TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium...
Transcript of TIK untuk Indonesia Cerdas Deteksi Dini Tingkat Stadium...
TIK untuk Indonesia Cerdas
Deteksi Dini Tingkat Stadium Diabetik Retinopati
Berdasarkan Pengetahuan Dasar Menggunakan
Metode Extreme Learning Machine
Desti Fitriati
Department of Informatics Engineering
Universitas Pancasila
Jakarta Selatan, Indonesia
Abstrak— Diabetik Retinopati (DR) adalah penyakit yang
dapat mengakibatkan kebutaan. Penyakit ini terjadi akibat
adanya kerusakan mikrovaskular pada retina mata manusia dan
dipengaruhi pula oleh Diabetes Melitus. Proses kebutaan pada
DR melewati beberapa tahapan. Mulai dari tahap awal hingga ke
tahap lanjut. Untuk itu proses pendeteksian dini sangat penting
untuk dilakukan sehingga pengobatan dan penanganan yang
tepat dapat diberikan. Pada penelitian ini tingkatan stadium
yang digunakan adalah Normal, Early NPDR, Advanced NPDR,
dan PDR. Adapun eksperimen dilakukan menjadi 2 mekanisme.
Mekanisme pertama menggunakan fitur tekstur dari Grey Level
Coocurence Matrix (GLCM). Mekanisme kedua menggunakan
fitur penanda DR yang khas seperti mikroaneurisma, eksudat
keras, dan pembuluh darah. Data yang digunakan adalah data
citra retina dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Indonesia dimana pembagian data pelatihan dan pengujian
menggunakan 10-fold Cross Validation. Kemudian data diolah
dengan teknik morfologi dan diklasifikasi menggunakan Extreme
Learning Machine (ELM) yang dikenal sebagai metode
klasifikasi yang 1000 kali lebih cepat dibanding dengan Single
Layer Perceptron dan cocok untuk pembelajaran citra medis.
Penelitian ini menghasilkan suatu informasi dasar yang dapat
dijadikan sebagai acuan kategori tingkatan stadium DR dengan
akurasi sebesar 53,53% untuk mekanisme satu dan 52,26%
untuk mekanisme kedua.
Kata kunci— Diabetic Retinopathy; Cross Validation; GLCM
Morfologi; Extreme Learning Machine
I. PENDAHULUAN
Kebutaan yang terjadi pada orang yang sebelumnya bisa melihat dapat memberikan efek psikologis yang sangat besar yang berdampak pada kualitas hidup penderita. Salah satu contoh penyebabnya adalah Diabetik Retinopati (DR). DR sendiri adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kerusakan mikrovaskular pada retina mata. Penyakit ini adalah dampak jangka panjang dari diabetes melitus yang menyebabkan kebutaan permanen [1].
Berdasarkan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study Research Group (ETDRS) [2], DR tergolong menjadi dua bagian besar yaitu Non-Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR) dan Proliferatif Diabetik Retinopati (PDR). NPDR
adalah fase awal yang terdiri dari 4 tahapan perkembangan, yaitu mild, moderate, severe, dan very severe. Sedangkan PDR adalah tahapan lanjutan yang mengarah ke kebutaan. Setiap tingkatan memiliki cirri yang berbeda.
Secara garis besar, ciri penanda DR ada 5 yaitu mikroaneurisma, hemorrhage, eksudat lunak dan keras, serta neovaskular dimana setiap penanda memiliki bentuk dan karakteristik yang berbeda [2]. Pada pemeriksaan medis untuk menentukan stadium penderita, tim medis memeriksa retina dan mengamati apakah ada salah satu atau lebih dari ciri penanda DR. Hal ini tentu lebih kompleks karena untuk mendeteksi 1 citra retina saja dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, biasanya citra medis adalah citra berukuran besar. Untuk itu diperlukan suatu metode yang mampu mempelajari citra retina secara cepat dan presisi. Sehingga diperoleh suatu hasil berupa pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai acuan penentuan kategori stadium yang mungkin diderita oleh pasien.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka penelitian ini melakukan 2 mekanisme percobaan. Pada mekanisme pertama percobaan dilakukan hanya dengan mengambil fitur tekstur dari citra retina saja, artinya mekanisme ini mengabaikan fitur penanda DR. Sedangkan pada percobaan kedua fitur yang digunakan adalah fitur khas penanda DR. kedua hal ini dilakukan untuk melihat perbandingan hasil yang diperoleh dan menentukan fitur mana yang memiliki hasil akurasi yang lebih baik. Gambar 1 berikut adalah perbedaan antara citra retina normal dan abnormal (menderita DR).
Gbr. 1. Perbedaan Citra Normal dan Abnormal
TIK untuk Indonesia Cerdas
No. Penanda Diabetik Retinopati
Nama Fitur Karakteristik
3
Hard Exudate
Bercak berwarna kuning
4
Soft Exudate/ cotton wool spot
Daerah retina yang bercak-bercak putih berwarna pucat
5
Neovascularization
Pembuluh darah abnormal, dibagi menjadi 2 yaitu neovascularization
disc (NVD) dan neovascularization
everywhere (NVE).
No. Penanda Diabetik Retinopati
Nama Fitur Karakteristik
1
Mikroaneurisma/red
small dot
Berupa bintik merah/ hitam (tidak lebih dari 1 piksel)
2
Hemorrhages
Perdarahan lebih dari 1 piksel
II. STUDI LITERATUR
Berdasarkan permasalahan yang dijelaskan sebelumnya,
maka fokus penelitian ini adalah mengkategorikan stadium
penyakit DR. Ravinskar [3] telah melakukan pengkategorian
DR tergolong normal dan abnormal. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Narasihman [4] dan Saranya [5] dimana fitur
dan metode yang digunakan berbeda.
Kemudian ada lagi beberapa peneliti yang fokus hanya
pada satu kategori, yaitu Verma [6] yang mengkategorikan
citra retina tergolong NPDR atau bukan NPDR, dan Akram
[7] yang hanya mengkategorikan PDR. Akan tetapi
pengaktegorian stadium DR secara lengkap masih sedikit.
Kelengkapan itu sendiri berbeda-beda tergantung focus dan
data yang dimiliki peneliti. Misalnya Yun, et al [8]
mengklasifikasikan stadium DR menjadi Normal, Moderate
NPDR, Severe NPDR, dan PDR. Fitur yang digunakan ada 6,
yaitu area dan perimeter dari masing-masing komponen RGB
dimana fitur yang diekstrak adalah pembuluh darah dari hasil
proses Histogram Equalization (HE) dan Binarization dan
diklasifikasi menggunakan Neural Network (NN). Selain itu
Nayak, et al [9] mengklasifikasikan citra fundus menjadi
normal, NPDR, dan PDR. Pada penelitiannya fitur yang
digunakan ada 3, yaitu area dan perimeter pembuluh darah,
area eksudat, dan tekstur. Ketiga fitur di pra-proses
menggunakan Adaptive Histogram Equalization (AHE) dan
diklasifikasi menggunakan di NN.
Secara umum para peneliti menggunakan salah satu atau
lebih fitur penanda DR seperti : mikroaneurisma, hemorrhage,
eksudat lunak, keras, serta neovaskular. Sebelum diklasifikasi,
fitur-fitur tersebut diekstrak untuk mengambil cirinya dimana
cirri tersebut akan dijadikan masukan pada metode klasifikasi.
Pada Tabel 1 berikut dapat dilihat perbedaan dan karakteristik
penanda DR [2].
TABEL I. KARAKTERISTIK FITUR PENANDA DR
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa tampak
perbedaan antara penanda satu dengan yang lainnya. Hal ini
dapat dilihat dari bentuk setiap penanda. Akan tetapi ada
beberapa fitur yang peneliti anggap dominan dan memiliki
karakteristik khusus yaitu pembuluh darah, mikroaneurisma,
dan eksudat. Pembuluh darah hampir melingkupi dan paling
dominan pada citra retina, mikroaneurisma adalah penanda
awal penyakit DR, dan eksudat (baik lunak maupun keras)
merupakan penanda stadium awal dan akhir. Oleh karena itu
penelitian ini akan menggunakan ketiga fitur ini pada
percobaan mekanisme kedua.
Di sisi lain, terdapat sebuah metode morfologi yang
menyatakan bentuk. Dalam konteks matematika, morfologi
merupakan alat untuk mengekstrak komponen citra yang
berguna untuk representasi dan deskripsi bentuk daerah,
seperti boundaries, skeletons, dan convex hull [4]. Teknik ini
juga digunakan untuk pra-proses dan post-proses. Oleh karena
itu, pada penelitian ini metode morfologi dianggap lebih cocok
dipakai untuk mengambil fitur khas DR.
III. METODOLOGI
A. Data Set
Data set yang digunakan pada penelitian ini diambil dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Indonesia sebanyak 135 citra. Citra yang diambil adalah retina mata khusus yang berpenyakit DR berbagai stadium dan citra retina normal. Data yang diperoleh dari RSCM sudah digolongkan menjadi beberapa kategori. Tabel II berikut adalah informasi yang diperoleh mengenai data yang digunakan.
TIK untuk Indonesia Cerdas
TABEL II. INFORMASI DATASET RSCM
No Pembanding RSCM
1 Jumlah 135 citra fundus 2 Jumlah citra normal 64 3 Jumlah citra abnormal 71 4 Bagian mata yang diambil Retina mata kanan dan kiri 5 Jenis data Primer 6 Asal Rumah sakit di Jakarta 7 Analisis variasi data Mengambil sampel citra fundus secara
acak. Sehingga citra yang mengalami
penyakit lain seperti katarak ikut
termasuk, dimana ada citra katarak
yang juga memiliki penyakit DR dan
sebaliknya 8 Kriteria stadium yang
diberikan Membagi setiap citra kedalam salah
satu kategori berikut :
R0 : Normal
R1 : Early NPDR
(MILD)
R2 : Advance NPDR
(Moderate & Severe)
R3 : PDR
Berdasarkan data yang digunakan maka rancangan penelitian yang diajukan pada penelitian ini sebagai berikut :
Fundus Images (RGB)
Preprocessing
Fitur Ekstraksi
Klasifikasi
terlihat lebih jelas sehingga cocok digunakan untuk penelitian
citra medis.
Setelah band hijau diambil, selanjutnya akan dilakukan
invers band hijau dan melakukan penyeragaman kontras citra
menggunakan Adaptive Histogram Equalization (AHE).
Kemudian citra hasil pra-proses ini di resize menjadi ukuran
845 x 833 piksel. Berikut adalah skema dari tahapan pra-
proses citra fundus.
C. Fitur Ekstraksi
Fitur ekstrasi yang akan digunakan terbagi menjadi dua
bagian, yaitu Grey Level Coocurence Matrix (GLCM) untuk
mekanisme pertama dan Morfologi untuk mekanisme kedua.
1) GLCM
Metode ini digunakan untuk mengambil tekstur dari citra retina. Tekstur adalah bentuk yang dapat mencirikan sebuah
benda dimana ciri tersebut dapat berupa adanya keteraturan
pada suatu area tertentu pada citra. Tidak hanya itu, tekstur
pula dapat dideskripsikan sebagai bentuk kehalusan maupun
kekasaran suatu benda. Metode ini memanfaatkan nilai-nilai
piksel citra yang berpasangan dan memiliki intensitas tertentu
[11]. Pada penelitian ini fitur GLCM yang digunakan hanya 5 yaitu kontras, korelasi, energy, homogeniti, dan entropi.
a) Kontras
fitur ini diambil karena apabila dilihat dari citra fundus stadium rendah (R1) dan stadium tinggi (R3), maka akan tampak jelas perbedaan kontras dan intensitas pada citra. Dalam hal ini stadium rendah memiliki intensitas yang tinggi atau gambar cenderung agak terang/ bersih sedangkan stadium tinggi memiliki intensitas yang cukup rendah atau gambar tampak lebih gelap.
b) Korelasi
fitur ini diambil karena setiap stadium memiliki ciri khas
masing-masing. Artinya adalah setiap komponen dalam
citra memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga
mencerminkan makna tertentu (tanda sebuah penyakit). Normal Early NPDR Advanced NPDR PDR
Gbr. 2. Rancangan Penelitian
Oleh karena itu fitur ini dianggap cukup berperan untuk
memperoleh nilai tekstur pada citra fundus manusia.
c) Energy
fitur ini digunakan sebagai tambahan untuk mengukur nilai
B. Pra-proses
Tahapan pra-proses dilakukan untuk mengambil citra
secara standar atau normal. Artinya citra yang digunakan akan
diperjelas dan dihaluskan agar fitur yang digunakan dapat
sepenuhnya terambil. Data set yang diperoleh berbentuk
gambar RGB, tentu akan lebih sulit memprosesnya. Untuk itu
pada penelitian ini band citra yang dipakai adalah band hijau
karena band ini menghasilkan gambar yang lebih stabil jika
dibandingkan dengan band merah (red) dan band biru (blue).
Dalam hal ini stabil adalah citra yang dihasilkan tidak
terlalu terang (tingkat intensitasnya tinggi) dan tidak terlalu
gelap (kontras yang tinggi). Tidak hanya itu, citra yang
dihasilkan juga menunjukkan komponen dalam citra yang
energy yang dihasilkan pada setiap citra. Dalam hal ini,
nilai energi untuk stadium yang sama memiliki nilai
dengan kisaran yang hampir sama.
d) Homogeneity
sama seperti fitur yang lain, setiap citra fundus memiliki
ciri masing-masing yang mengindikasikan stadium yang
diderita. Tentu saja citra yang memiliki level stadium yang
sama akan memiliki ciri yang serupa. Keserupaan inilah
yang dapat dimanfaatkan untuk menarik tekstur
homogeniti pada citra fundus manusia.
e) Entropy
fitur ini digunakan untuk melihat nilai entropi dari sebuah
intensitas citra, dimana intensitas disini berkaitan dengan
TIK untuk Indonesia Cerdas
kontras yang dihasilkan. Sehingga fitur ini dianggap cukup
berperan untuk klasifikasi citra fundus manusia.
2) Morfologi Secara umum operasi morfologi adalah mem-passing
sebuah struktur elemen atau strel ke dalam sebuah citra yang digunakan untuk meneliti sifat citra. Sebuah strel harus memiliki titik pusat. Beberapa contoh dari tipe strel adalah arbitrary, diamond, disk, line, octagon, pair, periodicline, rectangle, dan square. Disamping itu, fitur penanda DR memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga penerapan morfologi untuk fitur-fitur tersebut pun berbeda.
D. Klasifikasi
Metode klasifikasi yang digunakan adalah Extreme
Learning Machine dimana penjelasan formulanya dapat dilihat
pada paper G-B.Huang [10]. Adapun arsitektur klasifikasi
yang diusulkan sebagai berikut :
Gbr. 3. Arsitektur ELM Metode Usulan
E. Metode Evaluasi
1) Analisis hasil klasifikasi lokal
Hasil klasifikasi secara lokal dihitung menggunakan
formula seperti berikut :
(1)
Miss Klasifikasi rate adalah jumlah total data atau citra
yang gagal dikenali. Dalam hal ini gagal adalah hasil
pengenalan tidak sesuai dengan target yang diharapkan.
2) Uji statistik Annova
Selain itu, hasil percobaan juga akan diuji menggunakan
uji statistik ANOVA dimana yang akan diukur adalah
apakah ada perbedaan jumlah fitur area untuk setiap
stadium sehingga dapat diperoleh sebuah kesimpulan.
IV. EKSPERIMEN DAN HASIL
A. Hasil Eksperimen
TABEL III. HASIL PRA-PROSES
B. Fitur Ekstraksi
a) Pembuluh darah
TABEL IV. EKSTRAKSI FITUR PEMBULUH DARAH
TIK untuk Indonesia Cerdas
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
b) Microaneurysm
TABEL V. FITUR EKSTRAKSI MICROANEURYSM
c) Exudates
TABEL VI. FITUR EKSTRAKSI EXUDATE
d) GLCM
TABEL VII. EKSTRAKSI FITUR GLCM
C. Hasil Klasifikasi
Percobaan ini dilakukan sesuai mekanisme yang telah
dijelaskan sebelumnya. Untuk setiap mekanisme pembagian
data training dan testing menggunakan 10-fold cross
validation. Penggunaan cross validation dilakukan karena data
yang diperoleh sedikit.
TABEL VIII. HASIL KLASIFIKASI
Pembanding ELM ANN
Mekanisme 1 53,53% 40,8%
Mekanisme 2 52,26% 46,4%
D. Hasil Annova
TABEL IX. ANNOVA RESULT
TIK untuk Indonesia Cerdas
E. Diskusi
Berdasarkan hasil-hasil di atas maka dapat diketahui
bahwa hasil setiap mekanisme (sesuai mekanisme percobaan)
tidak terlalu signifikan perbedaannya karena masih dalam
range yang sama, yaitu 50% dan memiliki selisih sekitar 1%.
Hasil ini dapat saja dipengaruhi oleh fitur yang digunakan
pada setiap mekanisme merepresentasikan bentuk penanda DR
yang sebenarnya. Dengan kata lain baik dengan menggunakan
fitur tekstur maupun fitur bentuk (sesuai dengan metode yang
perolehan fitur yang diusulkan) adalah sama. Sehingga kita
dapat menggunakan salah satunya saja. Kemudian untuk hasil
akurasi yang rendah yaitu rata-rata 50% dapat dipengaruhi
oleh: jumlah data set yang hanya 135 citra retina; dan variasi
jumlah kelas stadium yang tidak seimbang. Namun jika dilihat
dari segi kecepatan proses belajar maka metode ELM adalah
metode klasifikasi yang sangat cepat.
Adapun metode klasifikasi yang digunakan adalah ELM
yang memiliki kecepatan klasifikasi jauh lebih singkat
dibandingkan dengan metode pencetusnya Neural Network
(NN). Jika ingin dibandingkan dengan metode lainnya, maka
yang bisa dibandingkan hanya dengan metode klasifikasi dari
jenis yang sama yaitu Multilayer Perceptron dari ANN.
Alasannya karena metode ELM merupakan perkembangan
dari ANN dari sisi kecepatan pembelajaran, sehingga untuk
membuktikannya perlu dilakukan perbandingan. Berdasarkan
hasil uji coba, hasil dari metode ELM memiliki akurasi lebih
baik dibandingkan dengan Multilayer Perceptron (Tabel 5.7).
Berdasarkan hasil percobaan diambil pembanding rata-rata
dan standar deviasi dari setiap akurasi yang diperoleh. Berikut
adalah hasil perbandingannya.
TABEL X. STD-DEV PERBANDINGAN ELM DAN ANN
PEMBANDING ELM min STD-
DEV max STD-
DEV Mekanisme 1 53,53 39,98071757 67,07928243
Mekanisme 2 52,26 36,24654659 68,27345341
ANN min STD-
DEV max STD-
DEV Mekanisme 1
40,8 0 40,8 Mekanisme 2
46,4 0 46,4
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil dari
setiap metode klasifikasi saling tumpang tindih (overlap).
Contoh : Data RSCM – Mekanisme 1 Klasifikasi Lokal
Akurasi ELM min. 39,98 - max. 67,079
Akurasi ANN min. 0 - max. 40,8
Hal ini menandakan bahwa bisa saja hasil akurasi yang
menggunakan ELM lebih tinggi (lebih baik) dan lebih rendah,
begitu juga sebaliknya untuk ANN. Sehingga hasil akurasi
dari kedua metode klasifikasi ini tidak dapat dibandingkan.
Oleh karena itu digunakan cara lain yaitu head to head
compare yang berarti membandingkan hasil dari N percobaan,
dipilih yang mana metode klasifikasi yang memiliki akurasi
tertinggi paling banyak (Win Solution). Berdasarkan hasil 10
kali percobaan menggunakan 10-fold cross validation maka
metode yang paling baik untuk mekanisme, hierarki, dan
data tertentu adalah ELM.
F. Analisis Annova
Untuk melengkapi penelitian ini, maka dilakukan pula
uji statistik Annova, untuk melihat apakah ada perbedaan yang
signifikan dari area sebuah fitur terhadap kategori stadiumnya.
Berdasarkan Tabel 5.8 hingga Tabel 5.10 terdapat peningkatan
jumlah area (yang diambil rata-ratanya) untuk setiap kenaikan
stadiumnya. Hal ini cukup logis bila dibandingkan dengan
informasi medis yang menyatakan bahwa terjadinya
pertambahan fitur penanda Diabetik Retinopati ketika
stadiumnya meningkat, seperti pembuluh darah yang semakin
melebar, bercak kuning/ putih (eksudat) yang semakin banyak
sehingga menutupi penglihatan, dan mikroaneurisma yang
dapat menyebabkan perdarahan. Tidak hanya itu, data RSCM
yang diambil ada yang memiliki katarak sekaligus mengalami
DR. Sehingga hal ini dapat menjadi noise ketika pemrosesan
data dilakukan.
Adapun kekurangan dari penelitian ini tidak memiliki citra
ground truth untuk membandingkan hasil ekstraksi fitur setiap
penanda DR. Tetapi memiliki Ophthalmologist (ahli penyakit
mata) secara langsung untuk menunjukkan apakah benar
bahwa hasil deteksi telah sesuai dengan fitur penanda yang
dimaksud.
V. KESIMPULAN
Penelitian ini melakukan 2 mekanisme percobaan yaitu
dari sudut pandang computer science (mekanisme 1 : 5 fitur)
dan sudut pandang medis (mekanisme 2 : 3 fitur). Teknik
pembagian data yang digunakan adalah 10-fold cross
validation. Akurasi yang diperoleh adalah 53,53% untuk
mekanisme pertama dan 52,26% untuk mekanisme kedua.
Hasil analisis diketahui bahwa standar deviasi tidak
memberikan hasil yang cukup baik sehingga perbandingan
metode klasifikasi ELM dan ANN tidak dapat dilakukan. Oleh
karena itu digunakan metode Head to Head compare. Teknik
head to head menghasilkan bahwa ELM selalu baik untuk
melakukan klasifikasi Lokal. Meskipun pada percobaan
metode ELM memiliki kecepatan dalam proses belajar, namun
hasil akurasi yang diperoleh masih sekitar 50%. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh jumlah data set, variasi kelas stadium yang
tidak seimbang, dan data RSCM yang diambil ada yang
memiliki katarak sekaligus mengalami DR. Sehingga hal ini
dapat menjadi noise ketika pemrosesan data dilakukan.
Berdasarkan knowledge base yang diperoleh, terdapat
kenaikan jumlah rata-rata area fitur penanda untuk setiap
peningkatan stadium. Hal ini sesuai dengan kondisi nyata.
Knowledge base yang diperoleh dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kemungkinan stadium yang diderita pasien
berdasarkan tempat asal data yang digunakan. Fitur yang
diusulkan pada setiap mekanisme tidak memberikan hasil
akurasi yang signifikan. Oleh karena itu, pemilihan fitur dapat
menggunakan salah satunya saja. Fitur pada mekanisme
pertama saja atau fitur mekanisme kedua saja.
TIK untuk Indonesia Cerdas
REFERENSI
[1] Wilardjo, “Kebutaan Sebagai Akibat Dari Retinopati Diabetik dan Upaya Pencegahannya”, Dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Dalam Ilmu Penyakit Mata FK UNDIP, Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2001. 1-37.
[2] K. Pandelaki, “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Ed. Sudoyo, Aru W., et al. Eds. 4, Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.
[3] S. Ravishankar, A. Jain, A. Mittal, “Automated Fitur Ekstraksi for Early Detection of Diabetic Retinopathy in Fundus Images”, IEEE International Conference on Computer Vision and Pattern Recognition (CVPR), pp.210-217, 2009.
[4] K. Narasimhan, V. C. Neha dan K. Vijayarekha, ”An Efficient Automated System for Detection of Diabetic Retinopathy from Fundus Images Using Support Vector Machine and Bayesian Classifiers”, IEEE International Conference on Computing, Electronics and Electrical Technologies (ICCEET), Kumaracoil, pp. 964-969, 21-22 March 2012.
[5] K. Saranya, B. Ramasubramanian dan S. Kaja Mohideen, ”A Novel Approach for the Detection of New Vessels in the Retinal Images for screening Diabetic Retinopathy”, IEEE International Conference on Communications and Signal Processing (ICCSP), pp. 57-61, 2012.
[6] K. Verma, P. Deep dan A. G. Ramakrishnan, ”Detection and Klasifikasi of Diabetic Retinopathy using Retinal Images”, IEEE Annual IEEE India Conference (INDICON), pp. 1-6, 2011.
[7] Akram, M. Usman, et al. ”Automated Segmentation of Pembuluh darahs for Detection of Proliferative Diabetic Retinopathy”, IEEE Proceedings of the IEEE-EMBS International Conference on Biomedical and Health Informatics (BHI), Hong Kong and Shenzhen, China, pp. 232 – 235, Jan 2012.
[8] L. Yun Wong, et al, “Identification of Different Stages of Diabetic Retinopathy Using Retinal Optical Images”, Information Sciences, Vol. 178.1, pp. 106-121, 2008.
[9] J. Nayak, et al, “Automated Identification of Diabetic Retinopathy Stages Using Digital Fundus Images”, Springer Journal of Medical System, Vol. 32.2, pp. 107-115, 2008.
[10] G-B. Huang, Q-Y. Zhu, C-K. Siew. "Extreme Learning Machine : Theory and Applications", Elsevier Neurocomputing 70 , pp. 489-501, 2006.
[11] Mokji, M.M, S.A.R. Abu Bakar,"Gray Level Co-Occurrence Matrix Computation Based On Haar Wavelet". IEEE Computer Graphics, Imaging and Visualisation (CGIV), pp.1-7, 2007.