Tgs Umar Mono 2

download Tgs Umar Mono 2

of 33

Transcript of Tgs Umar Mono 2

Pendahuluan Apa yang dimaksud dengan budaya? Dalam ruang lingkup Studi Penerjemahan, budaya mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh aspek sosial (Snell-Hornby, 1995: 39). Budaya dan antar kompetensi dan kesadaran yang muncul dari pengalaman budaya, adalah fenomena yang jauh lebih kompleks. Semakin penerjemah menyadari kompleksitas perbedaan antara budaya, semakin baik penerjemah s / ia akan. Hal ini mungkin benar untuk mengatakan bahwa tidak pernah ada waktu ketika komunitas penerjemah tidak menyadari perbedaan budaya dan signifikansi mereka untuk terjemahan. Teks ini akan menjelaskan secara singkat istilah budaya berdasarkan konsep Newmark atau yang lainnya dari produk terjemahan, mendeskripsikan teknik yang digunakan dalam menerjemahkan istilah budaya dan variasinya, mendeskripsikan pergeseran berdasarkan konsep Catford atau pakar lainnya serta factor apa yang melatarbelakangi pergeseran tersebut. Teori penerjemahan telah menyadari masalah petugas pada pengetahuan budaya dan perbedaan budaya setidaknya sejak Roma kuno. Pengetahuan budaya dan perbedaan budaya telah menjadi fokus utama dari pelatihan penerjemah dan teori penerjemahan selama baik telah ada. Perhatian utama secara tradisional telah dengan kata-kata dan frase yang begitu berat dan eksklusif didasarkan pada satu budaya bahwa mereka hampir mustahil untuk menerjemahkan ke dalam persyaratan - verbal atau sebaliknya - lain. Perdebatan yang panjang sudah berlangsung lebih kapan parafrase, kapan harus menggunakan setara lokal terdekat, kapan koin kata baru dengan menerjemahkan secara harfiah, dan kapan untuk menuliskan. Semua ini

"diterjemahkan" budaya-kata dan frase terikat terus mempesona penerjemah dan teori penerjemahan. Istilah istilah Budaya Pada tahun 1988 Newmark mendefinisikan budaya sebagai "cara hidup dan manifestasinya yang aneh untuk sebuah komunitas yang menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana ekspresi", sehingga setiap kelompok mengakui bahwa bahasa memiliki fitur sendiri budaya spesifik. Dia juga memperkenalkan 'kata Budaya' yang pembaca tidak mungkin untuk memahami dan strategi penerjemahan untuk jenis konsep bergantung pada teks-jenis tertentu, persyaratan dari pembaca dan klien dan pentingnya kata budaya dalam teks. Konsep budaya ini didefinisikan oleh Goodenough (1964), Gohring (1977), dan Newmark (1988) sebagai berikut: As I see it, a societys culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being what people have to learn as distinct from their biological heritage, must consist of the end product of learning: knowledge, in a most general, if relative, sense of the term. By this definition, we should note that culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them. As such, the things people say and do, their social arrangements and events, are products or by-products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances. To one who knows their culture, these things and events are also signs signifying the cultural forms or models of which

they

are

material

presentations

(Goodenough,

1964:

36).

Culture is everything one needs to know, master and feel in order to judge where peoples behavior conforms to or deviates from what is expected from them in their social roles, and in order to make ones own behavior conform to the expectations of the society concerned unless one is prepared to take the consequences of deviant behavior (Gohring dalam Snell-Hornby, 1995: 40).... the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expressions (Newmark, 1988: 94).

Dari definisi ini dapat ditarik empat hal pokok. Pertama, budaya merupakan totalitas pengetahuan, penguasaan dan persepsi. Kedua, budaya mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku (tindakan) dan peristiwa atau kegiatan. Ketiga, budaya tergantung pada harapan dan norma yang berlaku dimasyarakat. Keempat, pengetahuan, penguasaan, persepsi, perilaku kita terhadap sesuatu diwujudkan melalui bahasa. Oleh karena itu, bahasa dan budaya, serta bahasa dan perilaku mempunyai hubungan yang sangat vital. Sementara itu, bahasa merupakan ungkapan tentang budaya dan diri penutur, yang memahami dunia melalui bahasa. Konsep bahwa bahasa adalah budaya, dan budaya diwujudkan melalui perilaku kebahasaan, dapat pula diterapkan dan dikaitkan pada bidang penerjemahan. Bukankah penerjemahan juga merupakan tindak komunikasi interlingual, yang perwujudannya sangat dipengaruhi oleh budaya pengguna bahasa? Barangkali itu sebabnya pakar penerjemahan, House (2002), berpendapat bahwa seseorang tidak menerjemahkan bahasa tetapi budaya, dan dalam penerjemahan kita mengalihkan budaya bukan bahasa (h.92). Pendapat ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya merupakan satuan terjemahan, bukan kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf atau teks,

(Nord, 1997) yang seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari penerjemah.

Peter Newmark juga mengkategorikan kata-kata budaya sebagai berikut: 1) Ekologi: flora, fauna, bukit, angin, dataran 2) Budaya Bahan: makanan, pakaian, rumah dan kota, transportasi 3) Sosial Budaya: pekerjaan dan rekreasi 4) Organisasi Bea Cukai, Kegiatan, Prosedur, Konsep: Politik dan administrasi Agama artistik 5) Gestures dan Kebiasaan

Dia memperkenalkan faktor-faktor kontekstual untuk proses penerjemahan yang meliputi: 1 - Tujuan teks 2 - Motivasi dan tingkat budaya, teknis dan linguistik pembaca 3 - Pentingnya rujukan dalam teks SL 4 - Mengatur (terjemahan tidak diakui ada?) 5 - Jangka Waktu Terakhir dari kata / rujukan 6 - Masa Depan atau refrent.

Dia lebih jauh dengan jelas menyatakan bahwa secara operasional ia tidak menganggap bahasa sebagai komponen atau fitur dari budaya yang bertentangan dengan pandangan yang diambil oleh Vermeer yang menyatakan bahwa "bahasa adalah bagian dari budaya" (1989:222). Menurut Newmark, sikap itu akan menyiratkan Vermeer kemustahilan untuk menerjemahkan sedangkan untuk yang kedua, menerjemahkan bahasa sumber (SL) menjadi bentuk yang sesuai dari TL merupakan bagian dari peran penerjemah dalam komunikasi lintas budaya. Bahasa dan budaya dengan demikian dapat dilihat sebagai erat terkait dan kedua aspek harus dipertimbangkan untuk terjemahan. Ketika mempertimbangkan terjemahan dari kata budaya dan gagasan, Newmark mengusulkan dua metode yang bertentangan: analisis transferensi dan componential. Menurut dia transferensi memberi "warna lokal," menjaga nama budaya dan konsep. Meskipun menempatkan penekanan pada budaya, berarti bagi pembaca dimulai, ia mengklaim metode ini dapat menyebabkan masalah untuk pembaca umum dan membatasi pemahaman aspek-aspek tertentu. Pentingnya proses penerjemahan dalam komunikasi menyebabkan Newmark untuk mengajukan analisis componential yang digambarkan sebagai "prosedur terjemahan yang paling akurat, yang tidak termasuk budaya dan menyoroti pesan". Newmark juga menyatakan relevansi analisis componential dalam terjemahan sebagai metode yang fleksibel namun tertib untuk menjembatani kesenjangan leksikal banyak, baik linguistik dan budaya, antara satu bahasa dan lain:

Masalah yang Timbul dalam Penerjemahan karena Faktor Budaya Sifat ketergantungan budaya pada harapan dan norma yang berlaku di masyarakat, dan perbedaan budaya teks bahasa sumber dari budaya teks bahasa sasaran membuat penerjemahan sangat sulit dilakukan. Dalam kaitan itu, Nida (1975) mengatakan: .....translators are permanently faced with the problems of how to treat the cultural aspects implicit in a cource text (SL) and finding the most appropriate technique of successfully conveying these aspects in the target language (TL) (h. 130). Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Dollerup dan Lindegard (1993): Translators should strive to transmit an image of the source culture to the target receptors that corresponds to the image the target culture would claim for itself (h.72). Masalah yang timbul dalam penerjemahan pada dasarnya dapat dikaitkan dengan tiga faktor utama yaitu: Faktor pertama adalah kemampuan penerjemah. Jika seseorang tidak mempunyai kompetensi (kebahasaan, kultural, transfer) dan ketrampilan di bidang penerjemahan, dia tidak akan mungkin dapat melakukan tugas penerjemahan dengan baik. Oleh sebab itu, sebutan penerjemah yang diberikan kepada seseorang mengandung konsekuensi yang sangat berat. Sebagai pelaku utama dalam proses penerjemahan, dia dituntut harus mampu menghasilkan terjemahan yang bisa dipertanggung jawabkan. Faktor kedua adalah faktor kebahasaan. Pada umumnya, sistem bahasa yang dilibatkan dalam penerjemahan berbeda satu sama lain. Secara morfologis dan sintaksis, bahasa Inggris, misalnya, berbeda dari bahasa Indonesia. Sebagai akibatnya,

ada kalanya penerjemah dihadapkan pada masalah ketakterjemahan linguistis (linguistic untranslatability) (Catford, 1974). Faktor ketiga adalah faktor budaya. Faktor budaya ini sebenarnya tumpang tindih dengan faktor kebahasaan apabila bahasa dipandang sebagai budaya atau bagian dari budaya. Terlepas dari hal tersebut, faktor budaya seringkali menimbulkan ketakterjamahan, yang lazim dalam bahasa Inggris disebut sebagai cultural untranslatability (Catford, 1974). Ketakterjemahan karena perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran akan dibahas lebih lanjut di bawah ini.

Perbedaan Sudut Pandang. Perbedaan cara atau sudut pandang terhadap sesuatu tidak bisa dipisahkan dari budaya penutur suatu bahasa. Dalam budaya penutur asli bahasa Batak Tapanuli, menyebut nama depan pria yang sudah menikah merupakan tindakan yang tidak sopan. Untuk menghindarinya digunakanlah sebutan seperti tulang Simanjuntak, lae Panjaitan amani Ryan, atau ompu Tito. Sebaliknya, dari sudut pandang budaya penutur asli bahasa Inggris, tidak ada perbedaan dalam menyebut nama pria yang sudah atau belum menikah. Sebutan Mr., misalnya, digunakan dan disertai dengan nama belakang walau dalam kegiatan berbahasa sehari-hari mereka sering menghilangkan kata Mr. itu dan menyebut nama depan mereka. Perbedaan sudut pandang itu jelas menimbulkan persoalan tersendiri bagi penerjemah. Bagaimanakah seharusnya ungkapan Amani Ryan, aha kabar (Papa Ryan, apa kabar)? diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris?. (Ryans Father, how are you?). Perbedaan sudut pandang seperti ini juga terjadi dalam bidang politik. Orang Indonesia akan menyebut, Timor Timur sudah berintegrasi dengan Indonesia. Sebaliknya orang Australia akan mengatakan, East Timor has been annexed by Indonesia. Perbedaan Perangkat Mental (Mental Sets). Setiap bahasa mempunyai apa disebut sebagai perangkat mental (mental sets) yang digunakan oleh pemiliknya untuk

menggambarkan suatu realita. Language, too, has its mental sets: it is through them we picture reality in words. These mental sets may be overlap between one language and another, but rarely match exactly, and it is the translatorss difficult task to bring them as close as possible (Duff, 1984: 17). Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan, penutur asli bahasa Inggris mempunyai perangkat mental untuk breakfast dan penutur asli bahasa Indonesia mempunyai perangkat mental untuk sarapan. Ada hal sama dari keduanya, bahwa kegiatan itu dilakukan pada pagi hari . Akan tetapi, fitur semantik kedua kata itu sangat berbeda satu sama lain. Ketika penutur asli bahas Inggris mendengar kata breakfast, yang terpikir oleh mereka ialah roti, kopi campur susu tanpa gula. Sebaliknya, jika seseorang mengatakan, Yuk sarapan, yang terpikir oleh kita barangkali adalah nasi, telur, tahu, tempe, indomie, dan teh manis atau air putih. Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi dalam penerjemahan. Summer (musim panas) di Selandia Baru tidak sehangat yang kita bayangkan, dan suhu pada musim panas di Houston, Texas lebih tinggi daripada suhu musim kemarau di Indonesia. Ketiadaan Padanan. Perbedaan budaya antara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran menimbulkan ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability). Ketakterjemahan budaya di sini dapat menyangkut masalah ekologi, budaya materi, budaya religi, budaya sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, dsb (lihat Newmark, 1988: 95). Ada kemungkinan bahwa suatu konsep yang terkait dengan budaya (baik abstrak maupun konkrit) dapat diungkapkan dalam bahasa sasaran tetapi konsep tersebut sama sekali tidak ada dalam budaya bahasa sasaran. Seperti yang telah diuraikan dalam konsep yang berhubungan dengan ekologi (misalnya, musim semi) sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Namun, kita hanya mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Dalam banyak kasus, konsep

budaya yang dimaksud tidak mempunyai padanan dan tidak dikenal dalam budaya bahasa sasaran. Rumah Joglo, misalnya, tidak mempunyai padanan dalam bahasa Inggris dan konsep ini tidak dikenal dalam budaya penutur bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada kata yang terkait dengan nama makanan (botok), nama organisasi sosial (Rukun Tetangga, Rukun Warga), kegiatan sosial (arisan). Pakar penerjemahan menawarkan berbagai strategi untuk memecahkan masalah padanan yang disebabkan oleh faktor budaya (lihat Newmark, 1988; Baker, 1992; Hervey dan Higgins,1992). Strategi-strategi yang ditawarkan perlu dicermati diterapkan secara seksama agar tidak bertentangan dengan tujuan penerjemahan itu sendiri. Transplantasi budaya yang ditawarkan oleh Hervey dan Higgins (1992), misalnya, cenderung menghasilkan saduran, bukan terjemahan. Demikian juga dengan konsep addition of information harus dipahami sebagai upaya untuk membuat terjemahan mudah dipahami oleh pembaca sasaran tanpa mengaburkan pesan teks bahasa sumber.

Teknik Penerjemahan istilah budaya Beberapa strategi yang diperkenalkan oleh Newmark untuk berurusan dengan kesenjangan budaya: 1) Naturalisasi: Sebuah strategi ketika kata SL ditransfer menjadi teks TL dalam bentuk aslinya. 2) kuplet atau triplet dan quadruplet: Adalah teknik lain penerjemah mengadopsi pada saat mentransfer, naturalizing atau calques untuk menghindari kesalahpahaman: menurut dia itu adalah sejumlah strategi menggabungkan bersama-sama untuk menangani satu masalah.

3) Netralisasi: Netralisasi adalah semacam parafrase pada tingkat kata. Jika pada level yang lebih tinggi itu akan parafrase. Ketika item SL adalah umum (dinetralkan) itu adalah diparafrasekan dengan beberapa kata budaya bebas.

4) deskriptif dan fungsional setara: Dalam penjelasan item bahasa sumber budaya ada dua elemen: satu adalah deskriptif dan satu sama lain akan fungsional. Berbicara setara deskriptif tentang ukuran, warna dan komposisi. Fungsional setara berbicara tentang tujuan dari kata budaya-spesifik SL. 5) Penjelasan sebagai catatan kaki: Penerjemah mungkin ingin memberikan informasi tambahan untuk pembaca TL. Dia akan menjelaskan hal ini informasi tambahan dalam catatan kaki. Ini mungkin datang di bagian bawah halaman, di akhir bab atau di akhir buku ini. 6) Budaya setara: Kata SL budaya diterjemahkan oleh TL kata budaya 7) Kompensasi: Sebuah teknik yang digunakan ketika menghadapi kehilangan makna, efek suara, efek pragmatis atau metafora dalam salah satu bagian dari teks. Kata atau konsep kompensasi dalam bagian lain dari teks. Pada tahun 1992, Lawrence Venuti menyebutkan kekuatan efektif mengendalikan penerjemahan. Dia percaya bahwa selain pemerintah dan lembaga lain yang bermotif politik dapat memutuskan untuk menyensor atau mempromosikan karya-karya

tertentu, ada kelompok-kelompok dan lembaga sosial yang akan mencakup berbagai pemain dalam publikasi secara keseluruhan. Ini adalah penerbit dan editor yang memilih bekerja dan komisi terjemahan, penerjemah dan membayar sering mendikte metode terjemahan. Mereka juga termasuk agen sastra, pemasaran dan tim penjualan dan tinjauan. Setiap pemain tesis memiliki posisi tertentu dan peran dalam agenda budaya dan politik yang dominan waktu dan tempat. Bermain Power adalah sebuah tema yang penting bagi komentator budaya dan sarjana penerjemahan. Dalam kedua teori dan praktek terjemahan, kekuasaan berada dalam penyebaran bahasa sebagai senjata ideologis untuk mengecualikan atau termasuk pembaca, sistem nilai, satu set keyakinan, atau bahkan seluruh budaya. Pada tahun 1992, Mona Baker menyatakan bahwa kata SL dapat mengekspresikan konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya target. Hal ini dapat menjadi abstrak atau beton. Ini mungkin sebuah keyakinan agama, kebiasaan sosial atau bahkan jenis makanan. Dalam bukunya, dengan kata lain, ia berargumen tentang nonsetara umum yang penerjemah datang di saat menerjemahkan dari SL ke TL, sedangkan kedua bahasa memiliki budaya dibedakan khusus mereka. Dia menempatkan mereka dalam urutan sebagai berikut: a) Budaya konsep tertentu b) Konsep SL yang tidak lexicalized di TL c) SL kata yang semantik kompleks d) bahasa sumber dan target membuat perbedaan berbeda dalam arti e) TL tidak memiliki ordinat Super f) TL tidak memiliki istilah tertentu (hyponym) g) Perbedaan dalam perspektif fisik atau interpersonal

h) Perbedaan dalam arti ekspresif i) Perbedaan dalam bentuk j) Perbedaan frekuensi dan tujuan menggunakan bentuk-bentuk khusus k) Penggunaan kata-kata pinjaman dalam teks sumber Mona Baker juga percaya bahwa itu perlu bagi penerjemah untuk memiliki pengetahuan tentang semantik dan set leksikal. Karena dalam kasus ini: S / dia akan menghargai "nilai" dari kata dalam pengetahuan sistem yang diberikan dan perbedaan struktur di SL dan TL. Hal ini memungkinkan dia untuk menilai nilai dari sebuah item yang diberikan dalam set leksikal. S / ia dapat mengembangkan strategi untuk berurusan dengan non-kesetaraan bidang semantik. Teknik-teknik ini disusun secara hierarkis dari yang umum (superordinate) ke khusus (hyponym). Pada tahun 1992, Coulthard highlightd pentingnya mendefinisikan pembaca yang ideal untuk siapa penulis atribut pengetahuan tentang fakta-fakta tertentu, memori pengalaman tertentu ... ditambah pendapat tertentu, preferensi dan prasangka dan tingkat kompetensi linguistik tertentu. Ketika mempertimbangkan aspek-aspek seperti, sejauh mana penulis dapat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan seperti yang tergantung pada rasa sendiri milik kelompok sosio-budaya tertentu tidak boleh dilupakan. Coulthard menyatakan bahwa sekali pembaca yang ideal ST telah ditentukan, pertimbangan harus dibuat tentang TT. Dia mengatakan bahwa kesulitan penerjemah pertama dan utama adalah pembangunan pembaca yang ideal baru yang, bahkan jika ia memiliki tingkat akademis, profesional dan intelektual yang sama sebagai pembaca

asli, akan memiliki harapan berbeda secara signifikan tekstual dan pengetahuan budaya. Dalam kasus ekstrak diterjemahkan di sini, itu masih bisa diperdebatkan apakah pembaca TT ideal memiliki "harapan tekstual berbeda secara signifikan," Namun pengetahuan budaya-nya akan hampir pasti bervariasi. Diterapkan pada kriteria yang digunakan untuk menentukan pembaca ST yang ideal dapat dicatat bahwa kondisi sedikit yang berhasil dipenuhi oleh pembaca potensial TT yang ideal. Memang, fakta-fakta sejarah dan budaya yang tidak mungkin diketahui secara rinci bersama dengan situasi budaya tertentu yang digambarkan. Selain itu, meskipun mempertimbangkan tingkat kompetensi linguistik menjadi kira-kira sama untuk pembaca ST dan TT, perbedaan tertentu mungkin dapat dicatat dalam menanggapi penggunaan Lexis budaya spesifik yang harus dipertimbangkan ketika menerjemahkan. Meskipun pendapat tertentu, preferensi dan prasangka mungkin naluriah dialihkan oleh pembaca TT yang mungkin menyamakan mereka untuk mengalami sendiri, harus diingat bahwa ini tidak sesuai dengan pengalaman situasi sosial pembaca ST. Oleh karena itu, Coulthard terutama menyatakan bahwa aspek inti sosial dan budaya tetap bermasalah ketika mempertimbangkan implikasi budaya untuk terjemahan. Masalah yang sering kali muncul dalam penerjemahan teks pada umumnya berkaitan dengan masalah perbedaan budaya antara dua bahasa yang terlibat. Strategi apa yang akan dipakai oleh penerjemah dalam menghadapi kendala budaya ditentukan antara lain oleh ideology yang dimiliki penerjemah. Newmark dalam Hatim dan Mason (1997: 145) menyatakan:

the choice between communicative and semantic is partly determined by orientation towards the social or the individual, that is, towards mass readership or towards the individual voice of the text producer. The choice is implicitly presented as ideological. International Conference on SFL and Its Contributions to Translation Studies Surakarta, September 23, 2009 9.

Bukanlah hal yang mudah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Seorang penerjemah dihadapkan pada dua pilihan: apakah akan berorientasi pada pembaca sasaran, atau mempertahankan teks dengan berbagai aspek yang ada di dalamnya. Permasalahan ini memunculkan banyak perdebatan. Ada dua kecenderungan yang saling berlawanan. Kecenderungan tersebut disebut sebagai domestication dan foreignisation. Domestikasi Nida dan Taber (1982) secara tegas menyatakan bahwa sebaiknya seorang penerjemah lebih mengutamakan keterbacaan teks oleh pembaca sasaran. Sebenarnya, dengan definisi yang mereka buat bahwa penerjemahan berusaha mencari the closest natural equivalent, sudah tampak bahwa Nida dan Taber memiliki kecenderungan anggapan penerjemahan yang baik ialah penerjemahan yang mengutamakan kebutuhan pembaca sasaran. Menurut mereka: The priority of the audience over the forms of the language means essentially that one must attach greater importance to the forms understood and accepted by the audience for which a translation is designed than to the forms which may possess a longer linguistic tradition or have greater literary prestige.

Kecenderungan domestikasi yang dipilih oleh penerjemah berlatar belakang keyakinan bahwa terjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca sasaran yang menginginkan teks terjemahan harus sesuai dengan kebudayaan masyarakat sasaran (Hoed, 2006). Jika ini yang dipilih, penerjemah akan mengusahakan terjemahannya tidak terasa sebagai terjemahan dan menjadi bagian dari tradisi tulis dalam bahasa sasaran. Apabila dikaitkan dengan diagram V Newmark, akan tampak pada hasil terjemahan, penerjemah cenderung berpihak atau berorientasi pada pembaca sasaran. Jadi metode yang digunakan adalah penerjemahan komunikatif, idiomatik, bebas, atau adaptasi.

Word-for-word translation Literal translation Faithful translation Semantic translation

= = = =

Adaptation Free translation Idiomatic translation Communicative translation (Newmark, 1988: 45)

Menurut Venuti (1995), domestikasi atau transparansi bukan sekedar untuk memenuhi selera pembaca terjemahan. British and American publishing, in turn, has reaped the financial benefits of successfully imposing Anglo-American cultural values on a vast foreign readership, while producing cultures in the United Kingdom and the United States that are aggressively monolingual, unreceptive to the foreign, accustomed to fluent translations that invisibly inscribe foreign texts with English-language values and provide readers with the narcissistic experience

of recognizing their own culture in a cultural other. The prevalence of fluent domestication has supported these developments because of its economic value: enforced by editors, publishers, and reviewers, fluency results in translations that are eminently readable and therefore consumable on the book market, assisting in their commodification and insuring the neglect of foreign texts and English-language translation discourses that are more resistant to easy readability. Ideologi ini dinilai berlatar belakang masalah ekonomi dan politik pembentukan selera. Para penerbit yang memiliki modal dan kekuasaan besar turut berperan dalam penerjemahan karya-karya tulis berbahasa non-Inggris menjadi bagian dari budaya Anglo-Amerika. Karya-karya tersebut didokumentasi dan diasimilasi sehingga nilai budaya dalam teks bahasa sumber pudar dan digantikan dengan nilai budaya bahasa sasaran. Hal ini juga dimaksudkan agar karya penulis dalam negeri waktu itu tidak tersaingi. Dengan cara ini kebudayaan asing bisa dicegah. Terlepas dari pendapat di atas, ada baiknya jika kita melihat pada sisi positif dan negatif dari kecenderungan ini. Tabel 1. Kelebihan dan Kekurangan Ideologi Domestikasi dalam Penerjemahan Kelebihan Pembaca teks bahasa sasaran bisa memahami teks terjemahan dengan mudah. Teks terjemahan terasa natural dan komunikatif. Pembaca teks bahasa sasaran tidak bisa memberikan interpretasi terhadap teks, karena interpretasi Kekurangan Aspek-aspek budaya dalam bahasa sumber sering kali pudar.

sudah dilakukan oleh penerjemah. Memungkinkan terjadinya asimilasi budaya. Pembaca teks bahasa sasaran tidak mendapatkan pengetahuan budaya bahasa sumber.

Foreignisasi Ideologi ini berpijak pada pendapat bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca sasaran yang menginginkan kehadiran budaya bahasa sumber atau menganggap kehadiran bahasa sumber memberikan manfaat bagi masyarakat (Hoed, 2006: 87). Jadi, meskipun teks telah berubah bahasa, suasana dan budaya bahasa sumber diusahakan untuk dapat tetap hadir. Hal ini bertujuan memberikan pengetahuan tambahan kepada para pembaca tentang fenomena dan budaya asing. Nilai-nilai bahasa sumber tetap dijaga keberadaannya. Ideologi ini bertolak belakang dengan ideologi domestikasi yang berusaha sejauh mungkin untuk tidak menghadirkan sesuatu yang asing bagi pembaca teks sasaran. Irma Hagfors (2003) tidak sependapat dengan domestikasi dalam

penerjemahan, terutama penerjemahan teks untuk anak-anak. Berikut ini pernyataan Hagfors: Depending on the choice of global and local translation strategies, translated childrens literature can be either a means of bridging cultural differences or of obscuring them. If culture-bound elements are foreignized the story can serve as a tool for learning about foreign cultures, times and customs and intrigue readers to find out more about them. In other words, foreignized childrens

stories are a way of drawing attention to cultural matters: to learn what is different and what is shared between the readers culture and that in which the story is set. Menurutnya, penerjemahan juga memiliki peran penting dalam menjembatani adanya perbedaan kebudayaan. Anak-anak bisa lebih memahami budaya lain daerah atau lain negara. Dengan belajar budaya masyarakat lain melalui karya terjemahan, anak-anak bisa mulai memahami permasalahan dan fenomena budaya dalam masyarakat sosial yang lain, memahami persamaan dan perbedaannya dengan budayanya sendiri. Jadi, pada saatnya nanti mereka tidak mengalami cultural shock yang hebat. Isabel Pascua (2003) menganggap penerjemahan memiliki peranan yang penting dalam pendidikan lintas budaya. Pernyataan Pascua jelas terdeskripsikan dalam kutipan berikut ini. International Conference on SFL and Its Contributions to Translation Studies Surakarta, September 23, 2009 12 As my main task as a translator is to let my readers know more about the foreign and the other, I would naturally opt for foreignization: keeping the exotic and the unknown in the translated text. Keeping intercultural education in mind when translating for children it is important to maintain the cultural references of the original text, and pay attention to the issues of acceptability and readability. The translated text should not maintain the linguistic discourse of the original language as we have to pay attention to the future readers, the children. They will not like a text with strange-sounding sentences and complex grammatical structures. Different treatment should be given to those cultural markers which introduce Spanish readers to new worlds. Readers will understand that it is a foreign text and should feel that they are

reading a translation if not only for the exotic names, places, food, clothes, customs, etc. (see Pascua 2000 and 2001). Unlike the norm in Spain a few decades ago, which required translated texts to sound very Spanish, this way of translating emphasizes the different something essential on translating multicultural literature.

Foreignisasi dalam penerjemahan dapat digunakan untuk mempertahankan referensi budaya teks bahasa sumber. Dengan tetap melibatkan aspek budaya yang ada dalam teks bahasa sumber, pembaca akan mengalami eksotisme teks asli dan mendapatkan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan kata lain, pembelajaran lintas budaya bisa dilakukan. Lebih lanjut dikatakan, meskipun penerjemah memutuskan untuk melakukan foreignisasi, harus tetap diingat bahwa penerjemahan, apapun bentuknya, selalu berkaitan dengan keberterimaan dan keterbacaan. Pembaca dalam level apapun tidak akan senang atau nyaman jika membaca teks yang mengandung kalimat yang terasa janggal atau mendapati kalimat yang terlalu kompleks. Jadi, penerjemah memikul beban yang berat karena selain dituntut untuk bisa membawakan budaya dalam teks bahasa sumber, dia juga tidak boleh mempertahankan linguistic discourse. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Jika kita kembali merujuk pada diagram V Newmark, penerjemah yang menganut ideologi foreignisasi cenderung akan menggunakan metode yang berorientasi pada teks bahasa sumber. Penerjemah akan menggunakan metode wordfor-word, literal, faithful, atau semantic translation. Tidak bisa dihindari, jika seorang penerjemah menggunakan metode-metode ini, bahasa yang dihasilkan dalam

terjemahan

akan

cenderung

mempertahankan

bentuk

bahasa teks

sumber.

International Conference on SFL and Its Contributions to Translation Studies Surakarta, September 23, 2009 13. Berikut ini kelebihan dan kekurangan penggunaan foreignisasi dalam penerjemahan. Tabel 2. Kelebihan dan Kekurangan Ideologi Foreignisasi dalam Penerjemahan Kelebihan Pembaca teks bahasa sasaran Kekurangan bisa Pembaca teks sasaran mungkin merasa asing dengan beberapa istilah. Teks bahasa sasaran kadang terasa kompleks dan tidak natural dalam penggunaan bahasanya. Memungkinkan terjadinya intercultural learning. Aspek-aspek negatif budaya dalam bahasa sumber bisa mudah masuk dan berpengaruh pada pembaca.

memahami budaya bahasa sumber. Teks terjemahan bisa menghadirkan nuansa budaya bahasa sumber.

Teori Pergeseran Penerjemahan Catford Dalam proses pengalihan, seorang penerjemah mengalihkan naskah bahasa sumber ke dalam naskah bahasa sasaran dengan memperhatikan berbagai penyesuaian. Penyesuaian yang disampaikan oleh Nida & Taber (1969:105) dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penyesuaian struktur dan penyesuaian semantis. Menurut mereka, kedua bentuk penyesuaian ini mengakibatkan pergeseran. Penyesuaian struktur akan mengakibatkan pergeseran bentuk bahasa, sedangkan penyesuaian semantis akan mengakibatkan pergeseran makna.

Pergeseran atau transposisi: melibatkan perubahan dalam tata bahasa dari SL ke TL, misalnya, (i) perubahan dari tunggal untuk jamak, (ii) perubahan yang diperlukan ketika struktur SL tertentu tidak ada di TL, (iii) perubahan dari kata kerja SL untuk kata TL, perubahan kelompok kata benda SL untuk sebuah kata benda TL dan sebagainya. (Newmark, 1988b: 86)

Faktor-faktor terjadinya pergeseran Catford (1965:73) menyatakan bahwa pergeseran atau shifts as departures from formal correspondence in the process of going from the Source Language to the Target Language. Catford membagi factor yang melatar belakangi pergeseran menjadi dua jenis, yaitu level shifts dan category shifts. 1. Level shifts are if a source language item at one linguistic level has a target language translation equivalent at a different level. Dalam pergeseran ini, Catford menyatakan bahwa sebuah bahasa sumber yang berada pada tingkat linguistik tertentu memiliki bahasa terjemahan dengan sistem bahasa yang sepadan dalam tingkat linguistik yang berbeda (1965: 73). Umumnya pergeseran ini terjadi di sekitar perihal kosa kata (leksikal) dan tata bahasa (gramatikal). Contoh : grammar to lexis she is eating diterjemahkan menjadi Dia sedang makan to be + v-ing (grammar) diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan leksikon sedang

2. Category shifts are departures from formal correspondence in translation that involve structure shifts, class shifts, units shifts (rank changes), intrasystem-shifts.

Pada pergeseran jenis ini kebebasan dalam menerjemahkan sangat diutamakan, karena dalam menerjemahkan banyak mengikuti aturan penulisan bahasa sasaran sehingga hasil penerjemahan tidak terlihat seperti bahasa terjemahan. Pergeseran kategori ini terbagi atas beberapa kelompok, yaitu: a. Structure shifts (pergeseran struktur) Dalam pengelompokan pergeseran kategori, pergeseran struktur inilah yang paling sering terjadi. Secara gramatika, pergeseran struktur dapat muncul pada berbagai tataran (kata, frase, klausa, atau kalimat), namun masih dalam tingkatan yang sama. Sebagai contoh, sebuah kalimat dalam bahasa sumber diterjemahkan masih dalam tingkatan kalimat juga, walaupun secara gramatika kalimat dalam bahasa sasaran berbeda. Contoh : Pasif menjadi aktif Your message has been sent Kami telah mengirim pesan anda b. Class shifts (pergeseran kelas kata) Pergeseran kelas kata ini terjadi ketika kelas kata dalam bahasa sumber berbeda dengan kelas kata dalam bahasa sasaran. Contoh : Preposisi menjadi konjungsi After that, I walked her home Setelah kami berbelanja, aku mengantarnya pulang c. Unit shifts : departure form formal correspondence in which the translation equivalent of a unit at one rank in the Source Language is a unit at a different rank in the Target Language. Pergeseran ini hampir sama dengan pergeseran struktur (structure-shift), tetapi pada pergeseran tataran ini, tingkatan antara bahasa sumber dan bahasa sasarannya

berbeda. Misalnya, dua buah kata dalam bahasa sumber dapat menjadi sebuah kata saja dalam bahasa sasaran. Contoh : Frase menjadi kata His father is very nice Ayahnya sangat baik d. Intra-system-shifts : departure from formal correspondence in which (a term operating in) one system in the Source Language has its translation equivalent (a term operating in) a different non correponding-system in the Target Language, the shifts occurs internally, within a system. Sesuai dengan namanya, pergeseran ini terjadi pada kasus-kasus yang melibatkan sistem internal pembentukan bahasa dalam terjemahan. Contohnya seperti pembentukan kata tunggal dan kata jamak. Tiap bahasa memiliki bentuk tunggal dan jamak yang berbeda. Hal ini sesuai dengan aturan yang berlaku dalam bahasa tersebut, sehingga dalam penerjemahan bentuk tunggal sebuah bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dapat terjadi pergeseran bentuk. Contoh : Plural menjadi singular People often think negative about him Orang sering berpikir negatif tentang dia Menurut Catford (1965:20), penerjemahan berarti mentransfer bahasa sumber ke bahasa sasaran. Penerjemahan merupakan penggantian materi tekstual pada bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dalam proses penerjemahan, penerjemah selalu berusaha mendapatkan unsur bahasa sasaran yang sepadan dengan bahasa sumbernya agar dapat mengungkapkan pesan yang sama dalam teks sasaran. Karena setiap bahasa mempunyai aturan tersendiri, maka perbedaan aturan ini akan menyebabkan terjadinya pergeseran.

Simatupang (2000:74-82) Pergeseran pada tataran morfem Inggris Indonesia impossible tidak mungkin recycle daur ulang Pergeseran pada tataran sintaksis Kata ke frasa Inggris Indonesia girl anak perempuan stallion kuda jantan Frasa ke klausa Inggris Not knowing what to say, (he just kept quiet) Indonesia (Karena) dia tidak tahu apa yang hendak dikatakannya, Frasa ke kalimat Inggris His misinterpretation of the situation (caused his downfall). Indonesia: Dia salah menafsirkan situasi (dan itulah yang menyebabkan kejatuhannya). Klausa ke kalimat Inggris Her unusual voice and singing style thrilled her fans, who reacted by screaming, crying, and clapping. Indonesia Suaranya yang luar biasa dan gayanya bernyanyi memikat para penggemarnya. Mereka memberikan rekasi dengan berteriak-teriak dan bertepuk tangan. Kalimat ke wacana Inggris Standing in a muddy jungle clearing strewn with recently felled trees, the Balinese village headman looked at his tiny house at the end of a line of identical buildings and said he felt strange. Indonesia Kepala kampung orang Bali itu berdiri di sebuah lahan yang baru dibuka di tengah hutan. Batangbatang pohon yang baru ditebang masih berserakan di sana-sini. Dia memandang rumahnya yang kecil yang berdiri di ujung deretan rumah yang sama bentuknya dan berkata bahwa dia merasa aneh. Pergeseran kategori kata a. Nomina ke adjektiva Inggris Indonesia He is in good health. Dia dalam keadaan sehat. b. Nomina ke verba Inggris Indonesia We had a very long talk. Kami berbicara lama sekali. Pergeseran pada tataran semantik Pergeseran makna pada tataran semantik dapat berupa pergeseran makna generik ke makna spesifik maupun sebaliknya. Misalnya pada penerjemahan kata bahasa Inggris leg atau foot ke dalam bahasa Indonesia, maka padanan yang paling dekat untuk kedua kata tersebut adalah kaki. Di sini penerjemahan bergerak dari makna spesifik ke makna generik. Pergeseran makna karena perbedaan sudut pandang budaya Pergeseran makna juga terjadi karena

perbedaan sudut pandang dan budaya penutu bahasa yang berbeda. Misalnya orang Inggris menghubungkan ruang angkasa dengan kedalaman, sedangkan orang Indonesia dengan ketinggian atau kejauhan. Jadi orang Inggris akan mengatakan The space-ship travelled deep into space, sedangkan orang Indonesia akan berkata Kapal ruang angkasa itu terbang tinggi sekali di ruang angkasa. Pergeseran terjemahan pragmatik yaitu penekanan pada ketepatan pengalihan pesan dalam bahasa sasaran, aspek bahasa dan estetika kurang diperhatikan contoh: SL: Master Kids shower gel formulated with triclosan. Aloe Vera Extract, DPathenol and Vitamin E to make your skin clean, fresh, soft, and stay healthy. Lather onto wet body, rinse well. Use under adult supervision. Store in a cool & dry place. No direct sunlight. TL: Sabun mandi Master Kids yang diformulasikan dengan Triclosan, Ekstrak Aloe Vera, D-Pathenol dan Vitamin E. Kultimu jadi bersih, harum, lembut, dan tetap sehat. Usapkan pada tubuh hingga berbusa, bilas hingga bersih. Ajarilah anak anda untuk menggunakannya dengan benar. Simpan di tempat kering dan tidak terkena sinar matahari.

Menurut Karnedi (2005) dan Machali (2000) pergeseran dalam terjemahan sebagai berikut:

menyebutkan jenis-jenis

1.Pergeseran Bentuk Jenis Pertama a. Kata jamak dalam bahasa sumber (Bsu) menjadi tunggal dalam bahasa sasaram (Bsa) - A pair of trouser : sebuah celana - A pair of scissor : sebuah gunting

b. Adjektif + noun menjadi nomina + pemberi sifat - The dark morning : pagi (yang) gelap - Beautiful woman : wanita (yang) cantik

c. Pengulangan kata sifat (dalam bahasa Indonesia) --> penjamakan nomina (dalam bahasa Inggris) - Celananya abu-abu : His trousers are grey.

2.Pergeseran Bentuk Jenis Kedua a.Obyek bisa di depan atau belakang (bahasa Indonesia) menjadi obyek di belakang (bahasa Inggris) - Buku itu harus kita bawa menjadi We must bring the book. - Di album itu terdapat foto-foto lama menjadi There are old photograph in the album.

b.Kata kerja bisa di depan (bahasa Indonesia) menjadi tidak lazim dalam bahasa Inggris, kecuali dalam kalimat imperatif. berbeda penjelasannya menjadi the explanation differ telah disahkan penggunaannya menjadi Its usage has been approved.

3.Pergeseran Bentuk Jenis Ketiga a.Nomina/frasa nomina menjadi verba He does not know the answer to difficult policy is sues. Ia tidak tahu menjawab/menangani masalah-masalah kebijakan yang sulit.

b.Gabungan adjektif + bentukan dengan nomina atau frasa nomina menjadi nomina + nomina engineering tecnique menjadi teknik (pe)rekayasa(an)

c.Klausa dalam bentuk partisipan menjadi dinyatakan secara penuh dan eksplisit The approval signed by the doctor is valid. Persetujuan yang ditandatangani oleh dokter itu sah.

d.Frase nomina dengan adjektif bentukan dari verba (tak) transitif menjadi nomina + klausa lending bank menjadi bank yang memberikan pinjaman

e.Pergeseran Kelas (i)Bsu : I disavoy any knowledge their plot Bsa : Saya menyangkal mengetahui apa pun tentang persengkongkolan mereka (nomina menjadi verba)

(ii)Bsu : The neighbour were hostile to the family Bsa : Para tetangga itu memusuhi keluarga tersebut (adjektif menjadi verba)

(iii)Bsu : It was abarduous climbing up the mountain

Bsa : sungguh sukar mendaki gunung itu (nomina menjadi verba)

4.Pergeseran Bentuk Jenis Keempat a.Penanda fokus dalam Bsu dinyatakan dengan konstruksi gramatikal : -lah atau pun. Contoh : - Perjanjian ini yang diacu menjadi It is this agreement which is referred to (not anything else)

b.Kata menjadi frasa absurdity menjadi keadaan yang bukan-bukan adept menjadi sangat terampil

c.Frasa ? klausa the observable universe menjadi alam semesta yang dapat diamati

Istilah-istilah budaya pada unit 9 Source language Troubled him in agreat deal By chewing them Do not last forever Would not listen Actually retired Grazing ground Rations Animalism Dog biscuits By ang large In fact Everlasting fields of clover Talk by the hour Target language uzuh dimamahnya Kembang kempis Angin lalu mengaso Tempat berleha leha ransum Binatangisme Biscuit buat anjing Pukul rata Bin gamblang Tanaman ijo royo-royo sepanjang tahun berceloteh

Flap his black wings hedges They reasoned, were hungry lies rumour Come racing glazed Cant get up A thin stream of blood For the next two days Fools Tobe fenced off

Mengelepakkan sayap Perda perdu Dirundung lapar Isapan jempol belaka Desas desus Dating tergopoh gopoh Berkaca kaca berabe Seonggok daging Selama dua hari suntuk Bego/goblok Terlalu sepuh

Pergeseran (shifting) menurut catford pada unit 9 Level shift, grammar to lexis: Source language Theyre taking boxer away They were usually working (hal 69) Theyre taking boxer away (hal 75) Target language Cuma bias tunggui boxer sesdah jam kerja Kerja tak henti henti Mereka angkut Boxer (hal 140)

Structure shifts (pergeseran struktur): Pergeseran dari Passive to active Source language Your message has been sent Target language Kami telah mengirim pesan anda

Pergeseran Class shifts (pergeseran kelas kata)

Source language After that, I walked her home

Target language Setelah kami

berbelanja,

aku

mengantarnya pulang Boxers split hoof was a long time in Kuku oxer yang hancur terbelah dua lama healing. (hal 68) sembuhnya. They had started the rebuilding of the Begitu rentetan windmill the day after the victory berakhir, celebrations were ended. (hal 68) pesta kemenangan pembangunan

dimulailah

kembali kinar.

Pergeseran Unit shifts Source language Target language Meanwhile life was hard. The winter was Sementara itu, kehidupan makin jadi as cold as the last one had been. (hal 69) berat. Musim dingin dan menggigilnya seperti tahun sudah. (hal 127) And food was even shorter (hal 69) Dan makanan makin sedikit (hal 127)

Pergeseran Intra-system-shifts Plural menjadi singular Source language People often think negative about him Target language Orang sering berpikir negatif tentang dia

Hewan yang berada di tempat kerja The animals were all at work About half the animals on the farm (hal Sekitar separuh hewan penghuni

73) The animals felt a little uneasy The animals broke off work Kesimpulan

peternakan. (hal 137) Hewan merasa tidak enak hatinya. Binatang tinggalkan pekerjaan mereka

Masalah budaya akan selalu dihadapi oleh penerjemah. Hal ini tidak bias dihindarkan karena bahasa dan budaya saling berkaitan erat dan keduanya menjadi kunci dalam menerjemahkan teks. Jadi penerjemah harus memiliki kompetensi bicultural/multicultural selain kompetensi kebahasaan. Bahkan seorang penerjemah sebaiknya memiliki native-like competence meskipun hal ini sulit untuk dicapai. Dalam penerjemahan, pemahaman lintas-budaya diperlukan untuk mendapatkan pemahaman atas teks yang diterjemahkan maupun untuk mengalihbudayakan jika memang dikehendaki. Dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan budaya, penerjemah harus memilih antara domestication atau foreignization. Penerjemah harus memilih untuk berpihak pada masyarakat pembaca atau berpihak pada individu untuk mempertahankan sense budaya teks sumber yang mencerminkan budaya dan ideologi penuils aslinya. Setiap pilihan tentu ada konsekuensi/ resikonya. Dalam mengambil keputusan, penerjemah harus bisa membaca situasi dan memilih resiko yang paling kecil.

Daftar Acuan

-Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication. -Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Longman. -Damono, S.J. 2003. Menerjemahkan Karya Sastra. Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003. -Dollerup, C dan Lindegard, A. 1993. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia: John Benjamins. -Duff, A. 1984. The Third Language. Great Britain: Pergamon Press. -Goodenough, W.H. 1964. Cultural Anthropology and Linguistics. In Dell Hymes (ed.). Language in Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Crow. -Hervey, S., & Higgins, I. 1992. Thinking Spanish Translation: A Course in Translation Method: French to English. London: Routledge. -House, J. 2002. Universality versus Culture Specificity in Translation. Dalam Alessandra Ricardi (ed.). Translation Studies: Perspective on an Emerging Discipline. Cambridge: Cambridge University Press. -Nababan, M.R. 2004. Kecenderungan Baru dalam Studi Penerjemahan, Makalah disajikan dalam Semiloka Penerjemahan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Jogyakarta pada tanggal 23 Juli 2004. -Nababan, M.R. 2003. Arah Penelitian Penerjemahan, Makalah disajikan dalam Kongres Nasional Penerjemahan, di Tawangmangu, 15-16 September 2003. -Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International. -Nida, E. 1975. Language Structure and Translation. Standford, California: Standford University Press.

-Nord, C. 1997. Translating as a Purposeful Activity: Functional Approaches Explained. Manchester, UK: St. Jerome Publishing -Snell-Hornby, M. 1995. Translation Studies: An Integrated Approach. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. -Animal farm chapter IX