Terminal Penyebrangan Ferry
description
Transcript of Terminal Penyebrangan Ferry
14
Bab II. KAJIAN TEORI
II.1. Kajian Terminal Penyeberangan Ferry
Terminal Penyeberangan Ferry sebagai fasilitas umum melayani pengguna moda
transportasi penyeberangan dan menjadi bagian dari kawasan Pelabuhan
Penyeberangan Ferry. Sebagai suatu tautan yang erat dan bagian dari pelayanan jasa
penyeberangan yang berhubungan secara langsung dengan masyarakat membutuhkan
perancangan arsitektur dalam rangka meningkatkan pelayanan Pelabuhan
Penyeberangan Ferry.
“The Terminal is machine for processing and controling mobility that operates a
particular logic of transit, where the differently motivated imperatives of
inclusion/exclusion and capacity and flow integrated.”(Dunphy; 2004)
Sesuai dengan kebijakan prioritas pembangunan Perhubungan Darat dalam situs
(www.hubdat.web.id; 12/11/2009) peran Pelabuhan Penyeberangan sebagai rangkaian
jaringan transportasi nasional, yaitu:
1. Meningkatan Keselamatan Transportasi Darat.
2. Pemulihan kondisi armada angkutan jalan sesuai standar pelayanan minimal.
3. Pembangunan perkotaan terutama di kota-kota besar diprioritaskan pada
pengembangan angkutan massal (Bus Rapid Transit) berbasis jalan raya,
menurunkan penggunaan kendaraan pribadi dan meningkatkan kehandalan
angkutan umum.
4. Pelayanan keperintisan LLAJ dan LLASDP.
5. Pembangunan ASDP diprioritaskan pada pengembangan armada angkutan SDP,
rehabilitasi & pemeliharaan saranan dan prsaranana transportasi SDP,
pengembangan saranan SDP; serta penyediaan sarana bantu navigasi beserta
fasilitas penyeberangan di pulau-pulau terpencil dan di kawasan perbatasan.
Pelabuhan Penyeberangan Ferry merupakan satu kesatuan utuh dari fasilitas
publik yang melayani jasa penyeberangan yang terdiri dari berbagai sarana dan
prasarana, sebagaimana menurut Direktorat Perhubungan Darat dalam situs
(www.hubdat.web.id; 12/11/2009) beberapa fasilitas pokok Pelabuhan, yaitu:
15
a) Fasilitas Pokok Pelabuhan Ferry
1) Perairan tempat labuh termasuk alur pelayaran
2) Kolam pelabuhan
3) Penimbangan kendaraan
4) Fasilitas sandar kapal
5) Terminal penumpang
6) Jalan penumpang keluar/masuk kapal (gang way)
7) Perkantoran untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan jasa
8) Fasilitas penyimpanan bahan bakar (bunker)
9) Fasilitas air, listrik dan komunikasi
10) Akses jalan dan/atau rel kereta api
11) Fasilitas pemadam kebakaran
12) Tempat tunggu kendaraan bermotor sebelum naik ke kapal atau
setelah turun dari kapal
b) Fasilitas penunjang Pelabuhan, yang meliputi
1) Kawasan perkantoran untuk menunjang kelancaran pelayaran jasa
pelabuhan
2) Tempat penampungan limbah
3) Fasilitas usaha yang menunjang kegiatan pelabuhan
penyeberangan
4) Area pengembangan pelabuhan
5) Jasa pelayanan penumpang di pelabuhan penyeberangan tertentu
Peluang dan Potensi dari beberapa fasilitas yang bisa digali dan direintegrasi
dari pengembangan Pelabuhan Penyeberangan Ferry, yang menjadi parameter obyek
kajian dengan pendekatan Transit Oriented Development.
II.1.1. Definisi Terminal Ferry
Terminal Ferry merupakan fasilitas umum untuk melayani pengguna
moda transportasi penyeberangan ferry, merupakan tempat pelayanan dan
segala urusan administrasi penyeberangan Ferry. Sedangkan menurut
16
Kamus Umum Bahasa Indonesia Terminal adalah tempat pemberhentian
atau penghabisan, ditinjau dari pengertian terminal maka terminal ferry
seharusnya merupakan tempat pemberhentian penumpang kapal ferry
sebagai tujuan atau keberangkatan, sekaligus juga sebagai pemberhentian
sementara (transit place).
Terminal Penyeberangan ferry memfasilitasi transit penumpang
angkutan penyeberangan sebagai sarana transportasi, menurut Keputusan
Menteri Perhubungan KM. 32 TAHUN 2001 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Penyeberangan:
1. Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang dilakukan untuk
melayani lintas penyeberangan yang berfungsi sebagai jembatan
bergerak yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta
api yang terputus karena adanya perairan, untuk mengangkut
penumpang dan kendaraan beserta muatannya;
2. Usaha Angkutan Penyeberangan adalah usaha di bidang angkutan yang
diselenggarakan untuk umum pada lintas penyeberangan dengan
memungut bayaran dengan menggunakan kapal yang memiliki
spesifikasi yang sesuai dengan kondisi teknis dan operasional
prasarana, sarana dan perairan;
Dan KM. 11 TAHUN 2002 tentang pelaksanaan kegiatan pemerintahan di
pelabuhan penyeberangan yang diusahakan, yang berisi:
1. Pelabuhan Penyeberangan adalah pelabuhan umum untuk kegiatan
angkutan penyeberangan;
2. Pelabuhan Penyeberangan yang Diusahakan adalah pelabuhan
penyeberangan yang pengelolaannya dilakukan oleh Badan Usaha
Pelabuhan, PT. Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan yang
selanjutnya disingkat dengan PT.ASDP (Persero)
3. Direktur Jenderal adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
Pelabuhan Penyeberangan Ferry diperuntukkan sebagai sarana
penyeberangan menghubungkan jalur transportasi hanya untuk mengangkut
barang – barang yang melekat atau menjadi satu kesatuan dengan kendaraan
pengangkutnya atau barang jinjingan yang dibawa oleh penumpang,
17
sehingga tidak memerlukan proses bongkar muat barang dari dan ke kapal
ferry.
II.1.2. Prinsip Dan Kriteria Terminal Penyeberangan Ferry
Terminal Pelabuhan Penyeberangan Ferry sebagai fasilitas transit
antar moda Transportasi memiliki beberapa prinsip teknis Pelabuhan
Penyeberangan Ferry, yaitu:
Kondisi daerah pelayaran
Kriteria pengguna pelayanan
Perkiraan kapasitas lintas
Kemampuan pelayanan alur
Spesifikasi teknis kapal dan pelabuhan
Dengan fokus pada tempat transit yang berkaitan dengan pengguna
pelayanan maka Terminal Penyeberangan Ferry sebagai bangunan
pelayanan jasa publik memfasilitasi kebutuhan transit penumpang
penyeberangan ferry, dengan tuntutannya menurut Leung Pak Kan, Gary
(1999), yaitu:
1. Flow Control
Sirkulasi yang sederhana dan langsung, sinyal dan petunjuk yang jelas
untuk menunjukkan wilayah fungsional yang berbeda. Tata
pencahayaan yang baik dan juga desain arsitektur memberikan arah
penumpang dengan tepat.
2. Vessels Circulation
Tipe pelabuhan mampu memberikan kelancaran sirkulasi kapal dan
faktor sebagai "back-out" tidak dibutuhkan. Hal itu memberikan
keuntungan dengan memperpendek jarak berjalan dari ruang tunggu
terminal menuju akses ke Kapal Ferry.
3. Traffic Interchange
Fasilitas harus terhubung langsung ke tempat keberangkatan dan
kedatangan penumpang. Dan desain jalur akses seharusnya
sesederhana mungkin dan mudah untuk penumpang menggunakannya.
4. Tidal, Current, Wave and Wind Condition
18
Menyadari bahwa tidak ada kondisi sempurna dalam desain,
akantetapi informasi dasar dapat memberikan ide untuk berkompromi
bagaimana semua kondisi cocok untuk satu solution.
5. Separate Operation
Kapasitas penumpang di jam sibuk dan jam sepi sehingga terminal
harus dapat beroperasi secara hemat (misalnya listrik) dengan
menggunakan pembagian area operational secara efektif.
6. Expansion
Kesulitan untuk memprediksi kebutuhan masa depan yang akurat,
diusulkan pembangunan terminal terbagi dalam fase - fase. Dan pada
fase berikutnya akan menjadi pengembangan yang tergantung pada
penyelidikan dan prediksi pertumbuhan penumpang selanjutnya.
Kajian ini merangkai pedoman desain praktik yang baik yang
bertujuan untuk memastikan bahwa rancangan fasilitas terminal sesuai
dengan praktek-praktek terbaik di dunia dan meningkatkan akses ke
terminal feri oleh transit, berjalan, dan sepeda. Tujuannya untuk
meningkatkan multi-modal akses ke terminal melengkapi peran pelayanan
lingkungan. Fasilitas terminal penting pada link sistem transit, perancangan
terminal yang baik menurut ARUP (WTA; 2001), seharusnya memperhatikan
beberapa aspek, yaitu:
a. Membuat sistem feri lebih menarik dan lebih mudah digunakan
b. Meningkatkan kepuasan penumpang
c. Meningkatkan nilai ekonomi yang tersedia
d. Membuat sirkulasi antara feri, akses / jalan keluar, dan transfer antar
modanya mulus dan efisien
e. Meningkatkan keselamatan penumpang
f. Memadai dan dapat diandalkan dalam menyediakan informasi bagi
penumpang
g. Menyediakan signage untuk menghubungkan transit dan penggunaan
lahan yang berdampingan dan fasilitas
h. Mengintegrasikan terminal dengan konteks perkotaan lokal
19
Intermodal ideal fasilitas terminal seharusnya tidak hanya pelengkap,
tetapi juga berfungsi sebagai katalis untuk perluasan layanan Ferry.
Intermodality adalah konsep yang cukup baru yang membutuhkan
pendekatan inovatif dalam perencanaan, perancangan dan pengoperasian
fasilitas transfer transit. Transfer poin antara mode dan jasa dapat berpotensi
dilihat sebagai penghalang di dalam sistem dan karena itu memerlukan
perhatian khusus.
II.1.3. Tipologi Terminal Penyeberangan Ferry
Terminal Penyeberangan Ferry merupakan bagian dari kawasan Pelabuhan
Penyeberangan Ferry yang menurut Direktorat Perhubungan Darat KM. 32
Tahun 2002, terminal Pelabuhan Penyeberangan Ferry terbagi menjadi 4
menurut wewenang pelayanannya, yaitu:
1. Melayani lintas penyeberangan antar negara, yaitu yang menghubungkan
simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan kereta api antar negara
2. Melayani lintas penyeberangan antar propinsi, yaitu yang
menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan kereta api
antar propinsi
3. Melayani lintas penyeberangan antar Kabupaten/Kota dalam propinsi,
yaitu yang menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan
kereta api antar Kabupaten/Kota dalam propinsi
4. Melayani lintas penyeberangan dalam Kabupaten/Kota, yaitu yang
menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/atau jaringan kereta api
antar Kabupaten/Kota
Lintas Penyeberangan yang dimaksud adalah dimaksudkan untuk
menyatukan ruang kegiatan dan simpul – simpul transportasi di wilayah
Indonesia dalam rangka mewujudkan sistem transportasi nasional.
II.1.4. ‘Transit Place’ Pada Terminal Penyeberangan Ferry
Terminal Penyeberangan Ferry merupakan bagian dari kawasan
Pelabuhan Penyeberangan Ferry, yang otomatis menjadi tempat transit
perpindahan antar moda transportasi (intermodal terminal). Dalam kajian ini
20
teori dan kriteria terminal penyeberangan ferry dibutuhkan sebagai batasan
area perancangan, terutama kajian transit place sebagai topik utama kajian
ini.
Tempat transit sebagai bagian dari terminal merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan sebagai pendukung sistem transportasi, dengan
beberapa strategi pengembangan yaitu mendorong penggunaan transit,
dengan menyediakan akses bagi pejalan kaki dan sepeda, menyediakan
tempat parkir yang sesuai dan tidak berlebihan, memanfaatkan tata guna
lahan untuk melengkapi fungsi terminal.
Kajian desain fisik terminal sebagai transit place pada jaringan sistem
transportasi dalam Intermodal and Terminal Access Study Design
Guidelines (ARUP; 2001) menyimpulkan beberapa aspek desain terminal
yang dapat membentuk dan memberikan pengalaman pada pengguna
fasilitas transit, yaitu diantaranya:
1. Overal Design and Layout
Desain terminal mampu mempengaruhi bentuk kota karena berhubungan
dengan sistem transportasi, sehingga diharapkan desain terminal mampu
menunjukkan fungsi dan efektifitas tinggi. Salah satunya harus mampu
memfasilitasi pergerakan perpindahan penumpang antar moda
transportasi yang pasti akan banyak ditemui konflik dengan melakukan
pembagian dan pemilihan prioritas.
2. Local Accessibility
Hubungan antara fasilitas transit dan area sekitar dan sirkulasi lalu lintas
penumpang, termasuk akses moda transportasi yang terorganisasi dengan
baik dengan pembagian beberapa tingkat prioritas akses. Dengan fokus
utama pada akses penuh segala jenis penumpang termasuk diffable
sebagai syarat fasilitas publik.
3. Facilities
Desain fasilitas termasuk kedalam program ruang, pembagian zona untuk
menempatkan fasilitas utama transit, fasilitas fungsional, fasilitas
pendukung transit dan sirkulasi ruang terbuka untuk mempermudah
pembagian lalu lintas penumpang ataupun pengunjung. Kemampuan
memisahkan aktifitas fasilitas tunggu dan fungsional terminal dengan
area komersial termasuk retail dalam bentuk kesatuan yang utuh.
21
4. Image
Persepsi publik kepada sistem transit dapat meningkat seiring dengan
kualitas penampilan tempat transit, termasuk kenyamanan, terbuka
dengan suasana familiar, dan komunikatif. Dengan beberapa aspek
pembentuk image tempat transit pada suatu terminal, seperti:
a. Struktur kota dan layout terminal dalam bentuk respon eksterior
b. Penyelesaian hubungan antara terminal dan area disekitarnya
c. Jenis fasilitas yang disediakan didalam terminal
d. Perawatan dan pengelolaan kebersihan terminal
e. Perasaan keamanan pengguna dari suasana interior
f. Konsistensi image yang dibentuk dari terminal dengan terminal yang
lain pada sistem transit melalui penandaan rambu-rambu dan tema
warna sebagai contohnya
5. Information
Informasi merupakan hal penting demi kemudahan pelayanan fasilitas
umum dengan desain arsitektur yang benar penumpang dapat diarahkan
dan mampu mengurangi kesalahan arah atau kehilangan orientasi
terutama pada intermodal terminal.
6. Signage
Tanda dan petunjuk arah sangat membantu penumpang dan pengunjung
dengan desain arsitektural yang baik, akan tetapi juaga harus
memperhatikan seluruh moda transportasi.
7. Personal Security
Keamanan diusahakan oleh pengelola haruslah mampu melayani seluruh
pengguna fasilitas transit tidak terkecuali, karena berkaitan dengan
banyak aktifitas dan kepentingan.
8. Operational Safety
Keselamatan merupakan prioritas utama dalam fasilitas publik terutama
sektor transportasi, termasuk mengantisipasi ledakan penumpang pada
hari-hari libur yang mungkin akan melebihi kapasitas. Beberapa aspek
penyelesaian arsitektur yang dapat diperhatikan antara lain:
Kapasitas area tunggu
Ukuran jalur sirkulasi horizontal dan vertikal
Jumlah dan ukuran hall tiket dan jalan keluar, termasuk akses darurat
22
Ventilasi sirkulasi udara dan peralatan pencahayaan
Persiapan peralatan keamanan darurat seperti penanggulangan
kebakaran termasuk perawatan peralatan
Aturan manajemen dan operasional penanggulangan dan kontrol
kepadatan yang berlebihan (berdesak-desakan) seperti temporary
space.
Dalam beberapa kajian kriteria ukuran desain terminal diatas sebagai
sikap penyelesaian tempat transit intermodal transportasi. Dengan topik
kasus Terminal Penyeberangan Ferry yang melayani transportasi
penyeberangan sangat terkait dengan tempat transit mengingat berbagai
moda transpotasi (intermodal) yang berujung pada terminal penyeberangan
untuk menghubungkan jalur transportasi darat antar pulau, sehingga harus
melayani perpindah moda transportasi darat ke jenis perairan. Transit yang
diutamakan adalah transit penumpang dibandingkan dengan transit
kendaraan pribadi dengan kata lain optimalisasi tempat transit pada terminal
penyeberangan ferry untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan
lahan terbuang dari areal parkir.
II.2. Teori ‘Transit Oriented Development’
Transit Oriented Development merupakan restruktur konsep pembangunan yang
berpusat pada fasilitas transit, yang sebenarnya telah dikenal sejak awal abad ke-20
berupa konsep pengembangan terpadu pada stasiun kereta api dan Bus Rapid Transit
sebagai fasilitas publik transportasi massal. Yang kemudian coba di rekonstruksi
menjadi sebuah teori oleh Calthrope.
Petrus Calthorpe menterjemahkan konsep Transit Oriented Development (TOD)
pada akhir 1980-an, dan sementara yang lain telah mempromosikan konsep serupa dan
berkontribusi pada konsep desain, TOD menjadi bagian dari perencanaan modern
ketika Calthorpe menerbitkan "The New American Metropolis" pada tahun 1993. TOD
telah didefinisikan secara umum sebagai "komunitas mixed use yang mendorong orang
untuk tinggal dekat layanan transit dan untuk mengurangi ketergantungan mereka
mengemudi." Calthorpe melihatnya sebagai neo-panduan tradisional desain
masyarakat yang berkelanjutan. Diluar definisi bentuk yang dibangun, itu juga teori
23
desain sebuah komunitas yang menjanjikan untuk mengatasi berbagai masalah sosial.
(Ian Carlton; IURD 2009)
TOD mudah dipahami sebagai solusi untuk pertumbuhan daerah. Ini juga cocok
dengan kebutuhan transit agencies untuk sumber-sumber pajak alternatif. Dan itu
suatu evolusi alamiah langkah selanjutnya dari banyak masyarakat akrab desain
preseden. Dalam janji yang paling berani, TOD adalah untuk membantu
"mendefinisikan kembali American Dream" (Calthorpe dalam Ditmarr dan Ohland; 2004).
Seperti kemudian analysts TOD jelaskan, "Ini perkembangan yang berorientasi Transit
memiliki potensi untuk memberikan penduduk dengan peningkatan kualitas hidup dan
mengurangi biaya transportasi rumah tangga sedangkan wilayah dengan mixed-use
lingkungan yang stabil, yang mengurangi dampak lingkungan dan memberikan
alternatif nyata kemacetan lalu lintas. (Ditmarr dan Ohland; 2004)
II.2.1. Definisi
The definition advanced by architect and planner Peter Calthorpe is typical
and conveys the basic themes of TOD: “A Transit-Oriented Development is a
mixed-use community within an average 2,000-foot walking distance of a transit
stop and core commercial area. TODs mix residential, retail, office, open space,
and Public uses in a walkable environment, making it convenient for residents
and employees to travel by transit, bicycle, foot, or car” (Calthorpe; 1993: 56)
Transit Oriented Development merupakan prinsip pengembangan kawasan
dengan pertimbangan orientasi dari fasilitas transit, dengan batasan area adalah
sejauh sekitar 2000 kaki di sekitar fasilitas transit, merupakan kawasan yang
terjangkau untuk kenyamanan akses mencapai tempat transi fasilitas transportasi,
sehingga membuka peluang dan potensi pengembangan sebagai mixed use area
hunian, komersial, ruang publik, retail, dll. Dari definisi tersebut seiring
perkembangan jaman teori Transit Oriented Development terus berkembang.
Dua type Transit Oriented Development menurut Calthorpe (1993), yaitu :
o Urban TOD, merupakan urban transit dengan mixed-use suatu kawasan yang
meliputi segala aktifitas urban seprti hunian, kantor, perdagangan, dan
sebagainya yang dikemas dalam suatu kawasan dengan pusat pengembangan
24
merupakan fasilitas transit Public, untuk meningkatkan efesiensi akses
pencapaian masyarakat urban.
o Neighborhood TOD, merupakan pengembangan sepanjang alur antar transit
station maupun alur pencapaian menuju transit station dengan memanfaatkan
waktu pencapaian masyarakat menuju transit station sebagai kawasan
strategis.
“It could very well be that the benefits of TOD have less to do with transportation
and more to do with widening choices on where to live and how to travel,
revitalizing urban neighborhoods, bringing more people into everyday face-to
face contact, and engendering more social and cultural diversity in suburbia”
(Cervero; 2004)
Prinsip-prinsip rail-oriented planning yang dapat menjadi pertimbangan untuk
area transit menurut CRCOG dalam Calgary; Transit Oriented Development, Best
Practices Handbook; (2004):
1. Higher Density
2. Mixed-Use
3. Mixture of Housing Types
4. Pedestrian-Friendly Design
5. Half-Mile Radius
Transit Oriented Development merupakan pengembangan kawasan maupun
tempat transit itu sendiri dengan harapan penggunaan fasilitas transportasi massal
yang lebih efektif dan efisien dapat ditingkatkan. Hal ini sebenarnya tidak terikat
pada satu moda transportasi maupun kawasan khusus saja, akan tetapi pada hal
yang lebih mendasar yaitu bagaimana sistem transportasi antar moda dapat
terpadu dan tersinergi dengan baik dan mampu memberi kemudahan dan melayani
kebutuhan masyarakat yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan lebih
efisien termasuk keuntungan dari peningkatan nilai guna lahan disekitarnya.
25
II.2.2. Konsep Transit Oriented Development Dengan Mixed Use
Konsep Transit Oriented Development (TOD) adalah suatu komunitas
penggunaan campuran pada rata-rata jarak jalan kaki 2000 kaki dari suatu
perhentian transit dengan area komersil inti, ukuran TOD harus ditentukan
berdasarkan kasus studi. Rata-rata radius 2.000 kaki dimaksudkan untuk
mempresentasikan suatu “jarak jalan kaki yang nyaman” (± 10 menit) bagi
sebagian orang. Di beberapa lokasi, jarak jalan kaki yang nyaman dipengaruhi
oleh topografi, iklim, arterial atau jalan-bebas yang saling terjalin, serta ciri-ciri
fisik lainnya. Oleh karena itu, ukurannya akan lebih besar atau lebih kecil yang
tergantung pada ciri-ciri tertentu. Serta ditunjang land use yang beragam dari
sektor komersial, pelayanan jasa, fasilitas umum, perkantoran, dan hunian yang
terkomposisi dengan harmonis.
Kawasan TOD terkonsep menjadi beberapa fungsi lahan, sebagai area
pengembangan dan mendukung fasilitas transit
1. Daerah Komersial Inti
Inti perniagaan di pusat setiap TOD adalah hal esensial karena
memungkingkan sebagian besar penduduk dan pekerja berjalan atau
mengendarai sepeda bagi banyak barang-barang dan pelayanan dasar. Ini
secara khusus menguntungkan bagi mereka yang tidak memiliki mobil dan
orang-orang yang terbatas mobilitasnya. Mereka yang masih memilih pergi
ke toko akan pergi pada sekian mil yang lebih singkat serta dapat
menghindari menggunakan jalan arterial untuk perjalanan lokal. Area
komersial inti juga menyediakan destination (tempat tujuan) mixed use yang
membuat penggunaan transit menjadi menarik.orang-orang lebih mudah
menggunakan transit untuk pergi bekerja bila perhentian transit
dikombinasikan dengan peluang-peluang retail, pelayanan/jasa, perkantoran,
mall, dan tempat pertemuan.
2. Daerah Pemukiman
Daerah pemukiman TOD mencakup perumahan yang berada pada jarak jalan
kaki yang nyaman dari daerah komersial inti dan perhentian transit.
Kebutuhan pemukiman yang padat harus dipenuhi dengan suatu campuran
tipe hunian sementara (temporary resident), seperti kondominium, apartemen,
dan hotel.
26
3. Penggunaan Publik
Penggunaan Public diperluakan untuk melayani penduduk/residen dan para
pekerja di TOD dan daerah-daerah sekitarnya. Tempat parkir, plasa, zona
hijau, gedung-gedung publik, dan pelayanan publik dapat digunakan untuk
mengisi kebutuhan tersebut. Parkir umum dan plasa kecil harus disediakan
dalam memenuhi kebutuhan penduduk.
4. Area Sekunder
Setiap TOD memiliki area sekunder yang terletak tidak jauh dari satu mil dari
area komersial inti. Jaringan jalan area sekunder harus menyediakan jalan
langsung multiple serta koneksi sepeda ke perhentian transit serta area
komersial inti, dengan tingkat minimal penyeberangan artesial. Area sekunder
boleh jadi difungsikan sebagai fasilitas umum, sekolah umum, parkir
masyarakat yang luas, penggunaan penghasil-pekerjaan intensitas yang
rendah, dan lot parkir dan kendaraan.
II.2.3. Prinsip ‘Transit Place’ Sebagai Oriented Development
Transit Oriented Development (TOD) sebagai sebuah kajian dari
perencanaan kota, memiliki korelasi dengan perancangan kawasan maupun
bangunan yang mengadopsi prinsip – prinsip pengembangan dengan berorientasi
fasilitas transit, termasuk fasilitas transit itu sendiri dalam wujud “transit place”.
Beberapa kajian prinsip TOD yang berasal dari peneliti amerika pada umumnya
yang relevan dengan perancangan “transit place”, dan coba dikemas dalam prinsip
timur.
Dalam kajian Terminal Good Practice Design Guidlines (WTA; 2001)
beberapa keuntungan dari penerapan konsep Transit Oriented Development pada
terminal ferry, salah satunya yang utama adalah meningkatkan transit ridership
pengguna transportasi publik, termasuk Pedestrian yang baik dan jasa retail
disekitar transit, meningkatkan penggunaan fasilitas transit dan mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi
Dalam salah satu kajian Urban Land Institute oleh Jacobson yaitu Seven
American TODs, Good Practices for urban design in Transit-Oriented
Development projects (2008) mengenai permasalahan tata guna lahan yang
menurun untuk daerah kota-kota lama di Amerika berhasil ditingkatkan kembali
27
dengan konsep Transit Oriented Development, dimana pola pengembangan
perkotaan dengan orientasi transit berhasil mengingkatkan pertumbuhan ekonomi
perkotaan. Kajian ini menganalisa peran tempat transit terhadap pengembangan
kawasan disekitarnya dan menghidupkan kembali aktivitas ekonomi melalui
optimalisasi pergerakan manusia dengan moda transportasi publik seperti BRT
(Bus Rapid Transit) dan kereta melalui fasilitas transit sehingga didapat beberapa
prinsip pengembangan kawasan tempat transit termasuk akses pencapaian dan
pengembangan kawasan disekitar transit, dari kesimpulan kajian diatas yang dapat
dijadikan parameter dan pengarah strategi pengembangan kawasan transit, yaitu:
Prinsip-prinsip Transit Oriented Development
Principle 1 : Appreciate that planning and developing great places takes
time
Mampu menyadari dan memfasilitasi bahwa perencanaan
pengembangan suatu kawasan agar memperoleh hasil maksimal
membutuhkan proses dan waktu tahapan yang berjenjang secara
berkala.
Principle 2 : Engage the Public and experts as collaborators and work with
activist energy
Pengembangan yang berbasis pada partisipasi dan kerjasama
berbagai pihak terkait termasuk masyarakat setempat sebagai
faktor koreksi dan pelengkap perencanaan.
Principle 3 : Program spaces for use
Memprogram ruang untuk dapat digunakan kegiatan yang tepat
pada saat yang tepat, dengan optimalisasi waktu penggunaan.
Principle 4 : Invest in maintaining spaces
Invest pada perawatan ruang dapat menjaga citra penampilan
kawasan sebagai fasilitas umum.
Principle 5 : Design at a human scale
skala manusia sebagai penyesuaian dengan kebiasaan pengguna,
merupakan pokok dalam membuat great a place
Principle 6 : Provide Public spaces that accommodate a variety of uses and
users
28
Fasilitas transportasi berhasil menarik orang-orang yang
bergerak melalui mereka dengan perantara ruang publik sebagai
ruang pengumpul.
Principle 7 : Use design and programming strategies to increase safety
Keselamatan pribadi adalah fundamental bagi keberhasilan
ruang publik, termasuk tempat transit dengan keragaman
penggunanya.
Principle 8 : Allow for variety and complexity
memiliki banyak variasi dan kompleksitas, dapat memberikan
perasaan positif tempat, dan memperkuat karakter “place”.
Principle 9 : Create connections between spaces
hubungan antar ruang kota (well-connected) mampu meciptakan
integrasi yang saling mendukung dengan tempat transit.
Principle10: Designsidewalks and crosswalks for appropriate Pedestrian
use
menghidupkan kembali pejalan kaki dengan fasilitas yang
senyaman mungkin, tersinergi dengan rencana perkotaan.
Principle11: Integrate transit and transit facilities into the urban pattern
transfer antara rute atau jenis transit yang mudah dan bersinergi
dengan Sistem Transportasi Nasional.
Principle12: Don’t forget (but don’t overemphasize) car movement and car
parking
batasan yang jelas jalur pengguna dan pejalan kaki, termasuk
penyediaan akses parkir yang tidak berlebihan.
Beberapa kajian lain telah dilakukan untuk menganalisa permasalahan pada
tempat transit dan bagaimana perencanaan tempat transit yang baik, diantaranya
yaitu teori development around transit yang termasuk dalam perancangan urban
yang umum dikenal dengan Transit Oriented Development peningkatan nilai
kawasan disekitar transit dengan tempat transit sebagai orientasinya, termasuk
pengembangan fasilitas transit yang terintegrasi dengan kawasan perkotaan untuk
menarik pengguna transpotasi publik. Beberapa strategi dari Dunphy (Dunphy;
2004) dalam perencanaan tempat transit yang sinergi dengan perencaan perkotaan
dan sistem transportasi.
29
Sepuluh prinsip Development Around Transit dalam Urban Land Institute (2003)
yaitu:
1. Make It Better with a Vision
Visi menjadi penting ketika melakukan perencaan jangka panjang dan
proses membentuk asumsi baru tentang suatu tempat transit, perencaan
secara sadar akan suatu tempat transi untuk masa mendatang
merupakan salah satu strategi pengembangan kawasan.
2. Apply the Power of Partnerships
Tidak bisa diabaikan perencanaan tempat transit terkait dengan
partisipasi berbagai pihak, baik itu pemerintah (sebagai regulator),
swasta (sebagai investor), maupun masyarakat sebagai pengguna, hal
tersebut merupakan konsekuensi dari perencanaan fasilitas umum.
3. Think Development When Thinking about Transit
Kemungkinan pengembangan merupakan salah satu strategi sebagai
bentuk respon kemungkinan penambahan kapasitas jangka panjang
sehingga proses dan tahapan pelaksaan tidak terputus dan terus
berkesinambungan.
4. Get the Parking Right
Menempatkan parkir secara proporsional dan tidak berlebihan, dengan
asumsi positif kedepan semakin berkurang kapasitasnya.
5. Build a Place, Not a Project
Merancang tempat transit membutuhkan suatu jiwa (sense) agar
interaksi sosial dapat berlangsung (Karsten; 1908, mangunwijaya;
1995), termasuk partisipasi segala pihak yang membentuk suatu ikatan
interaksi yang harmonis.
6. Make Retail Development Market Driven, Not Transit Driven
Memanfaatkan secara optimal ruang untuk retail sebagai pendukung
fasilitas transit.
7. Mix Uses,but Not Necessarily in the Same Place
Menggabungkan beberapa fungsi kegiatan pada kawasan fasilitas transit
merupakan suatu keuntungan, akan tetapi tidak harus dalam satu
tempat, cukup satu kawasan yang terhubung dengan baik dalam
jangkauan pejalan kaki.
8. Make Buses a Great Idea
30
Menjadikan fasilitas transportasi pilihan yang menarik, dengan
perbaikan fasilitas, jasa layanan, strategi pembangunan, maupun
kebijakan yang terkait.
9. Encourage Every Price Point to Live around Transit
Mengembangkan pusat-pusat area disekitar transit untuk mengdukung
fasilitas transit
10. Engage Corporate Attention
Peran serta pemerintah maupun swasta dalam pengembangan kawasan
diperlukan sebagai pihak pengontrol maupun pengendali proses tahapan
pengembangan.
Salah satu kajian teori yang digunakan yaitu prinsip Transit Oriented
Development yang berkonsep pada pengembangan areal transit dan
pengembangan areal sekitar transit dengan titik berat pada programming fasilitas
dan masterplanning areal transit yang respon penggunaan lahan disekitar areal
transit. Transit Oriented Development sebagai landasan pemikiran pengembangan
area terminal penyeberangan dengan visi kedepan mampu mendukung
pengembangan perkotaan dan sistem transportasi nasional.
II.3. Reinterpretasi Transit ‘Place Making’
Teori place making ditinjau sebagai salah satu konsep pembentuk image tempat,
yang dalam kajian ini membatasi hanya pada pembentukan tempat transit sebagai
obyek studi. Proses place making dirumuskan dalam bentuk reinterpretasi tempat
transit pada salah satu simpul transportasi yaitu Terminal Penyeberangan Ferry. Hal
itu dikarenakan faktor pembentuk tempat transit terkait dengan interaksi sosial, budaya
bertransportasi dan sejarah tempat. Konsep place making digunakan sebagai upaya
meningkatkan image dan kualitas tempat transit yang sebelumnya kurang menarik
minat penumpang akibat tidak adanya perhatian penyelenggara transportasi publik
terhadap potensi-potensi tempat transit sebagai suatu tempat yang mampu
memfasilitasi beragam aktivitas transit pada pengguna transportasi publik.
Penerapan konsep place making pada perencananan pengembangan fungsi
terminal sebagai tempat transit dapat memberikan keuntungan dari meningkatnya
minat pengguna transportasi publik akibat kenyamanan, kepuasan dan pengalaman
31
baru transit dalam bertransportasi. Selain itu juga dapat menjaga nilai nilai sejarah dan
budaya lokal sebagai identitas kawasan maupun perkotaan secara luas. Beberapa
tinjauan singkat sebagai dasar perumusan interpretasi pengguna sistem transportasi
mengenai transit place yaitu melalui identifikasi Terminal Penyeberangan Ferry dari
aturan pemerintah termasuk antusias komentar keberadaan Terminal Ferry Ujung,
pengamatan sejarah budaya bertransportasi, dan proses perkembangan Kota Surabaya
secara luas sebagai penentu parameter perubahan pada Terminal Penyeberangan Ferry
Ujung.
Strategi ‘transit place’ making disini adalah membentuk pengembangan tempat
transit yang berkualitas baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya,
karena strategi place making adalah prinsip mendasar yang dibutuhkan dalam setiap
perancangan ruang publik (Tiesdell; 1996). Proses pembentukan tempat transit dari
sekedar ruangan transit menjadi lebih agresif dan mampu memicu interaksi antara
pengguna, lingkungan, fungsi transit dan karakter tempat, dan diharapkan dapat
menjadi daya tarik tersendiri bagi suatu tempat transit, sekaligus mampu melayani dan
mewadahi aktifitas dan kegiatan transit didalamnya. Dengan penekanan pada
pembentukan citra tempat transit jika memiliki makna dari lingkungan yang berasal
dari budaya lokal setempat, seperti yang diutarakan oleh (Norberg-Schulz dalam Zahnd,
1999),“sebuah place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri”.
Salah satu strategi penguatan identitas sebuah tempat adalah dengan
pengembangan dan perbaikan sejumlah aspek kawasan yang menurut (Garnham; 1985),
yakni dengan mengembangkan dan memperbaiki aspek-aspek berikut:
a) Permeabilitas kawasan, yakni kemudahan memandang dan bersirkulasi ke arah
dalam maupun keluar kawasan,
b) Orientasi visual,
c) Sense of place,
d) Titik masuk (entry point) dan gerbang masuk kawasan,
e) Pedestrian life,
f) Preservation Area,
g) Lokasi bangunan maupun struktur yang dianggap penting untuk citra kawasan,
h) Hubungan kawasan dengan lingkungan luarnya.
Beberapa poin diatas termasuk dalam kajian konsep modern Transit Oriented
Development yang relevan untuk Terminal Penyeberangan Ujung sebagai katalis
perkembangan tempat transit di Indonesia. Dengan subyek pertimbangan adalah
32
tempat transit, maka identifikasi yang diambil untuk tempat transit secara umum
maupun arsitektur dapat dikerucutkan kepada prinsip Transit Oriented Development
yang menempatkan tempat transit sebagai orientasi utama, untuk mendorong
penggunaan fasilitas transportasi massal.
II.3.1. Tempat Transit
Identifikasi umum tempat transit adalah tempat yang disediakan untuk
aktivitas transit, dan menurut (Geoff Stahl; 2007) tempat transit merupakan
tempat yang berada diantara tempat sekarang dan tempat nanti (tempat antara asal
dan tujuan) sehingga bisa disebutkan tempat transit merupakan tempat antara.
Pada Terminal Penyeberangan Ferry untuk mengetahui perubahan yang terjadi
mengikuti budaya masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas transit, termasuk
pemahaman masyarakat atas tempat transit yang telah dikorelasikan dalam
fasilitas Terminal Penyeberangan Ferry. Beberapa kajian perlu dilengkapi untuk
dapat melakukan penilaian dan menangkap parameter perubahan penggunaan
fasilitas tempat transit di Terminal Penyeberangan Ferry.
Kajian transit place ini untuk mendalami faktor-faktor pembentuk tempat
transit dan hubungan tempat transit, transportasi, dan penumpang, sebagai satu
kesatuan utuh pada perancangan arsitektur. Tempat transit terlihat sebagai
keramahan fasilitas publik yang mengundang dan memberikan pengendara dan
penumpang suatu pilihan untuk sekedar istirahat maupun mencari kebutuhan
perjalanan, selain sebagai kebutuhan pendukung sistem transportasi yang
melayani pengguna fasilitas transportasi.
Tempat transit (transit place) merupakan ujung maupun simpul tempat
singgah sementara sistem transportasi pada suatu kawasan tempat orang berhenti
dan akan melanjutkan perjalanan dengan moda transportasi. Tempat transit
sebagai pusat orientasi komunitas “mixed use” yang terjangkau dengan berjalan
kaki maupun fasilitas pemberhentian sementara dan pergantian moda transportasi
yang mencakup pengembangan suatu kawasan dengan konsep Transit Oriented
Development.
Tempat transit sebagai bagian dari jaringan transportasi termasuk tempat
transit, terminal transit, maupun terminal, yang kesemuanya sebagai simpul-
simpul jalur moda transportasi sejenis maupun antar moda transportasi yang
33
memiliki peluang pengembangan dan subyek perbaikan Sistem Transportasi
nasional selain infrastruktur jalan, armada, dan jasa pelayanan transportasi.
Dengan dasar kajian transit dari Development Around Transit: Strategies and
Solution That Work; ULI, 2004 oleh Robert T Dunphy, Robert Cervero,
Frederick C Dock, Maureen McAvey, Douglas R Porter, dan Carol J Swenson
adalah prinsip dasar bagaimana merubah demografi, kemacetan lalu lintas, dan
inisiatif kebijakan publik yang memiliki pengaruh penting terhadap
pengembangan transit dan hubungan timbal baliknya terhadap penataan
perkotaan.
Sepuluh prinsip Successful Development Around Transit merupakan salah
satu hasil penelitian Urban Land Institute yang dapat digunakan sebagai rujukan
literatur pengembangan fasiltas transit sebagai salah satu upaya optimalisasi
penggunaan transportasi publik sebagaimana uraian di sub bab Transit Oriented
Development di atas. Selanjutnya dalam kajian topik Terminal Penyeberangan
Ferry diambil beberapa unsur transit sebagai visi eksternal terminal terhadap
jaringan transportasi kota dan penatan perkotaan secara general. Dengan dua
fokus kajian yaitu:
Transit mendukung potensi pengembangan perkotaan
Sistem transportasi kota sebagai pembentuk strukur kota dan merupakan
tulang punggung ekonomi perkotaan (Sigurd Grava; Urban Transportation
System; 2004), menjadi bagian vital perkotaan memposisikan fasilitas
transportasi pada tempat-tempat strategis dan secara tidak langsung memiliki
peluang pengembangan yang lebih dibandingkan kawasan lainnya, dan
pengembangan kawasan transit dan sekitarnya yang beakibat pada struktur
kota dan kegiatan ekonominya. Termasuk mendukung usaha peralihan
kendaraan pribadi kepada transportasi publik sebagai salah satu solusi
permasalahan perkotaan, dengan pembenahan pelayanan dan tempat transit.
Transit sebagai investasi optimalisasi nilai kawasan
Pengembangan kawasan transit membuka peluang kenaikan nilai guna lahan
disekitarnya dengan pergerakan manusia di tempat transit mampu memicu
minat ekonomi dikawasan sekitar transit, dengan investasi dan penataan
jangka panjang transit menjadi pusat orientasi pengembangan kawasan
disekitarnya.
34
Tempat transit dan tata guna nilai lahan bersimbiosis dengan sangat erat saling
menunjang (Dunphy; 2004), tempat transit mampu menaikkan nilai guna lahan
dan sebaliknya nilai guna lahan dapat mengundang investasi yang mampu
menghidupi tempat transit. Pengembangan kawasan transit merupakan salah satu
usaha mengembalikan nilai guna lahan yang telah menurun maupun
mendatangkan investasi dan geliat ekonomi dengan pilihan fasilitas transit yang
baik kepada masyarakat.
Tempat transit dalam topik transportasi lebih cenderung kepada tempat
diantara tempat asal dan tempat tujuan dengan pertimbangan jarak yang jauh
sehingga dibutuhkan tempat transit. Dalam budaya nusantara kita kenal istilah
persinggahan yang menawarkan fasiltas penginapan sementara, tempat makan,
jasa dan komersial lainnya untuk memenuhi kebutuhan orang dalam perjalanan
jauh. Akan tetapi kini terjadi sedikit pergeseran budaya terutama dikota besar
istilah transit bisa dikenal juga sebagai tujuan, dengan tingkat jarak yang pendek
dan frekuensi yang tinggi, tempat transit mampu menawarkan pelayanan rekreasi
selain pemenuhan kebutuhan barang dan jasa. Sehingga dalam tempat transit
menjadi lebih mudah dijangkau.
II.3.2. Place Making
Place making adalah proses mengubah ruang (space) menjadi (place). Place
making terkenal dengan karakternya yang berfokus terhadap aktivitas,
manajemen, komunitas, dan sosialibilitas, sebagaimana terlihat dari rancangan
arsitektural atau lansekap pada kawasan tersebut (Wikipedia; 2009)
Christian Norberg-Schulz dalam Zahnd (1999) mendefinisikan place
sebagai space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Kemudian Trancik dalam
Zahnd (1999) merumuskan bahwa sebuah ‘ruang’ (space) akan muncul apabila
terdapat pembatas dalam sebuah void, dan selanjutnya sebuah space akan menjadi
sebuah place apabila memiliki makna atau citra dari lokalitas setempat. Dapat
dikatakan bahwa sebuah space akan bertranformasi menjadi sebuah place jika
memiliki ciri khas dan suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Suasana
tersebut dapat berupa benda yang konkret, seperti bahan, rupa, tekstur, dan warna,
maupun benda yang abstrak, seperti asosiasi kultural dan regional yang dilakukan
manusia di tempatnya.
35
Relph dalam Carmona (2003) berpendapat, bahwa bagaimanapun tidak
terstruktur dan tidak terdefinisikannya sebuah tempat, namun di saat manusia
dapat merasakan dan menyadari “space” (ruang) yang mengelilinginya tersebut,
maka itulah yang pada umumnya dikatakan sebagai konsep “place”. “Place”
adalah suatu ruang yang terbangun dari pengalaman-pengalaman yang dirasakan
langsung pada saat itu (lived-experience). Dengan demikian, untuk mengubah
suatu “space” menjadi “place”, maka dibutuhkan penambahan “space” dengan
suatu arti (meaning).
Linda Laniado (2005) berpendapat bahwa place making selain tindakan
fisik, juga melibatkan interaksi sosial dan kesadaran kualitas dan bahwa usaha
mandiri dapat memberikan kontribusi “sense of place” dengan peran ruang yang
lebih cenderung mempromosikan interaksi sosial dan beradaptasi dari waktu ke
waktu dan dengan memberikan rasa keunikan, makna dalam dan original. “Sense
of place” (Jackson dalam Carmona; 2003) seringkali dikaitkan dalam sebuah
istilah konsep Latin yang disebut “genius loci”, yang menyarankan manusia untuk
menjalani pengalaman ruang melalui indra fisik maupun sensorik dari sebuah
tempat, dan merasakan suatu ikatan terhadap jiwa tempat (spirit of place).
Interaksi sosial yang dimaksud merupakan hubungan dinamis antar manusia,
lingkungan, budaya, dan tempat (‘place’) yang mampu memberi kesan (‘sense’)
suasana tempat yang diharapkan. Bagaimana dalam kutipan diatas ditekankan
pada efek psikologis pengunjung akan kerinduan untuk berkunjung kembali.
Proses pembentukan kesan tempat dari unsur-unsur dasar seperti budaya
setempat, sejarah, kebiasaan, dan psikologis manusia, yang semuanya bermuara
pada (meaning) kualitas hubungan dan komunikasi antara manusianya dan
tempatnya. Hal itu mampu membentuk kesan suatu tempat karena pada dasarnya
tidak ada di dunia ini kesan tempat yang sama, kemungkinan mirip dan serupa
memang besar akan tetapi kesan tempat lebih kepada karakter yang unik dan yang
pasti tempat dibentuk oleh waktu yang di hiasi oleh budaya, kebiasaan,
manusianya, dan lingkungan yang selalu terintegrasi membentuk karakter.
36
Proses pembentukan citra tempat membutuhkan waktu dan tahapan
termasuk pengalaman penggunanya (Carmona; 2003), dengan parameter mampu
mewadahi aktifitas penggunannya, kapasitas, fungsi, selain kualitas interaksi
sosial yang berhasil sehingga dibutuhkan pedoman perancangan tempat transit
sebagai fasilitas publik. Menurut John Punter; 1991 dan John Montgomery; 1998
terdapat unsur-unsur pembentuk tempat yaitu Activity, Form, dan Image, ketiga
unsur tersebut saling berkaitan dan berintraksi membentuk tempat, dan yang
memberikan citra terdiri dari tiga aspek yang juga saling bertautan yaitu Activity,
Physical Setting, dan Meaning.
Gambar II.1 Skematik aspek Citra Tempat oleh John Punter; 1991 dan John
Montgomery; 1998 (Sumber: Carmona; 2003)
Dari skema diatas dapat dikenali parameter pembentuk tempat menurut John
Punter; 1991 dan John Montgomery; 1998, pemisahan antara tempat (place) dan
citra (sense) merupakan pembedaan parameter fisik dan non fisik yang keduanya
teraplikasi secara terpadu dan menyatu, Dalam hal ini parameter fisik lebih kearah
pembentukan tempat secara wujud dapat deitangkap secara fisik yaitu kegiatan
yang diwadahi serta segala penunjangnya, bentuk tempat yang diwujudkan dari
kegiatan, dan kesan yang dihasilkan dari kegiatan dan bentuk yang ekspresikan.
Sedangkan parameter non fisik lebih kearah pembentukan citra secara abstrak
sebagai ‘jiwa’ yaitu fungsi dan kebiasaan (behaviour) yang akan diwadahi, setting
PLACE
FORMACTIVITY
IMAGE (cognition, perception,
and information)
SENSE
OF
PLACE
PHYSICAL
SETTING ACTIVITY
MEANING
37
fisik psikologis, dan meaning sense identitas budaya dan sejarah yang dimiliki
tempat.
Gambar II.2 Skema aspek pembentuk citra tempat
(Sumber: Project for Publik Space; 2003)
Sedangkan kajian dalam Project for Publik Space (pps.org) menekankan empat
aspek utama yang dibutuhkandalam perancangan place, yaitu:
1) Sociability
Sosialabilitas termasuk interaksi sosial antar pengguna yang terjadi pada
sebuah tempat akan membentuk citra sebuah tempat dan memberikan
proses komunikasi dengan tempat.
2) Uses and Activities
Fungsi dan aktifitas pengguna yang diwadahinya mampu menarik minat
pengunjung dan memberikan citra tempat
3) Comfort and Image
Kesan dan kenyamanan pengguna membentuk citra tempat dari
pengalaman mengalami aktivitas.
4) Acces and Linkages
38
Akses pencapaian dan hubungan tempat dengan lingkungan sekitar
mampu membentuk citra tempat.
Keempat aspek diatas pun saling terkait satu dengan yang lain membentuk satu
kesatuan utuh suatu tempat (place) dengan pembagian tingkatan Key Attributes,
Intangibles, dan yang terluar Measurements, unsur unsur diatas membentuk suatu
identitas kekhasan, maka space akan berhasil menjadi sebuah place dan dengan
sendirinya mampu memberikan pengalaman (experience) pada pengunjungnya
dan mampu menarik dan mengundang pengunjung untuk berinteraksi sosial
didalamnya.
Kajian place making dalam Place Making; Developing Town Center,
Main Street, and Urban Villages (Charles C. Bohl; 2002) Karakter tempat
sebagai pembentuk citra fasilitas publik
Kekuatan lokal karakter dan identitas komunitas menjadi kekuatan
pembentuk tempat, mampu merefleksikan nilai-nilai lokal setempat.
Interaksi sosial dalam bentuk keramahan setting tempat dan penataan
kawasan yang bersahabat (friendly).
Sense of belonging dan sense of community menempatkan pejalan kaki
sebagai prioritas dengan tingkat interaksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan kendaraan personal.
Dalam kajian ini akan dianalisis teori pembentuk tempat dengan beberapa
metoda yang akan selalu terbagi menjadi beberapa tahapan, sebagai bentuk proses
pematangan suatu karakter tempat dengan usaha perbaikan dan penggalian
kembali sejarah dan keunikan lokal tempat. Dengan penekanan pada interaksi
sosial, kajian ini berusaha mengembalikan kesan tempat yang sudah pernah ada
dan mencoba untuk mengangkat kesan tempat transit sebagai pusat
pengembangan kawasan dan Sistem Transportasi Nasional.