tgs toksikologi

21
Pengaruh Efek Toksik Asetaminophen Terhadap Organ Hati Tugas Terstruktur Mata Kuliah Toksikologi Dosen Pengampu Nera Umilia, S.Farm., Apt. Disusun Oleh : Anggun Pradhita I 211 08 031 Ellizabet I 211 08 032 Vonny Willianti I 211 08 033 Sandy Ryandy A. I 211 08 034 Dedi Rahadi I 211 08 035 Inge Pramitasari I 211 08 037 Putria I 211 08 039 Utin Dina Dwiyana I 211 08 040 Mukhrizal I 211 08 041 Dina Pratiwi I 211 08 043 Tommy Utama Putra I 211 08 044

Transcript of tgs toksikologi

Page 1: tgs toksikologi

Pengaruh Efek Toksik Asetaminophen Terhadap Organ Hati

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Toksikologi

Dosen Pengampu

Nera Umilia, S.Farm., Apt.

Disusun Oleh :

Anggun Pradhita I 211 08 031Ellizabet I 211 08 032Vonny Willianti I 211 08 033Sandy Ryandy A. I 211 08 034Dedi Rahadi I 211 08 035Inge Pramitasari I 211 08 037Putria I 211 08 039Utin Dina Dwiyana I 211 08 040Mukhrizal I 211 08 041Dina Pratiwi I 211 08 043Tommy Utama Putra I 211 08 044

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2011

Page 2: tgs toksikologi

Anatomi Hati

Hati merupakan organ terbesar pada tubuh, yang berkisar 2% berat tubuh

total atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Unit fungsional dasar hati

adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter

dan berdiameter 0,8-2 mm. Hati manusia mengandung 50.000 sampai 100.000

lobulus.

Lobules hati yang ditunjukkan dalam bentuk potongan pada gambar 70-1,

terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatica dan

kemudian ke vena cava. Lobules sendiri dibentuk terutama dari banyak

lempengan sel hati yang menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-

masing lempeng hati tebalnya dua sel dan diantara sel yang berdektana terdapat

kanalikuli bilaris kecil yang mengalir ke duktus bilaris didalam septum ribose

yang memisahkan lobules hati yang berdekatan.

Gambar 70-1 Struktur Dasar Lobulus Hati (Guyton, 2007)

Di dalam septum terdapat venula porta kecil yang menerima darah

terutama dari vena saluran pencernaa melalui venula porta. Dari venula ini darah

mengalir ke sinusoid hati gepeng dan bercabang yang terletak diantara lempeng-

lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian, sel hepar terus-

menerus terpapar dengan darah vena porta.

Arteriol hati juga ditemui didalam septum interlobularis. Arteriol ini

menyuplai darah arteri ke jaringan septum di antara lobules yang berdekatan, dan

banyak arteriol kecil juga mengalir langsung ke sinusoid hati, paling sering

berlokasi pada sepertiga jarak ke septum interlobularis seperti yang terlihat pada

gambar 70-1.

Page 3: tgs toksikologi

Selain sel–sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel lain : (1) sel

endotel khusus dan (2) sel kupffer besar (juga disebut sel retikuloendotelial), yang

merupakan makrofag residen yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis

bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus.

Lapisaan endotel sinusoid vena mempunyai pori-pori yang sangat besar,

beberapa diantarany berdiameter hamper 1mikrometer. Dibawah lapisan ini,

terletak di antara sel endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang sangat

sempit yang disebut ruang Disse yang juga dikenal sebagai ruang perisinusoidal.

Jutaan ruang Disse menghubungkan pembuluh limfe didalam septum

interlobularis. Oleh karena itu, kelebihan cairan di dalam ruang ini dikeluarkan

melalui aliran limfatik. Karena besarnya pori di endotel, zat didalam plasma

bergerak bebeas ke dalam ruang Disse. Bahkan banyak protein plasma berdifusi

debgan bebas ke ruang ini.

Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain

Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam

melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamide,

penisilin, ampislin, dan eritromisisn ke dalam empedu. Dengan cara yang sama,

beberapa hormone yang diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati, meliputi

tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol dan

aldosteron. Kerusakan hati ini dapat mengakibatkan penimbunan di dalam cairan

tubuh dan oleh karena itu menyebabkan aktivitas berlebihan dari sistem hormon.

Akhirnya, salah satu jalan utama untuk ekskresi kalsium dari tubuh adalah

seekresi oleh hati ke dalam empedu, lalu diangkut ke usus dan hilang dalam feses.

Parasetamol (Asetaminofen)

Rumus Kimia

Salah satu obat yang bersifat hepatotoksik adalah parasetamol. Senyawa

ini merupakan turunan fenasetin. Parasetamol mempunyai beberapa nama generik

antara lain N-hidroksi asetanilida, N-asetil-p-aminofenol dan asetaminofen.

Parasetamol digunakan sebagai obat analgesik dan antipiretik di seluruh dunia

Page 4: tgs toksikologi

(Sumioka et al. 2004). Parasetamol berbentuk serbuk kristal berwarna putih, tidak

berbau, rasanya sedikit pahit, peka terhadap udara dan cahaya serta mempunyai

pH 5,3-6,5, karena toksisitas dan daya antiinflamasinya yang lemah menjadikan

parasetamol sebagai alternatif aspirin. Parasetamol relatif aman pada dosis terapi,

walaupun demikian overdosis akut parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik,

kerusakan (nekrosis) sentrilobular hati yang fatal.

Penggunaan parasetamol didasarkan pada dugaan bahwa fenasetin dalam

tubuh akan dioksidasi menjadi senyawa paraaminofenol. Kemampuan

parasetamol sebagai antipiretik terdapat pada struktur aminobenzena senyawa ini.

Menurut Goodman et al. (1980), parasetamol adalah obat yang memiliki daya

analgesik dan antipiretik melalui mekanisme penghambatan prostaglandin dalam

tubuh. Struktur kimia parasetamol dan struktur aminobenzena senyawa

parasetamol dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :

Gambar 1. Bagan Struktur Kimia Parasetamol

Page 5: tgs toksikologi

Acetanilide Paracetamol Aniline

Gambar 2. Bagan Struktur Aminobenzena Senyawa Parasetamol

Farmakodinamik

Parasetamol telah lama diketahui mempunyai mekanisme yang sama

dengan aspirin oleh karena persamaan struktur kedua zat tersebut. Parasetamol

bekerja menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga dapat mengurangi

produksi prostaglandin, yang terlibat di dalam proses demam dan sakit.

Bagaimanapun, ada perbedaan penting antara efek aspirin dan parasetamol.

Aspirin mengandung prostaglandin yang berperan di dalam proses peradangan,

tetapi parasetamol tidak dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Selain itu, aspirin

bekerja menghambat enzim COX yang tidak dapat diubah, secara langsung

menghalangi lokasi aktif enzim dan mempunyai efek merugikan pada lapisan

perut. Parasetamol secara tidak langsung menghalangi enzim COX sehingga

menjadi tidak efektif terhadap peroksida. Hal ini menyebabkan parasetamol

menjadi efektif bekerja pada susunan saraf pusat dan sel endotel, tetapi bukan

pada platelet dan sel imun yang mempunyai tingkat peroksida tinggi.

Pada tahun 2002 telah dilaporkan bahwa parasetamol selektif dalam

menghalangi varian dari enzim COX yang berbeda, dikenal varian COX-1 dan

COX-2. Enzim ini hanya bereaksi di otak dan sumsum tulang, sekarang dikenal

sebagai COX-3. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa administrasi parasetamol

Page 6: tgs toksikologi

meningkatkan bioavibilitas dari serotonin (5-HT) di tikus, tetapi mekanismenya

belum diketahui.

Farmakokinetik

Parasetamol dimetabolisme terutama oleh enzim-enzim mikrosomal sel

hati. Di dalam saluran pencernaan, asetaminofen dengan cepat diserap dan dalam

waktu 30 menit akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Pada dosis

yang menyebabkan toksisitas akut, ikatan parasetamol terhadap protein plasma

bervariasi dari 20-50%. Pada dosis normal, 90-100% dari senyawa obat ini

mungkin akan dikeluarkan melalui urin. Pengeluaran senyawa obat ini terjadi

setelah melewati fase konjugasi dengan asam glukoronat (sekitar 60%), asam

sulfat (35%) dan sistein (3%) serta sejumlah kecil metabolit dalam bentuk

terhidroksilasi dan terdeasetilasi (Anonim, 2006). Berdasarkan hasil penelitian

Wilson dan Gilfod dalam Susana 1987 menunjukkan bahwa di dalam hati,

parasetamol akan mengalami biotransformasi melalui reaksi konjugasi dengan

asam glukoronat atau glutation dan hasilnya diekskresi melalui urin. Sisa

parasetamol mengalami biotransformasi dengan sistem sitokrom P-450. Sitokrom

P-450, suatu sistem enzim di retikulum endoplasma segera melakukan

biotransformasi oksidatif pada 5-10% parasetamol yang masuk ke dalam tubuh.

Parasetamol yang teroksidasi berubah menjadi N-asetil p-benzokuinon imin

(NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif (Susana 1987). Senyawa radikal

ini dapat bereaksi dengan molekul penyusun membran sel hati contohnya

fosfolipid. Oksidasi senyawa ini akan menghasilkan suatu radikal bebas yang

dapat mengoksidasi molekul fosfolipid lainnya sehingga terjadi reaksi oksidasi

berantai. Reaksi ini dapat menyebabkan berubahnya komposisi membran sel hati.

Menurut Manson, perubahan membran sel menyebabkan kerusakan sel hati dan

kemudian dapat menimbulkan nekrosis hati (Susana 1987). Metabolisme

parasetamol dapat dilihat pada Gambar 3.

Page 7: tgs toksikologi

+

metabolit + protein hati centralobular hepatic necrosis

Gambar 3. Bagan Metabolisme Parasetamol

Aktivitas Metabolik Asetaminofen

Page 8: tgs toksikologi

Hasil penelitian Dr. Gillete menetapkan dengan pasti bahwa pentingnya

peran metabolisme dalam menyebabkan toksisitas asetaminofen. Asetaminofen

diaktivasi metabolic dengan enzim sitokrom P450 membentuk metabolit reaktif

yang berikatan kovalen dengan protein. Metabolit reaktif ini diidentifikasi sebagai

N-asetil-p-benzokuinon imine (NAPQI), yang terbentuk karena oksidasi langsung

dua electron. Lebih lanjut, juga ditemukan enzim sitokrom 2E1,1A2,3A4, dan

2A6 yang dapat mengoksidasi asetaminofen menjadi metabolit reaktif. Juga, hasil

penelitian Dr. Gillete menyebutkan bahwa NAPQ1 didetoksifikasi oleh glutation

(GSH) untuk membentuk konjugat GSH. Akibat dosis toksik asetaminofen,

seluruh GSH di hati banyak berkurang bahkan hingga 90% dan sebagai

dampaknya metabolit ini terikat kovalen dengan grup sistein pada protein,

membentuk hasil reaksi sampingan berupa asetaminofen-protein. Mekanisme ini

dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1 . Peran metabolisme dalam toksisitas asetaminofen.

Mekanisme biokimiawi dari toksisitas

Page 9: tgs toksikologi

Penyebab kematian hepatoseluler yang diakibatkan pembentukan produk

sampingan berupa asetaminofen-protein hingga saat ini masih belum cukup

dimengerti. Satu mekanisme yang mungkin dari kematian sel ini adalah adanya

ikatan kovalen pada protein seluler kritis yang berakibat pada penurunan aktivitas

atau fungsi dan akhirnya kematian sel dan lisis. Target utama toksin pada sel

adalah protein-protein mitokondrial yang berujung pada hilangnya produksi

energy, seperti halnya protein-protein terlibat dalam control ion seluler.

Dilaporkan terjadi perubahan aktivitas ATPase membrane plasma yang menyertai

dosis toksik asetaminofen.

Beberapa protein yang terikat pada asetaminofen telah diisolasi dan

diidentifikasi. Tabel 1 menunjukkan protein yang telah teridentifikasi membentuk

produk sampingan dengan asetaminofen. Protein yang teridentifikasi oleh

Pumford et al., 1997 terdiri dari sebuah 100-kDa protein sitosolik yang ditetapkan

dengan analisis bertahap sebagai enzim n-10-formiltetrahidrofolat dehidrogenase.

Enzim ini terlibat dalam metabolisme 1-carbon dan mengoksidasi formaldehid

menjadi karbondioksida. Studi pada tikus menunjukkan aktivitas dari enzim ini

meningkat 20%, 2 jam setelah paparan dosis toksik asetaminofen. Protein kedua,

50-kda protein mitokondrial diisoladi dan ditetapkan sebagai glutamate

dehidrogenase . Enzim ini memetabolisme glutamate menjadi keto-α-glutarat dan

ammonia secara reversibel. Aktivitas dari enzim ini juga ditingkatkan 25% setelah

2 jam. Berdasarkan data inhibisi 2 enzim ini, dapat disimpulkan bahwa ikatan

kovalen dengan asetaminofen mengakibatkan hanya terjadi inhibisi sebagian pada

aktivitas enzim-enzim ini pada kondisi toksik tikus. Meskipun masuk akal bahwa

inhibisi parsial enzim dalam jumlah besar berperan pada kematian sel, data ini

memunculkan pertanyaan relatif tentang validitas hipotesis yang menyatakan

bahwa ikatan kovalen pada protein kritis adalah satu-satunya mechanism

toksisitas asetaminofen.

Page 10: tgs toksikologi

Hilangnya keseimbangan ion inti maupun mitokondrial juga merupakan

mekanisme toksik yang terlibat dalam kematian sel yang diperantarai

asetaminofen sebab keadaan ini dapat mengarah pada peningkatan konsentrasi Ca

2+ sitosolik, perputaran mitokondrial Ca2+, aktivasi protease dan endonuklease,

dan pemutusan rantai DNA. Efek dari penambahan NAPQ1 pada mitokondria

terisolasi telah dilaporkan dan inhibisi respirasi mitokondrial telah diteliti sebagai

mekanisme yang penting dalam toksisitas asetaminofen.

Penelitian awal untuk stress oksidatif

Stress oksidatif merupakan mekanisme lain yang telah dipostulasikan

penting dalam perkembangan toksisitas asetaminofen. Dengan demikian,

meningkatnya pembentukan superoksida akan mengarah pada reaksi hydrogen

peroksida dan peroksidasi oleh mekanisme Fenton-type. NAPQ1 bereaksi cepat

dengan GSH (k1=3.2 x 104 M-1 s-1 pada pH 7) dan ada sebuah mekanisme

Page 11: tgs toksikologi

potensial yang telah disebutkan berperan dalam hal ini. Dalam kondisi

pembentukan NAPQ1 yang menyertai dosis toksik asetaminofen, konsentrasi

GSH mungkin sangat rendah dalam sel sentrilobular dan enzim detoksifikasi

peroksida yang utama , GSH peroksidase yang berfungsi sangat tidak efisien di

bawah kondisi deplesi atau pengurangan GSH dalam jumlah besar diharapkan

dapat dihambat. Tambahan pula, selama pembentukan NAPQ1 oleh sitokrom

P450, anion superoksida dibentuk dengan dismutasiyang mengarah pada

pembentukan hydrogen peroksida. Peroksidasi asetaminofen menjadi radikal

bebas semikuinon akan mengarah pada perputaran redoks antara asetaminofen dan

semikuinon. Mekanisme ini akan mengarah pada peningkatan superoksida dan

toksisitas. Lihat Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme Stress Oksidatif

Page 12: tgs toksikologi

Peran Sel-Sel Kupffer

Beberapa laboratorium telah mempelajari peran aktivasi makrofag dalam

toksisitas asetaminofen. Sel kupffer adalah makrofag fagositik di hati. Ketika

diaktivasi, sel Kupffer melepaskan berberapa molekul sinyal termasuk enzim

hidrolitik, eicosanoid, nitrit oksida dan superoksida. Sel kupffer juga melepaskan

beberapa sitokin inflamasi, yakni IL-1, IL-6,dan TNF-α dan sitokin ganda yang

dilepaskan dalam toksisitas asetaminofen. Laskin et al. (1995) meneliti peran sel-

sel Kupffer dalam hepatoksisitas asetaminofen dengan praperlakuan terhadap

tikus dengan senyawa yang menekan fungsi sel kupffer (Gadolinium klorida san

dekstran sulfat). Penelitian ini melaporkan bahwa tikus-tikus ini kurang sensitive

terhadap efek toksik asetaminofen. Efek yang serupa juga dilaporkan pada mencit

(Blazka et al., 1995).

Michael at al., 1999 juga melaporkan hal yang sama. Namun studi terbaru

Ju et al., 2002 memberikan kesimpulan yang berbeda. Mereka member mencit

Gadolinium klorida dan menemukan bahwa jumlah sel kupffer di hati hanya

berkurang sebagian. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, terjadi penurunan

toksisitas asetaminofen. Namun,pada perlakuan terhadap mencit dengan

diklorometilen difosfonat, walaupun sel Kupffer terdeplesi sempurna, toksisitas

tetap meningkat. Data ini menimbulkan pertanyaan relative mengenai pentingnya

sel Kupffer pada toksisitas asetaminofen.

Nitrotirosine dan Toksisitas Asetaminofen

Nitrotirosine muncul dalam sel sentrilobuler liver pada mencit yang

diberikan asetaminofen. Analisis imunohistokimia liver pada mencit ini

menunjukkan timbulnya nitrasi pada sel yang sama yang mengandung produk

sampingan asetaminofen dan menyebabkan nekrosis (Gambar 3). Nitrotirosine

dibentuk oleh reaksi peroksinitrit dengan tirosin. Nitrasi dari tirosin merupakan

biomarker yang sangat baik terhadap adanya pemebntuka peroksinitrit.

Nitrotirosin dibnetuk melalui rekasi cepat antara nitrit oksida dan superoksida dan

ditemukan bahwa sintesis NO (kadar plasma nitrit dan nitrat) juga meningkat

Page 13: tgs toksikologi

dalam toksisitas asetaminofen. Peroksinitri adalah senyawa yang tidak hanya

mengarah pada nitrasi tirosin namun juga sebuah oksidan penting yang dapat

menyerang sejumlah besar target biologic dan dalam kondisi kapabilitas oksidan

seluler yang berkurang, peroksinitrit sangatlah toksik. Lebih jauh, senyawa ini

didetoksifikasi oleh GSH atau GSH peroksidase dan GSH dideplesi dalm

toksisitas asteaminofen. GSH peroksidase adalah enzim kunci dalam mekanisme

pertahanan tubuh. Dengan demikian, mekanisme detoksifikasi peroksinitrit

normal tidak dapat diperbaiki. Juga, bahkan walapun asetaminofen itu sendiri

akan mendetoksifikasi peroksinitrit, obat in dimetabolisme cepat dalam mencit

dan konsentrasinya rendah saat nitrasi teramati. Namun, mekanisme selain

peroksinitrit juga teah dilaporkan dapat mengarah pada nitrotirosine.

Myeloperoksidase juga dapat mengoksidasi ion nitrit menjadi radikal NO2 yang

merupakan senyawa penitrasi. Karena Myeloperoksidase ada dalam neutrofil dan

penggunaan neutrofil adalah hal terakhir dalam toksisitas asetaminofen,

mekanisme ini menjadi tidak penting. Juga, nitrit dapat dioksidasi oleh heme atau

logam bebas, yang mengarah pada radikal NO2 .

Gambar 3 . Peran stres oksidatif dalam toksisitas asetaminofen

Page 14: tgs toksikologi

Pembentukan Superoksida dan Disfunsi Mitokondria Dalam Toksisitas

Asetaminofen

Superoksida dapat dibentuk via sejumlah mekanisme termasuk

pembentukan melalui sitokrom P450 dan enzim lainnya. Pentingnya aktivasi sel

Kupffer, makrofag, dan neutrofil dalam toksisitas asetaminofen telah dievaluasi.

Penggunaan berlebihan oksigen secara mendadak yang disebabkan oleh aktivasi

fagosit ini mengakibatkan peningkatan aktivitas enzim NADPH oksidase.

Akibatnya adalah pelepasan anion superoksida pada lapisan terluar dari membrane

plasma.

Disfungsi mitokondrial bisa jadi merupakan mekanisme penting dalam

hepatotoksisitas. Transisi permeabilitas mitondrial (MPT) terjadi dengan

pembentukan superoksida yang mengarah pada peroksinitrit dan nitrasi tirosin.

MPT mewakili peningkatan tajam pada permeabilitas membrane dalam

mitokondrial terhadap solute dengan berat molekul kecil. Oksidan seperti

peroksida dan peroksinitrit, Ca2+, dan Pi meningkatkan onset MPT, sementara

Mg2+, ADP, ph rendah, serta potensial membrane yang tinggi sebaliknya

menurunkan onset. Sejalan dengan perubahan permeabilitas juga terjadi

depolarisasi membrane, fosforilasi oksidatif yang tak terkopling, pelepasan ion-

ion intramitokondrial dan metabolim perantara serta pembengkakan mitokondrial.

Oksidasi thiol di pori MPT akan menyebabkan kondisi membrane terbuka.

Penambahan NAPQ1 pada mitokondria hati tikus terisolir menyebabkan

penurunan sintesis ATP dan pelepasan Ca2+. Hal ini disebabkan oksidasi vicinal

thiol yang diperantarai NAPQ1 pada pori-pori MPT. NAPQ1 diketahui sebagai

agen oksidator dan pembentuk cincin aromatis yang dapat menyebabkan oksidasi

protein thiol. Inhibitor MPt menurunkan toksisitas asetaminofen pada potongan

hati tikus. Penambahan N-asetilsistein pada hepatosit hati mencit tidak berefek

pada toksisitas, namun dithiotreitol menurunkan perkembangan toksisitas.

Dithiotreitol diketahui dapat mengurangi thiol pada pori MPT dan mencegah

perkembangan selanjutnya dari toksisitas. Toksisitas asetaminofen ini diduga

diperantarai oleh disfungsi mitokondria yang mengakibatkan terbentuknya

oksigen reaktif dan senyawa nitrogen (Gambar 4).

Page 15: tgs toksikologi

Gambar 4. Peran transisi permeabilitas mitokondria di toksisitas asetaminofen.

Ringkasan

Analgesik asetaminofen bukanlah penyebab nekrosis hepatic. Toksisitas

sebenarnya disebabkan oleh metabolisme asetaminofen oleh sitokrom P450

menjadi metabolit reaktif. Pada dosis terapeutik, metabolit reaktif didetoksifikasi

dengan efisien melalui konjugasi dengan GSH. Namun, pada dosis toksik, GSH

dideplesi oleh reaksi konjugasi dan metabolitnya terikat kovalen pada protein.

Ikatan kovalen berkaitan dengan toksisitas. Terapi dengan sistein untuk

meningkatkan detoksifikasi GSH merupakan antidot efektif terhadap toksisitas.

Penemuan selanjutnya adalah penggunaan N-asetilsistein sebagai antidot terbaru.

Berbagai mekanisme toksik asetaminofen telah dikembangkan, namun hal kritis

yang selalu menjadi fase awal dari toksisitasnya adalah adanya aktivasi metabolic

Page 16: tgs toksikologi

DAFTAR PUSTAKA

Guyton,Arthur C et al. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta :

EGC.

Heirmayani. 2007. Toksikopatologi Hati Mencit (Mus Musculus) Pada Pemberian

Parasetamol. Bogor : Institut Pertanian Bogor

James, Laura P. et al, 2003, Acetaminophen-Induced Hepatotoxicity, Drug

Metabolism and Disposition Vol.31, no.12, 1128/1106568. USA: The

American Society for Pharmacology and experimental Therapeutics.