TERJEMAHAN makalah

download TERJEMAHAN makalah

of 28

description

makalah ipd

Transcript of TERJEMAHAN makalah

GANGGUAN PRODUKSI SEL DARAH DI DALAM ONKOLOGI KLINIS

PENDAHULUANProses yang dijalankan oleh tubuh manusia untuk menghasilkan elemen-elemen darah sungguh luar biasa dinamis dan subur. Atas dasar itulah, proses-proses hematopoietik pada pasien-pasien kanker mungkin gagal berfungsi secara normal karena problem-problem endogen atau gangguan-gangguan myclosupresif eksogen. Mengingat pentingnya secara fisiologis hematopoiesis, konsekuensi-konsekuensi dari kegagalan sumsum biasanya semakin memburuk jika produksi darah yang normal tidak segera dipulihkan dengan cepat. Banyak tipe disfungsi hematopoietik dihadapi dengan praktek onkologi dan hematologi klionis. Kisaran mulai dari sindrom-sindrom sumsum bawaan yang langka, yang secara umum bersifat permanen, sampai dengan kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam proliferasi atau diferensiasi hematopoietik, yang mungkin bisa bersifat sementara atau permanen, dan yang seringkali secara iatrogenik berkaitan dengan terapi kanker. Bab ini mengidentifikasi beberapaa sindrom disfungsi hematopoietik yang lebih umum pada pasien-pasien dengan gangguan neoplastik dan membahas manajemen klinis, termasuk berbagai tipe pendukung komponen darah serta strategi-strategi intervensi terapi dengan sitokin-sitkoni hematopoietik manusia. MEKANISME-MEKANISME SERANGAN PENYAKIT: DISFUNGSI HEMATOPOIETIK YANG TERKAITKanker dan pengobatannya mengubah hematopoiesis melalui efek-efek langsung terhadap sel-sel batang hematopoietik atau melalui cara-cara tak langsung, seperti penghambatan produksi dan responsivitas terhadap faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik. Secara khusus, interaksi-interaksi lingkungan mikro yang penting antara sel-sel hematopoietik sumsum tulang, sel-sel endothelial mikrovaskular, dan sel-sel stroma jaringan ikat bisa tergaanggu oleh tumor primer di dalam penyakit-penyakit hematologis yang intrinsik buat sumsum dan oleh penyebaran metastatik dari tumor pada sumsum dari neoplasma yang berasal dari lokasi-lokasi ekstrameduler. Penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, melanoma serangan, neuroblastoma, sarkoma Ewing, dan karsinoma payudara, prostat, paru-paru, kelenjar adrenal, thyroid, dan ginjal seringkali melibatkan sumsum tulang dari pasien-pasien dengan penyakit yang lebih parah. Gejala-gejala atau abnormalitas-abnormalitas radiografis yang terkait umumnya tak ada. Anemia leukoerythroblastik, yang dicirikan oleh elemen-elemen erythroid dan myeloid yang tak matang di dalam darah periferal kadangkala merupakan sebuah indikator klinis dari tumor pada sumsusm. Pada dasarnya, penyebaran sumsum yang memiliki tumor bisa menyebabkan fibrosis atau nekrosis sumsusm, yang mungkin ada kaitannya dengan splenomegali, thrombocytopenia, dan hematopoiesis ekstrameduler dengan sel-sel tak matang dari semua garis silsilah pada darah periferal.Sejauh ini, penyebab paling umum dari disfungsi hematopoietik temporer pada pasien-pasien kanker ialah terapi cytotoxic untuk penyakit yang menyerang tajam. Efek-efek dari terapi cytotoxic terhadap cedera dan pemulihan sumsum bergantung bergantung pada beberapa variabel, termasuk berikut ini:1. Obat-obatan cytotoxic yang diberikan2. Dosis pemberian 3. Durasi terapi dan jumlah terapi sebelumnya (cadangan sel batang fungsional)4. Tingkat turnover normal dari sel-sel garis silsilah hematologis yang berbedaSumsum tulang menjadi rumah bagi kompartemen penyimpanan dari sel-sel yang sedang berproliferasi pada berbagai tahapan diferensiasi yang bisa mensuplai darah periferal dengan sel-sel efektor yang matang selama 8 sampai 10 hari setelah pool dari sel-sel progenitor hematopoietik yang lebih primitif menurun level-level pembelahan dan pematangan yang normal. Merosotnya jumlah darah periferal karenanya secara umum teramati seminggu atau lebih setelah sebuah serangan toksik pada sumsum tulang. Pada pasien-pasien yang biasanya menggunakan agen-agen cytotoxic yang telah ditentukan, leukopenia (dan mungkin thrombocytopenia) biasanya dimulai 7 sampai 10 hari setelah pemberian obat, jumlah terendahnya erjadi pada hari ke-14 sampai ke-18. Pulihnya jumlah terjadi ppada hari ke-21 dan biasanya mencapai atau melampaui jmlah sebelum perlakuan pada hari ke-28. Kompartemen paling aktif dari proliferasi dan diferensiasi sel hematopoietik biasanya ditemukan di dalam subhimpunan sel progenitor yang didasarkan pada garis silsilah. Sel-sel bakal sejati dan sel-sel progenitor yang sangat tak matang di dalam sumsum biasanya ada dalam keadaan tak bergerak dan tak berputar yang mungkin membuat mereka terlindungi dari kerusakan berlebih yang diakibatkan oleh pengobatan-pengobatan kemoterapi yang umum (dan ambin dan panah dari serangan-serangan lingkunan harian seumur hidup). Mekanisme farmakologis dari obat cytotoxic; dosis, route, dan jadwal pemberian obat; metabolisme obat; dan pola sensitivitas sel mempengaruhi keberadaan disfungsi hematopoietik akibat obat. Obat-obatan cytotoxic beraksi pada titik-titik tertentu di dalam siklus sel dan seringkali diklasifikasikan di atas basis itu. Sel-sel bakal hematopoietik bisa memantul kembali setelah terpapar dalam waktu singkat dengan agen yang spesifik siklus sel, sementara pemberian obat yang terlalu lama bisa menyebabkan disfungsi sumsum yang bersifat permanen. Untuk agen-agen spesifik siklus sel, seperti arabinosida sitosin (ara-C) atau metotreksat, pemulihan biasanya terjadi dengan cepat (7-14 hari), sementara agen-agen spesifik siklus yang non-sel (biasanya disebut sebagai racun-racun sel bakal atau agen-agen aktif Go) seperti karmustin (BCNU) dan busultan menyebabkan semakin melambatnya titik terendah (semisal pada 4 5 minggu) dan pemulihan yang lambat (sebagai misal, lebih dari 6 minggu setelah pemberian obat). Lebih dari itu, sebuah kekurangan yang kronis di dalam cadangan sumsum terjadi dengan relatif cepat seiring dengan terapi BCNU sekuensial, namun jarang terjadi setelah pemberian agen-agen spesifik siklus sel seperti ara-C. Keterlibatan sumsum tulang dengan tumor bisa mengkompromikan cadangan fisiologis dari sel-sel bakal yang sejati dan sel-sel progenitor yang lebih matang, mempersingkat waktu pada leukopenia periferal, dan thrombocytopenia, dan memperlama waktu pemulihan hematologis.Terapi radiasi juga turut andil terhadap pancytopenia. Sel-sel yang rusak akibat iradiasi memiliki kapasitas pembelahan yang terbatas sebelum keturunan mereka menjadi steril secara reproduktif; jadi, sebuah sel yang mengalami iradiasi mungkin tak tampak rusak sebelum membelah. Pada pembelahan pascairadiasi yang pertama, sel (1) mati, (2) membelah secara menyimpang dan menghasilkan bentuk-bentuk yang tak lazim, (3) tak mampu membelah namun masih berfungsi secara fisiologis, atau (4) memunculkan satu atau lebih generasi progeni yang rusak secara genetik sampai sel-sel yang lebih kemudian menjadi steril. Karena sel bakal hematopoietik dianggap memiliki kapabilitas yang sangat rendah untuk memperbaiki kerusakan iradiasi sublethal, pemberian fraksi radiasi yang kecil berulang kali bisa mengurangi toksisitas pada jaringan-jaringan normal lainnya (semisal paru-paru, usus) namun tidak menipiskan sumsum tulang. Selama proses iradiasi fraksional, efek puncak terhadap sumsum tulang yang normal bergantung pada apakah terdapay proliferasi pada bidang yang mengalami iradiasi antara fraksi-fraksi atau migrasi sel-sel dari lokasi-lokasi tak terkena iradiasi yang terdekat. Yang terakhir, efek-efek dari iradiasi tubuh total secara kualitatif dan kuantitatif berbeda dari yang terjadi dengan terapi lokal. Secara khususm, iradiasi tubuh total sangat menurunkan fungsi kekebalan humoral dan seluler. DIAGNOSIS-DIAGNOSIS DIFERENSIAL DARI DISFUNGSI HEMATOPOIETIK TERKAIT KANKERPenting untuk diingat sejumlah gangguan pada proses-proses fisiologis normal yang bisa terjadi di dalam konteks poengobatan kanker atau cytotoxic. Setiap gangguan ini bisa turut menyebabkan pancytopenia. Termasuk di dalamnya kekurangan atau tak adanya ketersediaan biologis faktor-faktor gizi seperti folat, besi, atau vitamin-vitamin yang lain; mekanisme-mekanisme pengatur yang abnormal di dalam hematopoiesis, seperti penurunan hematopoiesis yang dimediasi sel di dalam anemia aplastik; sebuah respon tajam terhadap erythropoietin (EPO) dengan anemia pada pasien-pasien kanker; dan stimulasi thrombopoiesis yang terkait dengan anemia defisiensi besi. Fibrosis sumsum dan kerusakan stroma bisa terjadi sebagai bagian dari sebuah penyakit atau sebagai sebuah reaksi terhadap terapi; sehingga menyeimbangkan cadangan sumsum tulang dan fungsinya. Secara imunologis penghancuran sel-sel yang dimediasi serta faktor-faktor seperti splenomegaly bisa menghasilkan cytopenia yang signifikan secara klinis. Yang terpenting, pendarahan occult harus selalu dipertimbangkan di dalam diagnosis diferensial dari anemia yang terus menyerang dan thrombocytopenia refraktori. Contoh-contoh klinis ini menekankan pada pentingnya penaksiran yang seksama terhadap kondisi pasien-pasien kanker untuk sebab-sebab yang bisa dibalikkan secara klinis dari komplikasi-komplikasi hematologis sebelum efek-efek ini diasal-usulkan pada neoplasma yang melandasinya. DISFUNGSI HEMATOPOIETIK MELALUI GARIS SILSILAH HEMATOLOGISLeukopeniaLeukopenia pada umumnya terkait dengan kanker dan pengobatannya. Pada tahun 1965, Hersh dan kolega-koleganya meringkas sebab-sebab kematian di kalangan pasien-pasien yang mengalami anemia akut yang diobati di Institut Kanker Nasional dan menemukan sebuah penurunan nyata di dalam pendarahan fatal (akibat ketersediaan transfusi platelet) yang bersamaan dengan meningkatnya infeksi sebagai sebuah penyebab kematian. Sebuah hubungan kuantitatiif antara leukosit-leukosit yang bersirkulasi dan infeksi disebutkan di dalam karya klasik oleh Bodey dan rekan-rekannya. Di dalam penelitian-penelitian yang melibatkan pasien-pasien yang mengalami leukemia yang menjalani terapi myelosupresif, peneliti-peneliti ini pertama-tama menggambarkan relasi proporsional dan kuantitatif antara probabilitas terkenanya sebuah infeksi dan tingkat keparahan dan durasi leukopenia. Resiko klinis dari leukopenia, yang telah didefinisikan di dalam penelitian-penelitian awal dengan pasien-pasien dengan penyakit-penyakit serangan hematologis, telah diekstrapolasikan secara luas guna memasukkan pasien-pasien yang mengidap tumor berat yang tak pernah menjadi sasaran penelitian-penelitian prospektif yang rigor. Faktor-faktor prognostik yang menentukan resiko individu pasien terhadap demam dengan neutropenia (atau resiko hasil berlawanan yang serius dari sebuah periode neutropenik) masih sangat jarang dipahami. Talcott dan kolega-koleganya merumuskan model-model yang dengannya keluaran dari kriteria klinis pada manifestasi demam dan neutropenia bisa diprediksi, namun validitas yang meluas dari model-model itu masih tengah diuji. Meski demikian, kebanyakan dokter secara masuk akal memandang leukopenia (dan neutropenia pada khususnya) sebagai sebuah keadaan klinis yang mengancam kehidupan yang menjadi dasar justifikasi buat intervensi medis untuk meminimalkan resiko. Selain itu, level neutrofil yang bersirkulasi mungkin memiliki efek-efek klinis yang tak langsung (seperti dengan memaksakan perubahan-perubahan di dalam pengobatan kemoterapi sehingga secara tak langsung menyebabkan rendahnya tingkat optimal kemajuran antitumor atau kemoterapi). Jumlah neutrofil yang bersirkulasi secara tradisional merupakan salah satu kriteria klinis yang digunakan untuk menentukan apakah seorang pasien telah cukup pulih dari sebuah siklus kemoterapi cytotoksik yang sebelumnya dan siap untuk menoleransi siklus yang direncanakan setelahnya, sehingga menghindari resiko myelotoksisitas yang berlebihan. Jadi, jumlah neutrofil yang tak memadai bisa memperlambat pemberian kemoterapi atau mendorong diambilnya keputusan untuk mengurangi dosis kemoterapi. Meskipun setiap keputusan itu masuk akal, namun ada situasi-situasi dimana pemberian dosis atau jadwal kemoterapi yang suboptimal akan mengimbangi keluaran klinis. Sering dikatakan bahwa pemberian dosis yang suboptimal dari kemoterapi adjuvant terbukti memiliki sebuah efek samping terhadap keberlangsungan hidup pasien-pasien kanker payudara. Meskipun efek ini telah ditemukan pada banyak uji prospektif terapi untuk kanker payudara, namun relevansi klinis dari intensitas dosis (termasuk dosis kemoterapi mutlak yang diberikan dan jadwal pemberian) mungkin kurang begitu penting buat pengobatan-pengobatan paliatif pada pasien-pasien dengan kanker metastatik. Arti penting dari dosis dan pemberian jadwal kemoterapi masih menjadi sebuah wilayah penelitian klinis yang aktif, dan pertanyaan-pertanyaan ini sangat terkait dengan isu-isu pelayanan dukungan hematopoietik. Anemia pada pasien penderita anker atau gangguan hematologi primer berkisar dari sedang sampai parah dan seringkali memiliki penyebab multifaktor. Erythropoiesis pada pasien-pasien dengan tahapan-tahapan awal kanker bisa jadi normal. Yang paling lazim, baik insiden maupun besaran anemia pada pasien penderita kanker meningkat ketika penyakit semakin berat. Penggantian elemen-elemen hematopoietik oleh tumor tidaklah esensial buat berkembangnya anemia, bahkan pada pasien-pasien dengan kanker metastatik yang meluas. Anemia akibat gangguan ialah anemia akibat penyakit kronis hanya jika pola seluler pada sumsum hampir normal, level serum besi dan kapasitas ikat besi rendah, kandungan besi pada sumsum normal atau meningkat, dan level feritin serum meningkat. Koeksistensi dari level besi plasma rendah dengan jumlah mencukupi dari besi simpanan membantu membedakan anemia dari penyakit kronis dari anemia defisiensi besi. Lebih dari itu, penyebab-penyebab anemia yang lain, seperti hemolisis aktif, pendarahan yang tak terkontrol, defisiensi gizi, dan penggantian sumsum, haruslah disingkirkan. Yang terakhir, hasil-hasil penelitian dengan sel-sel darah merah yang berlabel kromium (RBC) menunjukkan bahwa keberlangsungan hidup RBC bisa diperpendek dengan signifikan pada pasien-pasien tertentu penderita kanker kronis tanpa ada bukti klinis atau laboratorium klasik dari hemolisis. Pada beberapa pasien, seperti retikulosis meduilary histiositik dan penyakit Hodgkin, erythrophagositus atau hipersplenisme mungkin bertanggungjawab atas menurunnya keberlangsungan hidup RBC, namun pada yang lain penyebab dari fenomena ini masih belum jelas.Level EPO serum masih dianggap sangat rendah untuk level anemia tertentu pada pasien-pasien penderita kanker jika dibandingkan dengan populasi kontrol dengan anemia serangan rendah. Selain itu, meningkatnya level serum EPO yang diduga untuk derajat anemia tertentu bisa dikurangi dengan regimen-regimen kemoterapi dengan atau tanpa agen-agen nephhrotoksik seperti cisplatin. Kemampuan rendah dari pasien-pasien penderita kanker untuk menghasilkan EPO tidaklah absolut karena hipoxemia bisa merangsang respon EPO yang memadai. Mekanisme-mekanisme molekuler tertentu yang meregulasi sel-sel yang menghasilkan EPO pada ginjal dan hati masih belum jelas. Mungkin bahwa sel-sel penghasil EPO ini diperlunak secara langsung oleh pertumbuhan serangan itu sendiri atau bahwa sel-sel menjadi cacat secara fungsional akibat kemoterapi dan terapi radiasi. Fenomena ini telah disebut sebagai penyebab anemia yang terkait dengan kemoterapi nephrotoksik (smeisal cisplatin), meskipun toksisitas sumsusm crythroid langsung mungkin memainkan sebuah pernanan. Karena respon EPO endogen terhadap anemia sangat rendah pada pasien penderita kanker, pengobatan anemia kanker dengan dosis farmakologis dari agen-agen erythropoietk manusia rekombinan tampaknya merupakan sebuah pendekatan terapi yang cukup rasional. Hipotesis ini telah diuji secara luas pada uji-uji prospektif, acak, dan dikontrol plasebo. Efek-efek menguntungkan dari menyediakan dukungan sitokin erythropoietik pelengkap pada pasien-pasien kanker akan dibahas nanti.Produksi eritrosit yang sangat rendah bisa disebabkan oleh stimulasi EPO yang tak memadai dan bisa disebabkan oleh tak cukupnya stimulasi EP pada sel-sel progenitor yang bertanggungjawab atas jalur-jalur proliferasi dan diferensiasi eritroid. Namun, abnormalitas-abnormalitas pemberi sinyal endogen pada populasi-populasi sel sasaran juga bisa menghasilkan fenotip anemia yang serupa pada inang. Sebagai misal, pasien-pasien penderita sindrom miklodisplastik (MDS) memperlihatkan takmemadainya kematangan seluler meski ada sejumlah besar progenitor eritroid displastik pada sumsum hiperseluler.Anemia hemolitik imum biasanya dikait-kaitkan dengan neoplasma dari sistem-0sistem limfositik dan retikuloendotelial. Anemia di dalam kasus-kasus seperti itu, biasanya sedang sampai parah, ada kaitannya dengan penyakit kuning, splenomegaly, dan meningkatnya urin dan ekskresi urobilinogen fekal, keberlangsungan hidup RBC turun, dan jumlah retikulosit meningkat, kecuali eritropoiesis sangat terganggu. Anemia hemolitik mungkin disebabkan oleh imunoglobulin G (IgG) yang bereaksi pada hangat dengan hasil tes antiglobulin langsung positif (Coombs) dan reaksi positif terhadap antiserum yang spesifik untuk IgG terhadap RBC. Kondisi ini terjadi paling umum pada leukemia limfoid kronis namun juga dilaporkan pada pasien-pasien penderita limfoma, leukemia akut, gangguan myeloproliferatif, atau karsinoma. Antibodi IgM bisa mengikat dan menyebabkan aglutinasi pada dingin. Dalam kasus apapun, anemia terjadi karena sekuestrasi retikuloendoletial dari RBS diselimuti dengan komponen-komponen antibodi atau komplemen (hemolisis ekstravaskuler). Kombinasi hemoglobinemia dan hemoglobulinuria (akibat hemolisis intravaskuler yang ekstensif) terjadi sangat jarang dan turut andil pada keberadaan tingginya titer antibodi yang bereaksi pada dingin.Anemia hemolitik mikroangiopati, yang dicirikan oleh distorsi dan fragmentasi RBC pada smear (skistosit) dan hemolisis intravaskuler dengan trombositopenia yang terkait bukanlah sesuatu yang umum terjadi. Namun, ketika teramati pada onkologi, anemia mikroangiopati biasanya terlihat nyata pada pasien-pasien dengan karsinoma metastatik (seperti adenokarsinoma perut, payudara, prostat, paru-paru, pankreas, gallbladder, atau kolon) atau dengan angiosarkoma yang parah. Regimen-regimen kemoterapi tertentu mungkin membuat seorang pasien mengalami komplikasi ini melalui mekanisme-mekanisme yang masih belum jelas. Koagulasi intravaskuler dengan level faktor penggumpalan yang rendah, fibrinolisis, naiknya level produk-produk degradasi fibrin, dan meningkatnya katabolisme fibrin mungkin ada. Fragmentasi RBC bisa jadi disebabkan oleh deposisi fibrin di dalam vesel, koagulasi intravaskuler mungkin diinisiasi oleh dilepaskannya trombolastin oleh sel-sel tumor, atau kedua mekanisme mungkin sama-sama berjalan. Yang terakhir, anemia mungkin ada kaitannya dengan aplasia RBC murni tanpa ada abnormalitas-abnormalitas sumsum leukosit atau platelet yang terkait, yang terutama berkaitan dengan timome, dan jarang menampakkan diri di dalam konteks limfoma atau leukemia limfoid kronis.TrombositopeniaTrombositopenia pada pasien-pasien penderita kanker biasanya disebabkan oleh kemoterapi dan terapi radiasi, biasanya dengan dosis pengobatan yang tinggi atau setelah terapi cytotoksik kumulatif yang lama sepanjang waktu. Produksi yang terganggu dari platelet karena penurunan atau tak adanya megakariosit karenanya merupakan penyebab paling umum dari trombositopenia pada pasien-pasien penderita kanker. Namun, trombositopenia juga bisa disebabkan oleh sekuestrasi splenik pada pasien-pasien yang splenomegalinya merupakan bagian dari proses neoplastis primer. Di dalam konteks ini, meningkatnya jumlah megakariosit tampak nyata, kecuali ada infiltrasi yang ekstensif. Trombositopenia yang dimediasi oleh imun mungkin terkait dengan antigen limfosit anti-manusia (HLA) atau antibodi-antibodi spesifik anti platelet. Yang terakhir, trombositopenia mungkin ada kaitannya dengan koagulasi intravaskuler yang menyebar, terutama pada pasien-pasien dengan leukemia myelositik yang akut, limfoma, atau karsinoma paru-paru, payudara, gastrointestinal tract, atau urogenital tract. Dalam proporsi relatif, koagulasi intravaskuler yang menyebar paling umum menyebabkan komplikasi leukemia promyesiklotik akut yang disebabkan oleh kehadiran bahan tromboplastik maupun protease fibrinolitik pada komponen-komponen subseluler promyelositik.Fungsi platelet bisa menjadi abnormal bahkan ketika jumlah platelet normal. Sebagai misal, fungsi platelet bisa menjadi abnormal pada beberapa gangguang myeloproliferatif kronis. Meskipun kebanyakan pendarahan pada pasien-pasien dengan leukemia myeloid akut ada kaitannya dengan trombositopenia, namun abnormalitas-abnormalitas intrinsik pada fungsi platelet telah disebutkan, termasuk menurunnya aktivitas prokoagulan platelet dan menurunnya agregasi dan respon pelepasan serotonin terhadap difosfat adenosis, epinefrin, atau kolagen. Kekurangan-kekurangan ini mungkin mencerminkan fakta bahwa megakaryosit bersumber dari sebuah sel bakal leukemik. Transfusi platelet, yang dibarengi dengan pengobatan terhadap penyakit yang melaandasinya, masih menjadi arus utama dari terapi untuk sindrom-sindrom disfungsi platelet semacam itu. Disfungsi platelet juga terlihat pada fraksi pasien dengan myelomia IgA atau makroglobulinemia Wladenstrom, myelomia majemuk, dan gamopati monoklon yang arti pentingnya masih belum ditentukan. Selain dari trombositopenia, faktor-faktor ini mungkin turut menyebabkan pendarahan atau sindrom-sindrom hiperviskositas. Kondisi-kondisi ini juga ada kaitannya dengan defisiensi faktor X pada konteks amyloidosis, seuah antikoagulan seperti heparin yang bersirkulasi, fibrinoliis, dan gangguan akibat protein myeloma dengan polimeriasasi fibrin dan fungsi protein-protein koagulasi yang lain. Jika salah satu dari sindrom yang menimbulkan komplikasi ini ada, maka terapi sitoreduktif yang terbaik bagi penyakit yang menyebabkan ialah intervensi pilihan, dengan plasmapheresis dicadangkan untuk pendaraahan akut. Data dari Institut Kanker Nasional pada awal tahun 1960-an jelas-jelas menunjukkan bahwa pasien-pasien leukemia mati akibat pendarahan selama indusksi resmi pada kemoterapi dan hubungan kuantitatif antara jumlah platelet dan pendarahan ditentukan. Meskipun tak ada argumen bahwa jumlah platlet yang bersirkulasi secara rendah meningkatkan resiko komplikasi pendarahan, ada banyak sekali kontroversi yang mengiringi pertanyaan mengenai level trombositopenia yang mendorong intervensi prophylaktik. Di banyak institusi, transfusi-transfusi platelet prophylaktik diberikan pada konteks ketika jumlah platelet yang bersirkulasi menurun sampai kurang dari 20.000 platelet/L darah. Namun, pola praktek yang ada sekarang bersumber dari ekstrapolasi data retrospektif yang bersumber dari sebuah subhimpunan sangat terpilih pasien yang mengalami penyakit parah (seperti pasien-pasien leukemia yang menjalani terapi induksi remisi). Namun, pada pasien-pasien penderita leukemia pada dua pengujian diacak untuk mendapatkan tranfsusi platelet prophylaktik pada level 10.000/L atau 20.000/L. Para peneliti menemukan bahwa ambang batas yang lebih rendah adalah aman dan menghasilkan jumlah transfusi platelet yang lebih rendah. Seperti halnya upaya-upaya untuk menentukan resiko neutropenia yang bersirkulasi karena tak adanya demam, resiko trombositopenia di tengah tak adanya pendarahan masih menjadi sebuah variabel klinis yang didefinisikan dengan buruk. Meski begitu, trombositopenia bisa mempengaruhi secara langsung pengobatan pasien-pasien penderita penyakit berat dengan menunda atau mengurangi secara dekat regimen-regimen obat sitotoksik yang direncanakan. HEMATOPOIETIC CYTOKINE UNTUK PERBAIKAN PRODUKSI SEL DARAH DISFUNGSIONAL DI PASIEN KANKER Proses selular hematopoiesis diregulasi sebagian oleh mediator humoral yang disebut sebagai faktor pertumbuhan hematopoietik atau hematopoietic cytokine. Pemahaman mekanisme biologi dari regulator produksi darah mulai mengalami peningkatan. Ketersediaan preparasi murni hematopoietic cytokine manusia rekombinan untuk penggunaan klinis membuat banyak dilakukan studi tentang obat hematopoiesis dalam pasien kanker. Berdasarkan data tersebut, panduan praktek klinis dibuat dalam menciptakan obat untuk memperkuat penggunaannya, khususnya biaya obat rekombinan dan keinginan mengoptimalkan penggunaan sumberdaya medis. Untuk penerapan klinis, perkembangan hematopoietic cytokine selalu didasarkan pada bukti praklinis efek stimulasinya terhadap lineage dan proses sel hematopoietik. Efek klinis dari hematopoietic cytokine rekombinan bisa berbeda di model laboratorium. Contoh, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah obat hematopoietik multilineage in vitro, yang menstimulasi sel dalam lineage neutrofilik, eosinofilik, monositik, erithroid, dan megakariositik. Selain itu, aktivitas klinis molekul ini secara in vivo juga memberikan stimulasi pada lineage neutrofilik, eosinofilik, dan monositik. Meski penelitian praklinis adalah penting untuk memahami mekanisme biologi dasar dari cytokine, ekstrapolasinya ke penerapan klinis membutuhkan kinerja dan interpretasi trial klinis yang didesain untuk mengevaluasi keampuhan dan keamanan obat rekombinan di pasien.

Neutropenia Terkait-Perawatan: Mengurangi Resiko Dan Meningkatkan Terapi Dengan Hematopoietic CytokineKondisi gagal sungsum yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit malignan selalu bersifat sementara dan iatrogenik. Myelosuppression yang terjadi sebagai toksikitas non-spesifik selalu ditindaklanjuti dengan terapi cytotoxic, khususnya dalam kanker. Sebagai bagian dari disfungsi sungsum sementara, lineage neutrofil biasanya mengalami kerusakan paling parah karena efek kemoterapi. Efek klinis dari neutropenia yang sementara (< 5 hari) di pasien dengan tumor padat cenderung terbatas berdasarkan resiko mortalitas akibat-perawatan. Meski begitu, morbiditas terkait-perawatan, berdasarkan pasien rawat inap yang mengalami demam dengan neutropenia, adalah kejadian klinis yang umum terjadi, khususnya dengan durasi neutropenia yang lebih panjang atau terkait dengan obat yang menyebabkan mukositis dan merubah kekuatan hambatan mukosal terhadap infeksi. Karena alasan tersebut, dilakukan investigasi klinis yang difokuskan ke kemampuan hematopoietic cytokine dalam meminimalkan periode neutropenia dan juga dalam merubah hasil klinis dari kemoterapi myelosuppresif di kasus kanker. Hematopoietic cytokine pertama dengan aktivitas pada lineage nuetrofil dan yang diuji secara klinis adalah granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan GM-CSF. Bahkan di fase awal saat dilakukan uji klinis untuk toksikitas, obat ini terbukti efektif dalam meningkatkan level sirkulasi leukosit, khususnya neutrofil. Penggunaan dosis farmakologi dari molekul rekombinan juga tertoleransi dengan baik. Pengujian Fase I GM-CSF memperlihatkan toksikitas terbatas-dosis (misal pleuropericarditis, bocor kapiler, thrombosis vena) khususnya pada penggunaan dosis obat sangat tinggi. Aktivitas klinis, meski begitu, juga terlihat pada dosis GM-CSF di bawah efek buruk yang serius. Sebaliknya, uji toksikitas Fase I dari G-CSF tidak memperlihatkan toksikitas terbatas-dosis, bahkan di dosis besar (misal, > 100 g/ kg/d). Studi kenaikan-dosis dengan G-CSF terhenti karena tidak ada indikasi medis untuk meningkatkan sirkulasi neutrofil sampai level yang sangat tinggi (misal, 80 ribu neutrofil/ l darah) dengan dosis obat yang aman dan tertoleransi. Karena itu, obat ini terukti menjadi alat klinis yang etpat untuk digunakan dalam perawatan supportif dan adjungtif pasien dengan kanker.Uji skala-besar G-CSF dan GM-CSF dilakukan dengan cepat setelah uji toksikitas awal pada manusia. Uji ini melibatkan beberapa trial klinis Fase II untuk memastikan keampuhan klinis karena aktivitas klinis terlihat menonjol di studi Fase I. Sejumlah studi berskala besar, multicenter, dengan placebo terkontrol, double-blind, dan random dilakukan untuk mengevaluasi aktivitas klinis dari G-CSF dan GM-CSF dalam meminimalkan toksikitas terapi myelosuppressif. Meski begitu, setting klinis primer untuk uji random obat bisa dibilang berbeda. G-CSF diuji sebagai sebuah ajung untuk kemoterapi kombinasi dosis-konvensional di pasien dengan kanker paru-paru sel kecil, sedangkan GM-CSF diuji sebagai ajung untuk kemoterapi dosis-tinggi dan terapi radiasi dengan bone marrow transplantation (BMT) untuk populasi heterogen pasien dengan penyakit malignan limfoid. Dua obat tersebut, G-CSF dan GM-CSF, diuji berdasarkan intensi profilaktik, yaitu dimana CSF diberikan segera setelah terjadi insult myelosuppresif, tepat sebelum komplikasi yang infeksious.Beberapa studi berskala besar, prospektif dan dengan placebo terkontrol menemukan adanya keampuhan klinis G-CSF dalam mengurangi myelosuppresion dalam lineage nuetrofilik dan dalam mempengaruhi hasil klinis dengan mengurangi insidensi kasus demam dan neutropenia di pasien rawat inap. Satu studi di United States dilakukan dengan desain crossover setelah siklus pertama kemoterapi. Desain ini menyulitkan interpretasi efek kumulatif selama beberapa siklus (karena banyak pasien di-cross-over dengan G-CSF label-terbuka di akhir studi). Sebuah studi serupa yang dijalankan di Eropa tidak menggunakan desain crossover. Dua studi tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan G-CSF secara profilaktik setelah dosis agresif kemoterapi kombinasi konvensional berhasil memperpendek neutropenia absolut sampai 50 % dibandingkan dengan hasil dari kelompok kontrol placebo. Hasil ini dihubungkan dengan penurunan insidensi pasien rawat-inap yang memiliki demam dan neutropenia.Untuk meraih manfaat klinis lewat G-CSE, pasien menerima injeksi subcutaneous harian multipel setelah penggunaan kemoterapi. Yang terbaru, aktivitas G-CSF lebih konvenien di versi pegylasi karena aktivitas biologisnya panjang. Versi baru G-CSF ini, yaitu versi pgylasi, yang juga dikenal dengan sebutan pegfilgrastim, tidak memiliki perbedaan signifikan dari G-CSF konvensional berdasarkan keampuhan atau profil efek sampling ketika digunakan sebagai satu injeksi setelah kemoterapi.GM-CSF telah teruji sebsagai obat untuk mempercepat rekoveri hematopoietik dari kemoterapi dosis-tinggi yang menggunakan BMT. Data dari studi prospektif, random dan berskala besar, memperlihatkan adanya kemampuan GM-CSF dalam mempercepat rekoveri neutrofil ketika dibandingkan efek sebuah placebo. Tanda awal rekoveri neutrofil bisa terlihat di area periphery. Saat temuan ini diterapkan ke sindrom disfungsi sungsum lainnya, point berikut penting untuk diperhatikan. GM-CSF tidak mampu mempercepat rekoveri tanda awal rekonstitusi kompartemen neutrofil mature, tapi GM-CSF meningkatkan kecepatan rekonstitusi setelah ada beberapa rekoveri. Fenomena ini diinterpretasikan secara biologis sebagai bukti bahwa sel target GM-CSF adalah bagian dari pool sel progenitor yang diablasi sebagai bagian rejimen cytotoxic preparatif untuk BMT. GM-CSF tidak mempengaruhi angka repopulasi pool sel progenitor. Meski begitu, ketika ada beberapa sel target, GM-CSF bisa membawa sel melewati jalur proliferatif dan differentiatif, dan hasilnya adalah akselerasi rekonstitusi hematologik lineage-tunggal klinis. Dibandingkan efek placebo, tidak ada efek signifikan terhadap rekoveri platelet. Temuan ini konsisten dengan aktivitas terbatas-lineage dari GM-CSF di trial klinis lain. Endpoint klinis tertentu juga mengalami perbaikan. Ada penurunan dalam 7-hari setelah pulang dari rawat-inap untuk pasien yang diobati GM-CSF dan ini lebih cepat dibanding dengan pasien kontrol placebo. Beberapa studi mengevaluasi penggunaan profilaktik dari G-CSF dan GM-CSF. Obat tersebut mungkin digunakan untuk menangani pasien dengan intensi terapi hanya setelah terjadi episode infeksious. Data dari satu trial multicenter memperlihatkan bahwa manfaat klinis terbatas dari mendekati pasien dengan cara seperti itu adalah terbatas, tapi manfaat keseluruhan malah lebih rendah dibanding jika menggunakan hematopoietic cytokine dengan intensi profilaktik. Meski begitu, studi lain memperlihatkan aktivitas lebih banyak, dan penggunaan hematopoietic cytokine secara terapik membutuhkan analisis lebih menyeluruh sebelum dipastikan pasien mana, dengan demam dan neutropenia, yang paling diuntungkan dari penggunaan dosis post-hoc.Temuan penelitian memperlihatkan kemampuan memodulasi level neutrofil dalam cara klinis bagi pasien yang menjalani terapi myelosuppresif. Penerapan temuan ke praktek onkologi konvensional tetap menjadi subyek kontroversi besar. Kelompok pasien yang cenderung diuntungkan dari menerima ajungtif G-CSF atau GM-CSF masih kurang jelas definisinya. Biaya obat cenderung tinggi, khususnya untuk obat tanpa aktivitas anti-neoplastik yang peran primernya adalah pengurangan toksikitas terkait-perawatan. Penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk mendefinisikan kemungkinan keuntungan survival di pasien yang ditangani dengan hematopoietic cytokine. Sebagian besar investigator yakin bahwa keuntungan survival dihubungkan dengan kemampuan memberikan dosis lebih tinggi dan lebih toksik dari terapi cytotoxic, tapi hipotesis ini tetap perlu diuji secara penuh dalam trial klinis berdesain tepat.Aspek lain dari peningkatan hasil klinis antar pasien adalah potensi meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang menjalani terapi myelosuppresif. Dukungan cytokine pada rejimen myelosuppresif membantu pasien mentoleransi perawatan sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya. Peran terapi ini masih spekulatif, dan belum dipelajari secara prospektif. Setelah keuntungan perawatan didefinisikan, barulah rencana rasional bisa dibuat untuk penggunaan obat ini secara tepat. Meski mahal, penggunaan G-CSF atau GM-CSF terbukti efektif biaya untuk hasil klinis yang penting. Analisa bukti panjang yang mendukung setting klinis untuk dukungan hematopoietic cytokine pada pasien kanker telah dilakukan oleh American Society of Clinical Oncology. Analisa ini disebarkan ke komunitas onkologi sebagai panduan praktek klinis yang berdasarkan-bukti, dan rekomendasi ini direview dan diupdate secara tahunan. Perubahan praktek ini secara obyektif sudah terlihat sejak publikasi asli panduan tersebut.

Perbaikan Erythropoietin Endogenus: Stimulasi Farmakologi Terhadap Erythropoiesis Dalam Pasien Kanker Sebab anemia di pasien kanker cenderung multifaktorial, termasuk pendarahan, produksi yang minim, hemolisis, dan defisiensi nutrisional. Pasien dengan tumor dan anemia memiliki level EPO native yang tidak cukup bila dibanding dengan pasien yang anemia-nya terjadi lewat mekanisme berbeda. Para penyidik mempelajari apakah suplementasi eksogenus dengan erythropoietic cytokine bisa mengurangi anemia akibat kanker atau terapi kanker. Karena epoetin alfa (recombinant human EPO [rhEPO]) adalah satu-satunya cytokine manusia rekombinan yang bisa menstimulasi erythropoiesis, maka opsi yang tersedia adalah darbepoetin alfa (darbEPO). Beberapa studi prospektif, random dan placebo-terkontrol, dilakukan pada beragam pasien kanker anemik, baik yang tidak menjalani terapi cytotoxic atau yang menjalani perawatan dengan beragam rejimen cytotoxic. Trial ini menunjukkan peningkatan gradual (terjadi setelah 3 sampai 4 minggu penggunaan dosis hormon erythropoietic) dalam level hemoglobin di pasien yang menerima dosis farmakologi rhEPO atau darbEPO. Interpretasi studi mungkin sulit karena waktu lead 2 sampai 4 minggu sebelum efek menguntungkan bisa ditemukan di pasien, khususnya yang sebelumnya mengalami anemia saat awal studi. Susutan hemoglobin yang terputus-putus dan moderat ditemukan, dan ini membutuhkan kebutuhan transfusi pada pasien. Temuan ini membuat US Food and Drug Administration (FDA) harus mengesahkan penggunaan rhEPO dan darbEPO dalam manajemen anemia yang terkait-dengan kemoterapi. Hasil penelitian keampuhan rhEPO dikonfirmasi dan diperluas dalam studi praktek basis-komunitas besar untuk mengkonfirmasi efektivitas di lebih dari 6000 pasien kanker. Studi efektivitas adalah salahsatu studi besar dalam literatur perawatan supportif onkologi yang berusaha memastikan apakah stimulasi erythropoiesis oleh EPO dalam pasien kanker anemik bisa lebih dari sekadar strategi substitusi transfusi. Dalam trial ini, dilakukan kuantifikasi perbaikan indikator kualitas hidup di pasien, seperti level energi, level aktivitas, dan sense wellbeing. Hasil studi mendukung temuan dari studi awal placebo-terkontrol bahwa pasien yang merespon rhEPO dengan peningkatan level hemoglobin melaporkan adanya keuntungan klinis dalam ukuran kualitas hidup. Meski erythropoiesis bisa distimulasi moderat dengan pemberian farmakologi rhEPO atau darbEPO eksogenus, ternyata nilai klinis dari perawatan pasien kanker dengan obat ini adalah pada efektivitas biaya obat tersebut, khususnya bila melihat biaya relatif tinggi dari rhEPO dan darbEPO karena dosis besar yang dibutuhkan pasien kanker. Karena itu, penting untuk mengenali kompleksitas dalam assessment ini, karena perbedaan dalam pengukuran kualitas hidup dan biaya terkait transfusi darah membuat terapi erythropoietic menajdi alternatif wajar dan efektif-biaya terhadap dukungan transfusi di pasien tertentu. Pasien klinis tersebut, sayangnya, tidak didefinisikan dengan jelas, dan penelitian lebih jauh dibutuhkan untuk mengidentifikasi penggunaan klinis paling tepat dari EPO saat harus merawat pasien anemia karena kanker dan kemoterapi.Skenario klinis lain dari disfungsi hematopoietic juga memperlihatkan anemia, baik sebagai satu manifestasi klinis atau sebagai bagian dari kondisi gagal sungsum multilineage. Contoh, level EPO endogenus bisa rendah setelah ada proses transplantasi sungsum autologus dan allogenik. Hasil studi pilot memperlihatkan bahwa perawatan dengan EPO di setting ini terbukti berguna.Pasien dengan MDS biasanya anemik dan seringkali memiliki level endogenus EPO yang tinggi. Beberapa trial pilot kecil berusaha menindaklanjuti erythropoiesis secara efektif dengan pendosisan farmakologi EPO dan karena itu, meraih level EPO suprafisiologi. Meski trial ini kecil dan non-random, trial klinis ini memperlihatkan efek klinis supplementasi EPO di sejumlah kecil pasien dengan MDS (25 %). Meski faktor prognostik yang memprediksi respon ke supplementasi EPO kurang begitu dipahami, hasil trial ini memperlihatkan bahwa pasien dengan level EPO endogenus yang sangat tinggi (didefinisikan sebagai > 300 IU/L darah) memiliki probabilitas sangat rendah dalam merespon EPO. Interpretasi literatur ini dirumitkan oleh kriteria yang digunakan kelompok investigatif berbeda dalam mendefinisikan sebuah respon positif ke perawatan EPO. Keuntungan signifikan klinis ditemukan dalam pasien MDS, yaitu dengan berkurangnya kebutuhan transfusi RBC. Trial terapik terbatas dalam suplementasi EPO ke pasien anemia dan transfusi dengan level EPO endogenus rendah, menjadi pendekatan wajar untuk memahami manfaat klinis ini. Sekali lagi, biaya relatif tinggi dari obat dan potensi lamanya terapi (misal, bisa tahunan dalam pasien dengan MDS resiko-rendah, seperti anemia refraktori) membuat dokter dan insurer harus waspada dengan pendekatan terapik terhadap disorder anemik kronis. Resiko overload besi dan resiko lain dari kebutuhan transfusi di periode yang panjang selalu besar dan signifikan klinis, sehingga strategi stimulasi hematopoietic dengan suplementasi EPO menjadi cara yang efektif biaya dalam hal ini. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi strategi dalam cara yang lebih definitif.

Mengendalikan Thrombocytopenia Dengan Hematopoietic Cytokine: Tantangan Dalam Pengembangan Obat Thrombopoietic Yang Bermanfaat Klinis Investigasi klinis terhadap hematopoietic cytokine dalam mengurangi thrombocytopenia masih belum banyak dibanding studi molekul pada sel lineage neutrofil atau crythroid. Dukungan transfusi platelet tetap menjadi perawatan akut standar pada pasien dengan thrombocytopenia signifikan klinis. Meski begitu, single-cytokine recombinant human interleukin-11 (oprelvekin) telah disahkan oleh FDA untuk pencegahan atau penanganan thrombocytopenia terkait-kemoterapi. Perkembangan klinis dari thrombopoietic cytokine sampai sekarang menjadi bidang penelitian yang sangat kompetitif. Dalam model praklinis, beberapa molekul memperlihatkan efek thrombopoietic in vitro dan in vivo. Contoh dari itu meliputi interleukin-1 (IL-1), IL-3, IL-6 dan IL-11 atau faktor penghambatan leukemia. Selain itu, penggunaan alat DNA rekombinan menghasilkan kemampuan memotong dan mengiris molekul hibrid rekombinan yang memperlihatkan aktivitas thrombopoietic. Satu contoh gagal dari ini adalah molekul PIXY 321 (PIXYkine), yaitu hibrid rekombinan yang berisi area kode dari gen GM-CSF dan IL-3 pada manusia. Trial klinis prospektif terkontrol dari molekul ini gagal memperlihatkan stimulasi produksi platelet, meski laporan awalnya memperlihatkan adanya aktivitas stimulasi platelet yang menjanjikan. Kelompok penelitian lainnya berusaha meningkatkan stimulasi tersebut dengan mengembangkan agonist reseptor cytokine yang dimutasi untuk meningkatkan aktivitas biologi yang diinginkan. Strategi ini bisa mengurangi efek samping terkait-cytokine yang buruk (misal, inflammasi sistemik atau eosinophilia) sekaligus meningkatkan efek yang diinginkan (yaitu stimulasi thrombocytopoiesis). Perbaikan strategi aktivitas lewat mutasi bisa digabung dengan teknologi chmeric untuk menghasilkan fusi synthokine.Studi klinis tentang thrombopoietin bisa dibilang kompleks dalam endpoint klinisnya. Karena transfusi platelet profilaktik biasanya diberikan pada basis satu trigger point (didefinisikan sebagai jumlah platelet sirkulasi sebesar 10 ribu sampai 20 ribu platelet/L darah), maka hasil klinis dari kebutuhan transfusi platelet adalah variabel dependen yang didasarkan pada keputusan kebijakan (yaitu ketika menggunakan trigger transfusi). Selain itu, insidensi konsekuensi hemorraghic serius dengan praktek dukungan transfusi platelet bisa dibilang sangat rendah sehingga ini menyulitkan studi dalam mendeteksi efek signifikan dari thrombopoietin putatif. Akan menarik bila ini dievaluasi ketika molekul baru masuk uji klinis karena masalah yang ada di neutrophil cytokine dan erythroid cytokine (misal, saat memilih pasien mana yang diuntungkan dari obat dan saat mengevaluasi penggunaan cytokine mahal tapi secara tepat dan efektif biaya) selalu melibatkan hubungan antara cytokine dan aktivitas thrombopoietic. Persoalan ini lebih relevan pada thrombopoietic cytokine dibanding cytokine di lineage lain. Data yang mendukung kemoterapi intensif-dosis yang mempengaruhi jumlah platelet ternyata lebih lemah dibanding data yang mendukung kemoterapi yang menyebabkan neutropenia atau anemia.Semua proyek pengembangan klinis dari interleukin manusia rekombinan IL-1, IL-3, PIXY321, IL-6, faktor sel batang, dan versi rekayasa genetik dari thrombopoietin, seperti megakaryocyte growth and development factor (MGDF) dan promegapoietin, dan begitu juga obat thrombopoietic, semua membuahkan hasil tapi tidak memberikan nilai klinis yang besar. Meski beberapa molekul memiliki kemampuan klinis untuk menghasilkan peningkatan moderat dalam jumlah platelet, jalur perkembangan ini dihadapkan dengan masalah toksikitas dan molekulnya tidak cukup aktif. Uji klinis IL-1 memperlihatkan adanya toxicity sistemik serius dan adanya mediator inflamasi. Pemberian IL-3 dan IL-6 menghasilkan respon beragam antar pasien, dan stimulasi peningkatan jumlah platelet tidak terjadi sampai setelah beberapa hari pendosisan eksogenus. IL-3 terbukti toleran dengan toksikitas terbatas-dosis yang mana ini bisa terlihat di dosis yang lebih tinggi dibanding yang dibutuhkan untuk menunjukkan aktivitas klinis. Ini beranalogi dengan situasi bahwa studi prospektif besar GM-CSE tidak menunjukkan keampuhan thrombopoietic dari IL-3 atau PIXY321 yang cukup mempengaruhi hasil klinis.IL-11 manusia rekombinan menunjukkan keampuhan ringan dalam mencegah thrombocytopenia serius rekuren dalam setting kemoterapi dosis agresif. Molekul ini (oprelvekin) mendapat keuntungan sebagai cytokine pertama yang disahkan oleh FDA untuk stimulasi produksi platelet. Perkembangan bentuk rekombinan dari thrombopoietin manusia, seperti MGDF dan promegapoietin, dipersulit oleh perkembangan antibodi penetral di sejumlah kecil pasien. Untuk MGDF, empat pasien kanker (dari lebih dari 800 pasien yang diberi MGDF) memunculkan antibodi ke obat. Yang mengkhawatirkan, meski begitu, adalah perkembangan antibodi penetral di 9 dari 12 orang sehat yang menerima MGDF sebagai bagian dari studi yang mengevaluasi aktivitas obat ini dalam donor platelet sehat. Efek ini sangat dramatis sehingga perusahaan bioteknologi memutuskan menghentikan produksi dan pengembangan MGDF untuk manfaat klinis. Pengembangan promegapoietin (bentuk chimeric dari thrombopoietin dan IL-3) juga dihentikan karena pertimbangan perkembangan antibodi tersebut. Karena itu, meski G-CSF dan GM-CSF manusia rekombinan telah digunakan secara aman dalam merawat ribuan pasien kanker di dunia tanpa bahaya serius dari perkembangan antibodi, sepertinya masih wajar untuk mengkhawatirkan perkembangan antibodi yang melawan epitop di molekul thrombopoietin, setidaknya ketika obat diberikan di jalur subcutaneous. Temuan ini memang disayangkan karena aktivitas dan profil aman dari thrombopoietin manusia rekombinan sepertinya menjanjikan. Satu perusahaan masih melanjutkan perkembangan klinis dari thrombopoietin manusia rekombinan. Penelitian menjadi jalur untuk memahami manfaat klinis dari regulator primer megakariopoiesis manusia. Stimulasi Fungsi Hematopoietik pada Kegagalan Sumsum Endogen dengan Sitokin HematopoietikBanyak investigasi klinis yang memanipulasi fungsi hematopoietik manusia dengan berbagai dosis farmakologis sitokin-sitokin telah dilakukan terhadap pasien-pasien yang memiliki fungsi hematopoietik yang relatif normal yang sementara diganggu oleh kemoterapi sitotoksik. Sindrom kegagalan sumsum endogen mewakili penghubung lain untuk pengecekan aktivitas agen-agen hematopoietik. Berbagai kesulitan timbul dalam penelitian ini: Sindrom kegagalan sumsum adalah bermacam-macam kelainan kongenital dan didapat dengan spektrum yang luas dari manifestasi klinis dan perjalanan penyakit. Keluar dari variabilitas tersebut merupakan hal yang sulit. Akan tetapi, kurangnya terapi lain yang efektif untuk kelainan ini, menyebabkan sindrom ini akan terus menjadi daerah investigasi menarik untuk menggambarkan pengaruh sitokin hematopoietik.Sindrom Kegagalan Sumsum KongenitalSindrom kegagalan sumsum kongenital menggambarkan sekelompok penyakit yang tidak biasa bermanifestasi pada bayi dan anak-anak, dan menyebabkan disfungsi hematopoietik penghambatan garis keturunan atau pansitopenia turunan. Jarangnya kelainan ini menyebabkan sulit atau tidak dapat dilakukannya percobaan-percobaan klinik besar untuk menemukan suatu pengobatan. Data persuatif kemampuan sitokin-sitokin hematopoietik untuk memodulasi perjalanan klinis dari kelainan-kelainan ini telah ditemukan pada pasien dengan neutropenia kongenital yang berat (sindrom Kostmanns). Pada kelainan ini, neutropenia perifer ditemukan sehubungan dengan dugaan berhentinya maturasi mieloid pada stadium premielosit akhir. Penelitian akhir-akhir ini mendokumentasikan kemampuan satu sitokin hematopoietik, yaitu G-CSE untuk meningkatkan jumlah neutrofil sirkulasi pada lima pasien dan mempertahankan jumlah neutrofil pada periode tertentu. Indikasi klinis yang baik juga ditemukan pada pasien-pasien resolusi luka oral dan penurunan insiden episode infeksi dibandingkan dengan periode sebelum pemasukan G-CSE. Data yang berkebalikan didapatkan dari populasi serupa dari pasien pengguna GM-CSE. Empat dari lima pasien yang diterapi dengan GM-CSF tidak memiiki respon neutrofil perifer, walaupun semua pasien setelah itu merespon terhadap terapi G-CSF. Observasi ini menekankan fakta penting bahwa aktivitas biologis G-CSF dan GM-CSE mungkin memiliki kepentingan terapi yang berbeda pada keadaan klinis yang berbeda. Hasil dari penelitian panduan terdahulu pada G-CSF dikonfirmasi pada penelitian besar yang melibatkan pasien-pasien dengan kelainan neutropenia kronik yang parah. Hasil tersebut mengkonfirmasi kemampuan sitokin ini untuk meningkatkan jumlah neutrofil sirkulasi dan untuk mengurangi secara signifikan insiden yang berhubungan dengan infeksi.Kegagalan sumsum kongenital yang mengatur dengan sitokin hematopoietik telah dipelajari. Pada lima pasien dengan anemia Fanconi dan neutropenia, pemberian GM-CSF menyebabkan peningkatan jumlah neutrofil perifer pada empat dari lima pasien, dan satu pasien juga memiliki respon eritroid. Tidak ditemukan pengaruh pada platelet pada penelitian ini. Anemia Diamond-Blackfan adalah model klinis dengan sitokin hematopoietik lain yang telah dipelajari. Pemberian IL-3 digunakan pada tiga penelitian panduan klinis kecil. Pada dua dari tiga penelitian, respon klinis ditemukan pada 3 dari 6 dan 4 dari 17 pasien. Pada percobaan lain, tidak ada satupun dari 7 pasien yang memiliki respon klinis yang signifikan terhadap dosis IL-3 eksogen. Alasan variabilitas respon terhadap IL-3 tetap membingungkan. Terapi dengan sitokin untuk pengobatan trombositopenia amegakariotik telah diuraikan pada laporan dari lima pasien dengan kelainan yang jarang ini, yang dikarakteristikkan dengan trombositopenia terisolasi. Pada penggunaan IL-3 saja atau IL-3 dengan diikuti GM-CSF, didapatkan bahwa IL-3 meningkatkan aktivitas trombopoietik. GM-CSF tidak muncul untuk memberikan efek tambahan atau sinergis pada trombopoiesis. Dua dari lima pasien menjadi tidak bergantung pada transfusi platelet selama terapi dengan IL-3. Fenomena penundaan efek terapi sitokin telah dilaporkan pada situasi klinis lain dan menyulitkan interpretasi hasil percobaan sitokin klinis. Banyak mekanisme molekular yang dapat mengkarakteristikkan secara menyeluruh.

Sindrom Kegagalan Sumsum yang DidapatSindrom kegagalan sumsum kronik yang didapat termasuk MDS dan kelainan mieloproliferatif. Keduanya merupakan kelainan stem sel dengan blok fungsional dengan jalur diferensiasi normal. Terapi sitokin dapat mempercepat timbulnya, kelangsungan hidup, atau proliferasi dari klon leukemia ganas dan memperparah perjalanan penyakit tersebut. Secara umum, MDS telah secara luas diatur pada keadaan investigasi dengan sitokin hematopoietik dan juga memiliki kelainan mieloproliferatif. Dosis farmakologis dengan EPO dapat menyebabkan respon klinis bermakna pada kira-kira 25% pasien dengan MDS dan anemia. G-CSF telah dites pada perawatan pasien MDS neutropenik dan telah menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil pada kebanyakan pasien, lebih sering pada dosis rendah daripada dosis yang digunakan untuk membantu mielopoiesis pada pasien-pasien yang menjalani kemoterapi. Selain itu, pada sebuah penelitian panduan kecil dengan pasien-pasien MDS, kombinasi G-CSF dan EPO timbul untuk mempertahankan aktivitas turunan neutrofilik dan eritroid. GM-CSF juga menunjukkan aktivitas stimulasi mielopoiesis pada pasien-pasien MDS dan pasien-pasien dengan kegagalan sumsum lain. Secara singkat, banyak penelitian panduan menunjukkan kemampuan sitokin menstimulasi hematopoietik turunan pada pasien-pasien dengan ganggungan produksi darah akibat MDS. Akan tetapi, kepentingan klinis sesungguhnya diukur dengan kurang baik dan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Pada beberapa penelitian, terapi sitokin sementara telah berhubungan dengan transformasi leukemia, terutama pada pasien-pasien dengan jumlah blas yang tinggi pada subset MDS risiko tinggi transformasi, seperti anemia refrakter dengan transformasi blas yang berlebihan. Apakah observasi-observasi ini memiliki asosiasi atau kausatif masih belum pasti. Penelitian-penelitian lebih lanjut dengan skala besar penting untuk menegaskan risiko-risiko klinis secara menyeluruh dan kepentingan-kepentingan strategi terapi. Percobaan-percobaan G-CSF dan GM-CSF telah dilakukan terhadap pasien leukemia yang menjalani kemoterapi. Tidak ada dari penelitian -penelitian terjadi peningkatan pertumbuhan kembali leukemia. Banyak problem klinis pasien-pasien dengan kegagalan susmsum endogen yang didapat terlibat pada ketergantungan transfusi platelet. G-CSF, GM-CSF, dan EPO tidak dapat menstimulasi trombopoiesis. Beberapa penelitian sitokin telah mengevaluasi agen lain sebagai stimulus trombopoiesis potensial. IL-3 telah dites secara khusus pada pasien-pasien dengan kegagalan sumsum tulang. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan respon berbeda-beda terhadap IL-3, sama seperti keberagaman yang ditemukan ketika agen ini digunakan untuk manajemen kegagalan sumsum kongenital. Secara umum, bermacam-macam respon hematopoietik turunan terhadap IL-3 mungkin, termasuk peningkatan neutrofil, eosinofil, monosit sirkulasi, dan terkadang retikulosit dan platelet. Efek IL-3 timbul berhubungan dengan dosis dan pemberian dosis tinggi IL-3 telah dibatasi oleh efek samping seperti demam, lelah, dan skait kepala. IL-6 telah dites pada evaluasi klinis terbatas untuk sumsum tulang. Satu penelitian menunjukkan peningkatan jumlah platelet sirkulasi dan sel-sel progenitor megakariositik yang menjanjikan. Penelitian kecil telah dilakukan dengan agen-agen sederhana, seperti faktor sel stem atau trombopoietin, karena ada keterkaitan bahwa agen-agen tersebur dapat memperburuk penyakit berhubungan dnegan stimulasi klon neoplastik primitif.Manifestasi-manifestasi hematologik dari infeksi virus imunodefisiensi (HIV) dapat mencakup kegagalan sumsum yang didapat. Percobaan-percobaan sitokin dengan G-CSF, GM-CSF, dan EPO, sendiri atau dengan kombinasi, telah menunjukkan bahwa agen-agen tersebut dapat mengurangi neutropenia dan anemia dangan baik.Tambahan Transfusi untuk Kegagalan Sumsum TulangTransfusi Sel Darah MerahIndikasi KlinisDahulu dihipotesiskan bahwa pemeliharaan kadar hemoglobin di atas normal pada pasien dengan kanker akan mencegah sel stem berdiferensiasi menjadi turunan mieloid atau trombositoid. Hasilnya akan terjadi pemendekan waktu untuk pemulihan granulosit dan platelet setelah kemoterapi. Hipotesis ini tidaklah benar. Sekarang ini transfusi RBC untuk pasien-pasien kanker diberikan untuk indikasi medis yang sama seperti tranfusi RBC pada umumnya, yaitu memelihara pengantaran oksigen ke jaringan dan hemostasis hemodinamik. Kapasitas pembawa oksigen yang adekuat untuk memelihara fungsi jantung paru minimal yang dapat diterima dapat dipenuhi dengan konsentrasi hemoglobin 7 g/dl (hematokrit kira-kira 21%). Pada kadar hemoglobin yang rendah, volume intravaskular cukup untuk perfusi. Namun, peningkatan jumlah data penunjang hipotesis bahwa status fungsional pasien-pasien pada kondisi fisiologis batas ambang jauh dari optimal. Dalam pemilihan transfusi secara spesifik untuk pasien, dokter harus memikirkan usia pasien, derajat anemia, volume intravaskular, serta kondisi jantung, paru, dan pembuluh darah. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, beberapa pasien membutuhkan transfusi RBC dengan kadar hemoglobin yang lebih tinggi. Kadar hemoglobin umumnya dipelihara pada 8 g/dl atau lebih tinggi pada kanker dan terapi kanker. Transfusi 1 unit RBC biasanya meningkatkan konsentrasi hemoglobin 1 g/dl dan hematokrit 2-3% pada rata-rata orang dewasa dengan berat 70 kg. Biasanya pantas untuk mentransfusi setidaknya 2 unit RBC daripada 1 unit. Masalah yang masih tersisa adalah efek transfusi sementara pada banyak pasien dengan kanker atau kemoterapi dengan anemia. Pengaruh penurunan kadar hemoglobin secara periodik terhadap status fungsional pasien mulai mendapat perhatian dan merupakan subyek di lebih banyak penelitian kualitas hidup.Produk-produk Sel Darah MerahDi Amerika Serikat, jumlah homolog transfusi RBC menurun sejak 1986 dan terjadi peningkatan penggunaan darah autolog. Akan tetapi, donasi autolog belum diterima secara universal untuk perawatan pasien-pasien kanker atau leukemia, oleh karena sulitnya mendapat persediaan komponen autolog yang cukup untuk pasien yang telah cenderung ke anemia. Faktor lain yang mendapat perhatian adalah adanya sirkulasi sel-sel tumor di darah tepi. Paket RBC dipersiapkan dari 1 unit darah lengkap dengan membuang plasma dan merupakan transfusi yang paling banyak digunakan untuk memelihara kapasitas pembawa oksigen yang adekuat. Darah lengkap jarang ditransfusikan kecuali untuk memulihkan volume pada perdarahan yang sangat banyak atau untuk menggantikan RBC dan faktor-faktor pembekuan pada pasien-pasien yang kekurangan keduanya. RBC dapat dideplesi dari leukosit dengan filtrasi, sentrifugasi, atau pencucian untuk mendapatkan leukosit miskin RBC. Leukosit miskin RBC dapat digunakan untuk menghindari reaksi transfusi demam nonhemolitik dan aloimunisasi. Penggunaan produk darah ini dilakukan di bawah evaluasi untuk menghindari infeksi virus sitomegalo (CMV) pada resipien transfusi. RBC tercuci dipersiapkan dengan membuang tambahan plasma dari paket RBC, dan digunakan untuk menghindari reaksi urticaria terhadap protein plasma pada resipien transfusi. Demam nonhemolitik dan urtikaria akibat transfusi terjadi sebanyak 3% dari tranfusi. Penggantian ke sediaan leukosit miskin RBC atau RBC tercuci dapat menghindarkan demam nonhemolitik dan urtikaria. RBC tercuci dapat berguna pada pasien-pasien dengan defisiensi IgA dan yang memiliki antibodi anti-IgA karena pada pasien-pasien ini dapat terjadi reaksi anafilaktik setelah transfusi darah atau komponen darah yang mengandung IgA. Akhirnya, RBC deglicerolized beku miskin akan leukosit dan plasma. Produk ini dapat berguna pada pasien-pasien dengan reaksi transfusi terhadap leukosit atau plasma dan pasien dengn penghabisan leukosit yang cukup untuk mencegah transmisi CMV terkait transfusi.Transfusi LeukositPenggunaan terapi granulosit sebagai terapi pertama kali dilakukan sekitar 30 tahun yang lalu pada pasien-pasien leukopenia dan infeksi serius. Percobaan paling awal yang menunjukkan nilai potensial dari transfusi granulosit dilakukan dengan granulosit yang didapat dari pasien-pasien dengan leukemia granulositik kronik. Produk transfusi granulosit yang didapat dari pasien-pasien tersebut mengandung sel-sel granulosit dengan dosis yang jauh lebih banyak daripada ketika menggunakan donor yang sehat. Kepentingan dosis telah didefinisikan: 1010 atau lebih sedikit granulosit tidak efektif, 1011 atau lebih sel efektif. Pada tubuh yang tidak terinfeksi dan tidak demam, waktu paruh granulosit di sirkulasi adalah 6.7 jam (antara 4-10 jam), dan kecepatan pergantian harian 230%. Pada keadaan demam, infeksi, atau keduanya, kecepatan pergantian dapat menjadi berkali-kali lipat lebih tinggi. Kerja paralel dengan menggunakan hewan coba menunjukkan bahwa anjing membuat leukopenik secara bebas dengan iradiasi dan pemberian bakteriemia gram negatif dan pneumonia dapat diterapi secara sukses dengan transfusi granulosit.Lima penelitian klinis prospektif, acak dilakukan untuk menginvestigasi terapi transfusi leukosit pada pasien-pasien leukopenik dengan infeksi. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan manfaat transfusi leukosit dan menetapkan beberapa faktor prognostik sehubungan dengan hasil klinis: tipe organisme yang menginfeksi, waktu untuk pemulihan sumsum tulang, dan dosis transfusi granulosit. Transfusi granulosit tidak bermanfaat pada kebanyakan penelitian akhir-akhir ini, yang mana resipien-resipien tidak dites untuk antibodi antileukosit, jumlah leukosit yang ditransfusikan lebih sedikit, dan lebih baik jumlah yang bertahan ditemukan pada kelompok yang diterapi dengan antibiotik saja. Kemajuan efektivitas antibiotik pada tahun 1980an dan 1990an menyebabkan terapi granulosit jarang digunakan sekarang ini. Sebagai contoh, manajemen sepsis gram negatif refrakter atau infeksi visceral pada pasien leukopenik dengan dugaan pemulihan sumsum. Kebutuhan klinis terbatas ini dapat diturunkan dengan faktor pertumbuhan mieloid rekombinan (seperti GM-CSF dan G-CSF) untuk menstimulasi pemulihan mieloid dan stimulasi mekanisme pertahanan sel tubuh.Enam percobaan prospektif acak dari transfusi leukosit profilaksis telah dilakukan untuk menentukan apakah transfusi ini dapat mencegah infeksi pada pasien-pasien leukopenik. Hasil dari lima penelitian mengindikasikan efek protektif dari transfusi leukosit, walaupun perbedaan signifikan hanya didapat pada dua penelitian. Selain itu, tidak ada penelitian yang mendemonstrasikan perbaikan pada kelangsungan hidup, karena adanya efek-efek klinis lain yang merugikan, seperti aloimunisasi, reaksi transfusi, infeksi CMV, dan infiltrat paru timbul lebih sering pada kelompok yang mendapat transfusi. Metode-metode dari penelitian-penelitian telah dikritik karena tidak adekuatnya pencocokan donor-resipien dan dosis-dosis granulosit yang ditransfusikan. Meskipun demikian, sekarang ini granulosit profilaksis tidak digunakan secara luas untuk terapi suportif pada pasien-pasien kanker. Penelitian-penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan faktor-faktor pertumbuhan mieloid untuk menstimulasi peningkatan hasil panen granulosit dari donor yang sehat. Hasilnya menunjukkan bahwa sejumlah besar granulosit matur dapat dikumpulkan dari donor-donor yang sehat apabila donor sehat tersebut diberikan sitokin (seperti G-CSE). Walaupun usaha ini kembali diminati pada terapi transfusi granulosit, indikasi penggunaan terapi ini jarang karena kemampuan untuk menstimulasi pemulihan homatopoiesis tubuh dengan sitokin rekombinan.

Penggunaan granulositAspek-aspek Teknik Memperoleh Granulosit untuk TransfusiGranulosit didapatkan dari prosedur leukopheresis dengan tepung hydroxyethyl dan sodium sitrat. Prosesnya biasa memerlukan 90 menit untuk menghilangkan granulosit secara adekuat (1010 atau lebih) ketika RBC dikembalikan kepada donor. Leukosit-leukosit ini diperoleh dari donor ABO kompatibel. Tes leukoaglutinasi menggunakan serum segar pasien dan sel darah putih donor dapat dilakukan sebelum transfusi untuk memastikan kesesuaian dan mencegah reaksi paru yang dimediasi leukoaglutinin pada resipien. Pneumonitis interstitial CMV setelah transfusi dihindari dengan hanya menggunakan donor CMV-seronegatif. Leukosit diiradiasi untuk mencegah proliferasi sel T dalam produk transfusi yang dapat menyebabkan GVH pada transfuse pasien immunocompromised. Dibandingkan dugaan sebelumnya, pasien-pasien yang mendapat terapi amphotericin tidak meningkatkan risiko reaksi paru terkait transfusi.

OriginalMarrow failure syndromes are a heterogenous group of congenital and acquired disorders with a wide spectrum of clinical manifestations and courses of disease.

Transfusi Platelet

Darah lengkap pertamakalinya ditransfusikan pada pasien trombositopenia pada tahun 1910. Hasilnya cukup signifkan , terjadi peningkatan jumlah platelet, perbaikan hemostasis dan waktu perdarahan. Pada tahun 1950, platelet pertama kali digunakan untuk penanganan trombositopeni berhubungan dengan kombinasi kemoterapi untuk leukemia. Pada tahun 1960, investigasi gejala sisa dari trombositopenia berat menunjukkan bahwa transfusi platelet dapat membantu memperbaiki kondisi perdarahan pada pasien anak-anak maupun dewasa, bedanya hanya pada dosis yang digunakan. Pada tahun 1970, studi pada anak-anak dan orang dewasa menunjukkan bahwa transfusi platelet efektif dalam pencegahan daripada mengontrol perdarahan.Hanya sebagian kecil pasien dengan kanker yang mebutuhkan tranfusi platelet. Sebaliknya, platelet lebih umum ditransfusikan pada pasien kanker daripada pasien dengan kondisi penyakit yang lain. Indikasi yang tepat untuk transfusi platelet merupakan sasaran dari Konsensus Departemen Kesehatan Nasional dan masih dalam kontroversi. Untuk mencegah perdarahan digunakan 6 sampa 8 unit platelet (5,5x10 10 platelet /unit) rutin ditransfusikan pada pasien dengan kanker dengan jumlah platelet kurang dari 10000-20000/ul. Meskipun begitu, trombositopenia merupakan faktor resiko perdarahan dan oleh karena itu waktu dan dosis pemberian profilaksis platelet dapat bervariasi pada kondisi klinis yang berbeda. Sebagai contoh pasien dengan tromboitopenia karena leukemia myelositik akut terjadi perbaikan terjadinya perdarahan dengan pemberian platelet hingga 10000/ul. Pasien dengan leukemia limfoid akut juga memiliki risiko perdarahan yang sama, dengan transfusi platelet hingga 20000/ul. Gmur dkk melaporkan bahwa ambang batas transfusi profilaksis dapat dimulai dari 5000/ul untuk pasien leukemia tanpa demam atau perdarahan dan 10000/ul untuk pasien dengan problem klinis tertentu. Lebih dari dua penelitian terakhir melibatkan pasien leukemia dengan membandingkan jumlah platelet, yaitu 10000/ul dan 20000/ul sebagai nilai ambang untuk transfusi profilaksis. Hasilnya menunjukkan pemberian yang lebih rendah aman dan dengan jumlah transfusi platelet yang lebih sedikit. Platelet muda lebih efisien dalam mengontrol perdarahan, sehingga kebutuhan transfusi lebih besar jika jumlahnya menurun setelah kemoterapi, dibandingkan dengan level yang sama saat peningkatan dari nadir. Pasien dengan trombositopenia kronik karena penurunan produksi platelet (gangguan myelodisplastik) mungkin memerlukan transfusi. Pasien dengan peningkatan destruksi tapi produksi platelet aktif (purpura tromboitopenia idiopatik) mungkin tidak perlu transfusi platelet rutin. Terlebih, pasien trombositopenia kronik dapat mentoleransi kadar trombosit yang sangat rendah atau tidak ada sama sekali tanpa transfusi. Pada pasien dengan gangguan fungsi platelet, jumlah platelet bukan hal utama tapi jumlah platelet fungsional penting untuk pencegahan perdarahan. Waktu perdarahan dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan risiko perdarahan. Sulit untuk menentukan batas ambang transfusi yang tepat pada semua pasien, dan juga waktu dan dosis pemberian transfusi profilaksis platelet harus disesuaikan dengan kondisi klinis.

Penggunaan Donor Platelet Single dan Multipel untuk Transfusi Satu unit konsentrat platelet diambil dari 1 unit darah lengkap dengan sentrifugasi dan konsetrat dari berbagai macam donor (6-8 donor) dikumpulkan untuk menghasilkan 1 komponen (konsentrat campuran darah donor) transfusi. Konsentrat platelet individu dapat dibiarkan hingga 5 hari sebelum dikumpulkan dan ditransfusi.Metode ini meningkatkan ketepatan dalam menghasilkan sebuah donor platelet dan tidak menunjukkan adanya efek merugikan pada orang yang sering mendonor. Perkembangan dari sistem pheresis steril tertutup dapat meminimalkan kontak dari platelet dengan udara selama pengumpulan, dipadukan dengan kantong penyimpanan yang permeabel terhadap karbondioksida, dapat menyimpan platelet pheresis sebelum ditransfusikan. Keuntungan utama dari konsentrat donor platelet multipel adalah ketersediaannya, karena berasal dari donor darah lengkap yang konvensional. Hasil dari beberapa penelitian menggambarkan bahwa alloimunisasi dapat terjadi lebih cepat pada pasien yang menerima donor platelet multipel, transfusi multipel donor menjadi tidak efektif dan pengurangan dari jumlah donor tiap transfusi dapat menghambat perkembangan dari refraktor terhadap tranfusi donor platelet acak pada pasien trombositopenia. Keuntungan kedua penggunaan satu donor platelet terlihat dari penurunan risiko infeksi ketika pasien diekspose oleh sebagian kecil donor. Namun, kumpulan donor platelet acak secara rutin ditransfusikan lebih awal, karena konsentrat platelet produk dari donor darah lengkap. Kebanyakan satu donor platelet digunakan untuk menyediakan donor HLA yang tepat untuk resipien alloimun yang tidak berespon terhadap platelet dari darah acak. Meskipun itu berguna untuk menghindari infeksi CMV yang berhubungan dengan transfusi, satu platelet donor umumnya sudah tidak digunakan untuk menghindari aloimunisasi atau infeksi.Efektivitas dari transfusi platelet dapat dinilai dari temuan laboratorium, peningkatan perbaikan jumlah platelet tampak pada 1 jam atau 10-15 menit setelah transfusi, perdarahan , dan observasi temuan klinis setelah transfusi. Peningkatan perbaikan platelet didefinisikan sebagai peningkatan pada jumlah platelet dari pretransfusi hingga post transfusi untuk jumlah unit transfusi dan luas permukaan tubuh penerima. Peningkata perbaikan dari 15000-20000 ul, biasanya terjadi selama 18-24 jam setelah transfusi. Nilai ini diubah menjadi peningkatan absolut dalam 1 jam sekitar 7000 - 11000/ul untuk setiap unit platelet konsentrat yang diberikan terhadap rata-rata ukuran luas permukaan tubuh dalam m2. Waktu perdarahan pasca transfuse digunakan dalam mengukur jumlah platelet fungsional, pada umumnya pasien sudah mengetahui adanya disfungsi pada plateletnya, dengan teknik sepert platelet radiolabeling dapat digunakan untuk mendiagnosa dan mengidentifikasi lokasi dari peningkatan destruksi platelet, namun yang terpenting dalam menilai efektivitas transfusi platelet adalah dengan menilai secara klinis adanya perdarahan dan sumber perdarahan. Faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas transfusiKoreksi platelet dosis rendah yang tepat segera setelah transfusi, status dari keduanya yaitu produk transfusi donor dan penerima harus diperiksa. Beberapa faktor yang terlibat dalam pengambilan dan penyimpan trombosit sebelum di transfusikan dapat memperburuk kelangsungan hidup trombosit, yaitu : pH, jumlah kontaminasi oleh limfosit, volume plasma, temperatur, dan agitasi selama penyimpanan. Dengan kontrol kualitas yang saat ini dipraktekan di sebagian besar bank darah, jarang terjadi untuk mengidentifikasi masalah di pengambilan atau sumbangan yang memberikan sedikit kenaikan pasca-transfusi. Jika kemampuan hidup platelet yang ditransfusikan lemah, beberapa kondisi klinis dari penerima dapat memberikan berespon. Pasien dengan demam,infeksi, atau keduanya terjadi peningkatan konsumsi platelet, meskipun tidak ada bukti dari koagulopati konsumtif. Kedua, kenaikan platelet pasca transfusi dapat lebih rendah dari yang diharapkan karena sekuestrasi limpa, terutama pada splenomegali. Ketiga, obat yang menginduksi antibodi platelet dimediasi oleh imun dalam merusak platelet. Antibodi yang berespon terhadap trombositopeni yang diinduksi oleh obat berikatan terhadap platelet melalui region Fab daripada menempel pada kompleks imun non spesifik. Membran platelet glikoprotein GPIb dan GP IIb/IIa merupakan targetnya, mesipun GPV juga terlibat. Obat berikatan dengan membran platelet menginduksi perubahan sruktural yang reversibel pada trombositopenia yang diinduksi oleh obat tanpa adanya interaksi langsung platelet dengan obat. Teori lain mengatakan bahwa obat seperti penicillin berikatan kovalen dengan membran platelet dan menginduksi antibodi dependen hapten. Akhirnya kemampuan hidup platelet melemah jika penerima memiliki antibodi melawan antigen donor dari lokus HLA-A HLA-B, system ABH, atau alloantigen platelet.

AloimunisasiPlatelet membawa antigen HLA-A dan HLA-B namun sedikit HLA-C dan HLA-DR. Hal ini memiliki korelasi tinggi antara perkembangan linfositotoksik antibody anti-HLA pada penerima dan refrakter terhadap donor acak. Antibodi anti-HLA adalah yang paling mudah dideteksi pada serum pasien dan panel limfosit mewakili pengenalan spesifisitas HLA. Saat dan waktu terjadinya produksi antibodi anti-HLA setelah transfusi platelet masih dalam kontroversi dan dapat bervariaisi terhadap populasi penerima. Sebagian besar penelitian mengatakan bahwa aloimunisasi terjadi pada 50%-90% pasien yang menerima transfusi multipel. Beberapa studi menunjukkan bahwa rata-rata aloimunisasi meningkat bersamaan dengan jumlah transfusi. Disisi lain menunjukkan bahwa tidak ada relasi antara jumlah transfusi platelet yang diberikan terhadap aloimunisasi. Apalagi, pasien dengan kanker tidak pernah tersensitisasi. Namun, penting untuk menguji antibodi anti-HLA kapanpun penerima mendapatkan transfusi donor platelet acak, karena respon terhadap donor platelet lemah pada orang yang tersensitisasi, dan HLA yag cocok atau platelet dari anggota keluarga dapat berguna pada kondisi tersebut. Yankee dkk, pertama kali menunjukkan transfusi platelet yang diambil dari HLA saudara identik atau dari donor yang cocok tidak terkait pada lokus HLA-A dan HLA-B (grade A atau B ) dapat memberikan perbaikan yang memuaskan pasca transfusi pada penerima aloimunisasi yang rentan terhadap transfusi platelet acak. Duquesnoy dkk, kemudian menemukan bahwa donor dengan anigen HLA yang sama (sesuai grade B) atau antigen HLA cross-reaktif dengan antigen pasien (BX cocok) yang ekuivalen. Evaluasi donor untuk antigen yang sama atau cross-reaktif menjadi semakin kompleks. Sebagai contoh, transfusi platelet dari donor yang sedikit HLA-A2 yang membawa satu atau dua (grade C sesuai) atau tiga dari empat (grade D sesuai) tidak ada antigen pada penerima memiliki keuntungan pasca-transfusi pada penerima alloimunisasi. Sebaliknya, transfusi platelet dari HLA-A2 donor positif dimana pencocokan HLA-A dan HLA-B tidak berhasil. Antibodi anti-HLA yang lemah, dapat menyebabkan kerusakan platelet in vivo, dapat tidak terdeteksi dengan pemeriksaan biasa. Perbaikan transfusi platelet yang baik telah diobservasi, namun meskipun begitu crossmatch limfositotoksik positif. Teknik crossmatch tambahan mungkin dibutuhkan pada 20% pasien yang tersensitisasi dengan refrakter meskipun HLA platelet sudah sesuai. Pengenalan refraktori berhubungan dengan perkembangan dari antibodi anti-HLA yang cenderung untuk menghindari alloimunisasi melalui modifikasi transfusi platelet. Karena antigen HLA diekpresikan pada leukosit investigator harus dapat (1) menghilangkan sel darah putih dari platelet sebelum ditransfusikan, (2) menggunakan satu donor platelet daripada multipel donor untuk meminimalkan eksposur terhadap antigen HLA dan (3) mentransfusikan hanya HLA yang sesuai atau platelet dengan deplesi leukosit. Platelet yang miskin leukosit telah dipersiapkan dengan sentrifugasi atau dengan menggunakan filter, dimana keduanya mendeplesi sel darah putih 2 - 3 log dengan pengurangan platelet yang bervariasi. Transfusi platelet ekslusif dengan kontaminasi leukosit tidak lebih dari 5x106 tidak menginduksi pembentukan antibodi anti-HLA. Sebaliknya, transfusi platelet dengan jumlah non deplesi leukosit dapat mensensitisasi penerima. Penggunaan donor tunggal, atau platelet iradiasi ultraviolet sedang diteliti untuk mencegah terjadinya aloimunisasi. Hasil dari percobaan dalam mengurangi aloimunisasi terhadap platelet (TRAP) menunjukkan bahwa pemberian platelet apheresis donor tunggal, konsentrat platelet acak yang terfilter, dan konsentrat platelet dengan irradiasi UV-B, semuanya merupaka strategi yang efektif dalam mengurangi insiden platelet refrakter pada pasien yang baru terdiagnosis leukemia myeloid akut. Waktu dari leukodeplesi merupakan factor penting dalam menentukan kesuksesan dari metode pencegahan aloimunisasi ini. Hasil studi pada binatang mengindikasikan bahwa saat sebelum penyimpanan, leukodeplesi efektif dalam mencegah aloimunisasi. Ketika penerima yang sensitif terhadap HLA platelet perlu dilakukan crossmatch tambahan untuk mengidentifikasi donor platelet yang lebih kompatibel. Prosedur ini termasuk leukoaglutinasi, lisis kromium 51, ELISA, pemeriksaan iodin131 yang berhubungan dengan igG platelet, dan agregometri platelet. Pemeriksaan yang menunjukkn keberhasilan dalam menentukan platelet mana yang efektif pada pasien refrakter, dan tidak ada satupun penelitian atau metode kombinasi yang diterima secara universal yang dapat memprediksi respon transfusi. Mekanisme yang dapat menjelaskan pemulihan suboptimal pasca transfusi diantara pasien yang menerima transfusi platelet ABO kompatibel, dan HLA sesuai termasuk spesifisitas HLA yang tidak dikenali, yaitu adanya sirkulasi kompleks imun, dan antibodi terhadap antigen platelet. Penggunaan pengganti plasma, atau terapi immunoglobulin intravena sebelum transfusi platelet pada pasien yang kondisinya masih refrakter terhadap platelet ABO kompatibel HLA-sesuai memiliki berbagai macam keuntungan.

Kompatibilitas ABO pada Transfusi Platelet Penentu dari golongan darah ABO, tampaknya diabsorbsi dari plasma, muncul pada platelet dengan struktur yang sama dengan eritrosit. Antigen utama dari sistem Rh, Duffy, Kidd, Kell, dan Lutheran, sebaliknya tidak mengekspresikan ke permukaan platelet manusia. Studi klinis menunjukkan bahwa transfusi platelet dapat menginduksi pembentukan isohemaglutinin karena adanya eritrosit. Penemuan ini mengindikasikan bahwa kompatibilitas ABO antara donor dan penerima adalah hal penting. Meskipun hasil dari studi in vitro menunjukkan bahwa eksposure platelet grup A dan AB ke alloantibodi anti-A, anti-AB dan komplemen yang sesuai tidak menyebabkan kerusakan ultrastruktur dari platelet atau menginduksi agregasi platelet. Penemuan ini mengindikasikan bahwa ketidaksesuaian ABO antara donor dan penerima buanlah kontraindiksi absolut dalam transfusi platelet. Kompatibilitas ABO antara donor dan penerima telah diperiksa secara langsung pada beberapa penelitian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan perbaikan dan kemampuan hidup dari ABO yang nonkompatibel relatif terhadap ABO platelet yang kompatibel. Studi lain menunjukkan bahwa kemampuan hidup platelet biasanya hanya sedikit terpengaruh oleh antibodi ABO dan tidak semuanya terpengaruh oleh antibodi Rho (D) pada penerima. Pada tahun 1984 percobaan acak menggunakan ABO platelet yang kompatibel dibandingkan ABO inkompatibel, peningkatan perbaikan pasca transfusi pertama ekuivalen, namun perbaikan yang lebih tinggi terjadi setelah serangkaian transfusi platelet ABO kompatibel. Akhirnya studi telah menunjukkan bahwa platelet ABO yang tidak sesuai tidak imunogenik pada pada pasien tertentu dengan kanker. Pencocokan ABO donor dan penerima bukan hal penting pada sebagian besar transfusi platelet. Kenyataannya bahwa transfusi yang bukan grup spesifik cukup aman dan secara klinis efektif memperluas ketersediaan transfusi platelet. Meskipun pada situasi klinis tertentu kompatibilitas donor dan penerima merupakan hal penting. Sebagai contoh, jika HLA cocok namun ABO tidak cocok maka hasilnya perbaikan pasca transfusi tidak memuaskan. Heal dkk membuat ketentuan bahwa plasma terlarut HLA-A dan HLA-B dan antigen ABO dapat berperan dalam terjadinya kerusakan donor dan terkadang platelet penerima oleh kompleks imun. Sangat sedikit reaksi hemolitik yang disebabkan oleh titer isohemaglutinin yang sangat tinggi di plasma dari konsentrat platelet secara langsung pada eritrosit penerima. Keputuan ini jarang dalam menyediakan hanya platelet dengan HBO yang cocok.

Antigen Pletelet Spesifik Berbagai macam sistem alloantigen dari platelet, termasuk P1A (ZW), P1E, Ko, Bak, (Lek) dan Pen 215, telah dijelaskan. Antibodi yang bereaksi dengan antigen tersebut dapat menyebabkan kerusakan platelet yang dimediasi oleh imun, dengan ada atau tidaknya antibodi anti-HLA. Sensitisasi terhadap antigen tersebut jarang menyebabkan trombositopenia refrakter pada pasien kanker. Salah satu gejala sisa reaksi antara antibodi dan alloantigen platelet adalah purpura, yang disebabkan oleh antibodi terhadap antigen PLA1. Pada purpura pasca transfusi, trombositopenia berat terjadi kira-kira 1 minggu setelah transfusi, umumnya pada wanita yang diimunisasi di awal kehamilan, atau yang lebih jarang pada riwayat transfusi sebelumnya. Hampir semua pasien meiliki PLAA1 negatif dan antibodi anti -PLA1 di plasma ketika terjadi trombositopenia. Transfusi pengganti sementara, plasmapharesis, dan immunoglobulin intravena dosis tinggi telah digunakan untuk meningkatkan penyembuhan dari purpura pasca transfusi. Petimbangan imunohematologi dan ImunosupresiTransfusi dapat memiliki efek imunosupresi pada resipien. Peda percobaan dengan model hewan, peneliti menemukan bahwa terjadi supresi imun dan percepatan pertumbuhan tumor pada tikus yang menerima transfusi alogenik. Pada manusia, pasien yang menerima transfusi berulang mengalami penurunan jumlah sel NK dan meningkatnya umlah sel T Ia+ yang beredar. Rasio T4/T8 juga berkurang. Penurunan jumlah sel NK juga berkaitan langsung dengan jumlah unit sel darah merah ang diterima dan hanya terjadi pada pasien yang menerima transfusi pada tahun sebelumnya. Peneliti telah mendemonstrasikan peningkatan ketahana tranplantasi ginjal pada pasien yang menerima darah dari donor yang memiliki paling tidak satu antigen HLD-DR yang sama. Peningkatan tingkat rekurensi kanker dan peningkatan insiden infeksi setelah operasi juga telah diobservasi setelah pemberian transfusi. Secaara lebih spesifik, pasien yang tidak menerima transfusi keadaannya jauh lebih baik pada 11 dari 14 penelitian retrospektif pada kanker kolon dengan stadium dan lokasi yang bervariasi. Ketika analisis multivarian dilakukan, transfusi merupakan pediktor independen yang tidak diingankan pada terjadinya rekurensi dini atau kanker yag berhubungan dengan kematian pada 7 dari 12 studi.Pasien yang mendapat transfusi selama operasi kanker kolorektal didapati memiliki tingkat yang lebih tingi untuk terjadinya infeksi setelah operasi daripada yang tidak mendapat transfusi.bukti bahwa transfusi mempengaruhi hasil dari kanker payudara dan kanker prostat adalah lemah, tetapi data pada kanker ginjal dan kanker parumenunjukkan penaruh transfusi yang merugikan. Sebagai contoh, pada suatu studi, tingkat kemampuan bertahan hidup selama 5 tahun tanpa rekurensi diantara pasien dengan kanker paru sel non-oat yang mendapat tranfusi adalah sebesar 62% , sedangkan pasien yang tidak mendapat transfusi sebesar 76%. Bagaimanapun juga masih belum dipastikan bahwa factor selain transfusi seperti karkteristik biologi kanker dan derajat penyakit atau imunosupresi pasien tidak diperhitungkan dalam efek yang diobservasi. Oleh karena imunosupresi adalah efek samping yng mungkin terjadi pada transfusi, maka diperlukan penekanan lebih lanjut mengenai pentingnya indikasi medis dan operasi untuk setiap transfusi. Meskipu mekanisme imunosupresi terkait transfusi pada manusia tidak diketahui, penderita kanker yang menerima lebih sedikit sel darah merah memiliki lebih sedikit angka terjadinya rekurensi dan tingkat bertahan hidup yang lebih baik daripada yang hanya menerima darah lengkap atau sel darah merah dalam jumlah besar. Penemuan ini mengindikasikan bahwa sebuah factor dalam darah lengkap (misalnya plasma) mungkin berpengaruh. Penelitian lain diperlukan untuk memastikan hubungan antara transfusi, imunosupresi pada pasien, dan rekurensi kanker. Penting untuk menekankan bahwa pasien dengan kanker dan kegagalan sumsuj tulang mungkin menjadi imunokompremise karena penyakit noeplasma, pengobatan, atau keduanya. Sehingga efek transfusi adalah hal yang penting pada populasi pasien tersebut.

Penyakit Graft versus Host (Graft versus Host Disease - GVHD) terkait TransfusiGVHD sering ditemukan setelah transplantasi sumsum tulang (Bone Marrow Transfusion BMT) alogenik namun jarang ditemukan setelah transfusi atau transplantasi organ lain. GVHD terkait transfusi biasaya terjdi pada resipien imunosupresif, tetapi uga diketahui terjaditerjadi pada pasien hampir imunokompeten. Manifestasi klinisnya ermasuk demam, ruam, anoreksia, mual, muntah, dan diare cair atau berdarah, dengan ataua tampa peningkatan level enzim hepar dan hiperbilirubinemia. Karena tidak ada ciri khusus dari GVHD, hal ini terkadang menyebabkan sulitnya untuk membedakan sindrom ini dengan infeksi virus atau erupsi obat. GVHD terkait transfusi biasanya parah dan tidak seperti efek lanjutan dari BMTalogenik, sering berakibat pada pansitopenia sekunder dan aplasia sumsum tulang. Kasus GVHD terkait transfusi sering dilaporkan tidak berespon terhadap terapi imunosupresif dan sering menjadi fatal. GVHD terjadi setelah transfusi pada komponen darah tidak teradiasi pada sekitar 400 pasien: pasien dengan imunodefisiensi kombinasi yang berat, hipoplasia timus, dan sindrom Wiskott Aldrich; bayi prematur dan dengan eriroblastosis fetalis; pasien dengan keganasan hematologi, termasuk limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, leukemia mieloid akut dan leukemia limfoid akut, leukemia limfoid kronik, dan anemia apalstik; pasien dengan karsinoma atau sarcoma, termasuk neorublastoma, glioblastoma, rabdomisarkoma, kanker serviks, kanker paru small cell, tumor sel induk, pasien dalam masa penyembuhan dari operasi jantung dan koleistektomi; dan wanita usia 22 tahun yang terlihat sehat. Sindrom ini berkembang setelah pertukaran dan transfusi intrauterine dan setelah transfusi darah lengkap, plasma, sel darah merah, dan platelet. Leukosit yang dipanen dari donor sehat dan dari donor dengan leukemia mielositik kronik telah ditransfusi kepada pasien dengan keganasan hematologi dan dihubungkan dengan GVHD terkait transfusi. Pada tahun 1986, konferensi perkembangan kosensus Departemen Kesehatan Nasional menyatakan pasien yang telah menerima BMT atau bentuk lain dari imunodefisiensi sebagai kandidat transfusi kosentrat platelet tidak teradiasi untuk menghindari GVHD. Pasien dengan leukemia atau kanker lain yang mungkin terimunosupresi karena kemoterapi atau radioterapi atau karena disfungsi imun intrinsic (missal: penyakit Hodgkin) mungkin beresiko terhadap GVHD terkait transfusi. Sebelumnya dianggap bahwa diantara pasien dengan penyaki Hodgkin, kombinasi antara radiasi dan kemoterapi adalah penting sebagai faktor predisposisi pada perkembangan GVHD terkait transfusi, tetapi beberapa kasus GVHD terkait transfusi telah didokumentasikan pada pasien dengan penyakit Hodgkin yang hanya ditangani dengan kemoterapi. Pasien yang menerima kemoterapi dosis tinggi diikuti dengan BMT autologus juga beresiko terhadap GVHD terkait transfusi. Pasien imunokompeten yang memiliki haploptype HLA dengan homozigot HLA darah donor juga beresiko terhadap GVHD terkait transfusi. Homozigositas tipe HLA lebih sering terjadipada anggota keluarga keturunan pertama ( orang tua, anak, dan saudara). Oleh karena itu, direkomandasikan untuk meradiasi komponen darah seluler dari donor tersebut dengan 2500 cGy sebelum transfusi.

Strategi untuk Mencegah GVHD Terkait TransfusiSatu-satunya metode efektif terbaru untuk mencegah GVHD terkait transfusi adalah iradiasi terhadap produk darah sebelum transfusi. Radiasi ion 500 centigray dapat menurunkan respon limfosit terhadap sel alogenik pada kultur limfosit dan 1500 cGy dapat menurunkan 90% respon trhadap stimulasi krean terinduksi mitogen. Button dan kolega memeriksa fungsi komponen darah setelah dosis iradiasi 500 sampai 2000 cGy dan menemukan bahwa dosis sebesar 5000 cGy menurunkan stimulasi mitogen sebesar 98,5 % tapi tidak menurunkan fungsi sel selain limfosit. Bagaimanapun juga, pada penelitian tersebut dosis 5000 cGy menurunkan sepertiga platelet setelah transfusi. Hasil dari sebagian besar penelitian adalah iradiasai 1500 sampai 2000 cGy dapat menurunkan limfosit yang responsif terhadap mitogen hingga 5 sampai 6 log dibandingkan kontrol yang tidak diradiasi. Dosis 1500 sampai 3500 cGy sedang digunakan pada sebagian besar bank darah di Amerika. Bagaimanapun juga, penelitian yang menemukan bahwa pesentase kecil limfost bertahan terhadap radiasi pada dosis tersebut, dipasangkan dengan satu kasus seperti GVHD terkait transfusi pada resipien BMT yang hanya menerima komponen darah diradiasi dengan 2000 cGy, mengindikasikan bahwa peraturan iradiasi pruduk darah perlu dikaji kembali. Rekomendasi terkini adalah meradiasi dengan 2000 cGy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada efek samping iradiasi pada platelet yang disimpan, tetapi signifikansi klinik pada pelepasan potassium simpanan pada sel darah merah belum didefinisikan. Metode alternatif potensial untuk mencegah GVHD terkait transfusi adalah mendeplesi limfosit dari produk darah sebelum transfusi. Telah ditemukan bahwa insiden dan keparahan GVHD setelah BMT alogenik dapat diturunkan jika, sebelum transplantasi, sel T dieliminasi dari sumsum tulang donor dengan berbagai tekhnik. Pada beberapa tekhnik 2 atau 3 log leukosit terdeplesi dari sel darah merah dan platelet sebanya 106 sampai 108 limfosit. Bagaimanapun juga, karena jumlah sel T tertentu yang dibutuhkan untuk memediasi GVHD terkait transfusi tetap tidak terdefinisi, tidak diketahui apakah deplesi leukosit dengan teknik-teknik ini menurunkan resiko GVHD terkait transfusi. Model anjing telah digunakan untuk mendemonstrasikan bahwa UV dibandingkan dengan iradiasi terhadap leukosit transfusi dapat menurunkan GVHD pada resipien hewan. Pada studi preeliminasi dengan subjek manusia iradiasi UV pada komponen darah telah digunakan untuk meminimalkan aloimunisasi.

Penyakit Infeksi Terkait Transfusi

Hepatitis B Meskipun Hepatitis B sebelumnya adalah infeksi terkait transfusi, penggunaan beberapa generasi evaluasi antigen permukaan hepatitis B untuk menyeleksi donor dan pengguna donor sukarela dan donor komersial telah dengan bermakna menurunkan insiden Hepatitis B yang ditransmisikan lewat transfusi. Sejak inisiasi penggunaan antibodi untuk antigen inti Hepatitis B (anti HbcAg) sebagai tes pengganti untuk menyeleksi donor potensial yang dapat mentrasmisikan virus Hepatitis C (HCV), insiden terjadinya Hepatitis B terkait transfusi menurun lebih jauh.

Hepatitis CVirus Hepatitis C (dahulu disebut Hepatitis non A, non B) adalah penyebab paling umum dari hepatitis terkait transfusi, namun hanya 5% sampai 10 % pasien dengan Hepatitis C memiliki riwayat transfusi, dan kurang dari 5% laporan tentang paparan kerja terhadap darah. Tes donor pada setiap donasi dahulu dilakukn untuk mendeteksi dan mengevaluasi level alanin aminotransferase (ALT) dan juga anti HBcAg, keduanya adalah penanda pengganti dari 20% kemungkinan ransmisi Hepatitis C. keuntungan dari penyaringan tersebut adalah kemungkinan menurunkan jumlah kasus Hepatitis C terkait transfusi sampai sepetiganya. Kerugiannya adalah bahwa 70% sampai 80% donor dengan anti HBcAg atau peningkatan ALT tidak mentransmisikan HCV. Selein itu, i% sampai 3% dan 4% sampai 8% ditangguhkan karena peningkatan ALT dan anti HBcAg. Togavirus RNA rantai tunggal telah ditemukan muncul pada sebagian besar kasus Hepatitis C. Infeksi HCV mungkin menyumbang 80% kasus Hepatit