TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

17
TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK INTERNASIONAL DAN PENERAPAN UNDANG- UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2009 (STUDI KASUS: PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI MELAWAN NINE AM LTD) M. Yuli Setiawan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok [email protected] Abstrak Perjanjian pinjam-meminjam merupakan salah satu bentuk perjanjian dalam ranah hukum privat. Perjanjian pinjam-meminjam dapat juga menjadi perjanjian yang bersifat Hukum Perdata Internasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur setiap perjanjian atau nota kesepahaman yang dibuat melibatkan subyek hukum Indonesia dengan pihak asing harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini merupakan kaidah memaksa dan bukan ketertiban umum. Antara kaidah memaksa dengan ketertiban umum memang terdapat bidang irisan, tetapi tidak selalu apa yang termasuk kaidah memaksa merupakan bertentangan dengan ketertiban umum. Ketentuan tersebut juga mempengaruhi keabsahan dari kontrak internasional yang memiliki titik taut dengan wilayah atau kepentingan Indonesia. Kata Kunci: Perjanjian pinjam-meminjam, kaidah memaksa, ketertiban umum PRIVATE INTERNATIONAL LAW ON REVIEW ABOUT INTERNATIONAL CONTRACT AND APPLICATION OF LAW 24/2009 (CASE STUDY: PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI V. NINE AM LTD) Abstract Loan agreement is one form of private law. Loan agreement can also be an agreement that is both Private International Law. Under the provisions of Article 31 paragraph (1) and (2) Law of 24/2009 organize any agreement or memorandum of understanding that created involving Indonesian law subjects with foreign parties must be made in Indonesian. This provision is a mandatory rules and not a public order. Among the rules to force the public order there was indeed a slice field, but it is not always what is included mandatory rules is contrary to public order. Such provision also affects the validity of an international contract that has a point link with the territory or the interests of Indonesia. Keywords: Loan agreement, mandatory rules, public order Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Transcript of TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Page 1: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI

KONTRAK INTERNASIONAL DAN PENERAPAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2009 (STUDI KASUS: PT BANGUN

KARYA PRATAMA LESTARI MELAWAN NINE AM LTD)

M. Yuli Setiawan

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok

[email protected]

Abstrak

Perjanjian pinjam-meminjam merupakan salah satu bentuk perjanjian dalam ranah hukum privat. Perjanjian pinjam-meminjam dapat juga menjadi perjanjian yang bersifat Hukum Perdata Internasional. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur setiap perjanjian atau nota kesepahaman yang dibuat melibatkan subyek hukum Indonesia dengan pihak asing harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini merupakan kaidah memaksa dan bukan ketertiban umum. Antara kaidah memaksa dengan ketertiban umum memang terdapat bidang irisan, tetapi tidak selalu apa yang termasuk kaidah memaksa merupakan bertentangan dengan ketertiban umum. Ketentuan tersebut juga mempengaruhi keabsahan dari kontrak internasional yang memiliki titik taut dengan wilayah atau kepentingan Indonesia.

Kata Kunci:

Perjanjian pinjam-meminjam, kaidah memaksa, ketertiban umum

PRIVATE INTERNATIONAL LAW ON REVIEW ABOUT INTERNATIONAL CONTRACT AND APPLICATION OF LAW 24/2009

(CASE STUDY: PT BANGUN KARYA PRATAMA LESTARI V. NINE AM LTD)

Abstract

Loan agreement is one form of private law. Loan agreement can also be an agreement that is both Private International Law. Under the provisions of Article 31 paragraph (1) and (2) Law of 24/2009 organize any agreement or memorandum of understanding that created involving Indonesian law subjects with foreign parties must be made in Indonesian. This provision is a mandatory rules and not a public order. Among the rules to force the public order there was indeed a slice field, but it is not always what is included mandatory rules is contrary to public order. Such provision also affects the validity of an international contract that has a point link with the territory or the interests of Indonesia.

Keywords:

Loan agreement, mandatory rules, public order

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 2: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Pendahuluan

Memasuki abad ke-21 interaksi antara negara-negara di dunia mengalami peningkatan

intensitas. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis yang tak terelakkan dari suatu kondisi

yang dikenal dengan istilah “globalisasi,"1 termasuk di dalamnya globalisasi ekonomi.2

Wujud riil dari kondisi tersebut terlihat dari semakin meningkatnya transaksi bisnis

internasional.3 Transaksi tersebut merupakan sebuah hubungan hukum. Hubungan hukum

tersebut menciptakan adanya hak dan kewajiban terhadap para pihak terhadap pihak lainnya.

Dasar dari hubungan hukum dalam transaksi bisnis internasional tersebut ialah hubungan

kontraktual.

Transaksi bisnis internasioanal yang sering terjadi ialah perjanjian pinjam-meminjam

(loan agreement). Perjanjian pinjam-meminjam merupakan salah satu perjanjian dalam ranah

hukum perdata.4 Perjanjian pinjam-meminjam dapat menjadi bersifat internasional karena

adanya unsur-unsur asing dalam perjanjian tersebut, misalnya para pihak (subyek) atau obyek

dari perjanjian tersebut. Kontrak yang bersifat internasional sering dibedakan dengan kontrak

yang bersifat nasional. Perbedaannya, bahwa kontrak nasional yang dibuat tetapi ada unsur-

1 Globalisasi memiliki banyak makna atau pengertian tergantung darimana titik berat yang diutamakan dari pemberian pengertian istilah tersebut. Pembahasan yang cukup baik dari pengertian-pengertian globalisasi ini dapat dilihat lebih lanjut dalam Martin Wolf, Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan [Why Globalization Works], diterjemahkan oleh Samsudin Berlian, cet. 1, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerjasama dengan Freedom Institute, 2007).

2 Cukup sulit untuk memberikan definisi yang tuntas dari istilah globalisasi ekonomi ini, mungkin definisi terbaik dari istilah globalisasi ekonomi menurut Martin Wolf, seorang ekonom senior Bank Dunia sebagaimana beliau kutip dari Brink Lindsey dari Cato Institute di Washington, dalam bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan globalisasi ekonomi itu dalam tiga makna yang saling berhubungan. Pertama, globalisasi sebagai fenomena ekonomi. Kedua,globalisasi sebagai fenomena politik. Ketiga, globalisasi sebagai keterkaitan antara fenomena politik dan ekonomi dalam ruang lingkup internasional. Menurut Martin Wolf dari ketiga pengertian tersebut memiliki makna yang saling berkaitan. Martin Wolf, Op. Cit., hlm. 17., dikutip dari Brink Lindsey, Against the Dead Hand: The Uncertain Struggle for Global Capitalism, (Washington DC: Jhon Wiley, 2002), hlm. 275.

3 Tidak ada definisi yang baku mengenai transaksi bisnis internasional, tetapi kurang lebih dapat disimpulkan bahwa transaksi bisnis internasional adalah suatu bentuk transaksi (dalam arti luas seperti jual beli, lisensi, penanaman modal misalnya) yang melibatkan pihak yang bersifat melintasi batas negara. Kenneth C. Randall dan Jhon E. Norris, "A New Paradigm for International Business Transactions," Washington University Law Review Vol. 71, (1993), hlm. 599. 4 Pada penulisan jurnal ini istilah yang digunakan sebagai padanan dari loan agreement adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang digunakan pada salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor Registrasi Perkara 451/PDT.G/2012/PN.Jkt.Bar.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 3: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

unsur asing.5 Bersifat internasional di sini maksudnya ada unsur-unsur asingnya bukan

internasional dari segi hukumnya, tetapi peristiwa, materi, dan fakta-faktanya yang

internasional, sedangkan sumber hukumnya tetap hukum nasional.6

Pada perjanjian pinjam-meminjam sama seperti perjanjian pada umumnya berlaku asas

kebebasan berkontrak. Untuk hal-hal tertentu, kebebasan berkontrak dibatasi oleh aturan-

aturan yang disebut sebagai kaidah memaksa (mandatory rules), yakni kaidah hukum yang

tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam perjanjian. Persoalan kaidah memaksa

dalam perjanjian tercermin pada kasus perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bangun Karya

Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd. Pada saat perjanjian pinjam-meminjam ini disepakati

oleh para pihak, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan

Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (selanjutnya disebut "UU No. 24 Tahun 2009")

khususnya Pasal 31 ayat (1) dan (2), menentukan bahwa setiap perjanjian yang melibatkan

subyek hukum Indonesia dengan pihak asing, maka perjanjian tersebut wajib dibuat dalam

bahasa Indonesia.7

Pada pelaksanaan perjanjian tersebut, PT Bangun Karya Pratama Lestari menggugat

Nine AM Ltd. Penggugat mendalilkan bahwa perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum

karena melanggar kaidah-kaidah hukum publik yang bersifat memaksa yang tidak dapat

disimpangi, khususnya ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009, yang

mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia pada perjanjian atau nota kesepahaman.8 Putusan

pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan perjanjian pinjam-

5 Sudargo Gautama (a), Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 7.

6 Sudargo Gautama (b), Pengantar Hukum Perdata Internasional, cet. 5, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 3-4.

7 Indonesia (a), Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, UU No. 24 Tahun 2009, LN RI No. 109 Tahun 2009, TLN RI No. 5035 Tahun 2009, Pasal. 31 ayat (1) dan (2).

Pasal 31 1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga

negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

8 Salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor Registrasi Perkara 451/PDT.G/2012/PN.Jkt.Bar., hlm. 3-4.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 4: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

meminjam antara kedua belah pihak batal demi hukum.9 Putusan pada tingkat banding di

Pengadilan Tinggi Jakarta dan putusan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung juga

menyatakan perjanjian tersebut batal demi hukum.10

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan

perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bina Karya Pratama Lestari dan Nine AM Ltd bahwa

perjanjian tersebut bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009.

Oleh karena itu, merupakan perjanjian terlarang karena dibuat dengan sebab yang terlarang.

Majelis hakim merujuk pada Pasal 1335 jo. 1337 KUHPerdata, pertimbangan ini

memperlihatkan irisan antara persoalan kaidah memaksa dan ketertiban umum. Keberlakuan

Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 juga mempengaruhi keabsahan suatu

kontrak atau perjanjian.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, pokok-pokok permasalahan yang

akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 1) Apakah ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No.

24 Tahun 2009 merupakan kaidah memaksa atau ketertiban umum ditinjau dari hukum

perdata internasional?; dan 2) Bagaimana keabsahan kontrak internasional dengan

keberlakuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009?

Tinjauan Teoritis

Untuk membatasi ruang lingkup dari penelitian ini, penulis akan memberikan beberapa

istilah kunci yang digunakan untuk memperjelas dan menseragamkan pemahaman dari topik

penelitian ini supaya tidak timbul perbedaan persepsi dan pemahaman yang berbeda.

1. Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang

menunjukkan stelsel-stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan

hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara

pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan

9 Ibid., hlm. 63.

10 Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor Registrasi Perkara 48/PDT/2014/PT.DKI., hlm. 5. Portal Informasi Kepaniteraan Mahkamah Agung yang diakses pada pada tanggal 11 Juni 2016 pukul 11.48 WIB http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/perkara_detail.php?id=7ad59ba0-f39d-139d-97a8-31313130

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 5: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-

lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal.11

2. Status Personal adalah kelompok kaidah-kaidah (hukum yang) mengikuti seseorang di

mana pun ia pergi.12

3. Pilihan Hukum adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk dalam bidang

perjanjian memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan. Para pihak memiliki

kebebasan untuk memilih hukum yang diperlakukan untuk perjanjian mereka.13

4. Unsur Asing adalah ada unsur luar negerinya, bukan sumber-sumbernya yang

internasional tetapi hubungan-hubungannya adalah internasional.14

5. Kaidah Memaksa adalah ketentuan hukum yang tidak dapat disimpangi atau dilanggar.15

6. Ketertiban Umum adalah keadaan di mana kaidah hukum asing yang seharusnya berlaku,

menjadi dikesampingkan apabila bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari hukum sang

hakim.16

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu

penelitian yang menggunakan bahan pustaka sebagai bahan utama penelitian baik yang

berupa bahan hukum tertulis maupun hukum positif.17 Tipe dari penelitian ini adalah

penelitian deskriptif. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:18

11 Sudargo Gautama (b), Op. Cit., hlm. 21.

12 Sudargo Gautama (d), Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid III Bagian 1 Buku ke-7, ed. 2, cet. 2, (Bandung: PT Alumni, 2004), hlm. 3.

13 Sudargo Gautama (c), Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 4 Buku ke-5, ed. 2, cet. 3, (Bandung: PT Alumni, 2004, hlm. 5.

14 Sudargo Gautama (b), Op. Cit., hlm. 3-4.

15 Sudargo Gautama (c), Op. Cit., hlm. 6.

16 Sudargo Gautama (e), Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 3 Buku ke-4, ed. 2, cet. 3, (Bandung: PT Alumni, 2007), hlm. 15.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, ed. 1, cet. 13, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 29.

18 Ibid., hlm. 33.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 6: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

1. Bahan hukum primer, yakni berupa putusan pengadilan dan peraturan perundang-

undangan.

2. Bahan hukum sekunder, yakni buku-buku dan referensi yang terkait seperti jurnal,

artikel majalah yang mendukung penjelasan bahan hukum primer.

3. Bahan hukum tersier, seperti kamus dan ensiklopedi khusunya digunakan untuk

mendapatkan definisi secara singkat mengenai istilah atau terminologi tertentu.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kaidah memaksa (mandatory rules, dwingend recht) merupakan salah satu persoalan

yang sering dibahas dalam persoalan HPI.19 Masalah tentang kaidah memaksa menjadi salah

satu persoalan penting dalam ranah HPI. Karena seiring dengan semakin meningkatnya

volume transaksi bisnis internasional. Terlebih penerapan suatu kaidah memaksa juga terkait

dengan kepentingan nasional suatu negara.20 Karena dengan adanya kaidah memaksa justru

mempengaruhi hubungan hukum antara para pihak maupun mengubah atau menciptakan hak

dan kewajiban dari hubungan hukum tersebut.21 Karena pada dasarnya semua aturan yang

bersifat kaidah memaksa memiliki sifat untuk mengikat dan tidak memungkinkan untuk

dihilangkan atau disimpangi oleh para pihak dalam perjanjian, karena kaidah memaksa ini

terkait dengan kepentingan nasional suatu negara. Para subyek hukum kadang bertemu

dengan ketentuan kaidah memaksa pada lex fori, lex causae, atau negara ketiga di mana

pelaksanaan kontrak atau perjanjian memiliki hubungan. Negara ketiga ini bisa berupa negara

di mana perjanjian dibuat, prestasi perjanjian dilaksanakan, tempat sesungguhnya berada

(habitual residence) atau tempat di mana menjalankan bisnisnya sehari-hari.22

19 Kerstin Ann-Susann Schafer, "Application of Mandatory Rules in the Private International Law of Contracts: A Critical Analysis of Approaches in Selected Continental and Common Law Jurisdictions, with a View to the Development of South Africa Law, "([Thesis] Disertasi Doktor University of Cape Town, Cape Town, 2002), hlm. 1.

20 Kerstin Ann-Susann Schafer, Op. Cit., hlm. 4.

21 Ibid., dikutip dari Trevor C. Hartley, "Beyond the Proper Law, Mandatory Rules Under Drafts Convention on the Law Applicable to Contractual Obligations, " European Law Reports 4, (1979), hlm. 236-237.

22 Ibid., dikutip dari Kurt Lipstein, "Conflict of Public Laws – Visions and Realities dalam Feschrift fur Imre Zajtay, "(Tubingen: [S.P], 1982), hlm. 357.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 7: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Kaidah memaksa sering juga dibedakan antara kaidah memaksa intern dan kaidah

memaksa ekstern (international mandatory rules).23 Pada persoalan HPI, yang memiliki

sumber hukum utama yaitu hukum nasional masing-masing negara,24 maka sumber hukum

untuk kaidah memaksa itu juga bersumber dari hukum masing-masing negara. Suatu kaidah

memaksa yang digolongkan sebagai kaidah memaksa intern justru tidak jarang berlaku pula

sebagai kaidah memaksa ekstern.25 Hal ini berarti tidak semua kaidah memaksa intern

merupakan kaidah memaksa ekstern. Antara kaidah memaksa dan ketertiban umum memang

memiliki hubungan, tetapi tidak semua kaidah memaksa adalah juga ketertiban umum.26

Sedikit dibahas mengenai bagaimana suatu aturan dapat digolongkan sebagai kaidah

memaksa. Kaidah hukum berdasarkan sifatnya dibedakan atas kaidah hukum imperatif dan

kaedah hukum fakultatif.27 Kaidah imperatif adalah kaidah hukum yang secara a priori harus

ditaati. Artinya suatu perbuatan hukum harus mentaati kaidah hukum yang berhubungan

dengan perbuatan itu. Kaidah hukum imperatif merupakan kaidah yang di dalam suatu

keadaan konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat para pihak.28

Kaidah fakultatif adalah kaidah hukum yang secara a priori tidak mengikat atau wajib

dipatuhi. Artinya suatu perbuatan hukum tidak harus mentaati kaidah hukum yang

berhubungan dengan perbuatan tersebut.29 Menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi

Purbacaraka, suatu kaidah hukum yang bersifat memaksa memiliki dua maksud

kemungkinan, yakni tidak dapat dielakkan atau dilanggar dan melakukan paksaan.30

Hubungan antara isi kaidah hukum dengan sifat kaidah hukum, bahwa kaidah hukum yang

berisi perintah atau larangan merupakan kaidah hukum yang bersifat imperatif dan kaidah 23 Sudargo Gautama (c), Op. Cit., hlm. 123.

24 Sudargo Gautama (b), Op. Cit., hlm. 4.

25 Sudargo Gautama (c), loc. cit.

26 Soerjono Soekanto dan Purnadhi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, cet. 6, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.129.

27 Ibid.

28 Ibid.

29 Ibid.

30 Ibid., hlm. 57-58.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 8: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

hukum yang berisi kebolehan merupakan kaidah hukum yang bersifat fakultatif. Untuk

kaidah hukum imperatif sering disebut juga sebagai hukum memaksa, sedangkan untuk

kaidah hukum fakultatif sering disebut juga sebagai hukum mengatur.31

Membaca rumusan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009, dari penggunaan

kata-kata wajib, secara jelas hal tersebut merupakan isi kaidah hukum yang berisi perintah.

Isi kaidah hukum yang bersifat perintah merupakan kaidah hukum yang bersifat imperatif.

Berdasarkan tinjauan dari segi isi dan sifat kaidah hukum, ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2)

UU No. 24 Tahun 2009, maka ketentuan tersebut adalah kaidah hukum yang bersifat

memaksa.

Tinjauan dari segi perundang-undangan, suatu aturan hukum harus memenuhi

keberlakuan secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Ditinjau dari segi keberlakuan yuridis,

UU No. 24 Tahun 2009 merupakan pengaturan lebih lanjut dari norma hukum diatasnya yaitu

UUD 1945. Pada BAB XV UUD 1945 yang berjudul Bendera, Bahasa, dan Lambang

Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah

Putih, Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia, Lambang Negara ialah Garuda Pancasila

dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal

36 secara jelas menyatakan bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang berlaku. Pasal

36C sebagai pasal baru dari amandemen UUD 1945 menyatakan, "ketentuan lebih lanjut

mengenai bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan untuk diatur dengan

undang-undang."32

Keberlakuan secara sosiologis UU No. 24 Tahun 2009 khususnya Pasal 31 ayat (1) dan

(2) bisa dilihat pada jumlah penutur bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa

dengan jumlah penutur terbesar ke-10 di dunia.33 Terlebih lagi setelah bahasa Indonesia

ditetapkan sebagai bahasa resmi ASEAN, maka jumlah individu yang menuturkan bahasa

Indonesia akan jauh lebih banyak lagi. Dengan jumlah penutur yang sedimikian banyak,

maka bukanlah hal yang aneh jika kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian

31 Ibid., hlm. 38.

32 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal. 36C. Sebelumnya hanya terdiri dari dua pasal, setelah amandemen terdiri dari lima pasal dengan tambahan Pasal 36A, 36B, dan 36C.

33 Republika, "Bahasa Apa yang Paling Banyak Dipakai di Dunia?," http://www.m.republika.co.id/berita/senggang/unik/12/11/14/mdtgtm0-bahasa-apa-yang-paling-banyak-dipakai-di-dunia

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 9: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

atau nota kesepahaman diterapkan. Jika diperhatikan pada Pasal 3 huruf a UU No. 24 Tahun

2009 bisa dilihat ada tujuan bahwa untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa

persatuan dan kesatuan. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, pada Pasal 36 UUD 1945 juga

ditetapkan bahasa resmi adalah bahasa Indonesia. Di sini ada ciri yang sangat kental bahwa

bahasa Indonesia merupakan bahasa yang harus digunakan di wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia, yang sering mengalami

konflik bahasa untuk menetapkan bahasa yang dijadikan bahasa resmi negara, maka bangsa

Indonesia sebaliknya sudah memiliki sebuah bahasa yang proses kelahirannya tidak

memunculkan konflik atau pertentangan, yang justru memperoleh dukungan dari suku bangsa

yang ada. Hal ini sesuai dengan rumusan Pasal 25 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2009

menyatakan, "bahwa bahasa Indonesia berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan

nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan

antarbudaya daerah."34 Dari sosiologis, UU No. 24 Tahun 2009 juga telah memenuhi syarat

keberlakuan secara sosiologis.

Keberlakuan secara filosofis, jika kita lihat pada bagian Menimbang UU No. 24 Tahun

2009, bahwa pembentukan UU No. 24 Tahun 2009 sudah sesuai dengan cita hukum positif

tertinggi yakni Pancasila.35 Berdasarkan dari segi daya laku tersebut, UU No. 24 Tahun 2009

telah memenuhi persyaratan sebagai undang-undang yang memenuhi daya laku dari segi

yuridis, sosiologis, dan filosofis.

Memahami sebuah undang-undang tidak dapat dibaca secara parsial. Seluruh pasal-

pasal dalam undang-undang harus dilihat sebagai kesatuan yang sistematis. Jika diperhatikan

lebih lanjut kewajiban penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada perjanjian

atau nota kesepahaman saja. Hal ini bisa dibaca pada pasal-pasal yang berkaitan dengan

kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, yakni dari Pasal 25 ayat (3) – Pasal 39 UU No. 24

Tahun 2009. Berikut adalah petikan beberapa pasal tersebut.

Pasal 25 ayat (3)

34 Indonesia (a), Op. Cit., Pasal. 25 ayat (2).

35 Ibid., Bagian Menimbang.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 10: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Pasal 30

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan.

Pasal 33 ayat (1) dan (2)

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.

(2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.

Jika frasa bahasa Indonesia dibaca sesuai dengan yang dimaksud pasal 1 huruf 2 UU

No. 24 Tahun 2009, maka secara jelas kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sangat terikat

aspek teritorial atau wilayah. Wilayah di sini juga sudah sangat jelas wilayah yang dimaksud

sudah pasti wilayah NKRI. Hal ini berarti jika dibaca secara lengkap, frasa bahasa Indonesia

yang dimaksud pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 akan dibaca bahasa

Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di wilayah NKRI yang wajib

digunakan dalam perjanjian atau nota kesepahaman yang mana salah pihaknya adalah subyek

hukum Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, penulis melihat bahwa kewajiban penggunaan bahasa

Indonesia dalam perjanjian atau nota kesepahaman adalah perjanjian yang memiliki titik taut

dengan wilayah Indonesia. Titik taut ini jika dikaitkan dengan teori HPI misalnya locus

contractus atau perjanjian disepakati di wilayah Indonesia, locus solutionis atau prestasi

perjanjian yang dilakukan wilayah Indonesia ataupun obyek perjanjian terdapat di wilayah

Indonesia. Berdasarkan tinjauan dari segi perundang-undangan, maka ketentuan UU No. 24

Tahun 2009 terutama Pasal 31 ayat (1) dan (2) merupakan ketentuan yang sudah memiliki

kekuatan mengikat dan keberlakuan. Oleh karena itu, merupakan kaidah memaksa.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 11: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Ketertiban umum adalah suatu keadaan di mana hukum asing yang seharusnya berlaku

menjadi tidak berlaku karena dianggap bertentangan dengan hukum awak.36 Penerapan

ketertiban umum harus selalu dianggap sebagai rem darurat oleh hakim negara awak.37

Ketertiban umum baru dipergunakan jika ada nilai-nilai keadilan, kesopanan, dan kesusilaan

yang dianggap terancam apabila ketertiban umum tidak diterapkan. Ketertiban umum

memang sering beririsan dengan kaidah memaksa, tetapi tidak selalu apa yang termasuk

kaidah memaksa adalah termasuk ketertiban umum.38 Ketertiban umum sering dikatakan

bersifat relatif, karena penerapan dari ketertiban umum terkait tempat dan waktu. Apa yang

dianggap bertentangan dengan ketertiban umum disuatu negara belum tentu dianggap

bertentangan dengan ketertiban umum pula di negara lain.

Rujukan mengenai ketertiban umum ini dalam hukum tertulis Indonesia bisa dilihat

pertama-tama pada Pasal 23 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving) yang menyatakan,

"Door gene handelingen of overeenkomsten kana an de wetten, die op de publieke orde of de

goede zeden betrekking hebben, hare kracht ontnomen worden."39 Oleh Sudargo Gautama

diterjemahkan, "Pada perjanjian-perjanjian khusus para pihak tidak dapat melanggar

peraturan-peraturan yang melindungi ketertiban umum dan kesusilaan baik."40 Ketentuan

Pasal 23 AB dianggap berlaku pula dalam ruang lingkup HPI.41 Lalu pada Pasal 1335

KUHPerdata dinyatakan bahwa "suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena

suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum." Penjelasan apakah

yang dimaksud dengan suatu sebab yang terlarang pada Pasal 1337 KUHPerdata, "Suatu

sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan yang baik atau ketertiban umum." Di sini hubungan antara ketentuan Pasal 23 AB

dengan ketertiban umum dalam HPI menurut Van Brakel sebagaimana dikutip oleh Sudargo

Gautama terdapat titik-bertolak yang sama meski dalam perumusan dan isinya terdapat

36 Sudargo Gautama (e), Op. Cit., hlm. 7. 37 Ibid., hlm. 46.

38 Sudargo Gautama (c), Op. Cit., hlm. 129.

39 Sudargo Gautama (e), Op. Cit., hlm. 58-59.

40 Ibid.

41 Ibid.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 12: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

perbedaan.42 Pada rumusan Pasal 23 AB, istilah ketertiban umum disebut pula dengan

kesusilaan yang baik. Tetapi dalam pengertian ketertiban umum dalam HPI, tercakup pula

istilah kesusilaan yang baik. Secara isi, konsepsi ketertiban umum pada Pasal 23 AB lebih

luas daripada ketertiban umum yang dimaksud dalam HPI. Berdasarkan hal tersebut,

ketentuan yang merupakan kaidah memaksa (dwingend recht) tak dapat dikesampingkan oleh

para pihak, sedangkan dalam konsepsi ketertiban umum HPI tidak semua kaidah memaksa

dianggap sebagai bertentangan dengan ketertiban umum.43

Pada perkara perjanjian pinjam-meminjam PT Bina Karya Pratama Lestari dan Nine

AM Ltd para pihak menyepakati pilihan hukum adalah hukum Indonesia. Forum yang

mengadili adalah Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Bagi majelis hakim yang memeriksa

perkara tersebut, tentu hukum Indonesia tidak dianggap sebagai hukum asing, justru hukum

yang memang dipahami oleh hakim (lex fori), jika dikembalikan kepada pengertian ketertiban

umum secara umum, menurut penulis perkara tersebut bukanlah termasuk perkara yang

berkaitan dengan ketertiban umum. Bahwa kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sesuai

Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 tidak dapat dikatakan melanggar ketertiban

umum, melainkan hanya melanggar kaidah yang bersifat memaksa (mandatory rules).

Walaupun mungkin ada kesulitan dalam membedakan ketertiban umum dan kaidah

memaksa, menurut penulis ada perbedaan yang dapat dilihat untuk memahami perbedaan

antara ketertiban umum dan kaidah memaksa. Kaidah memaksa lebih menekankan kepada

ketentuan penerapan hukum positif semata, sedangkan pada ketertiban umum tidak semata-

mata hanya melihat pada ketentuan penerapan hukum positif, tetapi juga melihat kepada

norma-norma di luar norma hukum seperti kesopanan dan kesusilaan.44

Keberlakuan UU No. 24 Tahun 2009 khususnya Pasal 31 ayat (1) dan (2)

mempengaruhi keabsahan suatu perjanjian atau kontrak. Selain syarat subyektif dan obyektif

Pasal 1320 KUHPerdata, terhadap perjanjian juga harus memenuhi syarat formalitas tertentu

yakni kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Pada perkara pembatalan perjanjian

pinjam-meminjam antara PT Bina Karya Pratama Lestari dengan Nine AM Ltd, syarat

42 Ibid., hlm. 61.

43 Ibid.

44 Ibid., hlm. 47.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 13: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

subyektif dan obyektif telah terpenuhi, dengan begitu pada perjanjian pinjam-meminjam

antara PT Bina Karya Pratama Lestari dan Nine AM Ltd adalah sah berdasarkan syarat

sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Berarti yang ditinjau untuk menentukan

keabsahan perjanjian tersebut hanya tinggal dari sisi formalitas.

Menurut Subekti, pengaturan oleh undang-undang mengenai syarat formil tertentu

yang harus dipenuhi pada perjanjian-perjanjian formil merupakan pengecualian dari asas

konsensualisme.45 Terhadap kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada perjanjian atau

nota kesepahaman, hal tersebut menjadi syarat formil. Bahwa terhadap bentuk perjanjian

yang dibuat atau memiliki kepentingan tertentu di Indonesia, maka harus dalam bentuk

menggunakan bahasa Indonesia. Terhadap syarat sahnya perjanjian berarti saat ini juga harus

memenuhi ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009. Akibat hukum jika

syarat formal ini tidak terpenuhi, lazimnya perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

Berdasarkan tinjauan tersebut, penulis membenarkan putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Barat menyatakan perjanjian pinjam-meminjam antara PT Bina Karya Pratama

Lestari dan Nine AM Ltd batal demi hukum. Sedangkan untuk pertimbangan hukumnya

seharusnya perjanjian tersebut batal karena kaidah memaksa bukan karena ketertiban umum,

dan bukan batal karena melanggar syarat obyektif perjanjian tentang sebab atau causa yang

halal sebagaimana Pasal 1335 jo 1337 KUHPerdata, melainkan karena melanggar syarat

formil kewajiban pengguanaan bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana yang diatur

pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009.

Tidak dibuatnya perjanjian dengan bahasa Indonesia tidak berarti perjanjian tersebut

menjadi batal. Tetapi memberikan kemungkinan terhadap para pihak untuk mengajukan

kepada pengadilan, untuk menyatakan perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia

untuk dinyatakan batal. Asas kebebasan berkontrak yang menjadi asas yang fundamental

dalam perjanjian, termasuk perjanjian yang bersifat HPI tidak dilanggar dengan adanya

kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Jika dicermati pada Pasal 31 ayat

(2) UU No. 24 Tahun 2009, dengan jelas pula dinyatakan perjanjian atau nota kesepahaman

dapat dibuat bukan hanya dalam bahasa Indonesia saja, tetapi juga dengan bahasa asing

lainnya atau bahasa Inggris. Oleh karena itu, UU No. 24 Tahun 2009 tetap menghormati asas

kebebasan berkontrak dan menunjukkan bahwa bahasa Indonesia tidak memiliki kedudukan

yang lebih tinggi, melainkan menunjukkan memberi kedudukan yang sejajar antara bahasa

45 Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 21, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hlm. 15.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 14: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Indonesia dengan bahasa asing lainnya (equal dan tidak terkesan mendudukan bahasa

Indonesia pada kedudukan lebih tinggi).

Mengenai sanksi yang tidak diatur pada UU No. 24 Tahun 2009, maka penentuan

sanksi atau akibat hukum jika perjanjian tidak dibuat dalam bahasa Indonesia hal itu

merupakan kewenangan hakim. Sanksi berupa batal demi hukum atas perjanjian pinjam-

meminjam tersebut merupakan individual norms, yang diciptakan oleh kekuasaan yudikatif

(pengadilan) sebagai penemuan hukum (rechtvinding).46

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan penulis tentang tinjauan HPI mengenai

kontrak internasional dan penerapan UU No. 24 Tahun 2009, maka kesimpulan dan saran

yang ada sebagai berikut:

1) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan perjanjian pinjam-meminjam antara

kedua pihak batal demi hukum. PT Bina Karya Pratama Lestari mendalilkan perjanjian

yang dibuat dengan Nine AM Ltd bertentangan dengan kewajiban penggunaan bahasa

Indonesia dalam perjanjian atau nota kesepahaman sebagaimana yang diatur oleh Pasal

31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Jakarta Barat yang menyatakan batal demi hukum atas perjanjian tersebut karena

bertentangan dengan ketertiban umum. jika dikembalikan kepada pengertian ketertiban

umum, perkara tersebut bukanlah termasuk perkara yang berkaitan dengan ketertiban

umum. Bahwa kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sesuai Pasal 31 ayat (1) dan (2)

UU No. 24 Tahun 2009 tidak dapat dikatakan melanggar ketertiban umum, melainkan

hanya melanggar kaidah yang bersifat memaksa (mandatory rules).

2) Keberlakuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 mempengaruhi kebsahan

perjanjian atau kontrak yang bersifat HPI. Selain syarat sahnya perjanjian yang diatur

Pasal 1320 KUHPerdata, juga harus memenuhi syarat formalitas tertentu. Sepanjang

perjanjian tersebut memiliki titik taut dengan wilayah atau kepentingan Indonesia seperti

locus contractus, locus solutionis atau jaminan perjanjian, maka penggunaan bahasa

Indonesia dalam perjanjian atau nota kesepahaman adalah keharusan.

46 Hans Kelsen, General Theory of Law And State [Allgemeine Staatslehre], diterjemahkan oleh Anders Wedberg, cet. 6, (Cambridge-Massachusetts: Harvard University, 2003), hlm. 146.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 15: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Saran

1) Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia pada kontrak internasional jangan menganggap

hal tersebut sebagai beban. Justru jika sedari awal pada kontrak telah dibuat dengan

bahasa yang dipahami masing-masing para pihak, maka mengurangi perbedaan

penafsiran yang terjadi jika kontrak hanya dibuat dalam satu bahasa yang lazimnya dalam

bahasa Inggris. Hal ini juga penting dalam pembuktian jika timbul sengketa dikemudian

hari. Penerjemahan kontrak yang dilakukan oleh penerjemah tersumpah kadang tidak

sesuai dengan maksud dalam bahasa hukum. Khususnya dalam pembuktian pada badan

peradilan di Indonesia.

Daftar Referensi

Buku

Gautama, Sudargo (a). Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran.

Bandung: Penerbit Alumni, 1983.

_______________ (b). Pengantar Hukum Perdata Internasional, cet. 5. Bandung: Binacipta,

1987.

_______________ (c). Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 4 Buku ke-5,

ed. 2, cet. 3. Bandung: PT Alumni, 2004.

_______________ (d). Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid III Bagian 1 Buku ke-

7, ed. 2, cet. 2. Bandung: PT Alumni, 2004.

_______________ (e). Hukum Perdata Internasional Indonesia: Jilid II Bagian 3 Buku ke-4,

ed. 2, cet. 3. Bandung: PT Alumni, 2007.

Kelsen, Hans. General Theory of Law And State [Allgemeine Staatslehre], diterjemahkan

oleh Anders Wedberg, cet. 6. Cambridge-Massachusetts: Harvard University, 2003.

Lindsey, Brink. Against the Dead Hand: The Uncertain Struggle for Global Capitalism.

Washington DC: Jhon Wiley, 2002.

Lipstein, Kurt. "Conflict of Public Laws – Visions and Realities dalam Feschrift fur Imre

Zajtay." Tubingen: [S.P], 1982.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 16: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. Perihal Kaedah Hukum, cet. 6. Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 1993.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

ed. 1, cet. 13. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011.

Subekti. Hukum Perjanjian, cet. 21. Jakarta: PT Intermasa, 2005.

Jurnal

Trevor C. Hartley. "Beyond the Proper Law, Mandatory Rules Under Drafts Convention on

the Law Applicable to Contractual Obligations." European Law Reports 4, (1979),

hlm. 236-243.

Randall, Kenneth C dan Jhon E. Norris. "A New Paradigm for International Business

Transactions." Washington University Law Review Vol. 71 (1999): hlm. 599-636.

Disertasi

Schafer, Kerstin Ann-Susann. "Application of Mandatory Rules in the Private International

Law of Contracts: A Critical Analysis of Approaches in Selected Continental and

Common Law Jurisdictions, with a View to the Development of South Africa Law.

"([Thesis] Disertasi Doktor University of Cape Town, Cape Town, 2002.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

______(a). Undang-Undang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu

Kebangsaan, UU No. 24 Tahun 2009, LN RI No. 109 Tahun 2009, TLN RI No.

5035 Tahun 2009.

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor Registrasi Perkara

451/PDT.G/2012/PN.Jkt.Bar.

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor Registrasi Perkara 48/PDT/2014/PT.DKI.

Putusan Mahkamah Agung Nomor Registrasi Perkara 601/K/PDT/2015.

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016

Page 17: TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL MENGENAI KONTRAK …

Internet

Republika. "Bahasa Apa yang Paling Banyak Dipakai di Dunia?,"

http://www.m.republika.co.id/berita/senggang/unik/12/11/14/mdtgtm0-bahasa-apa-

yang-paling-banyak-dipakai-di-dunia

Tinjauan hukum ..., M. Yuli Setiawan, FH UI, 2016