ARTIKEL FMI 2018 A LITERATURE REVIEW- ENCOURAGING...
Transcript of ARTIKEL FMI 2018 A LITERATURE REVIEW- ENCOURAGING...
1
A LITERATURE REVIEW: ENCOURAGING HALAL TOURISM ON GREEN CONCEPT TOWARDS NATION COMPETITIVENESS
Abstrak
Searah dengan perkembangan populasi umat Islam yang saat ini berjumlah lebih dari 1.6 miliar jiwa atau sekitar 23.4 persen dari total penduduk dunia, menjadikan Islam sebagai agama dengan jumlah penganut terbesar di dunia. Pertumbuhan jumlah umat Islam ini akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah Muslim dunia sekitar 2.2 miliar jiwa atau sekitar 35 persen pada tahun tersebut. Selanjutnya berdampak pada pasar perjalanan muslim yang terus tumbuh untuk mencapai USD 220 miliar pada tahun 2020 dan diperkirakan akan tumbuh lebih lanjut sebesar USD 80 miliar untuk mencapai USD 300 miliar pada 2026. Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor pariwisata telah menjadi salah satu sektor ekonomi yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya di dunia. Sektor pariwisata menempati peringkat ke empat penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3 persen dan penyumbang 9,8 juta lapangan pekerjaan, atau 8,4 persen. Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki keindahan alam, warisan adat istiadat serta kebudayaan yang melimpah. Dengan penduduk muslim Indonesia sekitar 12,7 persen dari total Muslim dunia, memikili potensi yang dapat mendorong meningkatnya daya saing Indonesia secara global. Perkembangan pariwisata halal di Indonesia masih belum optimal, karena belum banyak industri pariwisata yang mengemas perjalanan dengan paket halal travel yang ramah lingkungan, dimana kekuatan utama Indonesia adalah wisata alam. Oleh karena itu, artikel ini membahas tinjauan literatur tentang pariwisata halal dalam hal layanan, infratruktur, sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah yang berkonsep hijau akan mampu mendorong daya saing bangsa. Kata kunci: wisata halal, konsep hijau, daya saing bangsa.
Abstract
In line with the development of the Muslim population which currently amounts to more than 1.6 billion people or about 23.4 percent of the total world population, making Islam as a religion with the largest number of adherents in the world. The growth of the number of Muslims will continue to increase and it is estimated that by 2030 the number of world Muslims will be around 2.2 billion or around 35 percent in that year. Furthermore, the impact on the Muslim travel market continues to grow to reach USD 220 billion by 2020 and is expected to grow further by USD 80 billion to reach USD 300 billion in 2026. This shows that the tourism sector has become one of the largest economic sectors and fastest growth in the world. The tourism sector is ranked fourth national foreign exchange contributor, at 9.3 percent and contributing 9.8 million jobs, or 8.4 percent. Indonesia is a developing country that has natural beauty, heritage, and abundant culture. With the Indonesian Muslim population of around 12.7 percent of the total Muslim world, it has the potential to boost Indonesia's competitiveness globally. The development of halal tourism in Indonesia is still not optimal, because there are not many tourism industries that package trips with eco-friendly halal travel packages, where Indonesia's main strength is natural tourism. Therefore, this article discusses the literature review on halal tourism in terms of services, infrastructure, human resources and government policies that apply the green concept will be able to encourage the competitiveness of the nation. Keywords: halal tourism, green concept, nation competitiveness.
1. Pendahuluan
Sektor pariwisata telah menjadi salah satu sektor ekonomi yang terbesar dan
tercepat pertumbuhannya di dunia. United Nation World Tourism Organizations
(UNWTO) mengakui bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu kunci penting
untuk pembangunan wilayah di suatu negara dan peningkatan kesejahteraan bagi
2
masyarakat. Data Organisasi PBB untuk Pariwisata (UNWTO Tourism Highlight,
2018), menunjukkan bahwa sektor pariwisata menghasilkan total ekspor dari
pariwisata internasional mencapai USD 1,6 triliun, atau USD 4 miliar rata-rata per
hari. Sebagai kategori ekspor dunia, peringkat pariwisata ketiga setelah bahan
kimia dan bahan bakar dan setelahnya produk otomotif, serta banyak negara
berkembang, sektor pariwisata adalah kategori ekspor teratas.
Kedatangan wisatawan internasional tumbuh 6,8% pada tahun 2017,
peningkatan tertinggi sejak global 2009 krisis ekonomi dan jauh di atas perkiraan
jangka panjang UNWTO 3,8% per tahun untuk periode tersebut 2010 hingga
2020. Sebanyak 1.323 juta kedatangan wisatawan internasional dicatat di tujuan
sekitar dunia, sekitar 84 juta lebih dari tahun 2016. Hasil didorong oleh
permintaan perjalanan yang berkelanjutan untuk tujuan di seluruh wilayah dunia,
didorong oleh naiknya pertumbuhan ekonomi global, Selain US $ 1,340 miliar di
bidang pariwisata yang diterima di tujuan internasional pariwisata (dari Neraca
Pembayaran), menghasilkan lagi US $ 240 miliar dari jasa transportasi
penumpang internasional diberikan kepada non-penduduk, (UNWTO Tourism
Highlight, 2018).
Selain itu, sektor pariwisata merupakan penyumbang 9,8 juta lapangan
pekerjaan, atau 8,4 persen. Lapangan kerja tumbuh 30 persen dalam 5 tahun,
dimana pencipta lapangan kerja termurah USD 5.000 per satu pekerjaan. Sektor
ini akan jadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia di 2018, yakni sebesar
US$ 20 miliar atau naik sekitar 20% dari tahun 2017 yang sekitar US$ 16,8
miliar. Peningkatan devisa tersebut berasal dari target 17 juta wisatawan
mancanegara yang tahun ini dipercaya bisa tumbuh 22% dari tahun lalu. Jadi
pertumbuhan 22% itu adalah pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara yang
ada di Indonesia karena QPI (Quality Performance Index) tertinggi pariwisata itu
adalah mendatangkan wisman yang menghasilkan devisa. Hal tersebut
menjadikan sektor pariwisata nasional kini menjadi primadona baru bagi
pembangunan nasional. Sumbangan devisa maupun penyerapan tenaga kerja
dalam sektor ini amat signifikan bagi devisa negara, sehingga diperkirakan pada
2019 sudah mengalahkan pemasukan devisa dari industri kelapa sawit (CPO).
Sektor pariwisata Indonesia mampu menjadi penyumbang Pendapatan Domestik
3
Bruto (PDB) dan tenaga kerja. Hal ini sebagai salah satu bukti bahwa pariwisata
di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat baik di dalam maupun di luar
negeri. Pariwisata peringkat ke empat penyumbang devisa nasional, sebesar 9,3
persen dan merupakan nominal tertinggi di ASEAN. Pertumbuhan PDB
pariwisata di atas rata-rata industri dengan spending USD 1 Juta atau PDB 170
persen, tertinggi di industri.
Selanjutnya populasi umat Islam yang saat ini berjumlah lebih dari 1.6
miliar jiwa atau sekitar 23.4 persen dari total penduduk dunia menjadikan Islam
sebagai agama dengan jumlah penganut terbesar di dunia. Pertumbuhan jumlah
umat Islam ini akan terus meningkat dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah
Muslim dunia sekitar 2.2 miliar jiwa atau sekitar 35 persen pada tahun tersebut,
(PEW Research Centre). Master Card dan Crescent rating (2018) dalam Global
Muslim Travel Index (GMTI), Muslim terus menjadi kelompok agama yang
tumbuh paling cepat di dunia dengan sekitar satu dari empat orang di seluruh
dunia menjadi Muslim. Pada 2050, ini akan meningkat menjadi 2,8 miliar atau
sekitar satu dari tiga orang di seluruh dunia yang mempraktikkan Islam dengan
mayoritas berasal dari kawasan Asia Pasifik.
Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki keindahan alam,
warisan adat istiadat serta kebudayaan yang melimpah di dunia. Penduduk yang
menganut agama Islam di Indonesia juga sangatlah besar, yaitu sekitar 12,7
persen dari total Muslim dunia. Pada tahun 2010, penganut Islam di Indonesia
sekitar 205 juta jiwa atau 88,1 persen dari jumlah penduduk. (The Pew Forum on
Religion & Public Life, 2010). Menurut Siti Daulah Khoiriati (2018) sebagai
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia juga tertarik ikuti tren
dan ambil bagian dalam pasar pariwisata halal di tingkat global dengan
memperkenalkan ide Halal untuk beberapa tujuan wisata. Indonesia bergantung
pada pariwisata untuk pendapatan asing oleh mengandalkan alam yang indah dan
warisan budayanya yang kaya. Namun, dengan semakin meningkatnya persaingan
di dunia bisnis pariwisata, tidak lagi cukup mengandalkan hanya pada alam dan
budaya sebagai turis atraksi. Diperlukan strategi kreatif untuk menarik wisatawan
global, dan pariwisata halal menawarkan peluang untuk tujuan itu.
Pasar perjalanan Muslim terus tumbuh dengan cepat dan akan tumbuh terus
4
sampai naik US $ 80 miliar untuk mencapai US $ 300 miliar pada 2026, (GMTI,
2018). Pada tahun 2017, diperkirakan ada 131 juta kedatangan pengunjung
Muslim secara global - naik dari 121 juta pada tahun 2016 – dan ini diperkirakan
akan terus tumbuh menjadi 156 juta pengunjung pada 2020 mewakili 10 persen
dari segmen perjalanan. Pada tahun 2020 diperkirakan angka wisatawan muslim
akan meningkat menjadi 156 juta wisatawan dan mewakili 11 persen
segmen industri pariwisata yang diramalkan dengan pengeluaran menjadi sebesar
US$ 220 miliar.
Tabel 1 Sepuluh Besar Negara Tujuan Organisation of Islamic Cooperation (OIC) dan Non-OIC dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2018
Peringkat Destinasi OIC Skor Destinasi Non-OIC Skor
1 Malaysia (1) 80.6 Singapore(6) 66.2 2 Indonesia(2) 72.8 Thailand(16) 56.1
2 United Arab Emirates(2) 72.8 United Kingdom (22) 53.8 4 Turkey(4) 69.1 Japan (25) 51.4 5 Saudi Arabia(5) 68.7 Taiwan(27) 49.6 6 Qatar(6) 66.2 Hong Kong(27) 49.6 7 Bahrain(8) 65.9 South Africa(32) 47.7 8 Oman(9) 65.1 Germany(35) 45.7 9 Morocco(10) 61.7 France(36) 45.2 10 Kuwait(11) 60.5 Australia(37) 44.7
Sumber: Crescen rating, GMTI Report, 2018
Berdasarkan tabel di atas GMTI 2018 dalam kelompok destinasi
Organisation of Islamic Cooperation (OIC), Malaysia terus berada di puncak
indeks untuk tahun kedelapan berturut-turut dengan (skor indeks 80,6). Malaysia
telah berhasil mempertahankan kepemimpinannya sebagai salah satu tujuan
terbaik bagi wisatawan Muslim dalam hal berbagai kriteria yang dianalisis.
Indonesia masih berada di urutan kedua tujuan wisata halal dunia, di bawah
Malaysia, posisi ini telah meningkat bersama dengan Uni Emirat Arab di tempat
kedua. Selanjutnya Turki (skor indeks 69,1), Uni Saudi Arabia (skor indeks
72,1), Arab Saudi (skor indeks 68,7) dan Qatar (skor indeks 66,2). Singapura
mempertahankan posisi teratasnya di antara destinasi non-OKI dengan
peningkatan signifikan dalam posisinya bersama Jepang dan Taiwan. Destinasi
OKI memiliki keuntungan tersendiri pada indeks karena fasilitas dan layanan
Muslim yang ramah tersedia. Sedangkan negara non-OKI seperti Singapura
menjadi tujuan utama untuk destinasi non-OKI, dimana Thailand, Inggris, Jepang
5
dan Taiwan dan Afrika Selatan, dan Jerman, serta Perancis juga termasuk di
dalamnya. Mereka telah berhasil naik peringkat indeks dengan baik melalui
peningkatan layanan yang lebih menarik pada pasar wisata Muslim.
Pada tahun 2015 kota Mataram di Indonesia meraih The Best Halal
Destination Award 2015 dan The Best Halal Honeymoon Award 2015 yang
diselenggarakan di Abu Dhabi. Prestasi ini menjadi sebuah pemacu untuk
menghidupkan potensi wisata halal di berbagai propinsi ataupun daerah di
Indonesia. Dalam pengapresiasi prestasi Indonesia di internasional tersebut, maka
kementerian pariwisata telaah mengambil langkah-langkah strategis dengan
menetapkan 13 propinsi yang akan dikembangkan menjadi icon pariwisata halal
Indonesia meliputi yaitu: Nusa Tenggara Barat, Nanggoe Aceh Darussalam,
Sumatra Barat, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Bali.
Lebih lanjut, dari Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) telah
mengukur faktor-faktor dan kebijakan pemerintah yang bisa mengembangkan
sektor pariwisata dan perjalanan suatu negara. Sektor pariwisata dan perjalanan
ini yang kemudian berkontribusi kepada perkembangan dan daya saing wisata
suatu negara. Indeks daya saing ini terdiri dari 4 sub indeks, yakni Enabling
Environment (iklim yang mendukung), Travel and Tourism Policy and Enabling
Conditiong (kebijakan dan kondisi yang mendukung pariwisata), Infrastruktur,
Sumber Daya Alam dan Budaya. Indeks daya saing pariwisata Indonesia melesat
naik 8 peringkat, dari posisi 50 besar dunia ke peringkat 42. Reputasi itu dipotret
oleh TTCI pada tahun 2017, yang dikeluarkan secara resmi oleh World Economic
Forum (WEF). Setelah pada 2015 lalu posisi Indonesia dari papan 70 besar
meningkat menjadi 50. Indonesia naik 8 level, namun Malaysia turun -1 di posisi
26, Singapore peringkat 13 juga melemah -2, sedangkan Thailand naik 1 level di
peringkat 34.
Hal tersebut tentu menjadi kesempatan Indonesia untuk bisa mengejar tiga
negara tersebut. Melihat tumbuh pesatnya sektor pariwisata, maka tahun 2019,
Indonesia dapat diproyeksikan naik di posisi 30 besar dunia. Jika terus dilakukan
perkembangan sektor pariwisata, bukan tidak mungkin dalam 4 atau 5 tahun lagi
dapat menyamai Thailand atau Malaysia. Kekuatan utama Indonesia adalah wisata
6
alam (peringkat 14), (Nuran Wibisono, 2017). Namun masih banyak kasus
perusakan alam di Indonesia. Mulai dari pembukaan hutan lindung untuk
pertambangan emas, reklamasi laut untuk kepentingan bisnis, penggundulan
hutan, hingga menghancurkan karst untuk tambang semen dan lain-lain. Jika alam
Indonesia rusak atau hancur, maka pariwisata Indonesia tidak menarik lagi dan
daya saing pariwisata akan mengalami penurunan.
Konsep pertumbuhan hijau (green growth) merupakan upaya untuk
menyelaraskan antara kebutuhan pertumbuhan ekonomi sekaligus melestarikan
sumberdaya alam. Upaya menuju paradigma pertumbuhan ekonomi hijau tersebut
harus ada harmonisasi antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Satu set
skenario green economy mensimulasikan kebijakan ekonomi hijau di sektor-
sektor utama, termasuk, misalnya, pertanian, energi, industri, pariwisata, limbah
dan air, (Andrea, 2016). Pengembangan ekowisata mendukung upaya pelestarian
lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan partisipasi dan keterlibatan
masyarakat dalam pengelolaannya. Konsep ekowisata diharapkan mampu
menjamin pembagian manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah
setempat serta dapat menjaga kelestarian lingkungan. Sektor pariwisata harus
menangani permasalahan lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh kegiatan
pariwisata secara bijaksana. (Penabulu Alliance, 2015). Kerangka investasi yang
sistematik dan tindakan pencegahan yang tepat diperlukan untuk menunjang
upaya perlindungan lingkungan, sosial dan keberlanjutan budaya sembari
membangun sektor ekonomi yang berdaya saing kuat.
2. Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini adalah untuk meninjau masalah pariwisata halal
terhadap perkembangan lingkungan yang dihadapi dunia saat ini melalui strategi
intervensi pariwisata hijau untuk mencapai daya saing bangsa. Tanggapan area
bisnis lainnya tidak ditinjau, karena ruang lingkup makalah dibatasi pada disiplin
ilmu pemasaran. Masalah tersebut dijabarkan tentang perkembangan konsep
ataupun temuan penelitian terdahulu tentang pariwisata halal, layanan pariwisata,
infrastruktur pariwisata, sumber daya manusia, kebijakan pariwisata, dan
pariwisata hijau, serta daya saing bangsa.
3. Literatur Review
7
a. Pariwisata Halal
Perkembangan konsep wisata syariah ke wisata halal berawal dari
adanya jenis wisata jiarah dan religi (pilgrims tourism/spiritual tourism).
Dimana pada tahun 1967 telah dilaksanakan konferensi di Cordoba, Spanyol oleh
World Tourism Organization (UNWTO) dengan judul “Tourism and Religions: A
Contribution to the Dialogue of Cultures, Religions and Civilizations”
(UNWTO, 2011). Wisata jiarah meliputi aktivitas wisata yang didasarkan atas
motivasi nilai religi tertentu seperti Hindu, Budha, Kristen, Islam, dan religi
lainnya. Seiring waktu, fenomena wisata tersebut tidak hanya terbatas pada jenis
wisata jiarah/religi tertentu, namun berkembang ke dalam bentuk baru nilai- nilai
yang bersifat universal seperti kearifan lokal, memberi manfaat bagi
masyarakat, dan unsur pembelajaran. Dengan demikian bukanlah hal yang
mustahil jika wisatawan muslim menjadi segmen baru yang sedang berkembang
di arena pariwisata dunia. (Kemenpar, 2015).
Tren pariwisata halal meningkat sangat kuat di dunia internasional, hal ini
disebabkan modernisasi negara-negara Arab dan bertambahnya jumlah populasi
Muslim di seluruh dunia. Pada saat ini, pariwisata Islam dianggap sebagai sebuah
wadah yang sangat menjanjikan dalam waktu dekat, mengingat pariwisata Islam
telah banyak mendapat minat dalam beberapa tahun terakhir (Kessler, 2015).
Menurut Sofyan yang merupakan Ketua Tim Percepatan dan Pengembangan
Pariwisata menjelaskan secara optimis bahwa pada tahun 2019, Indonesia dapat
menjadi destinasi pariwisata halal nomor satu di dunia. Namun, dibutuhkan
pembenahan dari segala aspek pariwisata agar dapat menuju target tersebut.
Menurut Sofyan (2012), definisi wisata syariah lebih luas dari wisata
religi yaitu wisata yang didasarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Seperti yang
dianjurkan oleh World Tourism Organization (WTO), konsumen wisata syariah
bukan hanya umat Muslim tetapi juga non Muslim yang ingin menikmati
kearifan lokal. Definisi tersebut menjelaskan, kriteria umum pariwisata syariah
ialah; pertama, memiliki orientasi kepada kemaslahatan umum. Kedua,
memiliki orientasi pencerahan, penyegaran, dan ketenangan. Ketiga,
menghindari kemusyrikan dan khurafat. Keempat, bebas dari maksiat. Kelima,
8
menjaga keamanan dan kenyamanan. Keenam, menjaga kelestarian lingkungan.
Ketujuh, menghormati nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal.
Selain istilah wisata syariah, dikenal juga istilah Halal tourism atau
Wisata Halal. Pada peluncuran wisata syariah yang bertepatan dengan kegiatan
Indonesia Halal Expo (Indhex) dan Global Halal Forum 2013.Wisata halal
merupakan konsep baru pariwisata. Ini bukanlah wisata religi seperti umroh dan
menunaikan ibadah haji. Wisata halal adalah pariwisata yang melayani liburan,
dengan menyesuaikan gaya liburan sesuai dengan kebutuhan dan
permintaan traveler muslim”. Dalam hal ini hotel yang mengusung prinsip
syariah tidak melayani minuman beralkohol dan memiliki kolam renang dan
fasilitas spa terpisah untuk pria dan wanita, (Wuryasti, 2013).
Menurut GMTI 2018 tujuh pendorong utama terus membentuk
pertumbuhan yang cepat dari pasar perjalanan Halal global: tumbuhnya populasi
Muslim, tumbuhnya kelas menengah, populasi yang lebih muda, meningkatnya
akses ke informasi perjalanan. Karena perubahan teknologi terus menjadi cepat,
tujuan dan layanan pariwisata yang sudah diinvestasikan dan inovasi akan
memiliki keuntungan tersendiri, serta penggerak utamanya adalah pertumbuhan
pasar wisata muslim. perjalanan ramadhan, perjalanan bisnis. Munirah (2012)
menjelaskan pariwisata Islam sebagai suatu permintaan wisata yang dari seorang
wisatawan muslim yang didasarkan pada gaya hidup selama liburan.. Jaelani
(2016) menambahkan bahwa wisata Islam merupakan suatu perjalanan untuk
merenungkan keajaiban dan menikmati keindahan alam semesta ciptaan Allah
SWT, dengan begitu akan membuat jiwa wisatawan semakin kuat keimanannya
dan sekaligus membantu kewajiban hidup seseorang.
Pencitraan merek Islam menggabungkan budaya, intinya adalah atribut
religius yang mencirikan kebutuhan muslim, keyakinan dan pola konsumsi yang
berdasarkan hukum syariah dan Quran. Maka merek Islam seringkali identik
dengan halal branding, Kristel Kessler, (2015). Menurut Farahani & Henderson
(2009), wisata Islam dapat diartikan sebagai suatu kegiatan perjalanan seorang
muslim dari satu tempat ke tempat yang lain atau berada disatu tempat di luar
tempat tinggal mereka untuk jangka waktu yang tidak lama dan untuk terlibat
dalam kegiatan keagamaan. Malaysia terus berusaha menjadi tujuan wisata Islam
9
yang populer di dunia, dikenal sebagai negara Islam yang serius dalam
membangun hub halal untuk produk keuangan maupun layanannya. Sebagai
langkah selanjutnya adalah merangkul konsep baru seperti pariwisata islami dan
halal dalam beberapa tahun terakhir, Shafaei & Mohamed, (2015).
b. Layanan Pariwisata
Dalam pengukuran Kualitas Layanan, model SERVQUAL mungkin yang
paling tahu dan yang terbaik awalnya dikembangkan (Parasuraman, 1988).
Kemudian berkembang menjadi apa yang sekarang disebut sebagai 'RATER',
yang merupakan kerangka kerja manajemen mutu dikurangi menjadi 5 komponen
utama dengan menggunakan analisis faktor (Pongcharnchavalit & Fongsuwan,
2014). Kelima dimensi ini adalah: Tangibles: merupakan fasilitas fisik, peralatan
dan penampilan personel. Keandalan: kemampuan untuk melakukan layanan yang
dijanjikan yang andal dan akurat. Daya tanggap: merupakan kesediaan untuk
membantu pelanggan dan memberikan layanan yang cepat. Jaminan: pengetahuan
dan kesopanan yang dimiliki karyawan dan kemampuan mereka untuk
menginspirasi dan kepercayaan diri serta kompetensi, kesopanan, kredibilitas dan
jaminan keamanan. Empati: perhatian yang bersifat pribadi dan peduli yang
diberikan oleh perusahaan kepada pelanggannya termasuk akses, komunikasi, dan
kemampuan untuk mendengarkan pelanggan. Tawinunt, Phimonsathien, &
Fongsuwan (2015) menjelaskan bahwa kualitas layanan, manajemen hubungan
pelanggan akan memberikan respon yang lebih baik terhadap kebutuhan dan
kebiasaan membeli dan berkontribusi pada perencanaan strategis manajemen yang
membangun standar kepuasan pelanggan yang lebih baik. Jika wisatawan
bersemangat terhadap kualitas layanan akan menjadikan fondasi yang kuat untuk
selalu hubungan di masa depan dan dapat membantu retensi wisatawan pertama
kali, serta menarik wisatawan baru dan akan kembali berhubungan dengan iklan
dan rujukan dari mulut ke mulut.Menurut Buhalis (2000), bahwa kerangka
analisis destinasi pariwisata terdiri dari 6 A, yaitu: Attractions = Daya Tarik
(alam, buatan manusia, tujuan pembangunannya, warisan, acara khusus).
Accessibility = Aksesibilitas, (sistem transportasi seluruh terdiri dari rute,
terminal dan kendaraan). Amenities = Fasilitas (penginapan, dan katering fasilitas,
ritel, jasa wisata lainnya). Available packages = Paket yang tersedia (paket oleh
10
perantara maupun manager). Activities = Kegiatan (semua kegiatan yang tersedia
di tempat tujuan dan apa yang konsumen akan lakukan selama kunjungan
mereka). Ancillary services = layanan tambahan (jasa yang digunakan oleh
wisatawan seperti bank, telekomunikasi, pos, agen koran, rumah sakit, dll).
c. Infrastruktur Pariwisata
Pemerintah Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan
infrastruktur, mulai jalan tol hingga bandara, yang meliputi tidak hanya di Jawa,
tapi juga di Sumatera, Kalimantan, juga Papua. Perbaikan infrastruktur akan bisa
meningkatkan daya saing infrastruktur yang saat ini masih berada di peringkat 96.
(Nuran Wibisono, 2017). Pembangunan infrastruktur Indonesia dalam 3 tahun
terakhir. Bahkan, pemerintah sudah menghabiskan Rp 985,2 triliun anggaran
untuk mengejar berbagai ketertinggalan infrastruktur. Kelemahan Indonesia saat
ini adalah soal layanan infrastruktur pariwisata. Kita hanya berada di peringkat 96
pada Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI). Kelemahan lain adalah
kesiapan di bidang Information and Communication Technology (ICT). ICT
menjadi faktor penting bagi pariwisata sebuah negara. Internet menjadi alat
komunikasi vital. Dan saat ini ada banyak penyokong industri pariwisata yang
mengandalkan jaringan internet. Mulai dari penyedia tiket, biro perjalanan,
restoran, hingga hotel.
b. Sumber daya Manusia
Peran SDM sebagai pekerja dapat berupa SDM di lembaga pemerintah, SDM
yang bertindak sebagai pengusaha (wirausaha) yang berperan dalam menentukan
kepuasan dan kualitas para pekerja, para pakar dan profesional yang turut berperan
dalam mengamati, mengendalikan dan meningkatkan kualitas kepariwisataan serta
yang tidak kalah pentingnya masyarakat di sekitar kawasan wisata yang bukan
termasuk ke dalam kategori di atas, namun turut menentukan kenyamanan, kepuasan
para wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut, (Rony Ika Setiawan, 2016).
Dalam pariwisata dibutuhkan modal manusia dan kinerja perusahaan, praktik dan
kinerja SDM yang berperforma tinggi, masalah internasional/global dan SDM
strategis, praktik dan kinerja SDM individual, serta SDM strategis spesifik
masing-masing Negara, (Juan M. Madera, 2017).
Penelitian Ervina (2017) menyimpulkan, bahwa kurangnya kapasitas SDM
aparatur di bidang pariwisata disebabkan masih kurangnya pendidikan dan
11
pelatihan yang dilaksanakan oleh dinas pariwisata daerah kepada pegawai.
Menurut (Warsitaningsih, 2002) pengembangan SDM pariwisata berkaitan dengan
pengembangan pengetahuan tentang tata cara pelayanan yang berkaitan dengan
bervariasinya kegiatan pariwisata, misalnya pelayanan di hotel, berbeda dengan
pelayanan di tempat rekreasi atau dalam perjalanan wisata juga pengetahuan tentang
peralatan dan perlengkapan yang diperlukan dalam bidang pelayanan, serta
pengembangan sikap, perilaku, sopan santun, dan sebagainya. Sedarmayanti (2014)
mengungkapkan bahwa perlu adanya peningkatan kemampuan manajerial di
semua sektor wisata pada umumnya. Kurangnya SDM pariwisata berkualitas
unggul yang memiliki kemampuan di bidang pariwisata tampaknya memang telah
cukup serius. Tenaga kerja pariwisata diharapkan memiliki daya saing terhadap
tenaga kerja pariwisata di kawasan ASEAN lainnya dan dapat memajukan industri
pariwisata di Indonesia
c. Kebijakan Pemerintah
Bahan pertimbangan khusus bagi pemegang kebijakan tertinggi yakni
pemerintah adalah membuat kebijakan yang terencana, terstruktur dan tersistem,
sehingga nantinya kebijakan tersebut dapat berpengaruh terhadap perkembangan
industri halal di Indonesia dan dapat menjadi semakin menguat di kalangan
Internasional. Malaysia yang sudah sejak tahun 2006 mengembangkan dan
membuat desain perencanaan yang matang mengenai industri halal di negaranya.
Untuk itu Kementerian Pariwisata Republik Indonesia membentuk Tim
Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal (TP3H) Untuk menggaet pangsa
pasar wisata halal di seluruh dunia, terdapat empat pilar pengembangan wisata
halal, yaitu: Pilar pertama, yakni terkait kebijakan dan regulasi. Pilar kedua, yaitu
pemasaran di mana destinasi wisata harus melihat kebutuhan pasar. Adapun pilar
ketiga dan keempat terkait dengan pengembangan aneka atraksi dan akses
transportasi agar para wisatawan merasa nyaman dan sesuai dengan tujuan wisata
halal.
Selanjutnya dasar hukum aktivitas wisata halal adalah berdasarkan pada
Undang-Undang (UU) 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Sebelumnya
pemerintah sempat menerbitkan aturan teknis soal fasilitas penunjang wisata halal
dalam bentuk Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun
2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah. Dalam
12
perumusannya, pemerintah dibantu Dewan Syariah Nasional (DSN). Namun,
akhirnya aturan itu dicabut dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 11 Tahun
2016 karena mendapatkan reaksi beragam dari kalangan industri. Lalu, pada 2016,
Dewan Syariah Indonesia Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan
Fatwa Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pariwisata Berdasarkan Syariah. Kemudian Kementerian Pariwisata Indonesia
mengeluarkan Keputusan Menteri Pariwisata Indonesia KM.40/OT.001/2018
tentang Logo Tourism Indonesia Dan Logo Pariwisata Halal Indonesia untuk
mendukung berkembangnya pariwisata halal.
Perkembangan pariwisata halal juga sedang digalakkan dengan serius oleh
Pemerintah Daerah. Salah satu daerah yang sudah terkenal sebagai destinasi
wisata halal dunia di Indonesia, yaitu Lmbok, Nusa Tenggara Barat
(NTB). Karena itu Pemerintah NTB terus meningkatkan kualitas daerahnya demi
mempertahankan predikat destinasi wisata halal terbaik seperti tahun lalu. Salah
satu yang menjadi upaya peningkatan kualitas tersebut adalah dengan lahirnya
Peraturan Daerah (Perda) Pariwisata Halal di Lombok NTB. Dalam Perda No. 2
Tahun 2016 tentang pariwisata halal, tertulis bahwa ruang lingkup pengaturan
Pariwisata Halal dalam Peraturan Daerah ini meliputi destinasi, pemasaran dan
promosi, industri, kelembagaan, pembinaan, pengawasan dan pembiayaan.
Pengelola destinasi pariwisata halal harus membangun fasilitas umum untuk
mendukung kenyamanan aktivitas kepariwisataan halal, seperti tempat dan
perlengkapan ibadah wisatawan Muslim, serta fasilitas bersuci yang memenuhi
standar syariah. Disusul dengan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) menerbitkan
Surat Keputusan tentang Tim Terpadu Percepatan Pengembangan Pariwisata
Provinsi Sumbar beranggotakan semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
terkait dan penggiat serta profesional di bidang pariwisata.
d. Pariwisata Hijau
Negara berkembang seperti Negara Islam membutuhkan ekonomi yang
mendorong pertumbuhan dan pembangunan. Pemerintah Indonesia saat ini
mempertimbangkan pilihan ekonomi hijau dalam pendekatan pembangunan
daerah dan koridor ekonomi. Oleh karena itu, strategi ekonomi hijau perlu
dintegrasikan dengan tujuan pembangunan internasional dan nasional di negara
13
Indonesia, (Vaghefi et al, 2015). Menurut Makmun (2016), terdapat beberapa
pandangan diantara negara-negara maju dan negara-negara berkembang tentang
bagaimana konsep green economy dipahami dalam konteks pembangunan
berkelanjutan Ruang lingkup untuk keterlibatan industri dalam transisi ekonomi
hijau, masih ada keraguan dalam sektor lingkungan binaan tentang bagaimana
menciptakan bisnis pada kasus perusahaan hijau yang inovatif dan kurangnya
kepastian atau dorongan dari pemerintah tentang bagaimana untuk kelanjutannya,
Newton dan Newman, (2015).
Pembangunan berkelanjutan dalam perusahaan dapat dimodelkan dengan
mengintegrasikan dimensi pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan, Chow
& Chen (2012). Turbulensi lingkungan yang ada tidak memberikan pilihan
kepada perusahaan selain untuk memulai mempraktekkan manajemen hijau yang
berkelanjutan, Rajput, Kaura, & Khanna (2013). Dengan demikian logo hijau
pada produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan menunjukkan bahwa produk
atau jasa mereka memiliki keunggulan kompetitif. Menurut (Widyastuti &
Santoso, 2016) gerakan konsumen hijau merupakan bentuk kepedulian terhadap
lingkungan yang memunculkan pasar hijau, apabila perusahaan ingin bertahan di
pasar ini, dapat memberikan label hijau dalam semua aspek bisnisnya.
g. Daya Saing Bangsa
Daya saing bangsa merupakan kemampuan suatu negara untuk mencapai
tujuannya yaitu untuk meningkatkan standar hidup masyarakatnya dibandingkan
dengan negara lain. Daya saing industri pariwisata daerah mengacu pada kapasitas
industri pariwisata daerah yang menawarkan produk dan layanan wisata secara
terus menerus dan lebih efektif, serta memperoleh manfaat dan mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Daya saing intinya adalah daya saing industri
pariwisata daerah yang paling penting untuk memiliki dan mempertahankan
dominasinya yang kompetitif, (Zilli and Benhua, 2014). Indeks daya saing ini
terdiri dari 4 sub index, yakni Enabling Environment (iklim yang mendukung),
Travel and Tourism Policy and Enabling Conditiong (kebijakan dan kondisi yang
mendukung pariwisata), Infrastruktur, dan Sumber Daya Alam dan Budaya.
Empat sub-index ini kemudian memiliki 14 pilar lain, serta 90 indikator, (Nuran
Wibisono, 2017). Dari data Global Competitiveness Index 2018 yang
14
menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di
urutan ke-52. Posisi tersebut menanjak 10 peringkat dari periode 2015-2016 yang
masih berada di urutan 62. Prestasi ini turut meningkatkan indeks daya saing
global Indonesia di dunia. Periode 2017-2018, indeks daya saing global Indonesia
lompat 5 peringkat ke posisi 36 dari sebelumnya 41 di periode 2016-2017.
Hasil yang menghubungkan daya saing dan indikator keberlanjutan melalui
keterkaitan yang kuat merupakan indikasi dari analisis World Economic Forum
bahwa tidak ada trade-off yang diperlukan antara daya saing dan berkelanjutan.
Sebaliknya, banyak negara di puncak peringkat daya saing juga merupakan
pemain terbaik di banyak bidang keberlanjutan yang mungkin terkait dengan
pilihan indikator khusus, Santos & Brandi (2014). Daya saing ilmiah nasional
adalah hal-hal yang tidak harus memiliki persyaratan teknologi tinggi, namun
lebih mengutamakan kebutuhan yang paling canggih dari masyarakat, Cimini,
Gabrielli, & Labini, (2014). Eddy & Metz (2015) mengusulkan bahwa
multikulturalisme dapat berfungsi sebagai alat kebijakan publik yang efektif untuk
meningkatkan daya saing suatu bangsa, di era yang ditandai oleh krisis keuangan,
globalisasi, imigrasi, dan perubahan demografi.
Selanjutnya (Boșcoianu, Costea, & Codreanu, 2015) menyatakan bahwa
daya saing ekonomi secara keseluruhan, dan, secara implisit, bahwa minat yang
besar adalah bidang pariwisata. Entitas yang paling terkenal di bidang ini dan,
mungkin yang paling representatif, adalah World Economic Forum, yang setiap
tahun menerbitkan laporan daya saing pariwisata yang luas (The Travel and
Tourism Competitiveness Report, 2015), Data yang diperlukan untuk menyusun
skenario untuk setiap pilar dalam analisis daya saing pariwisata diperoleh untuk
model tersebut dari penelitian statistik langsung dari laporan Forum Ekonomi
Dunia, dan sumber sekunder organisasi, institusi, dan survei internasional yang
dilakukan oleh para ahli di bidang pariwisata, Costea, Hapenciuc & Arionesei,
(2016).
Berdasarkan kajian literature di atas maka paradigm penenelitian yang akan
dibangun adalah sebagai berikut:
15
4. Kesimpulan
Makalah ini mengemukakan bahwa pemasaran pariwisata halal seperti
bidang fungsional lainnya dari suatu bisnis berkontribusi terhadap masalah
lingkungan yang dihadapi dunia saat ini dalam rangka mencapai daya saing
bangsa. Oleh karena itu, ia memiliki peran untuk mencari solusi untuk masalah
lingkungan hijau di bidang pariwisata halal. Makalah ini lebih lanjut akan
menunjukkan bahwa pariwisata halal melalui pemasaran hijau mampu mengatasi
tantangan dalam peningkatan daya saing bangsa. Dengan layanan, infrastruktur,
sumberdaya, dan kebijakan yang mendukung akan mendorong pariwisata hijau
dengan lingkungan fisik yang lebih baik yang akan mengarah pada pembangunan
pariwisata berkelanjutan yang mampu mewujudkan daya saing bangsa.
5. Daftar Pastaka Andrea, M.B. (2016). Moving towards integrated policy formulation and evaluation: the
green economy model. Environmental and Climate Technologies. doi: 10.1515/rtuect-2015-0009.
Costea. M., Hapenciuc, C.V., & Arionesei, G. (2016). Romania versus bulgaria: A short analysis of the competitiveness of seaside tourism. CBU International Conference On Innovations In Science And Education. March 23-25, Prague, Czech Republic. www.cbuni.cz, www.journals.cz.
Buhalis, D. (2000). Marketing the competitive destination of the future. Tourism Management, 21(1), 97-152. doi. 10.1016/S0261-5177(99)00095-3
Chow, W.S., & Chen, Y. (2012). Corporate sustainable development: testing a new scale based on the mainland Chinese context. Journal Business Ethics, 105:519–533, Springer Science + Business Media, DOI 10.1007/s10551-011-0983-x.
LA LAYANAN PARIWISATA
LA SUMBER DAYA MANUSIA
LA INFRASTRUKTUR PARIWISATA
LA DAYA SAING BANGSA
LA PARIWISATA HIJAU
KEBIJAKAN
16
Cimini G., Gabrielli, A. & Labini, S. (2014). The scientific competitiveness of nations. PLoS ONE 9(12): e113470. doi:10.1371/ journal.pone.0113470.
Ervina (2017). Penerapan strategi pengembangan pariwisata oleh Dinas Pariwisata di Kabupaten Kutai Kertanegara. Journal Administrasi Negara, 5 (3): 6240-6253.
Farahani Z. & Henderson J. C., (2009). Islamic tourism and managing tourism development in Islamic societies: The cases of Iran and Saudi Arabia, International Journal of Tourism Research, 12(1). P.79–89.
GMTI, (2018). https://www.crescentrating.com/reports/mastercard-crescentrating-global-muslim-travel-index-gmti-2018.html.
Jaelani. A., et. al. (2016). Islamic tourism development in Cirebon: The study heritage tourism in Islamic economic perspective. Journal of Economics Bibliography www.kspjournals.org. Volume 3. Issue 2.
Juan. M. Madera, Mary Dawson, Priyanko Guchait, Amanda Mapel Belarmino, (2017). Strategic human resources management research in hospitality and tourism: A review of current literature and suggestions for the future", International Journal of Contemporary Hospitality Management, Vol. 29 Issue: 1, pp.48-67, https://doi.org/10.1108/IJCHM-02-2016-0051.
Kompas, (2016). Jumpa Pers: Pengumuman Pemenang Kompetisi Pariwisata Halal Tingkat Nasional Tahun 2016, Hotel Sofyan, Jakarta.
Kristel Kessler, (2015). Conceptualizing mosque tourism: a central featureof Islamic and religious tourism, International Journal of Religious Tourism and Pilgrimage, Vol. 3.
Makmun, (2016) Green Economy: Konsep, Implementasi, dan Peranan Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Jakarta.
Munirah, (2012),. Muslim tourists’ typology in Malaysia: Perspectives and challenges. Proceedings of the Tourism and Hospitality Internasional Conference, Malaysia.
Newton, P. & Newman, P. (2015). Critical connections: The role of the built environment sectorin delivering green cities and a green economy. Sustainability. 7, 9417-9443; doi:10.3390/su7079417. ISSN 2071-1050.
Nuran Wibisono, 2017). https://tirto.id/di-balik-membaiknya-daya-saing-pariwisata-indonesia-cmNf
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A. & Berry, L.L. (1988). SERVQUAL: A Multiple-Item Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing, 64(1): 12-41.
Penabulu Alliance, (2015). Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), World Business Council for Sustainable Development (WBCSD).
Kemenpar. (2015). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah, Kementerian Pariwisata: Indonesia.
Pongcharnchavalit, S. and Fongsuwan, W. (2014). Structural Equation Model of Customer Perception of Service and Product Quality Factors that Affects Thai Information Technology Customer Loyalty. Research Journal of Business Management, 8: 412-426.
Rajput, N., Kaura, R., & Khanna, A. (2013). Indian banking sector towards a sustainable growth: a paradigm shift. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, Vol. 3, No. 1, www.hrmars.com/journals.
Rony Ika Setiawan, (2016). Pengembangan sumber daya manusia di bidang pariwisata: perspektif potensi wisata daerah berkembang. Jurnal Penelitian Manajemen Terapan (PENATARAN) Vol. 1 No. 1 (2016) hlm. 23-35
Santos, S.,F, and Brandi, H.S. (2014). A canonical correlation analysis of the relationship between sustainability and competitiveness. Clean Techn Environ Policy. 16:1735–1746. DOI 10.1007/s10098-014-0755-2
17
Sedarmayanti, (2014). Membangun & mengembangkan kebudayaan dan industri pariwisata: Bunga rampai tulisan pariwisata. Bandung: PT Refika Aditama.
Shafaei, F. & Mohamed, B. (2015). Malaysia’s branding as an Islamic tourism hub: An assessment, GEOGRAFIA Online TM Malaysia Journal of Society and Space ,11 issue 1 (97 - 106). © 2015, ISSN 2180-2491.
Siti Daulah Khoiriati, Suharko, I Made Krisnajaya, and Dedi Dinarto, (2018). Debating halal tourism between values and branding: A case study of Lombok, Indonesia” in The 1st International Conference on South East Asia Studies, 2016, KnE Social Sciences, pages 494–515. DOI 10.18502/kss.v3i5.2352.
Sofyan, R. (2012), Prospek Bisnis Pariwisata Syariah. Jakarta: Republika. Tawinunt, K., Phimonsathien, T., and Fongsuwan., W. (2015). Service quality and
customer relationship management affecting customer retention of longstay travelers in the thai tourism industry: A SEM Approach. International Journal of Arts & Sciences, CD-ROM. ISSN: 1944-6934 : 08(02):459–477.
The Pew Forum on Religion & Public Life, (2010). http://www.pewforum.org/2010/09/28/new-pew-forum-on-religion-public-life-survey-explores-religious-knowledge-in-the-us/
Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI). 2017.https://www.weforum.org/reports/the-travel-tourism-competitiveness-report-2017
UNWTO Tourism Highlight, (2018) http://marketintelligence.unwto.org/publication/unwto-tourism-highlights-2018
Vaghefi, N. (2015). Green economy: issues, approach and challenges in muslim countries, Scientific Research Publishing, Malaysia.
Warsitaningsih, Sri. (2002). Handout Manajemen Industry Catering. Bandung: PKK FPTK UPI.
Widyastuti, S., and Santoso, B. (2016). Green Marketing: A Study about the Factors Influencing the Repurchase Decision of Javanony Herbal Products. Asean Marketing Journal. December-Vol.VIII - No. 2- 1-xx.8 p.
Wuryasti, F. (2013). Wisata Halal, Konsep Baru Kegiatan Wisata di Indonesia. http://travel.detik.com/read/2013/10/30/152010/2399509/1382wisata-halal-konsep-baru-kegiatan-wisata-di-Indonesia
Zilli, Lou and Benhua, Xiao, (2014). Core competitiveness elements of tourism industry in ethnic villages. Journal of Landscape Research, 6(11-12): 19-21.