TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP · Perkebunan yang menerapkan pola kemitraan juga...
Transcript of TINJAUAN YURIDIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP · Perkebunan yang menerapkan pola kemitraan juga...
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 54
Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU Terhadap Pembukaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dalam
Kaitannya dengan UU Sektoral (Kajian Yuridis UUPLH dan UUPA)
Oleh: Santi Indriani
Abstract Principle permits issued to PT. Mitra Ogan Regent in the absence of an EIA study contradict UUPLH and PP No.27 of 1998 on EIA. Because of all the businesses that have an impact on the environment must be accompanied by an EIA document. EIA as a legal instrument to be made in accordance with the procedures and provisions, and not just as a fulfillment of administrative requirements. Before issuing permits local governments should analyze the principle of advance planning activities to be carried out by PT. Mitra Ogan in this case the opening of oil palm plantations. Then on the basis of consideration of the impact that would result from such development should also involve community participation. The provisions of Article 5 (3) that every person has the right to play a role in environmental management in accordance with laws and regulations applicable.
Keywords: Principle permits, AMDAL, local goverment
Pendahulauan
Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengurus rumah
tangganya sendiri dalam rangka meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Otonomi daerah
dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam ketentuan pasal 1 UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah,
pemerintah daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara
kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di dalam UUD 1945.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan undang-undang tersebut.
Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal
kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian
karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai
pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan
pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah,
termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah
Dosen Tetap Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UNBARA sedang Studi di Magister Hukum FH UNSRI
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 55
justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat
daerah dari implementasi otonomi daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa
mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Sebagai salah satu dampak dari otonomi daerah yaitu desentralisasi. Maka Kabupaten
Ogan Komering Ulu berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan pada prinsip otonomi
yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pada prinsipnya penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat
dilaksanakan di kabupaten dan kota. Asas dekonsentrasi tercermin dari pelimpahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur atau bupati/walikota sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah. Sementara itu tugas pembantuan merupakan penugasan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan wajib
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, maka pemerintah daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kecuali urusan
pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 yaitu pada
pasal 10 (2) yang berbunyi: “Dalam urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah diluar urusan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud meliputi: urusan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.
Urusan yang wajib dan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten
merupakan urusan yang berskala kabupaten, di mana urusan tersebut meliputi:
perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan dan pemanfaatan serta
pengawasan tata ruang, penyeleggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,
penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan
pendidikan, penanggulangan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas
pengembangan koperasi, usaha kecil menengah, pengendalian lingkungan hidup,
pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi
umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya.
Terhadap peningkatan pembangunan dan kesehjateraan masyarakat di Kabupaten
OKU, pemerintah daerah dalam hal ini melakukan terobosan melalui pemberian izin
prinsip pembukaan lahan oleh PT. Mitra Ogan di wilayah Kecamatan Semidang Aji
Kabupaten OKU. Namun persoalan izin yang dikeluarkan oleh bupati ini masih debatable
antara eksekutif dengan legislatif. Bahwa pembangunan ataupun pembukaan perkebunan
kelapa sawit di Kecamatan Semidang Aji belum ada studi amdalnya, namun bupati telah
mengeluarkan izin prinsip yang diberikan kepada PT. Mitra Ogan sebagai investor yang
memperoleh Hak Guna Usaha (HGU).
PT. Mitra Ogan sebagai investor besar perkebunan kelapa sawit di Kecamatan
Semidang Aji Kabupaten OKU Sumsel ini, sudah memiliki izin prinsip dari bupati seluas
9.650 hektare lahan untuk pembuatan kebun sawit. Perkebunan yang menerapkan pola
kemitraan juga mendapatkan dukungan masyarakat di 10 desa. "Dari 9.650 hektare, yang
bisa digarap sekitar 8 ribu hektare. Sebab sebagian lahan merupakan lahan produktif milik
warga. Dari jumlah tersebut yang berhasil dibuka mencapai 4.300 hektar.
Mayoritas lahan yang telah dibuka ternyata milik masyarakat yakni 3.300 hektar
sedangkan sisanya 1.000 hektar lahan milik desa. Kawasan perkebunan kelapa sawit yang
akan dicetak tersebar di 10 desa dalam Kecamatan Semidang Aji. Seluruh tanah desa yang
telah digarap telah mendapat persetujuan dari kades beserta perangkatnya dan Badan
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 56
Perwakilan Desa (BPD). Sedangkan tanah masyarakat yang telah digarap semuanya hasil
penyerahan dan tak satupun yang diperoleh dengan cara pembebasan atau pembelian.
Sebelum pemberian izin pembukaan perkebunanan kelapa sawit ini berdasarkan
rekomendasi paripurna pansus pembahasan RAPERDA. Pansus merekomendasikan
pembangunana dan pembukaan perkebunan kelapa sawit di Semidang Aji untuk ditunda
terlebih dahulu karena belum adanya studi AMDAL. Namun bupati tidak mengindahkan
rekomendasi pansus terkait izin pembukaan lahan tersebut. Bahkan yang paling miris
adalah lahan masyarakat tidak dapat digarap lagi. Selain itu pemerintah daerah kurang
memperhatikan dampak kerusakan lingkungan hidup yang akan diakibatkan dari
pembukaan lahan tersebut. Sebelumnya, investasi perkebunan sawit di Kecamatan
Semidang Aji oleh PT. Mitra Ogan harus dibatalkan. "Izin prinsip yang dimiliki dan
dikeluarkan bupati tanpa sepengetahuan dewan dan tanpa adanya kajian AMDAL (Harian
OKU EKSPRES, 1 Juni 2011:11).
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, pada tulisan ini ada beberapa hal yang
sangat menarik untuk dikaji dan dianalisis, terkait izin prinsip yang dikeluarkan oleh
Bupati OKU yang tanpa dilandasi dengan kajian AMDAL yang jika kita kaitkan dengan
ketentuan UUPLH sudah barang tentu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, selanjutnya dalam hal pemberian izin pembukaan lahan akan dikaitkan juga
dengan UU sektoral yaitu UUPA terutama berkenaan dengan penyerahan kewenenangan
Bidang pertanahan menurut medebewind (tugas pembantuan).
Analisis Yuridis Izin Prinsip Bupati OKU terhadap PT. Mitra Ogan Terkait
Pembukaan Lahan Perkebunanan Kelapa Sawit Tanpa Adanya Kajian Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdasarkan konstitusi
dan berkedaulatan hukum, ada tiga konsep dari negara yang berkonstitusi yaitu: a)
pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; b) Pemerintah dilaksanakan menurut
hukum berdasarkan pada ketentuan –ketentuan umum bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; c) pemerintahan
berkonstitusi berarti peerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan beruuupa
paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. (Tahir Azhary, 1992:63).
Perumusan unsur-unsur negara hukum ini tidak terlepas dari falsfah dan sosio-politis
yang melatarbelakanginnya, terutama pengaruh falsafah individualisme yang
menempatkan individu atau warga negara sebagai premus interperes dalam kehidupan
bernegara. Oleh karena itu unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak
individu menempati posisi yang significan. Semangat membatasi kekuasaan negara ini
semakin kental setelah lahirnya adagium yang menyatakan bahwa power tends to corrupt,
but absolut power corrupt absolutly (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung
untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut)
pasti akan disalahgunakan). Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintahan
tercantum didalam konstitusi sehingga sering dakatakan bahwa negara berdasarkan
konstitusi (Sri Soemantri, 1987:2-3).
Pada tataran implementasi negara hukum memiliki karakteristik dan model yang
beragam, terlepas dari berbagai model negara hukum tersebut, boediono mencatat bahwa
sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap menuju
kesimpulan bahwa yaitu negara merupakan negara yang akan mewujudkan harapan para
warga negara akan kehidupan yang tertib, adil dna sejahtera jika negara itu
diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main (Boediono Kusumahamidjodjo,
1999:147).
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 57
Pengertian perizinan
Menurut pendapat Spelt dan Ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan
sempit yaitu sebagai berikut: Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak
dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan Undang-Undangan atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan (dalam Philipus M. Hadjon,
1993:3).
Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pda suatu peaturan izin pada
umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu
tatanan tertentu atau untuk menghalangi suatu keadaan yang buruk. Tujuannya adalah
untuk mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya
hanya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan
sekadarnya.
Unsur-Unsur perizinan
Bedasarakan uraian sebelumnya bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk ditetapkan pada peristiwa hukum
konkret menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Ada beberapa unsur dalam perizinan
yaitu:
1) Instrumen Yuridis; dalam negara hukum moderen, tugas kewenangan pemerintah tidk
hanya sekedar menjaga ketertiban dan keamanan (rust en order), tetapi juga
mengupayakan kesehjateraan umum (bestuursang). Tugas dan keweangan pemerintah
untuk menjaga ketertiban dan keamanan merupakan tugas klasik yang sampai saat ini
masih dipertahankan. Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk ketetapan yang
bersifat konstitutif dan yang digunakan pemerintah untuk untuk menghadapi atau
menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan izin ini dibuat dengan ketentuan dan
persyaratan yang berlaku pada ketetapan pada umumnya,sebagaimana telah ditetapkan
diatas (Ridwan H.R, 2006:2-3);
2) Peraturan perundang-undangan; pembuatan dan penerbitan ketetapan izin merupakan
tindakan hukum pemerintah. Sebagai tindakan hukum maka harus ada wewenanag
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas
legalitas . Tanpa dasar wewenang tindakan hukum tersebut menjadi tidak sah. Oleh
karena itu dalam membuat dan menerbitkan izin haruslah adanya dasar wewenang
yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Ridwan H.R., 2006:212);
3) Organ Pemerintah; organ pemerintah adalah organ yang menjalankan urusan
pemerintah baik ditigkat Pusat maupu ditingkat daerah (Ridwan H. R., 2006: 213).
Yang menjadi fokus analisis adalah izin yang dikeluarkan oleh Bupati OKU;
4) Peristiwa Kongkret; izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk ketetapan, yang
digunakan pemerintah dalam menghadapi suatu peristiwa yang bersifat konkret dan
individual. Peristiwa konkret adalah peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu ,orang
tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. (Ridwan H. R., 2006:216);
5) Prosedur dan Persyaratan; pada umumnya permohonnan izin harus menempuh
prosedur tertentu yang ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 58
harus menempuh prosedur tertentu, pemohon izin juga harus mmenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu yang ditentukan secara sepihakoleh pemerintah atau pemberi.
Subsistem Hukum Lingkungan Hidup
Menurut Mattias Finger krisis lingkungan hidup yang mendunia seperti sekarang ini
setidaknya disebabkan oleh pelbagai hal, yaitu kebijakan yang salah dan gagal, teknologi
yang tidak efisien bahkan cenderung merusak, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan
ideology yang akhirnya merugikan lingkungan tindakan dan tingkah laku menyimpang dari
aktor-aktor negara yang „tersesat‟, mulai dari korporasi transnasional hingga CEOs;
merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme serta individu-
individu yang tidak terbimbing dengan baik. Beranjak dari hal tersebut, maka pada
umumnya menurut Finger jalan yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan lingkungan
akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik, teknologi baru dan berbeda;
penguatan komitmen politik dan publik; menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-
lingkungan (green thinking); penanganan terhadap aktor-aktor “sesat” serta merubah pola
kebudayaan, tingkah laku, dan kesadaran tiap tiap individu (Matthias Finger, 2006:125).
Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya bersifat praktis,
konseptual, ekonomi saja, tetapi juga masalah etika baik sosial maupun bisnis, yang
dilindungi oleh hukum pidanan tidak hanya alam, flora dan fauna /the ecological
approach) tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat
gradasi lingkungan hidup (the antroposentris approach) dengan demikian muncul istilah
the environmental laws carry penal sancsion that protect a multimedia of interest
(Muliadi, 1997:156).
Permasalahan lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Disisi lain
perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan mempengaruhi usaha
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Materi bidang lingkungan sangat luas mencakup segi-segi angkasa, gunung, perut
bumi dan dasar laut dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber
daya hayati. Materi seperti ini tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-
undang tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan yangmemiliki arah
dan ciri yang serupa. Oleh karena itu sifat Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) mengatur ketentuan pokok, asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi
sebagai payung bagi penyusunan peraturan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan
hidup (Koesnadi Hardja Soemantri, 1999:67).
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu diikuti tindakan berupa
pelestarian sumber daya alam dalam rangka memajukan kesehjateraan umum seperti
tercantum didalam UUD 1945. Lahirnya UUPL merupakan dasar ketentuan pelaksanaan
dalam pengelolaan lingkungan hidup serta sebagai dasar penyesuaian terhadap perubahan
atas peraturan yang telah ada sebelumnya, serta menjadikannya sebagai satu kesatuan yang
bulat, utuh didala m satu sistem.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memuat prinsip tersebut, yaitu
dalam pasal 3 UU No.23 tahun 1997 yang telah diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang maksudnya adalah
“Pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa
kini dan masa depan”.
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 59
Prinsip intergeneration equity merupakan prinsip yang menjadi acuan dalam upaya
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) begitu pentingnya prinsip itu
sehingga perlu dituangkan dalam suatu deklarasi yang bertaraf internasional.
Pembangunan ekonomi dengan eksploitasi sumber-sumber alam beserta dampak-
dampaknya akan menjadi beban yang harus dibayar mahal oleh generasi yang akan datang
akibat kerusakan lingkungan hidup. Pemenuhan kebutuhan ekonomi oleh generasi
sekarang yang tidak seimbang, akan meninggalkan persoalan-persoalan yang akan
dihadapi oleh generasi yang akan datang, sehingga prinsip intergeneration equity menjadi
prinsip dasar dalam pembangunan.
Menurut Lucas Prakoso (2010:48), intergeneration equity dapat didekati dari
beberapa model:
1) Preservasionist model; metode pendekatan ini bertolak dari adanya kemauan dari
generasi sekarang untuk tidak merusak dan menghabiskan sumber-sumber kekayaan
alam, melainkan memeliharanya untuk kepentingan generasi yang akan datang
2) Opulence Model; model pendekatan ini menyatakan bahwa generasi sekarang dapat
mengkonsumsi kekayaan alam dengan sepuas-puasnya serta mencapai kesejahteraan
semampunya. Dasar pikiran dari model ini adalah bahwa generasi yang akan datang itu
akan ada atau tidak, memaksimalkan konsumsi yang ada sekarang bagi generasi yang
akan datang ;
3) Technology Model; pendekatan model ini menyatakan bahwa kita tidak perlu menaruh
perhatian terhadap lingkungan untuk kelangsungan generasi yang akan dating karena
inovasi teknologi akan memungkinkan kita untuk mengenalkan pada sumber pengganti
yang tidak terbatas, dan;
4) Eviromental Economic Model; argumentasi Model ini menyatakan bahwa jika kita
memperhitungkan dan mempergunakan sumber-sumber kekayaan dengan layak, maka
kita akan dapat memenuhi kewajiban kita pada generasi mendatang, prasarana ekonomi
yang kita kembangkan selanjutnya akan berpedoman pada pembangunan ekonomi
yang berwawasan lingkungan.
Pada dasarnya, dalam padnangan Muhammad Erwin (2009:79), semua usaha dan
kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan
awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya
yang penting terhadap lingkungan hidup baik fisik maupun non fisik termasuk sosial
budaya, guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.
Dalam ketentuan Pasal 22 (1) UUPLH Menetapkan bahwa setiap rencana kegiatan
yang mungkin dapat menimbulkan dampak besar dan penting, diwajibkan untuk memiliki
AMDAL. Didalam Pasal 22 ayat 2 ditentukan kriteria dampak tersebut: a) besarnya
jumlah penduduk yang akan; b) terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; c) Luas
wilayah penyebaran dampak; d) intensitas dan lamanya dampak berlangsung; e) banyaknya
komponen lingkungan hidup Lain yang akan terkena dampak; f) sifat kumulatif dampak; g)
berbalik atau tidak berbaliknya dampak;dan atau, dan; h) Kriteria lain sesuai
denganPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam ketentuan PP No. 27 Tahun 2009 tentang AMDAL Pasal 1, analisis mengenai
dampak lingkungan hidup (AMDAL), adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan.
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 60
Berdasarkan PP No. 27/1999 dalam ketentuan Pasal 3 (1) bahwa usaha dan atau
kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup meliputi; a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b) eksploitasi
sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c) proses dan
kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan; d) pemborosan, pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup; e) kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; f)
proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan; g) alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; h) proses dan kegiatan yang hasilnya akan
dapat mempengaruhi; i) pelestarian kawasan konservasi sumberdaya dan/atau perlindungan
cagar budaya; j) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik; k)
pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; l) penerpan teknologi yang
diperkirakan mempunyai potensi besar; m) untuk mempengaruhi lingkungan hidup, dan; n)
kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, dan atau mempengaruhi pertahan negara.
Dalam pembuatan AMDAL ada beberapa hal yang dapat dijadikan kerangka acuan
sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan tentang AMDAL, pada pasal 14 (1) Kerangka
acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh
pemrakarsa; (2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan
pedoman yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan. Dalam ketentuan Pasal 7 PP No. 27/1999 menetapkan pula bahwa Analisis mengenai
dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Selain
itu didalam ketentuan tersebut juga menetapkan bahwa Pemohon izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat diajukan oleh pemrakarsa kepada
pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan wajib
melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan atau kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) yang diberikan instansi yang bertanggung
jawab. Sehubungan dengan izin prinsip yang dikeluarkan Bupati kepada PT.Mitra Ogan
yang tidak disertai terlebih dahulu Kajian AMDAL berkenaan dengan pembukaan lahan
perkebunan Kelapa sawit seluas 9.000 hektar menurut analisis saya merupakan rencana
kegiatan yang mempunyai dampak besar bagi lingkungan hidup, karena dampak yang
diakibatkan oleh pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut termasuk kegiatan
yang memiliki resiko bagi lingkungan hidup.
Dikeluarkannya izin prinsip Bupati OKU terhadap pembukaan kebun kelapa sawit
oleh PT. Mitra Ogan tanpa disertai dengan kajian AMDAL menurut saya kedudukannya
cacat hukum, sebab secara prosedural dan substansi pemberian izin sebagaimana sudah
diuraikan sebelumnya bahwa Izin ini merupakan instrumen yuridis yang memiliki unsur-
unsur yang tidak boleh bertentangan dengan UU. Namun kenyataannya izin yang diberikan
Bupati ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UUPLH dan melanggar ketentuan PP
No. 27/1999 yang berkenaan dengan kajian AMDAL.
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh PT. Mitra Ogan sebagai investor, yang akan
melakukan pembukaan lahan Perkebunana kelapa sawit sudah tentu menimbulkan dampak
yang besar bagi lingkungan hidup. Adapun dampak besar yang akan muncul akibat
pembukaan lahan tersebut pada dasarnya secara umum dapat berakibat pada Lingkungan
Hidup antara lain:
1. Dampak Lingkungan akibat Konversi Hutan dan Gambut: a) degradasi lingkungan:
pembukaan hutan dan gambut, apalagi dilakukan dengan cara membakar, akan
mengeluarkan emisi karbon yang sangat besar; b) penurunan tingkat kesuburan tanah
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 61
akibat penggunaan bahan‐bahan kimia perkebunan seperti pupuk, pestisida dan
herbisida. Hal tersebut jelas akan memercepat pemanasan global;
2. Degradasi Sumber Air: a) daerah tangkapan dan pinggiran sungai juga dikonversi jadi
kebun sawit; b) pencemaran air sungai oleh limbah dan bahan‐bahan kimia; c)
perkebun sawit. Juga 45% sumber air utama saat ini sedang dalam keadaan kritis dan
60 sungai sebagai sumber air masyarakat mesti segera direhabilitasi; d) di Kalimantan
Tengah setidaknya 6 sumber air masyarakat rusak permanen akibat perkebunan sawit
(Sajarwan, 2008); e) Penguasaan sumber daya air yang terdapat di perkebunan oleh
perusahaan bisa mencapai 95 tahun (usia HGU), dan; f) kehilangan keanekaragaman
hayati; hilangnya keanekaragaman hayati yang dilindungi akibat pembukaan hutan dan
gambut jadi kebun sawit.
Selain permasalahan tidak adanya kajian AMDAL, investasi yang dilakukan PT.
Mitra Ogan juga tidak disertai dengan MoU yang jelas mengenai perjanjian pembagian
keuntungan maupun terkait komposisi kebun plasmanya, sehingga dapat berakibat pada
kerugian masyarakat, dimana masyarakat hanya akan menjadi penonton didaerah sendiri
atau bahkan menjadi kuli kasar ditanahnya sendiri. Adapun dampak lain yang sudah
dialami daerah ini adalah penebangan kayu atau hutan desa yang dilakukan oleh PT. Mitra
Ogan ini sudah memberikan dampak yang besar terhadap lingkungan disekitarnya,
ditambah rusaknya infrastruktur yang diakibatkan oleh keluar masuknya alat-alat berat
juga sebagai dampak dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan hidup.
Adanya indikasi intimidasi dalam pembebasan lahan juga seharusnya menjadi bahan
pertimbangan, pemanfaatan hutan desa tidak bisa hanya mendapat persetujuan kades dan
perangkatnya saja, melainkan harus dimusyawarahkan dengan masyarakatnya juga. Pihak
pemerintah seharusnya tidak membatasi hak-hak masyarakat untuk berperan aktif dalam
mengontrol kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. bahkan
sebaliknya harus mendukung proses penguatan peran dan hak-hak masyarakat dengan cara
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan kebijakan pengelolaan
lingkungan mulai dari tingkat perencanaan, perizinan, proses AMDAL, pelaksanaan dan
pemantauan kebijakan (Muhamad Erwin, 2009:122).
Dengan berjalan pada koridor hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan UU,
secara yuridis normatif sebelum mengeluarkan Izin Prinsip pemerintah daerah hendaknya
menganalisis terlebih dahulu perencanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh PT.Mitra
Ogan dalam hal ini pembukaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian atas dasar
pertimbangan dampak yang akan diakibatkan oleh pembangunan tersebut juga perlu
melibatkan peran serta masyarakat. Dalam ketentuan Pasal 5 (3) bahwa setiap orang
berhak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat meliputi : mengajukan keberatan,
dengar pendapat, cara-cara lain menurut UU.
Peran serta masyarakat ini dapat juga dilakukan dalam proses penilaian AMDAL,
artinya Bupati sebelum mengeluarkan izin tersebut mewajibkan PT.Mitra Ogan untuk
membuat kajian AMDAL dimana terhadap kajian AMDAL ini masyarakat mempunyai
peranan untuk menilai dokumen AMDAL terlebih dahulu sebab didalam ketentuan Pasal 7
(2) UUPLH ketentuan pelaksanaan peran serta masyarakat ini dengan cara: a)
meningkatkan kemandirian, keberdayaan, dan kemitraan; b) menumbuhkan kemampuan
dan kepeloporan; c) meneimbulkan ketanggapasegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawan sosial; d) memberikan saran dan pendapat, dan; e) menyampaikan informasi dan
pendapat.
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 62
Perlu diketahui bahwa pembangunanan yang dilakukan tentulah diharapkan dapat
membawa manfaat berupa keadaan yang menguntungkan, meskipun pada sisi lain akan
berhadapan dengan resiko lingkungan (enviromental risk) suatu keadaan yang merugikan.
Permasalahan yang paling banyak muncul yang memberi peluang bagi
berkembangnya masalah hukum lingkungan hidup salah satunya adalah peran serta
pemerintahan dalam hal ini kewenangan memberikan izin. Dengan dalil untuk
mempercepat pembangunan, meningkatkan kesehjateraan masyarakat, dan untuk
kemaslahatan masyarakat, terkadang izin yang dkeluarkan ini bersifat unprosedural dan
bertentangan dengan undang-undang.
Dalam prakteknya bupati mengeluarkan izin tanpa adanya kajian AMDAL terlebih
dahulu, tanpa meminta paritispasi masyarakat atau masukan dari berbagai pihak. Padahal
kajian AMDAl adalah merupakan instrumen yang paling utama, sebelum perijinan
dikeluarkan. Belum lagi permasalahan yang kompleks adalah dalam prakteknya, AMDAL
lebih mengarah pada penonjolan pemenuhan administrasi daripada substansinya. Artinya
pesatnya permintaan AMDAL merupakan mata rantai kewajiban dalam urusan perizinan
dalam suatu usaha atau dipandang sebagai performa untuk mendapatkan akad kredit atau
izin investasi. Proses transparansi dan mekanisme keterbukaan dokumen AMDAL bagi
masyarakat tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan masyarakat yang terkena dampak
tidak mengetahui pasti adanya suatu kegiatan atau aktivitas.
AMDAL sebagai salah satu instrumen untuk mengamankan pembangunan maupun
kegiatan usaha hendaknya memang dijadikan sebagai syarat utama yang tidak dapat
ditolerir oleh pemerintah tertuma instansi yang mengeluarkan keweanangan izin dalam
konteks kegiatan administrasi negara, dimana sebagai instrumen utama AMDAL harus
dilakukan secara sepenuhnya, sungguh-sungguh sejak tahap perencanaan,pelaksanaan
maupun tahap penilaian. Instrumen AMDAL ini seharusnya dijadikan oleh pemerintah
daerah sebagai salah satu upaya untuk mencegah perusakan lingkungan hidup yang akan
memberikan dampak bagi generasi –generasi bangsa di masa yang akan datang.
Permasalahan izin bupati yang tanpa disertai Kajian AMDAL menurut penulis jika
tidak dibatalkan, maka dapat dilakukan gugatan administrasi sebagaimana diatur didalam
ketentuan UUPLH mengenai gugatan administratif pada ketentuan Pasal 93 (1) Setiap
orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila: a) badan
atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan
yang wajib AMDAL tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen AMDAL; b) badan atau
pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-
UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPLdan/atau; c) badan atau pejabat
tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi
dengan izin lingkungan.
Walaupun PP no 27/1999 telah lama berlaku, gambaran keadaan yang telah dicapai
dalam kurun waktu tersebut masih belum optimal. Kerusakan lingkungan akibat
pembangunan ini salah satu penyebabnya adalah kurangnya perhatian terhadap penerapan
AMDAL, terjadinya penyimpangan-penyimpangan, adanya peraturan yang dirasakan
kurang operasional dan tidak adanya sistem pengawasan efektif. AMDAL seharusnya
dilakukan seawal mungkin dalam daur proyek yaitu bersama-sama dengan eksplorasi,
telaah kelayakan rekayasa, dan telaah kelayakan ekonomi sehingga AMDAL menjadi
sebuah komponen integral dalam telaah kelayakan proyek.(Muhamad Erwin:57) sebab-
sebab penting tidak efektifnya AMDAL ialah :
1. Pelaksanaan AMDAL yang terlambat sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi proses
perencanaan tanpa menyebabkan penundaan pelaksanaan program atau proyek dan
menaikan biaya proyek
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 63
2. Kurangnya pengertian pada sementara pihak tentang arti dan peranan AMDAL
sehingga AMDAL hanya dilaksanakan sekedar untuk memenuhi peraturan perundang-
undangan atau disalahgunkan untuk membenarkan suatu proyek.
3. Belum cukup berkembangnya teknik AMDAL untuk dapat dibuatnya dan dengan
rekomendasi spesifik dan jelas.
4. Kurangnya keteranpilan pada Komisi AMDAL untuk memeriksa laporan AMDAL
5. Dan belun adanya pemantauan yang baik untuk mengetahui apakah rekomendasi
AMDAL yang tertera didalam RKL benarbenar digunakan untuk menyempurnakan
perencanaan dan dilaksanakan dalam implementasi proyek (Otto Soermawarto,
2001:72)
Menelaah kondisi yang terjadi saat ini berkenaan dengan izin operasional
pemerintahan daerah sebagai penyelengara urusan pemerintahan di daerah bersama DPRD,
menurut asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya sesuai
denga ketentuan UUD 1945. Artinya dalam menjalankan fungsi penyelengaraan negara
peran serta DPRD menurut penulis juga sangat kuat dalam hal ini, sebab DPRD sebagai
lembaga perwakilan rakyat diharapkan dapat memberikan masukan, kritik dan pengawasan
kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan,
sehingga fungsi kontrol terhadap pemerintah dalam menjalankan kewenangan eksekutif
berjalan sesuai dengan koridor hukum.
Selain itu lembaga swadaya masyarakat hendaknya khususnya dibidang lingkungan
hidup hendaknya pula mampu memberikan kritisi terhadap Pemerintah daerah dalam hal
ini memegang peranan sebagai bentuk kontrol dan peran serta masyarakat khususnya
terhadap segala usaha dan kegiatan yang tidak berwawasan lingkungan hidup.
Hubungan Antara Izin Prinsip Bupati dalam Kerangka Hukum Pertanahan di
Indonesia yang Diatur dalam Ketentuan UUPA sebagai Landasan Hukum yang
Berlaku Sektoral dalam Konteks Otonomi Daerah
Ketentuan UU no 32 tahun 2004, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mengatur mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempatsesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sebagai kosekwensi dari otonomi daerah setiap daerah berhak untuk
mengatur dan mengurus daerahnya ats prakrsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
diwilayah tersebut.
Kebijkan Dasar UUD 1945, dalam ketentuan Pasal 18 (2), (5), dan (7), pemerintahan
daerah propinsi dan kabupaten mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan. Berkenaan dengan makalah ini, penulis akan
menguraikan perihal izin lokasi pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Mitra Ogan
yang telah dianalisis dengan ketentuan UUPLH dan aturan-atiran pendukung lainnya,
selanjutnya dalam konteks pemanfaatan hak atas tanah yang diberikan oleh Bupati ini akan
dianalisis kembali dengan menggunakan ketentuan UU yang berlaku sektoral yaitu UUPA
dan UU pendukung lainnya. Sehingga dapat dilihat bahwa ada hubungan yang signifikan
terkait izin yang dikeluarkan Pemerintah daerah dengan ketentuan UUPLH dengan UU
sektoral lainnya pada tataran yuridis normatif.
Seringkali kepala daerah mengeluarkan ijin lokasi perkebunan sawit tanpa pernah
membuat atau melihat terlebih dahulu tata ruang di wilayah tersebut. Bagi perusahaan
mendapatkan ijin lokasi, berarti diberi kewenangan untuk melakukan pembukaan atau
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 64
pembersihan lahan. Keadaan ini bertentangan dengan UUPA No. 5/1960 di mana
perusahaan pemilik HGU-lah yang berhak melakukan pembukaan, penanaman dan
perawatan kebun.
Sebelum membahas mengenai izin bupati terhadap kasus diatas, perlu diketahui
bahwa sepanjang mengeani pertanahan, otonomi yang seluas-luasnya itu dalam kerangka
ketentuan UU yang berlaku yaitu UUPA di mana didalam hal ini terbatas pada tugas
pembantuan (medebewind). Tugas wewenang apa yang di medebewind kan perlu
disesuaikan dengan pasal 18 UUD 1945 tetapi bukan dalam bentuk otonomi dala arti
mengatur dan mengurus pemerintah daerah, tetapi tugas pembantuan juga terbatas pada
kewenangan-kewenangan tertentu saja (Boedi Harsono, 2008:1).
Kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota ada yang
bersifat urusan wajib, dan pilihan. Yang merupakan urusan wajib tersebut dalam pasal 13
ayat (1) dan pasal 14 ayat (1). Sepanjang mengenai bidang pertahanan urusan yang bersifat
wajib merupakan urusan pelayanan pertahanan yang akan diukur dengan peraturan
pemerintah, tetapi hingga saat ini belum ada.
Pasal 10 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah melaksanakan
urusan pemerintah yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintah yang oleh
undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah ebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pemerintahan daerah mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan azas otonomi
dan tugas pembantuan”. Perlu diperhatikan bahwa urusan kewenangan pemerintah tersebut
tidak khusus hanya mengenai pertanahan. Karena itu masih menjadi persoalan apakah yang
dinyatakan dalam ayat (2) pasal tersebut seluruhnya berlaku juga terhadapa urusan
pelayanan pertanahan, yang disebut dalam pasal 13 dan 14.
Urusan yang menjadi urusan pemerintah disebut dalam ayat 3 meliputi politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional dan agama. Dalam
penyelenggaraan urusan pemerintah, menurut ayat (4) pemerintah dapat melaksanakannya
sendiri, atau dapat melimpahkan sebagian urusan kepada perangkat pemerintah atau wakil
pemerintah di daerah. Yang terakhir bentuknya adalah tugas pembantuan atau
medebewind. Selain isi ayat 1 sampai dengan ayat 4 diatas perlu diperhatikan apa yang
ditentukan dalam pasal 10 ayat 5. Ayat tersebut menetapkan bahwa “selain urusan
pemerintah yang disebut dalam ayat 3 di atas”, masih ada urusan lain yang kewenangannya
ada pada pemerintah pusat.
Di antara urusan tersebut termasuk juga bidang pertanahan yang oleh pasal 33 ayat 3
UUD RI dan pasal 2 UUPA kewenangannya ditugaskan kepada negara. Pelaksanaan
urusan kewenangan pemerintah menurut ayat 5 adalah; a) diselenggarakan sendiri sebagai
urusan pemerintah; b) dilimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat (dekonsentrasi); atau; c) ditugaskan sebagain urusan kepada
pemerintah daerah dan atau pemerintah desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Apa yang ditentukan oleh ayat 5 tersebut sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan
adalam UUPA seperti dikemukakan diatas yaitu bentuk medebewind/tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan menurut ketentuan pasal 13 dan 14 meliputi
urusan pemerintahan yang “secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan”.
Urusan bidang pelayanan pertanahan tidak memenuhi kriteria tersebut. Maka
kewenangan daerah onpropinsi, kabupaten dan kota yang merupakan tugas pembantuan,
tidak meliputi urusan bersifat pilihan. Maka tugas pelayanan pertanahan terbatas pada
urusan yang bersifat wajib, dengan bentuk tugas pembantuan. Kewenangan yang di-
medebewind-kan: Penentuan kewenangan dibidang pelayanan pertanahan yang akan di
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 65
tugaskan kepada pemerintahan daerah, tentu akan memperhatikan paradigma baru, seperti
digariskan dalam pasal 18 UUD RI 1945, disampaing kenyataan bahwa kemampuan
masing-masing daerah propinsi, kabupaten dan kota sangat beragam. UU 32/2004 bahkan
menunjuk pada adanya kewenangan yang concurrent, dan harus mempertimbangkan
pemenuhan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. maka pelaksanaan harus
kasual dan bertahap.
Berkenaan dengan izin yang dikeluarkan oleh Bupati OKU terhadap investor, jika
kita analisis izin lokasi sampai dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) merupakan
serangkaian kegiatan yang berkesinambungan secara yuridis normatif, sebab alur
hukumnya harus dijadikan sebagai landasan yuridis dalam konteks pembukaan perkebunan
kelapa sawit ini. Dapat dilihat dari bagan berikut ini:
Berdasarkan alur hukum yang diuraikan ini bahwa mulai dari proses pemberian izin
lokasi sampai dengan izin usaha perkebunan serta pelepasan kawasan hutan dan
memperoleh hak guna usaha harus berdasarkan prosedur hukum yang benar. Dalam hal
pelepasan kawasan hutan yang merupakan milik masyarakat desa di Kecamatan Semidang
Aji seluas 4.300 hektar. Mayoritas lahan yang telah dibuka ternyata milik masyarakat
yakni 3.300 hektar sedangkan sisanya 1.000 hektar lahan milik desa.
Kawasan hutan ini meskipun merupakan lahan tidur tetap harus berdasarkan dengan
ketentuan izin pelepasan kawasan hutan dan harus mendapat izin sesuai dengan pedoman
yang diatur didalam ketentuan peratura perundang-undangan. Artinya izin lokasi
perkebunan kelapa sawit dalam konteks pembukaan lahan tersebut bukan hanya didasarkan
pada izin dari kepala desa dan perangkat desa. Sebab kita sangat memahami bahwa tanah
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam
pelaksanaan pembangunan maka hendaknya pengaturan penguasan, pemilikan dan
Izin Lokasi
Dasar Hukum Peraturan Menteri Agaria/Kepala BPN No. 2 Tahun 1999 Tentang Ijin Lokasi
Izin Usaha Perkebunan
Dasar Hukum 1. UU Perkebunan 25 Ha – 100.000 Ha 2.Kepmentan. No.26/Permentan/05.140/2/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
Pelepasan Kawasan Hutan
Dasar Hukum : Kep. Bersama Menhut, Mentan dan Kepala BPN. Nomor : 364/Kpts No. 18 Th. 2004 2. Kepmentan. No.26/Permentan/ 05.140/2/2007 Tentang Pedoman Ijin Usaha Huta Kpts-11/90, 519/Kpts/HK.050/7/90 dan 23-VIII-1990 Tentang Ketentuan Pelepasan Izin Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Usaha Pertanian dan Perkebunan
HGU
Dasar Hukum: UU No. 5/1960 dan UU No. 25 /2007 Tentang Penanaman Modal
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 66
perizinan seharusnya diarahkan pada semakin terjaminnya tertib di bidang hukum
pertanahan, administrasi pertanahan, ataupun pemelihraan tanah dan lingkungan hidup
sehingga adanya kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat terwujud .
Setelah izin-izin yang berkenaan dengan pembukaan dan pelepasan kawasan hutan,
maka diberikan pula hak guna usaha yang dasar hukumnya diatur dalam ketentuan
UUPA. Hak guna usaha adalah hak yang diberikan berdasarkan ketentuan UUPA kepada
warga negara indonesia dalam rangka pemanfaatan usaha diatas tanah dalam jangka waktu
tertentu.
Dalam ketentuan pasal 4 PP no 40 tahun 1996 tentang HGU, Hak guna bangunan dan
hak pakai menetapkan bahwa tanah yang dapat diberikan hak guna usaha adalah: a) tanah
yang diberikan dengan HGU adalah tanah negara; b) dalam hal tanah yang akan diberikan
HGU tanah negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat
dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan
hutan, dan; c) pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketetnuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan
setelah terselesaikannyapelepasan hak terebut dengan tata cara yang diatur di dalam UU.
Beradasarkan ketentuan tersebut di atas meskipun pelaksanaan otonomi daerah dalam
konteks tugas pembantuan ini hendaknya harus berlandaskan aturan hukum yang jelas,
sebab izin dari kepala desa dan aparatur desa saja tidak cukup dijadikan dasar bagi PT.
Mitra Ogan untuk langsung membuka lahan perkebunan di Kecamatan Semidang Aji.
Selain itu jika seluruh prosedur ketentuan UU telah dilaksanakan pemegang HGU
yang diatur didalam pasal 12 PP No. 40 tahun 1996 berekwajiban untuk: a) membayar
uang pemasukan kepada Negara; b) melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan
dan/ atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian haknya; c) mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai
dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; d)
membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam
lingkungan areal HGU; e) memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya
alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; f) menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun
mengenai penggunaan HGU; g) menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak
Guna Usaha kepada Negara sesudah HGU tersebut hapus, dan; h) menyerahkan sertifikat
HGU yang telah hapus kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Penutup
Berdasarkan uraian tulisan di atas,maka dapat ditarik kesimpulan antara lain:
1. Bahwa izin prinsip yang dikeluarkan Bupati kepada PT. Mitra Ogan tanpa adanya
kajian AMDAL bertentangan dengan UUPLH dan PP No.27 tahun 1998 tentang
AMDAL. Sebab terhadap segala usaha yang menimbulkan dampak besar bagi
lingkungan hidup harus disertai dengan dokumen AMDAL. AMDAL sebagai
instrumen yuridis harus dibuat sesuai dengan prosedur dan ketentuan dan bukan hanya
sebagai pemenuhan syarat administrasi. Sebelum mengeluarkan izin prinsip,
pemerintah daerah hendaknya menganalisis terlebih dahulu perencanaan kegiatan yang
akan dilakukan oleh PT. Mitra Ogan dalam hal ini pembukaan perkebunan kelapa
sawit. Kemudian atas dasar pertimbangan dampak yang akan diakibatkan oleh
pembangunan tersebut juga perlu melibatkan peran serta masyarakat. Dalam ketentuan
Pasal 5 (3) bahwa setiap orang berhak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 67
lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
dapat meliputi: mengajukan keberatan, dengar pendapat, cara-cara lain menurut UU.
2. Terhadap kewenangan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya ada
beberapa alur hukum yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin lokasi, izin usaha
perkebunan, pembukaan lahan di kawasan hutan serta hak guna usaha. Di mana terkait
permasalahan otonomi daerah, masih tetap harus berlandaskan beberapa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.
DAFTAR PUSTAKA
Azhary, Tahir. 1992. Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang
Erwin, Muhammad. 2009. Hukum Lingkungan dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan
Lingkungan Hidup. Bandung: Refika Aditama
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah. Jakarta: Djambatan
Kusumahamidjojo, Boediono. 1999. Ketertiban yang Adil Problematika Filsafat Hukum.
Jakarta: Grasindo
Matthias Finger. 2006. “Which Governance for Sustainable Development? An
Organizational and Institutional Perspective”, dalam Jacob Park, Ken Conca, dan
Matthias Finger, Eds., The Crisis of Global EnvironmentalGovernance: Towards a
New Political Economy of Sustainability. New York: Routledge Taylor & Francis
Group
Muliadi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Prakoso, Lucas. 2010. “Urgensi Intergeneration Equity dalam Hukum Lingkungan”.
Dalam Jurnal Varia Peradilan Edisi 26 No.301. Jakarta, 2010.
Soemantri, Koesnadi Hardja. 1999. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Soemantri, Sri. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni
Spelt N. M. dan J. B. J. M. Ten Berge. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Disunting oleh
Philipus M.Hadjon. Surabaya: Yuridika
Ridwan, H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Volume 4, No. 8, Desember 2011 ISSN: 1979–0899X
Santi Indriani; 54 -68 68
Peraturan Perundang-Undangan dan Sumber lainnya
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Harian Umum OKU EKSPRES, Edisi 1 Juni 2011, Halaman 11