TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

9
Vina Juniarti 0811010159/ 5E TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Kedelai Protein kedelai mempunyai sifat-sifat khusus yaitu mempunyai kemampuan untuk mengikat air punya daya emulsi, pembentuk gel, pembentuk lapisan film, pembentuk adonan dan pengental(Somadtja, 1964). Kandungan amino lisinnya tinggi. Asam amino dibutuhkan untuk membantu produksi antibody hormone dan enzim (Flodin 1997). Kacang kedelai mempunyai rasa langu karena keberadaan enzim lipoksigenase. Enzim ini umumnya terdapat pada bagian lembaga pada kacang-kacangan. Pada kacang kedelai aktivitas enzim lipoksigenase lebih aktif daripada kacang tanah dan kacang hijau (Ketaren 1998). Enzim lipoksigenase mengkatalis oksidasi asam lemak tak jenuh sehingga menjadi tengik dan tidak stabil selama penyimpanan. Kacang kedelai asam lemak tak jenuh sebesar 85% (Somatmadja, 1964). Pembentukan bau langu pada kacang kedelai mungkin terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari lipokgenase (Wolf, 1975). Kacang kedelai mempunyai kandungan protein sebesar 35% (Suprapto, 1997). Flodin, N.W. 1997. The Metabolic Rolos, Pharmacology, and Toxicology of Lysine. J. Amcoll Nutr. 16:7-12. Ketaren, K.S. 1998. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Utama, Jakarta. Koswara, S. 1995. Teknologi pengolahan kedelai. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Soeprapto, A.S., Sutarman. 1990. Bertanam kacang hijau. Penebar Swadaya, Jakarta. Somaatmadja. 1964. Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Wolf, W.J. 1975. Lipoxygenase and Flavour of Soybean Protein Product. J. Agr. Food Chem 23:136- 139.http://intannursiam.wordpress.com/2010/05/page/2/ B. TANIN Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman , seperti daun, buah yang belum matang , batang dan kulit kayu. Pada buah yang belum matang ,tanin digunakan sebagai energi dalam proses metabolisme dalam bentuk oksidasi tannin.Tanin yang dikatakan sebagai sumber asam

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Vina Juniarti

0811010159/ 5E

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kacang Kedelai

Protein kedelai mempunyai sifat-sifat khusus yaitu mempunyai kemampuan untuk mengikat air punya daya emulsi, pembentuk gel, pembentuk lapisan film, pembentuk adonan dan pengental(Somadtja, 1964). Kandungan amino lisinnya tinggi. Asam amino dibutuhkan untuk membantu produksi antibody hormone dan enzim (Flodin 1997). Kacang kedelai mempunyai rasa langu karena keberadaan enzim lipoksigenase. Enzim ini umumnya terdapat pada bagian lembaga pada kacang-kacangan. Pada kacang kedelai aktivitas enzim lipoksigenase lebih aktif daripada kacang tanah dan kacang hijau (Ketaren 1998). Enzim lipoksigenase mengkatalis oksidasi asam lemak tak jenuh sehingga menjadi tengik dan tidak stabil selama penyimpanan. Kacang kedelai asam lemak tak jenuh sebesar 85% (Somatmadja, 1964). Pembentukan bau langu pada kacang kedelai mungkin terjadi akibat adanya aktivitas enzimatik dari lipokgenase (Wolf, 1975). Kacang kedelai mempunyai kandungan protein sebesar 35% (Suprapto, 1997).

Flodin, N.W. 1997. The Metabolic Rolos, Pharmacology, and Toxicology of Lysine. J. Amcoll Nutr. 16:7-12.Ketaren, K.S. 1998. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Utama, Jakarta.Koswara, S. 1995. Teknologi pengolahan kedelai. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.Soeprapto, A.S., Sutarman. 1990. Bertanam kacang hijau. Penebar Swadaya, Jakarta.Somaatmadja. 1964. Kedelai. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.Wolf, W.J. 1975. Lipoxygenase and Flavour of Soybean Protein Product. J. Agr. Food Chem 23:136-139.http://intannursiam.wordpress.com/2010/05/page/2/

B. TANIN

Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman , seperti daun, buah yang belum matang , batang dan kulit kayu. Pada buah yang belum matang ,tanin digunakan sebagai energi dalam proses metabolisme dalam bentuk oksidasi tannin.Tanin yang dikatakan sebagai sumber asam pada buah.Tannin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air. Dengan berat molekul antara 500-3000 dapat mengendapkan protein dari larutan. Secara kimia tannin sangat komplek dan biasanya dibagi kedalam dua grup, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin. Hydrolizable tannin mudah dihidrolisa secara kimia atau oleh enzim dan terdapat di beberapa legume tropika seperti Acacia Spp. Condensed tannin atau tannin terkondensasi paling banyak menyebar di tanaman dan dianggap sebagai tannin tanaman. Sebagian besar biji legume mengandung tannin terkondensasi terutama pada testanya. Warna testa makin gelap menandakan kandungan tannin makain tinggi.

Beberapa bahan pakan yang digunakan dalam ransum unggas mengandung sejumlah condensed tannin seperti biji sorgum, millet, rapeseed , fava bean dan beberap biji yang mengandung minyak. Bungkil biji kapas mengandung tannin terkondensasi 1,6 % BK sedangkan barley, triticale dan bungkil kedelai mengandung tannin 0,1 % BK. Diantara bahan pakan unggas yang paling tinggi kandungan tannin terlihat pada biji sorgum (Sorghum bicolor).

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Vina Juniarti

0811010159/ 5E

Kandungan tannin pada varietas sorgum tannin tinggi sebesar 2,7 dan 10,2 % catechin equivalent. Dari 24 varietas sorgum kandungan tannin berkisar dari 0,05-3,67 % (catechin equivalent). Kandungan tannin sorgum sering dihubungkan dengan warna kulit luar yang gelap. Peranan tannin pada tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi perkecambahan setelah panen, melindungi dari jamur dan cuaca.

Sorgum bertannin tinggi bila digunakan pada ternak akan memperlihatkan penurunan kecepatan pertumbuhan dan menurunkan efisiensi ransum pada broiler, menurunkan produksi telur pada layer dan meningkatnya kejadian leg abnormalitas.

Cara mengatasi pengaruh dari tannin dalam ransum yaitu dengan mensuplementasi DL-metionin dan suplementasi agen pengikat tannin, yaitu gelatin, polyvinylpyrrolidone (PVP) dan polyethyleneglycol yang mempunyai kemampuan mengikat dan merusak tannin. Selain itu kandungan tannin pada bahan pakan dapat diturunkan dengan berbagai cara seperti perendaman, perebusan, fermentasi, dan penyosohan kulit luar biji.

Sifat-sifat Tanin : 1. Dalam air membentuk larutan koloidal yang bereaksi asam dan sepat .

2. Mengendapkan larutan gelatin dan larutan alkaloid.

3. Tidak dapat mengkristal.

4. Larutan alkali mampu mengoksidasi oksigen.

5. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.

Sifat kimia Tanin : 1. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal.

2. Tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi.

3. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptic dan pemberi warna.

Identifikasi Tanin dapat dilakukan dengan cara : 1. Diberikan larutan FeCl3 berwarna biru tua / hitam kehijauan.

2. Ditambahkan Kalium Ferrisianida + amoniak berwarna coklat.

3. Diendapkan dengan garam Cu, Pb, Sn, dan larutan Kalium Bikromat berwarna coklat.

Hidrolisa Tanin : Tanin apabila dihidrolisa akan menghasilkan fenol polihidroksi yang sederhana. Hidrolisa : 1. Asam Gallat terurai pirogalol 2. Asam Protokatekuat Katekol 3. Asam Ellag dan Tenol-fenol lain. (Asam Ellag dapat disamak kulit bentuk bunga)

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Vina Juniarti

0811010159/ 5E

Anonymous. 2010. Tanin. www.nadjeeb.wordpress.comAnonymous.2010. Mengenal Beberapa Antinutrisi pada Bahan Pakan. http://fapet.ipb.ac.id

Struktur tannin

Anonymous. 2010. Farmakoterapi. yosefw.wordpress.com

Phytat

Phytat merupakan salah satu non polysaccharida dari dinding tanaman seperti silakat dan oksalat. Asam phytat termasuk chelat (senyawa pengikat mineral) yang kuat yang bisa mengikat ion metal divalent membentuk phytat komplek sehingga mineral tidak bisa diserap oleh tubuh. Mineral tersebut yaitu Ca, Zn, Cu, Mg dan Fe.

Pada sebagian besar cereal, 60-70 % phosphor terdapat sebagai asam phytat, kecernaan molekul phytat sangat bervariasi dari 0-50 % tergantung bahan pakan dan umur unggas. Unggas muda lebih rendah kemampuan mencerna phytat, tetapi pada unggas dewasa 50%. Kecernaan phytat terjadi karena adanya phytase tanaman atau sintetis phytase dari mikroba usus. Perlakuan panas pada ransum seperti pelleting atau ekstrusi tidak terlihat memperbaiki kecernaan pospor-phytat.

Cara memecahkan masalah adanya P-phytat dalam ransum yaitu :

Penambahan phytase: kelemahan dari penambahan phytase ke dalam ransum akan menambah biaya ransum dan phytase mudah rusak selama proses pelleting. Sebagian besar phytase didenaturasi pada suhu 65°C. Sebaiknya enzym phytase ditambahkan setelah proses pengolahan.

Penambahan sumber pospor lainnya kedalam ransum seperti dicalcium pospat.

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Vina Juniarti

0811010159/ 5E

Sebagian besar cereal dan suplemen protein nabati relatif rendah kandungan phytase kecuali dedak gandum, sedangkan biji yang mengandung minyak kandungan phytat lebih tinggi.

Anonymous.2010. Mengenal Beberapa Antinutrisi pada Bahan Pakan. http://fapet.ipb.ac.id

Asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral seperti kalsium, magnesium, seng dan tembaga sehingga berpotensi mengganggu penyerapan mineral. Selain mengikat mineral, fitat juga bisa berikatan dengan protein sehingga menurunkan nilai cerna protein bahan.

Kandungan fitat didalam biji-bijian dan kacang-kacangan relatif tinggi. Apakah konsumsi makanan yang fitatnya tinggi menyebabkan seseorang menderita defisiensi mineral dan protein, tergantung pada berapa banyak dan berapa sering ia mengkonsumsi makanan tersebut serta bagaimana variasi makanannya. Defisiensi terjadi jika makanan tersebut rutin dikonsumsi sementara menu makanan tidak bervariasi (dan sebagian besar berupa pangan serealia dan kacang-kacangan).

Fitat bisa dihidrolisis dengan bantuan asam atau enzim (indigenus atau eksogenus). Ini sebabnya mengapa proses perkecambahan dan fermentasi (seperti pada pembuatan tempe) bisa mereduksi kadar fitat didalam bahan.Bijibijianmengandung mineral tinggi dengan bioavailability yang rendah. Scott, J.J .(1991) menyatakan bahwa biji jagung berbeda dengan biji-bijian lain dimana 90%fitat terkonsentrasi di dalam bagian benih (Germ) dari biji. Fitat dalam kedelaisangat unik walaupun berasosiasi dengan globoids, tidak memiliki letak posisi yangspesifik (Ravindran. et al. 1995).

Asam fitat adalah mio-inositol, mengikat fosfor pada enam hidroksil group.Fitat membentuk garam asam fitat dengan kalsium dan magnesium (Irving, 1980).Pada pH netral atau pH umum dalam makanan, asam fitat memiliki sifat negatif,dimana dalam keadaan ini sangat aktif membentuk ikatan dengan kation atau protein.Kation akan berikatan dengan satu atau lebih fosfat group dari molekul asam fitat,akan tetapi interaksi antara protein dengan asam fitat tergantung pada pH (Scott. et al.,1986).

Asam fitat bersifat larut air sehingga perendaman juga dapat mereduksi kadar fitat. Kombinasi perendaman dengan pemanasan dan/atau blansir (keduanya dilakukan sebelum perendaman) akan mereduksi asam fitat dengan lebih efektif. Pemanasan tidak merusak asam fitat (karena sifatnya tahan panas) tapi merusak struktur bahan sehingga fitat lebih mudah terekstrak ke air perendam. Blansir akan meningkatkan suhu bahan (bagian dalam menjadi sekitar 45-60 drjt C) yang merupakan suhu optimum aktivitas enzim penghidrolisis fitat yang secara alami terdapat di dalam bahan. Sehingga, kombinasi pemanasan &/blansir dengan perendaman akan mereduksi kadar fitat secara signifikan.http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1971060-asam-fitat/

2. Fitase.2. 1. Tinjauan umum Fitase.Fitase aktif asal mikroba banyak ditemukan pada spesies fungi dan aspergillus. Shieh dan Ware (1968).Fitase terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan, mikroorganisme dan jaringan tubuh ternak. “The Enzym Nomenclature of The International Union of Biochemistry”menggolongkan fitase ke dalam dua tipe.

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Vina Juniarti

0811010159/ 5E

Klasifikasi tersebut adalah 6 – fitase (EC3.1.3.26) dan fitase 3 – fitase (EC 3.1.3.8). Perbedaan khas berdasarkan tempathidrolisis pertama molekul fitat,. 6 – fitase diperoleh dari tumbuhan dan 3 – fitasedari fungi (Dvorakova, 1998). Kombinasi fitase dan fosfatase non spesifikakan meningkatkan aktivitas defosforilasi asam fitat (Maenz, 2001). Degradasi fitatdalam saluranpencernaan unggas berhubungan dengan aksi fitase dari satu atau tigasumber enzim. Fitase dalam saluran pencernaan berasal dari : 1). Fitase usus yangterdapat dalam saluran pencernaan, 2) fitase asal tumbuhan dan 3) fitase asal mikroba.2. 2. Fitase Usus (fitase yang dihasilkan oleh saluran pencernaan ternak).Monogastrik, seringkali diperkirakan tidak mampu menghidrolisis asam fitat.Secara spesifik aktifitas fitase terdapat di dalam membran brush border pada usushalus unggas(Maenz dan Classen, 1998). Penelitian terdahulu membuktikan bahwahidrolisis fitat terjadi di dalam usus halus Unggas (Davies. et al., 1982). Andil darifitase mukosa dalam hidrolisis fitat pada ternak belum diketahui, akan tetapi ternakdapat menyediakan P dari P total terikat fitat apabila tidak disuplementasi fitase dalam ransum (Maenz, 2001).Suplementasi 1,2,5- dihidroksikolekalsiferol dalam ransumdapat memperbaiki kecernaan fitat-P pada unggas (Ravindran. et al., 1995). Unggas yang mendapat ransum difisien fosfor terlihat adanya peningkatan aktifitas fitase usus(Davies. et al., 1982). Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya indikasi dari fitase usus dalam mendukung penggunaan fitat-P dan aktifitas enzim yang diatur oleh status mineral dan vitamin pada ternak (Bedford dan Partridge, 2001). 2. 3. Fitase Alami (Fitase asal tumbuhan).Tumbuh-tumbuhan mengandung fitase aktif, level fitase dan peran enzim dalam menghidrolisis fitat dalam biji-bijian berbeda antar tumbuhan. (Suzuki. et al ., 1999).Suhu optimal fitase asal sereal adalah antara 45oC samapai 57o C (Irving, 1980). Fitase asal tumbuhan memiliki pH optimum antara 4.8 – 5.6 9Turk, 1999). Sebagai contoh dinyatakan bahwa degradasi fitat sangat efisien pada kacang kapri (Pisum Sativum) yang diinkubasi dalam bentuk tepung pada pH 7.5 dan temperature 45o C. pH optimum untuk aktifitas fitase asal tumbuhan adalah sekitar 4.0 – 6.0 (Irving, 1980). Aktifitas fitase asal tumbuhan bervariasi dipengaruhi oleh cultivar, umur dan kondisi penyimpanan (Liu, B.L. et al., 1998). Temperatur tinggi yaitu 70 – 80o C akan menyebabkan sebagian atau seluruh enzim tidak aktif (Pallauf, J dan Rimbach, G., 1996). Sumber fitase lainnya dikenal dengan nama PhytaSeed2. 4. Fitase Asal Mikroba.Mikroorganisme penghasil fitase berasal dari bakteri misalnya spesies pseudomonas (Irving dan Cosgrove, 1971), Yeast seperti Saccharomyces cereviceae, dan spesies aspergillus seperti aspergillus niger dan aspergillus ficuum. Dvorakova (1998) mendaftarkan 29 spesies fungi, bakteri dan yeast yang memproduksi enzim fitase aktif. Dari 29 spesies yang terdaftar, 21 memproduksi fitase ekstraselluler dengan aktifitas paling tinggi (Volfova. et al., 1994). Enzim fitase ekstraselluler yang berasal dari mikroba stabil pada suhu tinggi. Peningkatan suhu pada medium pereaksi dari suhu ruang menjadi 58oC, terjadi peningkatan hidrolisis fitat oleh fitase asal aspergillus ficuum (Ullah. et al.,1991). Peningkatan suhu dari suhu medium secara sinergis terjadi penurunan aktifitas enzim dan tidak terdeteksi pada suhu 68o C (Ullah dan Dischinger, 1995 Enzim fitase yang diproduksi secara komersial adalah hasil encoding gen pada aspergillus niger. Produksi enzim berasal dari aspergillus niger var. vacuum perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap aktifitasnya. Enzim fitase komersial asal aspergillus niger itu sendiri sudah digunakan sebagai pakan aditif pada hewan monogastrik di Eropa (Wodzinski dan Ullah, 1996)K E S I M P U L A N1. Enzim fitase hanya bisa memecah ikatan fitat pada fosfat group equatorial daricincin mio-inositol.2. Hasil akhir hidrolisis asam fitat untuk kebanyakan fitase adalah sama dan tidakberarti bahwa jalur degradasinya harus sama.

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA tanin fitat

Vina Juniarti

0811010159/ 5E

DAFTAR PUSTAKABarrientos, L., Scott, J. J. and Murty, P. P. (1994) Specificity of hydrolysis of phyticacid by alkaline phytase from lily pollen. Plant Physiol. 106, 1489 – 1495.Billington, D. C. (1993) The Inositol Phosphatase. Chemical Synthesis andBiological Significance. Verlag Chemie, Weinheim.Cheryan, M (1980) Phytic acid interaction in food systems. CRC crit. Rev. FoodSci.Nutr. 13, 297-335.Conrad, B., Savchenko, R.S., Breves, R. and Hofeweister, J. (1996) A T7 promoterspecific,inducible protein expression system for Bacillus subtilis. Mol. Gen.Genet. 250, 230-236.Costello, A. J. R., Glonek, T. and Myers, T.C. (1976) Phosphorus-31 nuclearmagnetic resonance – pH titration of hexaphosphate (phytic acid). Carbohydr.Res. 46, 156-171.Cosgrove, D. J. (1980) Inositol Phosphates: Their Chemistry, Biochemistry andPhysiology. Elsevier, New York.Craxton, A., Caffrey, J J., Burkhart, W., Safrany, S. T. and Shears, S. B. (1997)Moleculer cloning and expression of a rat hepatic multiple inositolpolyphosphate phosphatase, Biochem. J. 328, 75-81.Davies, N. T. (1982) Effects of phytic acid on mineral availability. In Dietary Fiberin Health and Disease. Vahoung, G. V. and Kritchevsky, D., Eds., Plenum Press,New York.Dvorakova, J., Volfova, O. and Kopecky, J. (1997) Characteriation of phytaseproduced by Aspergillus niger. Folia Microbiol. 42, 349-352.Dvorakova, J. (198) Phytase : Sources, Preparation and Exploitation. Folia Microbiol.43, 323-338.

Hara, A., Manabe, S., Kondo, A. and Funaguma, T. (1985) A new type of phytasefrom pollen of typha latifolia L. Agric. Biol. Chem. 49, 3539-3544.Irving, G. C. J. (1980) In Inositol Phosphatas : Their Chemistry, Biochemistry andPhysiology. Ed., Cosgrove, D. J. Elsevier, Amsterdam.Irving, G. C. J. and Cosgrove, D,J, (1971) Inositol phosphate phosphatase ofmicrobial origin. Observations on the nature of the active center of a bacterial(Pseudomonas sp.) phytase. Austral. J. Biol. Sci. 24, 1559-1564.Johnson, L. and Tate , M. (1969) the structure of myo-inositol pentaphosphates. Ann.A. N. Acad. Sci. 165, 526-535.Laumen, K. and Ghisalba, O. (1994). Preparative scale chemo-enzymatic synthesis ofoptically pure D-myo-inositol 1-phosphate. Biosci. Biotech. Biochem. 58, 2046-2049.Liu, B. L., Raviq, A., Tzeng, Y.M. and Rob, A. (1998) The induction andcharacterization of phytase and beyond. Enzyme Microbiol. Technol. 22, 415-424.