Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

55
2009 Sejarah Perkembangan ilmu Anatomi Secara anatomis, tubuh manusia terdiri dari organ-organ yang menyusun sistem yang berperan secara sistematis dan terkoordinasi, mempertahankan keseim- bangan secara menyeluruh (homeostasis) sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam memelihara kesehatan tubuh. Pengetahuan ini (Anatomi) nampak- nya sudah mulai dikenal sejak zaman pra sejarah (20.000 thn S.M.) yang dapat disaksikan pada lukisan-lukisan dinding di Perancis dan Spanyol. Jauh sebelumnya, 500 thn S.M. di Mesir, pengetahuan Anatomi digunakan pada pembuatan mummi, yaitu dengan membuat irisan, incisi (incision) yang kecil untuk mengeluarkan organ-organ tubuh (yang cepat membusuk), dan mengeluarkan otak dari arah lubang hidung melalui corpus sphenoidalis tanpa merusakkan wajah dan tulang-tulang cranium yang lainnya. Alcmaeon (500 S.M.) adalah orang yang dianggap pertama yang melakukan diseksi pada mayat. Muridnya, Empedocles (504 443 S.M.) yang lebih menguasai teori daripada praktek mengembangkan ilmu anatamo menjadi ilmu faal. Jalan pikiran Empedocles diikuti oleh Hippocrates (460 377 S.M.) seorang dokter ulung yang dikenal sebagai Father of Medicine”, yang pertama kali menegakkan sendi kedokteran yang bersifat rasional. Dialah yang memberi pengertian tentang struktur dan fungsi tubuh manusia, dan dia mampu mengenyampingkan pikiran para pendahulunya, dan menyatakan bahwa penyakit mempunyai penyebab alami yang dapat diamati. Inilah awal dari ilmu kedokteran yang mempergunakan rasio dan observasi. Dua orang muridnya yang terkenal yaitu Aristoteles dan Galenus membandingkan antara tubuh manusia yang disebutnya mikrocosmos dengan kehidupan alam semesta yang disebutnya makrocosmos Herophilus (335-280 S.M.) adalah guru Anatomi yang pertama-tama mela-kukan diseksi secara terang-terangan (ter-buka) walaupun pada akhirnya ia dituduh sebagai penjagal manusia. Herophilus dipandang sebagai Bapak Anatomi. Dia dapat membedakan dengan jelas pembuluh darah Arteri dan Vena, serta menemukan pembuluh lacteal pada intestinum tenue. Erasistratus (290 S.M.) melanjutkan penyelidikannya mengenai pembuluh lacteal, dan dia pula yang pertama-tama membagi saraf motoris dan saraf sensibel. Pada zaman Kedokteran Romawi ( 50 S.M. 200 M) Rufus adalah orang yang pertama kali menerbitkan buku dengan judul on the Naming of the Parts of the Body”. Dari sinilah istilah-istilah (nomenclature) anatomi mulai digunakan. Galen (130 200 SM) Peranan Ilmu Anatomi dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran Abdul Razak Datu Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar EDITORIAL Anatomi, Sains dan Seni 135

Transcript of Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Page 1: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Sejarah Perkembangan ilmu Anatomi

Secara anatomis, tubuh manusia

terdiri dari organ-organ yang menyusun

sistem yang berperan secara sistematis dan

terkoordinasi, mempertahankan keseim-

bangan secara menyeluruh (homeostasis)

sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam

memelihara kesehatan tubuh.

Pengetahuan ini (Anatomi) nampak-

nya sudah mulai dikenal sejak zaman pra

sejarah (20.000 thn S.M.) yang dapat

disaksikan pada lukisan-lukisan dinding di

Perancis dan Spanyol. Jauh sebelumnya, 500

thn S.M. di Mesir, pengetahuan Anatomi

digunakan pada pembuatan mummi, yaitu

dengan membuat irisan, incisi (incision) yang

kecil untuk mengeluarkan organ-organ tubuh

(yang cepat membusuk), dan mengeluarkan

otak dari arah lubang hidung melalui corpus

sphenoidalis tanpa merusakkan wajah dan

tulang-tulang cranium yang lainnya.

Alcmaeon (500 S.M.) adalah orang yang

dianggap pertama yang melakukan diseksi

pada mayat. Muridnya, Empedocles (504 –

443 S.M.) yang lebih menguasai teori

daripada praktek mengembangkan ilmu

anatamo menjadi ilmu faal.

Jalan pikiran Empedocles diikuti oleh

Hippocrates (460 – 377 S.M.) seorang dokter

ulung yang dikenal sebagai “Father of

Medicine”, yang pertama kali menegakkan

sendi kedokteran yang bersifat rasional.

Dialah yang memberi pengertian tentang

struktur dan fungsi tubuh manusia, dan dia

mampu mengenyampingkan pikiran para

pendahulunya, dan menyatakan bahwa

penyakit mempunyai penyebab alami yang

dapat diamati. Inilah awal dari ilmu

kedokteran yang mempergunakan rasio dan

observasi. Dua orang muridnya yang

terkenal yaitu Aristoteles dan Galenus

membandingkan antara tubuh manusia yang

disebutnya mikrocosmos dengan kehidupan

alam semesta yang disebutnya makrocosmos

Herophilus (335-280 S.M.) adalah guru

Anatomi yang pertama-tama mela-kukan

diseksi secara terang-terangan (ter-buka)

walaupun pada akhirnya ia dituduh sebagai

penjagal manusia. Herophilus dipandang

sebagai Bapak Anatomi. Dia dapat

membedakan dengan jelas pembuluh darah

Arteri dan Vena, serta menemukan pembuluh

lacteal pada intestinum tenue. Erasistratus

(290 S.M.) melanjutkan penyelidikannya

mengenai pembuluh lacteal, dan dia pula

yang pertama-tama membagi saraf motoris

dan saraf sensibel.

Pada zaman Kedokteran Romawi ( 50

S.M. – 200 M) Rufus adalah orang yang

pertama kali menerbitkan buku dengan judul

“on the Naming of the Parts of the Body”. Dari

sinilah istilah-istilah (nomenclature) anatomi

mulai digunakan. Galen (130 – 200 SM)

Peranan Ilmu Anatomi dalam Pengembangan

Ilmu Kedokteran

Abdul Razak Datu

Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar

EDITORIAL

Anatomi, Sains dan Seni

135

Page 2: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

melakukan experiment dan dissection pada

kera dan babi yang secara khusus

mempelajari susunan saraf dan menulis buku

yang terkenal “Use of the parts of the body of

man”.

Pada zaman Kejayaan Islam, karya-

karya kedokteran bermunculan dan

memperkaya khazanah ilmu tersebut dengan

melahirkan dokter-dokter kaliber dunia pada

zamannya. Berbagai karya itu adalah teks

book, rumah sakit, pusat rehabilitasi, apotik

dan berbagai fasilitas kesehatan lainnya. Ilmu

kedokteran dasar berkembang, seperti

Anatomi, Fisiologi, Patologi, Farmakologi dan

Biokimia. Salah seorang dokter muslim Ibn

Al- Nafis pada abad XII sudah menjelaskan

mengenai circulasi pulmonal, menggugurkan

pendapat GALENUS yang sudah bertahan

selama kira-kira 14 abad. Teori Ibn Al-Nafis

tersebut dikemukakan juga oleh William

Harvey (1578 -1657).

Ilmu Anatomi sebagai ilmu Kedokteran dasar

Ilmu Anatomi sebagai salah satu Ilmu

Kedokteran Dasar sangat dibutuhkan dalam

mempelajari dan mengembangkan ilmu

kedokteran klinik. Ilmu Anatomi yang

mempelajari bentuk, struktur dan lokasi

organ, kedudukannya berdampingan dengan

ilmu-ilmu dasar lainnya, dalam hal ini adalah

Fisiologi (fungsi badan), Biokimia (proses

hayati) dan Histologi (micro anatomy) yang

sebenarnya merupakan bagian dari ilmu

Anatomi juga.

Ilmu Anatomi sangat berkaitan erat

dengan ilmu-ilmu preklinik dan klinik

lainnya. Ilmu-ilmu dalam ilmu kedokteran

dasar, baik yang bersifat morfologik maupun

yang bersifat fungsional, masing-masing

memberikan dasar dalam memberikan

kumpulan-kumpulan informatif pengeta-

huan faktual, yang tanpa ini semua ilmu-ilmu

klinik tidak dapat didirikan. Pengertian-

pengertian dalam ilmu klinik sukar dicapai

tanpa bekal pengetahuan kedokteran dasar

tersebut. Selain bekal dalam kuantitas ilmu

informatif, ilmu-ilmu yang bersifat

morfologik, seperti Anatomi, Histologi,

Patologi Anatomi dan lain-lain, memberi

bekal dalam kemampuan observasi dan

deskripsi, sedangkan yang membentuk

kumpulan ilmu-ilmu yang bersifat

fungsional, seperti Fisiologi, Biokimia,

Farmakologi dan lain-lain adalah ide-ide,

teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan,

sehingga dari sinilah berasal kemampuan

berargumentasi serta menimbang-nimbang

kenyataan, yang merupakan inti dalam

profesi kedokteran.

Sampai abad XIX pengetahuan

mengenai struktur dan fungsi organ

dipelajari secara bersama-sama, lalu

kemudian masing-masing berdiri sendiri

sebagai ilmu Anatomi dan ilmu Fisiologi.

Memasuki abad ke 20 ilmu Anatomi semakin

berkembang dengan membentuk cabang-

cabang Ilmu seperti : Histologi, Morphologi,

Neurologi, Anthropologi, Embriologi dan

Genetika. Selanjutnya muncul ilmu –ilmu

Experimental Anatomy, Experimental

Embryology dan Cytology. Antara 1819 – 1899

diciptakan berbagai instrumen, seperti

Stethoscope, Otoscope, Ophthalmoscope

yang digunakan di klinik dan juga dipakai

ketika mempelajari Living Anatomy. Dalam

tahun 1890 formalin dipakai sebagai bahan

fiksasi mayat untuk dijadikan cadaver bagi

kepentingan dissection; sebelumnya itu

menggunakan alkohol yang digunakan

sebagai bahan konservasi.

136

Page 3: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Sejak ditemukannya sinar rontgen

penentuan morfologi dan lokalisasi organ

sangat membantu para klinisi untuk

menentukan diagnosis penyakit dan

melakukan terapi. Dengan alat Rontgen

tersebut terbentuklah Anatomi Radiologik.

Mahasiswa dapat mempelajari foto-foto

Rontgen dari struktur yang normal dan

kemudian di klinik mencari/menemukan

kelainan-kelainan yang memberi gangguan

yang perlu diatasi.

Dalam perkembangannya ilmu

anatomi tidak bisa dipisahkan dari ilmu

embriologi. Embriologi yang diprakarsai oleh

Aristoteles kemudian dikembangkan

William Harvey (1578 -1667) mengemukakan

perkembangan chick embryo secara lebih

terperinci. Walaupun pengetahuan

embriologi yang dimulai oleh Aristoteles

sangat sederhana, namun perkembangannya

mulai nampak setelah Marcello Malpighi

(1628 -1694) berhasil menunjukkan proses

perkembangan embryo ayam yang

diaplikasikan pada perkembangan embryo

mammalia termasuk manusia. Malpighilah

dianggap sebagai penemu embriologi. Sejak

saat itu berkembanglah embrylogi modern,

dan sel telur (ovum) pada manusia

ditemukan pertama kali oleh Von Baer (1827)

sehingga Von Baer dikenal sebagai “Bapak

Embriologi”.

Experimental teratology mulai

berkembang sejak terjadinya Tragedi

Thalidomide, suatu peristiwa yang

menggemparkan dunia kedokteran ketika di

Jerman tahun 1961 terjadi kelahiran

sejumlah bayi dengan kelainan bawaan

dengan jenis kelainan yang hampir serupa

dan dalam periode yang hampir bersamaan.

Hal ini disebabkan oleh banyaknya ibu-ibu

hamil yang mengkonsumsi obat Thalido-

mide, sejenis obat penenang dan anti muntah

yang sangat mujarab, ternyata obat tersebut

membawa malapetaka dan ber-akibat fatal,

menyebabkan kelainan perkem-bangan

embryo sehingga lahirlah anak-anak cacat.

Dewasa ini, makin banyak zat-zat kimia atau

obat-obatan yang dilaporkan dapat

menyebabkan kelainan bawaan yang

ditemukan pada bayi yang baru lahir.

Sesungguhnya zat-zat kimia dan obat-obatan

hanya salah satu faktor yang dapat

menyebabkan kelainan bawaan. Telah

dilaporkan bahwa kelainan bawaan dapat

disebabkan oleh 3 faktor: yaitu faktor

genetika (6-15%), faktor lingkungan (7-10%),

dan faktor interaksi antara gen dan

lingkungan (20-25%), dan yang belum

diketahui penyebabnya masih jauh lebih

banyak (50-60%). Dengan perkembangan dan

kemajuan penelitian di bidang Teratologi,

semakin banyak hal-hal baru yang

ditemukan tentang mekanisme dan penyebab

dari suatu kelainan bawaan, sehingga makin

banyak faktor penyebab kelainan bawaan

yang dapat terungkap. Dengan mengetahui

mekanisme dan penyebab yang dapat

menyebabkan kelainan pembentukan dan

perkembangan embryo, akan menjadi

perhatian dan peringatan kepada ibu-ibu

hamil terutama yang hamil muda (kehamilan

sampai 8 minggu) kiranya berhati-hati dalam

memelihara kesehatannya agar janinnya bisa

tumbuh dengan baik dan sempurna

sehingga akan melahirkan bayi yang normal

(tanpa cacat).

Pendidikan ilmu Anatomi di Fakultas

Kedokteran

137

Page 4: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendidikan Anatomi menumbuhkan

kemampuan-kemapuan yang esensial bagi

seseorang yang akan berhubungan dengan

penderita, dan banyak dari kemampuan ini

yang tidak didapatkan dalam derajat yang

sama dalam disiplin ilmu lain pada

kurikulum kedokteran.

Dalam mempelajari ilmu Anatomi,

mahasiswa mulai diperkenalkan dengan

penggunaan bahasa teknis deskripsi yang

merupakan dasar seluruh terminologi

kedokteran. Selain itu, informasi profesional

yang diterima oleh mahasiswa di dalam

belajar Anatomi memungkinkan ia

memahami pelajaran-pelajaran fungsional

dan klinis. Anatomi merupakan dasar yang

sangat berarti untuk Patologi dan bahan

yang dipelajari dalam Anatomi dapat

membantu dalam menegakkan diagnosis

yang tepat serta membantu dalam bertindak

dengan aman pada keadaan-keadaan darurat

di dalam praktek-praktek klinik.

Pada umumnya dikatakan bahwa

Ilmu Kedokteran Dasar melayani ilmu

kedokteran Klinik, ini tidak berarti semata-

mata bahwa yang diberikan dalam Ilmu

Kedokteran Dasar hanyalah hal-hal secara

porsional yang masing-masing mendukung

seperlunya porsi-porsi tertentu dalam ilmu

klinik. Dalam kurikulum Inti Pendidikan

Dokter Indonesia (KIPDI) II , umumnya

ilmu-ilmu kedokteran dasar, dalam hal ini

termasuk Anatomi, Histologi, Fisiologi dan

Biokimia diajarkan bersama-sama dalam satu

jangka waktu tertentu. Ini berdasarkan atas

anggapan bahwa semua ilmu-ilmu preklinik

saling berhubungan sampai derajat tertentu,

sehingga mempelajarinya secara betul-betul

terpisah, tidak akan ada artinya bahkan

merugikan. Dalam hubungan ini struktur

hendaknya dipelajari berdampingan dengan

fungsi dan ada baiknya apabila diberikan

secara terpadu, sehingga mahasiswa

mempunyai kesempatan untuk memadukan

struktur dan fungsi di dalam pikirannya

sendiri dan menciptakan gambaran yang

tersusun dengan baik tentang biologi

manusia. Namun kesulitannya, pekerjaan

mengurai di Laboratorium Anatomi

dilakukan dengan sistem regional sedangkan

ilmu faal memakai pendekatan sistematik.

Sampai tahun 1977 pendidikan

Anatomi bagi mahasiswa di Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin

diberikan selama satu tahun ajaran, yaitu di

tingkat dua (tingkat preklinik). Pada tahun

ajaran 1977/1978 dimulailah Sistem Kredit

Semester, yang mengharuskan Anatomi

dibagi-bagi dalam tiga semester dengan 12

SKS, yaitu Anatomi I, Anatomi II, dan

Anatomi III. Pada sistem konvensional

pendidikan Anatomi diberikan selama satu

tahun tanpa terputus, maka dalam Sistem

Kredit Semester mahasiswa mempelajari

Anatomi secara terputus-putus, sesuai

dengan minat dan kesanggupannya, dan

tidak ada jaminan bahwa mahasiswa akan

mengambil mata pelajaran Anatomi,

Fisiologi, Histologi dan Biokimia untuk

dipelajari bersama-sama yang semestinya

sangat diperlukan.

Peranan Ilmu Anatomi sebagai

Sains dan Seni

Ilmu Anatomi tidak saja berguna

bagi pendidikan dokter, dokter gigi, perawat,

dan bidan melainkan perlu dikembangkan

lebih luas lagi, sehingga memasuki

kehidupan masyarakat, yang dikenal

sebagai Anatomi Sosial. Ilmu Anatomi yang

138

Page 5: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

memasuki dunia seni lukis sudah dimulai

oleh Leonardo da Vinci pada abad XV,

demikian pula seni memahat, khususnya

memahat patung manusia. Industri sepatu,

pakaian, kursi, meja dan bangku duduk di

sekolah atau di tempat kerja di kantor atau

perusahaan, kendaraan umum perlu dibuat

dengan memperhatikan ergometri atau posisi

anatomis manusia agar supaya memberi

kenyamanan yang optimal dan tidak

melelahkan. Dalam seni tari, posisi

persendian dan gerakan lengan, tungkai dan

badan, hendaknya dilakukan dengan efektif

agar tidak cepat menjadi lelah.

Mesin-mesin industri hendaknya

dibuat dengan mengingat posisi manusia

yang akan menggunakannya nanti, baik

dengan cara berdiri maupun duduk, agar

supaya produktifitasnya dapat menjadi

maksimal. Dalam olah raga kesegaran

jasmani, ataupun olah raga prestasi, sikap

tubuh dan berbagai jenis gerakan perlu

dilakukan dengan efektif, untuk itu semua

pengetahuan mengenai tulang, otot,

persendian, saraf dan pembuluh darah

perlu dikaji dengan terpadu dan benar,

termasuk pengetahuan sistem lainnya yang

menunjang. Dalam olah raga prestasi,

seorang pelatih harus mampu melatih

gerakan-gerakan pada anak asuhnya secara

optimal agar dapat mencapai prestasi

secara maksimal, maka untuk itu

pengetahuan Ilmu Anatomi mutlak

diperlukan . Dalam bidang arsitektur baik

arsitektur bangunan umum, arsitektur

perumahan, maupun arsitektur peralatan

rumah tangga, serta perancangan

peralatan lain yang berkaitan dengan

kehidupan sehari-hari, perlu memperha-

tikan postur tubuh manusia yang akan

menggunakannya.

Demikian pula di bidang estetika,

yaitu salon-salon kecantikan yang merawat

wajah para wanita hendaknya keterampilan

yang dipakai bukan sekedar berdasarkan atas

kebiasaan belaka, melainkan memahami dan

memiliki pengetahuan tentang tulang-tulang

wajah, letak dan arah otot-otot wajah serta

kulit/rambut yang terdapat pada wajah dan

kepala. Tak kalah penting penerapan

pengetahuan Anatomi pada bidang fisio-

terapi dan pijat traditional.

(Tulisan di atas dikutip dari Pidato Pengukuhan

Guru Besar Tetap Prof. dr. Abdul Razak Datu,

Ph.D. dalam Bidang Ilmu Anatomi di

Universitas Hasanuddin pada 3 April 2009).

Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional.

2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi

untuk Pendidikan Kedokteran Dasar.

Gardner E, Gray, D J, O’rahilly, R. 1975.

Anatomy: A Regional Study of

Human Structure. 4th Ed. W.B.

Saunders Co. Philadelphia, London,

Toronto.

Gray, H. 1980. Gray’s Anatomy, P.I. William

and R. Warwick, 36 ed. Churchill

Livingstone.

Konsil Kedokteran Indonesia, 2006. Standar

Pendidikan Profesi Dokter.

Luhuluma, J 1993. Pendidikan Ilmu Anatomi

Tantangan dan Harapan. Pidato pe-

nerimaan jabatan Guru Besar Tetap

Ilmu Anatomi pada Fakultas Ke-

dokteran Universitas Hasanuddin

139

Page 6: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Moore, KL. 1980. Clinically Oriented Anatomy.

Williams & Wilkins, Baltimore/

London 1980.

Moore, KL and Persud, TVN. 1998. The

Developing Human, Clinically Oriented

Embryology. 6th edition. W.B Saunders

Co. Philadelphia, London, New York,

St. Louis, Sidney, Toronto.

Pratiknya, AW. Anatomi Sosial, suatu kajian

prospektif. Berkala Ilmu Kedokteran,

Jilid XVI, No. 5, 1984

Sukardi, E. Reorientasi Pendidikan Anatomi

Menjelang tahun 2000. Pertemuan

Ilmiah Nasional Perhimpunan Ahli

Anatomi Indonesia. Malang 18-19

Desember 1992.

Tim Penelitian/Penyusunan Istilah Ana-

tomi Fakultas Kedokteran Univer-

sitas Airlangga, 1979. Kamus Istilah

Anatomi Edisi ke-2. Pengurus Besar

Perhimpunan Ahli Anatomi

Indonesia, Surabaya.

Uddin, J. Masa depan KIPDI dan Rekonstruksi

Kurikulum Anatomi, sebuah gagasan

Dasar. Pertemuan Ilmiah Nasional

Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia

Malang 18 -19 Desember 1992

Wonodirekso S, Surjono. Pendidikan Anatomi

Kedokteran berubah, perlu diubah atau tak

berubah-ubah?. Pertemuan Ilmiah

Nasional Perhimpunan Ahli Anatomi

Indonesia. Malang, 18 – 20

Desember 1992.

140

Page 7: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Hubungan Arcus Pedis dengan Kemampuan Lari

Siswa SMP Negeri 23 Makassar

Azis Beru Gani*, Ilhamjaya Patellongi**

*Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar **Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara arcus

pedis dan kemampuan lari, antara panjang tungkai dan kemampuan lari, antara

daya ledak otot dan kemampuan lari, antara kecepatan reaksi otot dan

kemampuan lari. Penelitian ini menggunakan 155 sampel siswa laki-laki kelas II

SMP. Variabel penelitian meliputi variabel bebas terdiri dari : arcus pedis dan

kecepatan reaksi kaki, sedangkan variabel terikat yaitu kemampuan lari.

Pengukuran arcus pedis dilakukan dengan menggunakan teknik Clarke

(footprint). Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik antara arcus pedis dan

kemampuan lari didapatkan korelasi yang sangat lemah (r = -0,192). Hal ini

menunjukkan bahwa arcus pedis mempengaruhi kemampuan lari tetapi dalam

tingkat korelasi yang rendah.

Kata Kunci : Arcus pedis dan kemampuan lari

ARTIKEL ASLI

Arcus Pedis, Kemampuan lari

The Relationship between Arcus Pedis with the Running Ability

of the Students at SMP 23 of Makassar Azis Beru Gani, Ilhamjaya Patellongi

Abstrak

The objective of the study is to investigate the relationship between arcus pedis and

running abiliy.The sample consist of 155 male student of the second yeard of SMP (junior

high school). The study variable consist of independent variable arcus pedis and dependent

variable is the running ability. The arcus pedis measurement is conducted with Clarke

(footprint) technique. The data analysis using Person correlaton test indicates that the

arcus pedis has an insignificant correlation with the running ability (r = -0.192).

Keywords : arcus pedis and running ability.

141

Page 8: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Di masa lalu, Indonesia memiliki

beberapa pelari kenamaan di nomor elite.

Moch Sarengat yang memecahkan rekor lari

100 meter Asian Games (AG) dengan waktu

10,40 detik (1962). Dua dekade kemudian

Purnomo dinomor yang sama memecahkan

rekor 10,39 detik dan sukses masuk semifinal

(16 besar di Olimpiade Los Angeles, AS, 1984)

yang satu-satunya pelari Asia menembus

semifinal. Prestasinya diikuti Mardi Lestari

yang lolos ke semifinal Olimpiade Seoul 1988

(10,32 detik). Di kelas putri ada Irene Truitje

Joseph pelari 100 meter menempuh 10,56 detik

di SEA Games 1999 Brunei Darussalam. Selain

itu, ada Henny Maspaitella pelari 200 meter

mencatat waktu 24,24 detik di SEA Games

Manila 1981 (Pate, 1984; Wirhed, 1988).

Sekarang prestasi itu sudah sulit

diperoleh atlet Indonesia. Berbagai penelitian

dilakukan, mengapa prestasi pelari Indonesia

tidak sebaik yang pernah dicapai. Olah raga

lari, seperti olahraga lainnya memerlukan

kajian dalam mencari tehnik dan metode

untuk menciptakan prestasi juara. Kajian

untuk meningkatkan keterampilan dalam

bidang oleha raga perlu terus ditumbuh-

kembangkan, baik untuk menciptakan prestasi

maupun dalam peranannya di bidang

kesehatan (Wirhed, 1988; Carr, 2003).

Salah satu kunci untuk menciptakan

prestasi atlet juara adalah kemampua berlari

yang disertai teknik yang baik. Lari adalah

gerakan berpindah tempat dengan maju ke

depan yang dilakukan lebih dari berjalan. Di

sini diperlukan kekuatan frekuensi langkah

kaki dengan mengerahkan kekuatan dan

kecepatan gerak langkah dengan suatu

kontraksi maksimal. Tiga hal yang perlu

diperhatikan untuk mencapai usaha tersebut,

yaitu bagaimana teknik star yang baik,

gerakan sprint dan teknik melalui garis

finish. Ketiga pokok masalah ini sangat

berkaitan dengan bentuk dan sendi tulang-

tulang kaki (arcus pedis) dengan

kemampuan lari.

Kaki manusia yang melengkung,

merupakan suatu ciri khusus pada manusia

yang tak terlihat pada ordo primata yang

lain. Dasar utama dari lengkung-lengkung

kaki berasal dari bentuk dan arsitektur

tulangnya walaupun ligamenta, tendo-

tendo dan otot-otot juga turut serta dalam

membentuk kekuatan dan stabilitas kaki.

(Bajpai, R.N., 1991, Datu AR, 2006, Noor

DM, 1979).

Lengkung-lengkung kaki membantu

efisien fungsi kaki, dimana terdiri dari 2

bagian; 1) menahan berat badan dan 2)

pergerakan berjalan dan berlari (Bajpai,

R.N., 1991, Datu AR, 2006). Untuk fungsi

yang pertama kestabilan dan dasar yang

luas seperti bentuk piring ceper

dibutuhkan, yang akan merubah bentuk

bagian tersebut dari permukaan yang tidak

rata atau miring. Untuk fungsi kedua,

kekuatan daya pegas pengungkit

dibutuhkan yang dapat meninggikan

seluruh tubuh pada caput ossa metatarsalia

dan bergerak maju selama berjalan atau

berlari selaras dengan fungsi pertama

tulang-tulang kaki yang lebar dan lebih

kuat (Datu AR, 2006).

Pedis tidak merupakan suatu bidang

datar, melainkan melengkung membentuk

suatu arcus dengan titik tumpu di bagian

posterior dan anterior. Arcus tersebut

mengarah ke arah longitudinal dan

transversal, dan disebut Arcus Pedis

Longitudinalis dan Arcus Pedis Transversalis.

142

Page 9: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Arcus pedis transversalis berbentuk setengah

arcus dan menjadi arcus penuh apabila kedua

pedis diletakkan berdampingan. Titik tumpu

di bagian posterior adalah processus medialis

tuberis calcanei dan di bagian anterior dibentuk

oleh kedua ossa sesamoidea pada capitulum

ossis metatarsalis I serta capituli osseum

metatarsalium II – V. Bagian lateral pedis juga

mengenai lantai oleh karena lengkung

longitudinalis lateralis letaknya lebih rendah

dan bagian medial tampak kaki tidak

menyentuh lantai sebab arcus medial letaknya

lebih tinggi. Pada Pes Planus sisi medial pedis

menyentuh lantai (Datu AR, 2006).

Berat tubuh akan terbagi menjadi dua

secara seimbang ke depan dan belakang tapak

kaki oleh puncak arcus pedis. Kemudian

dengan bantuan fascia plantaris menyebabkan

terjadi elevasi arcus pedis yang sering disebut

sebagai efek mesin kerek “windlass effect”.

Hal inilah yang berfungsi sebagai daya pegas

pada kaki sehingga dengan kelengkungan

arcus pedis yang normal dapat memberikan

kontribusi pada kemampuan lari yang lebih

baik (Hamill J, 2003).

Gambar 1. Berat Tubuh pada Arcus Pedis

Swartz adalah orang pertama yang

mencoba mengukur footprint dalam footprint

angle. Ini berdasarkan teori bahwa semakin

tinggi lengkung kaki, sudut kelengkungan

(arch angle) semakin bertambah pula. Clarke

kemudian menemukan metode tentang

penentuan arch angle tersebut dan

menemukan rata-rata arcus pedis normal

bagi mahasiswa tingkat persiapan kurang

lebih 420. Clarke berpendapat bahwa sese-

orang yang mempunyai sudut kurang dari

300 adalah seseorang yang memerlukan

koreksi tapak kaki. Sedangkan para

mahasiswa yang mempunyai arcus pedis

antara 300 – 350 dinyatakan orang-orang

yang berada pada perbatasan dan harus

diadakan pemeriksaan ulang untuk

menentukan perlu tidaknya tindakan

pengoreksian (Halim NI, 1992).

Pada penelitian yang dilakukan oleh

Bahru (2006) diperoleh korelasi yang

signifikan antara arcus pedis dan

kemampuan lari yaitu r = -0.768 (p < 0,05)

dengan menggunakan 60 sampel siswa SD.

Dalam penelitian ini akan dianalisa

bagaimana hubungan arcus pedis dengan

kemampuan lari pada siswa SMP Negeri 23

Makassar.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan obser-

vasional dengan menggunakan metode

cross sectional study. Dimana dicari

hubungan antara arcus pedis, panjang

tungkai, daya ledak otot dan kecepatan

reaksi kaki dengan kemampuan lari pada

siswa pria.

Tempat, Waktu Penelitian dan Populasi

serta sampel

Tempat penelitian SMP Negeri 23

Makassar yang juga merupakan populasi

yang akan diteliti. Sedangkan sampel yang

dilakukan secara random sampling adalah

siswa pria SMP kelas II sebanyak 60 orang.

143

Page 10: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil

Penelitian

Analisis data deskriptif dimaksudkan untuk

mendapatkan gambaran umum data

penelitian. Analisis deskriptif dilakukan untuk

data arcus pedis, panjang tungkai, daya ledak

otot, kecepatan reaksi kaki dan kemampuan

lari sehingga lebih mudah di dalam

menafsirkan hasil analisis data tersebut.

Deskripsi data dimaksud untuk dapat

menafsirkan dan memberi makna tentang

setiap variabel tersebut secara berturut-turut

seperti pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Hasil analisis deskriptif tiap variabel

Dari tabel 1 di atas dapat diperoleh

gambaran tentang data arcus pedis, panjang

tungkai, daya ledak otot, kecepatan rekasi kaki

dan kemampuan lari sebagai berikut :

a. Arcus pedis diperoleh nilai rata-rata 46,950,

standar deviasi 9,410, nilai minimum 160 dan

maksimum 660.

b. Kemampuan lari diperoleh nilai rata-rata 9,28

detik, standar deviasi 0,77 detik, nilai

minimum 7,11 detik dan maksimum 12,19

detik.

Untuk mengetahui apakah data arcus

pedis dan kemampuan lari berdistribusi

normal, maka dilakukan pengujian dengan

menggunakan uji Kolmogorov Smirnov.

Hasil uji normalitas data dapat dilihat

pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji normalitas data tiap variabel

(*) data tidak berdistribusi normal

Berdasarkan tabel 2 di atas maka

dapatlah diperoleh gambaran bahwa

pengu-jian normalitas data dengan

menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov

menunjukkan hasil sebagai berikut : Arcus

Pedis diperoleh nilai KS-Z = 0,000 (p < 0,05),

maka hal ini menunjukkan bahwa data

arcus pedis mengikuti sebaran normal atau

berdistribusi normal.

b. Kemampuan lari diperoleh nilai KS-

Z = 0,200 (p < 0,05), maka hal ini menun-

jukkan bahwa data kemampuan lari tidak

mengikuti sebaran normal atau berdis-

tribusi tidak normal.

Korelasi arcus pedis dan kemampuan lari.

Data arcus pedis diperoleh dengan

melalui tes antropometrik. Untuk menge-

tahui keeratan hubungan arcus pedis

dengan kemampuan lari dilakukan analisis

korelasi Product Moment. Rangkuman hasil

analisis data dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Rangkuman hasil analisis korelasi arcus

pedis dengan kemampuan lari

Kolmogorov-

Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Stati df Sig. Stati Df Sig.

Arcus

Pedis ,193 155 ,000 ,885 155 ,000

Kemam-

puan lari ,058 155 ,200(* ,987 155 ,164

M

N

Ra-

nge

Ma

x

Mi

n

Me

an

SD Var

Arcus

Pedis (AP)

155 50,0 66,0 16,0 46,

95

99,

41

8,61

Kemampu

an lari KL)

155 5,08 12,

19

7,11 9,

28

0,

77

0,

60

Variabel ro p keterangan

AP (X1)

KL (Y) - 0,192 0,000 Sangat lemah

144

Page 11: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Berdasarkan tabel 3 di atas terlihat

bahwa hasil perhitungan korelasi Spearman

diperoleh nilai r hitung (ro) = -0,192, berarti ada

korelasi sangat lemah antara arcus pedis

dengan kemampuan lari. Dengan demikian

jika siswa memiliki arcus pedis yang besar,

maka akan diikuti dengan kemampuan lari

yang lebih cepat.

Pembahasan

Pada penelitian terhadap 155 sampel

didapatkan bahwa rata-rata arcus pedis

ditemukan 46,950 hal ini menunjukkan bahwa

kurang lebih sama dengan yang ditemukan

Clarke dengan menggunakan metode yang

sama yaitu 420.

Pada uji korelasi didapatkan hasil

bahwa terdapat korelasi antara arcus pedis

dan kemampuan lari, hal ini seiring dengan

penelitian yang dilakukan oleh Bahru (2008).

Namun pada penelitian ini didapatkan tingkat

korelasi yang lebih rendah dibandingkan

dengan peneliti sebelumnya. Hal ini

disebabkan karena sampel yang digunakan

tidak memperhitungkan Index Massa Tubuh

(IMT). IMT sangat mempengaruhi pemben-

tukan arcus pedis.

Pada orang yang mempunyai IMT di

atas normal (overweight) ternyata memiliki

arcus pedis yang lebih kecil dibandingkan

yang mempuyai IMT normal (Nordin M &

Frankel VH. 2001). Namun pada penelitian ini

tetap menunjukkan bahwa terdapat hubung-

an antara arcus pedis dan kemampuan lari

walaupun pengaruhnya tidak besar.

Arcus pedis mempengaruhi

kemampuan lari seseorang hanya pada

bagian kaki saja sebagai pegas untuk

mendorong ke depan, namun untuk

kemampuan lari sangat dipengaruhi pula

oleh kekuatan otot-otot tungkai dan sendi-

sendi yang terdapat pada tungkai.

Daftar Pustaka

Pate R, 1984. Dasar-Dasar Kepelatihan, t.p.

Semarang.

Wirhed R, 1988. Athletic Ability & the

Anatomy of Motion, Wolfe Medical

Publications, London.

Carr GA, 2003. Atletik untuk sekolah t.p.

Jakarta.

Bajpai, R.N., 1991. Osteologi Tubuh Manusia,

Binarupa Aksara, Jakarta.

Halim NI, 1992. Tes dan Pengukuran Dalam

Bidang Olahraga, t.p. Ujung Pandang.

Hamill J, 2003. Biomechanical Basis of Human

Movement 2nd ed., Lipincott Williams

& Wilkins, Philadelphia.

Nordin M & Frankel VH, 2001. Basic

Biomechanics of the Musculoskeletal

System 3rd ed., Lippincott, Maryland.

Datu AR, 2006. Anatomi Musculoskeletal,

Bagian Anatomi Fakultas

Kedokteran UNHAS, Makassar.

Noor DM. , 1979 Pengamatan Cetakan Telapak

Kaki Sekelompok Mahasiswa Indonesia,

Bagian Anatomi Fakultas

Kedokteran UNHAS, Makassar, hal

108 - 114.

Dahlan MS, 2004. Statistika Untuk

Kedokteran dan Kesehatan, PT

Arkans, Jakarta, hal. 163.

145

Page 12: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Hubungan Hiperaktifitas Simpatis Anak Dengan

Kelompok Riwayat Hipertensi Ibu Melalui

Cold Pressure Test (CPT)

Mochammad Erwin Rachman

Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar

Abstrak

Hubungan hiperkatifitas simpatis anak dengan kelompok riwayat hipertensi

ibu melalui test Cold Pressure Test (CPT). Penelitian kami bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh riwayat hipertensi ibu terhadap hiperaktifitas

simpatis anak. Dengan menggunakan sebanyak 173 sampel mahasiswa Fakultas

Kedokteran UMI Makassar yang berumur 18-21 tahun tanpa membedakan jenis

kelamin dan suku. Jenis penelitian adalah crossectional study dengan pengolahan

data menggunakan program Windows SPSS version 12,0 yang hasilnya berupa

persentase dan tingkat resiko disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dengan

tingkat kemaknaan p=0,05. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari resiko

hiperatifitas simpatis terbesar adalah kelompok anak yang mempunyai ibu hipertensi

yaitu 50% atau 1,84 kali (PR = 0.79-2.34), disusul oleh kelompok anak yang

mempunyai riwayat keluarga hipertensi sebesar 42 % atau 1,36 kali (PR = 0.79-2.34),

selanjutnya kelompok anak dengan riwayat ayah dan ibu hipertensi sebesar 33% atau

0,91 kali (PR = 0.33-2.56), kemudian kelompok anak dengan riwayat ayah hipertensi

sebesar 32% atau 0,87 kali (PR = 0.51-1.55. Terkecil adalah kelompok anak tanpa ada

riwayat hipertensi sebesar 24% atau 0,59 kali (PR = 0.34 -1.05). Kesimpulan : Bahwa

anak yang mempunyai hubungan riwayat hipertensi ibu akan lebih besar menderita

hipeaktifitas simpatis dibandingkan kelompok riwayat hipertensi lainnya.

Kata kunci : Hipertensi, Hipereaktor , kelompok riwayat keluarga hipertensi, CPT.

ARTIKEL ASLI

Hiperaktifitas Simpatis, Hipertensi, CPT

146

5

Page 13: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Hipertensi merupakan masalah

kesehatan penting bagi dokter yang bekerja

pada pelayanan kesehatan primer, karena

angka prevalensi yang tinggi, dan akibat

jangka panjang yang ditimbulkan mempunyai

konsekuensi tertentu. (Nitemberg at all, 2994)

Hasil survei kesehatan menunjukkan lonjakan

kematian akibat penyakit kardiovaskuler

dengan proporsi penyakit tersebut mening-kat

dari tahun ke tahun. Tahun 1975 kematian

akibat kardiovaskuler 5,9%, tahun 1981

merambat sampai 9,1%, tahun 1986

melonjak menjadi 16% dan tahun 1995

meningkat menjadi 19%. Di berbagai negara

maju maupun berkembang lebih dari 25

ahun, penyakit ini menjadi pembunuh

nomor satu.

Seperti telah diketahui bersama

dibeberapa literature ,adanya peranan

respon system saraf simpatis yang

berlebihan (hiperaktifitas simpatis) akan

memicu peningkatan resistensi total pada

The Relation Of The Symphatetic Hyperactivity Of Child With

The Group History Hypertension Mother Fellow Through

The Method Cold Pressure Test (CPT) Mochammad Erwin Rachman

Abstract

The relation the simphatetic hyperactivity of child with the group history

hypertension mother fellow through the method cold pressure test (CPT). Our

Research try to prove the mentioned , by using 173 sample of student Medical

Faculty of University Indonesia Moslem Macassar which old age 18-21 year without

reference to difference type of gender and tribe. This research represent the its data-

processing Crossectional study use the Windows SPSS version 12,0 with the

percentage and result of test Crosstabulation seenly is risk estimate that 50 % with

the risk value of a child will be more be big experience of the simphatic hyperactivity

(hiperactor) equal to 1.84 times (PR = 0.91-3.71).From group of hypertension mother

is later then caught up by a family history of equal to 42% at risk to 1.36 times (PR =

0.79-2.34) , then factor of father and mother equal to 33% at risk to 0.91 times (PR =

0.33-2.56), then factor of hypertension father is equal to 32 % at risk to 0.87 (PR =

0.51-1.55), and last of factor nonriwayat is equal to 24% at risk to 0.595 (PR = 0.34

-1.05). Conclusion : There are relation influence of factor generation Hypertension

Mother more is influential compared by factor of other group.

Keyword : Hypertension, Hipereactor , Group of family fellow Hypertention,

CPT.

147

Page 14: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

pembuluh darah perifer melalui perangsangan

pada reseptor α-1 adrenergik yang terutama

pada pembuluh darah arteriole. Disamping

itu, perangsangan system saraf simpatis akan

menyebabkan peningkatan kerja jantung

berupa peningkatan curah jantung melalui

reseptor β-1 agrenergik yang peka terhadap

norpineprin. Dengan demikian, maka hal

tersebut akan menyebabkan terjadinya

hipertensi.

Hipertensi disebabkan oleh multi-

faktorial, berupa pola dan gaya hidup yang

tidak sehat, usia, akibat komplikasi beberapa

penyakit tertentu, serta adanya factor

keturunan/genetic dari orang tua kepada

anaknya. (Ganong, 2002; Gayton, 1991;

Sidabutar et. all., 1994) Salah satu faktor yang

sangat beresiko menyebabkan hipertensi

adalah riwayat hipertensi keluarga.

V Lascaux-Lefebvre (1999) menemukan

terdapat relasi antara riwayat hipertensi pada

orang tua sebelum berumur 60 tahun dengan

hipertensi keturunannya. Relasi itu bahkan

lebih nyata lagi pada orang yang kedua orang

tuanya mempunyai riwayat hipertensi

dibandingkan orang yang kedua orang tuanya

tidak mempunyai riwayat hipertensi

(Markum, 1991).

Pada tulisan penelitian ini , kami akan

mencoba membuktikan korelasi ada tidaknya

hubungan antara factor kelompok turunan

hipertensi dari orang tua dan keluarga yang

kemungkinan akan diderita oleh anak untuk

menimbulkan hiperaktifitas system saraf

simpatis yang mana hal ini berhubungan

dalam patomekanisme untuk timbulnya

hipertensi pada anak dikemudian hari. Untuk

hal tersebut, kami menggunakan percobaan

Cold Pressure Test (CPT) atau Test

Pendinginan, dimana pada test sederhana ini

parameter yang digunakan berupa adanya

peningkatan kerja dari sistem saraf simpatis

yang disebut dengan Hipereaktor yang

timbul pada saat lengan subjek dicelupkan

pada air dingin dengan suhu 3-5o C selama

30 detik. (3) CPT adalah test sederhana dan

dapat dilakukan dimana saja , yang dapat

mengukur adanya hiperaktifitas simpatis,

dengan cara mem-beri stimulus fisiologis

external berupa suhu dingin. Test ini akan

menstimulasi saraf simpatis sehingga dapat

ditentukan apakah saraf simpatis

hiperaktifitas atau tidak. Secara fisiologis

adanya perang-sangan suhu dingin akan

merangsang pusat pengatur suhu di

Hipothalamus anterior, yang akan

mempengaruhi pusat vasomotor di batang

otak, kemudian melalui sistem saraf

simpatis untuk meningkatkan tonus pem-

buluh darah arteri dan arteriole serta kerja

dari jantung untuk meningkatkan tekanan

darah (Gayton, 1991, Irfan & Agnes, 2005).

Carol et all (1996) dan Fumiyagi Kasogi

(1995), test ini mendeteksi pening-katan

tekanan darah subjek akan meningkat pada

umur pertengahan (40 tahun keatas),

apabila tidak dicegah faktor-faktor penye-

bab terjadinya hipertensi (Irfan & Agnes,

2005).

Hasil penelitian ini diharapkan

dapat membuktikan korelasi peningkatan

hiperaktifitas simpatis pada seorang anak

kelompok penderita hipertensi ada atau

tidak, kemudian apakah hiperaktifitas

simpatis tersebut akan menjadi lebih besar

untuk terkena hipertensi dikemudian hari

atau tidak masih perlu pemantauan subyek

lebih lanjut sampai subjek mencapai umur

kans resiko menderita hipertensi yaitu usia

pertengahan (40 tahun keatas), serta jika

148

Page 15: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

test ini dapat membuktikan hal tersebut, maka

test ini diharapkan dapat menjadi salah satu

metode sederhana untuk mencegah sedini

mungkin untuk timbulnya hipertensi

dikemudian hari bagi yang mempunyai

riwayat hipertensi dari orang tua.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah Crossectional

Study, yang membandingkan reaksi

hiperaktifitas simpatis berupa hipereaktor

pada kelompok subjek yang mempunyai

riwayat hipertensi dari orang tua maupun

keluarga, melalui test pendinginan (CPT).

Tempat penelitian dilaksanakan di

Laboratorium Ilmu Fisiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

yang menggunakan subjek penelitian adalah

mahasiswa-mahasiswi Fakultas Kedokteran

Universitas Muslim Indonesia Makassar

sebanyak 173 sampel, dengan usia berkisar 18-

21 tahun tanpa memandang perbedaan jenis

Kelamin, yang sebelumnya menandatangani

informed consent yang telah disiapkan.

Dalam penelitian ini diawali dengan

pelaksanaan pembagian kuisoner riwayat

hipertensi pada populasi subjek, yang

kemudian diadakan pengelompokkan

berdasarkan ada dan tidaknya riwayat

hipertensi dari orang tua dan keluarga,

menjadi : Kelompok subjek dengan riwayat

hipertensi dari ayah, ibu, ayah dan ibu,

keluarga, dan tanpa riwayat hipertensi .

Sebelumnya, subjek diminta untuk istirahat 10

menit lalu diukur tekanan darah istirahatnya

dengan menggunakan sphygmanometer

digital sebagai pretest, selanjutnya dilakukan

kegiatan posttest berupa test pendinginan

dengan perendaman lengan subjek sampai

sedikit diatas siku dalam wadah

menggunakan air dingin bersuhu 3-5o C.

Setelah lengan subjek direndam, setiap 30

detik, tekanan darah dan nadi diukur

kembali dengan memakai sphygmano-

meter digital. Perubahan sistolik maupun

diastolik saat perendaman ini akan

dibandingkan dengan tekanan darah

istirahat, apakah ada hipereaktor atau

hiporeaktor.

Hasil Penelitian

Pada penelitian ini, kami meng-

gunakan 173 sampel dari hasil pemerik-

saaan Cold Pressure Test (CPT) selama 30

detik pada subyek mahasiswa Fakultas

kedokteran UMI yang berumur berkisar

18 – 21 tahun pada tahun 2004-2005.

Pada penelitian ini, kami membagi

sampel menjadi 5 kelompok berdasarkan

riwayat turunan hipertensi kedua atau

salah satu orang tua serta yang tidak

mempunyai riwayat : Ayah yang hipertensi

(A+) sebanyak 43 sampel, ibu yang

hipertensi ( I+) sebanyak 26 sampel, Ayah

dan ibu hipertensi (AI+) sebanyak 15

sampel, dari keluarga yang hipertensi (K+)

sebanyak 40 sampel, dan yang tidak

memiliki faktor keturunan non-hipertensi

sebanyak 49 sampel.

Dari tabel dan grafik terlihat bahwa

dari pengolahan data dengan melihat hasil

Chi-Square semua kelompok (5) sampel,

dimana dari data semuanya menunjukkan

hubungan yang lemah antara faktor

turunan hipertensi dari orang tua kepada

anaknya terhadap peningkatan

hiperaktifitas sistem saraf simpatis

(hiperpereaktor). Dengan melihat resiko

estimasi terlihat bahwa nilai resiko seorang

anak akan lebih besar mengalami

149

Page 16: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

hiperaktifitas simpatis (hiper-aktor) sebesar

1.84 kali (PR = 0.91-3.71) dari kelompok ibu

hipertensi. Kemudian disusul riwayat

keluarga sebesar 1.36 kali (PR = 0.79-2.34 ),

lalu faktor ayah dan ibu sebesar 0.91 kali (PR =

0.33-2.56), lalu faktor ayah hipertensi 0.87

(PR = 0.51-1.55), dan terakhir faktor

nonriwayat sebesar 0.595 (PR = 0.34-1.05 ).

Tabel 1. karakteristik dan hasil sampel penelitian

Variabel Ibu

(+)

Ayah

Ibu (+)

Ayah

( +)

Keluar

ga (+)

Non

riwayat

Sampel (n) 26 15 43 40 49

Gender(L/P) 6/20 7/8 23/20 16/24 23/26

Umur (Thn) 19.5 +

0.78

19.5 +

0.99

19.5 +

0.80

19.6 +

0.94

19.5 +

0.99

TB (cm)

BB (kg)

155.8 +

5.3

49.3 +

11.1

160.2 +

9.3

49.9 +

7.9

64.6 +

19.2

56.6 +

13.7

155.5 +

17.5

49.5 +

9.9

160.4

+ 7.3

52.6

+ 9.9

CPT 30 dtk

Hipereaktor

Hiporeaktor

13

(50%)

13

(50%)

5 5

(33%)

10

(67%)

14

(32%)

29

(68%)

17

( 42% )

23

( 58 %)

12

( 24 % )

37

( 76 % )

PR

1.84

(0.91 -

3.71)

0.91

(0.33 -

2.56)

0.87

(0.51 -

1.55)

1.36

(0.79 -

2.34)

0.595

(0.34 -

1.05)

Chi-Square

(P)

0.08 0.87 0.67 0.27 0.06

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Ayah + Ibu + Ayahibu

+

Keluarga

+

non

Hiper

normal

Berdasarkan prosentase yang meng-alami

hiperaktifitas simpatis (hipereaktor) terlihat

bahwa ; nilai prosentase tertinggi di alami oleh

kelompok sampel dengan riwayat

hipertensi dari ibu sebesar 50 %, kemudian

riwayat keluarga sebesar 42%. Kemudian

disusul riwayat ayah dan ibu sebesar 33%,

lalu riwayat ayah sebesar 32 %, dan terakhir

adalah non-riwayat sebesar 24 %.

Diskusi

Dari hasil penelitian kami dapat

dilihat bahwa faktor riwayat hipertensi ibu

nampaknya lebih berpengaruh untuk bisa

meningkatkan hiperaktifitas sistem saraf

simpatis yang disebut hipereaktor pada

anak dibandingkan dari riwayat hipertensi

ayah maupun non riwayat baik dilihat dari

resiko estimasi maupun secara prosentase

yang dapat dilihat pada tabel di atas.

Walaupun faktor keturunan hipertensi

mempunyai hubungan yang lemah, dengan

signifikan (p>0,05) terhadap hiperaktivitas

saraf simpatis pada anak. Hasil penelitian

ini didukung oleh adanya studi yang

dilaku-kan oleh Kuznetsova T et all tentang

kecen-derungan pengaruh maternal lebih

besar daripada paternal pada pembesaran

ventrikel kiri seorang anak (Kuznetsova,

2002) dan oleh beberapa studi sebelumnya

antara lain Musante et al, Kellogg FR et all,

Lemne CE dan Hansen HS et all. Musante

(1990) dari hasil studinya mengemukakan

bahwa terdapat pengaruh riwayat

hipertensi keluarga terhadap reaktivitas

kardiovaskuler pada anak, dengan menggu-

nakan metode forehead cold stimulation

(Thomas et all, 2000). Studi lain yang

dilakukan oleh Kellogg (1981) dan Hansen

(1992) menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara riwayat hipertensi

keluarga dengan peningkatan tekanan

darah pada anak yang menjelang dewasa

150

Page 17: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

(Musante, 1990; Kellogg, 1981; Lamne, 1998;

Kelsey, 2000). Tetapi hal ini terutama berbeda

dengan penelitian yang dilakukan oleh Lemne

(1998) pada anak-anak diatas 12 tahun, dimana

riwayat hipertensi ayah mempengaruhi

peningkatan tekanan darah anak (Hansen,

1992).

Belum ada teori maupun studi

sebelumnya yang secara mendetail

menjelaskan bahwa faktor ibu yang lebih

berpengaruh dibandingkan ayah dalam

meningkatkan hiperaktifitas simpatis pada

anak. Walaupun kemungkinan hal ini

dikaitkan dengan adanya factor turunan

kromosom pada DNA mitokondria ibu yang

dominan melalui proses fertilisasi, dimana

mitokondria sel sperma tidak dapat masuk ke

dalam sel telur ibu seperti halnya penjelasan

studi oleh Kuznetsova T et all. tentang

kecenderungan pengaruh maternal lebih besar

daripada paternal pada pembesaran ventrikel

kiri seorang anak (Kuznetsova, 2002). Tetapi

hal ini perlu di telusuri lebih lanjut dengan

menambah jumlah sampel penelitian maupun

pada populasi yang lain , serta metode alat

yang lebih mendukung untuk dapat

menjelaskan tentang apakah memang faktor

turunan hipertensi ibu lebih berpengaruh

dibandingkan faktor ayah dalam peningkatan

hiperaktifitas simpatis pada anak.

Kesimpulan

Faktor riwayat hipertensi ibu lebih

berpengaruh untuk bisa meningkatkan

hiperaktifitas sistem saraf simpatis (hipe-

reaktor) pada anak dibandingkan dari riwayat

hipertensi ayah maupun non riwayat melalui

metode Cold Pressure Test (CPT).

Daftar Pustaka

Ganong WF, 2002. Hipertensi, Homeostatis

Cardiovascular dalam keadaan Sehat

dan Sakit dalam Buku Fisiologi

Kedokteran, Lange EGC, Edisi 20 ,

Penerbit Buku Kedokteran , Jakarta,

hal. 615 – 16.

Guyton AC, 1991. Hipertensi dalam Buku

Fisiologi Manusia dan Mekanisme

Penyakit, Lange EGC, Edisi Revisi,

Penerbit Buku Kedokteran Jakarta.

Idris, Irfan., Agnes B., 2005. Hubungan

Peningkatan Hiperaktifitas Simpatis

dengan Kejadian Preeklampsia dan

Hipertensi Pada Ibu Hamil, dalam

Jurnal Penelitian Pascasarjana

Universitas Hasanuddin.

Hansen HS. et all., 1992. Blood Pressure and

Cardiac Structure in Children with a

Parental History of Hypertension: The

Odense Schoolchild Study. J

Hypertens; 10(7): 677-82

Kellogg FR et all., 1981. Influence of Familial

History of Hypertension on Blood

Pressure During Adolescence. Am J

Dis Child ;135(11) : 1047-9

Kelsey et all. 2000. Consistency of

Hemodynamic Responses to Cold Stress

in Adolescents Hypetension ; 36(6):

1013-7.

Kuznetsova T et all, 2002. Maternal and

Parental Influences on left Ventricu-

lar mass of offspring, Hypertension.

American Heart Association : 69-74.

Lemne CE, 1995. Increased Blood Pressure

Reactivity in Children of Borderline

Hypertensive Fathers. J Hypertensi ;

16(9): 1243-8.

151

Page 18: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Loyke HF, Saint V, 1995. The Cold Pressure test

Is Predictor Of the Severirty Of Hiperten-

sión. Medical Journal ; 88(3) : 300-4.

Markum AH, 1991. Hipertensi Sistemik, dalam

buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I,

Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Facultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta ; 639.

Musante L et all., 1990. Family history of

hypertension and cardiovascular reactivity

to forehead cold stimulation in black male

children. J Psychosom Res ; 34(1) : 111-6.

Nitemberg A, Cheula D, Anthony I,

2004. “Epicardial Coronary Arteri

Contruction Cold Pressure Test is

Predictive of Cardiovascular Events” In

Hipertensión patients UIT Angiogra-

phically Normal Coronary Arteries and

Without Other Major Coronary Risk

Factor, Centre Hospitalier Universty Jean

Verdier. France ; 173(1) ; 115-23.

Rajashekar RK, Nivedhita Y, Ghosh S,

2003. Blood Pressure Response To Cold

Pressure Test in Siblings Of Hiper-

tensión, Department Of Physiology,

Kasturba Medical College,

Mangalore, India ; 47(4) ; 453-8.

Setiawan A et. all, 1995. Antihipertensi,

dalam Buku Ajar Farmakologi dan

Therapi, Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Uviversitas

Indonesia, Edisi 4 ; 315 – 16.

Sidabutar RP , Wiguno P, 1994. Hipertensi

Essencial dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit

FK-UI, Jakarta ; 205-6.

Thomas F, Lusher, Mathias B., 2000.

Endothelins and Endothelin Receptor

Antgonist, Circulatio ; 102 ; 2434 – 40.

152

Page 19: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Perilaku Merokok dan Kesehatan Mental Pasien

Rawat Jalan Sindrom Metabolik di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar 2009

Nurhaedar Jafar, Harlina dan Lucianne Drusilla Rante

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

Abstrak

Tingginya prevalensi sindrom metabolik disebabkan oleh faktor gaya hidup

dan lingkungan. Penelitian ini betujuan untuk mengetahui hubungan kesehatan

mental dan perilaku merokok dengan kejadian sindrom metabolik. Jenis penelitian

yang digunakan adalah deskriptif-analitik dengan pendekatan cross-sectional.

Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang berobat jalan di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar. Sampel penelitian adalah pasien rawat jalan baru yang

berkunjung di bagian Poliklinik Endokrin. Pengambilan sampel dilakukan dengan

metode accidental sampling yaitu sebanyak 140 orang. Data diolah dengan

menggunakan program SPSS dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Variabel

kesehatan mental dianalisis dengan menggunakan uji statistic chi-square. Hasil

penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden yang mengalami sindrom

metabolik tidak merokok (80,2%), yang merokok umumnya adalah perokok berat

(91,7%), merokok filter (75%), dengan lama merokok singkat (75%). Untuk kesehatan

mental diperoleh nilai P = 1,000 > α (0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara

gangguan kesehatan mental dengan kejadian sindrom metabolik. Penelitian ini

menyarankan perlunya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai

pengaruh kesehatan mental terhadap kejadian sindrom metabolik.

Kata kunci : sindrom metabolik, merokok, kesehatan mental

ARTIKEL ASLI

Merokok, Kesehatan Mental, Sindrom

Metabolik

153

Page 20: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Sindrom metabolik adalah sekelompok

kelainan metabolik baik lipid maupun non-

lipid yang merupakan faktor risiko penyakit

jantung koroner, yang terdiri atas obesitas

sentral, dislipidemia aterogenik (kadar

trigliserida meningkat dan kadar kolesterol

high density lipoprotein (HDL) rendah),

hipertensi, dan glukosa plasma yang abnormal

(Adriansjah, & Adam, 2006).

Di Indonesia, penelitian yang

dilakukan oleh Himpunan Studi Obesitas

Indonesia (HISOBI) didapatkan prevalensi

sindrom metabolik dengan menggunakan

criteria the National Cholesterol education

Program (NCEP) Adult Treatment Panel

(ATP) III sebesar 24,4 % dari 3.429 populasi

yang diteliti (Sartika, C., 2006). Sindrom

Metabolik (SM) berkaitan erat dengan

faktor penyebab obesitas seperti pola

makan, kurang olah raga, gaya hidup dan

faktor genetik. Salah satu komponen gaya

hidup yang merugikan kesehatan adalah

merokok dan konsumsi alkohol.

Berdasarkan laporan NCHS tahun

2005 prevalensi merokok (18 tahun keatas)

adalah 46.600.000 (25.900.000 laki-laki dan

20.700.000 wanita)3 American Hearth

Association, 2008.. WHO melaporkan

bahwa Indonesia adalah salah satu dari

Smoking Behavior and Mental Health with Metabolic Syndrome Out-

Patient in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar 2009 Nurhaedar Jafar, Harlina dan Lucianne Drusilla Rante

Abstract

The high prevalence of metabolic syndrome is caused of lifestyle and environment

factors. This study was aimed to know the association of mental health and description

of smoking behavior with metabolic syndrome. This study was an descriptive study.

The study population was all visitor of Endocrine polyclinic in Dr.Wahidin Hospital.

The study sample was the new out-patient visiting in Endocrine polyclinic. Sampling

was done by accidental sampling with 140 samples. Data was processed using SPSS

program and presented in table and narration. Mental health variable was analyzed

statistic with chi-square test. The study result showed that most of respondent having

metabolic syndrome did not smoke (80.2%), the smoker commonly heavy smoker

(91.7%), filter cigarette (75%), short smoking period (75%). The analysis result

showed that P Value (P=1,000) higher than α value ( α=0,05), this means that there

was no association between mental health disorder and metabolic syndrome. This study

suggest that it is necessary to be done a further study that more deep about the effect of

mental health with metabolic syndrome.

Key words : Metabolic syndrome, Mental health, smoking

154

Page 21: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

lima negara yang terbanyak perokoknya di

dunia. Prevalensi perilaku merokok di

kalangan orang dewasa juga semakin

meningkat (tahun 1995 sebesar 26,9% dan

tahun 2004 sebesar 35%). Sebanyak 70%

penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan

dilihat dari sisi Rumah Tangga (RT) 57%

memiliki anggota RT yang merokok, dan

hampir semuanya merokok di dalam rumah

ketika bersama anggota RT lainnya. Bahkan

yang lebih memprihatinkan adalah

masyarakat mulai merokok sejak usia 8 tahun

(Nuryati, 2007).

Studi eksperimental yang baru

menunjukkan bahwa merokok dapat merusak

kerja insulin secara akut, pada subjek baik

yang sehat maupun pada pasien Non-insulin

Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

(Targher et all., 2009). Kejadian sindrom

metabolik juga tidak lepas dari pengaruh

lingkungan. Faktor lingkungan yang di

maksud terkait dengan kondisi kesehatan

mental khususnya stres yang dialami

penderita sindrom metabolik yang dapat

mengakibatkan berbagai gangguan seperti

gangguan fisiologis, psikologis dan perilaku.

Data hasil Riskesdas 2007 menunjukkan

bahwa prevalensi nasional gangguan mental

emosional pada penduduk yang berumur ≥ 15

tahun sebanyak 11,6%. Prevalensi tertinggi

terdapat di provinsi jawa barat (20%) dan

terendah di kepulauan Riau (5,1%)

(Riskesdas, 2008).

Penelitian ini ditujukan untuk

memperoleh informasi tentang hubungan

kesehatan mental dan gambaran perilaku

merokok dengan kejadian sindrom metabolik.

Bahan dan Metode

Lokasi, populasi, dan sampel penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poli

Endokrin RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

Makassar. Lokasi ini dipilih mengingat poli

ini merupakan pusat pelayanan rawat jalan

yang di dalamnnya mencakup bagian

Diabetes dan Hipertensi.

Populasi dalam penelitian ini yaitu

seluruh pasien yang berobat jalan di RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

Sampel adalah pasien rawat jalan baru yang

berkunjung ke bagian Poli Endokrin.

Jumlah sampel yang diambil sebanyak 140

orang dengan pengambilan sampel secara

accidental sampling yaitu mereka yang

datang pada saat penelitian berlangsung

dan bersedia untuk diwawancarai.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder

berupa hasil pemeriksaan laboratorium

pasien dan data primer berupa wawancara

dengan menggunakan format kuesioner.

Kuesioner mencakup pertanyaan tentang

perilaku merokok dan keadaan kesehatan

mental Selain itu dilakukan pula

pengukuran antropometri pasien berupa

penimbangan berat badan, pengukuran

tinggi badan dan lingkar perut. Data diolah

dan dianalisis dengan menggunakan

program SPSS 12 dan disajikan dalam

bentuk narasi dan tabel. Data kesehatan

mental dianalisis dengan uji statistic chi-

square. Kesehatan mental dinilai

berdasarkan Riskesdas dan Mini

Neuropsychiatri.

Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Tabel 1 menunjukkan bahwa

sebagian besar kelompok umur yang

155

Page 22: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

mengalami sindrom metabolik adalah yang

berumur 40-49 tahun yaitu 87%, sedangkan

yang tidak mengalami sindrom berumur < 40

tahun yaitu 57,1%. Persentase tertinggi yang

mengalami sindrom metabolic adalah jenis

kelamin perempuan (78,6%) sedangkan

berdasarkan pendidikan, yang mengalami

sindrom metabolik adalah yang berlatar

pendidikan diploma (95,2%) sedangkan yang

tidak mengalami sindrom adalah sarjana

(32,4%). Jenis pekerjaan responden yang

mengalami sindrom sebagian besar adalah

pedagang (100%), sedangkan yang tidak

mengalami sindrom metabolik sebagian besar

berprofesi sebagai IRT (20%).

2. Perilaku Merokok

Tabel 2 menunjukkan komponen

perilaku merokok. Berdasarkan status

merokok, sebagian besar responden yang

mengalami sindrom metabolik (SM)

umumnya tidak merokok yaitu 80,2%. Dari

38,6% responden yang merokok, yang

mengalami SM sebagian besar merupakan

perokok berat (konsumsi ≥ 20 batang/hari)

yaitu 91,7%. Jenis rokok yang dikonsumsi oleh

responden yang menderita SM sebagian besar

adalah berfilter yaitu 75% sedangkan yang

tidak mengalami SM sebagian besar

mengkonsumsi rokok non-filter (30%).

Berdasarkan lama merokok, sebagian besar

responden yang menderita sindrom metabolik

lama merokoknya singkat (< 10 tahun) yaitu

75%.

3. Kesehatan Mental

Tabel 3 menunjukkan bahwa

responden yang mengalami gangguan

kesehatan mental berdasarkan Riskesdas,

sebagian besar menderita sindrom metabolik

yaitu 78,5% sedangkan yang tidak

mengalami gangguan mental sebanyak

21,5% yang tidak mengalami sindrom

metabolik. Hasil analisis dengan Uji Chi

Square diperoleh nilai p= 1,000 > 0,05 maka

hipotesis nol diterima, ini berarti bahwa

tidak ada hubungan antara gangguan

kesehatan dengan kejadian sindrom

metabolic berdasarkan kriteria Riskesdas.

Tabel 3 menunjukkan bahwa res-

ponden yang mengalami gangguan mental

berdasarkan Mini Neuropsychiatric

sebagian besar mengalami sindrom

metabolik yaitu 77,5%. Sedangkan yang

tidak mengalami gangguan mental, yang

mengalami sindrom metabolic yaitu 77,8%.

Hasil analisis statistik dengan chi square

diperoleh nilai p = 1,000 > 0,05 maka

hipotesis nol diterima. Hal ini berarti tidak

ada hubungan antara gangguan kesehatan

mental menurut Mini Neuropsychiatric

dengan kejadian sindrom metabolik.

Pembahasan

1. Perilaku Merokok

Sindrom metabolik merupakan

kumpulan gejala metabolik yang juga

merupakan salah satu faktor risiko yang

manifestasi akhirnya adalah penyakit

kardiovaskuler. Hal ini disebabkan oleh

pengaruh gaya hidup dan lingkungan

disamping faktor genetik, jenis kelamin,

umur, hiperkolesterol, diabetes mellitus,

dan obesitas. Salah satunya komponen gaya

hidup adalah merokok.

Merokok diketahui dapat

menurunkan jumlah kolesterol HDL,

meningkatkan kadar LDL serta merangsang

hormon katekolamin yang bersifat memacu

jantung dan tekanan darah. Jantung tidak

156

Page 23: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

diberikan kesempatan beristirahat dan

tekanan darah semakin tinggi, yang berakibat

timbulnya hipertensi yang merupakan faktor

risiko sindrom metabolic (Kabo, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa

sebagian besar responden yang mengalami

sindrom metabolik tidak merokok. Hanya

74,1% responden yang merokok. Sedangkan

yang tidak SM 25,9 % yang merokok.

Yang terpenting dalam rokok adalah

jumlah batang rokok yang dikonsumsi, bukan

lamanya seseorang merokok (Soeharto, 2004).

Orang yang merokok > 20 batang sehari dapat

mempengaruhi atau memperkuat dua faktor

risiko utama (Hipertensi dan

hiperkolesterolemia) (Anwar, 2004). Dari hasil

penelitian diperoleh bahwa sebagian besar

reponden yang merokok dan mengalami

sindrom metabolik umumnya adalah perokok

berat (konsumsi > 20 batang/hari) yaitu 91,7%,

sedangkan yang tidak sindrom adalah

perokok ringan (31%). Merokok ≥ 20

batang/hari akan menurunkan HDL (laki-laki

11%, perempuan 14%). Angka kesakitan dan

kematian yang berhubungan dengan merokok

sigaret hampir bekorelasi linier dengan jumlah

batang rokok yang dihisap setiap hari dan

tahun pemakaian.

Berdasarkan jenis rokok yang

dikonsumsi, umumnya responden yang

mengalami sindrom metabolik menggunakan

rokok filter (sigaret ) yaitu 75%. Maraknya

penggunaan filter dan sigaret yang “ rendah

tar dan nikotin” telah mengurangi risiko

secara nyata, tetapi masih membutuhkan

waktu lebih lama untuk menilai kegunaan

cara tersebut. Walaupun adanya penggunaan

filter, namun apabila perokok mengambil

hisapan lebih besar sehingga pemaparan ke

berbagai komponen asap rokok yang

berbahaya namun tidak mnurunkan risiko

karena rokok yang berfilter memberikan

banyak CO daripada rokok nonfilter

(Humranengsi, 2002). Berdasarkan lama

merokok diperoleh bahwa persentase

tertinggi responden yang mengalami SM

adalah yang lama merokoknya singkat ( <10

tahun) yaitu 75%, sedangkan yang tidak SM

sebagian besar telah lama merokok ( ≥10

tahun) yaitu 26%. Lama kebiasaan merokok

merupakan dose response terhadap

kejadian sindrom metabolik. Variabel

jumlah rokok yang dihisap setiap hari lebih

menggambarkan efek kumulatif dari bahan

beracun yang terkandung dalam rokok

dibandingkan dengan lama kebiasaan

merokok. Hasil penelitian “ Lipid Research

Program Prevalence Study” menyebutkan

bahwa yang paling penting adalah jumlah

rokok yang dikonsumsi dibandingkan

lamanya seseorang merokok (Anwar,

2004).

Penelitian yang dilakukan oleh

Wardoyo (1999) yang mengatakan bahwa

rokok sangat berpengaruh terhadap

hipertensi dimana pengaruhnya bukan

hanya karena merokok tetapi sangat

dipengaruhi oleh lamanya dan jumlah

merokok, karena semakin lama merokok

dan banyaknya yang dihisap/dikonsumsi,

maka tekanan darah akan meningkat dalam

waktu yang lama pula, dan bahkan

cenderung untuk menetap. Zat yang dapat

menyebabkan tekanan darah meningkat

adalah nikotin, merangsang saraf simpatis

dan diikuti oleh pelepasan epinerfin

sehingga denyut nadi cardiac output,

resistensi vascular akan meningkat, dan

tekanan darah pun meningkat secara

intermitten (Jallo, 2006).

157

Page 24: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

2. Kesehatan Mental

Hasil penelitian diperoleh bahwa

berdasarkan kriteria Riskesdas menunjukkan

bahwa sebagian besar responden yang

mengalami gangguan mental, 78,5%

mengalami sindrom metabolic, sedangkan

yang tidak mengalami gangguan mental yang

mengalami sindrom metabolik juga tinggi

yaitu 77,0%. Dari analisis yang menggunakan

chi square diperoleh hasil bahwa tidak

terdapat hubungan antara keadaan kesehatan

mental berdasarkan riskesdas dengan kejadian

sindrom metabolik. Pada tabel 3 dapat dilihat

bahwa jumlah antara responden yang

mengalami gangguan mental dan tidak

mengalami gangguan mental baik yang

sindrom metabolik maupun yang tidak

sindrom metabolik menunjukkan angka yang

tidak terlalu menonjol atau hampir sama,

sehingga angka yang hampir sama inilah yang

mempengaruhi variabel keadaan kesehatan

mental berdasarkan riskesdas tidak

mempunyai hubungan dengan kejadian

sindrom metabolik, artinya responden yang

mengalami gangguan mental (78,5%) maupun

tidak mengalami gangguan mental (77,0%)

berpeluang untuk mengalami sindrom

metabolik. Walaupun dari analisis uji statistik

menunjukkan tidak ada hubungan antara

gangguan kesehatan mental berdasarkan

riskesdas dengan kejadian sindrom metabolik,

akan tetapi hasil penelitian ini menunjukkan

lebih banyak responden sindrom metabolik

yang mengalami gangguan mental. Hal ini

sesuai dengan teori bahwa gangguan mental

yang berkepanjangan akan mengakibatkan

seseorang mengalami kejadian sindrom

metabolik.

Dari hasil penelitian pada tabel 3,

berdasarkan kriteria Mini Neuropsychiatric

menunjukkan persentase responden

sindrom metabolik yang mengalami

gangguan mental (77,5%) lebih kecil

dibandingkan dengan responden yang

sindrom metabolik tetapi tidak mengalami

gangguan mental (78,3%). Dari analisis

dengan menggunakan uji chi square

diperoleh hasil bahwa tidak terdapat

hubungan antara variabel keadaan

kesehatan mental dengan kejadian sindrom

metabolik. Ini menunjukkan bahwa

keadaan kesehatan mental berdasarkan

Mini Neuropsychiatric tidak menentukan

seseorang mengalami kejadian sindrom

metabolik.

Banyak gejala yang berhubungan

dengan kesehatan mental akibat dari

adanya sindrom metabolik sehingga

menimbulkan rasa cemas, gelisah, khawatir,

dan ketakutan berlebihan pada responden.

Gangguan kesehatan mental ini juga timbul

akibat faktor umur dari responden

Akibat proses menua pada usia

lanjut mengalami berbagai perubahan yang

terjadi secara alami, baik aspek fisik, psikis

dan sosial. Berdasarkan indikator gangguan

mental-emosional (Depkes RI, 2007), maka

ditemukan 38,5% usia lanjut yang

mengalami gangguan mental-emosional

yang paling banyak dijumpai adalah

gangguan sulit tidur. Hal ini didukung oleh

penelitian oleh Tety S. (2005) yang

mendapatkan usia lanjut yang mengalami

gangguan tidur sangat banyak. Salah satu

gangguan kesehatan mental berupa

terganggunya pola tidur atau tidak dapat

tidur lelap. Gangguan pola tidur ini dapat

diakibatkan oleh meningkatnya hormon

stres dalam tubuh yang kemudian akan

mengganggu jalannya metabolisme

158

Page 25: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

sehingga detoksifikasi (proses penetralan

racun dalam tubuh) tidak berjalan

sebagaimana mestinya. Hal ini dapat

mengakibatkan produk sampingan

metabolisme yang dapat mengakibatkan

gelisah pada saat tidur. Pola tidur merupakan

suatu kebiasaan yang terbentuk dari suatu

proses namun pola tidur seseorang dapat

dipengaruhi oleh faktor kelelahan dan faktor

psikologis. Setelah bekerja keras seharian,

umumnya seseorang akan lebih mudah dan

cepat merasa ngantuk dan tertidur.

Sebaliknya, seseorang yang mengalami

kelainan psikologis, seperti banyak pikir,

sering merasa khawatir menyebabkan

gangguan pada dirinya sehingga kesulitan

untuk tidur. Hasil penelitiaan menunjukkan

bahwa bahwa seseorang yang tidur dibawah 6

jam sehari atau kurang tidur akan berdampak

pada stamina tubuhnya, yaitu tubuh menjadi

lesu, kurang konsentrasi dan lain-lain

(Sundari, 2005).

Hasil penelitian lain yang

dikemukakan oleh Leonard Marvyn (1995)

yang menyatakan bahwa stres, baik fisik

maupun emosional menyebabkan kenaikan

sementara pada tekanan darah namun bila

stres tersebut menjadi kebiasaan yang

menetap dalam kepribadian seseorang setiap

hari, maka tekanan darah pun akan naik dan

dalam periode waktu yang lama dan

cenderung untuk bertahan terus,

menyebabkan hipertensi yang menetap.

Sindrom metabolik merupakan kumpulan

gejala kelainan metabolik, yang penyebabnya

bukan hanya akibat stress, namun faktor gaya

hidup dan genetik juga berpengaruh

(Adriansjah & Adam, 2006).

Kesimpulan dan Saran

Secara keseluruhan dapat

disimpulkan bahwa responden yang

mengalami sindrom metabolik (SM)

sebagian besar tidak merokok, yang

merokok merupakan perokok berat, jenis

rokok yang dikonsumsi umumnya berfilter

dengan lama merokok ≥ 5 tahun. Untuk

kesehatan mental diperoleh bahwa Tidak

ada hubungan antara gangguan kesehatan

metal dengan kejadian sindrom metabolik

baik berdasarkan Riskesdas maupun Mini

Neuropsychiatric.

Berdasarkan hasil yang diperoleh

maka disarankan perlunya penelitian lebih

lanjut yang memperhatikan efek kumulatif

dari bahan berbahaya rokok dengan

menghitung jumlah rokok yang telah

dihisap sampai habis dan lama merokok

intensif dan juga penelitian yang lebih

mendalam mengenai pengaruh kesehatan

mental (fisiologis, psikologis dan perilaku)

terhadap kejadian sindrom metabolik.

Daftar Pustaka

Adriansjah, H., & Adam, J., 2006. Sindroma

metabolik; pengertian, epidemiologi

dan kriteria diagnosis. Forum

Diagnosticum, 2006. 4:0854-7165

American Hearth Association, 2008.

Update At Glance. Hearth diseases

and stroke statistik.

Anwar, T., 2004. Faktor risiko Penyakit

Jantung Koroner. Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatra

Utara.

Depkes RI, 2007. Modul entry data

kuesioner Riskedas, Jakarta

159

Page 26: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Humranengsi, Hubungan merokok dengan

kejadian PJK di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar tahun 2002.

Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Jallo, K., 2006. Faktor risiko yang dapat

mempengaruhi terjadinya hipertensi

pada usia dewasa muda (20 – 40

Tahun) Di Unit Rawat Jalan Rs

Labuang Baji Makassar. Skripsi FKM

Unhas Makassar

Kabo, P., 2008. Mengungkap pengobatan

penyakit jantung koroner. Jakarta : PT

Sun

Nuryati, S., 2007. Indonesia tobacco control

network. http://webbisnis.com/edisi-

cetak/opini/i.d66456.html. diakses 28

Juni 2008

Riskesdas, 2008. Laporan akhir Riset

Kesehatan Dasar Propinsi Sulawesi

Selatan. Depkes. Jakarta

Sartika, C., 2006. Penanda inflamasi, stress

oksidatif dan disfungsi endotel pada

sindrom metabolik. Forum diagnos-

ticum Prodia diagnostics educational

servis.

Soeharto, 2004. Serangan jantung dan

stroke. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama

Sundari, S., 2005. Kesehatan mental dalam

kehidupan. Jakarta: Rhineka Cipta

Targher, G., dkk., Cigarette smoking and

insulin resistance in patients with

noninsulin-dependent diabetes

mellitus. Journal of clinical

Endocrinology and metabolism.

www.jcem.endojournals.org.

diakses 22 Februari 2009

160

Page 27: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Analisis Resiko Kesehatan Terhadap Kontaminasi

Arsen Pada Air Minum di Daerah

Buyat Sulawesi Utara

Anwar Daud*, Nur Nasry Noor**, H.J. Mukono***, M. Sjahrul****

*Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM-UNHAS, Makassar **Jurusan Epidemiologi FKM-UNHAS

***Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM-UNAIR ****Jurusan Kimia Fakultas MIPA-UNHAS

Abstrak

Kontaminasi air tanah, terutama kontaminasi arsen adalah sangat berbahaya bagi

kesehatan manusia, bila air tersebut digunakan untuk keperluan rumah tangga. Di

Asia telah dilaporkan bahwa di Banglades, China dan India, Kamboja, Myanmar,

Pakistan, Thailand, Indonesia dan Laos ada daerah-daerah di mana air tanah tercemar

oleh arsen. Di Indonesia khususnya di Buyat konsentrasi arsen yang tinggi telah pula

ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko kesehatan pencemaran

arsen di Desa Buyat. Jenis penelitian adalah observasional dengan pendekatan

Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL),dimana jumlah sumur diperiksa

airnya 25 buah, jumlah kasus 54 penduduk yang menderita keliainan kulit (keratosis

atau hyperkeratosis). Hasil yang didapatkan, 90% air sumur tercemar di desa Buyat

dengan konsentrasi minimum (0,0063 mg/l), maksimum (0,1040 mg/l) dan rata-

rata±SD (0,040±0,030 mg/l). Risiko kesehatan (RQ) telah melampaui angka 1, Duration

time telah ditemukan 1,5 tahun,Cmax 0,0082 mg/l, dan laju konsumsi maksimum 53

ml/hari/orang dengan berat badan 35 kg.

Kata kunci : Analisis risiko keshatan, Pencemaran arsen, Buyat

ARTIKEL ASLI

Kontaminasi Arsen, Air Minum, Buyat

161

Page 28: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Setiap tahun, insiden kontaminasi

arsen pada air-tanah dilaporkan dari negara-

negara Asia. Sebagai contoh, beberapa tempat

di China baru-baru ini telah dilaporkan

menjadi daerah masalah yang baru.

Kontaminasi arsen parah juga dilaporkan dari

Vietnam dan Indonesia, dimana beberapa juta

orang dikatakan berisiko tinggi untuk

mengalami keracunan arsen kronis (Rahman

dkk, 1999, 2006;, Daud dan Azis, 2005, 2007).

Laporan pertama tentang arsen di

sumur-sumur bor, sumur gali dan sumber

mata air dilaporkan pada tahun 1976 di India.

Tahun yang sama dilaporkan bahwa

masyarakat meminum air terkontaminasi

arsen di Chandigarh dan beberapa

perkampungan seperti Punjab, Haryana,

Himachal Pradesh di India bagian utara.

Kandungan arsen yang tinggi ditemukan

pada hati mereka yang mengalami fibrosis

portal non-sirosis (NCPF) dan meminum air

yang terkontaminasi arsen. Kontaminasi

arsen pada air-tanah di propinsi Bengal

Barat pertama kali ditemukan pada bulan

Juli 1983. Pada tahun yang sama,

ditemukan sekitar 16 pasien menglami lesi-

lesi kulit akibat arsen, diidentifikasi dari

salah satu kampung dalam distrik Parganas

Smoking Behavior and Mental Health with Metabolic Syndrome Out-

Patient in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar 2009 Nurhaedar Jafar, Harlina dan Lucianne Drusilla Rante

Abstract

Groundwater Contamination, especially arsenic is very dangerous for human health if

water is used for domestic purposes. In Asia was report that in Bangladesh, China and

India, Cambodia, Myanmar, Pakistan, Thailand, Indonesia and Laos are arsenic

pollution areas. This study was health risk assessment for arsenic pollution in Buyat

Village, This study was intended to examine risk factors of rice, drinking water,

urinary, and blood arsenic levels to skin lesions at peoples in North Sulawesi. This

was observational study with design Environmental Health Risk Assessment (EHRA)

whereas 25 wells examined and cases (n=54) were people suffering for skin lesion

(keratosis or hyperkeratosis) living in Buyat Village (exposure areas). The result, 90%

dig wells in Buyat Village were arsenic contamination with minimum (0,0063 mg/l),

maximum (0,1040 mg/l) and mean ± SD (0,040±0,030 mg/l). Health risk (RQ) was

over than value one, duration times 1.5 years, Cmax. 0,0082 mg/l, and exposure way

(R) maximum 56 ml/day/man with 35 kg body weight.

Key words : Health risk assessment, Arsenic pollution, Buyat

162

Page 29: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

dimana masyarakat meminum air

terkontaminasi arsen dari sumur mereka di

Bengal Barat (Chakraborty, 2003; Rahman,

2006).

Konsentrasi arsen 545 µg/L telah

ditemukan pada sampel air dari sumur pompa

tangan di India. Lebih lanjut dilaporkan

bahwa kandungan arsen tinggi dalam hati

lima dari sembilan pasien yang mengalami

hipertensi portal non-sirosis (NCPH) yang

telah meminum air yang terkontaminasi arsen,

fibrosis porta non-sirosis (NCPF) dan

obstruksi vena portal ekstrahepatik pada

orang dewasa sangat umum di India dan

menunjukkan bahwa konsumsi air yang

terkontaminasi arsen bisa memiliki peranan

dalam “patogenesis penyakit”.

Laporan serupa menyatakan bahwa

kondisi pasien begitu parah sehingga mereka

memerlukan perawatan rumah sakit. Mereka

mengalami gejala hiperpigmentasi,

hiperkeratosis, edema, ascites, wasting,

kelemahan, nyeri dan sensasi terbakar pada

jari tangan dan jari kaki. Saha, melaporkan

127 pasien dengan lesi kulit akibat arsen dari

25 keluarga (total anggota 139) dari 5

kampung di 3 distrik di Bengal Barat. Dari 127

anggota yang terkena semua mengalami

melanosis difus, 39% mengalami melanosis

berbintik, 37% dan 12,6% masing-masing

mengalami keratosis palmoplantar dan

keratosis dorsum. Ini merupakan laporan

pertama tentang lesi-lesi kulit dari pasien

arsen di Bengal Barat (Saha, 1999),

Sebuah studi melaporkan bahwa dari

800.000 orang meminum air terkonta-minasi

arsen dari distrik di Bengal Barat sekitar

175.000 orang mungkin menderita lesi kulit

akibat arsen. Rasio rata-rata arsenit/arsenat

dalam sampel air adalah 1:1 (Mazunder, 2008).

Mandal melaporkan bahwa 20.000 sampel

air dari daerah tercemar arsen di Bengal

Barat, sekitar 45% sampel memiliki

konsentrasi arsen di atas 50 µg/L.

Konsentrasi rata-rata arsen dalam air yang

tercemar adalah 200 µg/L. Banyak orang

yang mengalami lesi kulit seperti melanosis

difus, melanosis berbintik, leukomelanosis,

keratosis, hiperkeratosis, dorsum, edema

non-pitting, gangren, kanker kulit.

Disamping itu, ada beberapa yang

mengalami kanker kanker kandung kemih

dan kanker paru-paru dan lainnya

Chakraborty, 2003).

Para konsultan WHO mekomendasi

agar (1) menilai besarnya kontaminasi di

seluruh negara; (2) mengembangkan

sebuah sistem pencatatan induk tentang

data kualitas air; (3) membuat sebuah

infrastruktur laboratorium analitik; (4)

menggantikan sumber-sumber

terkontaminasi dengan sumber aman dan

mendorong sumber air permukaan; (5)

membuat sebuah program untuk

memastikan besarnya masalah kesehatan;

(6) mengembangkan program medis lokal

dan regional untuk membantu dalam

diagnosis, screening dan pengobatan

sugestif; (7) mempromosikan pendidikan

publik dan pendidikan profesional tentang

masalah kesehatan yang terkait arsen; dan

(8) mempromosikan penelitian

epidemiologi, (9) melakukan analisis

kesehatan lingkungan (WHO,1996,

Chakraborty, 2003).

Di desa Buyat telah dilaporkan

bahwa konsentrasi arsen di dalam air

sumur cukup tinggi (Edinger, 2006, KLH,

2004), konsentrasi arsen pada air sumur di

163

Page 30: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Buyat sekitar 40-100 µg/l.(BTKL Manado,

2005, Daud dan Azis, 2007).

Buyat dijadikan sasaran studi ini

karena desa Buyat merupakan salah satu

daerah terminalisasi arsen di gugusan

pegunungan Sulawesi Utara. Buyat

dinyatakan salah satu daerah yang terkena

imbas dari pencemaran akibat eksplorasi

tambang emas di desa Ratatotok.

Kasus Buyat mencuat pada awal tahun

2004 setelah banyak penyakit aneh yang

diderita masyarakat pesisir (Buyat Pante)

dimana tempat atau ujung pipa tailing dari

Newmont yang diduga berdampak pada biota

laut yang dikonsumsi oleh masyarakat

setempat. Tiga tahun kemudian masyarakat

diisolasi dari tempat tersebut dan PT. NMR

ditutup sampai saat ini. Walaupun ini sudah

ditutup tapi masih menyisakan masalah

karena kubangan yang ditinggalkan masih

tetap terbuka dan pada saat musim hujan akan

berisi air, kemudian air ini akan menyebar

keberbagai daerah sekitarnya termasuk Buyat

dimana sungai yang hulunya ada di sekitar

bekas tambang tersebut.

Bahan dan Metode

Sebanyak 54 orang yang mengalami

lesi kulit (keratosis atau hyperkeratosis) yang

diperiksa air sumurnya. Sebyak 25 sumur

yang digunakan oleh responden dan semua

dimabil airnya untuk pemeriksaan kandungan

arsen. Pengambilan Sampel air sumur pada

kedalaman 20 cm di bawah permukaan air

untuk sumur gali dan pada sumur bor diambil

melalui kran air dan dimasukkan kedalam

botol plastik bervolume 1000-1500cc. Semua

sampel disimpan dalam ice box. Empat

mikroliter dari asam hidroklorat murni 1%

ditambahkan ke masing-masing botol air.

Pemeriksaan kadar arsen air minum

dengan menggunakan alat Atomic

Absoption Spectrophotometric Hydride

Vapour) (AAS-HV, 640-12) di Labotorium

BTKL-Manado sedangkan Pemeriksaan

kelainan kulit di lakukan oleh tim ahli

penyakit kulit dari Jepang dan Universitas

Hasanuddin Makassar.

Prosedur pemeriksaan sampel air,

pertama diencerkan hingga 30 sampai 60

µg/L dalam sebuah matriks HNO3 2% dan

50-ppm nikel. Penambahan nikel

ditemukan meningkatkan kesensitifan,

mengekspansi rentang linear, dan

meningkatkan reprodusibilitas. Sebanyak

10 sampai 20 µL sampel dikeringkan dalam

tabung grafis, diabukan pada suhu 600oC

selama 20 detik, dan diatomisasi pada suhu

2.400o C. Sebuah lampu electrode-less

discharge dan sebuah konstanta waktu

(filter) 0,5 detik akan digunakan. Dengan

injeksi 20-µL, kesensitifan adalah sekitar

0,0023 unit absorbansi per mikrogram per

liter (0,0000023 mg/L). Respons cukup

linear terhadap sekurang-kurangnya 0,2300

unit absorben (sekitar 90 µg/L). Standar

deviasi relatif dari injeksi pengulangan

pada umumnya kurang dari 5%. Nilai

blanko memiliki rata-rata sekitar 0,0025 unit

absorbansi. Kebanyakan atau semua sinyal

blanko disebabkan oleh gangguan

elektronik pada lampu dan bagian lain dan

tidak disebabkan oleh jumlah sampel arsen

dalam larutan. Batas deteksi (3 x SD blanko)

adalah sekitar 0,0030 µg/L atau 0,000003

mg/L.

Hasil dan Bahasan

Hasil analisis paparan atau exposure

assessment, yang dilakukan untuk

164

Page 31: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

mengenali jalur-jalur paparan (pathways) risk

agent agar jumlah asupan yang diterima

individu dalam populasi berisiko bisa

dihitung. Tabel 1 memberikan estimasi bahwa

seseorang dengan berat badan 35 kg yang ada

diantara populasi di daerah Buyat

mengkonsumsi air minum dengan konsentrasi

maksimum masing-masing variabel

memberikan informasi bahwa asupan

nonkarsionogenik arsen air minum 0,0038

mg/l) atau Hazard Index/Indeks Bahaya (HI)

adalah 12,67 mg/kg per hari, sedangkan untuk

berat badan 70 kg yang diangga paling rendah

risikonya didapatkan nilai HI =6,33 mg/kg per

hari. Untuk asupan konsentrasi arsen rata-rata

dengan berat badan 35 kg didapatkan nilai

HI = 5,0 mg/kg per hari, sedangkan yang berat

badannya 70 kg didaptkan HI=2,43 mg/kg per

hari. Artinya penduduk yang tinggal di desa

Buyat dengan berat badan antara 35-70 kg

yang mengkonsumsi air minum, baik pada

level konsentrasi maksimum maupun rata-rata

sangat berbahaya atau mempunyai probalitas

terhadap terjadinya penyakit sistemik

nonkanker seperti kelainan kulit

nonmelanoma karena nilai HI diatas angka 1.

Seperti yang dijelaskan oleh DermNet NZ,

asupan arsen yang tinggi dapat menyebabkan

terjadinya anemia haemolytic, leukopaenia (sel

darah putih menurun) dan Proteinuria

(protein di dalam urin), (DermNet NZ, 2007).

Penelitian lainnya menjelaskan bahwa

penyakit paru-paru kronis seperti bronchitis,

penyakit paru-paru obstruktif kronis dan

bronchiectasis, penyakit hati seperti non-

cirrhotic portal fibrosis, dan penyakit lainnya

seperti polyneuropathy, Penyakit peripheral

vascular, hipertensi dan penyakit jantung

iskemia, diabetes mellitus, bukan-pitting

oedema pada kaki/tangan, weakness dan

anemia (Mazumder, et al, 2008).

Hasil analisis memberikan estimasi

bahwa seseorang dengan berat badan 35 kg

yang tinggal di daerah Buyat

mengkonsumsi air minum dengan

konsentrasi maksimum masing-masing

variabel memberikan informasi bahwa

asupan karsionogenik (Ik) arsen dalam air

minum atau Hazard Index/Indeks Bahaya

(HI) adalah 5,33 mg/kg per hari, untuk

berat badan 70 kg yang diangga paling

rendah risikonya terhadap kejadian kanker

didapatkan nilai HI = 2,7 mg/kg per hari.

Untuk asupan konsentrasi arsen rata-rata

dengan berat badan 35 kg didapatkan nilai

HI = 2,1 mg/kg berat badan, sedangkan

yang berat badannya 70 kg didaptkan HI=

1.03 mg/kg berat badan. Artinya penduduk

yang tinggal di desa Buyat dengan berat

badan antara 35-70 kg yang mengkonsumsi

air minum, baik pada level konsentrasi

maksimum maupun rata-rata sangat

berbahaya atau mempunyai probalitas

terhadap terjadinya penyakit kanker seperti

Kanker kulit, paru-paru, kanker hati dan

kandung kemih mempunyai hubungan

kuat dengan kandungan arsen yang

dimakan atau diminum setiap hari

(Mazumder, et al, 2008).

Hasil analisis Risk Quotient (RQ)

memberikan informasi estimasi bahwa

apabila air minum dikonsumsi selama 350

hari per tahun dalam jangka waktu 20

tahun, maka tingkat risiko (Risk Quotient)

dengan berat badan 35-70 kg dinayatakan

tidak aman karena nilai RQ diatas angka 1,

dimana batas tingkat risiko ditetapkan,

(WHO, 2004). Untuk konsnetrasi rata-rata

dengan berat badan 35-70 kg RQ juga

165

Page 32: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

dinyatakan tidak aman, sehingga konsumsi air

minum di daerah Buyat dengan konsentrasi

rata-rata sangat potensil meningkatkan risiko

terjadinya penyakit-penyakit sistemik.

Hasil analisis Excess Cancer Riks (ECR)

memberikan informasi estimasi bahwa

mengkonsumsi air minum mengandung arsen

pada konsentrasi maksimum dan rata-rata

semuanya telah memberikan akses terjadinya

kanker baik kanker kulit, paru-paru, kandung

kemih, gastrointestinal dan leukima, (NRC,

1999, ATSDR, 2005, 2007, WHO, 2004, EPA,

2000).

Hasil analisis durasi paparan atau

Duration time (Dt) memberikan informasi

estimasi bahwa mengkonsumsi air minum

dengan konsentrasi maksimum untuk air

minum 0,104 mg/kg. efek toksik arsen

diprakirakan akan ditemukan pada tahun ke

1,58 pada orang yang mengkonsumsi air

dengan berat badan 35 kg, untuk berat badan

70 kg baru ditemukan setelah terpapar selama

3,16 tahun. Sedangkan untuk konsentrasi rata-

rata dengan berat badan badan 35 kg baru

ditemukan efek toksik pada tahun ke 4,11

tahun. Untuk berat badan 70 kg dengan

konsumsi rata-rata arsen dalam air minum

8,21 tahun.

Kalau diperhatikan laju durasi paparan

dari variabel tersebut diatas, maka orang yang

mengkonsumsi air mempunyai waktu pendek

untuk menyebabkan toksisitas pada seseorang

baik yang mempunyai berat badan ringan

maupun yang berat. Jadi informasi yang

didaptkan dari hasil penelitian ini adalah

mengkonsumsi air yang bersumber dari air

sumur di dearah Buyat sangat potensial

memberikan efek toksik apabila air tersebut

dijadikan air minum.

Untuk membatasi toksisitas yang

ditimbulkan oleh arsen, maka hasil analisis

seperti yang diperlihatkan pada tabel 1

untuk konsentrasi arsen dalam air minum

yang dikonsumsi oleh seserang dengan

berat badan 35 kg maksimum konsentrasi

yang diperbolehkan untuk air minum

0,0082 mg/L per hari, ini jauh dibawah baku

mutu yang disyaratakan (0,01 mg/l)

sedangkan untuk orang dengan berat badan

70 kg batas maksimum yang diperbolehakn

untuk konsumsi air minum 0,016 mg/L per

hari.

Hasil analisis laju konsumsi (R),

informasi estimasi bahwa mengkonsumsi

ikan, beras dan air minum dengan

konsentrasi maksimum dan rata-rata dari

air minum menurut kelompok berat badan

penduduk dengan pola pajanan 350

hari/tahun dan Durasi waktu 1 tahun, 5

tahun dan 10 tahun, untuk berat badan 35

kg hanya diperbolehkan menkonsumsi air

minum sebanyak 53 ml per hari dalam satu

tahun terakhir, 263 ml per hari untuk 5

tahun ke depan dan 526 ml per hari untuk

10 tahun ke depan pada konsentrasi

maksimum (0,1040 mg/l), sedangkan pada

konsentrasi rata-rata (0,04 mg/l) untuk 1

tahun terakhir dengan berat badan 35 kg

hanya diperbolehkan minum air sebanyak

137 ml/ per hari, untuk 5 tahun kedepan 684

ml per hari dan untuk 10 tahun ke depan

1,37 lietr per hari. Kemudian, bila seseorang

dengan berat badan 70 kg hanya

diperbolehkan mengkonsumsi air minum

sebanyak 254 ml per hari pada satu tahun

terakhir ,untuk 5 tahun ke depan 1.271 ml

per hari dan 10 tahun kedepan 2.737 ml per

hari, Air yang dipilihan dalam bahasan ini

karena air merupakan kebutuhan esensial

166

Page 33: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

yang harus dimenege dengan baik. Pemilihan

manajemen risiko merupakan suatu langkah

untuk mengamankan efek-efek

nonkarsinogenik arsen. Hasilnya bisa berbeda

bila yang diamankan adalah efek-efek

karsinogeniknya. Laju konsumsi aman air

minum menurut Tabel 2 sangat sedikit

sehingga perlu pasokan air minum rendah

arsen. Berapa konsentrasi arsen yang aman

dari efek nonkarsinogenik bila laju konsumsi 2

L/hari selama 350 hari/tahun yang

berlangsung dalam 1-10 tahun untuk populasi

residensial dengan berat badan 35 kg? untuk

ke depan, menjawab pertanyaan ini harus

digunakan RfD yang menyatakan dosis harian

yang aman. Karena RfD berarti dosis aman

seluruh jalur pajanan, langkah pertama adalah

meng-ubah RfD menjadi tingkat kesetaraan air

minum atau drinking water equivalen level

(DWEL) menggunakan berat badan dan laju

konsumsi air minum.

Jika digunakan berat badan 35 kg dan

frekuensi pajanan 350 hari/tahun maka,

RfD mg/kg/hari x 35 kg

DWEL = --------------------------------------

2 liter/hari

0,0003 mg/kg/hari x 35 kg

= -------------------------------------

2 liter/hari = 0.005 mg/L

Air minum bukanlah satu-satunya

sumber asupan Arsen. Sumber kontribusi

relatif (relative contribution source, RCS) air

minum untuk asupan mineral dari diet

berkisar 20 – 80% dari total asupan. Jika tidak

ada data yang pasti, untuk keamanan biasanya

dipakai RCS 80% untuk As dari air minum

(EPA 1990a). Perkalian DWEL dengan RCS

menghasilkan apa yang disebut MCLG

(maximum contaminant level goal): Batas

tingkat kontaminasi makanan yang

diperbolehkan.

MCLG = 0,8×0,00525 mg/L = 0,0042 mg/L

= 0,004 mg/L

MCLG adalah batas aman menurut

kesehatan yang dianjurkan (disarankan)

menjadi baku mutu bagi populasi yang

berat badannya 35 kg, konsumsi air minum

2 L/hari selama 350 hari/tahun untuk jangka

waktu paparan sedikitnya 30 tahun.

Regulasi MCLG yang bersifat non enforceable

(tidak wajib) menjadi baku mutu yang

wajib ditaati memerlukan banyak

pertimbangan seperti kemampuan

teknologi purifikasi air baku, instrumentasi

analisis arsen dalam air hasil purifikasi,

biaya purifikasi dan berapa banyak (%)

populasi yang akan terlindungi oleh baku

mutu tersebut.

Berapa batas aman arsen dalam air

minum bagi populasi yang posturnya lebih

besar (misal, berat badan 70 kg seperti

default Amerika)? Dengan pola paparan

yang sama (konsumsi 2 L/hari, 350

hari/tahun, 30 tahun) MCLG-nya ≈ 0,008

mg/L, sekitar 17% lebih tinggi dari batas

aman orang Indonesia menurut nilai default

, Nukman et al, 2005, dalam Rahman, 2007.

Jika demikian, apakah baku mutu arsen 0,01

mg/L menurut Kepmenkes 907/2002 cukup

aman bagi orang Indonesia? Perhatikan

perhitungan pada tabel 5.29 ternyata hasil

perhitungannya melebihi satu sehingga

dinyatakan sangat tidak aman untuk orang

Indonesia khusuanya masyarakat yang

tinggal di Daerah Buyat.

167

Page 34: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Kesimpulan

Acceptable Daily Intake (ADI) untuk

nonkarsinogen didapatkan nilai rata-rata dari

arsen dalam air minum sebesar 0,0038-0,0019

mg/kg per hari untuk orang dengan berat

badan 35-70 kg pada konsentrasi maksimum,

sedangkan untuk konsentrasi rata-rata

didapatkan 0.0015-0.00034 mg/kg per hari.

ADI untuk karsinogen nilai rata-rata dari

arsen dalam air minum sebesar 0.016- 0,0009

mg/kg per hari untuk orang dengan berat

badan 35-70 kg pada konsentrasi maksimum.

Tingkat risiko (Risk Quotient ; RQ) untuk efek-

efek nonkarsinogen pada konsentrasi

maksimum dari variabel arsen dalam air

minum berisiko untuk dikonsumsi. ECR

semuanya telah memberikan akses atau

peluan terjadinya kanker.Konsumsi air

minum, dengan berat 35 kg didapatkan nilai

Hazard Index (HI) sebesar 5,33 mg/kg per hari,

pada berat badan 70 kg HI sebesar 2,7 mg/kg

per hari untuk konsentrasi maksimum, untuk

konsentrasi rata-rata berat badan 35 HI

sebesar 2,1 mg/kg per hari dan untuk berat

badan 70 kg HI sebesar 1,03 mg/kg perhari

pada. Durasi paparan untuk efek toksik sudah

ditemukan pada konsumsi air minum 1,58

tahun pada konsentrasi maksimum,

sedangkan pada konsentrasi rata-rata untuk

air minum 3,16 tahun. Batas konsentrasi

maksimum (Cmax) yang diperkenankan

dalam air yang dikonsumsi pada berat badan

35 kg sebesar 0,0082 mg/L per hari, sedangkan

untuk berat badan 70 kg diperbolehkan

minum air 0,016 mg/L per hari. Laju Konsumsi

(R) yang diperbolehkan untuk air minum pada

konsentrasi maksimum sekitar 53 dan 105

ml/hari untuk berat badan 35 dan 70 kg, untuk

konsentrasi rata-rata berat badan 35 dan 70 kg

diperbolehkan 1.369 dan 2,737 ml/hari

pada penduduk di Daerah Buyat.

Daftar Pustaka

ATSDR, 2005. Draft Toxicological Profile for

Arsenic U.S. Department Of Health

And Human Services Public

Health Service, Division of Toxi-

cology/Toxicology Information

Branch 1600 Clifton Road NE, E-29

Atlanta, Georgia 30333.

ATSDR, 2007. Toxicological Profile for Arsenic

U.S. Department Of Health And

Human Services Public Health

Service, Division of Toxicology/

Toxicology Information Branch

1600 Clifton Road NE, E-29

Atlanta, Georgia 30333.

Chakraborty, Dipankar, 2003. Groundwater

Arsenic exposure in India, Proseding

Arsenic.

Daud, A. & A. Azis Hunta, 2005. Identifikasi

Logam Berat Arsen Dalam Air Sumur

Penduduk di Desa Buyat, Kabupaten

Bolaang Mangondow. BTKL-Manado.

Daud, dkk. 2007. Analisis pola konsumsi ikan

dan air minum terhadap kelainan kulit

pada penduduk di Desa Buyat.

DermNet NZ, 2007. Arsenic poisoning. New

Zealand Dermatological Society

Incorporated,p.1-3 Dionex, 2008,

Rapid Extraction and Determination

of Arsenicals in Fish Tissue and

Plant Material Using Accelerated

Solvent Extraction, Application 335;

p.1-5

EPA, 2000. Arsenic Occurrence In Public

Drinking Water Supplies, United

States Environmental Protection

Agency.

168

Page 35: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Mazumder, D.N. Guha, 2008. Chronic arsenic

Toxicity & human health. Indian J Med

Res 128; p 436-447.

NRC (National Research Council), 2004.

Arsenic in Drinking Water, National

Academy Press, Washington, DC).

Rahman, Mahfuzar, et all, 2006. Arsenic

Exposure and Age- and Sex-Specific Risk

for Skin Lesions: A Population-Base Case

referent Study in Bangladesh,

Environmental Health Perspectives;

114: 1847-1852.

Rahman, Shaikh Mizanur, 1999. Arsenic In

Bangladesh Ground Water: The World's

Greatest Arsenic Calamity, Organized

And Sponsored By Bangladesh

Chemical And Biological Society

(Bcbsna) - Intronics. Technology

Center, Dhaka, Bangladesh,

Wagner College, New York, Usa.

Saha, J. C., A. K. Dikshit, M. 1999. Bandy-

opadhyay, A Review of Arsenic

Poisoning and its Effects on Human

Health, Critical Reviews in

Environmental Science and

Technology, 29(3): 281–313.

WHO, 2004. Risk Assessment Terminology,

This Project Was Conducted

Within The Ipcs Project On The

Harmonization Of Approaches To

The Assessment Of Risk From

Exposure To Chemicals.

Lampiran :

Tabel 1 Konsentrasi maksimum dan rata-rata asupan arsen dalam air minum

dengan berat badan di desa Buyat Sulawesi Utara, 2008

Berat

Badan

(kg)

Konsentrasi maksimum Konsentrasi Rata-rata

Ink

air

minum

(mg/L)

Ik

air

minum

(mg/L)

(RQ)

air

minum

(tahun)

(ECR)

air

minum

(mg/L)

(Dt)

(tahun)

air

minum

Ink

air

minum

(mg/L)

Ik

air

minum

(mg/L)

(RQ)

air

minum

(tahun)

(ECR)

air

minum

(mg/L)

(Dt)

(tahun)

air

minum

Cmax

Air

minum

(mg/L)

35 0.00380 0.00163 12.66362 0.00244 1.57933 0.00146 0.00063 4.87062 0.00094 4.10625 0.008213

40 0.00332 0.00143 11.08067 0.00214 1.80495 0.00128 0.00055 4.26180 0.00082 4.69286 0.009386

45 0.00296 0.00127 9.84948 0.00190 2.03056 0.00114 0.00049 3.78826 0.00073 5.27946 0.010559

50 0.00266 0.00114 8.86454 0.00171 2.25618 0.00102 0.00044 3.40944 0.00066 5.86607 0.011732

55 0.00242 0.00104 8.05867 0.00155 2.48180 0.00093 0.00040 3.09949 0.00060 6.45268 0.012905

60 0.00222 0.00095 7.38711 0.00143 2.70742 0.00085 0.00037 2.84120 0.00055 7.03929 0.014079

65 0.00205 0.00088 6.81887 0.00132 2.93304 0.00079 0.00034 2.62264 0.00051 7.62589 0.015252

70 0.00190 0.00081 6.33181 0.00122 3.15865 0.00073 0.00031 2.43531 0.00047 8.21250 0.016425

Sumber : Data primer

169

Page 36: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Tabel 2 Konsentrasi maksimum dan rata-rata asupan arsen berdasarkan Laju Konsumsi (R)

dalam air minum dengan berat badan di desa Buyat Sulawesi Utara, 2008

Berat

Badan

(kg)

Konsentrasi maksimum Konsentrasi rata-rata

(R)

(tahun 1)

Air

minum

(R)

(tahun 5)

Air

minum

(R)

(tahun10)

Air

minum

(R)

(tahun1)

Air

minum

(R)

(tahun5)

Air

minum

(R)

(tahun10)

Air

minum

35 0.05264 0.26322 0.52644 0.13688 0.68438 1.36875

40 0.06016 0.30082 0.60165 0.15643 0.78214 1.56429

45 0.06769 0.33843 0.67685 0.17598 0.87991 1.75982

50 0.07521 0.37603 0.75206 0.19554 0.97768 1.95536

55 0.08273 0.41363 0.82727 0.21509 1.07545 2.15089

60 0.09025 0.45124 0.90247 0.23464 1.17321 2.34643

65 0.09777 0.48884 0.97768 0.25420 1.27098 2.54196

70 0.10529 0.52644 1.05288 0.27375 1.36875 2.73750

Sumber :Data Primer

170

Page 37: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Care di Puskesmas

Tamangapa Tahun 2007

Wardiah Hamzah

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Abstrak

Tingginya angka kematian ibu tersebut disebabkan karena perdarahan,

keracunan dan infeksi serta pelayanan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan

persalinan oleh tenaga profesional belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat,

sehingga menyebabkan masih banyak ibu tidak memeriksakan kehamilannya dan

banyak ibu tidak menerima pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar program

kesehatan ibu dan anak. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui

faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal care di

Puskesmas Tamangapa. Jenis Penelitian adalah Survey Analitik dengan rancangan

Cross Sectional Study yang dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Tamangapa

Kelurahan Bangkala. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak

berusia 0-12 bulan sebanyak 270 ibu dengan mengambilan sampel secara proporsional

random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 160 orang.Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ibu yang berpengetahuan cukup sebanyak 63,1%, ibu yang

mengatakan jarak puskesmas dari rumah responden mudah dijangkau sebanyak

81,9% orang, ibu yang memiliki status pekerjaan bekerja sebanyak 19,4% orang dan

ibu yang mengatakan sikap petugas baik sebanyak 91,3% ibu.Kesimpulan dari

penelitian ini yang diperoleh, ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan,

jarak puskesmas dan status pekerjaan dengan pemanfaatan antenatal care. Untuk

variabel sikap petugas tidak hubungan yang signifikan dengan pelayanan antenatal

care. Sehingga disarankan petugas meningkatkan penyuluhan antenatal care,

puskesmas keliling dimanfaatkan, petugas kesehatan bersikap ramah pada pasien.

.

Kata Kunci : Pemanfaatan Antenatal Care

ARTIKEL ASLI

Pelayanan ANC, PKM Tamangapa

171

Page 38: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Derajat kesehatan keluarga sangat di

tentukan oleh derajat kesehatan ibu dan anak,

yang merupakan kelompok penduduk yang

rawan terhadap gangguan kesehatan. Ibu

merupakan pendidik pertama dalam keluarga,

yang memegang peranan dalam kesejahteraan

keluarga. Angka kematian ibu (AKI) masih

tinggi. berdasarkan survey demografi dan

kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 AKI di

Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran

hidup. menurut survey kesehatan rumah

tangga (SKRT) tahun 1995 AKI sebanyak

373 per 1000.000 kelahiran hidup.

Sedangkan AKI tahun 2002 berdasarkan

SDKI diketahui sebesar 307 per 100.000

kelahiran hidup.

Tingginya angka kematian ibu

tersebut disebabkan karena perdarahan,

keracunan dan infeksi serta pelayanan

pemeriksaan kehamilan dan pertolongan

The Factors Which Related With Utilazion of Antenatal Care

Service at Puskesmas Tamangapa 2007 Wardiah Hamzah

Abstract

The increasing number of mothers mortality are caused by bleeding, infection and

poisoned as well as checkup service of pregnancy and childbirth by the professional

staff has not been fully utilized by the community, it is causing many mothers do not

act pregnancy checkup, and many mothers do not receive the checkup which

accordance with the standard pregnancy of mother and child health program. This

study was conducted in order to find out factors that related with utilization of

antenatal care at the clinic Tamangapa. This research used Analytics survey by using

designing Cross Sectional Study which was conducted in the working area of clinic

Tamangapa Kelurahan Bangkala. The research populations are mothers who have

child around 0-12 years old. The number of samples are 270 by using proportional

random sampling technique. Finally there were 160 samples were collected. This

research shows that there were 63,1% educated mothers, 81,9% mothers who said that

clinic was easer to reach, mothers who have job were 19,4%, and mothers who regard

that service of staff of was good were 91,3% . The conclusions of this research was

there is significant relation between education, distance of clinic and job status with

utilizing of antenatal care. Therefore, socialization of antennal care is recommended to

improve and mobile health clinic is improved. Staffs of clinic are friendlier.

Key word: Utilazion of Antenatal Care

172

Page 39: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

persalinan oleh tenaga profesional belum

sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat,

sehingga menyebabkan masih banyak ibu

tidak memeriksakan kehamilannya dan

banyak ibu tidak menerima pemeriksaan

kehamilan sesuai dengan standar program

kesehatan ibu dan anak. Faktor lain yang

dapat menambah resiko kematian adalah

umur ibu yang terlalu muda atau terlalu tua

untuk melahirkan, jumlah paritas yang tinggi,

jarak antara kehamilan yang pendek, dan

kurang lebih 65% ibu hamil menderita anemia

kurang gizi.

Tahun 1996 WHO memperkirakan

lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal

saat hamil atau bersalin. Di Asia Selatan

wanita yang berkemungkinan 1:18 meninggal

akibat kehamilan atau persalinan selama

kehidupannya. Di banyak Negara Afrika 1:14

sedangkan di Amerika Utara hanya 1: 6,366.

lebih dari 50% kematian di negara

berkembang sebenarnya dapat di cegah

tekhnologi yang ada serta biaya relatif murah

(Saifuddin dkk, 2002).

Menurut kajian Sudarto Ronoatmodjo

tahun 1996 pada masyarakat di Kecematan

Keruak, Lombok Timur mengemukakan

bahwa kematian neonatal pada bayi dari ibu

hamil yang tidak memanfaatkan layanan

antenatal berjumlah dua kali lipat dari pada

jumlah bayi dari ibu yang memanfaatkan

layanan antenatal (Swasono,1998).

Cakupan pelayanan antenatal dapat di

tinjau melalui pelayanan kunjungan baru ibu

hamil untuk tahun 2002, cakupan rata-rata

pelayanan K1 di Sul-Sel mencapai 87,49% dan

K4 sebesar 61,47%, pada tahun yang sama

pula (2002) di Kota Makassar cakupan (K1) ibu

hamil sebesar 25.248 orang (97,34%) dan (K4)

sebesar 17.362 orang (63,76%). sedangkan pada

tahun 2003 cakupan (K1) ibu hamil sebesar

27.665 orang (74,16%) dan cakupan (K4) ibu

hamil sebesar 21.042 orang (74,16%).terjadi

peningkatan untuk (K1) sebesar 2.417 orang

(8,74%) dan untuk (K4) sebesar 3.680 orang

(17,49%). (Dinkes 2003:30,31)

Ibu hamil yang memanfaatkan

pemeriksaan antenatal care di Puskesmas

Tamangapa sebanyak 329 bumil dari 705

bumil pada tahun 2005 meningkat menjadi

341 bumil dari 736 bumil di tahun 2006

sedangkan pada tahun 2007 menjadi 379

bumil dari 612 bumil yang ada.

Metode

Jenis penelitian yang digunakan

adalah penelitian kuantitatif dengan

pendekatan Cross Sectional yang bertujuan

untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan pemanfaatan

antenatal care di Puskesmas Tamangapa.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja

Puskesmas Tamangapa yaitu Kelurahan

Bangkala. Populasi dalam penelitian ini

adalah ibu yang memiliki anak berusia 0-12

bulan di Kelurahan Bangkala yang

berjumlah 270 ibu. Pengambilan sampel

pada penelitian ini dengan cara

proporsional random sampling dengan

besar sampel sebanyak 160 ibu . Dengan

menggunakan rumus : (Notoatmodjo, S.,

2002)

N.Z².p.q

n = --------------------------------

d² (N – 1) + Z². p.q

Untuk mengukur variabel

independen dan variabel dependent

digunakan kuesioner dengan wawancara

langsung terhadap ibu yang mempunyai

173

Page 40: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

balita, kemudian hasilnya dianalisis dengan

menggunakan analisis univariat, bivariat dan

multivariat. Hubungan variabel independent

dan dependent dilakukan dengan metode

analisis multivariat untuk melihat keeratan

dan besar hubungan antara variabel dependen

dan independen utama setelah dikontrol oleh

variabel independen lainnya dengan

menggunakan analisisi regresi logistik.

Hasil

Analisis Univariat

Dari 160 ibu yang menjadi responden

terdapat Ibu yang berumur ≤20 tahun

merupakan paling sedikit sebanyak 5,6%.

Sedangkan ibu yang berumur 26-30 tahun

paling banyak sebesar 33,1%. ibu yang

beragama Islam sebanyak 96,9% an yang

beragama Kristen 3,1%. ibu yang mempunyai

pendidikan SD merupakan persentase

tertinggi sebanyak 45,6% orang kemudian

diikuti dengan pendidikan SMP dan SMA,

masing-masing sebanyak 22,5%, sedangkan

persentase terendah pada ibu yang

berpendidikan hingga Diploma sebanyak

4,4%. Tabel 1. Distribusi karakteristik responden

Variabel Kategori %

Umur < 20 tahun

20-24 tahun

25-29 tahun

30-34 tahun

≥35 tahun

5,6

18,1

33,1

23,8

19,4

Agama Islam

Kristen

96,9

3,1

Pendidikan SD

SMP

SMU

Diploma

S1

45,6

22,5

22,5

4,4

5,0

Dari 160 responden yang

memanfaatkan pelayanan antenatal di

Puskesmas Tamngapa sebanyak51,9%, ibu

yang berpengetahuan cukup sebanyak

63,1% orang. Ibu yang mengatakan jarak

puskesmas dari rumah responden mudah

dijangkau sebanyak 81,9%. Responden yang

memiliki status pekerjaan bekerja sebanyak

19,4%. Sikap petugas baik sebanyak 91,3%

ibu. Tabel 2. Distribusi variable dependent

dan independent

Variabel Kategori %

Pemanfaatan

ANC

Memanfaatkan

Tidak

memanfaatkan

51,9

48,1

Pengetahuan

Ibu

Cukup

Kurang

63,1

36,9

Jarak

Puskesmas

Mudah dijangkau

Tidak mudah

dijangkau

81,9

18,1

Status

Pekerjaan

Bekerja

Tidak Bekerja

19,4

80,5

Sikap Petugas Baik

Buruk

91,3

8,7

Analisis bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk

melihat hubungan antara variabel

dependen berupa pemanfaatan pelayanan

antenatal dengan variabel independent

antara lain pengetahuan ibu, jarak

puskesmas, status pekerjaan ibu dan sikap

petugas. Dari hasil analisis bivariat dengan

menggunakan uji chi-square diperoleh p

value = 0,008, secara statistik dapat

diinterpretasikan bahwa ada hubungan

antara pengetahuan ibu dengan

pemanfaatan antenatal.

174

Page 41: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Untuk variable jarak puskesmas

diperoleh nilai p value = 0,000, secara statistik

dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan

antara jarak puskesmas dengan pemanfaatan

antenatal. Sedangkan variabel sikap petugas

diperoleh p value = 0,002, sehingga dapat

diinterpretasikan bahwa ada hubungan antara

status pekerjaan dengan pemanfaatan

antenatal. Untuk variabel sikap petugas tidak

diperoleh hubungan antara sikap petugas

denagn pemanfaatan antenatal care sebab nilai

p value = 0,669, karena nilai p>0,05, dimana

derajat kemaknaan α = 0,05, maka HO

diterima. Tabel 3. Analisis bivariat Variabel Indepen-

dent dengan Pemanfaatan ANC

Analisis Multivariat

Dengan menggunakan uji regresi

logistic dilakukan analisis hubungan variable

independent dengan pemanfaatan ANC secara

bersama-sama. Dari analisis multivariate

diperoleh hasil 3 variabel berhubungan secara

bermakna dengan pemanfaatan ANC yaitu

pengetahuan ibu (nilai p = 0.008, OR = 2.078),

jarak puskesmas (nilai p = 0.000, OR = 16.468)

dan status pekerjaan (nilai p = 0.002, OR =

0.408).

Tabel 4. Hasil uji Multivariat terhadap

pemanfaatan ANC

Variabel β Nilai

p

OR 95% CI

OR

Pengetahuan

Ibu

Jarak

Puskesmas

Status

pekerjaan

Sikap

Petugas

0.731

2.801

-0.898

-0.051

0.008

0.000

0.002

0.669

2.078

16.468

0.408

0.950

0.996 –

4.337

3.654 –

74.221

0.152 –

1.092

0.257 –

3.514

Pembahasan

Pengetahuan Ibu

Tindakan seseorang biasanya

didasarkan pada apa yang telah

diketahuinya, terlebih apabila keterangan

tersebut bermanfaat baginya. Jika ibu

memiliki cukup pengetahuan, maka

diasumsikan ia akan memanfaatkan sarana

pelayanan antenatal yang tersedia untuk

keselamatan bagi dirinya maupun bayi

yang dikandungnya.

Hasil tabulasi silang menunjukkan

bahwa dari 101 ibu yang memiliki

pengetahuan yang cukup dan

memanfaatkan pelayanan antenatal

sebanyak 60,4% dibandingkan yang tidak

memanfaatkan sebanyak 39.6%. Sedangkan

dari 59 ibu yang berpengetahuan kurang

dan memanfaatkan antenatal sebanyak

37,3% dibandingkan yang tidak

memanfaatkan sebanyak 62,7%.

Jarak Puskesmas

Jangkauan pelayanan pustu untuk

dimanfaatkan oleh masyarakat tidak

terlepas dari pengaruh jarak fisik tempat

tinggal masyarakat dengan pustu yang

Variabel Kategori p. Value

Pengetahuan

Ibu

Cukup

Kurang

0,008

Jarak

Puskesmas

Mudah

dijangkau

Tidak mudah

dijangkau

0,000

Status

Pekerjaan

Bekerja

Tidak Bekerja

0,002

Sikap Petugas Baik

Buruk

0,669

175

Page 42: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

dihitung dalam ukuran radius kilometer, letak

pustu dipinggir jalan raya, ramai dilalui

kendaraan umum serta lancarnya transportasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan jarak

puskesmas yang mudah dijangkau sebanyak

131 (81,9%), sedangkan yang tidak mudah

dijangkau sebanyak 29 (18,1%). Hal ini

disebabkan oleh adanya warga lain yang

memanfaatkan pelayanan antenatal di luar

wilayah kerja Puskesmas Tamangapa tersebut.

Banyaknya responden yang jarak rumahnya

jauh dari puskesmas, diharapkan tetap

memanfaatkan puskesmas tersebut, karena

didukung oleh letak puskesmas yang berada

di jalan raya yang mudah dijangkau oleh

taransportasi umum.

Status Pekerjaan

Aktifitas sehari-hari terutama yang

bersifat mempertahankan kelangsungan hidup

kadang menyingkirkan kepentingan atau

masalah lain yang dianggap kurang mendesak

karena keterbatasan waktu, hal ini berkaitan

dengan ibu yang menghabiskan waktunya

untuk membantu perekonomian keluarga

sehingga hampir tidak mempunyai waktu

untuk memperhatikan kesehatan diri dan

kehamilannya.

Hasil tabulasi silang menunjukkan

bahwa dari 31 ibu yang memiliki pekerjaan

dan memanfaatkan pelayanan antenatal

sebanyak 25,8% dibandingkan yang tidak

memanfaatkan sebanyak 74,2%. Sedangkan

dari 129 ibu yang tidak memiliki pekerjaan

dan memanfaatkan antenatal sebanyak 58,1%

dibandingkan yang tidak memanfaatkan

sebanyak 41,9%. Hal ini disebabkan karena ibu

yang tidak bekerja dalam artian ibu rumah

tangga memiliki banyak waktu luang untuk

memeriksakan kehamilannya sesering

mungkin sesuai keinginannya. Namun ibu

yang bekerja diluar rumah disibukkan oleh

berbagai aktifitas kantor sehingga tidak

memiliki cukup waktu untuk

memeriksakan kehamilannya secara rutin,

waktu yang tersisa lebih banyak digunakan

untuk beristirahat setelah bekerja seharian

diluar rumah.

Sikap Petugas

Sikap merupakan reaksi atau respon

yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulas atau objek. Sikap

secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulas

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulas sosial. Sikap itu masih

merupakan reaksi tertutup, bukan

merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap objek di lingkungan tertentu

sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa umumnya responden sudah

mendapat pelayanan yang baik oleh

petugas kesehatan yaitu 146 (91,3%) orang

dan masih ada responden yang mendapat

pelayan yang buruk yaitu 19 (8,8%) orang.

Menurut Wirawan (1983) sikap adalah

kecenderungan atau kebiasaan seseorang

untuk bertingkah laku tertentu kalau ia

menghadapi suatu tantangan tertentu.

Sikap baik yang ditunjukkan petugas

diharapkan dapat meningkatkan

pemanfaatan pelayanan antenatal di

wilayah kerja Puskesmas Tamangapa.

Kesimpulan

Ada hubungan antara pengetahuan

ibu, jarak puskesmas dan status pekerjaan

176

Page 43: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

dengan pemanfaatan antenatal di wilayah

kerja Puskesmas Tamangapa Kelurahan

Bangkala. Tidak ada hubungan antara sikap

petugas dengan pemanfaatan antenatal di

wilayah kerja Puskesmas Tamangapa

Kelurahan Bangkala.

Saran

Petugas kesehatan yang ada di

Puskesmas Tamangapa agar memberikan

penyuluhan tentang pentingnya perawatan

antenatal yang dapat meningkatkan

pengetahuan ibu. Puskesmas Tamangapa

menyediakan pelayanan antenatal di setiap

posyandu sehingga masyarakat dapat

memeriksakan kehamilan tanpa harus ke

puskesmas karena jarak puskesmas tidak

mudah untuk dijangkau. Mensosialisasikan

pentingnya pemanfaatan pelayanan antenatal

care dikalangan ibu yang bekerja, maupun

yang tidak bekerja untuk mengetahui kondisi

janin selama dalam kandungan. Petugas

puskesmas memberikan pelayanan yang

maksimal dan bersikap ramah pada ibu yang

memeriksakan kehamilan.

Daftar Pustaka

Aliwah, Waode. 2005. Asuhan Kebidanan Ibu

Hamil, Politeknik Kesehatan Depkes

Makassar.

Asmar, S. 2001. Studi Tentang Pemanfaatan

Pelayanan Antenatal di Puskesmas

Lasepang Kabupaten Bantaeng,

Skripsi, FKM Unhas, Makassar.

Depkes RI, 1984, Perawatan Ibu di Pusat

Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

__________, 2004. Profil Kesehatan Propinsi

Sulawesi Selatan, Makassar.

__________,2007. Profil Kesehatan Kota

Makassar, Makassar

Farrer, 2001, Perawatan Maternitas, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

Hall, Roberd. 1983. Pedoman Medis Untuk

Wanita Hamil, Pioneer, Bandung.

Jordan, Sue, 2002. Farmakologi Kebidanan,

Buku Kedokteran

Krisnadi, R. 2004. Kelainan Lama

Kehamilan (Obstetri Patalogi), Buku

Kedokteran EGC, Jakarta

Kristiani, A. 2006. Pemanfaatan Pelayanan

Bidan di Desa Kab. Muara Jambi,

(http:www.gogle.com) diakses 25

Februari 2008.

Mohtar, 1998. Sinopsis Obstetri, EGC,

Jakarta

Mose, C. 2004. Gestosis Obstorik Patologi,

Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Nasir, M. 2003. Metode Penelitian, Ghalia

Indonesia, Jakarta

Saifuddin dkk. 2002. Buku Acuan Nasional

Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal, Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

_________, 2005. Kematian Maternal (Ilmu

Kebidanan), Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Soekidjo, N. 2002, Pedoman Penelitian

Kesehatan, Penerbit PT.Rineka

Cipta, Jakarta

_________, 2007a, Pendidikan dan Perilaku

Kesehatan, Penerbit PT.Rineka

Cipta, Jakarta

_________, 2007b, Promosi Kesehatan dan

Ilmu Perilaku, Penerbit PT.Rineka

Cipta, Jakarta

Soetjiningsih, 1996. Tumbuh Kembang

Anak, Buku Kedokteran Bagian

Kesehatan Anak, FK Udayana, Bali

177

Page 44: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Stoppard, M. 2002. Panduan Mempersiapkan

Kehamilan dan Kelahiran, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Swosno, 1998. Kehamilan dan Kelahiran

Perawatan Ibu dan Bayi dalam konteks

Budaya, Penerbit UI, Jakarta.

Wiknjosatro, H. 2005. Diagnosis Kehamilan

(Ilmu Kebidanan), Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawiroharjo,

Jakarta.

Wirakusuma, F. 2004. Kelainan Tempat

Kehamilan Obstetri Patologi, Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

178

Page 45: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Pendahuluan

Sifilis adalah suatu penyakit menular

seksual (PMS /STD [sexually transmitted

disease]) atau disebut juga veneral disease

(beberapa penyakit infeksi kelamin lain seperti

gonore, klamidia, herpes dan granuloma

inguinal) adalah salah satu bentuk penyakit

infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex

atau dari seorang ibu kepada bayi yang

dikandungnya (www.thefreedictionary.com.

2008; www.thefreedictionary. com., 2008;

Ditjen PP&PL, 2005). Sifilis disebabkan oleh

Treponema pallidum yang dapat bersifat akut

dan kronis diawali dengan adanya lesi primer

kemudian terjadi erupsi sekunder pada kulit

dan selaput lendir dan akhirnya sampai pada

periode laten dengan lesi pada kulit, lesi pada

tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf

pusat dan sistem kardiovaskuler (http : //

id.wikipedia.org. 2008). Setiap orang rentan

terhadap penyakit sifilis, tetapi ± 30 % orang

yang terpapar akan terkena infeksi. Setelah

infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap

T. pallidium dan kadang kala terbentuk

antibodi heterologus terhadap treponema lain.

Antibodi ini tidak terbentuk apabila

pengobatan dilakukan pada stadium satu dan

dua. Adanya infeksi HIV menurunkan

kemampuan penderita melawan T. pallidum.

(Ditjen PP&PL, 2005).

Di Amerika Serikat dilaporkan lebih

dari 36,000 kasus sifilis pada tahun 2006

dengan 9.756 kasus merupakan sifilis

stadium primer dan sekunder. Insiden

tertinggi ditemukan pada wanita umur 20 –

24 tahun dan pria umur 35 – 39 tahun,

sedang kasus sifilis kongenital meningkat

dari 339 kasus pada tahun 2005 menjadi 349

kasus pada tahun 2006, sedang di Indonesia

ditemukan sekitar 0,61% penderita dengan

kasus terbanyak pada stadium laten ( http :

// id.wikipedia.org , 2008).

Kebanyakan orang yang terinfeksi

dengan sifilis tidak memperlihatkan gejala

selama beberapa tahun, yang akan

menimbulkan komplikasi yang berat bila

tidak diobati (http : // id.wikipedia.org,

2008).

Etiologi

Sifilis disebabkan oleh kuman

treponema palidum, merupakan basil gram

negatif yang mempunyai flagel, bentuknya

sangat kecil dan berpilin-pilin. Kuman atau

bakteri tersebut umumnya hidup di

mukosa (saluran) genetalia, rektum, dan

mulut yang hangat dan basah. Kuman ini

sangat sensitive terhadap cahaya,

perubahan cuaca dan perubahan

temperature sehingga penyakit ini sulit

Aspek Imunologis Penyakit Sifilis

Sri Julyani

Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

TINJAUAN PUSTAKA

179

Page 46: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

untuk menular kecuali adanya kontak

langsung dengan penderita. Sifilis ditularkan

melalui hubungan seksual, alat suntik atau

transfusi darah yang mengandung kuman

tersebut, maupun penularan melalui intra

uterin dalam bentuk sifilis kongenital tetapi

tidak dapat menular melalui benda mati

seperti misalnya bangku, tempat duduk toilet,

handuk, gelas, atau benda-benda lain yang

bekas digunakan/dipakai oleh pengindap

(www.thefreedictionary. com, 2008; Ditjen

PP&PL, 2005).

Respon imunologik dari orang yang

terpapar tergantung dari struktur bakteri.

Membran luar bakteri terdiri dari lapisan

fosfolipid dengan sedikit protein antigen.

Adapun klasifikasi bakteri penyebab

penyakit sifilis adalah sebagai berikut

(Natahusada EC & Djuanda A, 2005) :

Kingdom : Eubacteria

Filum : Spirochaetes

Kelas : Spirochaetes

Ordo : Spirochaetales

Familia : Treponemataceae

Genus : Treponema

Spesies : Treponema pallidum

Gambar ; Treponema pallidum

(Sumber: Treponemapallidum,http://en.

wikipedia.org/wiki/image)

Patogenesis

Treponema pallidum tidak dapat

tumbuh dalam media kultur sehingga

pengetahuan tentang imunopatogenesis

penyakit sifilis hanya diperoleh dari

keadaan penderita (berdasarkan tanda dan

gejala yang tampak), model pada binatang

percobaan dan data in vitro dari ekstraksi

jaringan spirocaeta. Setelah mengeksposure

permukaan epitel, spirocaeta akan

berpenetrasi dan menyerang lapisan sel

endotel, yang merupakan tahap penting

dalam tingkat virulensi treponema

(meskipun mekanisme yang jelas sampai

saat ini belum diketahui).

Histopatologi dari chancre primer

tergantung pada banyaknya spirocaeta dan

infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri

dari T limfosit yang terjadi 6 hari

postinfeksi, kemudian makrofag pada hari

ke 10 dan sel plasma. Aktivasi makrofag

akan merangsang pelepasan sitokin dari T

limfosit yaitu interleukin 2 (IL 2) dan

interferon gamma (IFNγ).

Antibodi spesifik akan muncul

dalam serum pada awal infeksi yang akan

menghalangi spirocaeta merusak sel dan

Ig G dengan bantuan komplemen akan

dapat membunuh T. pallidum serta

meningkatkan kemampuan netrofil dan

makrofag memfagosit treponema tersebut.

Antibodi berperanan dalam menghancur-

kan protein membran luar yang tipis dari

treponema pallidum (TROMPs). Secara

umum tingkat kekebalan yang timbul

karena infeksi oleh T. pallidum relevan

dengan level antibodi pada TROMPs.

Meskipun humoral immunity juga

dibutuhkan dalam melawan infeksi dari

treponema, respon antibodi ini dapat juga

180

Page 47: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

menyebabkan kelainan. Adanya kompleks

imun pada sifilis sekunder mungkin

menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit

dan deposit di ginjal yang menyebabkan

terjadinya nefropati sifilik. Antibodi

kardiolipin yang merupakan penentu pada

sifilis primer dan menjadi dasar tes

nontreponemal pada penyakit ini, tidak sejalan

dengan terjadinya sindrom antibodi

antifosfolipid.

Pemeriksaan histologik menunjukkan

banyaknya sel T pada daerah lesi. Pada

chancre primer CD4 lebih banyak berperanan

sedangkan pada lesi sekunder lebih banyak

ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering

timbul pada sifilis tertier menunjukkan adanya

reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan

tanda khas berupa granuloma. Peranan sel T

pada sifilis yang belum jelas menimbulkan

dugaan adanya cross infeksi HIV pada

penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol

meneliti adanya perubahan viral load dan

jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan

menemukan bahwa infeksi sifilis pada pasien

HIV-positif berhubungan dengan

peningkatan viral load dan penurunan jumlah

CD4.

Penurunan jumlah CD4 dan

peningkatan viral load ditemukan pada

hampir sepertiga pasien yang diamati. Hasil

penelitian mereka menunjukkan bahwa satu-

satunya faktor yang dikaitkan dengan

peningkatan viral load adalah karena

penderita tidak menggunakan terapi

antiretroviral (ART), sementara satu-satunya

faktor yang dikaitkan dengan penurunan

jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100, adalah

jumlah CD4 pasien sebelum terinfeksi sifilis

(pasien yang mempunyai jumlah CD4 lebih

tinggi sebelum sifilis mengalami penurunan

yang lebih besar), tetapi tidak ada

perbedaan pada perubahan virologi

berdasarkan stadium sifilis.

Temuan lain dari penelitian ini

menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus

sifilis ditemukan pada pasien yang

sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam

hal ini, para peneliti menyoroti perilaku

pasien yang berisiko dan strategi

pencegahan yang lemah. Sehingga perlu

adanya upaya kesehatan masyarakat untuk

mencegah infeksi sifilis baru dan

secepatnya mengenal serta mengobati

pasien terinfeksi sifilis, dengan tujuan

mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis

maupun HIV (LaSala P.R, Smith M.B, 2007;

Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all,

2007).

Gejala Klinik

Berdasarkan stadium penyakitnya

gejala klinik dari penyakit sifilis dapat

dibagi dalam tiga kelompok yaitu bentuk

primer, sekunder dan bentuk tertier. Sifilis

primer biasanya bersifat asimptomatik,

yang didapatkan akibat penularan melalui

kontak langsung pada permukaan mukosa

atau kulit seorang penderita. Sedang sifilis

sekunder dapat timbul 8 minggu setelah

terapi sifilis primer meskipun dilaporkan

bahwa sekitar 60% sifilis sekunder tidak

mempunyai riwayat sifilis primer. Lesi

sekunder ini ditandai dengan adanya erupsi

pada kulit dan selaput lendir. Dan sifilis

tertier adalah bentuk laten dari penyakit ini

yang biasanya muncul beberapa bulan

sampai beberapa tahun kemudian dan 15%

diantaranya terjadi pada penderita yang

tidak mendapat terapi, dimana lesi telah

menyebar sampai ke tulang, saluran cerna,

181

Page 48: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

sistim saraf dan sistim kardiovaskuler (http : //

id.wikipedia.org, 2008). Terdapat bentuk lain

dari penyakit sifilis yang banyak ditemukan di

wilayah Asia tengah dan Afrika yang disebut

Endemik Sifilis, merupakan penyakit infeksi

kronik nonveneral yang disebabkan oleh T.

pallidum subspecies endemicum. Penyebaran

terjadi melalui kontak langsung pada lesi yang

aktif, jari-jari dan peralatan makan atau

minum (LaSala P.R, Smith M.B , 2007).

Disamping itu terdapat juga bentuk sifilis

tertier yang dapat timbul 1 – 10 tahun setelah

terinfeksi dengan tanda khas berupa adanya

gumma pada kulit dan mukosa. Apabila sifilis

tertier ini tidak mendapat terapi, dapat terjadi

komplikasi yang lebih berat berupa

neurosifilis dan kardiovaskuler sifilis

(Bockenstedt L.K, 2003).

a. Sifilis Primer

Sifilis primer terjadi karena kontak

langsung dengan lesi infeksi penderita

melalui hubungan seksual. Lesi pada kulit

timbul dalam 10 – 90 hari setelah terpapar,

kebanyakan pada alat genital namun dapat

ditemukan pada seluruh bagian tubuh yang

lain. Lesi ini disebut chancre , suatu ulcerasi

pada kulit tanpa rasa sakit pada daerah yang

terexposure terutama pada penis, vagina, atau

rectum. Kadang-kadang terdapat lesi multipel,

menetap untuk waktu 4 sampai 6 minggu

dapat terjadi pembengkakan kelenjar limpe

lokal dan biasanya sembuh spontan (Palacios

R et all. 2007).

b. Sifilis Sekunder

Sifilis sekunder timbul 1 – 6 bulan

setelah infeksi primer ( rata-rata 6 – 8 minggu)

dengan berbagai manifestasi gejala. tetapi

dapat terjadi overlap dengan bentuk primer.

Lesi biasanya terdapat pada kulit, daerah

kepala dan leher, serta sistim saluran cerna,

disamping gejala umum seperti demam,

kelemahan, penurunan berat badan, sakit

kepala, meningismus dan pembesaran

kelenjar limpe. Rash pada kulit biasanya

lebih berat dan disertai dengan gangguan

dermatologi yang lain seperti makulo-

papular, folikular atau pustular rash. Rash

menyebar pada seluruh tubuh dan

ekstremitas, kemudian membentuk lesi

yang rata berwarna keputih-putihan yang

dikenal dengan condyloma lata. Stadium

sekunder juga ditandai dengan adanya

gangguan pada sendi, tulang dan indera

penglihatan (Bockenstedt L.K, 2003;

Palacios R et all. 2007).

c. Sifilis Laten

Disebut sifilis laten apabila tidak

tanda-tanda dan gejala penyakit tetapi

terdapat bukti serologik. Sifilis laten dapat

dibedakan atas tipe early atau late. Disebut

tipe early bila selama 2 tahun serologik

positif tetapi tidak ada gejala penyakit.

Sedang tipe late bila infeksi lebih dari 2

tahun tanpa bukti klinik yang jelas.

Pembagian ini berguna dalam pemberian

terapi pada penderita dan resiko transmisi

ke orang lain (Sacher R.A, McPerson R.A,

2007).

d. Sifilis Tertier

Sifilis tertier biasanya muncul dalam

waktu 1 – 10 tahun setelah infeksi pertama,

pada beberapa kasus dapat mencapai masa

sampai 50 tahun. Ditandai dengan adanya

gumma yang lunak, suatu bentuk tumor

akibat proses inflamasi yang dikenal

dengan granuloma, bersifat kronik dan

182

Page 49: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

dapat muncul kembali bila sistim imun tubuh

tidak sempurna. Kebanyakan gumma

merupakan komplikasi dari late syphilis.

Bentuk lain dari sifilis tertier yang tidak

diterapi adalah neuropathic joint disease,

berupa degenerasi sendi disertai hilangnya

sensasi propriosepsi. Bentuk komplikasi yang

lebih berat adalah neurosyphilis dan

cardiovascular syphillis. Gangguan neurologik

dapat asimptomatik atau bermanisfestasi

sebagai meningovascular disease, tabes

dorsalis atau paresis. Sedang komplikasi

kardiovaskuler dapat berupa sifilis aortitis,

aneurisma dan regurgitasi aorta. (Bockenstedt

L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).

Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis sifilis dapat ditegakkan

dengan cara melihat langsung organisme

dengan mikroskop lapangan gelap atau

pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan

kedua dengan mendeteksi adanya antibodi

dalam serum dan cairan serebrospinal. Tes

serologis merupakan tes konfirmasi untuk

melihat adanya antibodi terhadap organisme

penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan

untuk menegakkan diagnosis infeksi sifilis

pada masa laten sifilis dimana tidak tampak

adanya gejala-gejala penyakit. Ada dua

kelompok tes serologis yang dapat digunakan

dalam mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes

serologis antibodi non treponema dan

antibodi treponema (Sacher R.A, McPerson

R.A, 2004).

1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal

yaitu antibodi yang terbentuk akibat

adanya infeksi oleh penyakit sifilis atau

penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini

terbentuk setelah penyakit menyebar ke

kelenjar limpe regional dan menyebabkan

kerusakan jaringan serta dapat

menimbulkan reaksi silang dengan

beberapa antigen dari jaringan lain. Tes

serologis non treponema mendeteksi

antibodi yang merupakan kompleks dari

lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan

digunakan untuk skrining adanya infeksi

oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah

Venereal Disease Research Laboratory

(VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR)

yang memberikan hasil positif setelah 4 – 6

minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien

dengan lesi primer dan stadium lanjut).

Tetapi tes ini dapat memberikan positif

palsu pada kondisi seperti kehamilan,

kecanduan obat, keganasan, penyakit

autoimun dan infeksi virus.

Imunoasai ini menggunakan

antibodi nontreponemal dan lipoid sebagai

antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah

(Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004) :

a. Veneral Disease Research Laboratory

(VDRL)

b. Rapid Plasma Reagin (RPR)

c. Cardiolipin Wassermann (CWR)

d. Unheated Serum Reagin (USR)

e. Toulidone Red Unheated Serum Test

(TRUST)

f. ELISA

Tes ini bertujuan untuk mendeteksi

adanya reaksi antara antibodi dari sel yang

rusak dan kardiolipin dari treponema.

Digunakan untuk skrining penderita dan

monitoring penyakit setelah pemberian

terapi. Tes-tes seperti Veneral Disease

Research Laboratory (VDRL), Rapid

Plasma Reagin (RPR), Unheated Serum

Reagin (USR) dan Toulidone Red

Unheated Serum Test (TRUST) mendeteksi

183

Page 50: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

adanya reaksi antigen-antibodi dengan

menilai presipitasi yang terbentuk baik secara

makroskopik (RPR dan TRUTS) maupun

mikroskpoik (VDRL dan USR).

Antibodi yang terdeteksi biasanya

timbul 1 – 4 minggu setelah munculnya

chancre primer. Pengambilan spesimen pada

stadium primer akan mempengaruhi

sensitivitas tes dimana titer antibodi

meningkat selama tahun pertama dan

selanjutnya menurun secara nyata sehingga

memberikan hasil negatif pada pemeriksaan

ulang.

Dapat ditemukan hasil tes positif palsu

maupun negatif palsu. Positif palsu terjadi

karena adanya penyakit bersifat akut seperti

hepatitis, infeksi virus, kehamilan atau proses

kronik seperti kerusakan pada jaringan

penyambung. Sedang hasil negatif palsu

terjadi karena tingginya titer antibodi (prozone

phenomenon) yang sering ditemukan pada

sifilis sekunder.

2. Antibodi treponemal

Bertujuan untuk mendeteksi adanya

antibodi terhadap antigen treponema dan

sebagai konfirmasi dari hasil positif tes

skrining nontreponemal atau konfirmasi

adanya proses infeksi pada hasil negatif tes

nontreponemal pada fase late atau laten

disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi

yaitu ;

i. grup treponemal antibodi, antibodi

terhadap antigen somatik yang terdapat

pada semua jenis treponema. Imunoasai

berdasarkan pada penggunaan beberapa

strain saprofitik dari treponema, yaitu

Reiter Protein Complement Fixation

(RPCF)

ii. Antibodi treponema spesifik, antibodi

yang spesifik untuk antigen dari T.

pallidum. beberapa tes yang termasuk

diantaranya adalah :

a. Treponema pallidum Complement

Fixation

b. Treponemal Wassermann (T-WR)

c. Treponema pallidum Immobilization

(TPI)

d. Treponema pallidum Immobilization

Lyzozym (TPIL)

e. Treponema pallidum Immobilization-

symplification

f. Fluorecense Treponemal Antibody

(FTA)

g. Treponema pallidum Hemagglutination

(TPHA)

h. Treponema pallidum Immuneadherence

(TPIA)

i. ELISA T. pallidum

Pemeriksaan antibodi nontreponemal

yang sering digunakan sekarang adalah :

1. Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes

untuk melihat antibodi nonspesifik

dalam darah penderita yang diduga

terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif

dan uji kuantitatif.

A. Uji RPR kualitatif adalah

pemeriksaan penapisan dengan

serum pasien yang tidak diencerkan

dicampur dengan partikel arang

berlapis kardiolipin di atas karton,

setelah rotasi mekanis beberapa

waktu sedian diperiksa untuk

melihat ada tidaknya aglutinasi

secara makroskopis. Cara Kerja

(Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno,

2003) :

1. 1 tetes serum + 50 uL antigen

dicampur diatas kartu tes

memenuhi lingkaran

184

Page 51: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

2. putar di atas rotator selama 8 menit

dengan kecepatan 100 rpm

3. Lihat hasil terbentuknya flokulasi

dengan mikroskop cahaya dengan

pembesaran 10 x 10

4. Hasil tes yang reaktif dilanjutkan

dengan tes kuantitatif

B. Uji RPR kuantitatif menggunakan

serum yang diencerkan secara serial dan

hasil pemeriksaan adalah nilai akhir

pengenceran dimana masih terjadi

penggumpalan partikel. Cara kerjanya

sebagai berikut :

1. Siapkan 6 tabung reaksi, isi masing-

masing dengan 50 uL NaCl 0,9%

2. Tambahkan 50 uL sampel ke tiap

tabung, kocok rata

3. Pindahkan 50 uL isi tabung I ke

tabung 2 (pengenceran ½ kali)

4. Lakukan seterusnya untuk tabung

ke 3 dengan mengambil isi dari

tabung 2 (pengenceran ¼), demikian

juga untuk tabung 4, 5, dan 6.

5. Ambil dari tiap tabung 50 uL

larutan, teteskan di atas kertas tes

dan tambahkan 50 uL antigen pada

tiap sampel, aduk rata dan rotasi

selama 8 menit. Baca titer pada

pengenceran tertinggi yang masih

terjadi flokulasi.

Tes RPR efektif untuk skrining

seseorang yang terinfeksi penyakit

sifilis tetapi belum menunjukkan gejala

klinik.

2. Tes VDRL selain digunakan untuk skrining

penyakit sifilis juga dapat digunakan untuk

monitoring respon terapi, deteksi kelainan

saraf dan membantu diagnosis pada sifilis

kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi

pasien dengan difosfatidil gliserol. Tes

VDRL dapat mendeteksi antikardiolipin

antibodi (IgG, IgM atau IgA). Beberapa

kondisi dapat memberikan hasil positif

palsu seperti penyakit hepatitis virus,

kehamilan, demam rematik, leprosi dan

penyakit lupus. Tes VDRL semi-

kuantitatif juga digunakan untuk

mengevaluasi kejadian neurosifilis di

mana hasil reaktif tes hampir selalu

merupakan indikasi adanya neurosifilis.

(http://en wikipedia.org, 2008)

3. Tes Cardiolipin Wassermann (CWR)

merupakan uji fiksasi komplemen

dimana reaksi antibodi dan antigen

kardiolipin akan membentuk kompleks

yang akan mengikat komplemen.

Sebagai indikator terjadinya reaksi

pengikatan komplemen maka pada tes

ditambahkan sel darah merah (domba)

dan zat hemolisin anti SDM. Disebut uji

CWR positif apabila tidak terjadi reaksi

hemolisis yang menunjukkan bahwa

terjadi reaksi Ag-Ab yang mengikat

komplemen, sedang hasil negatif berarti

tidak terjadi reaksi Ag-Ab yang tidak

mengikat komplemen. Sampel pasien

berasal dari darah atau cairan

cerebrospinal yang reaksikan dengan

antigen kardiolipin dan intensitas reaksi

sebanding dengan beratnya kondisi

pasien (http://en.wikipedia.org/wiki/,

2008).

4. Tes ELIZA nontreponemal menilai

terjadinya flokulasi dan nilai absorban

dihitung berdasarkan prinsip

spektrofotometer.

Sedangkan Tes serologik treponemal

yang banyak digunakan adalah :

185

Page 52: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

1. Tes Treponema pallidum Immobilization

(TPI).

Sensitifitas tes rendah pada beberapa

stadium penyakit terutama stadium I ,

tetapi spesifisitasnya paling baik dibanding

tes serologis lain dan merupakan satu-

satunya tes yang hampir tidak memberi

hasil positif semu. Tes menggunakan serum

penderita yang tidak aktif ditambah dengan

T. pallidum yang mobil dan komplemen,

lalu diinkubasi pada suhu 35° C selama 16

jam selanjutnya dilihat di bawah

mikroskop. Hasil positif terlihat dengan T.

pallidum yang tidak mobil.

2. Fluorescent treponemal antibody-absorbed

double strain test (FTA-ABS DS).

Sebelum tes serum pasien diinaktifkan

dengan pemanasan dan diserap dengan

sorbent untuk membersihkan dari antibodi

terhadap treponema komensal, kemudian

dicampur dengan apusan T. pallidum pada

kaca obyek, inkubasi lalu bilas hati-hati.

Tambahkan konjugat antibodi anti-

imunoglobulin human yang dilabel dengan

tetrametil-rodamin isotiosinat [TMRITC]

tutup dengan kaca penutup, inkubasi dan

bilas. Periksa apusan di bawah mikroskop

pengcahayaan ultraviolet. Hasil positif

ditunjukkan dengan adanya treponema

berfluoresensi-TMRITC pada apusan. Tes

FTA adalah imunoasai yang sangat sensitif

dan spesifik sehingga baik digunakan

untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam

pemantauan terapi sebab hasil tes positif

akan tetap positif walaupun telah diberi

pengobatan sampai sembuh.

3. Tes Treponema pallidum Hemagglutination

(TPHA)

Merupakan uji hemaglutinasi pasif

secara kualitatif dan semi kuantitatif yang

dapat mendeteksi anti T. pallidum

antibodi dalam serum atau plasma, di

mana hasil positif didapatkan bila terjadi

aglutinasi. Sensitivitas dan spesifisitas

cukup baik kecuali untuk sifilis stadium

I, tes ini juga cukup praktis, mudah dan

sederhana serta harganya relatif murah.

Sebagai antigen dipakai T .pallidum

strain Nichol dan sebagai carrier

digunakan sel darah merah kalkun. Sel

darah merah kalkun yang diliputi Ag T .

pallidum dan Ab serum penderita lalu

diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam

serum akan mengikat antigen pada sel

darah merah membentuk kompleks Ag-

Ab dan hasil positif dinilai dengan

melihat adanya aglutinasi (http: //

en.wikipedia.org, 2008).

Diagnosis

Diagnosis penyakit sifilis biasanya

secara tidak langsung ditemukan pada

pasien risiko tinggi seperti adanya penyakit

menular seksual dan pengguna narkotika.

Karena T. Pallidum tidak dapat tumbuh

pada media kultur maka digunakan metode

lain untuk mendiagnosis penyakit sifilis.

Seperti mikroskop lapangan gelap atau

apusan cairan dari kulit atau jaringan.

Bahan pemeriksaan adalah transudat segar

dari chancre pada infeksi primer atau

kondiloma lata pada infeksi sekunder. Hasil

positif bila ditemukan spiroketa yang motil,

membentuk kumparan padat dan bergerak

melengkung. Untuk penderita dengan

suspek neurosifilis, diagnosis ditegakkan

dengan sampel dari cairan cerebrospinal.

Tes serologis non treponema

mendeteksi antibodi yang merupakan

kompleks dari lecitin, kolesterol dan

186

Page 53: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

kardiolipin dan digunakan untuk skrining

adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes

ini adalah Venereal Disease Research

Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen

(RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4

– 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien

dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi

tes ini dapat memberikan positif palsu pada

kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat,

keganasan, penyakit autoimun dan infeksi

virus.

Sedang tes serologis yang spesifik

untuk infeksi treponema seperti Serum

Fluorecent-Treponemal Antibody absorbance

test (FTA-ABS) dan Microhemagglutination

test dimana T. pallidum berfungsi sebagai

antigen. Hasil tes non treponema yang positif

harus dikonfirmasi dengan tes treponema

yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih tinggi. (Sacher R.A, Mc Person

R.A, 2004; Mayo Clinic.com, 2006;

http://www.cdc.gov/std/default.htm, 2008).

Terapi dan Prognosis

Penicilin masih merupakan obat

pilihan untuk penanganan sifilis. Sedang

antibiotik alternatif seperti derivat tetrasiklin,

eritromicin dan ceftriaxon dapat digunakan

pada penderita yang alergi terhadap penicilin.

Dosis dan lama terapi bervariasi tergantung

pada gejala klinik penderita, secara umum

penyakit dengan stadium lebih lanjut

membutuhkan antibiotik dengan dosis yang

lebih besar dan waktu yang lebih lama. Obat

lain yang dapat diberikan adalah antipiretik

dan antihistamin.

Sifilis stadium primer, sekunder dan

early laten akan sembuh sempurma dengan

pemberian antibiotik, sedang stadium late

biasanya lebih sulit diterapi. Sifilis tertier

mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi

bila kelainan telah sampai pada sistim

saraf pusat (Bockenstedt L.K,2003;

http://www.cdc. gov/std/default.htm, 2008;

Mayo Clinic. com, 2006; Healthcommuni-

ties.com, 2008).

Komplikasi

Sifilis yang tidak diterapi dapat

berkembang menjadi fase tertier dengan

timbulnya gumma dan sifilis kardio-

vaskuler yang dapat bersama-sama dengan

neurosifilis. Laki-laki lebih banyak

berlanjut ke fase tertier dan mortalitasnya

lebih tinggi dibanding penderita wanita.

Kerusakan jaringan yang irreversibel

merupakan karakteristik dari sifilis fase

tertier dan sifilis kongenital meskipun telah

mendapat terapi antibiotik. Selain itu sifilis

juga dapat menyebabkan komplikasi

penyakit lain berupa (www.dshs.state.tx.

us/, 2008) :

1. Arthritis

2. Blindness

3. Heart disease

4. Mental illness

5. Death

Differential Diagnosis

Penyakit sifilis dapat didifferential

diagnosis dengan penyakit kelamin lain

seperti (http : // www.fpnotebook.com,

2008) :

1. Genital Ulcer

2. Genital Herpes

3. Chancroid

4. Venereal Wart

5. Lymphogranuloma venereum

187

Page 54: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI

Daftar Pustaka

Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno, 2003. Tes

Sifilis dan Gonorrhoe dalam

Interpretasi Hasil Tes Laboratorium

Diagnostik. Makassar: LEPHAS

Unhas.

Bockenstedt L.K, 2003. Spirochetal

Diseases : Syphillis and Lyme

Disease in Medical Immunology

10th ed, Mc Graw Hill.

Ditjen PP&PL, 2005. Sifilis dalam Manual

Pemberantasan Penyakit Menular.

Handojo I, 2004. Imunoasai Untuk

Penyakit Sifilis dalam Imunoasai

Terapan pada Beberapa Penyakit

Infeksi. Surabaya : Airlangga

University Press.

Healthcommunities. Syphilis –

Urologychannel.

Healthcommunities.com, last

modified. Diakses 25 Januari 2008.

http: // en.wikipedia.org/ Veneral Disease

Research Laboratory test. Download

tanggal 29 agustus 2008.

http://en wikipedia.org/wiki/ Rapid plasma

Reagin, last modified : Diakses 25

Pebruari 2008.

http://en.wikipedia.org/wiki/. Wassermann

test, last modified. Diakses 26

Agustus 2008.

http: // id.wikipedia.org / wiki /

Treponema pallidum, last

modified : 14 oktober 2008

http: // www.thefreedictionary.com /

Syphillis. Download tgl 23

Agustus 2008

http: // www.thefreedictionary.com /

Syphillis Symtom. Diakses tgl 22

Agustus 2008

http: // www. fpnotebook. com

/ID/STD/Syphilis. Diakses 5

November 2008.

http: //www.cdc.gov/std/default.htm,

Sexually Tranmitted Diseases, last

modified. Diakses 4 Januari

2008.

LaSala P.R, Smith M.B, 2007. Spirochaete

Infections in Henry’s Clinical

Diagnosis and Management by

Laboratory Methods 21sted,

Saunders Elsevier.

Mayo Clinic.com. Syphilis: Screening and

diagnosis – Mayo Clinic.com

Medical Services, update 27 0ct

2006.

MayoClinic. Syphilis: Treatment.

MayoClinic.com Medical

Services. Diakses 27 Oktobert

2006.

Mayo Clinic. Syphilis Testing, ARUP

Laboratories. Mayo Clinic

Diakses 28 April 2008.

Natahusada EC, Djuanda A, 2005. Sifilis

dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin, edisi 4, Jakarta : Pen

FK-UI.

Palacios R et all., 2007. Impact of syphilis

infection on HIV viral load and

CD4 cell counts in HIV-infected

patients. J Acq Immun Defic

Synd 44: Maret.

Sacher R.A, McPerson R.A, 2004.

Diagnosis Serologik Infeksi

Spesifik dalam Tinjauan Klinis

Hasil Pemeriksaan Laboratorium,

edisi 11, EGC, 2004, 456 - 458

www.dshs.state.tx.us/hivstd, HIV / STD

Facts. Diakses 5 November

2008.

188

Page 55: Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran

Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI