Tgaz Makalah PKN Wes Rampung
-
Upload
fatkhurrohman-ilham-fuadi -
Category
Documents
-
view
12 -
download
2
Transcript of Tgaz Makalah PKN Wes Rampung
PEMBAKUAN PERAN GENDER DALAM
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam mata kuliah PKN
Disusun Oleh:
NUR DIANSYAH MAULANA .M
NIM : 10350039/ AS-A
Dosen:
Dra. Hj. ERMI SUHASTI, S.HUM, MSI
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
PENDAHULUAN
Berangkat dari prinsip yang menantang gagasan konvensional bahwa hukum itu netral,
objektif dan bebas nilai. Dengan menggunakan pendekatan hukum kritis, pandangan feminis
terhadap hukum, gender dan negara dalam konteks Indonesia, ditemukan bahwa terdapat
kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan gender. Ideologi patriarki (dominasi laki-laki)
faktanya telah mewujud dalam sistem hukum di Indonesia (baik dari peraturan dan kebijakan
yang ada, stuktur dan budaya hukumnya), sehingga senantiasa mengekalkan ketidakadilan
terhadap perempuan.
Di dalam Al-Qur’an dikatakan “seorang laki-laki jabatannya di atas dibandingkan
perempuan” dalam artian bukan berarti kaum perempuan tidak boleh melebehi kaum laki-
laki aslkan mengerti batasan-batasannya. Kaum perempuan pasti mereka akan menjadi
seorang istri sekaligus seorang ibu dari anak-anaknya, jadi kesetaraan gender itu ada. Asalkan
kaum perempuan mengerti akan tugas-tugasnya yang utama yakni mengerus suami dan anak-
anaknya, jangan sampai tugas utama tersebut terabaikan.
Kaum perempuan boleh menjadi wanita karier bahkan menjadi pemimpin tetapi
alangkah lebih baiknya yang menjadi pemimpin adalah kaum laki-laki. Pada masa orde baru
pembakuan peran gender telah menyisakan ketidakadilan, yakni kaum laki-laki menjadi
pencari nafkah dan sebagai kepala keluarga sedangkan kaum perempuan hanya menjadi ibu
rumah tangga. Maka dari itu pada masa sekarang sudah tidak dibakukan lagi peran gender di
Indonesia. Kita akan mengungkap lebih lanjut tentang pembakuan peran gender pada masa
orde baru yang akan dijelaskan dengan singkat dan jelas.
PEMBAHASAN
Bagaimana pembakuan peran laki-laki dan perempuan dikukuhkan oleh Negara ?
Konsep pembakuan peran gender yang mengkotak-kotakkan peran laki-laki/ suami dan
perempuan/ istri ini hanya memungkinkan perempuan berperan di wilayah domestik
(domestikasi), yakni sebagai pengurus rumah tangga sementara laki-laki di wilayah publik
sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Peran gender yang memilah-milah peran
perempuan dan laki-laki pada kenyataannya telah dibakukan oleh negara dalam berbagai
kebijakan yang dilahirkan oleh Pemerintah Orde Baru. Kebijakan-kebijakan tersebut pada
akhirnya hanya menyisakan ketidakadilan pada perempuan. Dengan demikian, melalui
hukum, negara melakukan peran gender. Hukum, dengan demikian, dipandang sebagai agen
yang menguatkan nilai-nilai jender yang dianut oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan
kebutuhan negara untuk menjaga dan menjamin kepentingannya.
Apakah dampak dari pembakuan peran? Upaya domestikasi perempuan secara
sistematis oleh negara berdasarkan ideology gender dalam kebijakan-kebijakan negara
berdampak lebih jauh pada peminggiran terhadap perempuan, baik secara ekonomis, politik,
sosial dan budaya, juga menimbulkan subordinasi, eksploitasi dan privatisasi kekerasan
terhadap perempuan.
Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang membakukan peran jender? Ruang lingkup
kebijakan yang dikritisi dalam penelitian adalah kebijakan-kebijakan yang lahir pada era
Orde Baru. Dari kebijakan-kebijakan negara seperti :
- pada masa Revolusi Hijau, yaitu pada Repelita I thn 1969-1974 dimana muncul
Kebijakan yang memarginalkan kaum perempuan pedesaan yang awalnya memiliki
peran penting sebagai petani kemudian digeser dengan munculnya alat-alat pertanian
modern yang diasosiasikan dengan keahlian jenis kelamin laki-laki.
- Kemudian, kebijakan lain yang juga mempunyai efek pembakuan peran adalah
praktek-praktek koersi terhadap perempuan yang diterapkan berkaitan dengan
kebijakan pemerintah tentang kependudukan => Kebijakan KB yang
dicanangkan sejak thn 1969 hanya diperuntukkan bagi kelompok perempuan
- Menunjukkan adanya asumsi patriarkal negara mengenai peran laki-laki dan
perempuan yang menganggap bahwa urusan domestik adalah tanggung jawab
perempuan. Nampak bahwa negara Orde Baru membatasi ruang lingkup kehidupan
perempuan (secara sosial, ekonomi, politik) dan melegitimasi pembakuan peran
gender.
Lebih rinci, teks-teks kebijakan yang dianalisa :
Ø GBHN; Sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lainnya dan pembangunan secara
umum. Sepanjang GBHN 1978 –1998, kata ‘kodrat’ tetap hadir dalam teks. Dengan
konsep peran ganda yang dianut negara, dapat disimpulkan bahwa ‘kodrat ‘ dimaknai
tidak hanya sebatas kemampuan biologis perempuan tetapi juga peran-peran
reproduksi sosial. Jadi, dapat dideteksi adanya gagasan-gagasan mengenai pembakuan
peran gender dalam GBHN.
Ø Kebijakan tentang Perkawinan/ Perceraian UUP
Integrasi konsep pembakuan peran dalam kebijakan tentang perkawinan yaitu
melalui UU No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP), terutama nampak
dalam khususnya pasal 31, yang menyatakan bahwa “suami adalah kepala
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.” Selain itu, UUP menganut asas
monogamy terbuka, maksudnya bahwa pada asasnya suatu perkawinan
seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang
perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, terdapat klausula
yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang karenanya terbuka kemungkinan bagi laki-
laki untuk melakukan poligami. Pengaturan mengenai poligami ini tidak hanya
menunjukkan bahwa dalam institusi perkawinan posisi tawar perempuan lebih
rendah disbanding laki-laki tetapi juga menunjukkan bahwa negara jelas-jelas
telah melegitimasi nilai-nilai jender perempuan yang hidup dalam masyarakat.
semakin dipertegas dalam pasal 34 yang menyatakan bahwa suami wajib
melindungi isteri dan isteri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
Pasal tersebut merupakan pengejawantahan dari pola pikir masyarakat yang
menganggap bahwa peran laki-laki dan perempuan sudah mutlak terbagi.
Pada pengertian di atas telah tersirat bahwa tidak adanya kesetaraan gender pada masa-
masa tersebut, maka dari itu pada masa orba menuju revolusi telah diatur hak reproduksi dan
hak perlindungan atas :
1. Tidak dikeluarkan dari pekerjaaan karena hamil atau cuti melahirkan, ataupun
karena status pernikahan (UU No. 39 tahun 1999 49;2,EDAW 11:2a)
2. Cuti melahirkan dengan upah atau tunjangan sosial yang sepadan tanpa
kehilangan pekerjaan maupun tunjangan lainnya (UU No. 39 tahun 1999 49;2,
ICESCR 10:2, CEDAW 11:2b)
3. Perlakuan khsus di tempat kerja saat hamil (UU No. 39 tahun 1999
49;2,3,CEDAW 11:2d)
Kesimpulannya adalah menciptakan kondisi perempuan yang memiliki kebebasan
memilih (freedom of choice) atas dasar hak-haknya yang sama dengan laki-laki dan
perempuan tidak dipaksa melulu menjadi ibu rumah tangga dan dtegaskan tugas utamanya
(kodrat) sebagai perempuan karena kodrat yang sebenarnya terletak pada haidh, nifas,
wiladah, dari ketiga unsur tersebut perempuan tidak didorong untuk peranan yang khas
“feminim” dapat pula “maskulin” begitu juga dengan laki-laki dapat “maskulin” dan
“feminin”.
Dalam pandangan Al-Qur’an pada dasarnya visinya adalah keadilan. Seluruh ayat-
ayatnya membawa wacana keadilan yang berarti berisi kesetaraan gender. Tetapi keadilan
dan kesetaraan gender idenya bukan sesuatu yang abstrak dan sering muncul dalam suatu
penghadapan masalah. Karena itu dalam banyak ayat mengenai keadilan gender ini bersifat
konstektual.
PENUTUP
Ø Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara ternyata sangat bertentangan
dengan kenyataan sosialnya. Dalam kenyataannya, kaum perempuan tidak lagi hanya
sebagai pencari nafkah tetapi juga banyak yang menjadi kepala keluarga. Akibatnya
timbul ketegangan antara nilai-nilai dan peraturan yang diterapkan dengan kenyataan
sosial yang terus berlangsung.
Ø Melalui hukum, negara melakukan pembakuan peran gender. Beberapa kebijakan
mengacu pada peran perempuan dan laki-laki sebagaimana didefinisikan dalam UUP
No. 1 thn 1974. Dengan demikian, UUP merupakan kebijakan yang mempunyai
signifikansi dalam proses pembakuan peran yang dilakukan negara.
Ø Perlu dilakukan reformasi terhadap kebijakan-kebijakan dengan mengamati
dinamika proses negosiasi antara kelompok-kelompok kepentingan yang terjadi
ditingkat negara untuk menentukan sasaran intervensi yang dapat dilakukan baik di
tingkat struktur formal (hukum dan negara) dan di tingkat masyarakat untuk
mengubah nilai-nilai gender yang dominan.
Ø sebagai manusia pada dasarnya bobot hak perempuan tentunya sama dengan bobot
hak laki-laki. Sebagai suami isteri juga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Anggapan bahwa suami (beban produksi atau pencari nafkah) lebih berat dari beban
isteri (beban reproduksi : mengandung, melahirkan, menyusui) tidak serta merta bias
diterima.
DAFTAR PUSTAKA
http//google.co.id.gender// pembakuan peran gender di Indonesia 2621.00
http//google.co.id.gender// kesetaraan gender2219.00
Muawanah, M.Pd, Elfi. Pendidikan Gender Dan Hak Asasi Manusia, Ponorogo maret 2009,
Teras.
Khofifah Indar Parawansa. Menteri Negara Peranan Wanita. h.t.m
Nurhayati.1995. hak-hak asasi manusia dalam Al-Qur’an. Surabaya: Diskusi rutin ilmu
Tafsir