Tinjauan Pustaka Epilepsi

31
BAB I LAPORAN KASUS 1.1. Identitas Pasien Nama : Tn. S Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 44 tahun Pekerjaan : PNS Agama : Islam Status nikah : Menikah Suku bangsa : Betawi Alamat : RT 002/ RW 02, Kel. Jurang Mangu, Kec.Pondok Aren, Tangerang Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2013 1.2. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Keluhan Utama Kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poliklinik RS Fatmawati dengan keluhan kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku kejang timbul saat pasien sedang tidur pada malam hari pukul 23.00 pm. Sebelum terjadi kejang pasien mengeluhkan adanya sakit kepala ± 1 hari sebelum serangan kejang. perasaan mendengarkan suara sesuatu, melihat sesuatu atau mengecap sesuatu sebelum terjadinya kejang disangkal. Menurut cerita 1

Transcript of Tinjauan Pustaka Epilepsi

Page 1: Tinjauan Pustaka Epilepsi

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. S

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 44 tahun

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

Status nikah : Menikah

Suku bangsa : Betawi

Alamat : RT 002/ RW 02, Kel. Jurang Mangu, Kec.Pondok Aren, Tangerang

Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2013

1.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.

Keluhan Utama

Kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik RS Fatmawati dengan keluhan kejang sejak 1 hari

sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku kejang timbul saat pasien sedang tidur pada

malam hari pukul 23.00 pm. Sebelum terjadi kejang pasien mengeluhkan adanya sakit kepala

± 1 hari sebelum serangan kejang. perasaan mendengarkan suara sesuatu, melihat sesuatu

atau mengecap sesuatu sebelum terjadinya kejang disangkal. Menurut cerita istri pasien,

pasien kejang dengan seluruh tangan dan kaki kelojotan, kepala menengok kekanan, mata

mendelik keatas dan mulut terkunci hal tersebut terjadi sekitar ± 10 menit, saat terjadi kejang

pasien hilang kesadaran. Keluar busa dan mengompol saat kejang disangkal. Setelah

serangan kejang pasien sadar kembali dan mengaku merasakan nyeri kepala hebat, nyeri

kepala berkurang setelah pasien mengkonsumsi obat Clobazam.

Sejak 18 tahun yang lalu (tahun 1995) pasien merupakan pasien rawat jalan poli

bagian syaraf RSUP Fatmawati. Saat itu pasien berobat ke poli syaraf fatmawati juga karena

1

Page 2: Tinjauan Pustaka Epilepsi

keluhan kejang dan saat itu pasien dikatakan menderita epilepsi. Sejak saat itu pasien rutin

berobat dan mengkonsumsi obat secara rutin. Keluhan kejang kadang muncul ± 1-2 kali

dalam setahun ketika pasien sedang kelelahan dan kurang tidur. Menurut pasien, kejang yang

terjadi 1 hari SMRS karena pasien lupa minum obat kejang 2 hari berturut-turut dan mengaku

kelelahan karena sedang banyak kerjaan dikantor dan kurang tidur. Riwayat sakit kepala

berulang (-), mual (-), muntah menyembur (-), demam (-), trauma kepala (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Dahulu saat pasien berusia 1 tahun pernah mengalami kejang demam. Kemudian saat

pasien usia 26 tahun pasien kejang dan dikatakan menderita epilepsi di RSUP Fatmawati,

mengkonsumsi obat secara rutin. Untuk saat ini obat yang dikonsumsinya Clobazam, Asam

folat dan Carbamazepin. Riwayat trauma kepala disangkal oleh pasien. Hipertensi (-),

diabetes mellitus (-), riwayat sakit jantung (-), riwayat stroke (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kejang dikeluarga (+) pada Ayah pasien.

1.3. Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan Umum : Sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4M6V5 = 15)

Sikap : Berbaring dan duduk

Kooperasi : Kooperatif

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 88x/menit

Suhu : 36,5ºc

Pernapasan : 18x/menit

B. Keadaan lokal

Trauma stigmata : (-)

Pulsasi arteri karotis : reguler, cukup, equal kanan dan kiri

2

Page 3: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Perdarahan perifer : capillary refill time < 2 detik

KGB : tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)

Columna vertebralis : letak lurus di tengah, skoliosis (-), lordosis (-)

Pemeriksaan Kepala : Normochepal , Jejas (-) nyeri Tekan (-)

Pemeriksaan Leher : Trakea di tengah, tiroid tidak teraba, JVP 5+0 cmH20,pembesaran

KGB (- ).

Pemeriksaan Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V pada 2 jari medial linea midclavicula sinistra

Perkusi :

Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri : ICS V 2 jari medial linea midklavikularis sinistra

Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I dan II reguler; gallop (-), murmur (-)

Pemeriksaan Paru

Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : ekspansi dada normal, vokal fremitus kanan kiri sama

Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi -/- wheezing -/-

Pemeriksaan Abdomen

Inspeksi : datar

Palpasi : supel, hati dan limpa tidak teraba; nyeri tekan (-)

Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen

Auskultasi : bising usus (+) normal

3

Page 4: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Pemeriksaan Ekstremitas

Superior : akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/-

Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/-

a. Pemeriksaan Neurologis

Rangsang Selaput Otak

Kaku kuduk : (-)

Laseque : kanan > 70o kiri > 70o

Kerniq : kanan > 135o kiri > 135o

Brudzinsky I : kanan(-) kiri(-)

Brudzinsky II : kanan(-) kiri(-)

Saraf kranialis

N.I : normosmia kanan dan kiri

N.II

Acies Visus : baik/ baik

Visus Campus : baik/ baik

Lihat warna : baik/ baik

Funduskopi : tidak dilakukan

N. III,IV dan VI

Kedudukan bola mata : Ortoposisi/ortoposisi

Pergerakan bola mata : bebas ke segala arah

Nasal : +/+

Temporal : +/+

Nasal atas : +/+

Temporal atas : +/+

Nasal bawah : +/+

Temporal bawah : +/+

Eksoftalmus : -/-

Nistagmus : -/-

Pupil

Bentuk : Bulat, isokor, diameter = 3mm/3mm

4

Page 5: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Refleks cahaya langsung : +/+

Refleks cahaya konsensual : +/+

Refleks akomodasi : +/+

Refleks konvergensi : +/+

N.V

Cabang motorik : baik/ baik

Cabang sensorik oftalmikus : baik/ baik

Cabang sensorik maksilaris : baik/ baik

Cabang sensorik mandibularis : baik/ baik

N.VII

Motorik orbitofrontal : baik/ baik

Motorik orbikularis : baik/ baik

Pengecapan lidah : baik/ baik

N.VIII

Vestibular

Vertigo : (-)

Nistagmus : (-)

Koklearis

Tes rinne : (+)

Weber : tidak ada lateralisasi

Scwabach : sama dengan pemeriksa

N.IX ; N.X

Motorik : arcus faring simetris, uvula di tengah

Sensorik : baik

N.XI

Mengangkat bahu : baik/ baik

Menoleh : baik/ baik

N.XII

Pergerakan lidah : baik, tidak ada deviasi

Atrofi : (-)

Fasikulasi : (-)

Tremor : (-)

5

Page 6: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Sistem motorik

Ekstremitas atas proksimal distal : 5555/5555

Ekstremitas bawah proksimal distal : 5555/5555

Gerakan involunter

Tremor : -/-

Chorea : -/-

Atetose : -/-

Mioklonik : -/-

Tics : -/-

Trofik : Eutrofik

Tonus : Normotonus

Sistem sensorik

Propioseptif : Baik

Eksteroseptif : Baik

Fungsi serebelar

Ataxia : -

Tes Romberg : -

Disdiadokokinesia : -

Jari-jari : -/-

Jari-hidung : -/-

Tumit-lutut : -

Rebound phenomenon: -

Hipotoni : -/-

Fungsi luhur

Astereognosia : -

Apraksia : -

Afasia : -

Fungsi otonom

Miksi : baik

Defekasi : baik

Sekresi keringat : baik

Refleks fisiologis

6

Page 7: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Kornea : +/+

Biseps : +2/+2

Triseps : +2/+2

Radius : +2/+2

Dinding perut : +

Otot perut : +

Patella : +2/+2

Tumit : +2/+2

Refleks patologis

Hoffman tromer : -/-

Babinsky : -/-

Chaddok : -/-

Gordon : -/-

Schaefer : -/-

Klonus lutut : -/-

Klonus tumit : -/-

Keadaan Psikis

Intelegensia : baik

Tanda regresi : -

Demensia : -

1.4. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium (-)

Radiologi :

CT-Scan Kepala (2010)

Dalam batas normal

1.5. Resume

Pasien datang ke poliklinik RS Fatmawati dengan keluhan kejang sejak 1 hari

sebelum masuk rumah sakit, kejang timbul saat pasien sedang tidur pada malam hari.

Sebelum terjadi kejang pasien mengeluhkan adanya sakit kepala ± 1 hari sebelum

serangan kejang. Pasien kejang dengan seluruh tangan dan kaki kelojotan, kepala

menengok kekanan, mata mendelik keatas dan mulut terkunci hal tersebut terjadi sekitar

± 10 menit, saat terjadi kejang pasien hilang kesadaran. Setelah serangan kejang pasien

7

Page 8: Tinjauan Pustaka Epilepsi

sadar kembali dan nyeri kepala hebat yang berkurang setelah pasien mengkonsumsi obat

Clobazam. Sejak 18 tahun yang lalu pasien di diagnosis epilepsi dan merupkan pasien

rawat jalan poli bagian syaraf RSUP Fatmawati. Pasien rutin berobat , selama pengobatan

keluhan kejang kadang muncul ± 1-2 kali dalam setahun ketika pasien sedang kelelahan

dan kurang tidur. Pasien lupa minum obat kejang 2 hari berturut-turut, kelelahan dan

kurang tidur.

Riwayat kejang demam saat usia 1 tahun dan riwayat kejang dikeluarga (+) pada

Ayah pasien.

Status generalis :

KU/Kesadaran : TSR/ CM

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Nadi : 88 x/mnt

Suhu : 36,50C

Pernafasan : 18 x/mnt

Kepala : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Paru-paru : dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Ekstremitas : dalam batas normal

Status neurologis

GCS: E4M6V5 =15

Pupil: bulat, isokor diameter 3mm/3mm

TRM: KK (-), L>70/>70, K>135/>135

Peningkatan TIK: -

N.cranial: parese –

Motorik: baik

Sensorik: baik

Otonom: baik

1.6. Diagnosis Kerja

Diagnosis klinis : kejang generalisata tipe klonik

Diagnosis etiologi : idiopatik

8

Page 9: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Diagnosis topik : korteks/subkorteks

1.7. Tata Laksana

Non Medikamentosa

Edukasi mengenai penyakit epilepsi

Medikamentosa

Carbamazepin 3 x 200 mg

Clobazam 2 x 10 mg

Asam Folat tab 2 x 1 mg

1.8 Rencana Pemeriksaan

Laboratorium darah lengkap (hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit), elektrolit

darah (natrium, kaliun, kalsium, magnesium), kadar gula darah, ureum darah,

creatinin darah, SGOT dan SGPT.

EEG

1.9 Prognosis

Ad vitam : bonam

Ad fungsionam : bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

9

Page 10: Tinjauan Pustaka Epilepsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Epilepsi merupakan suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi

yang berulang berselang lebihdari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan

epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik

yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron yang terutama terletak pada korteks

serebri. manifestasi klinik ini timbul mendadak dan sementara berupa perubahan perilaku

stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom

ataupun psikis.

Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsi ditandai oleh sekumpulan gejala yang

timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitasi usia saat

awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa).

2.2. Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada

semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi

terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda

sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar

antara 0,5%-2%.

Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan,

namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat

diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara

1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi.

2.3. Etiologi

Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat

timbul karena penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul

jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak,

10

Page 11: Tinjauan Pustaka Epilepsi

sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak. Ditinjau dari penyebab epilepsy, dapat

dibagi atas :

1. Idiopatik : penyebab tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetic.

2. Kriptogenik : Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk

disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.

Gambara klinik sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik : Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya

trauma kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran

darah otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan neurodegenerative

2.4. Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan

perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas

impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur

lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu

maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam

mekanisme pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory

neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil

kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin

(5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih

perlu penelitian lebih lanjut.

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak

yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi

dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok

neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi

yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang

secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.

Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

11

Page 12: Tinjauan Pustaka Epilepsi

- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga

terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang

kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang

rendah diotaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi

potensial post sinaptik.

- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls

epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus

impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya

konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat

pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk

timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.

- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.

- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan

listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit

serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron

sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,

kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi

neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila

ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus

sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari

fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi

selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara

intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai

perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan

12

Page 13: Tinjauan Pustaka Epilepsi

akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya

exhaustionneuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata

serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)

depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang

berkepanjangan disebut status epileptikus.

Fenomena pemicu epilepsi adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal

(pergeseran depolarisasi paroksismal (PDS)). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca2+.

Ca2+ yang masuk mula-mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga

menyebabkan depolarisasi yang berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan

Cl- yang diaktifasi oleh Ca2+. Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang

terdapat dalam jumlah yang cukup.

Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron disekitarnya

ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme selular: dendrit sel piramidal mengandung kanal Ca2+

bergerbang voltase yang akan membuka pada saat depolarisasi sehingga meningkatkan

depolarisasi. Pada lesi neuron akan lebih banyak kanal Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+

dihambat oleh Mg2+, sedangkan hipomagnesemia akan meningkatkan aktivitas kanal ini.

Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel akan mengurangi efluks K+ melalui kanal K+. Hal ini

berarti K+ memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang bersamaan

meningkatkan pengaktifan kanal Ca2+

Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps eksitatorik.

Glutamat bekerja pada kanal kation yang tidak permeabel terhadap Ca2+ (AMPA) dan pada

kanal yang permeabel terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya dihambat oleh

Mg2+. Akan tetapi depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA menghilangkan

penghambatan Mg2+ (kerja sama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2+ dan depolarisasi

memudahkan pengaktifan kanal NMDA.

Potensial membran neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K+. Syarat untuk hal

ini adalah gradien K+ yang melewati membran sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh

Na+/K+-ATPase. Kekurangan senergi (misalnya akibat kekurangan O2 atau hipoglikemia)

akan menghambat Na+/K+-ATPase sehingga memudahkan depolarisasi.

13

Page 14: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Depolarisasi normalnya dikurangi oleh neuron inhibitorik yang mengaktifkan kanal

K+ dan/ atau Cl- yang diantaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh glutamat

dekarboksilase (GD), yakni enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai

kofaktor. Defisiensi vitamin B6 atau berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B6

(kelainan genetik) memudahkan terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi neuron talamus dapat

meningkatkan kesiapan kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan

absans.

2.5. Klasifikasi

Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981

dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan

klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

2.6 Klasifikasi

Menurut Commision of Classification and Terminology of International League

Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:

I. Kejang Parsial (fokal, lokal)

a. Kejang parsial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal.

1. Dengan gejala motorik

Fokal motorik tidak menjalar: kejang sebatas pada satu bagian tubuh

saja.

Fokal motorik menjalar: kejang dimulai dari satu bagian tubuh dan

menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson

Versif: gejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh

Postural: kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap

tertentu

Disertai gangguan fonasi: kejang disertai arus bicara yang terhenti atau

pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.

2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang disertai

halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitkan

yang disertai vertigo.

Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum

Visual: terlihat cahaya

14

Page 15: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Auditoris: terdengar sesuatu

Gustatoris: terkecap sesuatu

Disertai vertigo

3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,

pucat, berkeringat, membera, piroleksi, dilatasi pupil)

4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata

atau bagian kalimat

Demensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah

mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah

mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin

mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa melihatnya

lagi

Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah

Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut

Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau

lebih besar.

Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara musik,

melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.

b. Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran.

1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-

mula baik kemudian baru menurun.

Dengan gejala parcial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada

golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran

Timbul automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang

timbul dengan sendirinya, misalnya dengan gerakan mengunyah-nguyah,

menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan,

menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjalan,

mengembara tak menentu, berbicara, dll.

2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran sejak serangan;

kesadaran menurun sejak permulaan serangan.

Hanya dengan penurunan kesadaran

Dengan automatisme.

15

Page 16: Tinjauan Pustaka Epilepsi

c. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,

klonik)

1. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang generalisata

2. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang generalisata

3. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial kompleks lalu

berkembang menjadi kejang generalisata.

II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif)

a. 1. Kejang lena (Absence)

Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti, muka

tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi bila

diajak bicara. Biasanya serangan ini berlangsung selama ¼-1/2 menit dan

biasanya dijumpai pada anak.

Hanya penurunan kesadaran

Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai

pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.

Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot leher, lengan,

tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak mengulai.

Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,

leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, badan menjadi

melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang

Dengan automatisme

Dengan komponen autonom

Gejala-gejala diatas dapat berdiri sendiri atau kombinasi.

2. Kejang lena tidak khas, dapat disertai:

Gangguan tonus yang lebih jelas

Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Kejang mioklonik

16

Page 17: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat

kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot, sesekali atau berulang-

ulang. Kejang ini dapat terjadi pada semua umur.

c. Kejang klonik

Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang klojot.

Dijumpai terutama pada anak.

d. Kejang tonik

Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi

kaku, juga terdapat pada anak.

e. Kejang tonik-klonik

Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang terkenal dengan

nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang

mendahului suatu kejang. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh

badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼-1/2 menit diikuti kejang

klojot di seluruh badan.

Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam

beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,

mulut menjadi berbusa kerena hembusan nafas. Mungkin pula pasien miksi

ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tertidur beberapa

lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau

menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

f. Kejang atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga

pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang ini

terutama tejadi pada anak-anak.

III. Kejang tak tergolongkan

Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan bola mata

yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau

pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

4. Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :

17

Page 18: Tinjauan Pustaka Epilepsi

1. Berkaitan dengan letak fokus

a. Idiopatik

- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)

- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

b. Simptomatik

- Lobus temporalis

- Lobus frontalis

- Lobus parietalis

- Lobus oksipitalis

2. Umum

a. Idiopatik

- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna

- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

- Epilepsi Absans pada anak

- Epilepsi Absans pada remaja

- Epilepsi mioklonik pada remaja

- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga

- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak

b. Simptomatik

- Sindroma West (spasmus infantil)

- Sindroma Lennox Gastaut

3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)

- Serangan neonatal

4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi

- Kejang demam

- Berkaitan dengan alkohol

18

Page 19: Tinjauan Pustaka Epilepsi

- Berkaitan dengan obat-obatan

- Eklampsia

- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)

2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi

kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala-gejalanya. Pemeriksaan

dengan curiga epilepsi bertujuan untuk :

Mengkonfrimasi atau mendukung diagnosis klinis

Mengklarifikasi sindrom epilepsi

Menetapkan penyebab.

Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang

dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas epileptik

baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang

paku, runcing lambat, paku lambat.

Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos

kepala, yang berguna untuk mendeteksi adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan kepala.

Yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematoma, tumor, hidrosefalus, sedangkan

pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelainan

sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia,dll.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya serangan tanpa mengganggu

kapasitas fisik dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa

dan pengobatan psikososial.

Medikamentosa

Pada epilepsi yang simptomatis dimana kejang yang timbul adalah manifestasi

penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka disamping

pemberian obat anti epilepsi diperlukan juga terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu

dipertimbangkan:

19

Page 20: Tinjauan Pustaka Epilepsi

1. Pada kejang yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian

obat harus dipertimbangkan.

2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; hal ini berarti pasien mengalami

lebih dari dua kali kejang yang sama

3. Obat yang diberikan sesuai dengan jenis kejang

4. Sebaiknya menggunakan monoterapi kerena dengan cara ini toksisitas akan

berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.

5. Dosis obat disesuaikan secara individual

6. Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya.

7. Pengobatan dihilangkan setelah kejang hilang selama 2-3 tahun. Pengobatan

dihentikan secara berangsur-angsur dengan menurunkan dosisnya.

Obat pilihan berdasarkan jenis kejang

Jenis kejang Jenis obat

Fokal / parsial sederhana CBZ, PB, PHT

Kompleks CBZ, PB, PHT, VAL

Tonik-klonik umum CBZ, PB, PHT, VAL

Tonik-klonik CBZ, PB, PHT, VAL

Mioklonik CLON, VAL

Absens/petit mal CLON, VAL

CBZ: karbamazepin; PHT : fenitoin; CLON : klonazepam; PB : fenobarbital;

VAL : asam valproat

Dosis obat antiepilepsi dan konsentrasi dalam plasma

Jenis obat Dosis

(mg/kgBB/hari)

Cara pemberian Konsentrasi dalam

plasma (Ug/mm3)

Fenobarbital 1-5 1x/hari 20-40

Fenitoin 4-20 1-2x/hari 10-20

20

Page 21: Tinjauan Pustaka Epilepsi

Karbamazepin 4-20 3x/hari 4-10

Asam valproat 10-60 3x/hari 50-100

Klonazepam 0.05-0.2 3x/hari 10-80

Diazepam 0.005-0.015 IV 0.3-0.7

  0.4-0.6 Per rektal  

Pengobatan psikososial

Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar

akan terbebas dari kejang. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat

bebas dari kejang dan dapat belajar, bekerja, dan bermasyarakat secara normal.

2.9. Prognosis

Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun,

dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami

kejang lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% paisen tidak mengalami

remisi meskipun minum obat teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan

ulang paling sering didapat pada kejang tonik-klonik dan kejang parsial kompleks. Demikian

pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.

21

Page 22: Tinjauan Pustaka Epilepsi

DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

(Perdossi). Pedoman tata laksana epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi; 2011

2. Mansjoer AS, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Ed III. Fakultas

Kedokteran UI: Media Aesculapius.

3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2000

4. Utama H. Antiepilepsi dan antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. Edisi

5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007

5. Lumbanntobing SM. Epilepsy (ayan). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006

22