Teori Hubungan Internasional Feminisme

6
Teori Hubungan Internasional: Feminisme 25 May 2012 - dalam Teori Hubungan Internasional Oleh vinandhika-p-- fisip10 Jurnal kali ini akan membahas tentang perspektif feminisme dalam dunia hubungan internasional sebagai salah satu golongan reflektivisme. Hingga tahun 1980-an, Studi Hubungan Internasional tidak memberi tempat bagi para teoritisi feminisme untuk terlibat dalam teori dan praktek hubungan internasional. Hal ini terjadi karena fokus perhatian hubungan internasional yang notabene terletak pada masalah-masalah perang dan konflik, hubungan di antara negara- negara superpower, negara-negara berdaulat, dan perilaku antarnegara, tidaklah memerlukan teori-teori gender. Begitu juga kajian mengenai diplomasi, hukum internasional, dan perdagangan dunia masih buta gender, sehingga proses dan struktur hubungan internasional bisa dipahami tanpa perlu merujuk pada gender. Ide dasar feminisme ini adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Semua manusia, laki-laki dan perempuan, dikaruniai kemampuan, rasionalitas yang memiliki dua aspek yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan prudentialitas (pemenuh kebutuhan sendiri), sehingga manusia memiliki kemampuan untuk bertindak dan berfikir rasional (Steans, 1998: 16). Wollstonecraft berpendapat bahwa untuk memperoleh kesetaraan (sexual) dan keadilan, perempuan tidak hanya perlu diberi hak yang sama dengan pria, tetapi juga perlu akses yang sama pada pendidikan dan peluang peluang ekonomis. Pada prinsipnya manusia, laki-laki dan wanita, diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan musti memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya. Menurut J Ann Tickner, ada tiga kesalahpahaman yang umum dijumpai dalam Studi Hubungan Internasional. Pertama, mengenai makna gender. Ada persepsi yang salah bahwa kaum feminist hanya tertarik untuk mempermalukan laki-laki. Kedua, realitas dan ontologi yang berbeda yang diamati feminist dan bukan feminist dalam menulis politik internasional. Faktanya adalah banyak kaum feminist hanya dapat menentang cara di mana arus pria dalam hubungan internasional dikonseptualisasikan. Ketiga, bagian epistemologi yang

Transcript of Teori Hubungan Internasional Feminisme

Page 1: Teori Hubungan Internasional Feminisme

Teori Hubungan Internasional: Feminisme

25 May 2012 - dalam Teori Hubungan Internasional Oleh vinandhika-p--fisip10

Jurnal kali ini akan membahas tentang perspektif feminisme dalam dunia hubungan internasional sebagai salah satu golongan reflektivisme. Hingga tahun 1980-an, Studi Hubungan Internasional tidak memberi tempat bagi para teoritisi feminisme untuk terlibat dalam teori dan praktek hubungan internasional. Hal ini terjadi karena fokus perhatian hubungan internasional yang notabene terletak pada masalah-masalah perang dan konflik, hubungan di antara negara-negara superpower, negara-negara berdaulat, dan perilaku antarnegara, tidaklah memerlukan teori-teori gender. Begitu juga kajian mengenai diplomasi, hukum internasional, dan perdagangan dunia masih buta gender, sehingga proses dan struktur hubungan internasional bisa dipahami tanpa perlu merujuk pada gender.

Ide dasar feminisme ini adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Semua manusia, laki-laki dan perempuan, dikaruniai kemampuan, rasionalitas yang memiliki dua aspek yaitu moralitas (pembuat keputusan yang otonom) dan prudentialitas (pemenuh kebutuhan sendiri), sehingga manusia memiliki kemampuan untuk bertindak dan berfikir rasional (Steans, 1998: 16). Wollstonecraft berpendapat bahwa untuk memperoleh kesetaraan (sexual) dan keadilan, perempuan tidak hanya perlu diberi hak yang sama dengan pria, tetapi juga perlu akses yang sama pada pendidikan dan peluang peluang ekonomis. Pada prinsipnya manusia, laki-laki dan wanita, diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan musti memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan dirinya.

Menurut J Ann Tickner, ada tiga kesalahpahaman yang umum dijumpai dalam Studi Hubungan Internasional. Pertama, mengenai makna gender. Ada persepsi yang salah bahwa kaum feminist hanya tertarik untuk mempermalukan laki-laki. Kedua, realitas dan ontologi yang berbeda yang diamati feminist dan bukan feminist dalam menulis politik internasional. Faktanya adalah banyak kaum feminist hanya dapat menentang cara di mana arus pria dalam hubungan internasional dikonseptualisasikan. Ketiga, bagian epistemologi yang menggarisbawahi permasalahan apakah para feminist hanya bisa semata-mata berteori. Sumbangan Tickner adalah dia berhasil dalam memulai perbincangan diantara dua tradisi, feminisme dan Ilmu Hubungan Internasional, bidang kajian yang pada mulanya dianggap terpisah (Mc Namara, 1993: 547).

Pada dasarnya, terdapat perbedaan yang kemudian tidak bisa disalahartikan antara jenis kelamin (sex) dengan gender. Jenis kelamin secara harfiah lebih mengarah pada takdir, ketentuan alamiah, kodrat yang given sejak manusia tersebut lahir (human nature). Sedangkan terminologi gender, menurut kaum feminis, dapat didefinisikan sebagai sekumpulan karakteristik secara sosial yang dibangun untuk mendeskripsikan seperti apa laki-laki dan perempuan seharusnya. Karakteristik seperti kekuatan, rasionalitas, kemandirian, pelindung, dan bersifat publik selalu diidentikkan dengan maskulinitas, sedangkan karakteristik seperti kelemahan, emosionalitas, relasional, dilindungi, bersifat privat akan selalu dihubungkan dengan feminitas. Hal ini menjadi penting untuk

Page 2: Teori Hubungan Internasional Feminisme

dicatat bahwa individu laki-laki dan perempuan mungkin tidak mewujudkan semua karakteristik tersebut, sehingga hal ini memungkinkan bagi perempuan untuk menampilkan sisi maskulin dan begitu pula sebaliknya (Tickner, dalam Steans dan Pettiford, 2005).

Gender sebenarnya masih berada pada ranah sosial di mana gender merupakan sebuah pemikiran sosial yang dikonstruksikan untuk menciptakan sebuah asumsi, kesan, atau anggapan terhadap suatu kaum dan hal inilah yang kemudian coba untuk diangkat oleh para feminis. Tetapi meski feminisme memiliki suatu pemahaman atau perspektif tersendiri, teori-teorinya tetap berusaha mengkonstruksikan pemikiran-pemikiran baru untuk mengkritisi teori yang telah ada sebelumnya sehingga muncullah berbagai macam teori feminisme seperti feminisme liberal, feminisme marxist, dan feminisme radikal.

Feminisme liberal berpendapat bahwa wanita bisa meningkatkan posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi antara inisiatif individual dan pencapaian (semacam pendidikan tinggi), diskusi yang rasional dengan kaum pria, yang bisa diyakinkan untuk memodifikasi peran gender mereka (Agger, 1998: 106). Sementara itu, feminisme marxist bisa dianggap sebagai kritik terhadap feminisme liberal. Menurut feminisme ini, penindasan pada wanita bukanlah hasil dari bias, pengingkaran ataupun tindakan perorangan yang disengaja, tetapi adalah hasil dari struktur politik, sosial, dan ekonomi yang berkaitan dengan sistem kapitalis (Steans, 1998: 18). Menurut Frederick Engel dalam bukunya, The Origins of the Family, Private Property and the State (1884), penindasan terhadap perempuan bermula dari pengenalan atas milik pribadi. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi ini dikuasai oleh segelintir orang, kesemuanya laki-laki, dan ini mengukuhkan sistem kelas. Sistem kelas inilah yang menyebabkan ketidaksetaraan status perempuan.

Pembagian kerja secara seksual juga dianggap sebagai akar penyebab ketidaksetaraan perempuan. Akan tetapi, masalahnya adalah kaum wanita sendiri memiliki peran dalam membuat mereka tertindas, dengan secara tidak sengaja, memberikan sistem dukungan bagi kapitalisme. Para wanita juga berperan sebagai tentara cadangan tenaga kerja yang bisa dengan mudah dieksploitasi pada waktu terjadi kelangkaan tenaga kerja atau digunakan untuk membuat tenaga kerja pria dibayar rendah (Steans, 1998: 19). Kapitalisme menyebabkan pembagian wilayah rumah tangga dan tempat kerja, publik dan privat, sehingga laki-laki lebih dihargai karena bekerja di luar rumah dan menghasilkan uang.

Feminisme radikal mulai berkembang pada akhir tahun 1960-an atau awal tahun1970-an. Para pendukungnya berpendapat bahwa perbedaan gender yang dianggap sebagai alamiah, takdir ataupun kodrat, membentuk setiap aspek dalam kehidupan kita, termasuk masalah krusial seksualitas dan hubungan-hubungan seksual (Steans, 1998: 20). Dalam beberapa hal, feminisme radikal mengkritik feminisme liberal dan marxist. Terhadap analisa marxian misalnya, Firestone mengemukakan bahwa kelas sosial yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (sex class) adalah konsep sentral untuk menganalisa ketimpangan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan,

Page 3: Teori Hubungan Internasional Feminisme

dan bukan kelas ekonomi-kelas sosial yang berdasarkan pada pemikiran alat produksi. Perbedaan kelas sosial yang sebenarnya adalah perbedaan fungsi biologis antara perempuan dan laki-laki (Ihromi, 1995: 94). Feminisme radikal menaruh perhatian besar pada masalah reproduksi dan seksualitas perempuan.

Seperti telah dikemukakan, Studi Hubungan Internasional relatif kebal terhadap intrusi gender. Hal ini bisa dipahami karena kajian Ilmu Hubungan Internasional selama ini lebih berfokus pada high politics sedangkan masalah gender digolongkan low politics. Lagipula para sarjana hubungan internasional cenderung memandang masalah gender sebagai masalah intra-nasional dan tidak relevan bagi hubungan internasional. Kecenderungan ini diperparah dengan kenyataan bahwa lembaga-lembaga high politics seperti departemen pertahanan dan luar negeri, didominasi kaum laki-laki.

Selain itu, anggapan yang lazim di kalangan para sarjana adalah bahwa hubungan internasional itu netral terhadap gender, sama saja bagi wanita atau pria. Maka dari itu, proses-proses (hubungan) internasional dianggap tidak mempengaruhi peran dan posisi perempuan dalam masyarakat ataupun posisi relatif pria dan wanita, begitu juga hubungan internasional tidak terpengaruh oleh isu-isu yang menyinggung perempuan. Pada pokoknya, ruang lingkup gender dan hubungan internasional itu terpisah, dan para pendukung hak-hak perempuan di suatu negara tidak melihat keterkaitan antara hubungan internasional dan gender (Light dan Halliday, 1994: 45).

Berdasarkan argumen Light dan Halliday (1994: 46), dekade perempuan (1976-1985) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa Bangsa berperan dalam menginternasionalisasikan masalah-masalah perempuan dan menyebabkan gerakan perempuan menjadi kelompok penekan trans-nasional. Pada saat yang sama, para pendukung feminisme mulai menyadari bahwa hubungan internasional berpengaruh pada gender, memiliki dampak yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan. Tugas para feminist dalam penelitian mengenai gender dan hubungan internasional adalah mengungkapkan peran nilai-nilai dan isu gender dan menganalisa akibat akibat, khusus gender, dari proses proses (hubungan) internasional.

Menurut saya, rasa emansipatorik yang dijunjung oleh feminisme memberikan pembaharuan bagi proses-proses hubungan internasional yang berlaku saat ini dengan memunculkan perempuan sebagai salah satu aktor yang memiliki peran dan pengaruh yang sudah seharusnya diperhitungkan. Walaupun realita saat ini menunjukkan bahwa terkadang pendobrakan tradisi-tradisi yang telah pakem oleh kaum perempuan tersebut, pada akhirnya kembali harus terbentur pada kodrat mereka sebagai seorang perempuan sejati.

Page 4: Teori Hubungan Internasional Feminisme

Referensi:

Agger, Ben. 1998. Critical Social Theories: An Introduction, Boulder, Colorado: Westview Press.

Ihromi, TO, ed. 1995. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Light, Margot dan Halliday, Fred. 1994. “Gender and International Relations” dalam AJR Groom dan Margot Light, eds, Contemporary International Relations: A Guide to Theory, London: Pinter.

McNamara, Kathleen R. 1993. “Whose Security? Feminism and International Relations” (Book Reviews), dalam Journal of International Affairs, Volume 46/ Number 2, Winter.

Steans, Jill. 1998. Gender and International Relations. Cambridge: Polity Press.

Steans, Jill dan Pettiford, Lloyd. 2005. Introduction to International Relations: Perspectives and Themes. New Jersey: Pearson Prentice Hall.