TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

32
TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU HUKUM INDONESIA : MEMBACA ULANG FILSAFAT HUKUM GUSTAV RADBRUCH Oleh : Tristam P. Moeliono Dan Tanius Sebastian

Transcript of TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

Page 1: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM

ILMU HUKUM INDONESIA :

MEMBACA ULANG FILSAFAT HUKUM GUSTAV RADBRUCH

Oleh :

Tristam P. Moeliono

Dan

Tanius Sebastian

Page 2: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

1

Tendesi Reduksionis dan Utilitarianis dalam Ilmu Hukum Indonesia:

Membaca Ulang Filsafat Hukum Gustav Radbruch

Oleh: Tristam P. Moeliono dan Tanius Sebastian1

Universitas Katolik Parahyangan

1. Pengantar

Pada berbagai kesempatan diskusi ilmiah dan pustaka filsafat hukum Indonesia,

seringkali, nama Radbruch dirujuk dan dikait-kaitkan terutama dengan topik “keadilan,

kemanfaatan, dan kepastian”. Namun rujukan dan pengkaitan itu kerap tidak terlalu jelas

apakah memang dikutip dari pemikiran filsafat hukum Radbruch. Kita bisa menemukan dua

contoh dalam dunia hukum Indonesia yang memperlihatkan gejala kegemaran pengutipan

dan ketidaktepatan pemahaman sebuah teori, termasuk teori Radbruch tentang tujuan hukum.

Contoh yang pertama ada di sebuah perempatan jalan utama di Bandung. Di salah

satu sudut perempatan yang dekat dengan lampu tanda lalu lintas di kota itu sebuah papan

reklame dengan ukuran lumayan besar berdiri. Di papan itu tertulis sebuah kalimat: “Tiga

nilai dasar hukum: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.” Kalimat ini tidak begitu

jelas lantaran tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai apa maksud penyampaiannya

sehingga terkesan sebagai iklan layanan masyarakat belaka. Apakah kalimat tersebut

bersumber atau terkait dengan karya-karya Radbruch? Apa yang menarik adalah

tercantumnya gambar kecil berupa simbol institusional Mahkamah Agung Republik

Indonesia di pojokan papan reklame tersebut. Barangkali kita bisa mengungkapkan arti isi

papan reklame tersebut dengan semiotika tapi bukan itu minat kajian tulisan ini. Papan tiga

nilai dasar hukum itu merupakan contoh gejala kegemaran pengutipan yang menyangkut

sebuah teori atau pemikiran hukum.

Contoh yang kedua berada pada tataran berbeda. Gejalanya di sini terkait langsung

dengan metode berpikir ilmiah dalam pengembanan ilmu hukum. Masih soal rangkaian

“keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum”, gagasan tentang paradigma ilmu hukum

Indonesia pun rupanya tak lepas dari gejala ketidakjelasan pemahaman atas teori hukum yang

ada. Dalam sebuah teks kunci yang mengemukakan refleksi tentang struktur ilmu hukum

Indonesia, Arief Sidharta menjelaskan rangkaian tersebut sebagai sebuah konsep dalam

paradigma ilmu hukum nasional kita. Lebih spesifik lagi, dengan penyebutan yang agak lain,

keadilan, kehasil-gunaan, dan kepastian menjadi isi dari “cita-hukum” Pancasila yang

1 Kedua orang penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Page 3: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

2

merupakan fundamen ilmu hukum Indonesia.2 Tidak ada keterangan atau argumen lebih

lanjut soal dari mana pemahaman rangkaian ini berasal. Gejala ini menarik karena kita

menemukannya dalam sebuah karya intelektual akademis yang penting dalam ranah

pemikiran hukum di tanah air.3

Kedua gejala yang disebut di atas selintas seperti tidak ada hubungannya satu sama

lain. Gejala yang satu adalah papan reklame di pojokan jalan di kota Bandung, sedang gejala

yang lainnya adalah hasil pemikiran ilmiah. Namun keduanya menunjukkan gejala yang

sama: kita kerap mengutip suatu gagasan besar tanpa tahu dan peduli dari mana asalnya dan

bagaimana sebaiknya memahami suatu gagasan (in casu dalam bidang teori dan filsafat

hukum) dalam konteks yang paling tepat. Di sini sepertinya gagasan Radbruch menjadi bahan

rujukan tanpa disertai studi mendalam atas teks, konteks hidupnya, dan komentar-komentar

kritis terhadapnya. Kita bisa menyoroti dua problematika disiplin ilmu hukum kita dalam

kaitannya dengan urgensi bagi upaya membaca ulang filsafat hukum Radbruch. Pertama,

rangkaian “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian” telah direduksi dari kompleksitas gagasan

“aslinya”. Dampak paling serius dari pereduksian ini adalah pengutamaan salah satu unsur di

atas dua sisanya. Kedua, buruknya kinerja ilmiah dunia ilmu hukum Indonesia yang

menunjukkan kecenderungan eklektisisme dan artinya sekaligus fragmentasi pemahaman atas

“teori”. Maka menurut kami telah terjadi kesalahpahaman dunia pemikiran tentang ilmu

hukum Indonesia dalam pembacaan terhadap filsafat hukum Radbruch.

Beranjak dari pemahaman bahwa pengembanan teori atau filsafat hukum akan juga

menentukan cara kita berhukum4, maka di sini hendak diargumentasikan bahwa

2 Arief Sidharta di sini membicarakan cita-hukum Pancasila sebagai bagian dari pandangannya tentang “upaya

mengeksplisitkan Paradigma Ilmu Hukum Indonesia”. Ia menyatakan bahwa: “Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan … Yang dimaksud dengan cita-hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur: keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum.” B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum” dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (eds.) Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan (Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. 60-61.

3 Teks Arief Sidharta yang dirujuk di atas adalah sebuah artikel yang dikumpulkan menjadi bagian dari proceedings konggres ilmu hukum yang diselenggarakan atas kerjasama Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia (ASHI) dan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip). Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan, “Mentari Pagi Ilmu Hukum: Refleksi dan Rekonstruksi Pengetahuan” dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (eds.) Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan (Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. xxi.

4 Titik tolaknya adalah pandangan bahwa ilmu hukum mempengaruhi praktik hukum dan juga sebaliknya merupakan pandangan yang khas bersifat hermeneutis. Gagasan-gagasan tentang ilmu hukum Indonesia terkait dengan hermeneutika yang merupakan metode dan filsafat tentang penafsiran makna. Perlu diperhatikan di sini bahwa, Paul Scholten-pun telah menyatakan hal ini dalam teks tahun 1942 tentang

Problem

statement

Page 4: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

3

instrumentalisme dan eklektisisme menimbulkan tendensi reduksionis dan utilitarianis dalam

pengembanan ilmu hukum kita. Berdasarkan pembacaan ulang terhadap filsafat hukum

Radbruch, kami menyebut rangkaian tersebut sebagai “tri-tujuan hukum”. Di sini, kami

hendak menjelaskan bahwa tri-tujuan hukum tersebut lebih tepat dipahami sebagai “keadilan,

kebertujuan, dan kepastian hukum”. Pemahaman yang lain ini, kalau tidak ingin disebut

sebagai yang baru, mengemukakan kritik atas pembacaan yang instrumentalis terhadap teori-

teori Radbruch. Di samping itu, dengan menyebut istilah “kebertujuan” daripada

“kemanfaatan” kami hendak memperlihatkan bahwa gagasan Radbruch menentang

utilitarianisme dalam praktik hukum. Tendensi utilitarianis ini tampak dari penitik-beratan

ide kemanfaatan bagi kepentingan banyak orang dalam praktik hukum. Tri-tujuan hukum

bukanlah “tujuan hukum” itu sendiri melainkan sebuah ide hukum, yakni suatu orientasi etis

pembentukan hukum yang sah. Titik berat ide hukum menurut Radbruch adalah keadilan

berupa jaminan dan perlindungan kesetaraan.

Tulisan ini bermaksud untuk menelusuri jejak pemikiran Radbruch dan menunjukkan

kekeliruan tafsir di dalam diskursus ilmu hukum di Indonesia terhadap pemikirannya. Untuk

itu, kami akan memaparkan argumen di atas lebih lanjut melalui beberapa bagian penjelasan.

Setelah pengantar ini, kami akan membongkar bukti-bukti adanya pengaruh ajaran Radbruch

dan kekeliruan pemahaman terhadapnya dalam diskursus ilmu hukum Indonesia. Bukti-bukti

tersebut dapat dilacak dalam tulisan-tulisan ilmiah. Kami akan menunjukkan reduksi

gagasan-gagasan tentang tri-tujuan hukum Radbruch yang seringkali dinyatakan sebagai

rangkaian “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum” tanpa dijelaskan apa akar gagasan

rangkaian tersebut. Implikasi kekeliruan dan reduksi tersebut terwujud dalam dampak

metodologis terhadap pengembanan ilmu hukum Indonesia. Utilitarianisme menjadi tumpuan

bagi dua kegiatan utama pengembanan tersebut.5 Setelah itu akan didudukan perkara

sesungguhnya dari teori-teori hukum Radbruch, yakni konteks alam pikir dan kontroversi

seputar pemikiran Radbruch sesuai masa abad ke-19 dan ke-20. Kami akan menutup dengan

memberi catatan kritis dan sejumlah penggarisbawahan hal penting.

karakter keilmuan ilmu hukum. Menurutnya, kendati ilmu hukum pertama-tama berkutat dengan “kenyataan hukum” dalam rupa hukum positif, bagaimanapun juga perhatiannya tidak bisa dilepaskan dari “kehidupan kejiwaan” berupa kesadaran dan hukum tidak tertulis. Scholten menyebut momen ini sebagai sebuah dialektika. Dalam pandangan Scholten, ilmu hukum yang berdialektika seperti ini adalah “ilmu hukum yang menangkap kenyataan dari hukum”. Pendeknya, ilmu hukum tersebut menjadi realistis. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terj. Arief Sidharta (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm. 19-21.

5 Menurut Arief Sidharta, pengembanan ilmu hukum terdiri dari dua tahap kegiatan, yaitu (1) pemaparan hukum dalam wujud metode penalaran serta interpretasi dan (2) sistematisasi berupa pembentukan hukum. B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum”, hlm. 40-46.

Page 5: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

4

Duduk

perkaranya:

mengapa

harus resah?

2. Problem Kinerja Ilmiah dan Pereduksian Teori Radbruch

Tanpa bermaksud meniadakan sedikit pun kontribusi nyata para pengajar, peneliti,

dan ahli-ahli hukum kita, kutipan panjang dari pendapat Sunaryati Hartono secara verbatim

berikut cukup tajam menyinggung problematika kinerja ilmiah di atas6:

“Akan tetapi setelah direnungkan secara lebih mendalam, maka saya tersentak oleh suatu

pertanyaan yang timbul di dalam hati : Bagaimana dengan Ilmu Hukum Indonesia sendiri?

Kenalkah kita akan jalan fikiran dan teori-teori hukum yang telah dikembangkan oleh pakar-

pakar bangsa Indonesia sendiri, seperti teori yang dikemukakan oleh Prof. Soepomo, Prof.

Hazairin, Prof. Soediman, Prof. Djokosutono, Prof. Satochid, Prof. Moeljatno, Prof.

Djojodiguno dan lain-lain ? Kenalkah kita akan berbagai putusan pengadilan dan

pertimbangan hukum hakim-hakim Indonesia yang terkenal ? Bahkan kenalkah kita akan

hakim-hakim Indonesia yang terbaik ? Benarkah kita mengenal betul teori-teori hukum yang

dikemukakan oleh pakar-pakar asing, ataukah kita hanya mengutip uraian singkat seorang

professor, yang mengutip pendapat pakar tersebut dari buku yang mengutip sebagian

pendapat pakar asing itu. Benarkah kita mengenal filsafat hukum Hans Kelsen, atau teori

Kranenburg, atau teori Roscoe Pound dan Wolfgang Friedmann ? Ataukah kita hanya

mengutip apa yang pernah dikatakan oleh dosen kita tentang Hans Kelsen, Kranenburg atau

Roscoe Pound, yang pada gilirannya juga mengulangi apa yang dikatakan oleh dosennya

mengenai ketiga tokoh itu ?”

Barangkali kita kerap menemukan bagaimana para mahasiswa ilmu hukum bahkan

sarjana hukum seringkali hanya mengandalkan rangkuman pemikiran dari pemikir-pemikir

asing yang dibuat oleh orang-orang lain. Jarang bahkan tidak muncul upaya untuk membaca

dan menelusuri sendiri pemikiran dari penulis-penulis asing tersebut. Kendala lain yang

terkait adalah rendahnya penguasaan bahasa asing dan budaya baca. Bahkan sekarang ini

diktat dan rangkuman (pandangan) – dipermudah oleh internet, mesin pencari serta layanan

jasa Wikipedia – tuntas menggantikan uraian panjang lebar dari para pemikir atau penulis

ataupun peneliti asli. Dalam hal filsafat hukum Radbruch, maka boleh dikatakan bahwa yang

terjadi menurut keresahan Sunaryati di atas adalah kesalahpahaman dan kekeliruan tafsir

yang “di-iya-kan” bersama (deliberate misreading).

2.1. Problem Kinerja Ilmiah Dunia Ilmu Hukum Indonesia

Para sarjana dan atau pemikir hukum Indonesia seringkali terlalu mudah mereduksi

pandangan (doktrin, ajaran, pandangan filsafat) dari orang-orang lain (dalam negeri maupun

luar negeri atau asing) ke dalam satu-dua kalimat dan dengan begitu menghindar dari

keniscayaan merunut dengan cermat apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis atau

6 Sunaryati Hartono, “Tentang Pengembanan dan Pembinaan Ilmu Hukum Nasional” dalam Percicikan Gagasan

tentang Hukum. Kumpulan Tulisan Ilmiah Alumni dan Staf Pengajar FH Unpar, ed. A. Yoyon (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 1988), hlm. 47.

Page 6: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

5

penutur asli dan mengikuti perdebatan yang kemudian muncul darinya.7 Maka, pandangan

Savigny hanya disebut sebagai pandangan bahwa hukum hidup dan berkembang bersama

masyarakat; John Austin sekadar diingat sebagai ahli hukum yang menyatakan law as the

command of the sovereign backed up by sanctions; Montesquieu dikenang sebagai penggagas

trias politica; dan seterusnya. Mengapa mereka mengatakan itu dan kemudian diskusi yang

muncul dari itu jarang diangkat.8 Meski begitu, kita pun bisa menemukan beberapa

pengecualian yang memperlihatkan pembacaan yang sesuai terhadap pandangan para

pemikir, khususnya juga terhadap filsafat hukum Radbruch.

Dilepaskan dari konteks sosial politik kemunculan dan aliran pemikiran tentang

hukum (tidak selamanya berkesinambungan, namun bisa fragmentaris bahkan acak), teori,

ajaran (doktrin) atau pemikiran dari para ahli hukum bahkan filsuf hukum tersebut di atas

diajarkan sebagai hafalan mati, bukan sesuatu yang memaksa kita memberikan tanggapan dan

mengambil posisi menolak, menerima, mendukung dengan catatan atau apapun. Pemikiran

mereka – para pemikir atau filsuf atau teoritikus tentang hukum “asing” – dengan demikian

dipersamakan dengan ajaran agama (dogma) yang harus diterima utuh, diyakini dengan iman

bukan dicermati dengan akal kritis. Alhasil para ahli hukum di Indonesia-pun mereduksi diri

menjadi penganut “kepercayaan” yang harus membela pandangan yang diimani dengan

darah, keringat, dan air mata.

7 Salah satu karya monumental dari pemikir Indonesia yang mempelajari dengan tekun berbagai aliran filsafat

hukum dan berusaha mengkaitkannya dengan penalaran hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan adalah buku “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum” karangan Shidarta. Buku tersebut lahir dari sebuah penelitian disertasi sang penulis di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Di dalam “Prakata” untuk buku setebal 450 halaman lebih tersebut, Shidarta membuat semacam disclaimer bahwa “pembaca tidak akan menemukan kupasan mendetail tentang latar belakang tokoh-tokoh pendukung tiap-tiap aliran, proses kelahiran model-model penalaran tersebut, dan polemik yang menyertainya.” Namun tampaknya Shidarta tidak mau terjebak dalam kinerja ilmiah yang reduktif. Sebab, baginya karyanya tersebut “bernuansakan meta-keilmuan hukum” dan menelusuri benang merah dari model penalaran menurut aliran-aliran filsafat hukum yang ia bahas demi kemudahan mencapai tujuan dan kegunaan kajiannya. Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Buku 1 Akar Filosofis (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. ix.

8 Dalam arti ini, menarik untuk menyimak kata pengantar yang ditulis oleh para editor buku kumpulan artikel hasil Konggres Ilmu Hukum Nasional. Dalam rangka menjelaskan konsep ilmu hukum menurut Satjipto Rahardjo dalam kaitannya dengan perkembangan mutakhir sains dan masyarakat, para editor tersebut dengan sangat rajin mengutip banyak sekali nama dan teori tentang hukum yang berasal dari orang-orang asing. Asumsi di balik tulisan mereka itu kelihatannya adalah bahwa ada kesamaan yang niscaya berujung pada sebuah sintesis dari gagasan tokoh-tokoh terkemuka seperti Hans Kelsen, Roscoe Pound, Joseph Raz, dan Roger Cotterrell. Dengan asumsi itu pula konsep “jurisprudence” menjadi disamakan dengan konsep “ilmu hukum”. Tentu saja asumsi tersebut bisa dikritisi lebih lanjut tapi karena keterbatasan yang ada maka tulisan ini tidak membahasnya lebih lanjut. Esmi Warassih, Suteki, & Awaludin Marwan, “Mentari Pagi Ilmu Hukum: Refleksi dan Rekonstruksi Pengetahuan” dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, (eds.) Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan (Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. v-xxiii.

Page 7: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

6

Pembacaan

umum

terhadap

filsafat

hukum

Radbruch di

Indonesia

Selain itu kebiasaan lain dari kebiasaan banyak pemikir hukum di Indonesia ialah

menyembunyikan pandangannya sendiri dengan mengutip sebanyak-banyaknya pandangan

dari penulis (atau aturan hukum tertulis) yang dianggap lebih otoritatif. Jarang bahkan tidak

pernah diketemukan adanya pandangan yang tegas menilai, menolak atau merevisi

pandangan-pandangan otoritatif. Mungkin dalam budaya (keilmuan di-) Indonesia bersikap

konfrontatif terhadap satu ide, gagasan atau orang tertentu dianggap tidak sopan. Begitu juga

dengan menyatakan dengan tegas posisi dan pandangan penulis atau peneliti. Pandangan

peneliti harus dirumuskan dengan sangat abstrak dan impersonal. Alhasil baik pandangannya

sendiri maupun pandangan para penulis yang dikutip menjadi tidak jelas dan kabur. Pembaca

dipersilakan menyimpulkan sendiri dan penulis asli tidak dapat dan mungkin

menyombongkan diri tentang posisi pandangannya maupun temuan-temuannya. Lagipula

dalam rasa bahasa Indonesia, individualis dan ambisius bermakna peyoratif..

Pemakaian slogan “kepastian, kemanfaatan, dan kepastian hukum” sekiranya dapat

mengilustrasikan reduksionisme, eklektisisme, dan instrumentalisme kinerja ilmu hukum di

atas. Kendati serba tidak menentu9, kami di sini menduga keras bahwa pandangan tentang tri-

tujuan hukum berasal dari Gustav Radbruch, seorang pemikir ilmu hukum atau filsuf dari

Jerman dari periode 1930-1940’an. Dugaan ini diperkuat penelusuran atas pustaka (filsafat

atau pengantar ilmu) hukum. Ketika topiknya adalah “tujuan hukum”, maka kerap disebutkan

dan dibincangkan tri-tujuan di atas dan dirujuk nama Gustav Radbruch dan tentunya nama-

nama lain baik yang terkenal maupun kurang terkenal.

Teks berbahasa Indonesia tentang ilmu atau filsafat hukum yang secara eksplisit

menyebut nama Radbruch dan dalam hubungannya dengan topik ide hukum adalah

terjemahan Arief Sidharta atas karya seorang Profesor Fakultas Hukum Universitas

Groningen, D.H.M. Meuwissen. Gagasan Radbruch di situ muncul dalam pembahasan

mengenai salah satu dalil filsafat hukum, yakni bahwa filsafat hukum bertugas untuk

merefleksikan “‘kenyataan hukum’ yang harus dipikirkan sebagai realisasi (perwujudan) dari

Ide-Hukum (Cita-Hukum).”10 Ada lima hal yang menarik untuk digarisbawahi dari apa yang

diterjemahkan oleh Arief Sidharta. Pertama, ide hukum disama-artikan dengan cita hukum

9 Cobalah ketik dan masukan kata-kata kunci “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum radbruch” dalam

alat pencari di dunia internet, Google. Pada bagian web, diberitahukan bahwa hasil pencarian untuk kata-kata kunci tersebut adalah sekitar 3.430 hasil. Google, https://www.google.co.id/search?q=keadilan+kemanfaatan+kepastian+hukum+radbruch&espv=2&biw=1440&bih=755&source=lnms&sa=X&ved=0CAYQ_AUoAGoVChMI78jsxuHfyAIVCpWUCh2SlwUQ&dpr=1, diakses pada 26 Oktober 2015.

10 D.H.M. Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terj. B. Arief Sidharta (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 19. Perhatikan bahwa Arief Sidharta di sini menulis secara spesifik “ide-hukum” serta “cita-hukum”.

Page 8: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

7

(Rechtsidee). Kedua, sudah ditunjukkan bahwa ide hukum berakar dari paham Neo-

Kantianisme. Ketiga, ide hukum terjabarkan dalam tiga aspek, yakni “kepastian hukum,

kegunaan, dan keadilan”. Keempat, posisi filosofis Radbruch adalah relativisme nilai.

Kelima, ide hukum memilik orientasinya. Lima hal inilah yang sangat menarik untuk dikaji

lebih lanjut. Namun, seperti yang sudah disinggung di muka, Arief Sidharta sendiri

menjadikan tiga aspek ide hukum tersebut sebagai rujukan, menyebutnya sebagai cita-hukum

nasional yang berwujud Pancasila, dan memandangnya sebagai tumpuan pengembanan ilmu

hukum nasional.

Masih soal eksistensi teori-teori Radbruch dalam lingkungan pemikiran tentang

hukum di Indonesia. Pembahasan tentang gagasan Radbruch dapat kita temukan juga dalam

dua buku “klasik” seputar refleksi tentang hukum. Boleh dibilang pembacaan terhadap

Radbruch dalam dua buku tersebut merupakan pengecualian terhadap problem kinerja ilmiah

di atas. Buku yang pertama, “Etika Politik” karangan Franz Magnis-Suseno yang beberapa

kali merujuk Radbruch.11 Pembacaan terhadap gagasan Radbruch tentang keadilan sebagai

ciri hakiki hukum memperlihatkan bahwa Magnis-Suseno menempatkannya menurut

kerangka tema filsafat hukum yang sesuai. Buku yang kedua adalah karangan Theo Huijbers

yang berjudul “Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah”.12 Huijbers mendekati filsafat

hukum dari segi perkembangan alam pikiran Barat. Dalam kerangka itu, Radbruch mendapat

status yang sesuai dengan periode atau masa sejarahnya. Kendati berbau ad hominem, kita

dapat melihat sesuatu yang menarik dari latar belakang kedua pengarang buku tersebut.

Keduanya, seperti yang kita ketahui, terlatih dalam pendidikan tentang filsafat. Keduanya

pula datang dari tradisi budaya Barat. Berkaca dari keduanya maka agaknya makin kuat

sinyalemen tentang kelemahan kinerja ilmiah dunia ilmu hukum Indonesia yang bertendensi

reduksionistis.

2.2. Implikasi Metodologis: Utilitarianisme Cara Berhukum

Pemahaman umum yang tercermin dari pustaka yang ada ialah kadangkala tri-tujuan

hukum saling berbenturan. Dengan merujuk pada adagium summum ius, summa injura

diyakini bahwa pembuatan aturan yang semakin rinci (demi kepastian dan ketertiban) justru

akan berujung pada ketidakadilan. Sebaliknya penekanan pada (rasa) keadilan (orang per

orang atau kelompok masyarakat) dapat berujung pada ketidakpastian dan digadaikannya

kepentingan bersama. Kemanfaatan (utilitarianisme) dari aturan atau pemberlakuan suatu

11 Lihat: Frans Magnis-Suseno, Etika Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003). 12 Lihat: Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1982).

Page 9: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

8

ketentuan atau aturan seringkali juga harus menyingkirkan tujuan hukum menjaga kepastian

hukum bahkan keadilan. Apa yang bermanfaat (bagi kemaslahatan banyak orang) itulah

hukum. Sebaliknya penekanan pada kepastian hukum (dalam wujud ketentuan-ketentuan

yang sangat rinci dan rumit) bisa jadi menghasilkan hukum yang jelas tidak bermanfaat bagi

masyarakat terkecuali bagi birokrasi yang membuatnya. Lantas, apakah tepat memahami

kemanfaatan di sini sebagai ide hukum menurut Radbruch?

Radbruch jelas berpikir, menulis dan berkarya menghadapi tantangan zaman yang

jauh berbeda dari yang dihadapi Indonesia dan dunia hukum Indonesia sekarang ini. Juga

dapat dicermati bahwa Rabruch menulis tentang situasi hukum di Jerman sebelum, semasa

rezim pemerintahan Hitler dan sesudahnya. Berkenaan dengan itu diperdebatkan oleh banyak

komentator apakah Rabruch pasca Perang Dunia II beralih dari penganut positivisme menjadi

pendukung aliran hukum kodrat atau sebenarnya ia hanya mempertegas pandangannya

setelah mengamati ketidakadilan dan kekejamanan hukum produk rezim pemerintahan Hilter.

Pertanyaan besarnya ialah apakah pandangan Radbruch dapat sepenuhnya dilepaskan

dari konteks zaman (Jerman sebelum dan sesudah Perang Dunia II) dan ditafsir ulang untuk

menjawab permasalahan dan situasi (perkembangan pemikiran) hukum di Indonesia?

Mahasiswa di fakultas hukum (setidaknya di Universitas Katolik Parahyangan) diajar bahwa

hukum adalah seperangkat instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan sosial-politik-ekonomi

tertentu yang dicanangkan pemerintah atau setidak-tidaknya mencapai tujuan negara

(kepentingan nasional atau yang diabstraksikan sebagai “Negara Hukum Pancasila”).

Mungkin tidak by design namun lebih by accident, fakultas hukum mengajarkan pada

mahasiswa bahwa hukum (itupun dibatasi pada produk perundang-undangan dalam arti luas)

sebagai produk politik. Pemahaman yang didukung pula berita-berita di media massa perihal

pembahasan rancangan perundang-undangan di Dewan Perwakilan Rakyat atau pengujian

undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Alhasil banyak analisis tentang hukum

yang ada kerapkali lebih menekankan tarik-menarik kepentingan (partai, golongan penekan,

dan lain-lain) dan pertarungan politik yang menjadi panggung pembuatan aturan hukum

termasuk pembatalan perundang-undangan oleh MK.

Terbayangkan dibalik pemahaman ini pengaruh sejumlah teori besar baik dari pemikir

hukum Indonesia maupun dari asing. Kita dapat sebut Mochtar Kusuma-Atmadja, hukum

(produk perundang-undangan dalam arti luas) sebagai sarana pembaharuan masyarakat,

Sunaryati Hartono yang mencita-citakan pembaharuan dan pembangunan satu hukum

nasional serta mengembangkan pengertian hukum ekonomi (dalam arti sempit dan luas).

Selain itu juga dapat disebut Satjipto Rahardjo (pemikiran hukum progresif: bahwa hukum

Radbruch

dipahami

seturut

praktik

hukum

yang

utilitarian-

is di

Indonesia

Page 10: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

9

harus dikembangkan demi manusia; bukan semata-mata untuk pembangunan) dan Soetandyo

Wignjosoebroto (hukum sebagai produk politik).

Benang merah dari ke-empat pemikir hukum Indonesia ialah pemahaman hukum

sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (abstrak-ideal maupun konkrit-contigent).

Ilustrasi lain dalam praktik hukum Indonesia dari pemahaman hukum sebagai sarana yang

dibenarkan tujuan muncul dengan jelas dari zaman pemerintahan Orde Baru. Perintah yang

diterbitkan Letnan Jenderal Soeharto untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI)

sampai ke akar-akarnya sekaligus melegitimasi tidak saja pembantaian massal semua orang

yang “dianggap” (tanpa perlu dibuktikan dihadapan pengadilan) terlibat (langsung maupun

tidak langsung) dalam tindakan penculikan atau pembunuhan sejumlah jenderal angkatan

darat plus beberapa perwira rendahan dan satu anak kecil, namun juga pencabutan hak-hak

sipil-politik bahkan ekonomi dari mereka yang dianggap tidak bersih diri maupun lingkungan

(masyarakat Tionghoa, termasuk para eksil (mahasiswa di luar negeri, terutama Uni Soviet,

Republik Rakyat Cina waktu itu, dan Eropa Timur) maupun keluarga dekat atau jauh dari

mereka yang “dianggap” bersalah terlibat dengan satu dan lain cara dengan PKI. Dengan cara

yang sama, kepentingan memberikan shock therapy kepada para “preman” membenarkan

(legitimasi) “perintah” Presiden Soeharto untuk melakukan penculikan-penganiayaan-

pembunuhan mereka yang disangka berperilaku sebagai preman atau gali.

Sekalipun pada masa yang sama, perintah Presiden Soekarno untuk “ganyang

Malaysia” sebagai bagian dari konfrontasi dengan “Nekolim” (neo-kolonialisme dan

imperialisme) diam-diam tidak dipatuhi oleh pimpinan Angkatan Darat. Mereka dari

Angkatan Darat justru diam-diam menjalin hubungan dengan pihak Malaysia. Begitu juga

perintah Presiden Abdurachman Wahid sebagai panglima tertinggi agar Tentara Nasional

Indonesia (TNI) membubarkan Parlemen tidak ditaati. Hasil akhirnya adalah kekuasaan

Presiden dicabut (impeachment) dan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Singkat kata,

kemungkinan besar, dalam kedua kasus di atas, hukum dipahami tidak hanya harus berasal

dari pihak yang berdaulat, melainkan lebih dari itu, harus didukung oleh kemampuan

menjatuhkan sanksi.

Di samping itu dapat pula kita jumpai ilustrasi lain tentang penggunaan hukum

sebagai sarana mencapai tujuan apapun yang seolah-olah tampak tidak terlalu berbahaya,

sekalipun tetap dengan dampak sosial-ekonomi yang luar biasa buruknya. Misalnya

berkaitan dengan aturan-aturan hukum baik dari zaman pemerintahan Orde Baru atau

sesudahnya yang membenarkan pengambilalihan atau “apropriasi” kepemilikan dan

penguasaan sumberdaya alam (termasuk tanah) dari semua orang oleh negara demi

Page 11: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

10

kepentingan nasional (pembangunan dan atau pertumbuhan ekonomi) untuk diserahkan

kepada investor. Contoh lain di mana kepentingan umum dan kebahagiaan sebanyak

mungkin orang (mayoritas) dianggap membenarkan “hukum” berkaitan dengan aturan

tentang pendirian rumah ibadah (yang harus dibaca rumah ibadah bagi non-muslim

khususnya Nasrani). Penegakkan aturan tersebut yang dibaca memiliki tri-tujuan hukum

(“kepastian-keadilan-kemanfaatan”) kemudian diterjemahkan dan dibaca sebagai perintah

dari pemerintah setempat untuk membongkar dan mengusir masyarakat Nasrani dari suatu

wilayah tertentu, misalnya yang terjadi di banyak tempat di Indonesia (kabupaten Aceh

Singkil pada Oktober 2015).

Lantas di mana penting dan perlunya pemikiran Radbruch? Sumbangan pemikiran

Radbruch yang dapat kita re-aktualisasikan di sini ialah pembahasannya tentang keabsahan

hukum dan ide hukum. Jelas bahwa Radbruch ketika berbicara tentang tri-tujuan hukum akan

menyatakan bahwa perintah yang berdaulat (di Indonesia) seperti digambarkan di atas –

sekalipun betul aturan yang ditetapkan penguasa – bukanlah hukum yang memberikan

kepastian-keadilan-kemanfaatan bagi semua orang.

Persoalan yang akan dibahas di sini ialah apakah betul pemikiran Radbruch

sesederhana yang dirujuk dan dikutip oleh “iklan masyarakat” atau pun gagasan ilmu hukum

nasional dan apakah betul dalam pemikirannya tri-tujuan hukum tersebut niscaya

berbenturan. Dengan melakukan penelusuran kembali dapat diharapkan suara asli Radbruch

dapat diperdengarkan dan sekaligus kita dapat menengok dengan kritis pemahaman yang

berlaku perihal adanya perbenturan yang tidak dapat didamaikan antara tri-tujuan hukum di

atas.

3. Mengenal Filsafat Hukum Radbruch

Kita harus menempatkan pemikiran Radbruch sesuai dengan konteks zamannya.

Historical embededness dari suatu gagasan atau perkembangan pemikiran tidak dapat

diabaikan begitu saja. Dari situ kita akan melihat pengaruh setting alam pikir Jerman di

antara akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 terhadap pemikiran Radbruch. Dengan

memperhatikan konteks sejarah inipun, maka muncul perdebatan di antara pembaca Rabruch:

apakah ada “dua gagasan Radbruch” yang berbeda, yakni yang muncul sebelum dan sesudah

rezim Nazi berkuasa ataukah kita sebenarnya berbicara tentang evolusi pemikiran. Dalam

konteks itu akan ditelaah teori Radbruch tentang tri-tujuan hukum yang telah disinggung di

bagian pengantar tulisan ini.

Page 12: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

11

3.1. Hidup dan Karya-karya Radbruch

Di bawah ini akan dipaparkan bio-bibilografi ringkas dari Radbruch.13 Tujuan

menyoroti hidup dan karya-karya Radbruch adalah untuk menelaah seberapa jauh teori asli

Radbruch telah tereduksi dalam alam pemikiran hukum di Indonesia. Maka itu, pemikirannya

harus dipahami secara tekstual maupun kontekstual. Cara ini dipilih dengan sengaja sekaligus

sebagai tanggapan terhadap kritikan Sunaryati terkait problem kinerja ilmiah ilmu hukum

nasional.

Gustav Radbruch (1878-1949) adalah anak seorang pedagang dari Lubeck (Jerman).

Ia memulai studinya tentang hukum pada 1898 di Munich. Sejak masa kuliah ia tertarik

dengan mata pelajaran tentang ekonomi nasional dan reformasi sosial yang digagas Lujo

Bretano. Di Leipzig, tempat ia belajar selama tiga semester selama 1898 sampai 1900, ia

berjumpa tokoh-tokoh yang memperkenalkannya pada beberapa kajian. Karl Bucher

memperkenalkan Radbruch pada psikologisme empiris dalam makroekonomi, Wilhelm

Hundt pada filsafat, dan Karl Lamprecht pada pandangan sosiologis terhadap sejarah sebagai

sejarah kebudayaan. Beberapa tokoh lain membuatnya terpesona melalui kuliah dan buku-

buku: Rudolf Sohm tentang hukum kanonik dan Franz von Liszt tentang hukum pidana

(criminal law). Radbruch lantas mengikuti dan bergabung dengan seminar Liszt tentang

politik hukum pidana. Hofmann mengungkapkan bahwa dari gagasan-gagasan Liszt dan juga

pengaruh Rudolf von Jhering-lah Radbruch mengajukan pandangannya tentang tujuan

(purpose), termasuk ketika ia menjadi Menteri Hukum Republik Weimar pada 1921-1922.

Dalam kapasitas sebagai menteri, Radbruch mendorong reformasi hukum pidana. Sebuah

rancangan kitab hukum pidana yang baru selama masa jabatannya adalah hasil karyanya.

Terlihat bahwa minat Radbruch yang besar pada dunia akademik juga dibarengi

dengan keterlibatannya dalam dunia praktis. Ia juga ikut serta dalam gerakan sipil dan politik.

Ia adalah anggota Volkspartei dan menjadi anggota dewan kota. Pengalamannya sebagai

prajurit garis depan mendorongnya menjadi seorang sosialis. Setelah Perang Dunia I,

Radbruch aktif di Partai Sosial Demokrat. Karir sosial-politiknya yang terbilang bagus itu

beriringan dengan karir akademik yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan

pemikirannya, termasuk dalam hal refleksi filosofis tentang hukum.

13 Kami mendasarkan uraian tentang topik ini pada dua sumber rujukan, yakni: Wolfgang Friedman (1967),

“Gustav Radbruch” in Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert (Farmington Hills: Thomson Gale, 2006), pp. 229-230; Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch: On the Logic of Traditional Legal Concepts to the Sociological Theories of Law to the Renewal of Legal Idealism” in A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence. Volume 9. A History of the Philosophy of Law in the Civil Law World, 1600–1900, eds. Damiano Canale, Paolo Grossi, and Hasso Hofmann (New York: Springer, 2009), pp. 301-354.

Profil bio-

bibliografi

dari

Radbruch

Page 13: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

12

Radbruch mengajar di Heidelberg sebagai dosen luar biasa sejak 1903. Keterangan

lain menyebutkan bahwa ia sempat beberapa kali dipindah-tugaskan: pada 1914, ia bekerja di

Universitas Konigsberg (Prussia) sebagai profesor, pada 1919 ke Universitas Kiel, dan 1926

ke Heidelberg.14 Di tempat yang terakhir itu, ia diangkat menjadi profesor pada 1910. Pada

ruang dan waktu inilah, kehidupan intelektual Radbruch terasah berkat diskusi-diskusinya

dengan tokoh-tokoh kunci dalam tradisi filsafat, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan Jerman.

Hofmann mencatat bahwa ketika Radbruch berada di Heidelberg, di tempat yang sama

bekerja pula Wilhelm Windelband (1848-1915), Emil Lask (1875-1915), Ernst Troeltsch

(1865-1923), Max Weber (1864-1920), dan Georg Jellinek (1851-1911). Ada pula nama

besar seperti Heinrich Rickert (1863-1936) yang sangat dipengaruhi Windelband serta yang

menjadi pelopor Neo-Kantianisme Mazhab Baden atau yang dikenal juga sebagai aliran

Jerman Barat Daya.15

Namun saat menjadi pengajar di Heidelberg inilah, Radbruch mengalami masa

kekuasaan rezim Nazi. Oleh rezim itu dan akibat latar belakang aktivitas politiknya,

Radbruch dipecat dari posisi akademiknya di Heidelberg pada 1933. Setelah Perang Dunia II,

tepatnya pada 1945, posisinya tersebut dipulihkan lagi dan ia menjadi Profesor Hukum

Pidana dan Filsafat Hukum di Heidelberg. Dalam posisinya itu ia mempengaruhi arah baru

pendidikan hukum dan filsafat Jerman sampai waktu meninggalnya.

Karya-karya tulis Radbruch yang dapat kami tunjukkan adalah sebagai berikut.

Einführung in die Rechtswissenschaft (Pengantar ke Filsafat Hukum atau Introduction to

Jurisprudence) ditulis pada 1910 adalah basis dari bangunan filsafat hukum Radbruch.

Rechtsphilosophie (Filsafat Hukum atau Legal Philosophy) merupakan edisi ketiga yang

terbit 1932. Edisi ketiga ini merupakan revisi dari karya yang sama dengan judul berbeda,

Grundzüge der Rechtsphilosophie (Prinsip-prinsip Dasar Filsafat Hukum atau Basic

Principles of Legal Philosophy), yang telah terbit dalam dua edisi; yang pertama kali, 1914

14 Keterangan ini diambil dari semacam pengantar singkat tentang karir dan karya Radbruch dalam buku

kumpulan terjemahan bahasa Inggris karya-karya Radbruch, bersama Lask dan Dabin, yang dieditori oleh Edwin W. Patterson. Terjemahan karya “Filsafat Hukum” (Legal Philosophy) Radbruch ini menjadi sumber utama rujukan kami di sini.

15 Keberadaan dan pengaruh Neo-Kantianisme dalam karya-karya Radbruch tidaklah bisa dikategorikan secara tunggal. Di samping Sekolah Baden, melalui dua tokoh utamanya, Windelband dan Rickert, pada pemikiran hukum Radbruch juga terdapat pengaruh Max Weber. Tokoh yang disebut terakhir malah ada yang menggolongkannya sebagai bagian dari Neo-Kantianism Sosiologis yang berdiri di antara aliran Heidelberg dan tradisi lain yang dibangun oleh Wilhelm DIlthey (1833-1912) dan George Simmel (1858-1918). Lewis White Beck (1967), “Neo-Kantianism” in Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert (Farmington Hills: Thomson Gale, 2006), pp. 544-545. Konstelasi pemikiran Jerman ini tercermin dalam perdebatan terkenal antara dua kubu: pembela metode ilmu alam dan ilmu humaniora. Soal ini dipaparkan lebih lanjut di bagian tentang konteks dan kontroversi filsafat hukum Radbruch.

Page 14: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

13

lalu yang kedua, 1922. Namun menurut Radbruch sendiri dalam pengantarnya, edisi ketiga

berjudul Rechtsphilosophie ini bukan hanya edisi baru melainkan “sebuah buku baru”. Karya

ini lahir, demikian Radbruch, dari keperluan akan adanya pembaharuan di satu sisi dan di sisi

lain ketidakmungkinan mengerjakannya pada masa-masa perang dan revolusi yang terjadi.16

Sesudah Perang Dunia II, karya Radbruch yang diterbitkan adalah: Fünf Minuten

Rechtsphilosophie (Lima Menit Filsafat Hukum atau Five Minutes of Legal Philosophy),

terbit pertama kali 1945; Gesetzliches Unrecht und Ubergesetzliches Recht (Ketidakadilan

dari Undang-Undang dan Keadilan yang di atas Undang-Undang), terbit pada 1946; lalu

kumpulan dari Grundzüge, Fünf Minuten, dan Gesetzliches yang disatukan menjadi edisi

Rechtsphilosophie versi editan Erik Wolf.17 Artikel Radbruch pasca Perang Dunia II yang

berbahasa Inggris dan yang terkenal karena dianggap menimbulkan kontroversi soal “dua

jenis” arah filsafat hukumnya adalah yang berjudul “Statutory Lawlessness and Supra-

Statutory Law”, terbit pada 2006 sebagai versi terjemahan.18

Karya-karya Radbruch tentang filsafat hukum dapat dikatakan merupakan tinjauan

ulang terhadap alam pikir Jerman abad ke-19. Berdasarkan proyek besar inilah, kita lantas

dapat menemukan keberlanjutan pembahasan topik-topik tentang refleksi terhadap hukum

dalam karya-karya Radbruch. Demikianlah sedari Einführung, yang merupakan kumpulan

kuliah-kuliahnya di Akademi Dagang Mannheim, telah dinyatakan oleh Radbruch bahwa

hukum merupakan dan filsafat hukum adalah bagian dari keseluruhan budaya.19

Mengikuti penjelasan Hofmann, buku yang menjadi dasar filsafat hukum Radbruch

tersebut telah membicarakan topik antinomi tiga nilai bagi kebudayaan dan juga hukum,

yakni nilai logis, estetis, dan etis. Ketiganya menjadi tujuan bagi “hukum-hukum

kebudayaan” (cultural laws) yang, kendati berangkat dari keberadaan masing-masing nilai,

hendak menghasilkan keseimbangan di antara “wawasan ilmiah, ciptaan artistik, kapabilitas

moral dan ketertiban sosial.”20 Dengan kata lain, hukum merupakan bagian dan tidak

terpisahkan dari kebudayaan.

Beranjak dari pemahaman itulah lantas muncul gagasan Radbruch tentang pemilahan

atau distingsi tentang tugas hukum, yakni nilai apa yang mau dilayani atau diwujudkannya.

16 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 47. 17 Informasi ini diambil dari Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, hlm. 162. Huijbers di sini

menyebutkan bahwa tahun edisi Rechtsphilosophie yang ia rujuk adalah 1963. 18 Versi bahasa Inggris ini dibahas dan dirujuk oleh Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s

Approach towards Law”, The Student Journal of Law, http://www.sjol.co.uk/issue-3/radbruch, diakses 5 September 2015.

19 Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 350. 20 Gustav Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft, catatan kaki nomor 101, sebagaimana dikutip oleh

Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 350.

Page 15: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

14

Di satu pihak, terdapat individu sebagai pengemban tujuan tersebut. Di sini etika individual

menjadi landasan pembenaran (adanya) hukum. Di lain pihak, terdapat entitas “supra

individual”, yakni negara, suatu organisme yang menjunjung hukum bukan sebagai nilai

individual melainkan sebagai nilai imanen dirinya (negara) dan keadilan sebagai tujuan

puncaknya. Maka terdapat kontradiksi antara dua tujuan hukum (yang dipandang sebagai

sebagai budaya), yaitu tujuan yang mengabdi kepentingan individu dengan yang supra

individual (negara). Bagi Radbruch, sebagaimana tertuang dalam Einführung, penyelesaian

harus dicari bukan melalui pertimbangan-pertimbangan ilmiah melainkan dikembalikan ke

pilihan pribadi tiap orang. Bagi Radbruch, pilihan tersebut terwujud dalam kontes partai

politik dalam pemilihan umum. Lebih spesifik lagi, soal penentuan pilihan pribadi itu

menyangkut gagasan kunci Radbruch, yakni “relativisme”. Menurut Radbruch, relativisme

mengajarkan baik penentuan sikap seseorang dan keadilan bagi satu sama lainnya. Perlu

ditekankan di sini bahwa tesis relativisme Radbruch terkait dengan ide demokrasi dalam

praksis politik.21 Topik tentang pilihan pribadi dalam kaitannya dengan aktivitas politik

dalam partai serta topik antinomi tiga nilai terkait muncul lebih lanjut dalam gagasan filsafat

hukum Radbruch, yakni di dalam Grundzüge.

Grundzüge adalah elaborasi lebih rinci tentang gagasan filsafat hukum Radbruch.

Selain topik-topik yang sudah ia bahas dalam buku Einführung di atas, Grundzüge

mengembangkan lebih lanjut topik tujuan hukum yang mengacu pada ajaran Neo-

Kantianisme. Topik ini, yang juga merupakan pokok bahasan kami di sini, menyangkut

masalah validitas hukum. Komitmen Kantian Radbruch terhadap filsafat hukum terungkap

dari dua posisi. Pertama, bahwa hukum haruslah valid/absah bukan berdasarkan sifat

positifnya melainkan hukum yang benar (the right law); validitas bukan datang dari hukum

itu sendiri melainkan pada nilai, arti, dan tujuan hukum, yakni keadilan.22 Kedua,

pengadopsian “dualisme metodis”, yakni pembedaan nilai dan realitas, antara yang ada (Sein)

21 “For relativism is the conceptual presupposition of democracy. Democracy refuses to identity itself with a

definite political view … Relativism, which teaches that no political view is demonstratable – and non refutable – is apt to counteract that self-rigtheousness which is usual in our political controversies … Thus relativism teaches both determination in one’s own attitude and justice toward that of another.” Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 48.

22 Gustav Radbruch, Grundzüge der Rechtsphilosophie, hlm. 22, sebagaimana dikutip oleh Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 352. Sekali lagi perlu diklarifikasi di sini bahwa ada variasi sumber rujukan karya asli Radbruch sendiri. Grundzüge yang dipakai oleh Hofmann, menurut daftar pustakanya, adalah edisi terbitan 1993 yang berbahasa Jerman. Adapun yang kami rujuk adalah edisi ketiga, hasil revisi, dari Grundzüge, yakni Rechtsphilosophie yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (Legal Philosophy) versi editan Edwin W. Patterson.

Page 16: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

15

dan yang seharusnya (Sollen), yang khas filsafat Kant, sebagai pendekatan terhadap

penentuan validitas hukum.

Evaluasi terhadap validitas hukum menurut pendekatan ini harus didasarkan pada

refleksi dan orientasi terhadap nilai-nilai hukum. Makna tri-tujuan hukum: keadilan,

keberlanjutan, dan kepastian hukum, harus dikaitkan pada dua pokok di atas, relativisme dan

dualisme metodis. Inilah yang menjadi konteks pemikiran filsafat hukum Radbruch. Dalam

konteks tersebut kita bisa menelusuri duduk perkaranya: apa yang menjadi fokus perhatian

Radbruch?; apa yang hendak ia kritisi?; apa lawan pemikirannya? Di samping itu, dari kisah

hidupnya yang pernah menderita kekejaman Nazi, muncul perdebatan soal konsistensi alur

teori hukumnya. Ada pandangan umum yang menerima dan menyatakan bahwa teori hukum

Radbruch mengalami patahan, yakni sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Kengerian

terhadap gerakan Nazi menjadikan Radbruch mengubah haluan filsafat hukumnya.

Barbarisme penguasa Jerman yang sangat formalistik waktu itu menjadikan Radbruch

berpaling mengikuti teori hukum kodrat.23

Di sinilah letak soal hubungan tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian

hukum. Dalam kerangka tema hubungan hukum dan moralitas, timbul pertanyaan: apakah

Radbruch adalah seorang positivis yang kemudian berubah menjadi pengikuti teori hukum

kodrat?; apakah dengan begitu teori tentang ide hukum juga mengalami perubahan makna?

Kontroversi perlu kita kaji sebelum menelaah apa yang dimaksud dengan: keadilan,

kebertujuan, dan kepastian hukum. Apa yang sebenarnya hendak Radbruch kemukakan

melalui teori tentang tujuan hukumnya itu? Konteks dan kontroversi pemikiran Radbruch

berikut ini kiranya berguna untuk mengantar kita menuju pemahaman akan hal tersebut.

3.2. Konteks dan Kontroversi

Uraian tentang hidup dan karya-karya Radbruch membawa kita pada dua tema yang

menjadi kerangka pemikiran filsafat hukumnya. Tema yang pertama adalah konteks alam

23 Wolfgang Friedman (1967). “Gustav Radbruch”, hlm. 230. Torben Spaak adalah salah satu pihak

mengemukakan problematika “dua Radbruch”, yang sebelum dan yang sesudah perang, ini dalam kaitannya dengan topik hubungan hukum dan moralitas. Torben Spaak, “Meta-Ethics and Legal Theory: The Case of Gustav Radbruch” Law and Philosophy, Vol. 28, No. 3 (May, 2009), pp. 261-290. Ungkapan paling tajam tentang pergantian posisi pemikiran Radbruch juga datang dari pembacaan H.L.A. Hart mengenai gelombang kritik terhadap gagasan pemisahan hukum dan moralitas. Hart menyayangkan fakta bahwa Radbruch - awalnya adalah seorang positivis - beralih menjadi pengkritik keras pemisahan hukum dan moralitas, bukan atas dasar konstruksi penalaran, melainkan sekadar karena pengalaman hidupnya ketika menyaksikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh sesama manusia. H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy (Oxford: CLanderon Press, 1985), hlm. 72. Survei yang menarik, kompleks, dan mendasar tentang ada tidaknya perubahan pemikiran Radbruch bisa dibaca dari Weismaan. Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”.

Page 17: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

16

pikir Radbruch. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, ia dipengaruhi oleh Neo-

Kantianisme yang berkembang di lingkungan Heidelberg. Lebih dari itu, ia pun terlihat

memegang teguh komitmen Kantian dan mengembangkannya dalam gagasan filsafat hukum.

Hal ini jelas menempatkannya dalam suatu konstelasi alam pikir di mana ia bersinggungan,

bersilangan, dan bahkan bentrok dengan sejumlah pandangan. Dengan kata lain, filsafat

hukum Radbruch mengandung kompleksitas tertentu terkait alam pikir filsafat Jerman.

Lantas tema yang kedua adalah kontroversi menyangkut penafsiran terhadap teori-teori

hukum Radbruch. Persoalan kontroversi ini menjadi pertaruhan bagi kita di sini. Sebab,

apabila kita mampu menyerap inti sari kontroversi tersebut besar kemungkinan kita dapat

memperoleh mengungkap makna sesungguhnya dari tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan,

dan kepastian hukum.

Konteks alam pikir Radbruch yang paling utama di sini adalah Neo-Kantianisme. Dari

namanya kita bisa mengidentifikasi bahwa paham ini terkait dengan gerakan pembaharuan

filsafat dan semangat Kant. Pemicu gerakan “kembali ke Kant” ini adalah dua kejadian yang

bertolak belakang namun yang semestinya sudah final di bawah traktat filsafat kritis Kant.24

Di pihak yang satu ada kelesuan metafisika idealisme dalam memproduksi pengetahuan. Di

lain pihak, membabi-butanya materialisme atas nama ilmu pengetahuan alam, teknologi, dan

ekonomi nasional. Cara berpikir ilmiah (rasionalistik-deterministik atau yang sering juga

dikenal sebagai paham saintisme) menjadi dominan dan menyingkirkan idealisme. Realitas

berdasarkan ilmu pengetahuan alam, teknologi dan ekonomi pada akhirnya direduksi menjadi

soal materi (materialisme). Padahal Kant sudah berupaya mendamaikan antara paham

rasionalisme Cartesian yang mengunggulkan rasio dan empirisme Hume yang

mengembalikan pemahaman akan realitas kepada pengalaman inderawi. Neo-Kantianisme,

demikian Copleston, adalah salah satu bentuk keyakinan akan kehebatan filsafat Kant yang

telah “dengan sangat teliti mengkritisi pengetahuan manusia” dan yang di abad ke-20 kiranya

dapat membantu untuk “menghindari meluapnya metafisika tanpa jatuh dalam paham

dogmatis para materialis”.25

24 Istilah dan moto “Kembali ke Kant!” (“Back to Kant!”) muncul dalam karya Otto Liebmann (1840-1912) yang

dipublikasikan pada 1865 di Stuttgart. Karya tersebut berjudul Kant und die Epigonen. Uraian tentang latar belakang historis dan gagasan-gagasan Neo-Kantianisme di sini kami rujuk pada dua sumber bacaan, yakni Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII. Modern Philosophy: From the Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, dan Nietzsche (New York: Image Books Doubleday, 1994), hlm. 361-373, dan Lewis White Beck (1967), “Neo-Kantianism” in Encyclopedia of Philosophy, 2nd Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert (Farmington Hills: Thomson Gale, 2006), pp. 539-546.

25 Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII, hlm. 361.

Neo-

Kantianis-

me dan

filsafat

hukum

Jerman

antara

akhir abad

ke-19 dan

awal abad

ke-20

Page 18: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

17

Mazhab Heidelberg yang mempengaruhi Radbruch adalah salah satu dari dua mazhab

kunci Neo-Kantianisme. Dari arah yang berbeda, terdapat pula mazhab atau sekolah Neo-

Kantianisme lain yang bernama Mazhab Baden. Kalau grup Heidelberg dipimpin oleh

Windelband dan Rickert dengan gagasan mengenai filsafat nilai dan refleksi atas ilmu-ilmu

budaya atau manusia, maka grup Baden diusung terutama oleh dua eksponennya, Hermann

Cohen (1842-1918) dan Paul Natorp (1854-1924). Keduanya memfokuskan diri pada tema

epistemologi, aplikasi logika pikiran dan matematika, serta kesadaran etis.

Kita patut memeriksa lebih lanjut refleksi Windelband dan Rickert di sini karena dari

keduanya-lah, Radbruch meminjam dan mengolah lebih lanjut ide-ide tentang filsafat nilai

dan dualisme metodis dalam ranah epistemologi dan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan

Windelband, filsafat nilai adalah sebuah penelusuran terhadap dasar-dasar anggapan dan

prinsip-prinsip berbagai keputusan nilai (value judgements). Windelband pun tertarik dengan

pertanyaan soal bagaimana hubungan penelusuran tersebut dengan kesadaran subjek yang

membuat keputusan. Setiap keputusan nilai pada dasarnya bersifat aksiologis. Artinya,

pikiran kita itu diarahkan oleh sebuah nilai atau norma tentang yang seharusnya. Dalam

pandangan Windelband, ada tiga bentuk keputusan nilai, yaitu logika, etika, dan estetika.

Ketiganya mengandaikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan.26 Tapi dari mana

nilai-nilai tersebut berasal? Apa landasannya? Di titik inilah masuk unsur transendental dari

norma dan kesadaran, yakni sejenis kerangka besar dan universal yang menjadi cantolan bagi

arahan nilai-nilai. Unsur transendental ini berada di balik kesadaran empiris dan menjadi

ikatan bersama (common bond) bagi setiap keputusan nilai yang dibuat individu. Filsafat nilai

ini sangat kentara dalam alur berpikir filsafat hukum Radbruch, terutama mengenai hakikat

hukum dan filsafat hukum yang berorientasi pada nilai-nilai.

Rickert, yang mengembangkan lebih lanjut pandangan Windelband, menyatakan

bahwa nilai-nilai memiliki ranahnya sendiri dalam realitas. Oleh karenanya, ranah itu pun

menjadi objek pengetahuan tersendiri yang berbeda dari objek ranah inderawi. Pembedaan ini

menentukan bagaimana kesadaran dan pengetahuan subjek sampai pada keputusan nilai. Pada

ranah inderawi, subjek mengetahui objek realitas yang ada (eksistensi) melalui operasi ilmu

pengetahuan. Pada ranah nilai, subjek mengetahui sekaligus memaknai objek inderawi

bersamaan dengan objek non-inderawi berupa pengalaman hidup. Di sini penilaian bukan

muncul melalui persepsi melainkan pemahaman (Verstehen) terhadap berbagai peristiwa

26 Frederick Copleston, A History of Philosophy. Volume VII, hlm. 364.

Page 19: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

18

(sejarah, kesenian, moral, dan institusi-institusi) sebagai objek kebudayaan.27 Dari Rickert,

Radbruch belajar bahwa ilmu pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan hukum, terhubung

dengan nilai-nilai kebudayaan. Nilai dari hukum tidak lain adalah nilai dari kebudayaan.

Dualisme metodis yang diusung Rabruch-pun bertolak dari pemilahan nilai dan realitas yang

merujuk pada pandangan Rickert.

Posisi pemikiran lain yang juga langsung mempengaruhi filsafat hukum Radbruch,

namun tidak langsung terkait dengan Mazhab Neo-Kantianisme versi Windelband dan

Rickert di atas, berasal dari Weber. Darinya-lah Radbruch berhutang soal gagasan

relativisme. Sebagaimana Weber, Radbruch pun meyakini (sambil meneruskan wawasan

Windelband dan Rickert tentang nilai) bahwa nilai-nilai tidak bisa dibuktikan keberadaannya

secara ilmiah lantaran itu semua adalah urusan hati nurani (Gewissen) dan bukannya urusan

ilmu pengetahuan (Wissenchaft).28

Selain konteks alam pikir di atas, hal yang juga tidak bisa dilewatkan, adalah

kontroversi seputar pandangannya terhadap makna tri-tujuan hukum, keadilan, dan hakikat

filsafat hukum. Kontroversi yang dimaksud di sini adalah pertentangan pendapat antar

beberapa komentator dan penafsir Radbruch mengenai benar tidaknya telah terjadi perubahan

posisi Radbruch: dari positivis ke teori hukum kodrat; dari prioritas pada kepastian hukum

menjadi pada keadilan; dari norma hukum ke moralitas sebagai landasan validitas hukum.

Spaak meringkas pandangan umum yang berlaku tentang ada dua jenis posisi teoritis

Radbruch yang berbeda ini.29 Bahwa ada Radbruch, seorang positivis hukum dan relativis

moral sebelum masa Perang Dunia II, yang menyatakan tidak adanya hubungan konseptual

antara hukum dan moralitas, serta adanya kerangka moral sebagai landasan validitas

keputusan moral itu sendiri. Lantas terdapat pula pandangan Radbruch, pasca Perang Dunia

II, yang menegaskan adanya hubungan konseptual antara hukum dan moralitas.

Persoalannya di sini ialah kalau betul ada “dua Radbruch” yang berbeda, maka

konsekuensi logis darinya adalah ada pula dua pandangan berbeda tentang tri-tujuan hukum:

keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Pertanyaannya: mana di antara ketiganya yang

akhirnya menjadi nilai dasar bagi hukum? Kebingungan seperti ini, menurut kami, pada kasus

problem kinerja ilmiah ilmu hukum Indonesia, juga muncul dalam ekspresi tentang bagian

mana dari ketiga hal itu yang harus didahulukan, meski kemungkinan besar pertanyaan

tersebut tidak dimengerti seturut kontroversi “dua Radbruch”. Tendensi reduksi pengemban

27 Lewis White Beck (1967), “Neo-Kantianism”, hlm. 544. 28 Wolfgang Friedman (1967). “Gustav Radbruch”, hlm. 229. 29 Torben Spaak, “Meta-Ethics and Legal Theory”, hlm. 262.

Kontroversi

tentang

adanya

“dua

Radbruch”

Page 20: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

19

ilmu hukum Indonesia, contohnya saja, membuat kita senang berargumen dengan lumayan

kacau bahwa hukum haruslah adil, sambil tetap pasti, namun asal bermanfaat.

Kami di sini tidak bermaksud untuk masuk ke dalam diskursus dan perdebatan soal

apakah pandangan Radbruch sebelum dan sesudah perang merupakan sebuah kontinuitas

(dan karenanya selaras) atau sebaliknya suatu diskontinuitas (dan karenanya ada pergeseran

posisi pemikiran hukum). Namun tidak ada salahnya untuk memperhatikan pendapat pihak

yang memandang adanya perubahan posisi Radbruch dari yang positivistik ke yang

menyatukan hukum dengan moralitas. Hart, raksasa positivisme hukum kontemporer dari

Inggris, adalah salah seorang yang paling gamblang berargumentasi bahwa telah terjadi

pergeseran tersebut. Hart berargumen bahwa kisah perubahan posisi Radbruch adalah bentuk

kritik terhadap doktrin pemisahan (separasi) hukum dan moralitas.30 Satu hal yang perlu

disadari, doktrin pemisahan hukum dan moralitas di atas lahir dari tradisi paham

utilitarianisme yang diusung terutama oleh Jeremy Bentham dan John Austin. Kembali ke

Radbruch, menurut Hart, ia adalah salah satu dari barisan pemikir Jerman yang

berkonfrontasi dengan doktrin separasi a la utilitarianisme. Mereka ini:

“bersikeras bagi perlunya penggabungan apa yang para Utilitarianis pisahkan karena separasi

inilah yang paling penting di mata para Utilitarianis; sebab mereka [para pemikir Jerman,

termasuk Radbruch] disita perhatiannya dengan masalah yang dikemukakan oleh keberadaan

hukum-hukum yang jahat secara moral.”31

Dari kaca mata Hart setidaknya diketahui bahwa Radbruch, pada akhirnya, menolak

doktrin pemisahan hukum dan moralitas yang bertumpu pada utilitarianisme Inggris. Hal ini

penting untuk digarisbawahi sekalipun bukan satu-satunya yang penting. Bagaimanapun juga

kontroversi “dua Radbruch” di atas tetap berlaku. Dengan menerima adanya kontroversi ini

serta mengikuti alur konteks alam pikir Radbruch, maka pemahaman yang lebih jernih atas

tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum-pun mesti beranjak dari ikhtiar

mengdentifikasi rival-rival pemikiran Radbruch. Pertanyaannya sekarang: apa yang

sebenarnya menjadi pokok pergulatan pemikiran filosofis Radbruch tentang hukum menurut

konteks dan kontroversi di sini?

30 Dari uraian Hart tentang kemunculan doktrin tersebut dalam sejarah pemikiran dan perubahan sosial di

Inggris akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, kita bisa mengidentifikasi tiga corak dasarnya. Pertama, perlunya memilah secara tegas dan jelas hukum sebagaimana adanya dari hukum sebagaimana yang seharusnya. Kedua, dari sekadar fakta bahwa sebuah aturan melanggar standar-standar moral tidaklah lantas bisa disimpulkan bahwa aturan tersebut bukan aturan hokum. Ketiga, sebaliknya, dari sekadar fakta keberadaan sebuah aturan dikehendaki atas dasar moralitas tidak berarti aturan tersebut menjadi aturan hukum. H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy, hlm. 50 dan 55.

31 H.L.A. Hart, Essays in Jurisprudence and Philosophy, hlm. 73. Kalimat di dalam tanda dalam kurung oleh kami penulis.

Page 21: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

20

Menurut hemat kami, pergulatan Radbruch berkenaan dengan cara pandang filosofis

terhadap hukum. Radbruch memulai refleksinya dengan sebuah pandangan tentang hakikat

filsafat hukum. Filsafat hukum dalam pandangannya merupakan cara pandang terhadap

hukum sebagai nilai budaya.32 Karakteristik filsafat hukum adalah filsafat nilai yang merujuk

ke pemikiran Windelband dan Rickert. Logika, etika, dan estetika menandai laku

mengevaluasi (evaluating attitude) yang muncul dari karakter tersebut. Hakikat filsafat

hukum yang evaluatif ini kemudian menentukan pula hakikat hukum atau yang, dalam kata-

kata Radbruch sendiri, disebut sebagai ide hukum (idea of law). “Ide sesungguhnya dari

hukum … yang merupakan prinsip konstitutif dari dan juga standar evaluasi bagi, realitas

hukum, mengacu pada sikap mengevaluasi.”33 Namun dari asumsi filosofis yang Radbruch

gali dan tetapkan, kebudayaanlah yang menandai hakikat hukum. “Hukum adalah sebuah

fenomena kultural, artinya, sebuah fakta yang terkait pada nilai”.34 Maka, secara konseptual

pemahaman terhadap hukum tampil dalam laku yang terkait nilai (value-relating attitude).

Dari gagasan terakhir ini – bahwa hakikat hukum secara konseptual adalah untuk

merealisasikan ide hukum – muncullah pernyataan yang sangat terkenal dari Radbruch bahwa

“Hukum mungkin saja menjadi tidak adil (summum ius – summa injuria); tapi hal itu adalah

hukum hanya karena maksudnya menjadi adil.”35

Dari konteks dan kontroversi, pergulatan Radbruch tentang hakikat filsafat hukum di

atas, dapat ditunjukkan penolakannya terhadap paham filosofis yang menyingkirkan

pemaknaan dan pengaitan hukum dengan nilai etis.36 Kita bisa memahami sekarang bahwa

32 Radbruch memilah empat jenis laku filosofis menurut asumsi filosofis yang membedakan “nilai” dan

“realitas”. Dasar pemilahan ini adalah pola-pola hubungan yang terbentuk antara nilai dan realitas dalam pengalaman kita. Itulah alasannya mengapa Radbruch menyebutnya sebagai laku (attitude). Mengikuti uraian Radbruch, empat laku tersebut kemudian memunculkan tiga cara pandang tentang hukum. Dua laku di antaranya saling terkait erat dan kami terangkan di paragraf ini. Dua laku lainnya adalah laku buta nilai (value-blind attitude) dan laku penaklukan nilai (value-conquering attitude). Laku buta nilai membuat kita hanya menerima eksistensi yang ada tanpa menilai tujuannya. Menurut Radbruch, hukum tidaklah mungkin untuk dimengerti dengan laku nir-nilai seperti ini. Sementara laku penaklukan nilai memainkan perannya dalam pandangan religius terhadap hukum. Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 51-52. Chroust menyatakan bahwa tiga laku (terkait nilai, mengevaluasi nilai, dan penaklukan nilai) bersifat filosofis sedangkan laku buta nilai dengan metode realistic membantatah segala bentuk pengaruh nilai dalam refleksi filsafat hukum.

33 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 52. Anton-Hermann Chroust, “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch”, The Philosophical Review, Vol. 53, No. 1 (Jan. 1944), pp. 25.

34 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 52. 35 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 52. Magnis-Suseno telah mengutip pernyataan Radbruch ini ketika

ia membicarakan keadilan sebagai ciri hukum dalam teksnya tentang etika politik. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, hlm. 82.

36 Chroust menyatakan bahwa Radbruch, sebagaimana Kant dalam karya-karya etikanya, menolak segala bentuk empirisisme, positivisme, pragmatisme, historisisme, atau pun evolusionisme. Paham-paham besar filosofis ini, menurut Chroust, menyatukan dua metode pemahaman yang sejatinya berbeda dan saling

Page 22: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

21

apa yang Radbruch hadapi adalah gagasan-gagasan yang muncul dan berkembang pada

zamannya yang bertendesi menampik aspek kontemplatif, substantif, dan bertujuan

(purposive) dari filsafat hukum. Seperti yang dipaparkan di bagian berikutnya nanti,

pencirian filsafat hukum dalam pandangan Radbruch bertopang pada dua konsep utama,

yakni dualisme metodis dan relativisme. Tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan

kepastian hukum pun tidak lepas dari titik tolak pandangan di atas. Radbruch

mempertahankan titik tolak tersebut dalam pergulatannya dengan “gerhana total kontemplasi

nilai-nilai hukum melalui kontemplasi realitas hukum.”37

Gejala gerhana (kegelapan) tersebut terjadi karena ada tarikan atau tegangan beberapa

aliran pemikiran hukum.38 Pada satu titik, seperti yang telah terindikasikan dari latar belakang

Neo-Kantianisme, pemakaian metode ilmu pengetahuan yang murni empiris terhadap realitas

hukum menguat. Di titik yang lain, eksistensi Mazhab Historis mengalami kontradiksi dalam

hal metode evaluasi hukum, yakni antara “irasionalisme reaksioner” yang menempuh jalan

evaluasi sejarah dan “rasionalisme Hegelian” yang hendak menjustifikasi nilai-nilai hukum

berdasarkan perkembangan materialistik. Kontradiksi tersebut terjadi lantaran asumsi metode

yang monistik alias tidak memisahakan realitas dari nilai. Namun yang menjadi penentu akhir

dalam pergulatan ini adalah pendekatan yang murni positivistik terhadap hukum, yakni yang

berupa pengembangan teori konsep-konsep umum dari hukum. Di titik ini, filsafat hukum

menjadi filsafat hukum positif. Rudolf von Jhering (1818-1892) merupakan tokoh yang patut

memperoleh penghargaan tertinggi atas jasanya menggenapkan teori hukum umum. Hukum

pun diartikan sama dengan preskripsi.

Radbruch kemudian muncul dengan misi mengatasi monisme metodis. Caranya jelas

dengan mengajukan pandangan dualisme metodis. Kekuatan dualisme metodis ini, dalam

pandangan Radbruch, adalah pengkontemplasian dua hal, realitas hukum dan nilai hukum.

Lebih lanjut, langkah berikutnya dari pengadopsian dualisme tersebut menunjukkan adanya “

… keharusan untuk mengatasi utilitarianisme dari tujuan-tujuan parsial dengan mengajukan

sebuah ide tujuan yang final, absolut.”39 Didorong oleh kekuatan gagasan itu dan juga

pengaruh ajaran teori hukum kodrat Rudolf Stammler (1856-1938), Radbruch tampil ke

independen, yakni konsep-konsep nilai etis dan dasar-dasar ilmiah (scientific) dari fakta empiris. Anton-Hermann Chroust, “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch”, pp. 25.

37 Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 352. 38 Tentang hal ini, kami merujuk pada uraian Hasso Hofmann tentang keterlibatan Radbruch dalam perjalanan

filsafat hukum Jerman abad ke-19. Hasso Hofmann, “From Jhering to Radbruch”, hlm. 352-354. 39 Gustav Radbruch, Grundzüge der Rechtsphilosophie, hlm. 37, sebagaimana dikutip oleh Hasso Hofmann,

“From Jhering to Radbruch”, hlm. 353.

Page 23: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

22

gelanggang pergulatan filsafat hukum. Ia mengemukakan refleksi mengenai isi dari “hukum

yang benar” (right law), yakni yang mengandung keadilan sebagai tujuan pamungkasnya.

Sampai di sini kita telah mempelajari konteks alam pikir dan kontroversi

perkembangan filsafat hukum Radbruch. Dari dua topik tersebut sekiranya kita dapat

mengenal secara sungguh-sungguh latar belakang, dasar-dasar anggapan, dan keterlibatan

Radbruch dalam dunia pemikiran abad ke-19 dan ke-20 di Barat pada umumnya dan di

Jerman pada khususnya. Konteks alam pikir Radbruch, sebagaimana dijelaskan di atas,

ternyata terkait erat dengan pengaruh Neo-Kantianisme Mazhab Heidelberg. Sementara

kontroversi yang muncul adalah perdebatan tentang adanya “dua Radbruch”. Tema yang

terakhir ini membawa kita pada setting pergulatan filsafat hukum.

Lantas apa faedahnya mengurai berbagai hal ini bagi pemahaman yang lebih seksama

atas tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum? Berdasarkan konteks dan

kontroversi filsafat hukum Radbruch, sudah barang tentu terdapat kompleksitas tertentu yang

sangat berharga dari pemikirannya untuk direduksi. Kecenderungan untuk mereduksi

membuat dunia pengembanan ilmu hukum Indonesia meleset dalam memaknai tri-tujuan

hukum di atas. Implikasi metodologisnya adalah instrumentalisme dan utilitarianisme tidak

hanya dalam memaknai tapi juga merealisasikan hukum, keadilan, dan moralitas. .

3.3. Isi Ide Hukum

Pada bagian ini hendak diklarifikasi apa yang sebenarnya dimaksud dengan tri-tujuan

hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Sebagaimana telah ditunjukkan di atas,

menurut hemat kami, ketiganya harus dipahami dalam kaitan dengan konteks dan kontroversi

yang muncul seputar perkembangkan dan pergulatan filsafat hukum Radbruch. Gagasan-

gagasan teori hukum Radbruch berada dalam diskursus antara teori hukum kodrat dan

positivisme hukum. Kendati begitu, posisi Radbruch adalah mempertahankan dan

mengembangkan pandangan keadilan substansial (substantial justice) dalam kaitannya

dengan validitas legal atau keabsahan hukum, baik sejak sebelum pengalamannya akan

Perang Dunia II maupun sesudahnya.40 Perpaduan tesis keadilan substansial ini dengan

konsep dualisme metodis serta relativisme menjadikan filsafat hukum Radbruch tidak mudah

untuk dikelompokan ke dalam paham naturalis (hukum kodrat) atau justru positivisme

hukum. Maka tri-tujuan hukum Radbruch perlu ditafsir ulang dalam cahaya perpaduan

tersebut. Dari sudut ini, problematikanya adalah soal sejauh apa tri-tujuan hukum tersebut

40 Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”. Weismann di sini telah

mengindikasikan bahwa Radbruch mengikuti pendekatan positivistik tapi sambil memegang relativisme.

Page 24: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

23

dijadikan tumpuan dunia pengembanan ilmu hukum kita. Kuncinya, menurut kami, adalah

pada pemahaman tentang keadilan substansial dalam filsafat hukum Radbruch.

Klarifikasi di sini dimulai dengan masalah pengertian dan hubungan elemen-elemen

tri-tujuan hukum sebagai ide hukum. Radbruch mengungkapkan perihal “keadilan”,

“kebertujuan”, dan “kepastian hukum” ketika ia membuat antinomi ide hukum (idea of law).

Antinomi tersebut mengacu pada pengkonsepsian apa itu hukum menurut Radbruch. Hukum

merupakan konsep yang terkait dengan nilai dan pengejawantahannya dalam realitas itupun

melayani nilai itu. Ide hukum adalah apa yang mengarahkan, mengorientasikan pelayanan

hukum terhadap nilai.41 Radbruch meyakini bahwa elemen ide hukum yang pertama dan

utama adalah “keadilan” (justice).

Namun ia juga mengamati bahwa keadilan tidak menetapkan apa yang disebut atau

dikualifikasi sebagai adil. Alhasil kepada ide hukum perlu ditambahkan elemen

“kebertujuan” (atau yang dalam terjemahan bahasa Inggris dari kata-kata Radburch sendiri

disebut dengan expediency atau suitability for a purpose, bahkan purposiveness).42 Di sinilah

paham relativisme memainkan perannya, yaitu untuk menjawab apa yang menjadi tujuan

hukum, sebagaimana akan ditunjukkan sebentar lagi.

Lebih lanjut, Radbruch menyatakan bahwa bagaimanapun juga relativisme tidak dapat

dipertahankan terus-menerus, sebagaimana yang juga Meuwissen sudah tunjukkan. Sebab,

perlu ada tatanan hukum yang tertib. Hukum, maka itu, adalah hukum positif tapi bukan demi

ketertiban itu sendiri melainkan demi “hukum yang benar” alias, sebagaimana yang sudah

kami singgung, demi keadilan. “Kepastian hukum” (legal certainty) adalah elemen ide

hukum dalam hal positivitas hukum tersebut.

Penetapan elemen-elemen ide hukum di atas kemudian memunculkan persoalan

bagaimana ketiganya saling berhubungan atau yang dikenal sebagai “problem formula

Radbruch”. Pada dasarnya Radbruch sudah mengatakan bahwa “tiga elemen ide hukum itu

mengasumsikan satu dengan yang lain – tapi pada saat yang bersamaan mereka bertentangan

satu dengan yang lain.”43 Satu hal yang pasti, ketiga elemen ide hukum tersebut senantiasa

berada dalam tegangan (tension). Maka bisa dikatakan bahwa Radbruch tidaklah hendak

membakukan rumusan bahwa, misalnya, keadilan adalah prioritas dari kebertujuan dan atau

41 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 73. Di sini kita dapat mengingat kembali pokok-pokok yang sudah

Arief Sidharta terjemahkan perihal dalil filsafat hukum menurut Meuwissen. D.H.M. Meuwissen, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terj. B. Arief Sidharta (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 19-21.

42 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 108. Untuk selanjutnya kami menggunakan kata “kebertujuan” untuk menggantikan kata “kemanfaatan”.

43 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 109.

Page 25: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

24

kepastian hukum. Bagi Radbruch, ketiga elemen ide hukum dalam formulanya menampilkan

pertentangan berbagai karakter dari cara pandang dan sikap terhadap hukum. Duduk perkara

yang sesungguhnya adalah soal dinamika tri-tujuan hukum tersebut dalam kaitannya dengan

gagasan kunci Radbruch tentang dualisme metodis, relativisme, dan juga hubungan hukum

dan moralitas.

Kata dinamika di sini merepresentasikan pokok dari konteks dan kontroversi

pemikiran Radbruch. Bagaimanapun juga kisah hidup dan keterlibatan intelektual Radbruch

turut menentukan konsepsi teori hukumnya. Inti perhatian teorinya adalah mengenai tujuan

hukum, yakni keadilan sebagai nilai absolut yang dilayani oleh hukum. Maka merujuk pada

Weismann, isi ide hukum di sini berkenaan dengan pembentukan hukum dan dengan

keabsahan hukum.44 Adanya dinamika tampil dalam perubahan penekanan yang diberikan

Radbruch terhadap landasan dua hal tersebut.

Sebelum meninjau apa dan bagaimana perubahan penekanan tersebut, kita perlu

mengklarifikasi terlebih dahulu perihal dualisme metodis, relativisme, dan hubungan hukum

dan moralitas. Seperti telah ditegaskan sebelumnya dualisme metodis berakar dari komitmen

Kantian Radbruch yang memisahkan bidang “yang seharusnya” (Sollen atau ought) dengan

bidang “yang ada” (Sein atau is). Esensi dualisme metodis ini, menurut Radbruch, adalah

aturan logika bahwa pernyataan “yang seharusnya” tidak dapat diturunkan atau didasarkan

dari pernyataan “yang ada”.45 Maksud Radbruch mengemukakan konsepsi ini adalah untuk

menegaskan ciri evaluatif dari pemikiran tentang hukum. Di dalam pergulatan pemikiran itu

terdapat ideal hukum yang Radbruch umpamakan seperti ide figur patung Daud yang belum

terbentuk dari materi berupa bongkahan batu marmer namun sudah terbayang dalam visi

pemahatnya, Michaelangelo. Ide hukum seperti itulah yang memberi penilaian “yang

seharusnya” terhadap hukum dan filsafat hukum yang bertugas melakukannya.

Ada pun relativisme berkenaan dengan langkah bagaimana penilaian di atas

dilaksanakan. Menurut metode relativisme, penilaian menurut ide hukum bukan ditentukan

dari sesuatu yang absolut baik atau buruk, benar atau salah. Apa “yang seharusnya” bukan

44 “... even before Hitler came to power there was a continuous presence of the idea of justice as an aim which

legislators always should at least strive for. In that sense, the adaptation merely consists in an up-grading of the role of fundamental justice to a validity claim... .” Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”.

45 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 53.

Page 26: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

25

diturunkan dari kriteria yang tertinggi melainkan dari wujud-wujud nilai tertentu.46 Metode

relativisme menampik pendeterminasian nilai berdasarkan penetapan ilmiah.

Selanjutnya tentang hubungan hukum dan moralitas, Radbruch pun memandangnya

menurut pendekatan filsafat nilai terhadap hukum. Cukup pasti bahwa Radbruch membuat

pemilahan hukum dan moralitas tapi baginya hukum tetaplah berkomitmen bagi keadilan.

Dari titik tolak inilah muncul diskusi tentang pembentukan hukum dan prinsip keabsahannya.

Dengan kata lain, masalah hubungan hukum dan moralitas adalah masalah ada tidaknya

keinginan membentuk hukum yang adil. Pertanyaan pokoknya ialah dari mana datangnya

keinginan tersebut? Apa landasannya? Upaya mencari jawaban atas masalah ini membawa

kita kembali pada pemaknaan tri-tujuan hukum: keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum.

4. Catatan Kritis

Bagian berikut ini adalah sebuah catatan kritis menyangkut dua hal yang sudah

dipaparkan panjang lebar sebelumnya. Hal yang pertama adalah soal suara asli dari filsafat

hukum Radbruch. Hal yang kedua adalah soal pemahaman terhadapnya yang sesuai dengan

konteks keindonesiaan. Dari hal yang terakhir ini muncul pertanyaan: apa yang bisa dipetik

dari ajaran filsafat hukum Radbruch bagi cara berhukum kita di Indonesia?

Menyangkut hal yang pertama. Dari uraian sebelumnya, kita melihat adanya

keterkaitan antara konsepsi tri-tujuan hukum Radbruch dan masalah pembentukan hukum

yang adil. Berkenaan dengan tri-tujuan hukum sendiri dan juga berkaca dari problematika

dalam dunia pengembanan ilmu hukum Indonesia, pertanyaan yang masih “menggantung”

adalah tentang formula Radbruch. Dikatakan menggantung karena meskipun di atas sudah

diterangkan bahwa ketiganya selalu bertegangan satu sama lain, kita tetap dapat menemukan

adanya pola-pola formula ide hukum yang dinyatakan oleh Radbruch sendiri. Pola-pola

formula Radbruch tersebut, seperti yang kami paparkan berikut ini, menyangkut landasan

keabsahan hukum atau validitas legal. Dalam pandangan Radbruch, keadilan substansial

merupakan landasan keabsahan tersebut. sekaligus titik berat bagi formula ide hukum.

Apa yang dimaksud dengan keadilan substansial itu? Terdapat beberapa langkah

pendekatan terhadap pertanyaan ini. Langkah yang pertama adalah dengan menengok

kembali konteks dan kontroversi seputar teori-teori hukum Radbruch. Sesuai dengan ajaran

Neo-Kantian yang Radbruch ikuti, terdapat “nilai hukum” (legal value) yang memiliki fungsi

46 Gustav Radbruch, Legal Philosohy, hlm. 53. Bdk. Anton-Hermann Chroust, “The Philosophy of Law of Gustav

Radbruch”, hlm. 28.

Page 27: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

26

konstitutif dalam menentukan keabsahan hukum.47 Hukum dikatakan sah jika dan hanya jika

ia ditentukan oleh nilai konstitutif tersebut. Kita telah melihat bahwa ide hukumlah yang

mengemban peran konstitutif ini. Namun ajaran Neo-Kantian itu pula yang membuat ide

hukum Radbruch sebagai nilai konstitutif bekerja justru secara formal. Artinya, keadilan,

kebertujuan, dan kepastian hukum lebih merupakan bentuk-bentuk daripada isi yang

menentukan keabsahan hukum. Kalau begitu apa yang menentukan isi atau substansi bagi

keabsahan hukum? Jawabannya adalah proses politis.48

Setidak-tidaknya ada dua implikasi dari karakter formal ide hukum ini. Pertama,

keabsahan hukum bergantung pada pemenuhan prosedur pembuatan hukum di tangan

legislator.49 Kedua, titik berat ide hukum terletak pada elemen kebertujuan. Implikasi yang

disebut terakhir ini perlu dijelaskan lebih lanjut. Radbruch sendiri dalam teks Grundzüge

edisi ketiga menyatakan bahwa “eksistensi tatanan hukum lebih penting daripada keadilan

dan kebertujuan … “ sehingga tugas pertama hukum adalah menjaga kepastian hukum.50

Pandangan Radbruch ini apabila dibaca secara menyeluruh bukan berarti menyingkirkan

sama sekali keadilan dan kebertujuan. Justru dalam rangka menjaga kepastian hukum itu,

kebertujuan memainkan peran yang sangat penting, yakni untuk “mengoperasionalkan”

keadilan. Kebertujuan di sini berfungsi sebagai semacam alat ukur bagi kesetaraan yang mau

direalisasikan oleh elemen keadilan.

Langkah pertama di atas mengemukakan konsep keadilan formal dari Radbruch.

Meminjam kata-kata Weismann, keadilan formal tersebut bagaikan “botol kosong” tanpa isi

nilai apa pun (disinterested).51 Langkah berikutnya menunjukkan bahwa Radbruch

menggeser konsepsi keadilan formalnya menjadi substansial. Konteks pengalaman hidup

Radbruch pasca Perang Dunia II memang turut mempengaruhi pergeseran ini. Namun kami

tidak bermaksud untuk ikut dalam perdebatan soal “dua Radbruch” yang positivis atau yang

naturalis. Alasan kami menerima adanya pergeseran ke keadilan substansial ini didasarkan

pada posisi filsafat hukum Radbruch yang sedari awal berkomitmen teguh pada keadilan.

47 Alexander Somek, “German Legal Philosophy and Theory in the Nineteenth and Twentienth Centuries” in A

Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Second Edition, ed. Dennis Patterson (West Sussex: Blackwell Publishing Ltd, 2010), pp. 345-346.

48 Alexander Somek, “German Legal Philosophy and Theory in the Nineteenth and Twentienth Centuries”, pp. 346.

49 Ada dua syarat validitas legal menurut Radbruch. Pertama, kesesuaian dengan proses legislatif yang ada, seperti pembuatan keputusan parlemen yang berdasarkan pada voting mayoritas. Kedua, penerapan hukum yang telah dibuat tersebut. Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie, hlm. 302 sebagaimana dikutip oleh Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”.

50 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 108. 51 Paul Weismann, “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law”.

Page 28: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

27

Mengacu pada gagasan filsafat nilai, maka nilai absolut bagi hukum menurut Radbruch

adalah adil.52 Titik berat ide hukum di sini bukan lagi pada kebertujuan melainkan keadilan

itu sendiri. Pembentukan hukum yang mencederai kesetaraan orang-orang yang menjadi

subjek pengaturannya tidaklah sah secara legal.

Konsepsi keadilan substansial menunjukkan bahwa tujuan hukum yang pertama dan

utama menurut Radbruch adalah jaminan atas perlakuan yang setara di hadapan hukum.

Dalam formula ide hukum Radbruch, elemen keadilan (substansial) menjadi titik berat bagi

pembentukan hukum dan klaim keabsahannya. Dalam bentuk pernyataan yang lain,

kesetaraan sebagai keadilan adalah nilai yang harus terwujud menurut ide hukum.53

Dari Radbruch kita dapat memetik pemahaman bahwa tujuan hukum yang

sesungguhnya adalah pemenuhan nilai-nilai etis. Pengertian apa itu hukum pun tidak bisa

dilepaskan dari ide dasarnya yang terbagi ke dalam tiga elemen keadilan, kebertujuan, dan

kepastian hukum. Elemen-elemen tri-tujuan hukum ini menurut jalan pikiran Radbruch

sendiri jelas menampik paham utilitarianisme. Berkaca dari situ, maka keliru apabila kita

memahami tri-tujuan hukum dalam cahaya utilitarianis. Lebih lanjut, dengan paham bahwa

kesetaraan merupakan inti keadilan dalam ide hukum maka refleksi ilmu hukum pun

sejatinya bertumpu pada penghormatan hak. Pemahaman seperti ini sekalipun didasari pada

pembacaan dari tangan kedua karya-karya Radbruch (dalam bahasa Inggris) menunjukkan

bahwa pemikirannya sendiri tidak sebatas apa itu tujuan hukum.

Ide hukum yang dibaca sebagai cita hukum nasional dan yang menjadi tumpuan

struktur ilmu hukum menurut Arief Sidharta pun sekiranya lebih tepat dimaknai sesuai alur

berpikir Radbruch sendiri ini. Cita hukum yang dijelmakan sebagai ideologi Pancasila

barangkali justru membuat pemahaman atas tujuan hukum menjadi licin. Akibatnya, tumpuan

ilmu hukum mudah terpeleset menjadi pandangan yang mengedepankan kemanfaatan umum

yang utilitarianis, entah atas nama “keadilan” atau “ketertiban”. Asumsi yang berlaku dalam

pandangan itu adalah penyamaan apa yang negara buat atau tentukan sebagai apa yang baik.

Kami pikir di sinilah letak bahaya nomor satunya, yakni semacam formalisasi,

instrumentalisasi, atau mekanisasi hukum yang dilanggengkan oleh disiplin ilmunya sendiri

melalui metode kinerja ilmiah. Inspirasi dari ajaran Radbruch dapat ditempatkan dalam

kerangka pandangan yang mengkritisi bahaya tersebut.

52 Gustav Radbruch, Legal Philosophy, hlm. 91. 53 Bdk. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, hlm. 112-119. Magnis-Suseno di sini menguraikan tiga nilai dasar

dalam hukum, yakni kesamaan, kebebasan, dan solidaritas. Baginya, tiga nilai dasar ini berimplikasi bagi syarat sahnya (kriteria validitas legal) hukum.

Page 29: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

28

5. Penutup

Ada dua pokok besar yang bisa kita simpulkan. Pokok yang pertama mengenai kinerja

ilmiah dunia pengembanan ilmu hukum Indonesia. Terlihat betapa kompleksitas pemikiran

Radbruch telah direduksi sedemikian rupa. Tendesi reduksionis ini kita temukan dalam

kinerja ilmiah para pembelajar dan ahli hukum Indonesia yang suka mengutip tanpa disertai

upaya pengenalan yang mendalam atas suatu teori hukum beserta sang penteorinya. Dari

sinilah muncul instrumentalisme hukum sebagai akibat metodologis dari pembiasaan dan

kebiasaan pengembanan ilmu hukum yang eklektik. Instrumentalisme tersebut berdampingan

erat dengan utilitarianisme yang menomorsatukan kemanfaatan tanpa mengindahkan rasa

keadilan masyarakat maupun kepastian hukum. Dalam kaitannya dengan konsep tri-tujuan

hukum Radbruch, ternyata tidak terlalu tepat memahami cita-hukum sebagai sesuatu yang

mengandung ide kemanfaatan. Tri-tujuan hukum menurut kami tidaklah bertitik berat pada

kemanfaatan dalam arti yang utilitarianis. Hal ini menyangkut pokok yang kedua.

Pokok yang kedua mengenai makna tri-tujuan hukum menurut Radbruch. Ada

beberapa hal yang dapat kita garis bawahi. Pertama, tujuan hukum dalam pandangan

Radbruch adalah perwujudan “kebaikan etis” karena hukum melayani nilai etis berdasarkan

gagasan filsafat nilai Neo-Kantian. Kedua, tujuan hukum tersebut terwujud dalam tiga

elemen ide hukum yang disebut sebagai tri-tujuan hukum. Ketiga, konteks dan kontroversi

seputar filsafat hukum Radbruch memperlihatkan bahwa ia jelas dan tegas menolak

utilitarianisme. Keempat, sebagai implikasi dari yang disebut terakhir, tri-tujuan hukum lebih

tepat dipahami sebagai keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum di mana titik beratnya

ada pada penjaminan kesetaraan sebagai keadilan substansial dalam hukum.

Bahwa Radbruch mengajarkan kita banyak hal tentang filsafat hukum adalah sesuatu

yang gamblang berdasarkan upaya penelusuran jejak-jejak pemikirannya yang telah

dilakukan dalam tulisan ini. Akan tetapi di sisi lain adalah gamblang juga bahwa gagasan-

gagasan Radbruch menjadi keliru dimengerti apabila ia dipandang secara reduktif, yakni

sebagai penganjur utilitarianisme yang menekankan kemanfaatan dan menyingkirkan

kepastian hukum serta keadilan. Dari apa yang telah kami bentangkan soal pengenalan

terhadap sosok dan teori-teori hukum Radbruch, kami mengemukakan bahwa tri-tujuan

hukum lebih tepat dibaca sebagai keadilan, kebertujuan, dan kepastian hukum. Tri-tujuan

hukum adalah isi dari ide hukum dan bukan “tujuan hukum” itu sendiri sebagaimana yang

selama ini dipahami secara umum dalam peredaran wacana ilmu hukum kita. Ide hukum

merupakan orientasi etis yang menekankan penjaminan dan perlindungan kesetaraan dalam

hukum.

Page 30: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

29

Membaca ulang filsafat hukum Radbruch sekiranya membuka pandangan kita bahwa

kinerja ilmiah dunia pengembanan ilmu hukum kita telah keliru – untuk meminjam kata-kata

Sunaryati Hartono – “mempelajari jalan pikiran” salah seorang pakar asing, yang tidak hanya

berpengaruh dalam dunia pemikiran hukum abad ke-20 tapi juga, yang secara khusus bahkan

jejak-jejaknya ada dalam perkembangan dunia ilmu hukum Indonesia. Apakah buruknya

kinerja ilmiah dunia pengembanan ilmu hukum terjadi secara keseluruhan, dalam arti bahwa

jalan pikiran dan teori semua pakar orang Indonesia sendiri menderita reduksionisme,

eklektisisme, dan instrumentalisme, adalah pertanyaan yang jawabannya terbuka untuk

diargumentasikan lebih lanjut. Bagaimana dengan jalan pikiran dan teori “law as a tool of

social engineering” yang dikait-kaitkan dengan tokoh sociological jurisprudence Amerika

abad ke-20 dan yang kerap dirujuk berdampingan dengan “teori hukum pembangunan”

Mochtar Kusuma-Atmadja yang termasyhur itu? Apa betul positivisme hukum yang suka kita

gugat itu merupakan paham yang sedemikian salah, kaku, dan dinginnya terhadap aspek

keadilan? Padahal Herbert Hart, orang Inggris yang merupakan tokoh kunci positivisme

hukum kontemporer, mengemukakan adanya “kandungan minimum moralitas” dalam

hukum. Ini hanyalah sekelumit ihwal bagi proyek mengenal sungguh-sungguh teori-teori

hukum yang turut mempengaruhi dunia pengembanan ilmu hukum kita. Barangkali

kehendak, kalau tidak mau dibilang ambisi, untuk usaha pengenalan seperti itulah yang perlu

kita tumbuhkan, kendati di dalam hatinya Sunaryati Hartono sudah tersentak akibat betapa

mendesaknya pelaksanaan usaha tersebut di dunia ilmu hukum nasional Indonesia, sejak

hampir dua dekade yang lampau.

Daftar Pustaka

Anderson, R. Lanier. “The Debate over the Geisteswissenschaften in German

Philosophy.” In The Cambridge History of Philosophy 1870-1945, ed. Thomas

Baldwin. Cambridge: Cambridge University Press, 2003, pp. 221-234.

Beck, Lewis White (1967). “Neo-Kantianism.” In Encyclopedia of Philosophy, 2nd

Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert. Farmington

Hills: Thomson Gale, 2006, pp. 539-546.

Chroust, Anton-Hermann. “The Philosophy of Law of Gustav Radbruch.” The

Philosophical Review 53 (January 1944): 23-45.

http://www.jstor.org/stable/2181218. Diakses pada 24 Juli 2015.

Page 31: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

30

Copleston, Frederick. A History of Philosophy. Volume VII. Modern Philosophy: From the

Post-Kantian Idealists to Marx, Kierkegaard, dan Nietzsche. New York: Image

Books Doubleday, 1994.

Friedmann, Wolfgang (1967). “Gustav Radbruch.” In Encyclopedia of Philosophy, 2nd

Edition, Volume 8 Price-Sextus Empiricus, ed. Donald M. Borchert. Farmington

Hills: Thomson Gale, 2006, pp. 229-230.

Hart, H.L.A. Essays in Jurisprudence and Philosophy. Oxford: Oxford University Press,

1985.

Hartono, Sunaryati. “Tentang Pengembanan dan Pembinaan Ilmu Hukum Nasional.”

Dalam Percicikan Gagasan tentang Hukum. Kumpulan Tulisan Ilmiah Alumni dan

Staf Pengajar FH Unpar, ed. A. Yoyon. Bandung: Fakultas Hukum Universitas

Katolik Parahyangan, 1988, pp. 45-52.

Hofmann, Hasso. “From Jhering to Radbruch: On the Logic of Traditional Legal Concepts

to the Sociological Theories of Law to the Renewal of Legal Idealism.” In A

Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence. Volume 9. A History of the

Philosophy of Law in the Civil Law World, 1600–1900, eds. Damiano Canale, Paolo

Grossi, and Hasso Hofmann. New York: Springer, 2009, pp. 301-354.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Yayasan

Kanisius, 1982.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Politik. Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Meuwissen, D.H.M. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum, dan Filsafat Hukum. Terj. B. Arief Sidharta. Bandung: Refika Aditama,

2009.

Radbruch, Gustav. “Five Minutes of Legal Philosophy (1945).” Trans. Bonnie Litschewski

Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford Journal of Legal Studies 26 (Spring 2006):

13-15. http://www.jstor.org/stable/3600539. Diakses pada 24 Juli 2015.

Radbruch, Gustav. “Legal Philosophy.” In The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and

Dabin. Ed. Edwin W. Patterson. Trans. Kurt Wilk. Cambrigde. Massachusetts:

Harvard University Press, 1950, pp. 47-224.

Rahardjo, Satjipto. “Ilmu Hukum di Indonesia dalam Lintasan Perkembangan Sains.”

Dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, ed. Esmi Warassih,

Suteki, Awaludin Marwan. Yogyakarta: Thafa Media, Asosiasi Sosiologi Hukum

Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012, pp. 609-

655.

Shidarta. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Buku 1 Akar Filosofis. Yogyakarta:

Genta Publishing, 2013.

Sidharta, B. Arief. “Struktur Ilmu Hukum.” Dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum

Indonesia, ed. Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan. Yogyakarta: Thafa

Page 32: TENDENSI REDUKSIONIS DAN UTILITARIANIS DALAM ILMU …

31

Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat

Fakultas Hukum Undip, 2012, pp. 1-75.

Somek, Alexander. ”German Legal Philosophy and Theory in the Nineteenth and Twentienth

Centuries.” In A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory. Second

Edition, ed. Dennis Patterson. West Sussex: Blackwell Publishing Ltd, 2010, pp. 339-

349.

Warassih, Emi, Suteki, dan Awaludin Marwan. “Mentari Pagi Ilmu Hukum: Refleksi dan

Rekonstruksi Pengetahuan.” Dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum

Indonesia, ed. Esmi Warassih, Suteki, Awaludin Marwan. Yogyakarta: Thafa

Media, Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Bagian Hukum dan Masyarakat

Fakultas Hukum Undip, 2012, pp. v-xxiii.

Weismann, Paul. “A Question of Morals? Gustav Radbruch’s Approach towards Law.” The

Student Journal of Law. http://www.sjol.co.uk/issue-3/radbruch. Diakses pada 5

September 2015.