tinjauan pustaka diabetic foot

download tinjauan pustaka diabetic foot

of 18

description

portofolio diabetic foot

Transcript of tinjauan pustaka diabetic foot

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI, 2011). Manifestasi DM disebabkan karena defisiensi relatif atau absolut atau resistensi jaringan terhadap insulin. Insulin merupakan hormon anabolik yang merangsang sintesis glikogen, lemak dan protein. Pada defisiensi insulin, hormon antagonis insulin yang lebih dominan sehingga terjadi hiperglikemia. Akibat hiperglikemia terjadi berbagai proses biokimia dalam sel yang berperan dalam terjadinya komplikasi pada diabetes mellitus. (Guyton, 2004)Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner, peripheral vascular disease). Komplikasi lain dari DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkulosis paru, dan infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus/gangren diabetic. (Wastadji, 2007)Sesuai dengan anjuran American Diabetes Association (ADA) 2007, DM bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe II, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain (Mansjoer, 2007). DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 90% maka gejala DM mulai muncul. Selain itu ada yang karena autoimun dan idiopatik DM tipe II merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Melitus (NIDDM) dan mempunyai pola familial yang kuat. DM tipe II seringkali terjadi resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin disertai resistensi insulin (ADA, 2007).

3.2 Epidemiologi Diabetes MelitusPenyakit Diabetes mellitus muncul sebagai suatu penyakit kronis di negara-negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia. Ulkusnya berupa luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah berukuran sedang atau besar yang terdapat pada tungkai. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe II hingga mencapai kurang lebih 90% hingga 95% pasien. Peneliti departemen kesehatan pada tanggal 18 januari 2007, menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke empat di dunia setelah India, China, dan Amerika serikat. Menurut badan kesehatan dunia (WHO) jumlah penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2007 sekitar 24 juta orang jumlah dan ini diperkirakan akan terus meningkat. (Subroto, 2006)3.3 PatogenesisPatofisiologi Diabetes Melitus Tipe II sangat kompleks, pada awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya menurunkan gula darah, mengakibatkan sel pankreas akan mensekresikan insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini toleransi glukosa dapat normal tetapi suatu saat akan terjadi gangguan dan menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. Apabila keadaan resistensi insulin bertambah berat disertai beban glukosa yang terus menerus, sel pankreas dalam jangka waktu yang tidak lama tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah, disertai peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak yang mempengaruhi kadar gula darah puasa dan pospandrial yang sangat karakteristik pada Diabetes Melitus Tipe II. Akhirnya sekresi insulin oleh sel pankreas akan menurun dan terjadi hiperglikemia yang bertambah berat dan terus menerus berlangsung (Cohen, 2001).3.4 Diagnosis Diabetes MelitusDiagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan glukosa darah dan tidak hanya berdasarkan adanya glukosuria. Pemeriksaan darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM (table 2.1.). Ketiga dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan. Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur (PERKENI, 2006).Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik DM menurut ADA (2004)NormoglikemiaIFG atau IGTDiabetes

Gula darah puasa 100 & 126 mg/dl

Gula darah 2 jam PP 140 mg/dl & 200 mg/dlGejala diabetes dan konsentrasi glukosa darah sesaat >200 mg/dl

Sumber : American Dietetic Association, 2004.Keterangan :IFT= Impaired Fasting Tolerance, IGT = Impaired Glucose Tolerance

3.5 Komplikasi Diabetes MelitusMenurut laporan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), Komplikasi kronis paling utama adalah penyakit kardiovaskuler dan stroke, diabetic foot, retinopati, serta nefropati diabetika, Dengan demikian sebetulnya kematian pada diabetes terjadi tidak secara Iangsung akibat hiperglikemia tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM lima kali Iebih besar untuk timbul gangren, tujuh belas kali Iebih besar untuk menderita kelainan ginjal dan dua puluh lima kali Iebih besar untuk terjadinya kebutaan (Sarwono, 1996). Selain komplikasi-komplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga memiliki risiko penyakit seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh Iebih tinggi daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita DM perlu diobati agar dapat terhindar dan berbagai komplikasi yang menyebabkan angka harapan hidup menurun (Sarwono, 1996).Komplikasi DM terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut dari diabetes mellitus adalah diabetic ketoacidosis (DKA), hyperglicemic hyperosmolar state (HHS) dan hipoglikemi. Sedangkan komplikasi kronik dapat dibagi menjadi 2 yaitu komplikasi vaskular dan non vaskular. Pada komplikasi vaskular, dibagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopathy, neuropathy, nephropathy) dan makrovaskular (coronary artery disease (CAD), peripheral artery disease (PAD), cerebrovascular disease). Komplikasi non vascular yaitu berupa gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Fauci et al., 2008).3.6.1. komplikasi akutKomplikasi akut dapat berupa diabetic ketoacidosis (DKA) dan hyperglicemic hyperosmolar state (HSS). Ketoacidosis pada penderita DM terjadi akibat penumpukan badan keton dalam sirkulasi tubuh. Badan keton disintesis dari free fatty acid (FFA) di dalam liver. Normalnya, FFA akan disintesis menjadi trigliserida atau very low density lipoprotein (VLDL), namun karena penderita diabetes terjadi hiperglucagonemia maka FFA lebih cenderung akan membentuk badan keton. Hal ini akan menyebabkan ketoacidosis karena badan keton bersifat asam (Fauci et al., 2008).HHS terjadi pada individu tua, biasanya timbul gejala2 klasik diabetes seperti poliuria, polidipsi, polifagi, dan kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (perkeni, 2006). Pada HHS, kadar glukosa darah bisa mencapai lebih dari atau sama dengan 600 mg/dl. Gejala-gejalanya adalah bibir kering dan pecah-pecah, sangat kehausan, kulit hangat namun tidak berkeringat, dan demam tinggi (ADA, 2007). Hal ini terjadi karena penumpukan glukosa di dalam sirkulasi akan menyebabkan perbedaan tekanan osmotik, sehingga cairan yang ada di dalam intrasel akan tertarik menuju intravaskuler (Fauci et al., 2008)Hipoglikemi ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah sampai di bawah 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Kondisi ini hipoglikemi akibat dari jatuhnya kadar glukosa darah bisa karena penggunaan sulfonylurea atau insulin yang tidak disertai intake makanan (perkeni, 2006)3.6.2 Komplikasi kronis3.6.2.1. MacroangiopathyKomplikasi macroangiopathy adalah komplikasi diabetes yang menyerang pembuluh darah besar. Komplikasi macroangiopathy dapat menyerang pembuluh darah berikut yaitu pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Macroangiopathy pada pembuluh darah jantung dapat mengakibatkan CVD. Pada pembuluh darah tepi biasanya sering tanpa gejala, dan gejala yang muncul pertama biasanya berupa ulkus di kaki (perkeni, 2006).3.6.2.2. MicroangiopathyPada microangiopathy, pembuluh darah yang terkena adala pembuluh darah mikro atau kecil. Bisa menyebabkan diabetic retinopathy dan nefropathy. Diabetic retinopathy adalah kelainan pada retina pada mata karena diabetes.. Pada nefropathy, terjadi kelainan dari sistem filter yang terdapat di ginjal akibat kondisi hiperglikemi. Akibatnya terjadi kebocoran filter sehingga protein bisa terdapat di urine. Kondisi dimana terdapat protein-protein kecil dalam urine ini disebut microalbuminuria (ADA, 2007).3.6.2.3. NeuropathyNeuropathy disebabkan karena kerusakan pada dinding pembuluh darah kecil yang mensuplai makanan sel saraf. Pada peripheral neuropathy terjadi sensasi kesemutan, mati rasa, nyeri, atau kelemahan pada otot. Pada autonomic neuropathy ditemukan kelainan pada sistem digestive, urinary tract, organ sex, jantung dan pembuluh darah, kelenjar keringat, dan mata (ADA, 2007).3.6.2.4 Diabetic Foot3.6.2.4.1 DefinisiDiabetic foot adalah kelainan pada tungkai bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes mellitus. Salah satu komplikasi yang sangat ditakuti penderita diabetes adalah kaki diabetik. Komplikasi ini terjadi karena terjadinya kerusakan saraf, pasien tidak dapat membedakan suhu panas dan dingin, rasa sakit pun berkurang. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kaki diabetik. Secara umum faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi: (Waspadji, 2007) Faktor predisposisiFaktor yang mempengaruhi daya tahan jaringan terhadap trauma seperti kelainan makrovaskuler dan mikrovaskuler, jenis kelamin, merokok, dan neuropati otonom.Faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena trauma seperti neuropati motorik, neuropati sensorik, limited joint mobility, dan komplikasi DM yang lain (seperti mata kabur). Faktor presipitasi Perlukaan di kulit (jamur). Trauma. Tekanan berkepanjangan pada tumit saat berbaring lama. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka Derajat luka. Perawatan luka. Pengendalian kadar gula darah3.6.2.4.2 KlasifikasiDiabetic foot dibagi berbagai klasifikasi menurut beberapa klasifikasi yaitu: (Jean,2011)A. Klasifikasi WagnerTabel 1. sistem klasifikasi kaki diabetik, Wagner.DerajatLesi

Derajat 0

Derajat IDerajat IIDerajat IIIDearjat IV

Derajat VTidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertaikelainan bentuk kakiUlkus superficial dan terbatas di kulitUlkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulangAbses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitisGangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitisGangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah

3.6.2.4.3 Gejala dan DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dengan penentuan tipe angiopati dan neuropati berupa kelainan mikroangiopati atau makroangiopati, sifat obstruksi, dan status vaskuler. Gangren diabetik akibat mikroangiopati disebut juga sebagai gangren panas karena walaupun terjadi nekrosis, daerah akral akan tampak tetap merah dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya teraba pulsasi arteri dibagian distal. Proses makroangiopati menyebabkan sumbatan pembuluh darah. Bila sumbatan terjadi secara akut, emboli akan memberikan gejala klinis berupa 5P, yaitu Pain, Paleness, Paresthesia, Pulselessness dan Paralisis dan bila terjadi sumbatan secara kronis, akan timbul gambaran klinik menurut pola dari Fontaine, yaitu Pada stadium I; asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau geringgingan), stadium II; terjadi klaudikasio intermiten, stadium III; timbul nyeri saat istirahat dan stadium IV; berupa manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus). (Schteingart, 2006)Gambaran klinis dibedakan: neuropatik dan iskemik Gambaran neuropatik gangguan sensorik perubahan trofik kulit ulkus plantar atropati degeneratif (sendi Charcot) pulsasi sering teraba sepsis (bakteri/jamur)

Gambaran iskemia nyeri saat istirahat ulkus yang nyeri disekitar daerah yang tertekan riwayat klaudikasio intermiten pulsasi tidak teraba sepsis ( bakteri/jamur)

Pemeriksaan FisikMelakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mendapatkan deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi, menentukan hal yang melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/ tidaknya deformitas, adanya pulsasi arteri tungkai dan pedis. (Subroto,2006) Ankle brachial index (ABI) merupakan pemeriksaan non-invasif untuk mengetahui adanya obstruksi di vaskuler perifer bawah. Pemeriksaan ABI sangat murah, mudah dilakukan dan mempunyai sensitivitas yang cukup baik sebagai marker adanya insufisiensi arterial. Dalam kondisi normal, harga normal dari ABI adalah >0,9, ABI 0,710,90 terjadi iskemia ringan, ABI 0,410,70 telah terjadi obstruksi vaskuler sedang, ABI 0,000,40 telah terjadi obstruksi vaskuler berat. Pasien diabetes melitus dan hemodialisis yang mempunyai lesi pada arteri kaki bagian bawah, (karena kalsifikasi pembuluh darah), maka ABI menunjukkan lebih dari 1,2 sehingga angka ABI tersebut tidak menjadi petunjuk diagnosis. Pasien dengan ABI kurang dari 0,5 dianjurkan operasi (misalnya amputasi) karena prognosis buruk. Jika ABI >0,6 dapat diharapkan adanya manfaat dari terapi obat dan latihan. (Renier, 2001) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis secara pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni pemeriksaan CBC (Complete Blood Count), pemeriksaan gula darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, elektrolit. Untuk menentukan patensi vaskuler dapat digunakan beberapa pemeriksaan non invasif seperti; (ankle brachial index/ ABI) yang sudah dijelaskan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lainnya ialah transcutaneous oxygen tension (TcP02), USG color Doppler atau menggunakan pemeriksaan invasif seperti; digital subtraction angiography (DSA), magnetic resonance angiography (MRA) atau computed tomography angoigraphy (CTA). (Jean, 2011)Apabila diagnosis adanya penyakit obstruksi vaskuler perifer masih diragukan, atau apabila direncanakan akan dilakukan tindakan revaskularisasi maka pemeriksaan digital subtraction angiography, CTA atau MRA perlu dikerjakan. Gold standard untuk diagnosis dan evaluasi obstruksi vaskuler perifer adalah DSA. Pemeriksaan DSA perlu dilakukan bila intervensi endovascular menjadi pilihan terapi. Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk mengetahui ada tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran destruksi tulang dan osteolitik. (Jean, 2011)3.6.3.4 PenatalaksanaanDalam pengelolaan kaki diabetik, kerja sama multi-disipliner sangat diperlukan. Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama.1. Mechanical control (pressure control)Kaki diabetik terjadi karena adanya perubahan weight-bearing area pada plantar pedis. Daerah-daerah yang mendapat tekanan lebih besar tersebut akan rentan terhadap timbulnya luka. Berbagai cara untuk mencapai keadaan weight-bearing dapat dilakukan antara lain dengan removable cast walker, total contant casting, temporary shoes, felt padding, crutches, wheelchair, electric carts, maupun cradled insoles. (Waspadji, 2007)Berbagai cara surgikal juga dapat dipakai untuk mengurangi tekanan pada luka, seperti dekompresi ulkus/abses dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah (misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan partial calcanectomy). (Waspadji, 2007)2. Wound controlPerawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Klasifikasi ulkus PEDIS dilakukan setelah debridement yang adekuat. Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan tubuh, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi cairan/pus dari ulkus/gangren. (Waspdji, 2007)3. Microbiological control (infection control)Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap daerah yang berbeda.Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik spektrum luas, mencakup kuman Gram positif dan negatif (misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazol). (Waspdji, 2007)4. Vascular controlKeadaan vaskular yang buruk tentu akan menghambat kesembuhan luka. Berbagai langkah diagnostik dan terapi dapat dikerjakan sesuai keadaan dan kondisi pasien. Umumnya kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara sederhana seperti warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior, arteri poplitea, dan arteri femoralis, serta pengukuran tekanan darah. Di samping itu, saat ini juga tersedia berbagai fasilitas mutakhir untuk mengevaluasi keadaan pembuluh darah dengan cara noninvasif maupun invasif dan semiinvasif, seperti pemeriksaan ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan echo Doppler serta arteriografi. (Waspdji, 2007)Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya, dapat dilakukan pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskular, yaitu berupa:Modifikasi Faktor Risiko (Waspadji, 2007) Stop merokok Memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia)Terapi FarmakologisJika mengacu pada berbagai penelitian yang sudah dikerjakan pada kelainan akibat aterosklerosis di tempat lain (jantung, otak), mungkin obat seperti aspirin dan lain sebagainya yang jelas dikatakan bermanfaat, akan bermanfaat pula untuk pembuluh darah kaki penyandang DM; tetapi sampai saat ini belum ada bukti yang cukup kuat untuk menganjurkan pemakaian obat secara rutin guna memperbaiki patensi pada penyakit pembuluh darah kaki penyandang DM. (Waspadji, 2007)RevaskularisasiJika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau jika ada klaudikasio intermiten yang hebat, tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan.Sebelum tindakan revaskularisasi, diperlukan pemeriksaan angiografi untuk mendapatkan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas. Untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka.Untuk oklusi yang pendek dapat dipikirkan untuk prosedur endovaskular (PTCA).Pada keadaan sumbatan akut dapat pula dilakukan tromboarterektomi. (Waspadji, 2007)Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki, sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik, sehingga kesembuhan luka tinggal bergantung pada berbagai faktor lain yang turut berperan. Selain itu, terapi hiperbarik dilaporkan juga bermanfaat untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan luka pada kaki diabetik sebagai terapi adjuvant.Walaupun demikian, masih banyak kendala untuk menerapkan terapi hiperbarik secara rutin pada pengelolaan umum kaki diabetik. (Waspdaji, 2007)5. Metabolic controlKeadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah diusahakan agar selalu senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar gula darah. Status nutrisi harus diperhatikan dan diperbaiki. Nutrisi yang baik akan membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain juga harus diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan serta fungsi ginjal. (Waspadji,2007)6. Educational controlEdukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetik. Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal. (Waspadji, 2007)

3.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus dengan Komplikasi Diabetic footSecara umum pilar utama penatalaksanaan diabetes mellitus berupa edukasi, terapi gizi medis latihan jasmani dan intervensi farmakologis.Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan (PERKENI, 2011).3.7.1 EdukasiDiabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai hal tentang edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat di halaman 38. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).3.7.2 Terapi Nutrisi MedisTerapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hamper sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2011).Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain : Jenis KelaminKebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhankalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB. UmurUntuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekadeantara 60 dan 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun. Aktivitas Fisik atau PekerjaanPenambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat Berat BadanBila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya (PERKENI, 2011).3.7.3 Terapi FarmakologisPada pasien kaki diabetik terdapat tanda trias klasik yaitu neuropati, iskemia dan infeksi. Adanya infeksi dan respon imun host yang berubah karena hiperglikemia kronis dapat memperburuk gambaran klinis dengan cepat. Gangguan imunitas secara langsung berhubungan dengan gangguan metabolik yang disebabkan buruknya kontrol gula darah. Dengan demikian, cukup jelas bahwa kontrol gula darah yang baik merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan kaki diabetik. Pada banyak kasus kaki diabetik berhubungan dengan infeksi dan bahkan sampai memerlukan beberapa operasi, untuk mencegah hal tersebut, terapi insulin menjadi pilihan utama karena insulin dapat memenuhi pencapaian glikemik kontrol yang baik. Untuk itu perlu terapi farmakologis berupa insulin yang dapat diberikan bersama dengan pengaturan makan. (PERKENI, 2011).3.7.3.1 Terapi InsulinBerdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pendek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) Insulin kerja panjang (long acting insulinSekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus). Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose). Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian (PERKENI, 2011).Terapi insulin diindikasikan kepada hampir semua pasien kaki diabetik dengan berbagai tingkatan lesi (tabel 3.5). Terapi insulin subkutan secara intensif, yaitu injeksi multipel insulin kerja cepat bersamaan dengan insulin kerja sedang atau lambat, diindikasikan pada pasien dengan lesi kaki diabetik yang sudah rawat jalan atau pasien yang sedang dirawat di rumah sakit pasca operasi (Pendsey, 2007).Terapi insulin secara intravena diindikasikan pada pasien dengan lesi kaki diabetik tahap lanjut dan harus dirawat inap, karena pasien seperti ini memiliki kontrol glikemik yang jelek seperti dibuktikan dengan adanya kenaikan kadar gula plasma dan HbA1c, ketonuria atau bahkan ketoacidosis. Para tenaga medis mengalami kesulitan untuk mencapai kontrol glikemik yang baik dengan adanya infeksi yang berat pada pasien tersebut. Hal ini akan memperburuk luka pada kaki dan untuk mencapai kontrol glikemik yang baik, penggunaan infus insulin intravena sangat dianjurkan (Pendsey, 2007). Deteksi dini ulkus pada kaki pasien diabetes mellitus, identifikasi infeksi bakteri yang akurat, terapi antibiotic yang tepat dan pencapaian target kontrol glikemik yang baik dengan penggunaan insulin, dapat menghentikan proses perkembangan infeksi, sehingga mencegah tindakan amputasi (Pendsey, 2007).Tabel 3.5 Indikasi Terapi Insulin berhubungan dengan Klasifikasi Wagner pada Pasien Kaki Diabetik (Pendsey, 2007)GradeTerapi Insulin

Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dengan resiko tinggi kaki diabeti Derajat 1 - Ulkus superficial dan terbatas di kulitDerajat 2 - Ulkus dalam mengenai tendo sampai kulit dan tulangDerajat 3 - Abses yang dalam dengan atau tanpa ostemoielitisDerajat 4 - Gangren jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis Derajat 5 - Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawahOpsional

OpsionalWajib

Wajib

Wajib

Wajib

*Opsional = Jika penggunaan tunggal obat anti diabetik oral tidak efektif Menambah insulin prandial yang dikombinasikan dengan insulin basal dengan jelas dapat menghasilkan kontrol glikemik yang lebih baik dan mengurangi hasil cek gula darah yang bervariasi. Dua faktor utama yang menentukan kapan digunakan insulin prandial adalah derajat hiperglikemia dan kemauan pasien untuk menerima suntikan insulin setiap harinya. Semakin tinggi kadar gula darah maka pemberian insulin prandial harus lebih cepat ditambahkan,terutama jika kondisi hiperglikemia mempengaruhi prognosis dari kondisi tubuh atau komplikasi dari diabetes itu sendiri (misalnya ulkus diabetik pada kaki yang telah terinfeksi) (Marwah, 2011).

29