Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

19
Meluruskan PEMIKIRAN TASAWUF (Upaya Mengembalikan Tasawuf berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunnah) Penulis Dr.H.Harapandi Dahri, MA Pengantar Prof.Dr.Moh.Ardhani, MA Prolog: Prof.Dr.H.Said Agil Siroj, MA i

description

Buku ini membahas tentang Pemikiran Teologi Sufistik yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Transcript of Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

Page 1: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

MeluruskanPEMIKIRAN TASAWUF

(Upaya Mengembalikan Tasawuf berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunnah)

Penulis

Dr.H.Harapandi Dahri, MA

PengantarProf.Dr.Moh.Ardhani, MA

Prolog:Prof.Dr.H.Said Agil Siroj, MA

i

Page 2: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi Kata PengantarMuqaddimah Prolog

BAGIAN PERTAMAAsal Mula Makna, pertumbuhan, dan perkembangan tasawwuf Asal Mula Makna al-Tasawwuf - Makna Tasawwuf (Etimologi dan Terminologi) Historis pertumbuhan tasawwuf Marhalah perkembangan tasawwuf

BAGIAN KEDUALandasan Al-Tasawwuf dalam Islam Landasan Qur’ani Landasan Al-Sunnah Landasan Qawl dan aktivitas para Sahabat Nabi Landasan Qawl dan aktivitas para Tabi’in Landasan Qawl dan aktivitas para Tabiut tabi’in

BAGIAN KETIGAKlasifikasi dan Hubungan Tasawwuf dengan disiplin ilmu lainnya Tasawwuf Falsafi Tasawwuf Akhlaqi Hubungan Tasawwuf dengan Ilmu Kalam Hubungan Tasawwuf dengan Filsafat Hubungan Tasawwuf dengan Akhlak

BAGIAN KEEMPAT

ii

Page 3: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

Ajaran-ajaran Sufistik Ajaran-ajaran Sufistik tentang Aqidah

1. Aqidah sufistik tentang Ke-Esa-an Tuhan2. Aqidah sufistik tentang Al-Nubuwah3. Aqidah sufistik tentang Surga dan Neraka

Ajaran-ajaran Sufistik tentang Al-Walayah Ajaran-ajaran Sufistik Al-Karamah Kisah-kisah Keramat Sufi Ajaran-ajaran Sufistik Al-Nazhar Ajaran-ajaran Sufistik Waktu dan Tempat

BAGIAN KELIMAAl-Maqamat wa Al-Ahwal Al-Maqamat/Station

1. Maqam Al-Tawbah2. Maqam Al-Zuhd3. Maqam Al-Wara’4. Maqam Al-Shabr5. Maqam Al-Tawakkal

Al-Ahwal1. Hal Al-Khawf {Perasaan takut}2. Hal Al-Raja’ (Pengharapan)3. Hal Al-Tawadhu’ {rendah hati}4. Hal Al-Uns { rasa berteman}5. Hal Al-Syukr { Rasa Syukur}6. Hal Al-Tsawq {Rasa Rindu}

BAGIAN KEENAAMAl-Musthalahat Al-Shufiyy

1. Maqam2. Haal3. Qabth dan Basth4. Jam’ dan farq5. Al-Ghauts6. Al-Awtad7. Al-Abdal8. Al-Nujaba’9. Al-Nuqaba’

iii

Page 4: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

10. Al-Haibah dan al-Uns11. Tawajud, Wujd, Wujud12. Al-fana’ dan al-Baqa’13. Al-Haibah dan al-Hudur14. Al-Sahw dan al-Sukr15. Al-Dzauq dan Al-Syurb16. Al-Mahw dan al-Itsbat17. Al-Qurb dan al-Bu’d18. Al-Sitr dan al-Tajalli19. Muhadarah, Mukasyafah,Musyahadah20. Al-Muhadatsah21. Al-Musamamar22. Lawaih,lawami’ dan Tawalli23. Al-Talwin dan al-Tamkin24. Al-Raghbah dan al-Ruhbah25. Al-Ghurbah26. Al-Murid

BAGIAN KETUJUHAL-THARIQAT AL-ISLAMIYAHA. Pengertian dan pertumbuhan serta perkembangan Tarekat

di Dunia IslamB. Aliran-aliran Tarekat Dalam Dunia Islam

1.Tarekat Qâdiriah 2.Tarekat Rifâiyyah 3.Tarekat Syâdzilîyyah 4.Tarekat Maulâwiyah 5.Tarekat Nahsyabandiyyah 6.Tarekat Bektasiyyah 7.Tarekat Ni’mâtullah 8.Tarekat Tijâniyyah 9.Tarekat Jarrâhiyyah 10.Tarekat Chistîyyah 11.Tarekat Kubrâwiyyah 12.Tarekat Ma’rûfiyyah 13.Tarekat Khalwâtiyyah 14.Tarekat Kâzirûniyyah 15.Tarekat Junaidiyyah 16.Tarekat Suhrawardiyyah

iv

Page 5: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

17.Tarekat Qalandâriyyah 18.Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan 19.Tarekat Wahîdiyyah

v

Page 6: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

Muqaddimah

Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Sebab, di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang keharusan manusia menyikapi hidup dan kehidupannya untuk menuju kehidupan yang lebih bermakna. Ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits yang di dalamnya mengatur segala tata kehidupan manusia, dinilai cukup ideal dan agung. Misalnya, Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis, progresif, selalu menggunakan akal dan pikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang (tawâzun) dalam memenuhi kebutuhan material dan spriritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu (QS. Al-‘Asr: 1-4) bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas bukan kuantitas (QS. Al-Mulk: 2), egaliter, kemitraan, anti feodalistik dan nilai-nilai universal lainnya. Sebaliknya, Islam menentang sikap apatis, statis, tidak peduli terhadap lingkungan, otoriter, eksklusif, individualistik dan semacamnya.1

Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman,2 menjelaskan bahwa secara eksplisit dasar al-Qur’an adalah nilai-nilai moral yang

1Safrudin Bahar, The Religions of Man, (New York: Hargestown San Fransisco, 1985), h. 29.

2Lahir pada tanggal 21 September 1919, di Hazara. Ia wafat pada tanggal 26 Juli 1988, di Chicago, Illinois. Ayah Rahman bernama Maulana Shihabuddin, seorang alumni Dar al ‘Ulum Deoband. Rahman memperoleh gelar master di Punjab University di Lahore. Program doktoral dilanjutkan ke Oxford tahun 1946. Selanjutnya baca, Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, Edisi Indonesia (terj) Aam Fahmi, Gelombang Perubahan Dalam Islam; Studi Fundamentalis Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), cet ke-1, hlm.1—6.

vi

Page 7: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

memancarkan titik pada monoteisme dan keadilan sosial. Rahman, mencontohkan bahwa ajaran tentang ibadah selalu sarat dengan muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang diwujudkan dengan akhlak yang mulia demikian erat.

Sebagaimana Rahman, dalam studinya tentang al-Qur’an Jalaluddin Rahmat, menyimpulkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat empat tema utama yaitu;

Pertama, dalam al-Quran dan kitab-kitab hadits, proporsi terbesar ditujukan pada urusan sosial.

Kedua, dalam kenyataannya, bila urusan ibadah bersama-an waktunya dengan urusan sosial (muamalah), maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, tetapi bukan ditinggal-kan.

Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasya-rakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perseorangan (individual), dan

Keempat, bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka tebusan (kafarat) nya harus melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.3

Gambaran tentang ajaran Islam yang demikian ideal itu pernah dibuktikan dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan oleh seluruh umat manusia di pelosok dunia4. Namun, fragmentasi kehidupan masyarakat muslim kini semakin

3Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 48-51.

4Sejarah Islam dibagi ke dalam tiga periode, yaitu; periode klasik (650—1250), periode pertengahan (1250—1800), dan periode modern (1800 –sekarang). Yang disebut periode klasik pernah membuktikan dengan jelas misi kemanusiaan dari ajaran-ajaran Islam yang mendunia tanpa melihat siapa dan agama seseorang. Islam, kala itu dapat memberikan rahmat bagi penduduk dunia (rahmatan li al-Alamin) di berbagai bidang, termasuk keilmuan, kemasyarakatan dan keadilan. Bidang politik (keamanan) , budaya (peradaban) dan ekonomi serta bidang-bidang lainnya. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 25.

vii

Page 8: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

menunjukkan perubahan dan degradasi nilai. Perubahan tersebut terkait dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi, sehingga implementasi ajaran agama jauh dari cita ideal. Ibadah yang dilaksanakan oleh umat Islam seperti; salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang kesalehan belaka. Sedangkan implikasi dari ibadah yang berdimensi sosial semakin kurang.

Di kalangan masyarakat telah terjadi kesalahpahaman dalam menghayati dan memaknai pesan simbolis keagamaan itu5. Akibat dari kesalahpahaman tersebut, agama lebih dihayati sebagai penyelamat individu yang semestinya sebagai keberkahan sosial secara bersama dan merata. Dalam hal ini, seolah-olah Tuhan tidak hadir dalam problematik sosial,

5Banyak contoh yang bisa dikedepankan tentang masalah kesalah pahaman yang diekspresikan masyarakat masa kini dalam memahami pesan-pesan simbolistis dari ajaran agama. Barkaitan dengan kajian disertasi ini, bahwa pemahaman terhadap makna ke-Wali-an dan bentuk-bentuk keramat bahwa setiap orang yang sudah sampai pada tingkat Wali dengan ukuran atau standar masing-masing akan bersih dari kesalahan (ma’shum/ashamah). Dan dalam arti apapun kesalahan yang dilakukan para Wali dapat ditolerir karena menurut anggapannya (pengikut setia Wali atau Kiyai, dan Tuan Guru;Sasak], bahwa mereka sudah mendapatkan ampunan dari Allah dan semua kesalahannya hanya menurut penglihatan kita sebagai orang yang belum mencapai tingkat ke-Wali-an Sedang mereka yang telah sampai tidak ada ukuran salah maupun lainnya. Dengan keyakinan demikian, bila dilihat dari perspektif ajaran Islam yang sempurna, tergolong sesat dan menyesatkan. Keramat keajaiban serta keanehan yang diperoleh para Wali tidak selalu dalam kondisi tersebut, keramat lebih berupa ahwal yang kadang-kadang terjadi kadang-kadang tidak. Lihat, Sa’id b. Musaffar b. Mufarrah al-Qahtahny, Al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani wa Arauhu al-I’tiqadiyyah wa al-Shufiyyah, (Makkah: Disertasi pada Jami’ah Ummul Qura, Makkah Qism Al-Aqidah, 1997), .hlm. 551—553}.

viii

Page 9: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

kendatipun nama-nama (asma’)-Nya semakin rajin terdengar di mana-mana. Pesan spritualitas agama mengalami stagnasi, terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna, agama tidak muncul dalam satu kesadaran kritis terhadap situasi aktual. Penyebutan asma’ Allah, walaupun itu terhitung ibadah, namun nilai yang terkandung dalam asma’ tersebut tidak pernah berusaha dimunculkan dalam tataran pergaulan dengan hamba-hamba Allah yang lain, ucapan Rahman Rahim-Nya hanya sebatas verbalitas belaka.

Penyelewengan pemahaman terhadap makna-makna simbolis ajaran Islam juga banyak terjadi dalam masyarakat, seperti kesalahan dalam memahami makna pesan kenabian beserta mukjizatnya. Paranormal (dukun) dengan kelebihan-nya, tukang sihir dengan keunggulannya, dan kewalian dengan keramat-keramatnya adalah vareasi keberagamaan dalam masyarakat yang syarat terhadap penyimpangan dalam memahami pesan-pesan suci Allah SWT. terutama yang disebut terakhir ini secara syar’i banyak mengundang kesalah-pahaman dalam memaknai pesan-pesan agama. Namun, kesalahpahaman tersebut jika ditinjau dari sisi budaya dan teologi sufistik segera dapat terselesaikan atau terpecahkan.

Abdullatif b. Muhammad al-Hasan, menjelaskan bahwa kesalahpahaman dalam menginterpretasikan makna wali dan keramatnya telah terjadi sejak ketika para tokoh sufi secara berlebihan menggambarkan tentang kekeramatan para tokoh seperti; Fudlail b. Iyadl6, Ibrahim b. Adham7, Al-Nahsyabandi8,

6Biografi sosial intelektual Abu Ali al-Fuzail bin Iyaz at-Talaqani baca, Al-Qahtahny, Al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hlm. 194.

7Kisah mengenai Ibrahim Ibnu Adham bin Mansur ibnu Yazid ibnu Jabir al-ijli, lihat, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-2, h.35—38}.

8 Nama lengkapnya adalah Bahauddin Muhammad al-Bukhari al-Nahsyabandi, dilahirkan di daerah Hinduan, Bukhara, pada tahun 717/1317. Al-Nahsyabandi, mulai belajar dasar-dasar keilmuan Islam di daerahnya. Kemudian melanjutkan ke luar daerah kepada al-Syaikh Muhammad Baba al-Syammasi, al-Syaikh Amir Sayyid al-

ix

Page 10: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

Khatim al-Asham9, Malik b. Dinar10, Al-Burhanpuri11, dan lain- lainnya. Hal tersebut terlihat jelas dalam berbagai referensi yang dikarang oleh para ulama yang mempunyai kecenderung-an sufistik seperti kitab al-Tabaqat al-Kubra, oleh Imam al-Sya’rani, Jami’ Keramat al-Awlia’ oleh Ibn al-Mulaqqin, dan kitab Karamat al-awliya oleh an-Nabhani.

Di tengah jargon reformasi, demokratisasi, globalisasi, dan semacamnya, klaim keagungan dan kemulyaan terhadap seseorang juga masih pada perkembangan kehidupan masyarakat muslim dewasa ini. Di Indonesia terdapat beberapa tokoh yang dianggap mempunyai keagungan dan kemuliaan. Karena itu, wajar jika para pengikut atau murid-muridnya mengagungkan bahkan sampai ke tingkat pengkultusan

Kulli di daerah Nasaf, Al-Syaikh Arif al-Dikarani. Lihat, Martin Van Bruinessen, Tarekat Nahsyabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996) , Cet. Ke-4.

9Abu Abdur Rahman Hatim bin Unwan al-Ashamm (“Si Tuli”), seorang pribumi Balkh. Adalah murid dari Syaqiq al-Balkhi. Hatim mengunjungi Bagdad dan meninggal dunia di Wasyjard di dekat Tirmiz pada tahun 237/852. Dinamakan al-Ashamm karena ketika kedatangan seorang perempuan untuk bertanya tentang masalah urusan agama, perempuan secara tidak sengaja buang angin, yang bersuara, kemudian Hatim mengatakan;”keraskan suaramu saya tidak dapat mendengar”, maksudnya agar perempuan tersebut tidak merasa malu.

10Malik bin Dinar al-Sami adalah putera seorang budak berbangsa Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri dan ahli hadits. Ia meninggal sekitar tahun 130/748. Di samping terkenal sebagai kaligrafer juga sebagai pengagum berat al-Quran dan ia berpendapat bahwa al-Quran merupakan kenikmatan yang luar biasa bila dapat dibaca dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Hati menurutnya ibarat anggota tubuh, bila ia sakit tidak ada makanan dan minuman apapun yang enak dirasakan, demikian pula halnya hati seorang yang terperangkap cinta duniawi, maka berbagai nasihat apapun yang diarahkan tidak akan berguna dan bermanfaat adanya. {QS. Al-Baqarah:6}. Lihat Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan

x

Page 11: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

sehingga maqbarah-maqbarah mereka ramai dikunjungi untuk diminta berkahnya. Para tokoh didimaksud adalah; Muhammad Yusuf Tajul Khalwati12, Hamzah Fansuri13, Syamsuddin al-Sumatrani14, Abdus Samad al-Palimbani15, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid16, bahkan tokoh yang kini masih aktif di kancah politik nasional seperti Gusdur (panggilan akrab Abdur Rahman Wahid)17.

Selanjutnya, Abdul latif menjelaskan bahwa sebab terjadinya kesalahan dalam memaknai wali dan keramatnya adalah sejak perdebatan teologis di antara sekte-sekte dalam teologi Islam, seperti aliran Mu’tazilah, al-Asy’ariyyah, al-Maturidiyyah dan lainnya. Di samping terdapat ketidakjelasan yang menimbulkan perbedaan menyangkut konsep mu’jizat,

Yang Saleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 73-78.

11 Muhammad bin Fadhlullah Al-BurhanPuri adalah seorang sufi besar yang lahir di Gujarat, India. Beliau terkenal dengan karya tulisnya berjudul Al-tuhfat al-Mursalah Ila Ruh al-Nabiy, al-Haqiqat al-Muwafaqah Li al-Syari’ah. Beliau mengedepankan konsep martabat tujuh yang berupa pengembangan terhadap wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi, dan kemudian oleh Al-Jilli. Kewujudan terjadi, kata Al-Burhan Puri, melalui tingkatan-tingkatan, yang disebutnya sebagai martabat tujuh, yaitu; 1) Maratabat Ahadiyah, 2) Martabat Wahdah, 3) Martabat Wahidiyah, 4) Martabat alam arwah, 5) Martabat alam Mitsal, 6) Martabat Alam Ajsam, dan 7) Martabat alam Manusia. Lihat, Chatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syekh Abdus Shamad Al-Palembani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. Bandingkan dengan, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-2, hlm. 272, 275, dan 278.

12 Syekh Yusuf Azl-Makassari atau dipanggil Yusuf dilahirkan pada tahun 1626 bertepatan dengan 8 Syawal 1036, ibunda Yusuf seorang putri yang dilahirkan dan dibesarkan dalam istana, walaupun demikian Yusuf bukanlah seorang bangsawan, karena kebangsawanan

xi

Page 12: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

karamah, irhas, istidraj, sihir dan ilmu hikmah.18 Dampaknya hingga menembus tradisi keberagamaan masyarakat di Indonesia. Seperti munculnya pengkultusan terhadap beberapa tokoh agama yang sekaligus sebagai tokoh masyarakat dan tokoh nasional. Belum tuntas persoalan makna-makna tentang konsep mukjizat, irhas, sihir dan sebagainya muncul lagi keragaman persepsi masyarakat mengenai kriteria bagi seseorang yang dikategorikan sebagai wali. Indikator tentang kesalahpahaman tersebut terlihat pada sikap penyembahan disertai permohonan sesuatu terhadap makam para wali. Konsep tawassul atau berwasilah dalam berdo’a dan meminta sesuatu kepada Allah, dinilai lebih meyakinkan apabila dilakukan secara langsung kepada seorang wali yang masih

akan diperoleh bila sang ayah dari keturunan raja. Sementara ayahnya orang biasa, namun memiliki keramat dan kelebihan yang dipuji dan diteladani masyarakat. Lebih jauh tentang biografi Syeikh Yusuf lihat Nabilah Lubis, Al-Makassari Al-Syekh Yusuf Al-Taj Al- Makasari; Menyingkap Intisari Segala Rahasia, (Bandung:Mizan, 1997), Cet ke-2, hlm. 15—28. Bandingkan dengan Azra, Jaringan Ulama, hlm. .211-232.

13Hamzah Fansuri adalah tokoh sufi yang beraliran falsafi, kalau tidak dapat dikatakan sama, dengan Ibnu Arabi dalam konsepsi nya tengang Wahadt al-Wujud. Dikatakan oleh Hawas Abdullah bahwa mereka (Hamzah dan murid Syamsuddin al-Sumatrani) mengikuti atau sepaham dengan konsep Al-Hallaj dengan Hululnya, Al-Bustami dengan konsep al-Ittihadnya, Rabiah al-Adawiyah dengan kosep Mahabbahnya. Azra, lebih jauh melihat bahwa Hamzah sebagai tokoh terkenal pada masa kepemimpinan Sultan Ala’ Al-Din Ri’ayat Syah (berkuasa 997-1011/1589-1602). Azra, Jaringan Ulama, hlm. 166-167.

14Syamsuddin al-Sumatrani, salah seorang murid dari Hamzah al-Fansuri. Ia mempunyai kesamaan dengan gurunya dalam menerima pemahaman konsep-konsep Ibnu Arabi, Al-Hallaj, Abu Yazid al_bustami dan lain-lainnya. Hubungannya dengan Hamzah Fansuri, sebagaimana dijelaskan Azra, bukan hanya sebgai murid melainkan juga sebagai seorang sahabat. Seperti halnya

xii

Page 13: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

hidup. Sedang kepada para wali yang telah meninggal dunia dilakukan dengan berziarah dan bermunajat di atas makam-makamnya.19

Tasawuf dan Islam tak dapat dipisahkan. Sama halnya kesadaran batin yang lebih tinggi atau kebangkitan pun tak dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukanlah sebuah fenomena sejarah.Tasawuf adalah jantung Islam, usianya setua masa bangkitnya kesadaran manusia. persoalan yang banyak berkaitan dan bersentuhan dengan dunia batin, ketenangan jiwa dalam bertaqarrub kepada Ilahi juga banyak terdapat perdebatan dan perhelatan sengit bahkan tidak jarang antara satu ilmuan dengan ilmuan lainnya saling bersitegang, orang yang pro terhadap tasawwuf akan membela habis-habisan

Hamzah, Syamsuddin juga sebagai penulis produktif, di antara karyanya adalah, Siyarus Salikin, Jawahirul Haqaiq, dan Tanbiihut Tullab fi ma’rifati Maliki Wahhab. Azra, Jaringan Ulama, hlm.166-167. Bandingkan Quzwain, Mengenal Alah, hlm. 4-5.

15Abdus Shamad al-Palimbani adalah putera Syaikh ‘Abdul Jalil bin Syaikh ‘Abdul Wahab bin Syaikh Ahmad Al-Mahdani --dari Yaman—seorang Arab yang setelah tahun 1112 / 1700 diangkat menjadi mufti negeri Kedah, dengan isterinya Radin Ranti di Palembang. Lihat Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 7—22. Bandingkan Azra, Jaringan Ulama, hlm. 168-9.

16 Assagaf adalah nama kecil dari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Pancor Lombok Timur, beliau dilahirkan di Pancor Lombok Timur Nusa Tenggara Barat dari pasangan Datok Abdul Madjid dan Siti Halimah. Beliau belajar agama dari orang tuanya dan guru-guru yang dipilihkan oleh orang tuanya. Selanjutnya berangkat ke Makkah (madarasah al-Shaulatiah) untuk menggali ilmu-ilmu agama dari berbagai tokoh ulama di Tanah Haram tersebut. Di antara guru yang paling terkenal adalah al-Syaikh Hasan al-Massyat dan al-Syaikh Amin Al-Kutbi. Selesai belajar dari Makkah, beliau disuruh pulang ke tanah kelahirannya Ampenan (Pancor Lombok Timur NTB) untuk memulai dakwahnya dengan membangun madrasah-madrasah sebagai wadah pembelajaran. M. Natsir, Teologi Nahdlatul Wathan, (Jakarta: Tesis

xiii

Page 14: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

dunia tasawwufnya, sebaliknya orang yang kontra terhadapnya akan secara habis-habisan mencari dan menelaah dalil-dalil yang berkaitan dengan penolakan terhadap tasawwuf.

Dalam buku ini, kami berusaha menyajikan suatu tinjauan menyeluruh tentang asal usul makna, pertumbuhan, perkembangan, dan maqâmat wa al-ahwâl serta al-mushtalahât al-shûfiyyah. Semoga dengan hadirnya buku ini dapat memberikan gambaran komprehensif tentang tasawuf dengan berbagai persoalannya.

Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995).

17 KH.Abdurrahaman Wahid (Gusdur) mantan Presiden RI ke-4 adalah lahir dari keturunan Kyai (Hasyim Al-Asy’ari). Bapaknya seorang pendiri organisasi sosial kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia. Dari garis keturunan tersebut, Gusdur oleh para murid dan pengagumnya acapkali dijuluki sebagai keturunan wali.

18 Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, hlm. 73-78.19 Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 7—22. Bandingkan

Azra, Jaringan Ulama, hlm. 178-9.

xiv

Page 15: Teologi Sufistik Abdul Qadir Jailani

xv