan layak, maka

kita akan dapat memenuhi kewajiban kita pada generasi mendatang, prasarana ekonomi

yang kita kembangkan selanjutnya akan berpedoman pada pembangunan ekonomi

yang berwawasan lingkungan.

Pada dasarnya, dalam padnangan Muhammad Erwin (2009:79), semua usaha dan

kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan

awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya

yang penting terhadap lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik termasuk sosial

budaya, guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis

mengenai dampak lingkungan hidup.

Dalam ketentuan Pasal 22 (1) UUPLH Menetapkan bahwa setiap rencana kegiatan

yang mungkin dapat menimbulkan dampak besar dan penting, diwajibkan untuk memiliki

AMDAL. Didalam Pasal 22 ayat 2 ditentukan kriteria dampak tersebut: a) besarnya

jumlah penduduk yang akan; b) terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; c) Luas

wilayah penyebaran dampak; d) intensitas dan lamanya dampak berlangsung; e) banyaknya

komponen lingkungan hidup Lain yang akan terkena dampak; f) sifat kumulatif dampak; g)

berbalik atau tidak berbaliknya dampak;dan atau, dan; h) Kriteria lain sesuai

denganPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam ketentuan PP No. 27 Tahun 2009 tentang AMDAL Pasal 1, analisis mengenai

dampak lingkungan hidup (AMDAL), adalah kajian mengenai dampak besar dan penting

suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan

bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang

diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan.

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 60

Berdasarkan PP No. 27/1999 dalam ketentuan Pasal 3 (1) bahwa usaha dan atau

kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap

lingkungan hidup meliputi; a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b) eksploitasi

sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c) proses dan

kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan; d) pemborosan, pencemaran dan

kerusakan lingkungan hidup; e) kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; f)

proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan; g) alam, lingkungan

buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; h) proses dan kegiatan yang hasilnya akan

dapat mempengaruhi; i) pelestarian kawasan konservasi sumberdaya dan/atau perlindungan

cagar budaya; j) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik; k)

pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; l) penerpan teknologi yang

diperkirakan mempunyai potensi besar; m) untuk mempengaruhi lingkungan hidup, dan; n)

kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahan negara.

Dalam pembuatan AMDAL ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka acuan

sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan tentang AMDAL, pada pasal 14 (1) Kerangka

acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh

pemrakarsa; (2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan

pedoman yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak

lingkungan. Dalam ketentuan Pasal 7 PP No. 27/1999 menetapkan pula bahwa Analisis mengenai

dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin

melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Selain

itu didalam ketentuan tersebut juga menetapkan bahwa Pemohon izin melakukan usaha

dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat diajukan oleh pemrakarsa kepada

pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib

melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan atau kegiatan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) yang diberikan instansi yang bertanggung

jawab. Sehubungan dengan izin prinsip yang dikeluarkan Bupati kepada PT.Mitra Ogan

yang tidak disertai terlebih dahulu Kajian AMDAL berkenaan dengan pembukaan lahan

perkebunan Kelapa sawit seluas 9.000 hektar menurut analisis saya merupakan rencana

kegiatan yang mempunyai dampak besar bagi lingkungan hidup, karena dampak yang

diakibatkan oleh pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut termasuk kegiatan

yang memiliki resiko bagi lingkungan hidup.

Dikeluarkannya izin prinsip Bupati OKU terhadap pembukaan kebun kelapa sawit

oleh PT. Mitra Ogan tanpa disertai dengan kajian AMDAL menurut saya kedudukannya

cacat hukum, sebab secara prosedural dan substansi pemberian izin sebagaimana sudah

diuraikan sebelumnya bahwa Izin ini merupakan instrumen yuridis yang memiliki unsur-

unsur yang tidak boleh bertentangan dengan UU. Namun kenyataannya izin yang diberikan

Bupati ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UUPLH dan melanggar ketentuan PP

No. 27/1999 yang berkenaan dengan kajian AMDAL.

Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Mitra Ogan sebagai investor, yang akan

melakukan pembukaan lahan Perkebunana kelapa sawit sudah tentu menimbulkan dampak

yang besar bagi lingkungan hidup. Adapun dampak besar yang akan muncul akibat

pembukaan lahan tersebut pada dasarnya secara umum dapat berakibat pada Lingkungan

Hidup antara lain:

1. Dampak Lingkungan akibat Konversi Hutan dan Gambut: a) degradasi lingkungan:

pembukaan hutan dan gambut, apalagi dilakukan dengan cara membakar, akan

mengeluarkan emisi karbon yang sangat besar; b) penurunan tingkat kesuburan tanah

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 61

akibat penggunaan bahan‐bahan kimia perkebunan seperti pupuk, pestisida dan

herbisida. Hal tersebut jelas akan memercepat pemanasan global;

2. Degradasi Sumber Air: a) daerah tangkapan dan pinggiran sungai juga dikonversi jadi

kebun sawit; b) pencemaran air sungai oleh limbah dan bahan‐bahan kimia; c)

perkebun sawit. Juga 45% sumber air utama saat ini sedang dalam keadaan kritis dan

60 sungai sebagai sumber air masyarakat mesti segera direhabilitasi; d) di Kalimantan

Tengah setidaknya 6 sumber air masyarakat rusak permanen akibat perkebunan sawit

(Sajarwan, 2008); e) Penguasaan sumber daya air yang terdapat di perkebunan oleh

perusahaan bisa mencapai 95 tahun (usia HGU), dan; f) kehilangan keanekaragaman

hayati; hilangnya keanekaragaman hayati yang dilindungi akibat pembukaan hutan dan

gambut jadi kebun sawit.

Selain permasalahan tidak adanya kajian AMDAL, investasi yang dilakukan PT.

Mitra Ogan juga tidak disertai dengan MoU yang jelas mengenai perjanjian pembagian

keuntungan maupun terkait komposisi kebun plasmanya, sehingga dapat berakibat pada

kerugian masyarakat, dimana masyarakat hanya akan menjadi penonton didaerah sendiri

atau bahkan menjadi kuli kasar ditanahnya sendiri. Adapun dampak lain yang sudah

dialami daerah ini adalah penebangan kayu atau hutan desa yang dilakukan oleh PT. Mitra

Ogan ini sudah memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan disekitarnya,

ditambah rusaknya infrastruktur yang diakibatkan oleh keluar masuknya alat-alat berat

juga sebagai dampak dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan hidup.

Adanya indikasi intimidasi dalam pembebasan lahan juga seharusnya menjadi bahan

pertimbangan, pemanfaatan hutan desa tidak bisa hanya mendapat persetujuan kades dan

perangkatnya saja, melainkan harus dimusyawarahkan dengan masyarakatnya juga. Pihak

pemerintah seharusnya tidak membatasi hak-hak masyarakat untuk berperan aktif dalam

mengontrol kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. bahkan

sebaliknya harus mendukung proses penguatan peran dan hak-hak masyarakat dengan cara

memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan

lingkungan mulai dari tingkat perencanaan, perizinan, proses AMDAL, pelaksanaan dan

pemantauan kebijakan (Muhamad Erwin, 2009:122).

Dengan berjalan pada koridor hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan UU,

secara yuridis normatif sebelum mengeluarkan Izin Prinsip pemerintah daerah hendaknya

menganalisis terlebih dahulu perencanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh PT.Mitra

Ogan dalam hal ini pembukaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian atas dasar

pertimbangan dampak yang akan diakibatkan oleh pembangunan tersebut juga perlu

melibatkan peran serta masyarakat. Dalam ketentuan Pasal 5 (3) bahwa setiap orang

berhak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat meliputi : mengajukan keberatan,

dengar pendapat, cara-cara lain menurut UU.

Peran serta masyarakat ini dapat juga dilakukan dalam proses penilaian AMDAL,

artinya Bupati sebelum mengeluarkan izin tersebut mewajibkan PT.Mitra Ogan untuk

membuat kajian AMDAL dimana terhadap kajian AMDAL ini masyarakat mempunyai

peranan untuk menilai dokumen AMDAL terlebih dahulu sebab didalam ketentuan Pasal 7

(2) UUPLH ketentuan pelaksanaan peran serta masyarakat ini dengan cara: a)

meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan kemitraan; b) menumbuhkan kemampuan

dan kepeloporan; c) meneimbulkan ketanggapasegeraan masyarakat untuk melakukan

pengawan sosial; d) memberikan saran dan pendapat, dan; e) menyampaikan informasi dan

pendapat.

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 62

Perlu diketahui bahwa pembangunanan yang dilakukan tentulah diharapkan dapat

membawa manfaat berupa keadaan yang menguntungkan, meskipun pada sisi lain akan

berhadapan dengan resiko lingkungan (enviromental risk) suatu keadaan yang merugikan.

Permasalahan yang paling banyak muncul yang memberi peluang bagi

berkembangnya masalah hukum lingkungan hidup salah satunya adalah peran serta

pemerintahan dalam hal ini kewenangan memberikan izin. Dengan dalil untuk

mempercepat pembangunan, meningkatkan kesehjateraan masyarakat, dan untuk

kemaslahatan masyarakat, terkadang izin yang dkeluarkan ini bersifat unprosedural dan

bertentangan dengan undang-undang.

Dalam prakteknya bupati mengeluarkan izin tanpa adanya kajian AMDAL terlebih

dahulu, tanpa meminta paritispasi masyarakat atau masukan dari berbagai pihak. Padahal

kajian AMDAl adalah merupakan instrumen yang paling utama, sebelum perijinan

dikeluarkan. Belum lagi permasalahan yang kompleks adalah dalam prakteknya, AMDAL

lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan administrasi daripada substansinya. Artinya

pesatnya permintaan AMDAL merupakan mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan

dalam suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit atau

izin investasi. Proses transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen AMDAL bagi

masyarakat tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan masyarakat yang terkena dampak

tidak mengetahui pasti adanya suatu kegiatan atau aktivitas.

AMDAL sebagai salah satu instrumen untuk mengamankan pembangunan maupun

kegiatan usaha hendaknya memang dijadikan sebagai syarat utama yang tidak dapat

ditolerir oleh pemerintah tertuma instansi yang mengeluarkan keweanangan izin dalam

konteks kegiatan administrasi negara, dimana sebagai instrumen utama AMDAL harus

dilakukan secara sepenuhnya, sungguh-sungguh sejak tahap perencanaan,pelaksanaan

maupun tahap penilaian. Instrumen AMDAL ini seharusnya dijadikan oleh pemerintah

daerah sebagai salah satu upaya untuk mencegah perusakan lingkungan hidup yang akan

memberikan dampak bagi generasi –generasi bangsa di masa yang akan datang.

Permasalahan izin bupati yang tanpa disertai Kajian AMDAL menurut penulis jika

tidak dibatalkan, maka dapat dilakukan gugatan administrasi sebagaimana diatur didalam

ketentuan UUPLH mengenai gugatan administratif pada ketentuan Pasal 93 (1) Setiap

orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a) badan

atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan

yang wajib AMDAL tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL; b) badan atau

pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-

UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPLdan/atau; c) badan atau pejabat

tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi

dengan izin lingkungan.

Walaupun PP no 27/1999 telah lama berlaku, gambaran keadaan yang telah dicapai

dalam kurun waktu tersebut masih belum optimal. Kerusakan lingkungan akibat

pembangunan ini salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian terhadap penerapan

AMDAL, terjadinya penyimpangan-penyimpangan, adanya peraturan yang dirasakan

kurang operasional dan tidak adanya sistem pengawasan efektif. AMDAL seharusnya

dilakukan seawal mungkin dalam daur proyek yaitu bersama-sama dengan eksplorasi,

telaah kelayakan rekayasa, dan telaah kelayakan ekonomi sehingga AMDAL menjadi

sebuah komponen integral dalam telaah kelayakan proyek.(Muhamad Erwin:57) sebab-

sebab penting tidak efektifnya AMDAL ialah :

1. Pelaksanaan AMDAL yang terlambat sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi proses

perencanaan tanpa menyebabkan penundaan pelaksanaan program atau proyek dan

menaikan biaya proyek

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 63

2. Kurangnya pengertian pada sementara pihak tentang arti dan peranan AMDAL

sehingga AMDAL hanya dilaksanakan sekedar untuk memenuhi peraturan perundang-

undangan atau disalahgunkan untuk membenarkan suatu proyek.

3. Belum cukup berkembangnya teknik AMDAL untuk dapat dibuatnya dan dengan

rekomendasi spesifik dan jelas.

4. Kurangnya keteranpilan pada Komisi AMDAL untuk memeriksa laporan AMDAL

5. Dan belun adanya pemantauan yang baik untuk mengetahui apakah rekomendasi

AMDAL yang tertera didalam RKL benarbenar digunakan untuk menyempurnakan

perencanaan dan dilaksanakan dalam implementasi proyek (Otto Soermawarto,

2001:72)

Menelaah kondisi yang terjadi saat ini berkenaan dengan izin operasional

pemerintahan daerah sebagai penyelengara urusan pemerintahan di daerah bersama DPRD,

menurut asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya sesuai

denga ketentuan UUD 1945. Artinya dalam menjalankan fungsi penyelengaraan negara

peran serta DPRD menurut penulis juga sangat kuat dalam hal ini, sebab DPRD sebagai

lembaga perwakilan rakyat diharapkan dapat memberikan masukan, kritik dan pengawasan

kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan,

sehingga fungsi kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan kewenangan eksekutif

berjalan sesuai dengan koridor hukum.

Selain itu lembaga swadaya masyarakat hendaknya khususnya dibidang lingkungan

hidup hendaknya pula mampu memberikan kritisi terhadap Pemerintah daerah dalam hal

ini memegang peranan sebagai bentuk kontrol dan peran serta masyarakat khususnya

terhadap segala usaha dan kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan hidup.

Hubungan Antara Izin Prinsip Bupati dalam Kerangka Hukum Pertanahan di

Indonesia yang Diatur dalam Ketentuan UUPA sebagai Landasan Hukum yang

Berlaku Sektoral dalam Konteks Otonomi Daerah

Ketentuan UU no 32 tahun 2004, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mengatur mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempatsesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Sebagai kosekwensi dari otonomi daerah setiap daerah berhak untuk

mengatur dan mengurus daerahnya ats prakrsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

diwilayah tersebut.

Kebijkan Dasar UUD 1945, dalam ketentuan Pasal 18 (2), (5), dan (7), pemerintahan

daerah propinsi dan kabupaten mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut

asas otonomi dan tugas pembantuan. Berkenaan dengan makalah ini, penulis akan

menguraikan perihal izin lokasi pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Mitra Ogan

yang telah dianalisis dengan ketentuan UUPLH dan aturan-atiran pendukung lainnya,

selanjutnya dalam konteks pemanfaatan hak atas tanah yang diberikan oleh Bupati ini akan

dianalisis kembali dengan menggunakan ketentuan UU yang berlaku sektoral yaitu UUPA

dan UU pendukung lainnya. Sehingga dapat dilihat bahwa ada hubungan yang signifikan

terkait izin yang dikeluarkan Pemerintah daerah dengan ketentuan UUPLH dengan UU

sektoral lainnya pada tataran yuridis normatif.

Seringkali kepala daerah mengeluarkan ijin lokasi perkebunan sawit tanpa pernah

membuat atau melihat terlebih dahulu tata ruang di wilayah tersebut. Bagi perusahaan

mendapatkan ijin lokasi, berarti diberi kewenangan untuk melakukan pembukaan atau

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 64

pembersihan lahan. Keadaan ini bertentangan dengan UUPA No. 5/1960 di mana

perusahaan pemilik HGU-lah yang berhak melakukan pembukaan, penanaman dan

perawatan kebun.

Sebelum membahas mengenai izin bupati terhadap kasus diatas, perlu diketahui

bahwa sepanjang mengeani pertanahan, otonomi yang seluas-luasnya itu dalam kerangka

ketentuan UU yang berlaku yaitu UUPA di mana didalam hal ini terbatas pada tugas

pembantuan (medebewind). Tugas wewenang apa yang di medebewind kan perlu

disesuaikan dengan pasal 18 UUD 1945 tetapi bukan dalam bentuk otonomi dala arti

mengatur dan mengurus pemerintah daerah, tetapi tugas pembantuan juga terbatas pada

kewenangan-kewenangan tertentu saja (Boedi Harsono, 2008:1).

Kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota ada yang

bersifat urusan wajib, dan pilihan. Yang merupakan urusan wajib tersebut dalam pasal 13

ayat (1) dan pasal 14 ayat (1). Sepanjang mengenai bidang pertahanan urusan yang bersifat

wajib merupakan urusan pelayanan pertahanan yang akan diukur dengan peraturan

pemerintah, tetapi hingga saat ini belum ada.

Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah melaksanakan

urusan pemerintah yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang oleh

undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah ebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), pemerintahan daerah mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi

dan tugas pembantuan”. Perlu diperhatikan bahwa urusan kewenangan pemerintah tersebut

tidak khusus hanya mengenai pertanahan. Karena itu masih menjadi persoalan apakah yang

dinyatakan dalam ayat (2) pasal tersebut seluruhnya berlaku juga terhadapa urusan

pelayanan pertanahan, yang disebut dalam pasal 13 dan 14.

Urusan yang menjadi urusan pemerintah disebut dalam ayat 3 meliputi politik luar

negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional dan agama. Dalam

penyelenggaraan urusan pemerintah, menurut ayat (4) pemerintah dapat melaksanakannya

sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintah atau wakil

pemerintah di daerah. Yang terakhir bentuknya adalah tugas pembantuan atau

medebewind. Selain isi ayat 1 sampai dengan ayat 4 diatas perlu diperhatikan apa yang

ditentukan dalam pasal 10 ayat 5. Ayat tersebut menetapkan bahwa “selain urusan

pemerintah yang disebut dalam ayat 3 di atas”, masih ada urusan lain yang kewenangannya

ada pada pemerintah pusat.

Di antara urusan tersebut termasuk juga bidang pertanahan yang oleh pasal 33 ayat 3

UUD RI dan pasal 2 UUPA kewenangannya ditugaskan kepada negara. Pelaksanaan

urusan kewenangan pemerintah menurut ayat 5 adalah; a) diselenggarakan sendiri sebagai

urusan pemerintah; b) dilimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur sebagai

wakil pemerintah pusat (dekonsentrasi); atau; c) ditugaskan sebagain urusan kepada

pemerintah daerah dan atau pemerintah desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Apa yang ditentukan oleh ayat 5 tersebut sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan

adalam UUPA seperti dikemukakan diatas yaitu bentuk medebewind/tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan menurut ketentuan pasal 13 dan 14 meliputi

urusan pemerintahan yang “secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi unggulan daerah

yang bersangkutan”.

Urusan bidang pelayanan pertanahan tidak memenuhi kriteria tersebut. Maka

kewenangan daerah onpropinsi, kabupaten dan kota yang merupakan tugas pembantuan,

tidak meliputi urusan bersifat pilihan. Maka tugas pelayanan pertanahan terbatas pada

urusan yang bersifat wajib, dengan bentuk tugas pembantuan. Kewenangan yang di-

medebewind-kan: Penentuan kewenangan dibidang pelayanan pertanahan yang akan di

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 65

tugaskan kepada pemerintahan daerah, tentu akan memperhatikan paradigma baru, seperti

digariskan dalam pasal 18 UUD RI 1945, disampaing kenyataan bahwa kemampuan

masing-masing daerah propinsi, kabupaten dan kota sangat beragam. UU 32/2004 bahkan

menunjuk pada adanya kewenangan yang concurrent, dan harus mempertimbangkan

pemenuhan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. maka pelaksanaan harus

kasual dan bertahap.

Berkenaan dengan izin yang dikeluarkan oleh Bupati OKU terhadap investor, jika

kita analisis izin lokasi sampai dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) merupakan

serangkaian kegiatan yang berkesinambungan secara yuridis normatif, sebab alur

hukumnya harus dijadikan sebagai landasan yuridis dalam konteks pembukaan perkebunan

kelapa sawit ini. Dapat dilihat dari bagan berikut ini:

Berdasarkan alur hukum yang diuraikan ini bahwa mulai dari proses pemberian izin

lokasi sampai dengan izin usaha perkebunan serta pelepasan kawasan hutan dan

memperoleh hak guna usaha harus berdasarkan prosedur hukum yang benar. Dalam hal

pelepasan kawasan hutan yang merupakan milik masyarakat desa di Kecamatan Semidang

Aji seluas 4.300 hektar. Mayoritas lahan yang telah dibuka ternyata milik masyarakat

yakni 3.300 hektar sedangkan sisanya 1.000 hektar lahan milik desa.

Kawasan hutan ini meskipun merupakan lahan tidur tetap harus berdasarkan dengan

ketentuan izin pelepasan kawasan hutan dan harus mendapat izin sesuai dengan pedoman

yang diatur didalam ketentuan peratura perundang-undangan. Artinya izin lokasi

perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembukaan lahan tersebut bukan hanya didasarkan

pada izin dari kepala desa dan perangkat desa. Sebab kita sangat memahami bahwa tanah

memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam

pelaksanaan pembangunan maka hendaknya pengaturan penguasan, pemilikan dan

Izin Lokasi

Dasar Hukum Peraturan Menteri Agaria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 Tentang Ijin Lokasi

Izin Usaha Perkebunan

Dasar Hukum 1. UU Perkebunan 25 Ha – 100.000 Ha 2.Kepmentan. No.26/Permentan/05.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan

Pelepasan Kawasan Hutan

Dasar Hukum : Kep. Bersama Menhut, Mentan dan Kepala BPN. Nomor : 364/Kpts No. 18 Th. 2004 2. Kepmentan. No.26/Permentan/ 05.140/2/2007 Tentang Pedoman Ijin Usaha Huta Kpts-11/90, 519/Kpts/HK.050/7/90 dan 23-VIII-1990 Tentang Ketentuan Pelepasan Izin Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Usaha Pertanian dan Perkebunan

HGU

Dasar Hukum: UU No. 5/1960 dan UU No. 25 /2007 Tentang Penanaman Modal

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 66

perizinan seharusnya diarahkan pada semakin terjaminnya tertib di bidang hukum

pertanahan, administrasi pertanahan, ataupun pemelihraan tanah dan lingkungan hidup

sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud .

Setelah izin-izin yang berkenaan dengan pembukaan dan pelepasan kawasan hutan,

maka diberikan pula hak guna usaha yang dasar hukumnya diatur dalam ketentuan

UUPA. Hak guna usaha adalah hak yang diberikan berdasarkan ketentuan UUPA kepada

warga negara indonesia dalam rangka pemanfaatan usaha diatas tanah dalam jangka waktu

tertentu.

Dalam ketentuan pasal 4 PP no 40 tahun 1996 tentang HGU, Hak guna bangunan dan

hak pakai menetapkan bahwa tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah: a) tanah

yang diberikan dengan HGU adalah tanah negara; b) dalam hal tanah yang akan diberikan

HGU tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat

dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan

hutan, dan; c) pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai

ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketetnuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan

setelah terselesaikannyapelepasan hak terebut dengan tata cara yang diatur di dalam UU.

Beradasarkan ketentuan tersebut di atas meskipun pelaksanaan otonomi daerah dalam

konteks tugas pembantuan ini hendaknya harus berlandaskan aturan hukum yang jelas,

sebab izin dari kepala desa dan aparatur desa saja tidak cukup dijadikan dasar bagi PT.

Mitra Ogan untuk langsung membuka lahan perkebunan di Kecamatan Semidang Aji.

Selain itu jika seluruh prosedur ketentuan UU telah dilaksanakan pemegang HGU

yang diatur didalam pasal 12 PP No. 40 tahun 1996 berekwajiban untuk: a) membayar

uang pemasukan kepada Negara; b) melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan

dan/ atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian haknya; c) mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai

dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; d)

membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam

lingkungan areal HGU; e) memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya

alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; f) menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun

mengenai penggunaan HGU; g) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak

Guna Usaha kepada Negara sesudah HGU tersebut hapus, dan; h) menyerahkan sertifikat

HGU yang telah hapus kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Penutup

Berdasarkan uraian tulisan di atas,maka dapat ditarik kesimpulan antara lain:

1. Bahwa izin prinsip yang dikeluarkan Bupati kepada PT. Mitra Ogan tanpa adanya

kajian AMDAL bertentangan dengan UUPLH dan PP No.27 tahun 1998 tentang

AMDAL. Sebab terhadap segala usaha yang menimbulkan dampak besar bagi

lingkungan hidup harus disertai dengan dokumen AMDAL. AMDAL sebagai

instrumen yuridis harus dibuat sesuai dengan prosedur dan ketentuan dan bukan hanya

sebagai pemenuhan syarat administrasi. Sebelum mengeluarkan izin prinsip,

pemerintah daerah hendaknya menganalisis terlebih dahulu perencanaan kegiatan yang

akan dilakukan oleh PT. Mitra Ogan dalam hal ini pembukaan perkebunan kelapa

sawit. Kemudian atas dasar pertimbangan dampak yang akan diakibatkan oleh

pembangunan tersebut juga perlu melibatkan peran serta masyarakat. Dalam ketentuan

Pasal 5 (3) bahwa setiap orang berhak untuk berperan dalam rangka pengelolaan

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 67

lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

dapat meliputi: mengajukan keberatan, dengar pendapat, cara-cara lain menurut UU.

2. Terhadap kewenangan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya ada

beberapa alur hukum yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin lokasi, izin usaha

perkebunan, pembukaan lahan di kawasan hutan serta hak guna usaha. Di mana terkait

permasalahan otonomi daerah, masih tetap harus berlandaskan beberapa ketentuan

peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.

DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang

Erwin, Muhammad. 2009. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan

Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama

Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum

Tanah. Jakarta: Djambatan

Kusumahamidjojo, Boediono. 1999. Ketertiban yang Adil Problematika Filsafat Hukum.

Jakarta: Grasindo

Matthias Finger. 2006. “Which Governance for Sustainable Development? An

Organizational and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan

Matthias Finger, Eds., The Crisis of Global EnvironmentalGovernance: Towards a

New Political Economy of Sustainability. New York: Routledge Taylor & Francis

Group

Muliadi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Prakoso, Lucas. 2010. “Urgensi Intergeneration Equity dalam Hukum Lingkungan”.

Dalam Jurnal Varia Peradilan Edisi 26 No.301. Jakarta, 2010.

Soemantri, Koesnadi Hardja. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Soemantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni

Spelt N. M. dan J. B. J. M. Ten Berge. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Disunting oleh

Philipus M.Hadjon. Surabaya: Yuridika

Ridwan, H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X

Santi Indriani; 54 -68 68

Peraturan Perundang-Undangan dan Sumber lainnya

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Harian Umum OKU EKSPRES, Edisi 1 Juni 2011, Halaman 11