BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya...

24
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi, tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma otak ( Soetomenggolo, 1999; Panayiotopoulos, 2005 ). 2.2 Klasifikasi Epilepsi Klasifikasi dari epilepsi yang seragam dan diterima secara universal merupakan sarana komunikasi untuk membandingkan dan mengevaluasi penelitian ilmiah serta untuk pengobatan. Saat ini dikenal dua jenis klasifikasi yang dipakai oleh ILAE ( International League Against Epilepsy ) tahun 1981 yaitu klasifikasi bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi. Klasifikasi serangan kejang merupakan klasifikasi kejang yang dibuat berdasarkan manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan kelompok yang menunjukkan aspek sama dalam berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, dan prognosis. Satu sindrom epilepsi dapat menunjukkan serangan kejang yang bervariasi ( Sankar dkk., 2005; Panayiotopoulos, 2005 ). Berdasarkan serangan kejang epilepsi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kejang fokal ( penyebabnya terbatas pada satu bagian otak di salah satu hemisfer )

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah kejang tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan

interval waktu lebih dari 24 jam. Epilepsi dapat disebabkan oleh berbagai

penyakit dan gangguan yang berat misalnya malformasi kongenital, pasca infeksi,

tumor, penyakit vaskuler, penyakit degeneratif dan pasca trauma otak

( Soetomenggolo, 1999; Panayiotopoulos, 2005 ).

2.2 Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi dari epilepsi yang seragam dan diterima secara universal

merupakan sarana komunikasi untuk membandingkan dan mengevaluasi

penelitian ilmiah serta untuk pengobatan. Saat ini dikenal dua jenis klasifikasi

yang dipakai oleh ILAE ( International League Against Epilepsy ) tahun 1981

yaitu klasifikasi bangkitan atau serangan kejang dan klasifikasi sindrom epilepsi.

Klasifikasi serangan kejang merupakan klasifikasi kejang yang dibuat berdasarkan

manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah

klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan kelompok yang

menunjukkan aspek sama dalam berbagai hal, baik manifestasi klinis, umur, dan

prognosis. Satu sindrom epilepsi dapat menunjukkan serangan kejang yang

bervariasi ( Sankar dkk., 2005; Panayiotopoulos, 2005 ).

Berdasarkan serangan kejang epilepsi dibagi menjadi tiga kelompok yaitu

kejang fokal ( penyebabnya terbatas pada satu bagian otak di salah satu hemisfer )

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

9

dan kejang umum ( adanya keterlibatan kedua hemisfer sebagai penyebab

kejang ), kejang unclassified ( kurangnya informasi terhadap kategori kejang ).

Kejang fokal dapat disertai atau tanpa penurunan kesadaran diklasifikasikan

menjadi kejang parsial sederhana, kejang parsial komplek, dan kejang parsial

sekunder menjadi umum. Kejang umum selalu disertai dengan penurunan

kesadaran diklasifikasikan menjadi kejang absanse, kejang absanse atipikal,

kejang mioklonik, kejang klonik kejang tonik, kejang tonik-klonik, dan kejang

atonik. Kejang unclassified didapatkan adanya gejala prodromal epilepsi, dimana

terjadi perubahan mood dan lekas marah beberapa jam sampai hari sebelum

terjadinya kejang ( Gurnett dan Dodson, 2009; Camfield dan Camfield, 2012 ).

2.3 Patofisiologi Epilepsi

Epilepsi adalah pelepasan muatan yang berlebihan dan tidak teratur di pusat

tertinggi otak. Sel saraf otak mengadakan hubungan dengan perantaraan pesan

listrik dan kimiawi. Terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan

eksitasi dan inhibisi dari aktivitas listrik ( Sankar dkk., 2005; Rho dan Stafstron,

2012 ).

Pada saat serangan epilepsi yang memegang peranan penting adalah adanya

eksitabilitas pada sejumlah neuron atau sekelompok neuron, yang kemudian

terjadi lepas muatan listrik secara serentak pada sejumlah neuron atau sekelompok

neuron dalam waktu bersamaan, yang disebut sinkronisasi. Terjadinya lepas

muatan listrik pada sejumlah neuron harus terorganisir dengan baik dalam

sekelompok neuron serta memerlukan sinkronisasi. Epilepsi dapat timbul karena

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

10

ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi serta sinkronisasi dari pelepasan

neural ( Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ).

Terdapat berbagai teori patofisiologi epilepsi, di antaranya adalah sebagai

berikut:

a. Ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi

Kejang parsial dan kejang parsial menjadi umum disebabkan oleh

karena ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Eksitasi

berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat saat kejang.

Luaran sinyal yang dikeluarkan dari neuron yang meletup cepat

merekrut sistem neuronal yang berhubungan melalui sinap, sehingga

terjadi pelepasan yang berlebihan. Sistem inhibisi juga diaktifkan saat

kejang, akan tetapi tidak cukup untuk mengontrol eksitasi yang

berlebihan, sehingga timbul kejang ( Rho dan Stafstron, 2012; Widjaja,

2004 ).

Excitatory Postsynaptic Potentials ( EPSPs ) dihasilkan oleh ikatan

molekul-molekul pada reseptor-reseptor yang menyebabkan terbukanya

saluran ion Na atau ion Ca dan tertutupnya saluran ion K yang

mengakibatkan terjadinya depolarisasi. Berlawanan dengan Inhibitory

Postsynaptic Potentials ( IPSs ) disebabkan karena meningkatnya

permeabilitas membran terhadap Cl dan K, yang akhirnya

menyebabkan hiperpolarisasi membran. Keseimbangan antar eksitasi

dan inhibisi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti tercantum dalam

Tabel 2.3

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

11

Tabel 2.3 Keseimbangan antar eksitasi dan inhibisi.

( Sumber: Dikutip dari Kumpulam Makalah Epilepsi Pertemuan

Nasional-1 ) Excitation

Neuronal Depolarization

EPSP

Actions Potentials

Inward Ionic Current

Long term excitatory plastic changes

Inhibition

Neuronal hyperpolarization

IPSP

Calcium-activated potassium potentials

Outward currents

Metabolic pump potentials

Spike frequency accommodation

Eksitasi terjadi melalui beberapa neurotransmitter dan

neuromodulator, akan tetapi reseptor glutamat yang paling penting dan

paling banyak diselidiki untuk eksitasi pada epilepsi. Sedangkan

inhibitor utama neurotransmitter pada susunan saraf pusat adalah

Gamma Amino Butiric Acid ( GABA ). Semua struktur otak depan

menggunakan aksi inhibitor dan memegang peranan fisiopatogenesis

pada kondisi neurologis tertentu, termasuk epilepsi, kegagalan fungsi

GABA dapat mengakibatkan serangan kejang ( Rho dan Stafstron,

2012; Christensen dkk., 2007; Kleigman, 2005 ).

Terdapat tiga reseptor, yaitu GABA-A, GABA-B, dan GABA-C. Secara

tradisional yang berperan paling penting adalah inhibisi potensi

postsinaptik ( IPSPs ) cepat yang disalurkan oleh reseptor GABA-A.

Pengikatan GABA pada reseptor GABA-A membuka saluran klorida.

Masuknya ion klorida mengadakan hiperpolarisasi neuron, dan

selanjutnya mengadakan hambatan dengan cara menurunkan hambatan

( resistensi ) membran. Sedangkan reseptor GABA-B menghasilkan

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

12

hiperpolarisasi yang lebih dalam dan lebih lama, dinamakan IPSP

lambat atau potensial hiperpolarisasi lambat. Pada tahap inhibisi ini

adalah potensial non sinaptik dinamakan calcium-activated potassium.

Arus yang mendasari potensial ini terjadi oleh masuknya kalsium ke

dalam neuron, mengakibatkan aktivasi dari aliran kalium ke luar.

Penambahan respon terhadap reseptor GABA-B berguna untuk strategi

menghambat bangkitan yang berlangsung lama ( Sankar dkk., 2006;

Rho dan Stafstron, 2012 ).

b. Mekanisme sinkronisasi

Bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas

serat-serat aksonal dari neuron eksitatorik dari pembentukan hubungan

sinaptik eksitatorik yang berulang-ulang serta timbal balik positif dan

bertambahnya hubungan dengan sirkuit ini mengakibatkan eksitasi

sinaps yang berulang dan perubahan konsentrasi ion ekstraseluler. Hal

ini menyokong pelepasan sinkronisasi. Ciri khas dari semua tipe

aktivitas epilepsi adalah bertambahnya sinkronisasi neuronal. Pada saat

kejang, sel otak meletup dalam pola hubungan bersamaan. Pada

umumnya, saluran natrium dan kalsium menengahi eksitasi neuronal,

sedangkan saluran kalium dan klorida menstabilkan letupan neuronal

( Clark dan Wilson, 1997; Rho dan Stafstron, 2012 ).

c. Epileptogenesis

Trauma otak dapat mengakibatkan epilepsi setelah interval latensi

bebas dari kejang. Anoksia-iskemia, trauma, neurotoksin, dan trauma

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

13

lain secara selektif dapat mengenai subpopulasi sel tertentu. Bila sel ini

mati, akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk

berhubungan dengan neuron diferensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh

cenderung untuk mudah terangsang ( hiperexcitable ) karena mudah

rusaknya dari interneuron penghambat ( Widjaja, 2004;

Rho dan Stafstron, 2012 ).

Penyebab spesifik dan faktor-faktor komorbiditas terjadinya epilepsi

sebagai berikut: ( Kleigman, 2005; Christensen dkk., 2007 ).

a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin atau kehamilan

ibu, seperti ibu meminum obat-obat tertentu yang dapat merusak

otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol, atau mengalami

cidera.

b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurangnya

oksigen ke otak ( hipoksia ), kerusakan karena tindakan saat

kelahiran ( vakum dan forcep ).

c. Cidera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak.

d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum

terutama pada anak-anak.

e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah

otak.

f. Radang atau infeksi pada otak atau selaput otak.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

14

g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis

dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang

berulang.

h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini

disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah

dari nornal diturunkan pada anak.

2.4 Diagnosis Epilepsi

Epilepsi adalah diagnosis klinis, ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang EEG hanya untuk konfirmasi

diagnosis, melihat sindroma epilepsi tertentu dan pencitraan kepala yaitu ( CT

scan ) atau magnetic resonance imaging ( MRI ) ( Kuzniecky, 2005 ).

2.4.1 Anamnesis

Kunci penting dari penegakkan diagnosis epilepsi adalah anamnesis yang

cermat dan rinci. Penderita epilepsi sebagian besar datang tidak saat serangan

kejang sehingga pemeriksa tidak dapat menilai langsung kejang yang terjadi.

Anamnesis mendalam dan rinci tentang kejang penderita yang meliputi : tipe

kejang, lama kejang, gejala sebelum dan sesudah kejang, frekuensi kejang, adanya

penyakit penyerta, umur saat pertamakali kejang, riwayat penyakit dan

pengobatan sebelumnya, riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat tumbuh

kembang, dan riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga ( Camfield dan Camfield,

2012; Maria, 2009 ).

Anamnesis yang akurat dapat membantu pemeriksa untuk memastikan kejang

atau bukan kejang. Kejang harus berlangsung ≥ 2 kali dengan interval waktu > 24

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

15

jam untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Kejang yang berulang serial dalam

rentang waktu 24 jam dianggap kejang episode tunggal dan diagnosis epilepsi

belum bisa ditegakkan ( Berg dkk., 2012 ).

2.4.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, kelainan kongenital, dan gangguan neurologi. pemeriksa

harus memastikan bahwa kejang tidak ada pencetus yang jelas, seperti demam,

gangguan elektrolit, dan gangguan metabolik lainnya. Adanya keterlambatan

perkembangan, organomegali, asimetri ukuran anggota tubuh dapat menunjukkan

awal gangguan pertumbuhan otak. gambaran dismorfik pada muka, tanda-tanda

tertentu pada bagian tubuh seperti hemangioma, nodul, makula, warna pucat dan

sebagainya untuk melihat sindroma epilepsi tertentu ( Hauser dan Nelson, 2013 ).

2.4.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan pada penderita epilepsi, jika

fasilitas tersedia yaitu EEG dan neuroimaging ( CT scan kepala tanpa atau dengan

kontras atau MRI ).

2.4.3.1 Pemeriksaan EEG

Pemeriksaan EEG digunakan untuk membantu membedakan tipe kejang dan

sindrom epilepsi. Pemeriksaan EEG dapat membantu menentukan OAE dan

prognosis penderita ( Smith, 2005 ). Gelombang yang normal ditemukan adalah

gelombang irama dasar sesuai dengan usia anak. Perkembangan normal otak

ditunjukkan dengan perubahan gelombang irama dasar mulai dari 3-4 siklus/detik

pada usia 4 bulan, 5 siklus/detik pada usia 6 bulan, 6-7 siklus/detik pada usia 9-18

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

16

bulan, 7-8 siklus/detik pada usia 2 tahun, 9 siklus/detik pada usia 7 tahun, dan 10-

11 siklus/detik pada 10-15 tahun ( Chabolla dan Cascino, 2005 ). Gelombang

yang dapat ditemukan pada penderita epilepsi umum idiopatik spike atau

polyspike dan bangkitan gelombang lambat 3-5 detik/siklus dengan aktivitas otak

normal dan sering dengan fotosensitivitas. Penderita dengan epilepsi tipe absanse

memberikan gambaran EEG gelombang spike yang sinkron 3 siklus/detik.

Epilepsi mioklonus memberikan gambaran EEG polyspike dan interiktal EEG

biasanya normal atau pada 15-40% kasus menunjukkan gelombang ritmik delta di

occipital. Pasien epilepsi absanse juvenil menunjukkan gelombang polyspike dan

spike dengan frekuensi diatas 3 siklus/detik dan tidak didapatkan gelombang

ritmik delta di occipital. Epilepsi mioklonik juvenil menunjukkan gambaran

letupan singkat gelombang polyspike pada iktal dan interiktal ( Smith, 2005 ).

2.4.3.2 Pencitraan ( neuroimaging )

Pemeriksaan MRI kepala merupakan pencitraan pilihan terbaik pada epilepsi.

MRI kepala dengan atau tanpa kontras dapat menemukan etiologi epilepsi seperti

neoplasma otak, ensefalitis autoimun, leukomalasia serebral dan sebagainya. pada

keadaan fasilitas MRI tidak tersedia, pemeriksaan CT scan kepala tanpa atau

dengan kontras dapat dilakukan, meskipun memberikan hasil yang tidak sebaik

MRI kepala ( Kuzniecky, 2005 ).

2.5 Pengobatan Epilepsi

Pengobatan penderita dengan epilepsi dibagi menjadi pemberian obat anti

epilepsi, pembedahan, dan diit ketogenik.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

17

2.5.1 Obat anti epilepsi

Obat anti epilepsi ( OAE ) merupakan salah satu aspek yang diperlukan bagi

penderita epilepsi yang bertujuan untuk mengatasi serangan kejang, walaupun

tidak dapat mengatasi masalah kelainan neurologinya atau masalah kognitif dan

psikososialnya. Keputusan untuk memulai terapi OAE didasarkan pada

pertimbangan kemungkinan terjadinya serangan epilepsi yang berulang dan risiko

terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi. Obat anti epilepsi

dikategorikan menjadi dua lini yaitu lini pertama dan lini kedua. obat lini I yang

direkomendasikan digunakan untuk bayi dan anak-anak secara rutin yaitu

fenobarbital, asam valproat, karbamazepin, dan fenitoin, OAE lini kedua

topiramat, lamotrigin, levetiracetam, clobazam, clonazepam, nitrazepam,

Adrenocorticotropic hormone ( ACTH ), steroid. ( Berg dkk., 2012 ). Prinsip

pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi, bila kejang tidak dapat

dihentikan dengan dosis maksimal, mulai pemberian monoterapi kedua, apabila

monoterapi kedua berhasil menghentikan kejang, segera hentikan monoterapi

pertama dan lanjutkanpemberian monoterapi kedua. Apabila kejang tidak dapat

dihentikan dengan monoterapi kedua pertimbangkan untuk pemberian politerapi

( kombinasi 2-3 OAE lini pertama ). Politerapi seharusnya dihindari sebisa

mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50% pasien tidak berespon terhadap

monoterapi. Tujuan pemberian OAE dalam epilepsi adalah menghilangkan kejang

dengan efek samping obat yang minimal ( Wibowo dan Gofir, 2008 ).

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

18

2.5.2 Pembedahan

Sebagian kecil kasus epilepsi tidak dapat dikontrol kejangnya dengan obat-

obat antiepilepsi yang biasa digunakan. Saat ini terapi dengan pembedahan

merupakan bagian penting dalam tatalaksana pasien epilepsi. Pemilihan pasien

untuk tindakan operasi memerlukan pertimbangan yang sangat ketat. Tindakan

pembedahan hanya tepat untuk epilepsi fokal yang berasal dari satu fokus yang

jelas pada otak, seperti epilepsi lobus temporalis dengan tingkat keberhasilan yang

beragam ( Kelly dan Chung, 2011 ).

2.5.3 Diet ketogenik

Diet ketogenik merupakan salah satu pilihan untuk epilepsi yang sulit

dikontrol kejangnya dengan obat antiepilepsi. Diet ketogenik ini merupakan upaya

lain disamping obat dan pembedahan. Widler adalah orang pertama yang

memperkenalkan diet ini pada tahun 1920. Diet ketogenik adalah pemberian diet

tinggi lemak, rendah protein dan karbohidrat. Dengan diet ini 40-67% anak

mengalami perbaikan dalam frekuensi serangan ( Sirven dkk., 1999 ).

2.6 Patofisiologi Gangguan Kognitif dan Perilaku pada Epilepsi.

Kemampuan plastisitas neuron otak memungkinkan sistem saraf pusat untuk

belajar berbagai keahlian dan mengingat informasi, untuk mengorganisasi

jaringan otak sebagai respon stimulasi lingkungan, dan menyembuhkan diri dari

cedera otak dan tulang belakang ( Johnston, 2009 ). Plastisitas neuron dapat

meningkatkan perkembangan otak dan biasanya dapat beradaptasi, tetapi kadang-

kadang dapat juga maladapsi dan menyebabkan gangguan neurologis pada

beberapa situasi. Mekanisme dasar pada plastisitas neuron adalah neurogenesis,

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

19

programmed cell death, dan activity-dependent synaptic plasticity

( Rakic, 2000 ). Stimulasi berulang dari sinap saraf dapat menyebabkan long-term

potentiation ( LTP ) dan long-term depression ( LTD ) dari neurotransmitter.

Perubahan ini berhubungan dengan perubahan fisik dari sirkuit dendrit spinal dan

neuronal. produksi berlebihan sinap pada perkembangan setelah kelahiran

memberikan kontribusi peningkatan plastisitas otak dan kelebihan sinapsis akan

dikontrol saat masuk usia remaja muda ( Citri dan Malenka, 2008 ). Plastisitas

juga sangat besar dipengaruhi oleh faktor genetik termasuk mutasi pada brain-

derived neuronal growth factor ( Johnston, 2009 ).

Proses berkembangnya epilepsi ( epileptogenesis ) diperkirakan kemungkinan

hasil dari plastisitas sinap yang maladapsi yang menghasilkan ketidakseimbangan

eksitasi dan inhibisi memberikan kontribusi pada gangguan belajar dan perilaku.

Abnormalitas pada plastisitas sinap menyebabkan perubahan pada reseptor, sinyal

molekul, atau neurotropin, kebanyakan terjadinya perubahan tersebut pada kejang

yang mulai pada awal kehidupan dan pada kondisi genetik yang berhubungan

dengan autistic spectrum disorders ( ASDs ) dan epilepsi seperti tampak pada

Gambar 2.6. Plastisitas sinap menggambarkan proses dimana sinap diaktifkan

melalu depolarisasi yang dimediasi oleh reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-

isoxazole propionic acid ( AMPA ) memungkinkan penghambatan pengeluaran

magnesium dan masuknya calcium melalui reseptor N-methyl-D-aspartate

( NMDA ). Hal ini memicu aktivasi calcium-dependent kinase dan jalur sinyal

yang lainnya menghasilkan peningkatan transkripsi gen dan trafficking reseptor

yang menghasilkan koneksi sinap yang cepat dan kuat. Hal ini dikenal sebagai

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

20

long-term potentiation ( LTP ) dan menjadi dasar selular dari proses belajar.

Plastisitas sinaptik bergantung pada berbagai macam protein yang apabila

mengalami gangguan akan menyebabkan autisme dan epilepsi. seperti contohnya

CDKL5 pada west syndrome, methyl-CpG binding protein 2 ( MeCP2 ) pada

rett syndrome, fragile X mental retardation protein ( FMRP ) pada retardasi

mental fragile X, mammalian target of rapamycin ( mTOR ) pada tuberosklerosis,

dan reelin pada lissencephaly ( Brooks-Kayal, 2011 ).

Gambar 2.6 Epilepsi dan gangguan belajar dan perilaku dapat terjadi dari

eksitabilitas abnormal dan gangguan plastisitas pada otak yang sedang

berkembang ( Brooks-Kayal, 2011 ).

.

2.7 Efek Kejang dan Epileptogenesis pada Perkembangan Otak

Epileptogenesis merupakan proses yang berlangsung beberapa bulan sampai

beberapa tahun pada manusia setelah terjadinya pencetus awal seperti kejang

demam kompleks, atau trauma kepala, prosesnya berlangsung sangat cepat

termasuk aktivasi saluran ion, perubahan post-translational, dan immediate early

genes. Selanjutnya setelah beberapa hari sampai minggu terjadi peristiwa

transkripsi, kematian neuronal, dan imflamasi. setelah beberapa minggu, bulan,

dan tahun terjadi pertumbuhan , reorganisasi jaringan , neurogenesis, dan gliosis.

Eksitabilitas

abnormal pada

perkembangan otak

Gangguan pada

plastisitas sinaptik

Penurunan kognitif

Gangguan perilaku

Epilepsi

Epileptogenesis

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

21

Proses ini mungkin menyebabkan berkembangnya kejang spontan yang pertama

dan dilanjutkan dengan kejang berikutnya menjadi epilepsi. Perubahan yang

berhubungan dengan epileptogenesis dan kejang terjadi secara simultan dan

mungkin mengganggu aktivitas perkembangan normal di otak meliputi

pemangkasan sinaptik, perbaikan dendritik, dan aksonal, dan maturasi reseptor

dan saluran ion. Efek ini mungkin terjadi independen atau bersamaan dengan

kerusakan genetik. Sampai saat ini belum ada biomarker yang spesifik yang dapat

memprediksi gangguan kognitif setelah kejang yang terjadi pada awal kehidupan.

Pada penelitian binatang menunjukkan kejang deman lama di awal kehidupan

menunjukkan pada sebagian hewan coba dengan gambaran MRI abnormalitas

sinyal T2 di hipokampus setelah kejang dan hasil tes belajar spasial dan memori

saat remaja muda berkaitan dengan abnormalitas sinyal T2 yang ditemukan

( Brooks-Kayal, 2011 ).

Kejang dan epileptogenesis memberikan banyak efek potensial pada plastisitas

sinaptik perkembangan otak. Pada proses ini terjadi perubahan seluler termasuk

perubahan neurogenesis dan penurunan fungsi sel, perubahan molekuler

mengakibatkan perubahan neurotransmitter eksitasi dan inhibisi dan perubahan

pada regulasi jalur neuromodulator. Neurogenesis sel granul dentate merupakan

hal penting pada proses belajar, keduanya peningkatan dan penurunan

neurogenesis pernah dilaporkan setelah kejang pada awal kehidupan tergantung

umur dan model. Pada penelitian binatang didapatkan lokasi ditandai dengan

aktivitas dari neuron piramidal yang dinamakan place-cells, subset dari CA1 sel

yang mana lokasi ini sangat penting untuk encoding memori spasial jangka

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

22

panjang. Pada tikus yang mengalami kejang demam lama saat awal kehidupan

menunjukkan kerusakan pada fungsi place-cell yang berkorelasi dengan defisit

memori spasial pada tes behavioral ( McCabe dkk., 2001; Porter dan Brooks-

Kayal, 2004 ).

Kejang yang muncul saat awal kehidupan dapat mengubah fungsi sistem

neurotransmiter dan sifat neuronal yang penting untuk belajar dan memori.

GABA merupakan neurotransmitter inhibisi utama di otak dan GABA-A

merupakan reseptor inhibisi yang paling cepat. Perubahan neurotransmiter

inhibisi akan berefek pada fungsi belajar. Peningkatan fungsi reseptor GABA-A

dengan benzodiazepine merusak LTP dan formasi memori. dan GABA–A subunit

reseptor α memegang peranan kunci regulator periode kritis pada plastisitas

kortikal dan hipokampal-dependen memori spasial ( Brooks-Kayal, 2011 ).

Perubahan pada neurotransmiter eksitasi mungkin memberikan kontribusi

pada gangguan belajar dan behavioral setelah kejang pada awal kehidupan.

Glutamat merupakan neurotransmiter primer di otak dan aktivitasnya dimediasi

oleh berbagai variasi subtipe reseptor termasuk NMDA dan non-NMDA ( AMPA

dan kainate ) , reseptor ionotropik, dan reseptor metabotropik. Kekurangan

subtipe reseptor AMPA dan NMDA setelah kejang lama menyebabkan gangguan

belajar ( Mongillo dkk., 2003; Riedel dkk., 2003; Yasuda dkk., 2003; Schmitt

dkk., 2005 ).

Hipoksia pada awal kehidupan menginduksi kejang dan menghasilkan efek

cepat postranskripsional pada subunit reseptor AMPA ( GluR ) fosforilasi,

termasuk peningkatan fosforilasi pada kedua sisi GluR1 dan GluR2 yang

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

23

menghasilkan peningkatan eksitasi sinaptik dengan meningkatkan konduktan dan

insersi membran dari GluR1 permeabilitas kalsium terdiri dari reseptor yang

berhubungan dengan GluR1 fosforilasi dan menurunkan insersi membran dari

reseptor GluR2 impermeabilitas Ca ( Rakhade dkk., 2008 ). Peningkatkan eksitasi

sinaptik penahan protein PSD-95 yang menyebabkan gangguan memori spasial

dan gangguan CA1 LTP dan peningkatan LTD. Hal ini menyebabkan perubahan

plastisitas sinaptik yang berkaitan dengan penurunan reseptor NMDA ekspresi

NR2A dan reseptor AMPA subunit GluR1 surface expression ( Brooks-Kayal,

2011 ).

c-AMP response element binding protein ( CREB ) adalah mediator kunci

pada perubahan induksi stimulus pada ekspresi gen yang mendasari plastisitas

sistem saraf dan fosforilasi CREB yang dibutuhkan untuk LTP, proses belajar,

dan memori. Corticotropin-releasing hormone ( CRH ) adalah neuromodulator

peptide yang dikeluarkan dari interneuron hipokampal yang diinduksi stres. Stres

pada awal kehidupan menyebabkan penurunan panjang dendrit dan penurunan

progresif defisit kognitif ( Brooks-Kayal, 2011 ).

Pada saat kejang terjadi peningkatan aliran darah karena tingkat metabolisme

meningkat. Aliran darah yang meningkat di otak disebabkan oleh kadar CO2 yang

meningkat akibat penurunan pertukaran gas di paru selama kejang. Peningkatan

aliran darah di otak juga disebabkan oleh permintaan glukosa dan oksigen yang

berlebihan. Peningkatan aliran darah ke otak yang berlangsung lama dapat

menyebabkan edema serebri dan vasoparalisis sehingga otak kehilangan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

24

autoregulasinya. Gangguan vaskularisasi di otak juga memberikan dampak besar

pada gangguan fungsi kognitif anak dengan kejang ( Boylan dkk., 1999 ).

2.8 Gangguan Perkembangan Kognitif Anak dengan Epilepsi

Gangguan perkembangan kognitif pada anak dengan epilepsi dipengaruhi

oleh interaksi banyak faktor seperti genetik, etiologi, letak kelainan di otak, jenis

epilepsi, frekuensi kejang, durasi kejang, usia awitan kejang, masalah psikososial,

penyakit yang menyertai, dan OAE yang digunakan. Interaksi dari berbagai

faktor tersebut diatas memberikan kontribusi terhadap gangguan tingkat

perkembangan kognitif. Faktor prediktor yang menyebabkan penurunan fungsi

kognitif adalah overmedication, kontrol terhadap kejang yang buruk, onset

mulainya epilepsi yang semakin dini, dan penderita dengan kejang simtomatik

( Hermann dan Seidenberg, 2007; You, 2012 ). Sebagian besar anak dengan

epilepsi mempunyai masalah behavioral dan kognitif dan dapat berdampak pada

kehidupan sosial penderita dan keluarga. Pada satu penelitian dilaporkan 40%

anak dengan epilepsi mengalami gangguan behavioral sejak pertamakali

terdiagnosis epilepsi ( Camfield dan Camfield, 2012 ). Pada anak dengan epilepsi

biasanya mengalami gangguan yang luas pada behavioral, psikiatri, dan kognitif.

Gangguan ini biasanya berkaitan dengan efek dari lesi struktural yang dapat

mengganggu fungsi yang dilayani oleh daerah otak yang terlibat dalam lesi, efek

dari aktivitas kejang yang mungkin mulai baik sebelum kejang klinis terjadi dan

dapat bertahan lama setelah kejang klinis berakhir, kejang pada saat usia neonatus,

dan epilepsi yang bersamaan dengan penyakit lainnya yang memperberat

gangguan fungsi kognitif ( Berg dkk., 2011 ).

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

25

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pekembangan kognitif anak dengan

epilepsi:

1. Usia awitan epilepsi

Rantanen dkk. ( 2011 ) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia

awitan epilepsi sangat mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif anak,

semakin dini onset epilepsi maka semakin besar kemungkinan untuk

mengalami gangguan tingkat perkembangan. Sekitar 10 persen epilepsi

terjadi pada tiga tahun pertama kehidupan. Semakin muda onset epilepsi

berhubungan secara signifikan terhadap gangguan kognitif dan behavioral.

Kejang dapat mengganggu mekanisme belajar dan memori pada

perkembangan otak dengan mekanisme penghambatan terhadap akuisisi

fungsi maturitas selama periode kritis perkembangan, pada penelitian

sebelumnya didapatkan hasil, anak yang mengalami kejang dan mengalami

resitensi obat antiepilepsi saat umur 0-3 tahun menunjukkan adanya gangguan

fungsi kognitif. Penderita epilepsi yang dimulai sejak usia neonatus dan

terkontrol dengan obat anti epilepsi akan memberikan luaran kognitif yang

lebih baik dibandingkan yang tidak terkontrol dengan obat anti epilepsi. Pada

penelitian yang membandingkan usia awitan epilepsi di bawah 8 tahun dan di

atas sama dengan 8 tahun mendapatkan hasil skor IQ yang lebih rendah pada

anak dengan onset epilepsi di bawah 8 tahun ( Berg dkk., 2011; Berg dkk.,

2012; Berg dkk., 2014; Lodhi dan Agrawal, 2012 ).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

26

2. Frekuensi dan lamanya serangan

Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium

dan kalium, yang berhubungan erat dengan kelistrikan serta penjalarannya.

Diduga bahwa sel neuron mampu mengeluarkan ion natrium dari dalam sel.

Akibat dari keadaan ini didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi yang

tinggi di ruang intraseluler dan konsentrasi ion natrium yang tinggi di ruang

ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium keluar dibutuhkan banyak energi

yang didapatkan melalui senyawa fosfat ( ATP ). Bila terjadi bangkitan

kejang, maka aktivitas pemompaan natrium bertambah. Dengan demikian

kebutuhan akan senyawa ATP bertambah. Dengan perkataan lain kebutuhan

akan oksigen dan glukosa meningkat. Bila kejang berlangsung singkat, maka

peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi. Namun, bila kejang

berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan akan oksigen dan

glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati. Bangkitan

kejang yang berlangsung lebih dari setengah jam dapat menyebabkan

kerusakan pada sel neuron dan cacat yang menetap dan berdampak besar pada

penurunan fungsi kognitif anak ( Lumbantobing, 1999 ).

3. Terapi obat anti epilepsi

Obat anti epilepsi mempunyai efek negatif maupun positif terhadap

kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan

kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi dengan cara mengurangi

bangkitan kejang, efek modulasi terhadap neurotransmitter, dan efek

psikotropika ( Mustarsid, dkk., 2011 ). Obat anti epilepsi mengurangi

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

27

iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi pasca sinaps atau mempengaruhi

sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang

berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan kejang dan dapat

menurunkan aktivitas epilepsi di sekeliling jaringan otak yang normal.

Pemberian OAE secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan

aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan

memori. penurunan daya ingat bersifat kumulatif, sehingga semakin lama

penderita mendapatkan terapi OAE maka semakin besar kemungkinan

mengalami gangguan memori ( Eddy, dkk., 2011; Mustarsid, dkk., 2011 ).

Anak dengan epilepsi biasanya membutuhkan pengobatan anti epilepsi

dalam jangka waktu yang yang cukup lama. Beberapa obat anti epilepsi yang

digunakan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan

perkembangan kognitif, di antaranya fenobarbital dan pirimidon pada

pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan perilaku, perubahan perasaan,

gangguan intelektual, penyakit tulang metabolik, dan gangguan jaringan ikat.

Fenitoin pada pemberian kronik berupa hirsutisme, hipertrofi gingiva,

gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Etosuksimid pada pemberian kronik

dapat menyebabkan sefalgia dan perubahan perilaku. Asam valproat pada

pemberian kronik dapat menyebabkan mengantuk, perubahan perilaku,

tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit

perdarahan dan gangguan lambung. Sedangkan obat epilepsi yang dapat

memperbaiki fungsi kognitif, menjadikan anak lebih sadar, dan lebih enak

adalah karbamazepin.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

28

Pengobatan epilepsi dengan politerapi juga sangat berkaitan dengan

terjadinya gangguan perkembangan dibandingkan dengan monoterapi.

Diantaranya penggunaan fenitoin dikombinasikan dengan fenobarbital,

karbamazepin, asam valproat, Isoniazid ( INH ), dan kloramfenikol dapat

meningkatkan kadar bebas fenitoin sehingga meningkatkan efek samping

fenitoin. Klonazepam bila digunakan bersama dengan fenobarbital atau

golongan benzodiazepin lain dapat menyebabkan gangguan emosi ( Lazuardi,

1999 ).

Kegagalan pada penggunaan monoterapi akan menyebabkan penderita

jatuh pada epilepsi intraktabel yaitu kegagalan mengontrol kejang dengan

lebih dari dua OAE lini pertama dengan rata-rata serangan kejang lebih dari

satu kali perbulan selama 18 bulan dan interval bebas kejang tidak lebih dari

tiga bulan. Penderita yang mengalami epilepsi intraktabel mempunyai risiko

yang lebih besar untuk mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan

( Camfield dan Camfield, 2012 ).

4. Gambaran EEG

Pada anak dengan epilepsi biasanya akan dilakukan pemeriksaan EEG,

dimana gambaran EEG sangat mempengaruhi perkembangan kognitif anak

pada pasien epilepsi. Di negara maju biasanya dilakukan pemeriksaan yang

disebut pemetaan aktivitas listrik otak (brain electrical activity mapping atau

BEAM). Beberapa penelitian menunjukkan abnormalitas EEG mempunyai

kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami gangguan perkembangan

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

29

kognitif, walaupun sudah tidak ditemukan lagi kejang secara klinis ( Passat,

1999; Tuchman, 2012 ).

5. Abnormalitas struktur otak

Salah satu faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi kognitif pada pada

penderita epilepsi adalah abnormalitas struktur otak. Quantitative MRI

volumetrics biasanya digunakan untuk mengetahui karakteristik dan bentuk

kelainan otak pada penderita epilepsi dewasa, khususnya pada epilepsi lobus

temporal. Pemeriksaan pada anak yang berhubungan dengan volume otak

pada penderita epilepsi masih sangat jarang. Penelitian pada anak dengan

epilepsi kronis menunjukkan adanya abnormalitas pada serebrum, serebelum,

dan hipokampus ( Hermann dan Seidenberg, 2007 ).

Pada penelitian Saute dkk. (2014) melaporkan anak dengan epilepsi dan

comorbid attention deficit hyperactivity disorder ( ADHD ) menunjukkan

penipisan difus pada lobus frontal, parietal, dan temporal, dengan penurunan

volume batang otak dan struktur subkortikal ( kaudatus bilateral, thalamus

kiri, dan hipokampus kanan ), abnormalitas anatomi ini nampak jelas pada

pasien epilepsi yang sebelumnya sudah mengalami gangguan

neurodevelopmental. Penelitian pada anak sekolah dengan epilepsi, sekitar

45% dengan hasil IQ di bawah 80 dan membutuhkan sekolah anak

berkebutuhan khusus, dan 16% anak dengan epilepsi tinggal kelas 1 tahun.

6. Komorbiditas pada epilepsi

Gangguan perkembangan kognitif sering terjadi lebih awal dibandingkan

dengan munculnya gejala epilepsi. Pada keadaan seperti ini biasanya terjadi

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

30

pada penderita epilepsi dengan penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya

gangguan fungsi kognitif seperti kelainan yang terjadi selama perkembangan

otak janin, asfiksia saat lahir, cidera kepala, tumor otak, penyumbatan

pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak , radang atau infeksi

pada otak atau selaput otak, fenilketonuria ( FKU ), tuberosklerosis,

neurofibromatosis ( Kleigman, 2005; Christensen, dkk., 2007 ).

2.9 Penilaian Perkembangan Kognitif Berdasarkan Skala Mullen

Penilaian perkembangan kognitif anak menggunakan Mullen tes ( The Mullen

Scales of Learning ) AGS edition, merupakan tes diagnostik perkembangan

kognitif anak usia 0-68 bulan yang dicetuskan oleh Eileen M Mullen. Skala

pengukuran ini didasarkan pada teori bahwa intelegensia anak terdiri dari lima

komponen penunjang yang harus dinilai secara terpisah yaitu motorik kasar

( gross motor ), motorik halus ( fine motor ), bahasa ekspresif ( expressive

language ), bahasa reseptif ( reseptive language ), dan visual reseptif ( visual

reseption ). Setelah anak digolongkan dalam kelompok umur yang akan dinilai

kemudian dihitung skor/nilai yang didapat dari masing-masing kategori kemudian

disesuaikan lagi menurut umur. Hasil akhir dikelompokkan menjadi lima kategori

yaitu very high ( composite standard score 49-70 ), above average ( composite

standard score 71-84 ), average ( composite standard score 85-115 ), below

average ( composite standard score 116-129 ), dan very low ( composite standard

score ≥ 130 ). Anak dikatakan mengalami gangguan perkembangan kognitif bila

terdapat skor 1,5 standar deviasi ( SD ) di bawah skor average ( rata-rata ).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Epilepsi II.pdf · manifestasi secara klinis dan EEG. Sebaliknya klasifikasi sindrom epilepsi adalah klasifikasi epilepsi yang dibuat untuk mendiskripsikan

31

Untuk skala motorik kasar pada tes ini akan dinilai pusat kontrol dan

mobilitas pada posisi terlentang, telungkup, duduk, dan posisi berdiri sesuai

dengan tahapan umur anak. Skala resepsi visual, akan dinilai kemampuan anak

dalam memproses pola visual, diskriminasi dan memori visual. Kemampuan

visual ini melibatkan organisasi visual, pengurutan visual dan kesadaran

pemisahan visual termasuk konsep posisi, bentuk dan ukuran. Motorik halus, yang

diukur adalah kemampuan memadukan kemampuan visual dengan motorik. Item

skala ini melibatkan diskriminasi visual dan kontrol terhadap gerakan motorik.

Pada sektor bahasa reseptif diukur kemampuan anak untuk memproses input

bahasa. Kemampuan primer yang tercakup dalam skala ini adalah komprehensi

audio dan memori audio. Kemampuan ini melibatkan organisasi auditorik,

pengurutan dan penggunaan konsep spasial. Sedangkan bahasa ekspresif akan

dinilai kemampuan anak untuk menggunakan bahasa secara produktif.

Kemampuan primernya terletak pada kemampuan berbicara dan formasi bahasa

termasuk kemampuan untuk memverbalisasi konsep ( Mullen, 1995 ).