MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...penyebaran agama Islam...
Transcript of MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA ...dosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...penyebaran agama Islam...
LAPORAN AKHIR
HIBAH BERSAING
MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA
BERDASARKAN WISATA RELIJI BAGI CIREBON
Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Ketua Peneliti:
DHINI DEWIYANTI TANTARTO, Ir.,MT
NIDN. 421116601
Anggota:
DINI ROSMALIA, ST., M.Si
NIDN. 0303067002
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
NOVEMBER 2014
ii
iii
RINGKASAN
Suatu kebudayaan pada suatu masyarakat tidak terbentuk begitu saja, tetapi selalu
melalui proses kesejarahan yang panjang, lengkap dengan berbagai interaksi dan
perbaurannya sehingga membentuk suatu budaya yang khas dan mencirikan keunikan
lokalnya. Hasil interaksi antara budaya suatu masyarakat dengan lingkungannya dapat
menciptakan suatu kawasan yang unik, khas dan spesifik yang dapat disebut cultural
landscape atau lanskap budaya. Suatu lanskap budaya yang berada pada bentangan kota
merupakan gambaran konkrit dari suatu budaya yang terbentuk pada kawasan bahkan kota
tersebut. Keunikan dan kekhasan yang ditampilkan pada kawasan merupakan hasil dari
perkembangan peradaban manusia yang berlangsung dari waktu ke waktu dalam bentuk
kebudayaan sebagai suatu sumberdaya heritage yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Menjaga dan melestarikan keberadaan lanskap budaya pada suatu kawasan berarti menjaga
warisan bangsa untuk generasi yang akan datang.
Salah satu kota di Indonesia yang berpotensi untuk memperlihatkan lanskap
budayanya adalah Cirebon. Keunikan dan kesejarahan kota muncul akibat adanya
akulturasi budaya yang berasal dari berbagai suku bangsa, agama, dan kepercayaan, di
antaranya yaitu Sunda, Jawa, China, dan Arab, serta adanya pengaruh Islam, Kristen,
Katholik, Budha, Hindu, dan Kong Hu Cu. Pencampuran budaya berkembang dan
membentuk fisik kota dan kehidupannya selama berabad-abad. Cirebon juga merupakan
salah satu kota yang disinggahi oleh salah satu wali penyebaran agama Islam yaitu Sunan
Kalijaga atau Syekh Syarif Hidayatullah, sehingga masjid-masjid yang ada di Cirebonpun
merupakan salah salah satu tujuan wisata reliji. Pencampuran budaya Islam dengan budaya
lain, menjadikan aktifitas masjidnyapun menjadi unik.
Potensi yang unik dan khas, serta bernilai konservasi dan preservasi kawasan ini
ternyata kurang disadari oleh Pemerintah Kota Cirebon. Padahal Cirebon sebagai salah
satu kota tujuan wisata, dimana aktivitas relijius belum dipertimbangkan dalam konsep
pariwisata kota sehingga dapat meningkatkan aset daerahnya. Apabila kekayaan wisata
reliji digabungkan dengan konsep wisata budaya lain dan ditata dengan baik, maka bukan
tidak mungkin, Cirebon akan tumbuh sebagai kota tujuan wisata yang handal. Untuk
itulah, maka penelitian ini dilakukan guna menggali potensi wisata reliji yang ada, guna
direalisasikan dalam konsep lanskap budaya Cirebon.
Untuk itu penelitian ini bertujuan (1) menggali dan mengidentifikasi potensi masjid
sebagai salah satu wisata reliji, termasuk menggali makna masjid itu sendiri berdasarkan
penggunanya; selanjutnya, (2) menggambarkan aspek spasial yang terbentuk akibat
aktifitas masjid sehingga membentuk wujud fisik dan ruang Kota Cirebon; (3) selanjutnya
menggali aspek dan nilai kesejarahan yang terbentuk dan membentuk kotanya, dan terakhir
iv
(4) Menilai seberapa besar pengaruh wisata reliji terhadap morfologi Kota dalam
membentuk lanskap budaya Kota Cirebon.
Data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner tertutup terhadap responden.
Responden ditentukan secara acak bagi pengguna masjid dengan penyusunan pertanyaan
kuesioner yang disesuaikan. Hal ini dilakukan karena diasumsikan pemahaman mereka
terhadap kalimat-kalimat yang digunakan dalam kuesioner tersebut sangat beragam.
Operasional variabel dari kuesioner tersebut menggunakan kriteria – kriteria yang sudah
dipelajari sebelumnya dalam tinjauan pustaka, serta hasil wawancara kualitatif sebagai
awal langkah. Kuesioner yang sudah disebarkan tersebut akan diuji validitas dan
reliabilitasnya untuk memenuhi kriteria layak sebagai kuesioner penelitian. Selain
penyebaran kuestioner, juga akan dilakukan pemetaan spasial terhadap pengguna ruang
yang dilalui responden untuk mengetahui alur spasialnya, serta dikaitkan dengan nilai
historisnya. Karena itu penelitian ini memegang peran penting dalam upaya implementasi
pendekatan berbasis pemetaan lanskap budaya bagi pengembangan pariwisata di
Indonesia. Hasil penelitian diharapkan dapat dipublikasikan pada jurnal internasional serta
disampaikan dalam seminar-seminar nasional maupun internasional.
v
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME, karena berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kami
dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan kegiatan Penelitian Hibah Bersaing berjudul:
MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA BERDASARKAN WISATA
RELIJI BAGI CIREBON ini dengan baik dan pada saat yang tepat, sehingga laporan ini
dapat segera digunakan bagi yang berkepentingan.
Besar harapan kami Laporan Kemajuan ini dapat memenuhi ketentuan yang disyaratkan
selain materi yang kami sampaikan sudah mencukupi sebagai pijakan bagi tahap
selanjutnya. Laporan Kemajuan ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa
bantuan penuh dari berbagai pihak yang tercantum di bawah ini, yang pantas mendapatkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya :
1. Bapak Drs H Adin Imaduddin Nur dari Dinas Pemuda, Olah-raga, Kebudayaan, dan
Pariwisata (Disporbudpar) Kota Cirebon, beserta stafnya.
2. Sultan Sepuh XIV, P.R.A. Arief Natadiningrat, SE., beserta kerabat Kraton
3. Sultan Kanoman XII, Sultan Muhammad Emiruddin, beserta kerabat Kraton
4. Sultan Kacirebon IX, K.G.P.H. Abdul Gani Natadiningrat, SE., beserta kerabat Kraton.
5. Bapak Mustakim Asteja dari Komunitas Kendi Pertula
6. Bapak Drs. Rafan S Hasyim, MSi. (Bapak Opan)
7. Bapak Drs Askadi Sastra Suganda (Mamae Titin)
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Seluruh rangkaian dan usaha dalam menyusun Laporan Kemajuan ini, tidak lepas dari
bimbingan Tuhan Y.M.E. Namun ketidaksempurnaan pastilah ada karena keterbatasan
ilmu dan pengalaman penyusun, oleh karenanya apabila ditemukan kesalahan kami mohon
maaf yang sebesar–besarnya dan kami sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang
membangun guna penyusunan selanjutnya. Akhir kata mudah-mudahan laporan ini dapat
bermanfaat baik bagi yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bandung, November 2014
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... vi
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
Latar belakang ....................................................................................................................... 1
Permasalahan ......................................................................................................................... 3
Urgensi (keutamaan) Penelitian............................................................................................. 3
Target Temuan/ Inovasi ......................................................................................................... 4
Penerapan Temuan ................................................................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4
Lanskap Budaya Perkotaan ................................................................................................... 4
Kategori Lanskap Budaya ..................................................................................................... 6
Komponen Urban Cultural Landscape .................................................................................. 7
Elemen Fisik dan Non fisik Urban Cultural Landscape ........................................................ 8
Proses Transformasi Aktifitas ke dalam Bentuk Spasial ....................................................... 9
Masjid sebagai Sebuah Place ............................................................................................... 10
Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan ..................................................................... 12
Hasil yang Sudah Dicapai ................................................................................................... 12
Peta Jalan Penelitian ............................................................................................................ 14
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ................................................... 15
Tujuan Penelitian: ................................................................................................................ 15
Manfaat Penelitian: .............................................................................................................. 15
BAB IV. METODE PENELITIAN ................................................................................. 16
Kerangka Berpikir ............................................................................................................... 16
Tahapan Penelitian .............................................................................................................. 17
Populasi dan Sampel ............................................................................................................ 18
Metode Pengumpulan Data ................................................................................................. 18
Metode Pengolahan Data ..................................................................................................... 18
Metode Analisis ................................................................................................................... 19
vii
BAB V. HASIL YANG DICAPAI ................................................................................. 20
Elemen Fisik ........................................................................................................................ 20
Elemen Non Fisik ................................................................................................................ 43
Lama Kunjungan Wisatawan dan Biaya yang dikeluarkan ................................................. 44
Waktu Ritual ........................................................................................................................ 44
Makna Masjid Bagi Masyarakat Cirebon dan Pendatang ................................................... 52
Potensi dan Kekuatan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji ............................ 53
Kelemahan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji ............................................. 54
Tantangan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji .............................................. 54
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ........................................................ 58
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................... 59
LAMPIRAN ....................................................................................................................... 58
Lampiran 1 : Panduan Wawancara. ..................................................................................... 62
Lampiran 2 : Denah dan Tampak Masjid ............................................................................ 64
Lampiran 3 : Susunan Anggota Peneliti .............................................................................. 70
Lampiran 4 : MOU dengan Dinas Pariwisata. ..................................................................... 72
Lampiran 5 : Biodata Peneliti .............................................................................................. 73
Lampiran 6 : Draft Seminar. ....................................................................................................
1
1
BAB I. PENDAHULUAN
Latar belakang
Cirebon merupakan kota yang memiliki potensi kuat sebagai kota unik yang kaya akan
budaya termasuk di dalamnya kekayaan tradisi, ritual dan kesenian. Cirebon juga
merupakan kota yang terbentuk akibat akulturasi berbagai suku bangsa serta agama atau
dalam bahasa lokal disebut: Caruban Nagari. Dalam kesejarahannya Cirebon yang
merupakan kota dagang, juga merupakan pusat penyebaran dan pengembangan agama
Islam. Bahkan Cirebon juga identik dengan kota yang dibangun oleh Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dan disinggahi oleh Sunan Kalijaga.
Masjid, merupakan salah satu representasi arsitektur Islam, yang merupakan wujud
perpaduan antara kebudayaan manusia dan proses penghambaan diri seorang manusia
kepada Tuhannya, yang berada dalam keselarasan hubungan antara manusia, lingkungan
dan Penciptanya, termasuk disini adanya persepsi terhadap kehidupan, kematian, dan
akhirat (Omar, 2012). Masjid sebagai karya arsitektur Islam mengungkapkan hubungan
geometris yang kompleks, hirarki bentuk dan ornamen, serta makna simbolis yang sangat
dalam. Pengaruh nilai berbagai suku bangsa, ritual dan tradisi, pada akhirnya juga turut
mempengaruhi nilai ”ke-Islaman” pada masyarakat Cirebon. Akulturasi budaya yang
terjadi, pada akhirnya membawa nilai-nilai keIslaman tersebut berbaur dan turut
mempengaruhi kegiatan yang berlangsung pada masjid. Tidak heran apabila masjid yang
ada di Cirebon juga disinggahi oleh masyarakat yang ingin melakukan jiarah.
Topik ini menjadi menarik, mengingat Cirebon sering dikunjungi sebagai salah satu tujuan
wisata reliji bagi masyarakat, tidak saja bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga turis asing.
Di sisi lain, pemerintah kota Cirebon sendiri belum membenahi dan mempersiapkan
kotanya sebagai salah satu tujuan wisata reliji yang sebetulnya dapat meningkatkan nilai
pariwisata bagi kota tersebut. Cirebon perlu untuk segera memiliki gambaran lanskap
budaya pada kotanya agar perencanaan kawasannya dapat diarahkan pada konsep yang
jelas dan terarah.
Pentingnya keunikan dan kekhasan lanskap budaya suatu kawasan telah menjadi perhatian
dunia. Seperti disampaikan oleh ICOMOS (2009) melalui „Description of World Heritage
Cultural Landscape; lanskap budayamerupakan bukti fisik kekayaan dan keragaman
2
budaya, religi, dan sosial masyarakat pada suatu kawasan. Menjaga dan mengintegrasikan
lanskap budaya pada kehidupan saat ini berarti pula menjaga warisan dunia. Hal senada
juga diungkapkan UNESCO (2002) dalam „Universal Declaration on Cultural Diversity‟;
menjaga keberadaan lanskap budaya berarti menjaga warisan bangsa untuk generasi yang
akan datang. Selanjutnya ICOMOS, (1994) juga menekankan bahwa menghargai lanskap
merupakan hal penting, karena cultural landscape mengandung nilai-nilai heritage.
Gambar I-1. Lanskap Budayasebagai Warisan Dunia menunjukan posisi lanskap budaya
sebagai bagian dari warisan dunia.
Gambar I-1. Lanskap Budayasebagai Warisan Dunia
Sumber: World Heritage Center (2008); UNESCO (2002)
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa lanskap budaya telah menjadi isu penting
pada dekade ini, sehingga di tahun 1992 World Heritage Convention (WHC – UNESCO)
memasukkan lanskap budaya sebagai salah satu jenis heritage yang perlu diproteksi.
Kesempatan ini mendapat perhatian cukup besar dari seluruh negara di dunia, di mana
selama 17 tahun sejak tahun 1992 hingga 2009 telah terdaftar 72 kawasan dari 64 negara
sebagai World Heritage Cultural Landscape (WHCL) (Rӧssler, 2006; ICOMOS, 2009).
Dari 72 kawasan tersebut, 12 di antaranya merupakan kota dan hampir semuanya
merupakan kota bersejarah (historic town). Melihat kecenderungan ini, sejak tahun 2005
3
hingga kini World Heritage Committee secara intensif mendiskusikan topik ini terutama
mengenai lanskap budaya yang merupakan kota bersejarah (O'Donnell, 2008).
Lanskap budaya yang berada pada kawasan perkotaan (urban landscape) dapat disebut
sebagai urban cultural landscape seperti yang disampaikan oleh Calcatinge (2010) dan
Hayden (1995). Lanskap budaya yang berada pada kawasan geografis dengan aktifitas
kehidupan perkotaan mencakup aktifitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya disebut
sebagai urban cultural landscape. Definisi ini juga dipertegas oleh Fowler (2003), yang
menyatakan lanskap budaya pada urban landscape memberi gambaran peradaban manusia
yang paling maju, dengan teknologinya manusia merubah lingkungan alami menjadi suatu
lingkungan perkotaan yang unik, khas dan bernilai sejarah.
Permasalahan
Lanskap kota yang ada, belum mencerminkan bahwa Cirebon sudah mempertimbangkan
wisata reliji sebagai salah satu aset yang dapat diatur sedemikian rupa sehingga dapat
menaikkan pamor Cirebon sebagai salah satu tujuan wisata yang tertata baik.
Pengetahuan lanskap budaya yang terencana, belum membudaya bagi kalangan perencana
kota, bahkan perancang wisata, padahal dengan adanya lanskap budaya Cirebon, dapat
mempermudah melihat zona-zona wisata yang pada akhirnya akan lebih tepat sasaran
pada proses perencanaannya.
Urgensi (keutamaan) Penelitian.
Indonesia merupakan negara dengan penganut Islam terbesar di dunia. Dengan jumlah
penganut yang banyak, tanggung jawab masjid juga menjadi besar. Kegiatan masjid bukan
hanya sebagai pusat ibadah ritual saja tetapi juga sebagai pusat kebudayaan atau muamalat
yang melahirkan kebudayaan dalam Islam. Karena Cirebon termasuk peta penting dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia, maka mau tidak mau Cirebon akan menjadi salah
satu tujuan wisata reliji bagi masyarakat Islam Indonesia, bahkan bukan tidak mengkin
menjadi tujuan wisata reliji bagai wisatawan asing. Oleh karena itulah, peta lanskap
budaya Cirebon menjadi suatu temuan penting yang harus segera direalisasikan.
Penelitian dibatasi hanya pada kebudayaan Islam, sebagai salah satu kekuatan budaya yang
terlihat jelas. Untuk kegiatan penelitian di masa depan, tidak tertutup kemungkinan untuk
4
mencakup jangkuan pada wisata reliji ibadah agama lain yang juga muncul secara kuat
seperti: Kong Hu Cu dan Budha.
Target Temuan/ Inovasi
Pada tahap tahun pertama adalah: Pola aktifitas, termasuk pergerakan aksesibilitasnya
termasuk bagaimana masyarakat memaknai masjidnya yang pada akhirnya akan
menuntun arah penelitian pada penggambaran lanskap budayanya di tahun kedua.
Pada tahun kedua akan dibuat Model Lanskap Budaya Cirebon berdasarkan wisata
reliji, sebuah guidelines bagi kota guna mengembangkan konsep pariwisata beserta
sarana prasarananya yang harus disiapkan.
Output hasil temuan akan dipublikasikan melalui:
No. Nama/Jenis output Jumlah
1. Publikasi Jurnal Internasional 1
2. Publikasi pada Prosiding Konferensi Internasional 1
Penerapan Temuan
Temuan yang didapat berupa model lanskap budaya diharapkan dapat digunakan oleh
Dinas Pariwisata Cirebon sebagai acuan dalam mengembangkan konsep pariwisata kota.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya Perkotaan
Konsep cultural landscape atau lanskap budaya pertama kali diperkenalkan oleh Sauer
dalam makalahnya yang berjudul „The Morphology of Landscape’ pada tahun 1925,
dimana ‘The cultural landscape is fashioned from the natural landscape by a cultural
group. Culture is the agent, the natural area is the medium, the cultural landscape the
result’. Untuk itu, Budaya merupakan produk hasil komunikasi antara manusia dengan
tempat tinggalnya dari waktu ke waktu, yang kemudian menghasilkan bentukan lanskap
alami. Lanskap sebagai media tidak lagi dipandang sebagai penentu arah transformasi,
tetapi menjadi bagian dari cultural lanscape (Sauer, 1963;Jain & Clancy, 2011). Proses
5
terbentuknya cultural landscape dapat dilihat pada Gambar II-1. Proses Morfologi
Cultural landscape dibawah ini.
Gambar II-1. Proses Morfologi Cultural landscape
Sumber: Sauer (1963)
Proses interaksi antara manusia dengan lanskapnya pada suatu kawasan geografis akan
menimbulkan suatu kekhasan dan keunikan tersendiri. Kekhasan ini kemudian menjadi
karakter suatu cultural landscape, seperti yang disampaikan oleh Hough (1990) dan Kaya
(2002), bahwa interaksi manusia dengan lingkungannya menciptakan kekhasan yang
menjadi karakter kawasan. Proses bentukan manusia ini terjadi dari generasi ke generasi
dan terus berlanjut hingga saat ini. Selanjutnya, berdasarkan penelusuran Sauer dan Platt
dikatakan, bahwa proses interaksi tersebut juga merupakan kombinasi antara hubungan
sosial manusia dengan proses fisik lanskapnya, di mana keunikan yang dihasilkan
menggambarkan pola dan keteraturan, sedangkan hubungan sosial merupakan hasil
interaksi antara elemen masyarakat, melalui aktifitasnya, dengan lingkungan sebagai
wadahnya (Hough, 1990). Adapun World Heritage Center (2008) danCalcatinge (2010)
mengatakan, suatu kawasan dapat disebut sebagai cultural landscape bila ia
menggambarkan evolusi kehidupan manusia dan tempat tinggalnya dari waktu kewaktu,
yang dipengaruhi oleh potensi dan/ataupun hambatan fisikal, kekuatan eksternal dan
internal dari lingkungan alami, aspek sosial, ekonomi dan budaya, yang semuanya bernilai
sejarah serta berpotensi membentuk keindahan pemandangan kawasan (scenery).
6
Gambar II-2. Posisi Cultural Landscape
Sumber: Kaya (2002)
Dari penelusuran teori-teori di atas, dapat dikatakan bahwa lanskap budaya merupakan
sumber daya spesifik hasil perpaduan karya alami dengan karya buatan manusia di dalam
suatu kawasan geografis. Morfologi sebagai gambaran evolusi interaksi manusia dengan
lanskapnya berlangsung secara terus menerus sepanjang waktu, menghasilkan bentukan
yang unik dan khas yang membedakan kawasan ini dengan lainnya. Calcatinge (2010) dan
Fowler (2003), mengatakan bahwa kota (urban area) merupakan kawasan yang unik dan
khas, sehingga dapat dikatakan sebagai bentuk cultural landscape yang sebenarnya.
Lanskap kota (urban landscape) bukan lagi bagian dari lanskap budaya, tapi lanskap kota
itu sendiri merupakan gambaran lanskap budaya yang paling maju dan
sophisticated,karena ia menjadi pusat perkembangan budaya, dan teknologi.
Sebagai gambaran peradaban manusia yang paling maju, para ahli (akademisi)
mempercayai bahwa bentangan kota (cityscape) sebagai bentuk terbaik dari lanskap
budaya (Fowler, 2003). Suatu bentangan kota merupakan hasil kombinasi kerja alam dan
budaya dari waktu ke waktu, di mana proses pembentukannya dipengaruhi oleh kekuatan
sosial, ekonomi, dan politik. Untuk itu suatu lanskap budaya yang berada dalam suatu
bentangan kota (cityscape) dapat dikatakan sebagai urban cultural landscape.
Kategori Lanskap Budaya
Lanskap budaya pada bentangan kota merupakan sumber daya yang perlu dipertahankan
karena berpotensi sebagai heritage. Untuk itu World Heritage Center (2008) mendefinikan
bahwa lanskap budaya merupakan “kekayaan budaya yang mempresentasikan hasil
kombinasi kerja alam dan manusia‟ seperti yang disampaikan pada Konvensi dalam artikel
7
1, „lanskap budaya merupakan warisan budaya, yang di dalamnya mencakup monumen,
kumpulan bangunan, dan tapak (site), yang memiliki nilai universal luar biasa (outstanding
universal value) dari sudut pandang keindahan, kesejarahan, etnologi ataupun antropologi.
Penilaian tersebut di atas juga berlaku untuk urban cultural landscape.
Untuk masuk dan terdaftar sebagai World Heritage Cultural Landscape (WHCL), suatu
bentang kota lebih dahulu harus memiliki nilai universal yang luar biasa (OUV), setelah itu
ia dapat dimasukkan ke dalam 1 (satu) atau lebih kategori berikut:
a) Lanskap yang didesain/dibuat dengan sengaja oleh manusia, meliputi pembangunan
taman (garden) dan taman/kebun raya (parkland) untuk alasan estetika yang sering
(selalu) berhubungan dengan agama (religi) atau bangunan monumental.
b) Lanskap yang berevolusi secara organik atau alamiah. Hasil perubahan dari kondisi
sosial, ekonomi, administrasi, dan/atau hal-hal yang bersifat religius, dan hasil yang
terbentuk saat ini karena asosiasi dan respon terhadap lingkungan alaminya. Kategori
ini terbagi dalam dua sub-kategori:
c) Lanskap relict (fosil/bersejarah), bentukan lanskap hasil proses evolusi, yang
prosesnya telah berhenti beberapa waktu lalu sebelum masa saat ini. Bentuk khas
materialnya masih terlihat secara signifikan.
d) Lanskap, dimana proses evolusinya masih berlangsung dan mempertontonkan bentuk-
bentuk material yang merupakan bukti signifikan dari proses evolusi tersebut. Adapun
kehidupan sosial masyarakat lanskap ini, yang juga merupakan masyarakat
kontemporer masih secara aktif menggunakan, memelihara, dan mempertahankan
cara-cara hidup tradisional setempat.
e) Associative cultural landscape, merupakan lanskap budaya yang berasosiasi.
Pembentukannya dipengaruhi oleh agama, kesenian dan budaya setempat. Umumnya
lanskap ini termasuk dalam World Heritage List.
Komponen Urban Cultural Landscape
Urban cultural landscape merupakan bentuk visualisasi yang memiliki potensi ekonomi,
di mana suatu urban landscape dapat mengubah seorang pelancong (viewer) menjadi
seorang "flaneur". Selain mendapatkan sesuatu yang bersifat leisure, pelancong tersebut
juga memperoleh pengalaman (experience). Adanya flaneur, membuka peluang ekonomi
untuk masyarakat setempat (Greffe, 2009). Calcatinge (2010) menyampaikan 3 (tiga)
8
komponen pembentuk urban cultural landscape, yaitu ideologi, individu, dan urban
morphology (Gambar II-3).
Urban spacesebagai simbol lanskap budaya yang mengekspresikan nilai-nilai masyarakat
moderen, di mana nilai-nilai spiritual dan ideologi individu, serta morfologi kota saling
berhubungan memberi tekanan terhadap pembentukan urban space. Nilai spiritual individu
terbentuk dari faktor-faktor kesukuan, agama, kepercayaan, bahasa, kelompok masyarakat,
dan latar belakang budayanya. Komponen kedua, nilai ideologi berupa politik, ekonomi,
dan sosial yang dipahami dan dijalankan oleh masyarakat maupun penguasa berfungsi
mengatur kehidupan kota. Terakhir, morfologi kota merupakan hasil proses dinamis dari
bentukan fisik kota, struktur spasial yang membentuk pola ruang kota, arsitektur sebagai
simbol dan wadah aktifitas serta sejarah yang menggambarkan peran setiap faktor dan
waktu yang dilaluinya. Untuk itu urbanspaceberfungsi sebagai media atau ruang
kehidupan, yang dapat menjadi simbol kehidupan kebudayaan yang unik di kawasan
tersebut.
Gambar II-3. Komponen Urban Cultural Landscape
Sumber: Calcatinge (2010)
Elemen Fisik dan Non fisik Urban Cultural Landscape
Urban cultural landscape merupakan ekspresi kebudayaan tradisional kota yang unik,
dimana keunikannya menjadi karakter yang memberi spirit pada kota tersebut. O'Donnell
9
(2008) mengatakan bahwa ekspresi spirit suatu urban cultural landscape dapat ditentukan
dari hasil kombinasi nilai-nilai heritage yang terkandung dalam elemen fisik dan non
fisiknya. Untuk itu kedua elemen tersebut perlu didokumentasi dan dipreservasi.
Selanjutnya Calcatinge (2010) menambahkan bahwa elemen-elemen urban cultural
landscapemerupakan icon yang menjadi identitas lokal, regional, dan nasional.Error!
Reference source not found. menunjukan bentuk elemen fisik dan non fisik yang perlu
diidentifikasi pada suatu urban cultural landscape, di mana elemen ini bernilai heritage
dan berpotensi untuk dipreservasi.
Tabel II-1. Elemen Urban cultural landscape
Sumber: O'Donnell (2008)
Elemen Fisik Elemen Nonfisik
1. Sistem Alami 1. Festival
2. Land uses, land patterns, land clusters 2. Musik tradisional, pertunjukan tari
tradisional
3. Organisasi spasial 3. Ziarah
4. Visual relationships 4. Ibadah
5. Topografi, surface drainage 5. Ritual
6. Vegetasi 6. Upacara utk memperingati kejadian di
masa lalu
7. Sistem sirkulasi 7. Praktek/aktifitas tradisional
8. Water feature, water natural and
water constructed
8. Aktifitas untuk menjaga & mengumpulan
tanaman lokal/ endemik
9. Non habitable landscape structures
and buildings
9. Aktifitas untuk membuat kerajinan
lokal/tradisional
10. Karakterspasial, bentuk spasial,
skalaruang, & strukturhunian (&
pemukiman)
10. Cara komunitas mengenang sesuatu yang
ikonik dan masih berlangsung hingga
kini.
11. Obyek dan furnitur lanskap
Proses Transformasi Aktifitas ke dalam Bentuk Spasial
Salah satu cara mengidentifikasi urban cultural landscape pada suatu kawasan adalah
dengan melihat secara spasial suatu ruang wadah aktifitas yang berwujud tiga dimensi,
melibatkan tempat dan waktu. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan The Free
Dictionary, spasial merupakan hal yang bersifat memiliki atau berkenaan atau
berhubungan dengan ruang (space) atau tempat (place). Adapun space merupakan hasil
imaginasi dan pikiran manusia, yang diketahui dan dirasakan dengan menghubung-
hubungkan benda-benda nyata yang ada di sekitar lokasi pengamatan ke dalam imajinasi
seseorang (Lefebvre, 1998; Arisaka, 1995; Tuan, 2008). Selanjutnya ditambahkan oleh
10
Arisaka (1995) melalui makalahnya mengenai „teori space dari Heidegger‟, bahwa aktifitas
dan waktu juga menjadi faktor penting dalam mengimajinasikan suatu space.
Berbeda dengan Arisaka, Tuan (2008) mengatakan bahwa ruang imajinasi terbentuk justru
berdasarkan pengetahuan yang didapat dari kebiasaan yang dilakukannya sehari-hari
(berhubungan dengan pengalaman manusia). Hal senada juga disampaikan oleh Hayden
(1995), bahwa proses merasakan ruang (space) terjadi karena adanya hubungan sosial, di
mana aktifitas berupa interaksi manusia dengan sesamanya dapat menciptakan space.
Sebagai contoh, aktifitas parade dan festival menciptakan rute yang kemudian membentuk
ruang imajinasi, yang berpotensi membentuk identitas kawasan. Untuk itu dapat dilihat
bahwa ruang (space), fungsi (yang menampung aktifitas), dan waktu merupakan
komponen yang saling terkait. Suatu ruang dapat dirasakan apabila pengguna melakukan
aktifitas di dalamnya pada suatu waktu tertentu. Untuk itu menurut Tuan (2008) proses
pembentukan ruang disebabkan oleh (1) pengetahuan mitologi dan kosmologi seseorang
atau suatu komunitas; pengalaman seseorang; (2) kebiasaan dan aktifitas yang dilakukan
sehari-hari oleh seorang individu dan komunitasnya; (3) mitos, di mana space merupakan
fuzzy area (ruang yang tidak jelas), batasan ruang dibangun atas pengetahuan yang
pragmatis. Space mitos (mythical space) ini merupakan komponen dari world view dan
kosmologi pada suatu masyarakat yang dapat ditransformasikan ke dalam wujud fisik
(nyata), seperti bangunan arsitektur, kuil, rumah, dan juga suatu kota.
Lefebvre (1998) mengatakan bahwa kondisi merasakan space dapat dibedakan berdasarkan
pembentukannya oleh (1) architectural space, yaitu ruang sosial yang terbentuk karena
pengalaman seseorang; (2) space of architects, manipulasi space yang terbentuk akibat
praktik arsitek, umumnya space ini sebagai wacana.
Masjid sebagai Sebuah Place
Place dibentuk oleh hubungan antara rona fisik lingkungan, aktivitas individu maupun
kelompok, serta makna yang terbentuknya. Berbagai istilah seperti: „PlaceAttachment‟,
„PlaceIdentity‟ dan „Sense ofPlace‟ merupakan konsep-konsep yang memperlihatkan
hubungan manusia dengan tempat dan lingkungannya. Konsep sense ofplace digunakan
untuk mempelajari ikatan antara manusia dan tempat, kedekatan emosional, serta
maknanya. Sense of Place juga digunakan untuk memberikan kesan utuh secara umum
11
yang menunjukkan perasaan seseorang melalui indera, menyusun konsep serta menilai
lingkungannya (Altman, 1992).
Place seperti yang digambarkan oleh Canter tidak dapat diakui secara penuh sampai kita
mengetahui perilaku yang terkait dengan tempat itu, parameterfisikdari rona
lingkungannya, serta deskripsiatau konsepsi pengguna mengenai lingkungan fisiknya
(Canter, 1977). Mengamati perbedaan perilaku manusia dan konsep tempat memungkinkan
munculnya pemahaman tersembunyi mengenai makna tempat tersebut. Place juga dapat
dilihat sebagai wadah manusia untuk mengeksplorasikan kepentingan, perhatian, pengaruh,
perhatian, perubahan, dan kenikmatan. Place juga diyakini dapat membangkitkan emosi
orang,suasana hati,tanggapan, kendala, prestasi, kelangsungan hidup, dan
kesenangan(Steele, 1981).
Keterikatan emosional seseorang pada akhirnya akan membangun sense of place.
Seseorang akan membangun sense of place melalui cara yang berbeda tergantung dari rona
fisik dan karakter ruang (Schulz, 1980). Sense of place dapatdiciptakan olehrona
lingkungan yang menstimulasi seseorang(Steele, 1981). Reaksi sense of place merupakan
gabungan antara atribut rona lingkungan dan karakteristik personal. Pengalaman khusus
seseorang dalam suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi seseorang dalam menilai
pengalaman ruang yang baru dialaminya.
Masyarakat muslim sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia pun tidak ketinggalan
dalam menyemarakkan peradaban dengan arsitektur yang mencerminkan worldview dan
nilai-nilai Islam sepanjang sejarah perkembangan dan perjalanannya di muka bumi ini.
Dalam Islam, arsitektur merupakan bagian dari karya seni yang tidak pernah lepas dari
keindahan yang merujuk pada kebesaran Allah sebagai Sang Maha Pencipta. Dimensi
ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan, serta
aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama mahluk, termasuk di dalamnya
persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Pada akhirnya pedoman
yang dijadikan pegangan bagi umat Islam adalah Al Quran beserta hadistnya.
Masjid sebagai sebuah tempat dengan rona lingkungan tertentu, dengan beragam
pengguna di dalamnya serta kehidupan yang boleh dikatakan memiliki proses beradaptasi,
berorganisasi, bersosialisasi dan sebagainya, diyakini akan mampu membangun image bagi
siapapun penggunanya (usia, gender, etnis, pekerjaan, strata social, ekonomi dan
12
sebagainya) yang mampu membangun keterikatan dengan tempat. Masjid sebagai sebuah
place, lengkap dengan interaksi manusianya, tentunya dapat dimaknai oleh penggunanya.
Kesadaran pengguna terhadap ajaran-ajaran Islam berdasarkan ajaran Al Quran dan
hadistnya pastinya juga akan turut mewarnai bagaimana masjid dan lingkungan sekitarnya
saling berinteraksi. Pengaruh ritual dan kegiatan yang ditampung di dalamnya tentu juga
akan mempengaruhi kota Cirebon itu sendiri.
Studi Pendahuluan yang Telah Dilaksanakan
PENELITI I
Sejarah Arsitektur Sejarah Masjid Kampus
Perilaku Lingkungan Makna Masjid bagi Pengguna
Fleksibilitas Masjid Kampus di
Indonesia
Place Making Masjid Kampus
Efek Ornamen dan Ruang
Interior pada Masjid
Makna Spiritual Masjid
Teritori dan Masjid dan
Pengembangannya
PENELITI II
Sejarah Arsitektur Sejarah dan Budaya yang
Terbentuk di Kota Cirebon
Arsitektur Lanskap Pengaruh Keraton Pada Lanskap
Budaya Kota Cirebon
Hasil yang Sudah Dicapai
Hasil yang didapatkan sebelumnya bahwa, masjid mampu menjadi identitas kawasan yang
membedakannya dengan kawasan lain, bahkan masjid yang memiliki konteks sejarah yang
kuat, „identitas dan sense of place’ ikut muncul dalam diri seseorang (Dewiyanti &
Kusuma, 2012).Identitas adalahbentuk sederhana dariakal dansejauh manaseseorang
dapatmengenaliatau mengingattempatsebagaiberbedadari tempat lain, dengan kata lain,
tempat yang unikakan memiliki karakter yang membedakannya dengan tempat lain. Hal ini
sejalan dengan munculnya rasa “self-efficacy” yang didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk berfungsi secara tepat dalam lingkungan fisik dan situasi sosial tertentu
yang dihubungkan dengan kebutuhan manusia untuk mengendalikan lingkungan.
MODEL
PENGEMBANGAN
LANSKAP
BUDAYA
BERDASARKAN
WISATA RELIJI
BAGI CIREBON
13
Selanjutnya hasil dari rasa membedakan tersebut akan memberikan efek ”distinctiveness”,
yaitu keinginan untuk memelihara keberbedaan dari yang lain. Distinctiveness
berhubungan dengan persepsi positif terhadap keunikan suatu tempat, dan pemanfaatan
tempat yang berbeda dengan orang lain pada kawasan lain (Ross & Uzzel, 1996). Identitas
dengan teritori tertentu menyebabkan pengidentifikasian seseorang dengan orang-orang
lain yang hidup dalam ruang tersebut. Identitas juga mensyaratkan adanya kebutuhan untuk
keberlanjutan (prinsip continuity) dalam konteks waktu dan situasi. Bentuk kontinuitas
dalam hubungan dengan lingkungan, yaitu:
a. the ”place-referent continuity”, yaitu apabila tempat (place) bertindak sebagai acuan
masa lalu dan tindakan sehingga menghasilkan hubungan antara identitas masa lalu
dengan identitas masa kini.
b. the ”place-congruent continuity”, yaitu ketidakserasian antara lingkungan dan
keinginan serta nilai-nilai masyarakat setempat.
Adapun hasil mengenai lanskap budaya yang telah didapat sebelumnya yaitu, lanskap
budaya pada kawasan perkotaan terbentuk karena adanya kepercayaan yang dibentuk dari
pemahaman yang dipercaya secara turun-temurun oleh masyarakatnya. Kepercayaan ini
kemudian menjadi panduan untuk mewujudkan hal yang bersifat fisik dan nonfisik, yang
disebut sebagai elemen lanskap budaya (Rosmalia & Martokusumo, 2012). Elemen
lanskap budaya ini memiliki peran penting, karena secara signifikan dapat membangun
spirit dan membentuk karakter kawasan tersebut. Hal serupa disampaikan oleh O'Donnell
(2008), bahwa elemen fisik dan nonfisik pada suatu kawasan kota yang merupakan lanskap
budaya maka ia mengandung „spirit of space‟. Untuk kasus Kota Cirebon elemen lanskap
budayanya sebagai berikut:
a. elemen fisik berupa, keraton-keraton (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan
Kaprabonan), masjid-masjid (Sang Cipta Rasa, Panjunan, Jagasatru, dsb), Taman Gua
Sunyaragi, jalan raya, pelabuhan, sungai, dan lainnya,
b. elemen non fisiknya berupa, tradisi Muludan, Grebeg Syawal, Kliwonan, Nadran
(sedekah laut), seni wayang, seni batik, seni tari, dan sebagainya.
Keberadaan elemen lanskap budaya pada suatu kawasan perkotaan memiliki daya tarik
yang membuat seorang atau banyak pengunjung untuk datang dan melihat. Ketertarikan
pengunjung ini oleh Greffe (2009) disebut „flaneur‟, yaitu pengunjung yang datang tidak
hanya mendapatkan pengetahuan dari apa yang dilihatnya, tetapi juga dari keterlibatannya
14
dalam aktifitas di kawasan tersebut seperti ritual tradisi. Dari ini kemudian suatu lanskap
budaya yang memiliki daya tarik tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan
wisata.
Peta Jalan Penelitian
Gambar II-4 Peta Jalan Penelitian.
Place
Attachment
Lanskap
Budaya
Morfologi
Kota
Desain
berdasar
Tipologi
MODEL
PENGEMBANG-
AN LANSKAP
BUDAYA
BERDASARKAN
WISATA RELIJI
BAGI CIREBON
Universalis-
me Arsitektur
Arsitektur
Kontekstual
Pencampuran
Budaya
Arsitektur
Relijius
Arsitektur
Modern
Budaya Lokal
dan
Vernakular
Transformasi
dan
Akulturasi
Sejarah
Arsitektur
Arsitektur
dan Perilaku
Lingkungan Arsitektur
Lanskap
Arsitektur
Kota
Desain
Evakuasi dan
Mitigasi
Bencana
Manajemen
Konstruksi
Pasif Desain
Pembangunan
partisipasi
Rumah Susun
Kampung
Kota
Penelitian
Keilmuan di
FTIK
UNIKOM
Penelitian
Keilmuan
Kelompok
Riset
Pembangunan
Berkelanjutan
VISI
DAN MISI
UNIKOM
Sejarah dan
Teori Kritik
Budaya dan
Tradisi
Permukiman
Permukiman
berkelanjutan
Teknologi
Bangunan
Teknologi,
Struktur dan
Metode
Perancangan
Arsitektur
Konsep
Berkelanjutan
15
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian:
Mengidentifikasi pengaruh masjid-masjid yang ada di Cirebon terhadap aktifitas dan
perkembangan Cirebon.
Mengetahui bagaimana aktifitas dan makna sebagai suatu elemen tak teraga mampu
membentuk wujud fisik dan ruang (spasial) di Kota Cirebon .
Menilai seberapa besar pengaruh masjid terhadap morfologi kota dalam membentuk
lanskapbudayaCirebon.
Manfaat Penelitian:
Hasil penelitian diharapkan akan menjadi masukan bagi pemerintah dan perancang dalam
merencanakan kota berbasis pemetaan lanskap budaya bagi pengembangan pariwisata di
Indonesia, dan Cirebon pada khususnya.
16
BAB IV. METODE PENELITIAN
Kerangka Berpikir
Gambar IV-1. Kerangka Pikir
EMOTIONAL
FEELINGS
17
Tahapan Penelitian
Gambar IV-2. Tahapan Berpikir
18
Populasi dan Sampel
Populasi dalam metode penelitian digunakan untuk menyebutkan serumpun atau
sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karenanya populasi penelitian
merupakan keseluruhan (universum) dari objek penelitian yang berupa manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup dan lain sebagainya sehingga
objek ini dapat menjadi sumber data penelitian. Populasi dilihat dari sumber data maka
populasi dapat dibedakan dalam populasi terbatas dan populasi tak hingga. Populasi
terbatas yaitu populasi yang jelas batas-batasnya secara kuantitatif sedangkan populasi tak
hingga yaitu populasi yang memiliki sumber data yang tidak dapat ditentukan batas-
batasnya secara kuantitatif. (Bungin M B, 2006). Pada penelitian ini yang menjadi objek
penelitiannya adalah pengguna masjid-masjid Cirebon yang dipilih secara random (acak)
dan memenuhi kriteria sebagai pengguna ruang.
Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui proses pengamatan, wawancara mendalam dan kemudian
dilanjutkan dengan penyebaran kuesioner tertutup terhadap responden. Responden
ditentukan secara acak dalam setiap kategori pengguna ruang masjidnya dengan
penyusunan pertanyaan kuesioner yang disesuaikan. Hal ini dilakukan karena diasumsikan
pemahaman mereka terhadap kalimat-kalimat yang digunakan dalam kuesioner tersebut
sangat beragam. Operasional variabel dari kuesioner tersebut menggunakan kriteria –
kriteria yang sudah dipelajari sebelumnya dalam tinjauan pustaka. Kuesioner yang sudah
disebarkan tersebut akan diuji validitas dan reliabilitasnya untuk memenuhi kriteria layak
sebagai kuesioner penelitian. Selain penyebaran kuestioner, juga akan dilakukan pemetaan
spasial terhadap ruang kota yang dilalui responden untuk mengetahui tingkat aksesibilitas,
dan penggunaan ruang kota tersebut menurut standar/konsep dan panduan desain.
Metode Pengolahan Data
Data yang didapat selanjutnya akan dilakukan:
Mencatat yang dibuat berupa catatan lapangan/buku harian dan rekaman, diberi kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri
Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat
ikhtisar dan membuat indeksnya
19
Membuat kategori data yang mempunyai makna, mencari dan menemukan pola,
hubungan-hubungan dan temuan-temuan umum
Kuesioner yang sudah disebarkan dalam proses pengumpulan data kemudian
dikelompokan berdasarkan kategori penggunanya dan dibuat rekapitulasi dalam bentuk
tabel untuk mempermudah pengolahan data dengan menggunaka software dengan tahapan
pengolahan data kuesioner tersebut adalah :
1. Uji validitas dan reliabilitas jawaban kuesioner keseluruhan
2. Uji validitas dan reliabilitas jawaban kuesioner berdasarkan kategori
3. Uji distribusi
4. Menghitung statistik deskriptif
5. Menghitung korelasi variabel penelitian
6. Analisis hasil
Selain melakukan pengolahan data kuesioner juga melakukan perbandingan data survei
ruang kota berdasarkan kategori tipologinya.
Metode Analisis
Pada analisis data kualitatif, kata-kata dibangun dari hasil wawancara dan diskusi
kelompok terfokus terhadap data yang dibutuhkan untuk dideskripsikan dan dirangkum.
Metode analisis data kualitatif mengikuti metode Stevick-Colaizzi-Keen (proses 4
langkah). Selanjutnya analisis deskriptif naratif yang didapatkan akan dibandingkan
dengan data empirik serta survei dengan studi lanskap budaya Cirebon yang akan
dilakukan di tahun kedua.
20
BAB V. HASIL YANG DICAPAI
Elemen Fisik
Masjid di Cirebon dan Sekitarnya
Tabel V-1. Daftar Masjid yang menjadi Tujuan Wisata Religi
No Nama Masjid Lokasi Dibangun
tahun Foto
1 Masjid
Jagabayan
Jalan
Karanggetas,
Kelurahan
panjunan,
Kecamatan
Lemah
Wungkuk,
Kota Cirebon
Sekitar abad
ke-15
2 Masjid Agung
Kanoman
Kompleks
Kraton
Kanoman,
Kelurahan
Pekalipan,
Kecamatan
Lemah
Wungkuk Kota
Cirebon
tahun 1679
Masehi
4 Masjid At
Taqwa
Jalan Kartini,
Kelurahan
Kejaksaan,
Kecamatan
Kejaksaan,
Kota Cirebon
Tahun 1918
M
Tahun 1951
di renovasi
Tahun1963
diresmikan
sebagai
masjid
5 Masjid Gamel/
Nurul Karomah
Jalan Sekh
Datu Kahfi,
Blok Kauman,
Kelurahan
Gamel,
Kecamatan
Weru,
Kabupaten
Cirebon.
Sekitar abad
ke-17.
Rehabilitasi
I
Tahun 1995-
1996
Rehabilitasi
I
Tahun 1996-
1997
21
6 Masjid Gunung
Sembung/ Sang
Saka Ratu/ Dog
Jumeneng
Kompleks
Astana
Gunung
Sembung
Desa Astana,
Kecamatan
Cirebon Utara,
Kabupaten
Cirebon
Sekitar abad
ke-15
7 Masjid
Kaliwulu
Desa
Kaliwulu,
Kecamatan
Weru,
Kabupaten
Cirebon
Sebelum
direhabilitasi
tahun 1826
Masehi.
8 Masjid Megu
Gede/ Kramat
Ki Megu Gede
Desa Megu
Gede,
Kecamatan
Weru,
Kabupaten
Cirebo
sekitar abad
ke-14/15
9 Masjid Merah
Panjunan/Abang
Kelurahan
Panjunan,
Kecamatan
Lemah
Wungkuk,
Kota Cirebon
tahun 1480
Masehi
10 Masjid
Pejaglarahan
Kampung Sitti
Mulya,
Kelurahan
kasepuhan,
Kecamatan
Lemah
Wungkuk,
Kota Cirebon
tahun 1450
Masehi
11 Masjid
Pesalakan
Kelurahan
Pesalakan,
Kecamatan
Sumber,
Kabupaten
Cirebon
22
12 Masjid Sang
Cipta Rasa
Jalan Keraton
Kasepuhan,
Kelurahan
Kasepuhan,
Kecamatan
Lemah
Wungkuk,
Kota Cirebon
tahun 1480
Masehi
13 Masjid Trusmi Kampung
Dalem,
Kelurahan
Trusmi Wetan,
Kecamatan
Weru,
Kabupaten
Cirebon
tahun 1481
M
14 Masjid Kramat
Depok/ Al-
Karomah
Desa Depok,
Kecamatan
Depok,
Kabupaten
Cirebon
15 Masjid Buntet
Kompleks
Buntet
Pesantren,
Kecamatan
Mertapada
Kulon,
Kabupaten
Cirebon
Sekitar
tahun 1758
M
Sejarah Masjid-Masjid di Cirebon
Pada pada kejayaan Kerajaan Cerbon, yaitu abad ke-15 hingga abad ke-18, Cirebon
dikenal sebagai pusat penyebaran dan perkembangan agama Islam terutama untuk wilayah
Jawa Barat dan sekitarnya. Oleh sebab itu pada wilayah ini banyak terdapat masjid- masjid
yang berusia lebih dari 5 (lima) abad, dan beberapa masjid tersebut bahkan ada yang
berdiri sebelum adanya kerajaan Cirebon. Masjid-masjid tua tersebut berjumlah lebih dari
13 masjid, yang sejarah berdirinya seperti diungkapkan dibawah ini:
1. Masjid Jagabayan,
Masjid ini terletak di Kota Cirebon, tepatnya di Jalan Karanggetas, Kelurahan panjunan,
Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Masjid ini berukuran 8,5 x 6 meter
23
persegi (Nugroho, 20121). Posisi masjid berada diantara pertokoan, jalan raya, dan
pemukiman.
Pada awalnya masjid Jagabayan ini merupakan pos jaga, yang berfungsi sebagi tempat
pelaporan setiap pengunjung akan masuk ke area Kraton. Pada sekitar pos dibangun
langgar dan sumur. Pos jaga ini didirikan pada sekitar 600 tahun yang lalu, yaitu pada
masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah, Raja I Kerajaan Cerbon. Selnjutnya pada
tahun 1972, langgar Jagabayan ini diresmikan menjadi masjid oleh Pemerintah Kota
Cirebon.
Kata Jagabayan itu sendiri berasal dari nama Pangeran Jagabayan, utusan Pabu Siliwangi
dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran, yang kemudian menetap di Cirebon (Nugroho, 20122).
Dilain pihak Jagabayan memiliki arti „jaga bahaya‟, yaitu menjaga tamu yang akan masuk
ke wilayah Kraton.
2. Masjid (Langgar) Kraton Kanoman
Masjid ini merupakan bagian dari kompleks Kraton Kanoman, yang terletak di Kelurahan
Pekalipan, Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon, tepatnya di sebelah timur kompleks
Keraton. Adapun masjid ini didirikan pada tahun 1930 oleh Sultan Zurkanain dan Sultan
Nurbuat atas prakasa Belanda.
Masjid Kraton Kanoman ini hampir berbentuk bujur sangkar, yaitu 6 x 8 meter persegi.
Selain sebagai tempat ibadah, pada waktu aritual Maulid Nabi, masjid ini sebagai tempat
upacara pencucian benda-benda pusaka Kraton Kanoman, dan upacara Panjang Jimat.
3. Masjid Agung Kanoman
Masjid ini terletak di luar kompleks Kraton Kanoman, tepatnya di sebelah timur alun-alun,
yang berlokasi di Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Lemah Wungkuk Kota Cirebon.
Masjid ini dibangun pada tahun 1679 Masehi, tidak lama setelahKraton Kanoman didirikan
oleh Sultan Kanoman I atau Pangeran Badridin atau Pangeran Kertawijaya. Adapun luas
masjid ini sekitar 1000 meter persegi
1Nugroho, YA. 2012. Mustaka pada Bangunan Islam Kuno di Cirebon. Depok: Program Studi Arkeologi,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (skripsi)
2Nugroho, YA. 2012. Mustaka pada Bangunan Islam Kuno di Cirebon. Depok: Program Studi Arkeologi,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (skripsi)
24
4. Masjid At-Taqwa
Pada awalnya Masjid At-Taqwa berupa tajug agung atau mushalla yang didirikan pada
tahun 1918 Masehi oleh pemerintah Belanda di Jalan Kartini, Kelurahan Kejaksaan,
Kecamatan Kejaksaan, Kota Cirebon. Selanjutnya pada tahun 1951 atas prakarsa RM.
Arhtha, Kepala Koordinator Urusan Agama Kota Cirebon direnovasi untuk memperbaiki
arah kiblatnya yang dianggap kurang tepat. Pada tahun 1963 tajug agung ini resmi bernama
Masjid At Taqwa. Keseluruhan lahan kompleks masjid ini berukuran 8000 meter persegi
dengan bangunan masjid seluas 5000 meter persegi yang dapat menampung 20.000
jamaah.
5. Masjid Gamel
(sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/03/masjid-tua-gamel-cirebon-
426991.html)
Masjid Gamel atau Masjid Sir Budi Rasa, atau disebut juga Masjid Nurul Karomah terletak
di Jalan Sekh Datu Kahfi, Blok Kauman, Kelurahan Gamel, Kecamatan Weru, Kabupaten
Cirebon. Posisi masjid berada di tengah pemukiman penduduk yang berbatasan dengan
Kali Cikananga. Berdasarkan inskripsi huruf palawa pada tiangnya, Masjid Gamel
didirikan pada abad ke-17 Masehi oleh Ki Buyut Gamel. Bangunan asli Masjid Gamel
berukuran 9 x 9 meter persegi. Pada tahun 1960 luas bangunan bertambah di bagian
serambi. Selanjutnya masjid ini telah direhabilitasi sebanyak dua kali yaitu pada tahun
1995-1996 oleh Suaka peninggalan Sejarah dan Purbakala Wilayah Propinsi Jawa Barat,
DKI Jakarta, dan Lampung, sedangkan pada tahun 1996-1997 oleh masyarakat setempat.
Sejarah masjid ini lebih dikenal dengan sebutan Masjid Gamel karen terletak di Desa
Gamel. Pada awalnya desa ini merupakan wilayah yang bernama Kedokan, kemudian
berubah menjadi Desa Maja, dan selanjutnya berubah menjadi Desa Gamel setelah Ki
Suradinata, utusan Sultan Kanoman, membawa hadiah gamelan dari Sultan Mataram III ke
desanya. Keunikan gamelan ini karena cara membawanya dengan cara ditusuk dan dipikul
menggunakan batang padidian (sejenis kayu untuk memancing).
6. Masjid Sang Saka Ratu / Dog Jumeneng (Gunung Sembung)
Masjid ini merupakan bagian dari kompleks Astana Gunung Sembung, kompleks makam
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan GunungJati beserta turunannya. Terletak di Desa
25
Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Masjid ini didirikan tidak lama
setelah Astana gunungjati dibangun, yaitu sekitar abad ke-15 (Tahun 1470 Masehi).
Nama Dog jumeneng berasal adari dog yang memiliki arti „anteng‟ (bahasa Jawa) atau
„tenang‟, sedangkan jumeneng berarti „menjadi diri sendiri dengan kesejatian insani‟,
sehingga dog jumeneng mengandung makna dalam memperoleh keagungan tertinggi
dilakukan oleh diri sendiri dengan jiwa yang tenang dan istiqomah.
7. Masjid Kaliwulu
Masjid Kaliwulu terletak pada Desa Kaliwulu, Kecamatan Weru, Kabupaten
Cirebon pada lahan seluas 350 meter persegi. Tahun berdirinya masjid ini tidak diketahui
secara jelas, akan tetapi berdasarkan inkripsi yang tertatah di bagian atas pintu masuk
masjid, diketahui bahwa masjid ini pernah diperbaiki pada tahun 1227 Hijriah atau 1826
Masehi, sehingga dapat diprediksi bahwa masjid ini telah berdiri lebih dari 188 tahun.
Berdasarkan cerita legenda pertama kali masjid ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati, yaitu
pada perjalanannya menuju Galuh. Saat itu telah masuk waktu shalat sehingga Sunan
berhenti di tepi sungai untuk berwudhu dan menunaikan shalat. Selanjutnya tempat dimana
Sunan berhenti dibangun masjid, dan kemudian sekitar masjid berkembang menjadi Desa
Kaliwulu. Adapun asal kata Kaliwulu berasal dari „kali’ dan „wulu’ atau wudhu‟.
8. Masjid Megu Gede
Masjid Megu Gede yang biasa disebut juga masjid Kramat Ki Megu Gede berada di Desa
Megu Gede, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Bangunan masjid ini didirikan pada
sekitar abad ke-14/15 oleh Ki Buyut Atas Angin, panglima perang Kerajaan Pajajaran. Ki
Buyut Atas Angin ini menetap di daerah Megu setelah kalah saat tanding dengan Pangeran
Cakrabuana, dan memeluk Agama Islam (Nugroho, 2012).
Posisi Kompleks masjid ini berada ditengah-tengah pemukiman penduduk, dengan ukuran
40 x 28 meter persegi. Kompleks ini terdiri dari beberapa bangunan, yang semuanya
berfungsi menunjang kegiatan masjid.
9. Masjid Merah Panjunan
Masjid Merah Panjunan atau dikenal juga dengan sebutan Masjid abang berada di
Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya Cirebon. Posisi masjid
berada ditengah pemukiman penduduk, dan tidak jauh dari Kraton Kasepuhan dan Kraton
26
Kanoman. Luas masjid ini berukuran 80 x 125 meter persegi, dengan ruang utama seluas 7
x 10 meter persegi.
Pada awal masjid ini berupa tajug atau mushala yang bernama Al-Athya. Mushala ini
didirikan pada tahun 1480 Masehi oleh Syarif Abdurahman atau Pangeran Panjunan
Pangeran Panjunan, seorang pemimpin rombongan Arab yang datang ke Cirebon, dan
kemudian berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Mushalla ini
berfungsi sebagai tempat bertemunya pada pedagang dari berbagai suku banngsa. Melihat
perkembangan tersebut, maka pada tahun 1549 Masehi mushalla diperluas menjadi masjid
oleh Panembahan Ratu (Raja II Kerajaan Cerbon). Pembangunan masjid menggunakan
gaya arsitektur Hindu-Budha, dengan pagar keliling berupa tumpukan bata merah
(tembikar atau jun) yang diekspos. Oleh sebab itu masjid ini kemudian lebih dikenal
sebagai masjid merah Panjunan
10. Masjid Pejlagrahan
Masjid Pejlagrahan merupakan masjid pertama yang didirikan di Kota Cirebon, letaknya di
Kampung Sitti Mulya, Kelurahan kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kotamadya
Cirebon. Posisi masjid berada di tengah pemukiman magersari Kraton Kasepuhan. Tidak
diketahui dengan pasti kapan Masjid ini didirikan, akan tetapi berdasarkan cerita legenda,
masjid ini didirikan tidak lama setelah Kraton Pakungwati dibangun pada tahun 1450
Masehi. Masjid ini berukuran 5,25 x 6,80 meter persegi..
Awalnya masjid ini sebagai tempat pertemuan dan musyawarah para alim ulama dan tokoh
Agama Islam pada saat itu, sebelum mereka membangun Masjid Sang Cipta Rasa. Letak
masjid pada awalnya berada diatas air, sehingga disebut sebagai bangunan di atas air (jala-
graha yang artinya rumah di atas laut).
11. Masjid Pesalakan
Masjid ini terletak di Kelurahan Pesalakan, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon. Posisi
masjid ini berada di tengah-tengah pemukiman warga desa. Waktu pembangunan masjid
tidak diketahui, konon masjid ini dibangun sebelum Masjid Sang Cipta Rasa oleh Habib
Syarif Abdurahman al-Usmani atau Habib Usman al Usmani.
Berdasarkan legenda, pada awalnya masjid ini terletak di sebelah timur sungai yang
membentang desa Pesalakan, tepatnya disebelah timur „Balong Kramat‟ yang berfungsi
27
sebagai tempat wudhu‟, akan tetapi setelah dipertimbangkan bahwa bahwa balong tersebut
juga sebagai tempat buang hajat, kemudian masjid dipindahkan menjauh dari balong.
12. Masjid Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun oleh pada wali pada tahun 1480 Masehi. Adapun
arsitek masjid ini yaitu Sunan Kalijaga dan Raden Sepat dari Majapahit. Saat
pembangunannya masjid ini melibatkan sekitar 500 orang.
Lokasi masjid berada jalan Keraton Kasepuhan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah
Wungkuk, Kotamadya Cirebon. tepatnya sebelah barat alun-alun, di depan Kraton
Kasepuhan. Nama masjid ini terdiri dari kata „sang‟ yang berartikan keagungan, „cipta‟
yang artinya dibangun, dan „rasa‟ yang artinya digunakan.
Total luas Kompleks Masjid Sang Cipta Rasa berukuran 25 x 25 meter persegi, terdiri dari
bangunan utama dan serambi yang mengelilingi bangunan aslinya. Bangunan masjid itu
sendiri telah mengalami beberapa penambahan dan renovasi, yaitu pada tahun 1936-1937,
1957, 1965-1967, 1976-1978, dan terakhir tahun 19913
13. Masjid Trusmi
Masjid trusmi merupakan bagian bangunan Kompleks Ki Buyut trusmi, terletak di
Kampung Dalem, Kelurahan Trusmi Wetan, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon.
Adapun luas bangunan masjid itu sendiri yaitu 12 x 7 meter persegi. Kompleks Masjid ini
berada di tengah-tengah pemukiman penduduk. Pada kompleks masjid ini terdapat
pemakaman, sumur dan balong, yang oleh masyarakat setempat dikramatkan.
Masjid ini didirikan pada tahun 1481 M oleh Pangeran Cakrabuwana (Ki Buyut Trusmi),
anak pertama Prabu Siliwangi, yang menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Cirebon
pada saat itu. Trusmi itu sendiri berasal dari istilah „terus bersemi‟. Istilah ini muncul
konon berdasarkan cerita legenda, yaitu berdasarkan kejadian dimana setiap tanaman yang
dirusak oleh Bung Cikal secara otomatis akan tumbuh kembali. Bung Cikal atau Pangeran
Manggarajati adalah anak dari Pangeran Carbon Girang, yang kemudian diangkat anak
oleh Syekh Syarif Hidayatullah.
3Sudjana, TD. 2003. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Muatan Mistiknya. Bandung: Humaniora Utama
Press.
28
14. Masjid Kramat Depok
Masjid Al-Karomah yang lebih dikenal dengan nama Masjid Kramat Depok, berada di
Desa Depok, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Dipercaya bahwa masjid ini
memiliki karomah, karena letak mihrabnya yang menjorok ke arah sungai tidak rubuh
walaupun terkena terpaan aliran air saat meluap atau banjir. Masjid ini dibangun pada awal
abad ke-15 Masehi oleh para ulama sebelum Sunan Gunungjati.
15.Masjid Buntet
Masjid ini ini didirikan pada sekitar tahun 1758 M oleh Mbah Muqoyyim, turunan
keluarga Kesultanan Kasepuhan. Lokasi masjid terletak di Jalan Buntet Pesantren,
Kecamatan Mertapada Kulon, Kabupaten Cirebon.
Pada awalnya bangunan masjid hanya berukuran 8 x 12 meter persegi. Bangunan masjid
ini seusia dengan masjid Kanoman, sehingga bentuk masjid memiliki kemiripan.
Kondisi Kota Cirebon
Cirebon merupakan Daerah Pengembangan Wilayah III Jawa Barat, yang meliputi:
Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan
(Ciayumajakuning) . Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, adalah Eks-Karesidenan
Cirebon yang merupakan bagian paling timur dari wilayah Provinsi Jawa Barat di
Indonesia. Pada awalnya, wilayah ini termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan
Cireboni, akan tetapi setalah pemerintah kolonial Belanda masuk dibawah pimpinan
Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808 M), wilayah ini menjadi salah satu wilayah
administrasi yang berbentuk Prefectur. Kemudian pada tahun 1809, istilah Prefectur
diganti menjadi Landdrostambten, dimana Ciayumajakuning pada masa itu termasuk
dalam Landdrostambt der Cheribonche Preanger - Regentschappen yang terdiri dari
Kesultanan Cirebon, Limbangan, Sukapura, dan Galuh. Pada masa ini kedudukan Bupati
dan Sultan Cirebon berada dibawah pengawasan Landdsrostii. Selanjutnya pada masa
pemerintahan Raffles (1811 M) istilah Landdrostambten berganti lagi menjadi Residen.
Selanjutnya pada tahun 1922, Karesidenan Cirebon dibagi atas 2 (dua) Afdelingiii, 4
(empat) Kabupaten, 20 Distrik, dan 1206 Desa. Di masa kekuasaan kolonial Jepang, pada
tahun 1943 M, Karesidenan Cirebon menjadi Syuu Cirebon dibawah pimpinan Syutyokan.
Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1974, Karesidenan tidak lagi
menjadi daerah administrasi, dan residen hanya berfungsi sebagai penghubung antara
Gubernur dan Bupati/Walikota untuk urusan pertanahan, perangkat pemerintahan wilayah
29
dan desa, dan catatan sipil. Selanjutnya pada tahun 2007 terjadi reorganisasi Karesidenan
ini menjadi wilayah dibawah Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah
III Provinsi Jawa Barativ
Wilayah Cirebon terletak pada 108o33
‟ - 108
o48‟ BT dan 6°30‟– 7°00‟ LS. Luas
wilayahnya sebesar 1.108,41 km2 (Kota Cirebon 37.36 Km
2 dan Kabupaten Cirebon
1.071,05 km2), mencakup 45 Kecamatan dan 434 Kelurahan (Error! Reference source
not found.). Wilayah ini memiliki batas administrasi sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Indramayu.
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Brebes.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kuningan.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Majalengka
Gambar V-1. Posisi Wilayah Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon
Secara umum wilayah Cirebon terbagi dua bagian, yaitu kawasan utara hingga timur dan
kawasan selatan hingga barat. Kawasan utara hingga timur wilayah ini merupakan daerah
pantai dan dataran rendah, sedangkan kawasan selatan hingga barat merupakan dataran
tinggi pegunungan yang berbukit-bukit dengan puncaknya berupa kaki Gunung Ciremai
Peta Wilayah Kota Cirebon, Kabupaten
Cirebon, Indramayu, Majalengka &
30
(3084 m dpl). Adapun sebagian besar lahan Cirebon mengandung endapan vulkanis, untuk
itu sebagian besar wilayah ini digunakan sebagai lahan pertanianv.
Tabel V-2. Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa Wilayah Ciayumajakuning
Tahun 2012
No. Kabupaten/Kota Jumlah
Kecamatan
Jumlah Kelurahan &
Desa
1. Kota Cirebon 5 22
2. Kabupaten Cirebon 40 412
Jumlah 45 434
Sumber: Provinsi Jawa Baratvi
Tabel V-3. Kondisi Geografi dan Topografi Wilayah Ciayumajakuning
No. Kabupaten/Kota Luas
Wilayah
(Km²)
Ketinggian
mdpl
Kemiringan Lahan
(%)
1. Kota Cirebon 37,33 0-5 0-40 %
2. Kabupaten Cirebon 990,32 0-200 0-40 %
78,43 % luas wilayah:
kemiringan 0-3%
Sumber: Bappeda Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon (antara Tahun 2010 hingga Tahun 2013)
Wilayah Cirebon memiliki iklim yang cukup bervariasi, yaitu suhu terendah dan dan
kelembaban tertinggi di kawasan pegunungan, serta suhu tertinggi dengan kelembaban
terendah di kawasan pesisir. Curah hujan, curah hujan tertinggi ada di wilayah
pegunungan, dan curah Hujan terendah ada di wilayah pesisir, yaitu Kota Cirebon, dan
bagian utaraKabupaten Cirebon .
31
Tabel V-4. Kondisi Iklim Wilayah Ciayumajakuning
No. Kabupaten/Kota Suhu
Rata-rata
Kelembaban
Rata-rata
Curah
Hujan
mm/tahun
Jumlah
hari hujan
1. Kota Cirebon 22,3-33 ºC 48-93 % 1.351 155 hari/th
2. Kabupaten Cirebon 24-33 ºC 56,06 % 1500-4000
Sumber: Bappeda Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, (antara Tahun 2010 hingga Tahun 2013)
Pada Tahun 2011 jumlah penduduk wilayah Cirebon dapat dilihat pada Error! Reference
source not found., yang mana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
nelayan dan petani.
Tabel V-5. Kondisi Demografi Wilayah Ciayumajakuning.
No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk
(jiwa/km2)
1. Kota Cirebon 329.669 8831
2. Kabupaten Cirebon 2.388.562 2412
Sumber: Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III Provinsi Jawa Barat
(2009)vii
; Database SIAK Provinsi Jawa Barat Tahun 2011viii
32
Gambar V-2. Suasana Kraton Kasepuhan dan Kawasan Sekitarnya
Sumber: Rosmalia (2014)
Gambar V-3. Suasana Kraton Kanoman dan Kawasan Sekitarnya
Sumber: Rosmalia (2014)
33
Gambar V-4. Suasana Kraton Kacirebonan dan Kawasan Sekitarnya
Sumber: Rosmalia (2014)
Gambar V-5. Suasana Kraton Kaprabonan dan Kawasan Sekitarnya
Sumber: Rosmalia (2014)
34
Gambar V-6. Suasana Kota Cirebon (Stasiun Kejaksaan, Jalan Gunung Sahari,
Pelabuhan, Pesisir Cangkol, Sungai Kasunean, Siliwangi)
Sumber: Rosmalia (2014)
35
Sistem Sirkulasi
Jalan sirkulasi yang ada di Kota Cirebon, cukup menunjang sarana kota, tetapi memang,
kondisi pasar dan keramaian warga seringkali menghambat kelancaran sirkulasi.
Gambar V-7. Suasana Kabupaten Cirebon (sekitar kompleks pemakaman Talun,
Mertasinga, Sungai Bondet, Desa Cangkring)
Sumber: Rosmalia (2014)
36
Karakter Spasial Kota dan Kawasan Wisata
1. Karakter Jalan
Gambar V-8. Peta Jalan wilayah Cirebon dan sekitarnya
Gambar V-9. Suasana Kota Cirebon
Sumber: Rosmalia (2013)
Kondisi jalan di Kota dan sekitar Cirebon cukup baik. Lebar jalan di pusat kota, rata-rata
antara 12 sampai 18 meter, sedangkan jalan menuju masjid sekitar 4 hingga 6 meter. Pada
umumnya jalan-jalan tersebut dapat dilalui kendaraan dari dua arah. Kualitas jalan cukup
37
baik, sebagian besar (>70%) telah di aspal, tetapi beberapa ada juga yang menggunakan
benton. Kondisi jalan cukup terawat.
Gambar V-10. Jalan RA. Kartini di Kota Cirebon (Kiri); Jalan Kraton Kasepuhan
menuju Masjid Sang Cipta Rasa (Kanan)
Sumber: Rosmalia (2013)
Pada jalan-jalan tertentu, kondisi lalu lantas cukup padat, sehingga Dinas Perhubungan
baik di Kota Cirebon maupun di Kabupaten Cirebon memberlakukan kondisi lalu lintas
satu arah. Gambar dibawah ini menunjukan jalur satu arah disekitar Masjid Jagabayan.
38
Gambar V-11. Peta jalur satu arah di Kota Cirebon.
2. Kondisi Sungai
Hampir 90 persen sungai di Kota dan Kabupaten Cirebon sudah di atas ambang batas
kotor. Ketidakpedulian masyarakat memperparah kondisi sungai saat ini. Tingkat
kekotoran sungai tersebut bisa dilihat dari tumpukan sampah yang menumpuk di beberapa
titik sungai. Air yang tidak mengalir dan endapan lumpur yang tebal menyebabkan air
sungai tidak mengalir termasuk menimbulkan bau tidak sedap yang berasal dari sungai.
Kota Cirebon dikelilingi oleh sejumlah sungai. Salah satunya, Sungai Sukakalila yang
membelah Kota Cirebon.
Masjid Jagabayan
39
Gambar V-12. Peta posisi sungai
40
3. Pola Tata Letak
Gambar V-13. Peta Posisi Masjid di Cirebon
41
Masjid-masjid yang dikunjungi para wisatawan reliji ini tersebar di wilayah pesisir
Cirebon (Gambar 18). Pengaruh Cirebon sebagai bandar perdagangan, bagian dari jalur
sutra pada masa pembangunannya (abad ke-15-18), mempengaruhi tata letak masjid-
masjid ini. Para pengguna masjid pada masa itu pada umumnya merupakan pedagang yang
datang ke Cirebon melalui jalur laut.
Jarak antar masjid satu dengan lainnya tidak terlalu jauh, sekitar 1 hingga 2 km untuk yang
didalam Kota Cirebon, dan sekitar 5 hingga 30 km untuk masjid yang berada di Kabupaten
Cirebon. Dari letak masjid ini dapat disimpulkan bahwa masjid-masjid tersebut didirikan
disesuaikan dengan waktu perjalanan seseorang dari pesisir ka pedalaman, dimana pada
saat waktu shalat tiba mereka dapat shalat dan beristirahat di masjid tersebut.
Gambar V-14. Posisi Masjid-Masjid
Sumber: Hasil analisis (2014)
42
Pemanfaatan Lahan di Wilayah Cirebon
Gambar V-15. Peta Pemanfaatan Lahan di wilayah Cirebon
43
Elemen Non Fisik
Tabel V-6. Daftar Asal Pengunjung di Masjid
No Nama Masjid
Rata-Rata
Jumlah
Pengunjung/bulan
Rata-Rata Asal Pendatang
1. Masjid Jagabayan 200 Cirebon, Indramayu,
Majalengka Kuningan
2. Masjid Kanoman 100 Cirebon, Kuningan, Majalengka,
Indramayu, Jakarta, Bekasi,
Bogor
3. Masjid At Taqwa 200 Cirebon, Kuningan, Majalengka,
Indramayu
4. Masjid Gamel 50 Cirebon, Indramayu,
Majalengka Kuningan
5. Masjid Gunung Jati 1000 Cirebon, Kuningan, Indramayu,
Majalengka, Jabodetabek,
Bandung, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sumatra, Sulawesi
6. Masjid Kaliwulu 100 Cirebon, Bandung, Jakarta,
Subang
7. Masjid Megu 50 Cirebon, Indramayu,
Majalengka Kuningan
8. Masjid Merah Panjunan 100 Cirebon, Indramayu,
Majalengka Kuningan
9. Masjid Pejaglarahan 20 Cirebon
10. Masjid Pesalakan 100 Cirebon, Jakarta, Garut,
Sumatra, Jawa Timur, Jawa
Tengah
11. Masjid Sang Cipta Rasa 400 Cirebon, Majalengka, Kuningan,
Indramayu, Jakarta, Bandung,
Subang, Jawa Tegah, Jawa
Timur.
12. Masjid Trusmi 200 Cirebon, Indramayu,
Majalengka, Kuningan,
Karawang, Subang, Jakarta,
Bandung, Sumatra
44
Lama Kunjungan Wisatawan dan Biaya yang dikeluarkan
Tabel V-7. Lama Kunjungan dan Biaya yang dikeluarkan Wisatawan
No Nama Masjid Rata-Rata Jumlah Hari Rata-Rata Biaya
1. Masjid Jagabayan 1-2 20.000-50.000
2. Masjid Kanoman 1 50.000- 100.000
3. Masjid At Taqwa 1 < 50.000
4. Masjid Gamel 1 <50.000
5. Masjid Gunung Jati 1-30 200.000-500.000
6. Masjid Kaliwulu 1 < 50.000
7. Masjid Megu 1 < 50.000
8. Masjid Merah Panjunan 1 < 50.000
9. Masjid Pejaglarahan 1 < 100.000
10. Masjid Pesalakan 1-2 < 400.000
11. Masjid Sang Cipta Rasa 1-2 < 200.000
12. Masjid Trusmi 2-30 < 300.000
Waktu Ritual
Tabel V-8. Waktu dan Lama Ritual
No Nama Masjid Waktu/ Momen Ritual
Lamanya Waktu
Ibadah Tiap
Kedatangan
1. Masjid Jagabayan Sore, malam- kliwonan
(dzikir, tahlil, sodaqoh)
1-5 jam
2. Masjid Kanoman Sore, malam – kliwonan
ritual (dzikir, tahlil)
< 10 jam
3. Masjid At Taqwa Tiap waktu solat < 2 jam
4. Masjid Gamel Kliwonan < 2 jam
5. Masjid Gunung Jati Kliwonan, Muludan,
Syawalan
< 15 jam
6. Masjid Kaliwulu Kliwonan < 5 jam
7. Masjid Megu Kliwonan < 1 jam
8. Masjid Merah Panjunan Dini hari Kliwonan < 3 jam
9. Masjid Pejaglarahan Kliwonan < 2 jam
10. Masjid Pesalakan Kliwonan < 15 jam
11. Masjid Sang Cipta Rasa Kliwonan < 15 jam
12. Masjid Trusmi Kliwonan <15 jam
45
Kebutuhan Selama Ibadah
Tabel V-9. Sarana dan Prasarana Wisata yang dibutuhkan
No Nama Masjid Akomodasi Transportasi Logistik
1. Masjid Jagabayan Sepeda motor, mobil
2. Masjid Kanoman Menginap di
Masjid
Mobil, sepeda
motor, angkutan
umum
Membawa bekal
makanan
3. Masjid At Taqwa Mobil , sepeda
motor
4. Masjid Gamel Mobil, sepeda motor
5. Masjid Gunung
Jati
Menginap di
Masjid
Mobil, sepeda
motor, angkutan
umum, kereta
Membawa bekal
makanan, mendapat
jatah makan dari
pengurus masjid,
membeli makanan di
sekitar masjid
6. Masjid Kaliwulu Menginap di
masjid
Sepeda motor, mobil Membawa bekal
makanan
7. Masjid Megu Sepeda motor, mobil
8. Masjid Merah
Panjunan
Mobil, angkutan
umum, sepeda
motor.
9. Masjid
Pejaglarahan
Mobil, sepeda
motor, angkutan
umum
10. Masjid Pesalakan Menginap di
masjid
Mobil, sepeda
motor, kereta
Membawa bekal
makanan, membeli
makanan di sekitar
masjid
11. Masjid Sang
Cipta Rasa
Meginap di
masjid
Mobil, sepeda
motor, angkutan
umum
Membawa bekal
makanan, membeli
makanan di sekitar
masjid
12. Masjid Trusmi Menginap di
masjid
Mobil, angkutan
umum
Membawa bekal dari
masjid, mendapat
jatah makanan dari
pengurus masjid,
membeli makanan di
sekitar masjid
46
Keluhan Selama Proses Ibadah
Tabel V-10. Keluhan Wisatawan Selama Ritual
No Nama Masjid Jenis Keluhan
1. Masjid Jagabayan Fenomena pengemis
2. Masjid Kanoman Akses jalan menuju masjid tertutup pasar
3. Masjid At Taqwa Tidak ada permasalahan berarti
4. Masjid Gamel Kualitas jalan menuju kurang memadai
5. Masjid Gunung Jati Fenomena pengemis, dan tarif masuk yang tidak
paten
6. Masjid Kaliwulu Tidak ada permasalahan berarti
7. Masjid Megu Fenomena pengemis
8. Masjid Merah Panjunan Tempat parkir yang terbatas
9. Masjid Pejaglarahan Lokasi yang sulit dijangkau, karena berada di
pemukiman warga yang padat
10. Masjid Pesalakan Kulaitas akses menuju lokasi masjid kurang
memadai
11. Masjid Sang Cipta Rasa Tidak ada permasalahan berarti
12. Masjid Trusmi Tidak ada permasalahan berarti
47
Kegiatan Ibadah dan Ritual
Tabel V-11. Jenis Ritual
MASJID
Kegiatan: RITUAL IBADAH Kegiatan: RITUAL TRADISI Keterangan3
Shalat 5
Waktu
Berjamaah
Shalat
Jumat
Shalat
Ied
Pengajian
Rutin
warga
Kliwonan Muludan Grebeg 1 Suro/1
Muharam
1. Waktu kegiatan Setiap
waktu
shalat
Setiap
minggu
Setiap
Tahun
Setiap
bulan
Setiap
tahun
Setiap
tahun
Setiap
tahun
1. Masjid
Jagabayan
Ada, Biasa Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Ramai
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
2. Masjid Agung
Kanoman
Ada, Biasa Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
3. Masjid At
Taqwa
Ada, Ramai Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Ada Tidak ada Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Ramai
Sebelumdirenovasi, masjid
ini merupakan masjid tua
yang juga dikramatkan
oleh warga Cirebon.
4. Masjid Gamel/
Nurul Karomah
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
5. Masjid Gunung
Sembung/ Sang
Saka Ratu/ Dog
Jumeneng
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Pada lokasi ini terdapat
makam para Raja
Kerajaan Cirebon, dan
merupakan pusat
kegiatan ritual budaya
terkait Kraton Cirebon
48
MASJID
Kegiatan: RITUAL IBADAH Kegiatan: RITUAL TRADISI Keterangan3
Shalat 5
Waktu
Berjamaah
Shalat
Jumat
Shalat
Ied
Pengajian
Rutin
warga
Kliwonan Muludan Grebeg 1 Suro/1
Muharam
6. Masjid Kaliwulu Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
7. Masjid Megu
Gede/ Kramat
Ki Megu Gede
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
8. Masjid Merah
Panjunan/Abang
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Tidak ada Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
9. Masjid
Pejaglarahan
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa Masjid pertama di
Cirebon
10. Masjid
Pesalakan
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
11. Masjid Sang
Cipta Rasa
Ada, Ramai Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Ada
Ramai
Ada,
Ramai
Menjadi Pusat
penyebaran dan
pengembangan Agama
Islam utk wilayah jawa
Barat dan sekitarnya
pada Abad ke-5 s/d 18
12. Masjid Trusmi Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada, Biasa Kompleks Ki Buyut
Trusmi telah ada sebelum
abad ke-5.
13. Masjid Kramat
Depok/ Al-
Karomah
Ada, Sepi Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Biasa
Tidak ada Ada, Biasa
49
MASJID
Kegiatan: RITUAL IBADAH Kegiatan: RITUAL TRADISI Keterangan3
Shalat 5
Waktu
Berjamaah
Shalat
Jumat
Shalat
Ied
Pengajian
Rutin
warga
Kliwonan Muludan Grebeg 1 Suro/1
Muharam
14. Masjid Buntet Ada, Ramai Ada,
Ramai
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada,
Biasa
Ada,
Ramai
Tidak ada Ada, Biasa Pesantren Buntet adl.
pesantren terbesar di
Wilayah Cirebon,
Indramayu, Majalengka
dan Kuningan
Kategori:
1. Penyelenggaraan Kegiatan : Ada/Tidak ada
2. Suasana Kegiatan : Ramai/biasa/Sepi
3. Keterangan : keunikan/kekhususan yang berbeda dengan yang ada dimesjid lainnya
Kegiatan Ziarah
Tabel V-12. Suasana Ritual Ziarah Makam
MASJID Kegiatan: ZIARAH MAKAM
Ada makam Situasi Ziarah
1. Masjid Jagabayan Tidak ada makam Ramai
2. Masjid Agung Kanoman Tidak ada makam -
3. Masjid At Taqwa Tidak ada makam -
4. Masjid Gamel/ Nurul Karomah Ada makam Ramai
5. Masjid Gunung Sembung/ Sang Saka Ratu/ Dog Jumeneng Ada makam Sangat ramai
6. Masjid Kaliwulu Ada makam Ramai
7. Masjid Megu Gede/ Kramat Ki Megu Gede Ada makam Ramai
8. Masjid Merah Panjunan/Abang Ada makam Ramai
9. Masjid Pejaglarahan Tidak ada makam -
10. Masjid Pesalakan Ada makam Ramai
11. Masjid Sang Cipta Rasa Tidak ada makam -
12. Masjid Trusmi Ada makam Ramai
13. Masjid Kramat Depok/ Al-Karomah Ada makam Ramai
14. Masjid Buntet Ada makam Ramai
50
Pola Aktivitas Wisata Reliji
Adapun aktivitas yang dilakukan seseorang saat melakukan wisata reliji adalah sebagai
berikut:
a. Kegiatan ritual ibadah di Masjid
b. Kegiatan ziarah ke situs kramat
c. Kegiatan ziarah ke makam Wali, tokoh, dan orang suci (aulia)
d. Kegiatan kuliner
e. Kegiatan wisata belanja
Kegiatan tersebut biasanya dilakukan bersama-sama dengan kerabat, rekan pengajian,
ataupun anggota keluarga. Lama rata-rata wisata religi ini antara satu hingga dua hari,
tetapi ada juga yang hingga 30 hari, tergantung kepentingan dari pengunjung.
Pergerakan Wisata Reliji
Para pengunjung pada umumnya tidak hanya mendatangi satu lokasi masjid saja, tetapi
juga ke masjid-masjid lainnya yang lainnya yang dianggap penting untuk mereka kunjungi.
Ada beberapa masjid utama yang harus mereka kunjungi pada saat wisata religi ini yaitu
Masjid Gunung Sembung/Sang Saka Ratu/Dog Jumeneng, Masjid Sang Cipta Rasa, dan
Masjid Trusmi. Masjid ini dianggap penting oleh pengunjung karena terkait dengan tokoh
yang mendirikan masjid-masjid tersebut.
Masjid Sang Cipta Rasa yang didirikan oleh para Wali penyebar agama Islam. Adapun
masjid Gunung Sembung merupakan masjid yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati, dan
juga dilokasi ini juga terdapat makam para Sultan Kraton Cirebon, sedangkan Masjid
Trusmi sebagai masjid yang didirikan oleh Ki Buyut Trusmi, yaitu Raja pertama Kerajaan
Cirebon.
51
Gambar V-16. Pergerakan Pengunjung berdasarkan Posisi Tujuan Wisata
52
Makna Masjid Bagi Masyarakat Cirebon dan Pendatang
Masjid bagi masyarakat Cirebon merupakan bangunan yang menjadi tujuan kedatangan di
Cirebon. Sebagai bagian dari penyebaran agama Islam di Indonesia, minat masyarakat
begitu tinggi. Adapun makna-makna dapat terbagi sebagai berikut:
PERAN MAKNA BAGI
MASYARAKAT
CIREBON
MAKNA BAGI
PENDATANG
Peran ibadah Masjid menjadi tempat
ibadah
Masjid menjadi tujuan
wisata reliji
Peran ekonomi Masjid membantu
peningkatan perekonomian
bahkan menjadi nafkah
utama
Merupakan ajang yang
dianggap sebagai zakat dan
infaq bagi sesama.
Peran sosial Menyatukan berbagai
elemen masyarakat terutama
saat adanya kegiatan yang
berkaitan dengan budaya.
Menyatu dengan masyarakat
kota. Perbauran ini
membawa lekatnya
hubungan masyarakat
dengan pendatang terutama
pada penginapan dan MCK
rakyat.
Secara diagram batang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar V-17. Makna Masjid Bagi Pendatang
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
sebagaitempat
beribadah
sebagaisalah satu
tujuanwisata
tempatyang
membuattenang
tempatyang
membuatkita
merefleksidiri
tempatkeseimba
ngandunia dan
akhirat
tempatsupaya
mengetahui sejarah
tempatutk
bersosial
Series1 44 32 9 3 4 3 5
Pro
sen
tase
53
Gambar V-18Makna Masjid Bagi Masyarakat Cirebon
Potensi dan Kekuatan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji
Dari hasil analisis mengenai pemaknaan masjid oleh pengunjung dan masyarakat Cirebon
bahwa masjid-masjid tersebut dapat dikategorikan berdasarkan (1) sejarah dari pendirian
masjid tersebut, (2) tokoh pendiri masjid, dan (3) ritual yang yang diselenggarakan
dimasjid tersebut.
0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
sebagaitempat
beribadah
sebagaitempat
tambahan rejeki
sebagaitempatbekerja
sebagaitempat
beristirahat
sebagaitempat
yangmengandung nilaisejarah
tempatpenting
bagiCirebon
Series1 31 24 11 8 12 14
Pro
sen
tase
54
Terlihat bahwa Masjid rusmi, Sang Cipta Rasa dan Gunung Sembung memiliki makna
yang berbeda bagi pengunjung dan masyarakat Cirebon sehingga ketiga masjid ini menjadi
daya tarik utama para wisatawan religi yang datang ke Cirebon. Pada umumnya perjalanan
wisata religi mereka dimulai dari ketiga masjid ini sebelum menuju masjid-masjid lainnya.
Kelemahan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji
Minat yang besar dari pengunjung untuk berkunjung ke masjid-masjid di wilayah Cirebon
ternyata memiliki beberapa kendala terutama pada infrastrukturnya. Beberapa lokasi
masjid tidak didukung oleh infrastruktur yang mamadai. Tetapi ada juga lokasi-laokasi
yang telah mencukupi terutama seperti dalam hal aksesibilitas, seperti menuju Masjid Sang
Cipta Rasa dan Gunung Sembung, sedangkan menuju masjid-masjid lainnya walau
beberpa memiliki prasarana jalan yang cukup memadai tetapi daya dukungnya kurang
memenuhi, terutama disaat-saat diselenggarakan ritual-ritual.
Kelemahan lainnya yang harus diperbaiki adalah perubahan image masjid yang pada
umumnya berkesan kumuh, selain karena bangunan dan lingkunngan masjid yang kurang
terawat, juga karena banyaknya pengemis yang meminta-minta terkadang cukup
mengganggu sehingga membuat pengunjung menjadi tidak nyaman. Suasana yang
mengganggu ini yang kemudian membuat nilai kesakralan masjid-masjid ini menjadi
berkurang.
Tantangan Lanskap Budaya Cirebon berdasar Wisata Reliji
Berdasarkan kriteria penilaian dari World Heritage Center (2008), dimana kelayakan
sebuah tempat dapat disebut sebagai tempat yang mengandung lanskap budaya,
berdasarkan kriteria yang ada:
1) Merupakan hasil karya manusia yang jenius;
2) Menunjukan suatu persimpangan nilai-nilai manusia yang penting dalam suatu rentang
waktu dalam suatu area budaya tertentu, yang di dalamnya mengandung unsur
arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota dan disain lanskap;
3) Merupakan bukti keunikan yang luar biasa dari suatu tradisi budaya atau peradaban
yang sudah hilang, maupun yang masih berlangsung hingga kini.
4) Merupakan gambaran yang luar biasa dari suatu permukiman tradisional, penggunaan
lahan, sea use, dan semuanya merepresentasikan nilai-nilai kebudayaan yang
55
merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan alaminya. Nilainya menjadi
tinggi ketika kondisinya menjadi rentan terhadap dampak perubahan;
5) Mempunyai kaitan secara fisik dengan peristiwa, tradisi sehari-hari, gagasan,
kepercayaan, karya seni dan sastra yang bernilai luar biasa;
6) Mengandung fenomena alam, atau keindahan alam dengan estetika sangat luar biasa;
7) Merupakan gambaran dari tahap perubahan sejarah bumi, rekaman kehidupan alam,
proses geologi (sedang berlangsung), dan menjadi bagian dari perkembangan
landform, atau geomorfik, atau fitur fisiografi;
8) Merupakan gambaran signifikan dari proses ekologis dan biologis yang sedang
berlangsung (bagian dari proses evolusi) dalam perkembangan kehidupan komunitas
(berupa tumbuhan dan hewan) di darat, air tawar, pesisir, maupun di laut;
9) Mengandung unsur-unsur habitat alam yang penting dan signifikan untuk di
konservasi (in-situ biodiversity), termasuk di dalamnya spesies yang terancam punah
(dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan konservasi).
Penilaian diatas memiliki ketentuan, bahwa suatu lokasi atau properti beserta komponen
yang terkandung didalamnya, dapat memenuhi outstanding universal value bila
mengandung 1 (satu) atau lebih parameter outstanding universal value tersebut. Lainnya
adalah, penilaian ini dianggap outstanding bila memenuhi syarat integritas dan/atau
keaslian (otentik), dan memiliki perlindungan serta sistem pengelolaan yang memadai.
Cara yang kedua berupa penilaian dengan menggunakan kriteria cultural significant yang
diperkenalkan oleh (The Burra Charter, 1999). Dalam penilaian ini sejarah berperan
penting dalam menentukan nilai signifikansi suatu lanskap, dimana lanskap ataupun
komponennya terkait kuat dengan tema sejarah yang merupakan gambaran dari masa lalu.
Adapun kriteria penilaiannya sama dengan penilaian outstanding universal value, bahwa
suatu kawasan beserta elemennya paling tidak mengandung 1 (satu) atau lebih kriteria
cultural significant berikut:
i) nilai estetika, merupakan persepsi yang diterima oleh indera sensorik dalam
memahami bentuk, skala, warna, tekstur dari bahan/material, bebauan, dan suara yang
terkait dengan tempat dan penggunaannya;
ii) nilai kesejarahan, mencakup sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan,
yang mungkin dipengaruhi oleh tokoh, peristiwa, periode/fase atau aktifitas
bersejarah;
56
iii) nilai keilmiahan dan riset yang tergantung pada keterlibatan data, dilihat dari tingkat
kelangkaan, kualitas, dan keterwakilannya yang memberi informasi yang substansial;
iv) nilai sosial, mencakup kualitas suatu tempat yang peka terhadap spiritualitas,
kebudayaan, politikal, dan nasionalitas di dalam kelompok besar maupun kecil;
v) pendekatan lainnya, atau hal-hal lain yang dapat meningkatkan kualitas suatu tempat.
Dalam menilai cultural significant dari The Burra Charter (1999), suatu lokasi harus
mengandung informasi tentang:
1. Periode perkembangan lokasi dan hubungannya dengan situs/benda yang dinilai;
2. Kondisi keaslian, kelengkapan, atau ada bagian yang hilang dari fabric (situs/benda)
yang dinilai;
3. Kelangkaan, dan secara teknis menjadi bagian dari kawasan/tempat yang dinilai;
4. Nilai fungsional, dan menjadi bagian dari kawasan/tempat yang dinilai.
5. Hubungan dengan tempat/komponen yang dinilai, dan menjadi bagian dari settingnya;
6. Nilai kebudayaan berpengaruh pada bentuk komponen dan fabric (situs/benda
/material)-nya;
7. Nilai penting kawasan, masyarakat kawasan menganggap penting dan telah menjadi
bagiannya secara turun temurun;
8. Nilai kesejarahannya menjadi bagian fabric (dipengaruhi kekuatan & perjalanan
sejarah);
9. Nilai ilmiah dan riset dari lokasi/komponen yang dinilai;
10. Hubungan lokasi yang dinilai dengan lokasi lainnya, berhubungan dengan disain,
penggunaan teknologi, unsur lokalitas atau keaslian;
11. Faktor lainnya yang mempunyai hubungan dalam menilai lokasi/komponen.
Masjid-masjid yang merupakan bagian dari lanskap budaya Cirebon harus dikembangkan
sebagai bagian dari warisan pendahulu. Pengembangan tersebut harus berdasarkan potensi
yang telah ada, dan juga memperbaiki kelemahan-kelemahan yang dapat mengurangi
minat pengunjung untuk datang kembali ke lokasi ini. Dari hasil analisis diatas,
pengembangan kawasan wisata religi dapat terbagi dalam dua hirarki, yaitu area inti wisata
dan area pendukung. Pada area inti terdapat Masjid Trusmi, Sang Cipta Rasa, dan Gunung
Sembung, sedangkan pada area pendukung terdapat masjid-masjid lainnya yang menjadi
tujuan pengunjung setelah mengunjungi masjid-masjid lain di area inti.
57
Pengembangan lebih kearah revitalisasi bangunan dan sosial masyarakat, dengan merubah penambilan fisik dan membangun image sebagai
tujuan wisata yang nyaman, aman, dan bebas dari pengemis yang seakan-akan mempertontonkan kemiskinan kawasan.
58
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
59
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, karakter lanskap budaya kota Cirebon sangat
ditentukan oleh:
1) Tradisi budaya dari kegiatan masyarakat Cirebon. Tradisi ini bercampur antara
kegiatan turun temurun dari nenek moyang yang berkaitan dengan budaya, kebiasaan
atau tradisi yang apabila tidak dipahami dengan baik akan memberikan konotasi pada
kegiatan yang bagi masyarakat dapat dikatakan negatif. Cirebon sebagai basis jalur
penyebaran agama Islam juga memiliki aura yang yang sangat kuat.
2) Mempunyai kaitan secara fisik dengan peristiwa, tradisi sehari-hari, gagasan,
kepercayaan, karya seni dan sastra yang bernilai luar biasa. Nilai-nilai ini terlihat dari
peninggalan fisik masjid di Cirebon yang bercampur dengan budaya Cina, Arab serta
nilai lokalitas dari Cirebon itu sendiri.
3) Mengandung fenomena alam, atau keindahan alam.
Percampuran budaya dari lokalitas tradisi serta agama Islam hendaknya menjadi dasar bagi
perencanaan kawasan wisata di Cirebon. Perencanaan yang baik akan memberikan
pendidikan bagi masyarakat dalam membedakan antara ritual agama yang sesuai dengan
kaidah Islam, dengan ritual tradisi yang hanya merupakan faktor budaya.
Saran bagi penelitian lanjut adalah penelitian yang berkaitan dengan wisata reliji bagi
budaya Cina, mengingat pengaruh budaya Cina yang terlihat kental pada jejak fisik masjid-
masjid di Cirebon.
DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. (1980). Environmental and Culture. New York: Plenum Press.
Altman, I. (1992). Place Attachment. New York: Plenum Press.
Arisaka, Y. (1995). On Heidegger's Theory of Space: A Critique of Dreyfus. Inquiry, 38 (4), 445-
467.
Calcatinge, A. (2010). Vision of the Real in Contemporay City. International Journal of Art and
Science, 3 (8), 320-342.
Canter, D. (1977). The Psychology of Place. London: Architecture Press.
60
Dewiyanti, D., & Kusuma, H. (2012). Spaces for Muslims Spiritual Meaning. dAcE-Bs 2012.
Bangkok.
Fowler, P. (2003). World Heritage Cultural Landscape, 1992-2002: a Review and Prospect.
Cultural Landscape: the Challenges of Conservation. World Heritage 2002 Shared Legacy,
Common Responsibility Associated Worldshops (hal. 16-32). Ferara: UNESCO, World
Heritage Centre.
Greffe, X. (2009). Urban Cultural Landscapes: an Economic Approach. International Centre for
Research on the Economics of Culture, Institutions, and Creativity (EBLA), Centro Studi
Silvia Santagata (CSS), Dipartimento di Economia “S. Cognetti de Martiis”. Torino:
Departement of Economics “S. Cognetti de Martiis”.
Hayden, D. (1995). The Power of Place: Urban Landscape as Public History. Cambridge &
London: The MIT Press.
Hough, M. (1990). Out of Place: Restoring Identity to Regional Landscape. New Haven &
London: Yale University Press.
ICOMOS. (1994). Nara Document on Authenticity. ICOMOS.
ICOMOS. (2009). World Heritage Cultural Landscape: Description of World Heritage Cultural
Landscape with a Bilbliography Based on Dokument Available at the UNESCO-ICOMOS
Document Center. Paris: ICOMOS.
Jain, P., & Clancy, G. (2011). Preserving Cultural Landscape: A Cross-Cultural Analysis. The
Alliance for Historic Landscape Preservation (Exploring the Boundaries of Historic
Landscape Preservation), 15-29.
Kaya, L. G. (2002). Cultural Landscape for Tourism. ZKÜ Bartin Orman Fakültesi Dergisi, 4 (4),
54-60.
Lefebvre, H. (1998). The Production of Space (Cetak ulang ke-10 ed.). (D. Nicholson-Smith,
Penerj.) Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell Publishers Ltd.
O'Donnell, P. M. (2008). Urban Cultural Landscape and the Spirit of Place. ICOMOS 16th General
Assembly & Scientific Symposium (hal. 1-8). Quebec: ICOMOS.
Omar, S. (2012). The Concept of God Man, and the Environment in Islam: Implications for Islamic
Architecture. Journal of Islamic Architecture .
Rosmalia, D., & Martokusumo, W. (2012). The Notion on Urban Cultural Landscape from the
Perspective of Landscape Architecture. Case Study: Cirebon City, West Java. Artepolis 4
International Conference. Creative connectivity and the making of place: living smart by
61
design.2, hal. 719-728. Bandung: Architecture program. School of Architecture, Planning
and Policy Development.
Ross, C. L., & Uzzel, D. L. (1996). Place and Identity Processes. Journal of Environmental
Psychology, 16, 205-220.
Rӧssler, M. (2006). World Heritage Cultural Landscapes: A UNESCO Flagship Proggramme 1992-
2006. Landscape Research, 31 (4), 333-353.
Sauer, C. O. (1963). The Morphology of Landscape. Dalam C. O. Sauer, & J. Leighly, Land and
Life: A Selection From the Writing of Carl Ortwin Sauer (hal. 315-350). Berkley: University
of California Press.
Schulz, C. N. (1980). Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York: Rizzoli.
Schulz, C. N. (1974). Intentions in Architecture. MIT Press.
Schulz, C. N. (1984). The Concept of Dwelling. Rizolli.
Steele, F. (1981). Sense of Place. Massachusetts: CBI Publishing Company, Inc.
The Burra Charter. (1999). The Australia ICOMOS Charter for Places of Cultural Significance.
Burwood: Australia ICOMOS Incorporated.
Tuan, Y. F. (2008). Space and Place: The Perspektif of Experience (8 ed.). London: University of
Minnesota Press.
World Heritage Center. (2008). Operating Guidelines for the Implementation of the World Heritage
Convention. Intergovernmental Committee for The Protection of the World Cultural and
Natural Heritage. Paris: UNESCO World Heritage Center.
62
LAMPIRAN 1. Panduan Wawancara
1. PANDUAN WAWANCARA
PANDUAN WAWANCARA
PENELITIAN HIBAH BERSAING 2014
MODEL PENGEMBANGAN LANSKAP BUDAYA
BERDASARKAN WISATA RELIJI BAGI CIREBON
BUTIR PENGETAHUAN DAFTAR PERTANYAAN
1. KARAKTERISTIK
PENGUNJUNG
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Datang bersama siapa
d. Asal Daerah
e. Sudah pernah berkunjung ke masjid tsb?
f. Jika sudah pernah: siapa yang dulu
menunjukkan masjid tsb?.
g. Apakah orang tua pernah mengajak?
2. TUJUAN KEDATANGAN a. Tujuan datang ke masjid: sholat wajib atau
ada tujuan lain?
b. Jika bertujuan selain sholat wajib: kenapa
harus dilakukan di masjid tersebut?
3. FREKWENSI a. Seberapa sering datang ke Cirebon?
b. Seberapa sering memakai masjid tersebut?
4. WAKTU a. Ketika sedang di Cirebon, dan berkunjung ke
mesjid tsb, berapa lama waktunya? (waktu di
mesjid dan waktu kunjungan di Cirebon)
b. Adakah waktu2 tertentu yang menjadi favorit
ketika datang ke Cirebon?
c. Adakah waktu2 favorit ketika berkunjung ke
masjid tersebut?
5. KEGIATAN a. Apa saja yang dilakukan di masjid tersebut?
b. Mengapa dilakukan? Dan mengapa harus di
masjid lain?
6. PENGALAMAN LAIN a. Pernah datang ke masjid lain di Cirebon?
b. Pernah datang ke masjid mana saja di
Indonesia?
c. Ada pengalaman berkesan? Ketika di masjid
mana? Mengapa?
7. AKSESIBILITAS a. Naik apa datang ke Cirebon?
b. Naik apa selama berada di Cirebon?
c. Mudah/sulit?
8. KEBUTUHAN SELAMA
KUNJUNGAN
a. Selama berada di Cirebon, tujuan lain
kemana saja?
b. Apa saja yang dibutuhkan selama berada di
Cirebon?. (misal: hotel yang bagaimana?,
tempat makan yg bagaimana?, rekreasi lain
63
BUTIR PENGETAHUAN DAFTAR PERTANYAAN
yang bagaimana? Tempat oleh2 seperti apa?
c. Kebutuhan selama wisata religi berkaitan
dengan ibadah: peralatan solat, peralatan
ziarah?
d. Apakah butuh informasi wisata?
e. Mudah tidak dicari di Cirebon?
9. KESAN SELAMA KUNJUNGAN a. Kesan selama kunjungan di Cirebon?
b. Kesan selama kunjungan di masjid?
10. WILLINGNESS TO PAY
(KERELAAN UNTUK
MEMBAYAR)
a. Berapa total biaya yang rela dikeluarkan
untuk kebutuhan wisata religi?
b. Kerelaan tersebut, untuk biaya apa saja?
64
Lampiran 2. Gambar-gambar Denah Masjid
2. GAMBAR MASJID
a. MASJID GUNUNG JATI
65
b. MASJID KALIWULU
66
c. MASJID KRAMAT MEGU
67
d. MASJID PESALAKAN
68
Lampiran
69
e. MASJID TRUSMI
70
LLampiran 3. Susunan Anggota Peneliti
Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas
No. Nama / NIDN Instansi
Asal
Bidang
Ilmu
Alokasi
Waktu
(jam/minggu)
Uraian Tugas
1 Dhini
Dewiyanti
Tantarto/
0421116601
Universitas
Komputer
Indonesia
Arsitektur
Perilaku
8 - Ketua Tim
- Bertanggung jawab
terhadap hal-hal
yang berhubungan
dengan masalah
manusia pengguna
lingkungan
- Bersama anggota tim
merumuskan temuan
dan menganalisis
serta membuat
sintesa
2 Dini
Rosmalia/
0303067002
Universitas
Pancasila
Arsitektur
Lanskap
8 - Bertanggung jawab
terhadap hal-hal
yang berhubungan
dengan masalah fisik
lanskap Cirebon
- Bersama ketua dan
anggota tim
merumuskan temuan
dan menganalisis
serta membuat
sintesa
71
No. Nama / NIDN Instansi
Asal
Bidang
Ilmu
Alokasi
Waktu
(jam/minggu)
Uraian Tugas
3 Tri Widianti
Natalia/
0425128504
Universitas
Komputer
Indonesia
Perancangan
dan
Komputer
Arsitektur
6 - Bertanggung jawab
terhadap hal-hal
yang berhubungan
dengan perancangan
dan penggambaran
- Bersama ketua dan
anggota tim
merumuskan temuan
dan menganalisis
serta membuat
sintesa
72
Lampiran 1. Nota kesepahaman MOU atau pernyataan kesediaan dari mitra
73
Lampiran 2. Biodata Ketua/Anggota Tim Peneliti/Pelaksana
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) : Ir. Dhini Dewiyanti, MT
2. Jenis Kelamin : L / P
3. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
4. NIP/NIK/Identitas lainnya : 04127 70 12 010
5. NIDN : 421116601
6. Tempat dan Tanggal Lahir : Singapore, 21 November 1966
7. E-mail : [email protected]
8. Nomor Telepon/HP : 08122184048
9. Alamat Kantor : Universitas Komputer Indonesia
Jl. Dipati Ukur 112- 117. Bandung 40132
10. Nomor Telepon/Faks : (022) 2504119/ (022) 2533754
11. Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 112 orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang
12. Mata Kuliah yg Diampu 1. Teori Arsitektur 1, 2 SKS
2. Teori Arsitektur 2, 2 SKS
3. Studio Perancangan Arsitektur 1, 4 SKS
4. Studio Perancangan Arsitektur 2, 4 SKS
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Univ. Katolik
Parahyangan
Institut Teknologi
Bandung
Bidang Ilmu
Teknik Arsitektur Arsitektur
Tahun Masuk-Lulus 1985 - 1991 1998 -2000
Judul Skripsi/Tesis/Disertasi Re-Desain Pasar
Simpang Dago,
Bandung
Karakteristik Ruang
Bermain Sebagai
Tanggapan Anak
Terhadap
Lingkungan
Nama
Pembimbing/Promotor
Ir. Suhartono Susilo,
Dr. Ir., Abang
Winarwan, MSA
Dr. Ir. Baskoro
Tedjo,, Ir. Rini
Reksadjaya, MSA
74
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
(Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1. 2014 Model Pengembangan Lanskap Budaya
Kota Cirebon, Tahun I.
Hibah
Bersaing
DIKTI 2014
57.500.000
2. 2011 Model Lingkungan Permukiman Yang
Tanggap Terhadap Kebutuhan Anak
Studi Kasus: Lingkungan Permukiman
Nelayan Karangantu, Kabupaten
Serang, Banten
Hibah
Bersaing
DIKTI 2011
43.000.000
3. 2007 -
2008
Strategi Pengembangan Kampus
Berbasis IAIN di bawah Departemen
Agama Menjadi Sebuah Institusi
Pendidikan di Bawah Naungan
Kementrian Pendidikan Nasional
Rektorat
IAIN, Sultan
Maulana
Hasanudin
98.000.000
4. 2008 Islamic Center, Kota Prabumulih Pemerintah
Provinsi
Sumatera
Selatan
60.000.000
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan
Sumber Jml (Juta Rp)
1. 2008 Perancangan Balai Rukun
Warga 07. Kelurahan
Cigadung
RW 07 Kelurahan
Cigadung, Kecamatan
Cibeunying Kaler,
Kompleks UNPAD,
Cigadung.
300.000
2. 2013 Penanaman 1000 pohon di
Majalengka
LPPM UNIKOM 5.000.000
75
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Nomor/Tahun
1. Flexibility of Form on Campus
Mosques in Indonesia
International Vol. 2/2/2013
2. The Spatial Pattern of Ritual and
Non Ritual Activities in Salman
Mosque, Bandung.
Journal of Islamic
Architecture, UIN
Malang
September 2014
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No Nama Pertemuan Ilmiah /
Seminar Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan
Tempat
1 Seminar Nasional : SAINTIK
teknologi hijau, membangun masa
kini merawat masa depan
Penerapan Konsep
Ecotecture pada Masjid:
Komparasi Transformatif
Teori Desain Ekologis
23 Oktober 2014,
Unikom,
Bandung
2 Seminar DARK ITB 1 Production and
Reproduction of Space
SAPPK ITB. 22
September 2014.
3 Seri seminar nasional arsitektur
merah-putih. Ruang dan Tempat
dalam Latar Indonesia
Produksi dan Re-Produksi
Ruang Masjid Salman,
Bandung
UKDW
Yogyakarta, 23
Mei 2014.
4 Seminar Nasional. Manusia dan
Ruang dalam Arsitektur dan
Perencanaan. SERAP 3
Sense of Place Dalam
Konteks Antar Generasi
Pengguna. Studi Kasus:
Masjid Kampus Salman,
Bandung
UGM.
Yogyakarta, 22-
23 Agustus 2014.
5 Seminar Arsitektur Islam 3 Pola Ruang Aktivitas
Ritual dan Non Ritual Pada
Masjid Salman, Bandung.
Universitas Malik
Ibrahim, Malang,
7 November 2013
6 Prosiding dalam Arte-Polis 4 Intl
Conference - Creative Connectivity
and the Making of Place: Living Smart
by Design
The Place Making of
Salman Mosque.
Institut Teknologi
Bandung,
Bandung 5-6 Juli
2012.
7 Seminar DARK ITB 1 Space Segregation on
Mosque Transition Area.
Case Study: Mosque
Salman, ITB.
SAPPK ITB. 2
September 2013.
76
8 First International Conference on
Islamic Built Environmet Towards
an Understanding of The Islamic
Built Environment
The Effects of Ornaments
in the Interior Space of
Mosque on the Level of
Concentration of its
Congregations.
March 28-29,
2012, UNISBA.
9 dAcE-Bs 2012 Bangkok, ASEAN
Conference on Environment-
Behaviour Studies
Spaces for Muslims
Spiritual Meanings.
16-18 July 2012,
Bangkok,
Thailand.
10 International Seminar on Livable
Space – Creating Space for Better
Life, Department of Architecture –
Faculty of Civil Engineering and
Planning Trisakti University.
The Mosque Territories
and Its Development as
Manifestation of Changes
in The Function.
Jakarta, 16 - 17
Februari 2012,
Trisakti
11 Arte-Polis 4 Intl Conference -
Creative Connectivity and the
Making of Place: Living Smart by
Design, Institut Teknologi
Bandung,
The Place Making of
Salman Mosque.
Bandung 5-6 Juli
2012, ITB.
12 International The Second
International Conference on
Sustainable Architecture and
Urban Development, Jordan and
the University of Dundee,School of
Architecture, UK
Sustainable Living
Community In Urban
Kampung. Case Study:
Kampung Sekeloa,
Bandung, Indonesia.
12 – 14 July
2010, Amman,
Jordan.
13 Seminar Nasional Metodologi
Riset dalam Arsitektur:Menunju
Pendidikan Arsitektur Indonesia
Berbasis Riset
Penerapan Metode
Naturalistik Pada Kasus
Anak Sebagai Subyek
Penelitian Arsitektur
3 Juni 2010,
Unud,
Denpasar, Bali.
14 Seminar Nasional
Humanisme dan Perencanaan
Perancangan.
Pola Bermain Anak
Sebagai Pertimbangan
Perencanaan Lingkungan
16 Januari 2009,
Universitas Gajah
Mada
Yogyakarta.
15 Seminar Nasional ASJI (Asosiasi
Studi Jepang di Indonesia).
Tokyo: Kota Organik
Terencana
11 Desember
2009, Banana Inn,
Bandung
16 Seminar Nasional Pola Kearifan
Lokal Universitas
Merdeka Malang
Pola Kearifan Lokal
Permukiman Kampung
Kota Sekeloa dalam
6 Agustus 2009,
Unmer
Malang.
77
Menghadapi Pembangunan
Jl. Dipati Ukur, Bandung
17 Seminar SNUBL 2009 Universitas
Budi Luhur.
Kampung Kota Sebentuk
Pola Keberlanjutan
Berwawasan Kearifan
Lokal yang Mulai
Kehilangan Jati Diri
14 Agustus 2009,
Universitas Budi
Luhur. Jakarta.
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit
1 -
H. Perolehan HKI dalam 5–10 Tahun Terakhir
No Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID
1 -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5
Tahun Terakhir
No
Judul/Tema/Jenis
Rekayasa Sosial
Lainnya yang Telah
Diterapkan
Tahun
Tempat Penerapan
Respon
Masyarakat
1 Pedoman Teknis
Bangunan Gedung Fungsi
Khusus
2007 Nasional Digunakan
sebagai
acuan
2 Rancangan Akademis
Perda Bangunan Gedung
Kota Tangerang Selatan
2011 Nasional Sudah
disahkan
DPRD
Rancangan Akademis
Perda Bangunan Gedung
Kabupaten OKU Timur
2011 Nasional Baru
digodok
DPRD
Rancangan Akademis
Perda Bangunan Gedung
Kabupaten OKU Selatan
2012 Nasional Baru
digodok
DPRD
Rancangan Akademis
Perda Bangunan Gedung
Kota Lubuk Linggau
2013 Nasional Baru
digodok
DPRD
Rancangan Akademis
Perda Bangunan Gedung
Kabupaten PALI
2014 Nasional Baru dikaji
78
J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi
lainnya)
No Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi
Penghargaan
Tahun
1 Dosen Teladan III Tingkat
Fakultas
UNIKOM 2007
2 Juara II Desain Islamic Centre
di Tebet Barat, JakSel
DKM Masjid Tebet Barat 1998
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam pengajuan Hibah Bersaing tahun 2014
Bandung, 24 Oktober 2014
Pengusul,
( Dhini Dewiyanti )
79
Biodata Ketua/Anggota Tim Peneliti/Pelaksana
A. Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Dini Rosmalia, ST, MSi.
2. Jenis Kelamin L / P
3. Jabatan Fungsional Lektor
4. NIP/NIK/Identitas lainnya 4109211081
5. NIDN 0303067002
6. Tempat dan Tanggal Lahir Bogor, 03 Juni 1970
7. E-mail [email protected]
8. Nomor Telepon/HP 08129206903
9. Alamat Kantor Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
12640
10. Nomor Telepon/Faks
11. Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = 14
12. Mata Kuliah yg Diampu Studio Perancangan Arsitektur 1, 4 SKS
Studio Perancangan Arsitektur 2, 4 SKS
Perancangan Tapak, 4 SKS
Perancangan Ruang Dalam, 3 SKS
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Univ. Pancasila Institut Pertanian Bogor
Bidang Ilmu
Teknik Arsitektur Arsitektur Lanskap
Tahun Masuk-Lulus 1989 - 1994 2005 – 2008
Judul Skripsi/Tesis/Disertasi Perancangan Taman
Rekreasi Danau Lido
di Bogor
Perencanaan Koridor
Sungai Ciliwung sebagai
Ekowisata Perkotaan di
Jakarta
Nama
Pembimbing/Promotor
Ir. Gustaf Abbas
M.Arch; Ir. Ahmad
Husaini, M.Arch.
Dr. Ir. Siti Nurisyah,
MLA; Dr. Ir. Setiahadi,
MS
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir
(Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No Tahun Judul Penelitian
Pendanaan
Sumber Jml (Juta
Rp)
1. 2013 Ruang Lanskap Budaya Kota Cirebon Universitas
Pancasila
10.000.000
2. 2012 Perencanaan Tata Ruang Wisata Budaya
Betawi Kota Jakarta
Univ. Pancasila 5.000.000
3. 2009 Konsep Pengembangan Sistem Wisata
Budaya Kota Jakarta
PHK A2 DIKTI-
Univ. Pancasila
17.500.000
80
4. 2009 Pengembangan Model Belajar Mengajar
Perancangan Tapak Guna Meningkatkan
Kemampuan Mahasiswa Dalam
Merancang Tapak Sebagai Bagian Dari
Perancangan Arsitektur
PHK A2 DIKTI-
Univ. Pancasila
12.500.000
5. 2009 Rencana Induk Penataan Lanskap
Kawasan Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Lingkungan Hidup di Kayu Gadis-
Paninggahan, Kabupaten Solok, Provinsi
Sumatera Barat.
ICRAF-Program
RUPES.
78.000.000
6. 2008 Evaluasi Perencanaan Taman Interaksi
Sosial
Dinas Pertamanan
Prov. DKI Jakarta
50.000.000
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber Jml (Juta
Rp)
1. - -
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/ Nomor/Tahun
1 The Kesunean River Revisited: Some
Notion on the Role of Urban Landscape
Elements in Cirebon, West Java,
Indonesia
Nakhara Journal,
Thailand
Vol.10. tahun 2014
(sedang tahap cetak)
2. Studi Evaluasi Tata Hijau Jalan Raya
Bebas Hambatan Jagorawi, Kota Bogor.
Jurnal Teknik
Padmasana
Vol. 2 No. 1 Januari 2010,
hal 3-12.
3 Evaluasi Penerapan Metode
Pembelajaran Kognitif-
Konstruktivistik dalam Mata Kuliah
Tapak.
Jurnal Hirarchi Vol. 08 No. 01 Maret
2011, hal 1-10.
4 Penelusuran Konsep Urban Cultural
Landscape dari Perspektif Arsitektur
Lanskap. Studi Kasus Kota Cirebon
di Jawa Barat.
Jurnal Lanskap
Indonesia
Sudah diterima, sedang
dalam pencetakan.
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No. Nama Pertemuan Ilmiah /
Seminar Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan
Tempat
1 2014 International Symposium of The Influence of 7-9 Oktober 2014.
81
ACLA. Tema: Waterfront Asian
Cultural Landscape”
Mauludan Tradition
on the Ritual Scape of
Cirebon Cultural
Landscape in
Indonesia
Urban Grening
Institute, Seoul
National University-
Korea Selatan.
2 Seminar Nasional SERAP 3.
Tema: Manusia dan Ruang dalam
Arsitektur dan Perencanaan
Pola Spasial Lanskap
Budaya Kota Cirebon
Berdasarkan Elemen
Fisik Kraton
22-23 Agustus
2014. Jurusan
Teknik Arsitektur
dan Perencanaan
UGM-Yogyakarta
3 Seri Seminar Nasional Arsitektur
Merah-Putih. Tema: Ruang dan
Tempat dalam Latar indonesia
Identifikasi Pola
Spasial sebagai
Wadah Aktifitas
Budaya pada Lanskap
Budaya Kota Cirebon
23 Mei 2014.
Gedung Gnosis,
UKDW-Yogyakarta
4 The International Conference
„Arte-Polis 4. Tema: Creative
Connectivity and the Making
Place: Living Smart by Design‟
The Notion on Urban
Cultural Landscape
from the Perspective
of Landscape
Architecture. Case
Study: Cirebon City,
West Java
5-6 Juli 2012.
SAPPK-ITB,
Bandung
5 Simposium Ilmiah Nasional
Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia
2010. Tema: Pemberdayaan Peran
Serta Profesi Arsitek Lanskap
dalam Mengatasi Masalah
Kerusakan Lingkungan dan
Bencana Alam melalui
Pendekatan Konservasi dan
Penataan Ruang.
Pengembangan
Kawasan Berbasis
Kondisi Fisik Lokal.
Studi Kasus: Kawasan
Paninggahan Solok,
Sumatera Barat.
10 November 2010.
IPB International
Convention Center,
Bogor.
6 International Conference on
Informal Settlement and
Affordable Housing: Sustainable
Slum Upgrading in Urban Area.
River Corridor Spatial
Planning For Urban
Ecotouring
Development at
Ciliwung – Jakarta.
16 April 2009.
Surakarta
7 Seminar Nasional, Penelitian
Arsitektur, Metode dan
Penerapannya Seri ke-2
Metode Partisipatori
Dalam Perencanaan
Setting Taman
16 Mei 2009.
Magister Teknik
Arsitektur
Universitas
82
Interaksi Sosial di
Jakarta.
Diponegoro,
Semarang.
8 International Symposium of
Green City.
Urban Ecotourism
Development
Planning Area at
Ciliwung Corridor.
10-11 Agustus
2009. IPB
International
Convention Center
Bogor.
9 4th
International Symposium of
Nusantara Urban Research
Institute (NURI), Tema: Change
and Heritage in Architecture and
Urban Development.
Designing an
Ecocomm park for
revitalizing densely
populated area in
Jakarta.
7 November 2009.
Departemen
Arsitektur
Universitas
Diponegoro,
Semarang.
G. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No Judul Buku Tahun Jumlah Halaman Penerbit
1 Development Planning for
Ecotourism. Case Study:
Ciliwung River Corridor,
Jakarta
2012 89 LAP Lambert
Academic
Publishing, Jerman
H. Perolehan HKI dalam 5–10 Tahun Terakhir
No Judul/Tema HKI Tahun Jenis Nomor P/ID
1 -
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5
Tahun Terakhir
No
Judul/Tema/Jenis
Rekayasa Sosial Lainnya
yang Telah Diterapkan
Tahun
Tempat Penerapan
Respon
Masyarakat
1 Panduan Perencanaan
Teknis Taman Interaksi
Sosial di Permukiman Padat
Penduduk
2008 Provinsi DKI Jakarta Digunakan
sebagai acuan
2 Pemaduserasian RTH Hulu-
Hilir untuk Keseimbangan
Iklim di Jabodetabekjur
2011 Jabodetabekjur Digunakan
sebagai acuan
J. Penghargaan dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi
lainnya)
83
No Jenis Penghargaan
Institusi Pemberi
Penghargaan
Tahun
1
2
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai
ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam pengajuan Hibah Bersaing tahun 2014
Bandung, 25 Oktober 2014
Pengusul,
( Dini Rosmalia )
i Cek sejarah & sumber Unang Sunarjo & adeng
ii Landdrost adalah pejabat Landdrostambten yang merupakan wakil pemerintah kolonial di daerah
administratif yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal. iii
http://bakorpembang-
wilcrb.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=340&idMenu=436: Tahun 1922
Karesidenan Cirebon dibagi menjadi 2 Afdeling yang dipimpin oleh Asisten Residen
(1) Afdeling Cirebon: Kabupaten Cirebon & Kuningan
(2) Afdeling Indramayu: Kabupaten Indramayu & Majalengka iv UU No, 32 Th. 2004, tentang Pemerintahan Daerah; PP No. 41 Th.2007, tentang Organisasi Perangkat
Daerah; Perda Provinsi Jawa Barat No. 22 Th. 2008 tentang perangkat BAKORWIL menjadi Badan
Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BAKORPEMBANG) Wilayah III Provinsi Jawa Barat, sebagai
lembaga koordinasi antara Kabupaten dan Kota untuk penguatan kewilayahan. v(cek land use & aspek ekonomi masyarakat).
vihttp://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/1263 (diunduh 31/3/2014, pukul 15:58)
viihttp://bakorpembang-wilcrb.jabarprov.go.id/index.php?mod=manageMenu&idMenuKiri=340&idMenu=358. Edit Terakhir :
24-08-2010 17:26:44. (diunduh 31/3/2014 pukul 10:02) viii
Data penduduk. http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75 (diunduh 31/3/2014, pukul 14:58)