Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran
-
Upload
siti-liyaturrihanna-p -
Category
Documents
-
view
195 -
download
22
Transcript of Peranan Ilmu Anatomi Dalam Pengembangan Ilmu Kedokteran
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Sejarah Perkembangan ilmu Anatomi
Secara anatomis, tubuh manusia
terdiri dari organ-organ yang menyusun
sistem yang berperan secara sistematis dan
terkoordinasi, mempertahankan keseim-
bangan secara menyeluruh (homeostasis)
sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam
memelihara kesehatan tubuh.
Pengetahuan ini (Anatomi) nampak-
nya sudah mulai dikenal sejak zaman pra
sejarah (20.000 thn S.M.) yang dapat
disaksikan pada lukisan-lukisan dinding di
Perancis dan Spanyol. Jauh sebelumnya, 500
thn S.M. di Mesir, pengetahuan Anatomi
digunakan pada pembuatan mummi, yaitu
dengan membuat irisan, incisi (incision) yang
kecil untuk mengeluarkan organ-organ tubuh
(yang cepat membusuk), dan mengeluarkan
otak dari arah lubang hidung melalui corpus
sphenoidalis tanpa merusakkan wajah dan
tulang-tulang cranium yang lainnya.
Alcmaeon (500 S.M.) adalah orang yang
dianggap pertama yang melakukan diseksi
pada mayat. Muridnya, Empedocles (504 –
443 S.M.) yang lebih menguasai teori
daripada praktek mengembangkan ilmu
anatamo menjadi ilmu faal.
Jalan pikiran Empedocles diikuti oleh
Hippocrates (460 – 377 S.M.) seorang dokter
ulung yang dikenal sebagai “Father of
Medicine”, yang pertama kali menegakkan
sendi kedokteran yang bersifat rasional.
Dialah yang memberi pengertian tentang
struktur dan fungsi tubuh manusia, dan dia
mampu mengenyampingkan pikiran para
pendahulunya, dan menyatakan bahwa
penyakit mempunyai penyebab alami yang
dapat diamati. Inilah awal dari ilmu
kedokteran yang mempergunakan rasio dan
observasi. Dua orang muridnya yang
terkenal yaitu Aristoteles dan Galenus
membandingkan antara tubuh manusia yang
disebutnya mikrocosmos dengan kehidupan
alam semesta yang disebutnya makrocosmos
Herophilus (335-280 S.M.) adalah guru
Anatomi yang pertama-tama mela-kukan
diseksi secara terang-terangan (ter-buka)
walaupun pada akhirnya ia dituduh sebagai
penjagal manusia. Herophilus dipandang
sebagai Bapak Anatomi. Dia dapat
membedakan dengan jelas pembuluh darah
Arteri dan Vena, serta menemukan pembuluh
lacteal pada intestinum tenue. Erasistratus
(290 S.M.) melanjutkan penyelidikannya
mengenai pembuluh lacteal, dan dia pula
yang pertama-tama membagi saraf motoris
dan saraf sensibel.
Pada zaman Kedokteran Romawi ( 50
S.M. – 200 M) Rufus adalah orang yang
pertama kali menerbitkan buku dengan judul
“on the Naming of the Parts of the Body”. Dari
sinilah istilah-istilah (nomenclature) anatomi
mulai digunakan. Galen (130 – 200 SM)
Peranan Ilmu Anatomi dalam Pengembangan
Ilmu Kedokteran
Abdul Razak Datu
Bagian Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar
EDITORIAL
Anatomi, Sains dan Seni
135
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
melakukan experiment dan dissection pada
kera dan babi yang secara khusus
mempelajari susunan saraf dan menulis buku
yang terkenal “Use of the parts of the body of
man”.
Pada zaman Kejayaan Islam, karya-
karya kedokteran bermunculan dan
memperkaya khazanah ilmu tersebut dengan
melahirkan dokter-dokter kaliber dunia pada
zamannya. Berbagai karya itu adalah teks
book, rumah sakit, pusat rehabilitasi, apotik
dan berbagai fasilitas kesehatan lainnya. Ilmu
kedokteran dasar berkembang, seperti
Anatomi, Fisiologi, Patologi, Farmakologi dan
Biokimia. Salah seorang dokter muslim Ibn
Al- Nafis pada abad XII sudah menjelaskan
mengenai circulasi pulmonal, menggugurkan
pendapat GALENUS yang sudah bertahan
selama kira-kira 14 abad. Teori Ibn Al-Nafis
tersebut dikemukakan juga oleh William
Harvey (1578 -1657).
Ilmu Anatomi sebagai ilmu Kedokteran dasar
Ilmu Anatomi sebagai salah satu Ilmu
Kedokteran Dasar sangat dibutuhkan dalam
mempelajari dan mengembangkan ilmu
kedokteran klinik. Ilmu Anatomi yang
mempelajari bentuk, struktur dan lokasi
organ, kedudukannya berdampingan dengan
ilmu-ilmu dasar lainnya, dalam hal ini adalah
Fisiologi (fungsi badan), Biokimia (proses
hayati) dan Histologi (micro anatomy) yang
sebenarnya merupakan bagian dari ilmu
Anatomi juga.
Ilmu Anatomi sangat berkaitan erat
dengan ilmu-ilmu preklinik dan klinik
lainnya. Ilmu-ilmu dalam ilmu kedokteran
dasar, baik yang bersifat morfologik maupun
yang bersifat fungsional, masing-masing
memberikan dasar dalam memberikan
kumpulan-kumpulan informatif pengeta-
huan faktual, yang tanpa ini semua ilmu-ilmu
klinik tidak dapat didirikan. Pengertian-
pengertian dalam ilmu klinik sukar dicapai
tanpa bekal pengetahuan kedokteran dasar
tersebut. Selain bekal dalam kuantitas ilmu
informatif, ilmu-ilmu yang bersifat
morfologik, seperti Anatomi, Histologi,
Patologi Anatomi dan lain-lain, memberi
bekal dalam kemampuan observasi dan
deskripsi, sedangkan yang membentuk
kumpulan ilmu-ilmu yang bersifat
fungsional, seperti Fisiologi, Biokimia,
Farmakologi dan lain-lain adalah ide-ide,
teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan,
sehingga dari sinilah berasal kemampuan
berargumentasi serta menimbang-nimbang
kenyataan, yang merupakan inti dalam
profesi kedokteran.
Sampai abad XIX pengetahuan
mengenai struktur dan fungsi organ
dipelajari secara bersama-sama, lalu
kemudian masing-masing berdiri sendiri
sebagai ilmu Anatomi dan ilmu Fisiologi.
Memasuki abad ke 20 ilmu Anatomi semakin
berkembang dengan membentuk cabang-
cabang Ilmu seperti : Histologi, Morphologi,
Neurologi, Anthropologi, Embriologi dan
Genetika. Selanjutnya muncul ilmu –ilmu
Experimental Anatomy, Experimental
Embryology dan Cytology. Antara 1819 – 1899
diciptakan berbagai instrumen, seperti
Stethoscope, Otoscope, Ophthalmoscope
yang digunakan di klinik dan juga dipakai
ketika mempelajari Living Anatomy. Dalam
tahun 1890 formalin dipakai sebagai bahan
fiksasi mayat untuk dijadikan cadaver bagi
kepentingan dissection; sebelumnya itu
menggunakan alkohol yang digunakan
sebagai bahan konservasi.
136
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Sejak ditemukannya sinar rontgen
penentuan morfologi dan lokalisasi organ
sangat membantu para klinisi untuk
menentukan diagnosis penyakit dan
melakukan terapi. Dengan alat Rontgen
tersebut terbentuklah Anatomi Radiologik.
Mahasiswa dapat mempelajari foto-foto
Rontgen dari struktur yang normal dan
kemudian di klinik mencari/menemukan
kelainan-kelainan yang memberi gangguan
yang perlu diatasi.
Dalam perkembangannya ilmu
anatomi tidak bisa dipisahkan dari ilmu
embriologi. Embriologi yang diprakarsai oleh
Aristoteles kemudian dikembangkan
William Harvey (1578 -1667) mengemukakan
perkembangan chick embryo secara lebih
terperinci. Walaupun pengetahuan
embriologi yang dimulai oleh Aristoteles
sangat sederhana, namun perkembangannya
mulai nampak setelah Marcello Malpighi
(1628 -1694) berhasil menunjukkan proses
perkembangan embryo ayam yang
diaplikasikan pada perkembangan embryo
mammalia termasuk manusia. Malpighilah
dianggap sebagai penemu embriologi. Sejak
saat itu berkembanglah embrylogi modern,
dan sel telur (ovum) pada manusia
ditemukan pertama kali oleh Von Baer (1827)
sehingga Von Baer dikenal sebagai “Bapak
Embriologi”.
Experimental teratology mulai
berkembang sejak terjadinya Tragedi
Thalidomide, suatu peristiwa yang
menggemparkan dunia kedokteran ketika di
Jerman tahun 1961 terjadi kelahiran
sejumlah bayi dengan kelainan bawaan
dengan jenis kelainan yang hampir serupa
dan dalam periode yang hampir bersamaan.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya ibu-ibu
hamil yang mengkonsumsi obat Thalido-
mide, sejenis obat penenang dan anti muntah
yang sangat mujarab, ternyata obat tersebut
membawa malapetaka dan ber-akibat fatal,
menyebabkan kelainan perkem-bangan
embryo sehingga lahirlah anak-anak cacat.
Dewasa ini, makin banyak zat-zat kimia atau
obat-obatan yang dilaporkan dapat
menyebabkan kelainan bawaan yang
ditemukan pada bayi yang baru lahir.
Sesungguhnya zat-zat kimia dan obat-obatan
hanya salah satu faktor yang dapat
menyebabkan kelainan bawaan. Telah
dilaporkan bahwa kelainan bawaan dapat
disebabkan oleh 3 faktor: yaitu faktor
genetika (6-15%), faktor lingkungan (7-10%),
dan faktor interaksi antara gen dan
lingkungan (20-25%), dan yang belum
diketahui penyebabnya masih jauh lebih
banyak (50-60%). Dengan perkembangan dan
kemajuan penelitian di bidang Teratologi,
semakin banyak hal-hal baru yang
ditemukan tentang mekanisme dan penyebab
dari suatu kelainan bawaan, sehingga makin
banyak faktor penyebab kelainan bawaan
yang dapat terungkap. Dengan mengetahui
mekanisme dan penyebab yang dapat
menyebabkan kelainan pembentukan dan
perkembangan embryo, akan menjadi
perhatian dan peringatan kepada ibu-ibu
hamil terutama yang hamil muda (kehamilan
sampai 8 minggu) kiranya berhati-hati dalam
memelihara kesehatannya agar janinnya bisa
tumbuh dengan baik dan sempurna
sehingga akan melahirkan bayi yang normal
(tanpa cacat).
Pendidikan ilmu Anatomi di Fakultas
Kedokteran
137
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendidikan Anatomi menumbuhkan
kemampuan-kemapuan yang esensial bagi
seseorang yang akan berhubungan dengan
penderita, dan banyak dari kemampuan ini
yang tidak didapatkan dalam derajat yang
sama dalam disiplin ilmu lain pada
kurikulum kedokteran.
Dalam mempelajari ilmu Anatomi,
mahasiswa mulai diperkenalkan dengan
penggunaan bahasa teknis deskripsi yang
merupakan dasar seluruh terminologi
kedokteran. Selain itu, informasi profesional
yang diterima oleh mahasiswa di dalam
belajar Anatomi memungkinkan ia
memahami pelajaran-pelajaran fungsional
dan klinis. Anatomi merupakan dasar yang
sangat berarti untuk Patologi dan bahan
yang dipelajari dalam Anatomi dapat
membantu dalam menegakkan diagnosis
yang tepat serta membantu dalam bertindak
dengan aman pada keadaan-keadaan darurat
di dalam praktek-praktek klinik.
Pada umumnya dikatakan bahwa
Ilmu Kedokteran Dasar melayani ilmu
kedokteran Klinik, ini tidak berarti semata-
mata bahwa yang diberikan dalam Ilmu
Kedokteran Dasar hanyalah hal-hal secara
porsional yang masing-masing mendukung
seperlunya porsi-porsi tertentu dalam ilmu
klinik. Dalam kurikulum Inti Pendidikan
Dokter Indonesia (KIPDI) II , umumnya
ilmu-ilmu kedokteran dasar, dalam hal ini
termasuk Anatomi, Histologi, Fisiologi dan
Biokimia diajarkan bersama-sama dalam satu
jangka waktu tertentu. Ini berdasarkan atas
anggapan bahwa semua ilmu-ilmu preklinik
saling berhubungan sampai derajat tertentu,
sehingga mempelajarinya secara betul-betul
terpisah, tidak akan ada artinya bahkan
merugikan. Dalam hubungan ini struktur
hendaknya dipelajari berdampingan dengan
fungsi dan ada baiknya apabila diberikan
secara terpadu, sehingga mahasiswa
mempunyai kesempatan untuk memadukan
struktur dan fungsi di dalam pikirannya
sendiri dan menciptakan gambaran yang
tersusun dengan baik tentang biologi
manusia. Namun kesulitannya, pekerjaan
mengurai di Laboratorium Anatomi
dilakukan dengan sistem regional sedangkan
ilmu faal memakai pendekatan sistematik.
Sampai tahun 1977 pendidikan
Anatomi bagi mahasiswa di Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin
diberikan selama satu tahun ajaran, yaitu di
tingkat dua (tingkat preklinik). Pada tahun
ajaran 1977/1978 dimulailah Sistem Kredit
Semester, yang mengharuskan Anatomi
dibagi-bagi dalam tiga semester dengan 12
SKS, yaitu Anatomi I, Anatomi II, dan
Anatomi III. Pada sistem konvensional
pendidikan Anatomi diberikan selama satu
tahun tanpa terputus, maka dalam Sistem
Kredit Semester mahasiswa mempelajari
Anatomi secara terputus-putus, sesuai
dengan minat dan kesanggupannya, dan
tidak ada jaminan bahwa mahasiswa akan
mengambil mata pelajaran Anatomi,
Fisiologi, Histologi dan Biokimia untuk
dipelajari bersama-sama yang semestinya
sangat diperlukan.
Peranan Ilmu Anatomi sebagai
Sains dan Seni
Ilmu Anatomi tidak saja berguna
bagi pendidikan dokter, dokter gigi, perawat,
dan bidan melainkan perlu dikembangkan
lebih luas lagi, sehingga memasuki
kehidupan masyarakat, yang dikenal
sebagai Anatomi Sosial. Ilmu Anatomi yang
138
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
memasuki dunia seni lukis sudah dimulai
oleh Leonardo da Vinci pada abad XV,
demikian pula seni memahat, khususnya
memahat patung manusia. Industri sepatu,
pakaian, kursi, meja dan bangku duduk di
sekolah atau di tempat kerja di kantor atau
perusahaan, kendaraan umum perlu dibuat
dengan memperhatikan ergometri atau posisi
anatomis manusia agar supaya memberi
kenyamanan yang optimal dan tidak
melelahkan. Dalam seni tari, posisi
persendian dan gerakan lengan, tungkai dan
badan, hendaknya dilakukan dengan efektif
agar tidak cepat menjadi lelah.
Mesin-mesin industri hendaknya
dibuat dengan mengingat posisi manusia
yang akan menggunakannya nanti, baik
dengan cara berdiri maupun duduk, agar
supaya produktifitasnya dapat menjadi
maksimal. Dalam olah raga kesegaran
jasmani, ataupun olah raga prestasi, sikap
tubuh dan berbagai jenis gerakan perlu
dilakukan dengan efektif, untuk itu semua
pengetahuan mengenai tulang, otot,
persendian, saraf dan pembuluh darah
perlu dikaji dengan terpadu dan benar,
termasuk pengetahuan sistem lainnya yang
menunjang. Dalam olah raga prestasi,
seorang pelatih harus mampu melatih
gerakan-gerakan pada anak asuhnya secara
optimal agar dapat mencapai prestasi
secara maksimal, maka untuk itu
pengetahuan Ilmu Anatomi mutlak
diperlukan . Dalam bidang arsitektur baik
arsitektur bangunan umum, arsitektur
perumahan, maupun arsitektur peralatan
rumah tangga, serta perancangan
peralatan lain yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari, perlu memperha-
tikan postur tubuh manusia yang akan
menggunakannya.
Demikian pula di bidang estetika,
yaitu salon-salon kecantikan yang merawat
wajah para wanita hendaknya keterampilan
yang dipakai bukan sekedar berdasarkan atas
kebiasaan belaka, melainkan memahami dan
memiliki pengetahuan tentang tulang-tulang
wajah, letak dan arah otot-otot wajah serta
kulit/rambut yang terdapat pada wajah dan
kepala. Tak kalah penting penerapan
pengetahuan Anatomi pada bidang fisio-
terapi dan pijat traditional.
(Tulisan di atas dikutip dari Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap Prof. dr. Abdul Razak Datu,
Ph.D. dalam Bidang Ilmu Anatomi di
Universitas Hasanuddin pada 3 April 2009).
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi
untuk Pendidikan Kedokteran Dasar.
Gardner E, Gray, D J, O’rahilly, R. 1975.
Anatomy: A Regional Study of
Human Structure. 4th Ed. W.B.
Saunders Co. Philadelphia, London,
Toronto.
Gray, H. 1980. Gray’s Anatomy, P.I. William
and R. Warwick, 36 ed. Churchill
Livingstone.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2006. Standar
Pendidikan Profesi Dokter.
Luhuluma, J 1993. Pendidikan Ilmu Anatomi
Tantangan dan Harapan. Pidato pe-
nerimaan jabatan Guru Besar Tetap
Ilmu Anatomi pada Fakultas Ke-
dokteran Universitas Hasanuddin
139
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Moore, KL. 1980. Clinically Oriented Anatomy.
Williams & Wilkins, Baltimore/
London 1980.
Moore, KL and Persud, TVN. 1998. The
Developing Human, Clinically Oriented
Embryology. 6th edition. W.B Saunders
Co. Philadelphia, London, New York,
St. Louis, Sidney, Toronto.
Pratiknya, AW. Anatomi Sosial, suatu kajian
prospektif. Berkala Ilmu Kedokteran,
Jilid XVI, No. 5, 1984
Sukardi, E. Reorientasi Pendidikan Anatomi
Menjelang tahun 2000. Pertemuan
Ilmiah Nasional Perhimpunan Ahli
Anatomi Indonesia. Malang 18-19
Desember 1992.
Tim Penelitian/Penyusunan Istilah Ana-
tomi Fakultas Kedokteran Univer-
sitas Airlangga, 1979. Kamus Istilah
Anatomi Edisi ke-2. Pengurus Besar
Perhimpunan Ahli Anatomi
Indonesia, Surabaya.
Uddin, J. Masa depan KIPDI dan Rekonstruksi
Kurikulum Anatomi, sebuah gagasan
Dasar. Pertemuan Ilmiah Nasional
Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia
Malang 18 -19 Desember 1992
Wonodirekso S, Surjono. Pendidikan Anatomi
Kedokteran berubah, perlu diubah atau tak
berubah-ubah?. Pertemuan Ilmiah
Nasional Perhimpunan Ahli Anatomi
Indonesia. Malang, 18 – 20
Desember 1992.
140
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Hubungan Arcus Pedis dengan Kemampuan Lari
Siswa SMP Negeri 23 Makassar
Azis Beru Gani*, Ilhamjaya Patellongi**
*Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar **Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara arcus
pedis dan kemampuan lari, antara panjang tungkai dan kemampuan lari, antara
daya ledak otot dan kemampuan lari, antara kecepatan reaksi otot dan
kemampuan lari. Penelitian ini menggunakan 155 sampel siswa laki-laki kelas II
SMP. Variabel penelitian meliputi variabel bebas terdiri dari : arcus pedis dan
kecepatan reaksi kaki, sedangkan variabel terikat yaitu kemampuan lari.
Pengukuran arcus pedis dilakukan dengan menggunakan teknik Clarke
(footprint). Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik antara arcus pedis dan
kemampuan lari didapatkan korelasi yang sangat lemah (r = -0,192). Hal ini
menunjukkan bahwa arcus pedis mempengaruhi kemampuan lari tetapi dalam
tingkat korelasi yang rendah.
Kata Kunci : Arcus pedis dan kemampuan lari
ARTIKEL ASLI
Arcus Pedis, Kemampuan lari
The Relationship between Arcus Pedis with the Running Ability
of the Students at SMP 23 of Makassar Azis Beru Gani, Ilhamjaya Patellongi
Abstrak
The objective of the study is to investigate the relationship between arcus pedis and
running abiliy.The sample consist of 155 male student of the second yeard of SMP (junior
high school). The study variable consist of independent variable arcus pedis and dependent
variable is the running ability. The arcus pedis measurement is conducted with Clarke
(footprint) technique. The data analysis using Person correlaton test indicates that the
arcus pedis has an insignificant correlation with the running ability (r = -0.192).
Keywords : arcus pedis and running ability.
141
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Di masa lalu, Indonesia memiliki
beberapa pelari kenamaan di nomor elite.
Moch Sarengat yang memecahkan rekor lari
100 meter Asian Games (AG) dengan waktu
10,40 detik (1962). Dua dekade kemudian
Purnomo dinomor yang sama memecahkan
rekor 10,39 detik dan sukses masuk semifinal
(16 besar di Olimpiade Los Angeles, AS, 1984)
yang satu-satunya pelari Asia menembus
semifinal. Prestasinya diikuti Mardi Lestari
yang lolos ke semifinal Olimpiade Seoul 1988
(10,32 detik). Di kelas putri ada Irene Truitje
Joseph pelari 100 meter menempuh 10,56 detik
di SEA Games 1999 Brunei Darussalam. Selain
itu, ada Henny Maspaitella pelari 200 meter
mencatat waktu 24,24 detik di SEA Games
Manila 1981 (Pate, 1984; Wirhed, 1988).
Sekarang prestasi itu sudah sulit
diperoleh atlet Indonesia. Berbagai penelitian
dilakukan, mengapa prestasi pelari Indonesia
tidak sebaik yang pernah dicapai. Olah raga
lari, seperti olahraga lainnya memerlukan
kajian dalam mencari tehnik dan metode
untuk menciptakan prestasi juara. Kajian
untuk meningkatkan keterampilan dalam
bidang oleha raga perlu terus ditumbuh-
kembangkan, baik untuk menciptakan prestasi
maupun dalam peranannya di bidang
kesehatan (Wirhed, 1988; Carr, 2003).
Salah satu kunci untuk menciptakan
prestasi atlet juara adalah kemampua berlari
yang disertai teknik yang baik. Lari adalah
gerakan berpindah tempat dengan maju ke
depan yang dilakukan lebih dari berjalan. Di
sini diperlukan kekuatan frekuensi langkah
kaki dengan mengerahkan kekuatan dan
kecepatan gerak langkah dengan suatu
kontraksi maksimal. Tiga hal yang perlu
diperhatikan untuk mencapai usaha tersebut,
yaitu bagaimana teknik star yang baik,
gerakan sprint dan teknik melalui garis
finish. Ketiga pokok masalah ini sangat
berkaitan dengan bentuk dan sendi tulang-
tulang kaki (arcus pedis) dengan
kemampuan lari.
Kaki manusia yang melengkung,
merupakan suatu ciri khusus pada manusia
yang tak terlihat pada ordo primata yang
lain. Dasar utama dari lengkung-lengkung
kaki berasal dari bentuk dan arsitektur
tulangnya walaupun ligamenta, tendo-
tendo dan otot-otot juga turut serta dalam
membentuk kekuatan dan stabilitas kaki.
(Bajpai, R.N., 1991, Datu AR, 2006, Noor
DM, 1979).
Lengkung-lengkung kaki membantu
efisien fungsi kaki, dimana terdiri dari 2
bagian; 1) menahan berat badan dan 2)
pergerakan berjalan dan berlari (Bajpai,
R.N., 1991, Datu AR, 2006). Untuk fungsi
yang pertama kestabilan dan dasar yang
luas seperti bentuk piring ceper
dibutuhkan, yang akan merubah bentuk
bagian tersebut dari permukaan yang tidak
rata atau miring. Untuk fungsi kedua,
kekuatan daya pegas pengungkit
dibutuhkan yang dapat meninggikan
seluruh tubuh pada caput ossa metatarsalia
dan bergerak maju selama berjalan atau
berlari selaras dengan fungsi pertama
tulang-tulang kaki yang lebar dan lebih
kuat (Datu AR, 2006).
Pedis tidak merupakan suatu bidang
datar, melainkan melengkung membentuk
suatu arcus dengan titik tumpu di bagian
posterior dan anterior. Arcus tersebut
mengarah ke arah longitudinal dan
transversal, dan disebut Arcus Pedis
Longitudinalis dan Arcus Pedis Transversalis.
142
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Arcus pedis transversalis berbentuk setengah
arcus dan menjadi arcus penuh apabila kedua
pedis diletakkan berdampingan. Titik tumpu
di bagian posterior adalah processus medialis
tuberis calcanei dan di bagian anterior dibentuk
oleh kedua ossa sesamoidea pada capitulum
ossis metatarsalis I serta capituli osseum
metatarsalium II – V. Bagian lateral pedis juga
mengenai lantai oleh karena lengkung
longitudinalis lateralis letaknya lebih rendah
dan bagian medial tampak kaki tidak
menyentuh lantai sebab arcus medial letaknya
lebih tinggi. Pada Pes Planus sisi medial pedis
menyentuh lantai (Datu AR, 2006).
Berat tubuh akan terbagi menjadi dua
secara seimbang ke depan dan belakang tapak
kaki oleh puncak arcus pedis. Kemudian
dengan bantuan fascia plantaris menyebabkan
terjadi elevasi arcus pedis yang sering disebut
sebagai efek mesin kerek “windlass effect”.
Hal inilah yang berfungsi sebagai daya pegas
pada kaki sehingga dengan kelengkungan
arcus pedis yang normal dapat memberikan
kontribusi pada kemampuan lari yang lebih
baik (Hamill J, 2003).
Gambar 1. Berat Tubuh pada Arcus Pedis
Swartz adalah orang pertama yang
mencoba mengukur footprint dalam footprint
angle. Ini berdasarkan teori bahwa semakin
tinggi lengkung kaki, sudut kelengkungan
(arch angle) semakin bertambah pula. Clarke
kemudian menemukan metode tentang
penentuan arch angle tersebut dan
menemukan rata-rata arcus pedis normal
bagi mahasiswa tingkat persiapan kurang
lebih 420. Clarke berpendapat bahwa sese-
orang yang mempunyai sudut kurang dari
300 adalah seseorang yang memerlukan
koreksi tapak kaki. Sedangkan para
mahasiswa yang mempunyai arcus pedis
antara 300 – 350 dinyatakan orang-orang
yang berada pada perbatasan dan harus
diadakan pemeriksaan ulang untuk
menentukan perlu tidaknya tindakan
pengoreksian (Halim NI, 1992).
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Bahru (2006) diperoleh korelasi yang
signifikan antara arcus pedis dan
kemampuan lari yaitu r = -0.768 (p < 0,05)
dengan menggunakan 60 sampel siswa SD.
Dalam penelitian ini akan dianalisa
bagaimana hubungan arcus pedis dengan
kemampuan lari pada siswa SMP Negeri 23
Makassar.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan obser-
vasional dengan menggunakan metode
cross sectional study. Dimana dicari
hubungan antara arcus pedis, panjang
tungkai, daya ledak otot dan kecepatan
reaksi kaki dengan kemampuan lari pada
siswa pria.
Tempat, Waktu Penelitian dan Populasi
serta sampel
Tempat penelitian SMP Negeri 23
Makassar yang juga merupakan populasi
yang akan diteliti. Sedangkan sampel yang
dilakukan secara random sampling adalah
siswa pria SMP kelas II sebanyak 60 orang.
143
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil
Penelitian
Analisis data deskriptif dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran umum data
penelitian. Analisis deskriptif dilakukan untuk
data arcus pedis, panjang tungkai, daya ledak
otot, kecepatan reaksi kaki dan kemampuan
lari sehingga lebih mudah di dalam
menafsirkan hasil analisis data tersebut.
Deskripsi data dimaksud untuk dapat
menafsirkan dan memberi makna tentang
setiap variabel tersebut secara berturut-turut
seperti pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Hasil analisis deskriptif tiap variabel
Dari tabel 1 di atas dapat diperoleh
gambaran tentang data arcus pedis, panjang
tungkai, daya ledak otot, kecepatan rekasi kaki
dan kemampuan lari sebagai berikut :
a. Arcus pedis diperoleh nilai rata-rata 46,950,
standar deviasi 9,410, nilai minimum 160 dan
maksimum 660.
b. Kemampuan lari diperoleh nilai rata-rata 9,28
detik, standar deviasi 0,77 detik, nilai
minimum 7,11 detik dan maksimum 12,19
detik.
Untuk mengetahui apakah data arcus
pedis dan kemampuan lari berdistribusi
normal, maka dilakukan pengujian dengan
menggunakan uji Kolmogorov Smirnov.
Hasil uji normalitas data dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji normalitas data tiap variabel
(*) data tidak berdistribusi normal
Berdasarkan tabel 2 di atas maka
dapatlah diperoleh gambaran bahwa
pengu-jian normalitas data dengan
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan hasil sebagai berikut : Arcus
Pedis diperoleh nilai KS-Z = 0,000 (p < 0,05),
maka hal ini menunjukkan bahwa data
arcus pedis mengikuti sebaran normal atau
berdistribusi normal.
b. Kemampuan lari diperoleh nilai KS-
Z = 0,200 (p < 0,05), maka hal ini menun-
jukkan bahwa data kemampuan lari tidak
mengikuti sebaran normal atau berdis-
tribusi tidak normal.
Korelasi arcus pedis dan kemampuan lari.
Data arcus pedis diperoleh dengan
melalui tes antropometrik. Untuk menge-
tahui keeratan hubungan arcus pedis
dengan kemampuan lari dilakukan analisis
korelasi Product Moment. Rangkuman hasil
analisis data dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Rangkuman hasil analisis korelasi arcus
pedis dengan kemampuan lari
Kolmogorov-
Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Stati df Sig. Stati Df Sig.
Arcus
Pedis ,193 155 ,000 ,885 155 ,000
Kemam-
puan lari ,058 155 ,200(* ,987 155 ,164
M
N
Ra-
nge
Ma
x
Mi
n
Me
an
SD Var
Arcus
Pedis (AP)
155 50,0 66,0 16,0 46,
95
99,
41
8,61
Kemampu
an lari KL)
155 5,08 12,
19
7,11 9,
28
0,
77
0,
60
Variabel ro p keterangan
AP (X1)
KL (Y) - 0,192 0,000 Sangat lemah
144
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Berdasarkan tabel 3 di atas terlihat
bahwa hasil perhitungan korelasi Spearman
diperoleh nilai r hitung (ro) = -0,192, berarti ada
korelasi sangat lemah antara arcus pedis
dengan kemampuan lari. Dengan demikian
jika siswa memiliki arcus pedis yang besar,
maka akan diikuti dengan kemampuan lari
yang lebih cepat.
Pembahasan
Pada penelitian terhadap 155 sampel
didapatkan bahwa rata-rata arcus pedis
ditemukan 46,950 hal ini menunjukkan bahwa
kurang lebih sama dengan yang ditemukan
Clarke dengan menggunakan metode yang
sama yaitu 420.
Pada uji korelasi didapatkan hasil
bahwa terdapat korelasi antara arcus pedis
dan kemampuan lari, hal ini seiring dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bahru (2008).
Namun pada penelitian ini didapatkan tingkat
korelasi yang lebih rendah dibandingkan
dengan peneliti sebelumnya. Hal ini
disebabkan karena sampel yang digunakan
tidak memperhitungkan Index Massa Tubuh
(IMT). IMT sangat mempengaruhi pemben-
tukan arcus pedis.
Pada orang yang mempunyai IMT di
atas normal (overweight) ternyata memiliki
arcus pedis yang lebih kecil dibandingkan
yang mempuyai IMT normal (Nordin M &
Frankel VH. 2001). Namun pada penelitian ini
tetap menunjukkan bahwa terdapat hubung-
an antara arcus pedis dan kemampuan lari
walaupun pengaruhnya tidak besar.
Arcus pedis mempengaruhi
kemampuan lari seseorang hanya pada
bagian kaki saja sebagai pegas untuk
mendorong ke depan, namun untuk
kemampuan lari sangat dipengaruhi pula
oleh kekuatan otot-otot tungkai dan sendi-
sendi yang terdapat pada tungkai.
Daftar Pustaka
Pate R, 1984. Dasar-Dasar Kepelatihan, t.p.
Semarang.
Wirhed R, 1988. Athletic Ability & the
Anatomy of Motion, Wolfe Medical
Publications, London.
Carr GA, 2003. Atletik untuk sekolah t.p.
Jakarta.
Bajpai, R.N., 1991. Osteologi Tubuh Manusia,
Binarupa Aksara, Jakarta.
Halim NI, 1992. Tes dan Pengukuran Dalam
Bidang Olahraga, t.p. Ujung Pandang.
Hamill J, 2003. Biomechanical Basis of Human
Movement 2nd ed., Lipincott Williams
& Wilkins, Philadelphia.
Nordin M & Frankel VH, 2001. Basic
Biomechanics of the Musculoskeletal
System 3rd ed., Lippincott, Maryland.
Datu AR, 2006. Anatomi Musculoskeletal,
Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran UNHAS, Makassar.
Noor DM. , 1979 Pengamatan Cetakan Telapak
Kaki Sekelompok Mahasiswa Indonesia,
Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran UNHAS, Makassar, hal
108 - 114.
Dahlan MS, 2004. Statistika Untuk
Kedokteran dan Kesehatan, PT
Arkans, Jakarta, hal. 163.
145
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Hubungan Hiperaktifitas Simpatis Anak Dengan
Kelompok Riwayat Hipertensi Ibu Melalui
Cold Pressure Test (CPT)
Mochammad Erwin Rachman
Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar
Abstrak
Hubungan hiperkatifitas simpatis anak dengan kelompok riwayat hipertensi
ibu melalui test Cold Pressure Test (CPT). Penelitian kami bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh riwayat hipertensi ibu terhadap hiperaktifitas
simpatis anak. Dengan menggunakan sebanyak 173 sampel mahasiswa Fakultas
Kedokteran UMI Makassar yang berumur 18-21 tahun tanpa membedakan jenis
kelamin dan suku. Jenis penelitian adalah crossectional study dengan pengolahan
data menggunakan program Windows SPSS version 12,0 yang hasilnya berupa
persentase dan tingkat resiko disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dengan
tingkat kemaknaan p=0,05. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan dari resiko
hiperatifitas simpatis terbesar adalah kelompok anak yang mempunyai ibu hipertensi
yaitu 50% atau 1,84 kali (PR = 0.79-2.34), disusul oleh kelompok anak yang
mempunyai riwayat keluarga hipertensi sebesar 42 % atau 1,36 kali (PR = 0.79-2.34),
selanjutnya kelompok anak dengan riwayat ayah dan ibu hipertensi sebesar 33% atau
0,91 kali (PR = 0.33-2.56), kemudian kelompok anak dengan riwayat ayah hipertensi
sebesar 32% atau 0,87 kali (PR = 0.51-1.55. Terkecil adalah kelompok anak tanpa ada
riwayat hipertensi sebesar 24% atau 0,59 kali (PR = 0.34 -1.05). Kesimpulan : Bahwa
anak yang mempunyai hubungan riwayat hipertensi ibu akan lebih besar menderita
hipeaktifitas simpatis dibandingkan kelompok riwayat hipertensi lainnya.
Kata kunci : Hipertensi, Hipereaktor , kelompok riwayat keluarga hipertensi, CPT.
ARTIKEL ASLI
Hiperaktifitas Simpatis, Hipertensi, CPT
146
5
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Hipertensi merupakan masalah
kesehatan penting bagi dokter yang bekerja
pada pelayanan kesehatan primer, karena
angka prevalensi yang tinggi, dan akibat
jangka panjang yang ditimbulkan mempunyai
konsekuensi tertentu. (Nitemberg at all, 2994)
Hasil survei kesehatan menunjukkan lonjakan
kematian akibat penyakit kardiovaskuler
dengan proporsi penyakit tersebut mening-kat
dari tahun ke tahun. Tahun 1975 kematian
akibat kardiovaskuler 5,9%, tahun 1981
merambat sampai 9,1%, tahun 1986
melonjak menjadi 16% dan tahun 1995
meningkat menjadi 19%. Di berbagai negara
maju maupun berkembang lebih dari 25
ahun, penyakit ini menjadi pembunuh
nomor satu.
Seperti telah diketahui bersama
dibeberapa literature ,adanya peranan
respon system saraf simpatis yang
berlebihan (hiperaktifitas simpatis) akan
memicu peningkatan resistensi total pada
The Relation Of The Symphatetic Hyperactivity Of Child With
The Group History Hypertension Mother Fellow Through
The Method Cold Pressure Test (CPT) Mochammad Erwin Rachman
Abstract
The relation the simphatetic hyperactivity of child with the group history
hypertension mother fellow through the method cold pressure test (CPT). Our
Research try to prove the mentioned , by using 173 sample of student Medical
Faculty of University Indonesia Moslem Macassar which old age 18-21 year without
reference to difference type of gender and tribe. This research represent the its data-
processing Crossectional study use the Windows SPSS version 12,0 with the
percentage and result of test Crosstabulation seenly is risk estimate that 50 % with
the risk value of a child will be more be big experience of the simphatic hyperactivity
(hiperactor) equal to 1.84 times (PR = 0.91-3.71).From group of hypertension mother
is later then caught up by a family history of equal to 42% at risk to 1.36 times (PR =
0.79-2.34) , then factor of father and mother equal to 33% at risk to 0.91 times (PR =
0.33-2.56), then factor of hypertension father is equal to 32 % at risk to 0.87 (PR =
0.51-1.55), and last of factor nonriwayat is equal to 24% at risk to 0.595 (PR = 0.34
-1.05). Conclusion : There are relation influence of factor generation Hypertension
Mother more is influential compared by factor of other group.
Keyword : Hypertension, Hipereactor , Group of family fellow Hypertention,
CPT.
147
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
pembuluh darah perifer melalui perangsangan
pada reseptor α-1 adrenergik yang terutama
pada pembuluh darah arteriole. Disamping
itu, perangsangan system saraf simpatis akan
menyebabkan peningkatan kerja jantung
berupa peningkatan curah jantung melalui
reseptor β-1 agrenergik yang peka terhadap
norpineprin. Dengan demikian, maka hal
tersebut akan menyebabkan terjadinya
hipertensi.
Hipertensi disebabkan oleh multi-
faktorial, berupa pola dan gaya hidup yang
tidak sehat, usia, akibat komplikasi beberapa
penyakit tertentu, serta adanya factor
keturunan/genetic dari orang tua kepada
anaknya. (Ganong, 2002; Gayton, 1991;
Sidabutar et. all., 1994) Salah satu faktor yang
sangat beresiko menyebabkan hipertensi
adalah riwayat hipertensi keluarga.
V Lascaux-Lefebvre (1999) menemukan
terdapat relasi antara riwayat hipertensi pada
orang tua sebelum berumur 60 tahun dengan
hipertensi keturunannya. Relasi itu bahkan
lebih nyata lagi pada orang yang kedua orang
tuanya mempunyai riwayat hipertensi
dibandingkan orang yang kedua orang tuanya
tidak mempunyai riwayat hipertensi
(Markum, 1991).
Pada tulisan penelitian ini , kami akan
mencoba membuktikan korelasi ada tidaknya
hubungan antara factor kelompok turunan
hipertensi dari orang tua dan keluarga yang
kemungkinan akan diderita oleh anak untuk
menimbulkan hiperaktifitas system saraf
simpatis yang mana hal ini berhubungan
dalam patomekanisme untuk timbulnya
hipertensi pada anak dikemudian hari. Untuk
hal tersebut, kami menggunakan percobaan
Cold Pressure Test (CPT) atau Test
Pendinginan, dimana pada test sederhana ini
parameter yang digunakan berupa adanya
peningkatan kerja dari sistem saraf simpatis
yang disebut dengan Hipereaktor yang
timbul pada saat lengan subjek dicelupkan
pada air dingin dengan suhu 3-5o C selama
30 detik. (3) CPT adalah test sederhana dan
dapat dilakukan dimana saja , yang dapat
mengukur adanya hiperaktifitas simpatis,
dengan cara mem-beri stimulus fisiologis
external berupa suhu dingin. Test ini akan
menstimulasi saraf simpatis sehingga dapat
ditentukan apakah saraf simpatis
hiperaktifitas atau tidak. Secara fisiologis
adanya perang-sangan suhu dingin akan
merangsang pusat pengatur suhu di
Hipothalamus anterior, yang akan
mempengaruhi pusat vasomotor di batang
otak, kemudian melalui sistem saraf
simpatis untuk meningkatkan tonus pem-
buluh darah arteri dan arteriole serta kerja
dari jantung untuk meningkatkan tekanan
darah (Gayton, 1991, Irfan & Agnes, 2005).
Carol et all (1996) dan Fumiyagi Kasogi
(1995), test ini mendeteksi pening-katan
tekanan darah subjek akan meningkat pada
umur pertengahan (40 tahun keatas),
apabila tidak dicegah faktor-faktor penye-
bab terjadinya hipertensi (Irfan & Agnes,
2005).
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat membuktikan korelasi peningkatan
hiperaktifitas simpatis pada seorang anak
kelompok penderita hipertensi ada atau
tidak, kemudian apakah hiperaktifitas
simpatis tersebut akan menjadi lebih besar
untuk terkena hipertensi dikemudian hari
atau tidak masih perlu pemantauan subyek
lebih lanjut sampai subjek mencapai umur
kans resiko menderita hipertensi yaitu usia
pertengahan (40 tahun keatas), serta jika
148
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
test ini dapat membuktikan hal tersebut, maka
test ini diharapkan dapat menjadi salah satu
metode sederhana untuk mencegah sedini
mungkin untuk timbulnya hipertensi
dikemudian hari bagi yang mempunyai
riwayat hipertensi dari orang tua.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah Crossectional
Study, yang membandingkan reaksi
hiperaktifitas simpatis berupa hipereaktor
pada kelompok subjek yang mempunyai
riwayat hipertensi dari orang tua maupun
keluarga, melalui test pendinginan (CPT).
Tempat penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu Fisiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
yang menggunakan subjek penelitian adalah
mahasiswa-mahasiswi Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia Makassar
sebanyak 173 sampel, dengan usia berkisar 18-
21 tahun tanpa memandang perbedaan jenis
Kelamin, yang sebelumnya menandatangani
informed consent yang telah disiapkan.
Dalam penelitian ini diawali dengan
pelaksanaan pembagian kuisoner riwayat
hipertensi pada populasi subjek, yang
kemudian diadakan pengelompokkan
berdasarkan ada dan tidaknya riwayat
hipertensi dari orang tua dan keluarga,
menjadi : Kelompok subjek dengan riwayat
hipertensi dari ayah, ibu, ayah dan ibu,
keluarga, dan tanpa riwayat hipertensi .
Sebelumnya, subjek diminta untuk istirahat 10
menit lalu diukur tekanan darah istirahatnya
dengan menggunakan sphygmanometer
digital sebagai pretest, selanjutnya dilakukan
kegiatan posttest berupa test pendinginan
dengan perendaman lengan subjek sampai
sedikit diatas siku dalam wadah
menggunakan air dingin bersuhu 3-5o C.
Setelah lengan subjek direndam, setiap 30
detik, tekanan darah dan nadi diukur
kembali dengan memakai sphygmano-
meter digital. Perubahan sistolik maupun
diastolik saat perendaman ini akan
dibandingkan dengan tekanan darah
istirahat, apakah ada hipereaktor atau
hiporeaktor.
Hasil Penelitian
Pada penelitian ini, kami meng-
gunakan 173 sampel dari hasil pemerik-
saaan Cold Pressure Test (CPT) selama 30
detik pada subyek mahasiswa Fakultas
kedokteran UMI yang berumur berkisar
18 – 21 tahun pada tahun 2004-2005.
Pada penelitian ini, kami membagi
sampel menjadi 5 kelompok berdasarkan
riwayat turunan hipertensi kedua atau
salah satu orang tua serta yang tidak
mempunyai riwayat : Ayah yang hipertensi
(A+) sebanyak 43 sampel, ibu yang
hipertensi ( I+) sebanyak 26 sampel, Ayah
dan ibu hipertensi (AI+) sebanyak 15
sampel, dari keluarga yang hipertensi (K+)
sebanyak 40 sampel, dan yang tidak
memiliki faktor keturunan non-hipertensi
sebanyak 49 sampel.
Dari tabel dan grafik terlihat bahwa
dari pengolahan data dengan melihat hasil
Chi-Square semua kelompok (5) sampel,
dimana dari data semuanya menunjukkan
hubungan yang lemah antara faktor
turunan hipertensi dari orang tua kepada
anaknya terhadap peningkatan
hiperaktifitas sistem saraf simpatis
(hiperpereaktor). Dengan melihat resiko
estimasi terlihat bahwa nilai resiko seorang
anak akan lebih besar mengalami
149
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
hiperaktifitas simpatis (hiper-aktor) sebesar
1.84 kali (PR = 0.91-3.71) dari kelompok ibu
hipertensi. Kemudian disusul riwayat
keluarga sebesar 1.36 kali (PR = 0.79-2.34 ),
lalu faktor ayah dan ibu sebesar 0.91 kali (PR =
0.33-2.56), lalu faktor ayah hipertensi 0.87
(PR = 0.51-1.55), dan terakhir faktor
nonriwayat sebesar 0.595 (PR = 0.34-1.05 ).
Tabel 1. karakteristik dan hasil sampel penelitian
Variabel Ibu
(+)
Ayah
Ibu (+)
Ayah
( +)
Keluar
ga (+)
Non
riwayat
Sampel (n) 26 15 43 40 49
Gender(L/P) 6/20 7/8 23/20 16/24 23/26
Umur (Thn) 19.5 +
0.78
19.5 +
0.99
19.5 +
0.80
19.6 +
0.94
19.5 +
0.99
TB (cm)
BB (kg)
155.8 +
5.3
49.3 +
11.1
160.2 +
9.3
49.9 +
7.9
64.6 +
19.2
56.6 +
13.7
155.5 +
17.5
49.5 +
9.9
160.4
+ 7.3
52.6
+ 9.9
CPT 30 dtk
Hipereaktor
Hiporeaktor
13
(50%)
13
(50%)
5 5
(33%)
10
(67%)
14
(32%)
29
(68%)
17
( 42% )
23
( 58 %)
12
( 24 % )
37
( 76 % )
PR
1.84
(0.91 -
3.71)
0.91
(0.33 -
2.56)
0.87
(0.51 -
1.55)
1.36
(0.79 -
2.34)
0.595
(0.34 -
1.05)
Chi-Square
(P)
0.08 0.87 0.67 0.27 0.06
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Ayah + Ibu + Ayahibu
+
Keluarga
+
non
Hiper
normal
Berdasarkan prosentase yang meng-alami
hiperaktifitas simpatis (hipereaktor) terlihat
bahwa ; nilai prosentase tertinggi di alami oleh
kelompok sampel dengan riwayat
hipertensi dari ibu sebesar 50 %, kemudian
riwayat keluarga sebesar 42%. Kemudian
disusul riwayat ayah dan ibu sebesar 33%,
lalu riwayat ayah sebesar 32 %, dan terakhir
adalah non-riwayat sebesar 24 %.
Diskusi
Dari hasil penelitian kami dapat
dilihat bahwa faktor riwayat hipertensi ibu
nampaknya lebih berpengaruh untuk bisa
meningkatkan hiperaktifitas sistem saraf
simpatis yang disebut hipereaktor pada
anak dibandingkan dari riwayat hipertensi
ayah maupun non riwayat baik dilihat dari
resiko estimasi maupun secara prosentase
yang dapat dilihat pada tabel di atas.
Walaupun faktor keturunan hipertensi
mempunyai hubungan yang lemah, dengan
signifikan (p>0,05) terhadap hiperaktivitas
saraf simpatis pada anak. Hasil penelitian
ini didukung oleh adanya studi yang
dilaku-kan oleh Kuznetsova T et all tentang
kecen-derungan pengaruh maternal lebih
besar daripada paternal pada pembesaran
ventrikel kiri seorang anak (Kuznetsova,
2002) dan oleh beberapa studi sebelumnya
antara lain Musante et al, Kellogg FR et all,
Lemne CE dan Hansen HS et all. Musante
(1990) dari hasil studinya mengemukakan
bahwa terdapat pengaruh riwayat
hipertensi keluarga terhadap reaktivitas
kardiovaskuler pada anak, dengan menggu-
nakan metode forehead cold stimulation
(Thomas et all, 2000). Studi lain yang
dilakukan oleh Kellogg (1981) dan Hansen
(1992) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara riwayat hipertensi
keluarga dengan peningkatan tekanan
darah pada anak yang menjelang dewasa
150
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
(Musante, 1990; Kellogg, 1981; Lamne, 1998;
Kelsey, 2000). Tetapi hal ini terutama berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Lemne
(1998) pada anak-anak diatas 12 tahun, dimana
riwayat hipertensi ayah mempengaruhi
peningkatan tekanan darah anak (Hansen,
1992).
Belum ada teori maupun studi
sebelumnya yang secara mendetail
menjelaskan bahwa faktor ibu yang lebih
berpengaruh dibandingkan ayah dalam
meningkatkan hiperaktifitas simpatis pada
anak. Walaupun kemungkinan hal ini
dikaitkan dengan adanya factor turunan
kromosom pada DNA mitokondria ibu yang
dominan melalui proses fertilisasi, dimana
mitokondria sel sperma tidak dapat masuk ke
dalam sel telur ibu seperti halnya penjelasan
studi oleh Kuznetsova T et all. tentang
kecenderungan pengaruh maternal lebih besar
daripada paternal pada pembesaran ventrikel
kiri seorang anak (Kuznetsova, 2002). Tetapi
hal ini perlu di telusuri lebih lanjut dengan
menambah jumlah sampel penelitian maupun
pada populasi yang lain , serta metode alat
yang lebih mendukung untuk dapat
menjelaskan tentang apakah memang faktor
turunan hipertensi ibu lebih berpengaruh
dibandingkan faktor ayah dalam peningkatan
hiperaktifitas simpatis pada anak.
Kesimpulan
Faktor riwayat hipertensi ibu lebih
berpengaruh untuk bisa meningkatkan
hiperaktifitas sistem saraf simpatis (hipe-
reaktor) pada anak dibandingkan dari riwayat
hipertensi ayah maupun non riwayat melalui
metode Cold Pressure Test (CPT).
Daftar Pustaka
Ganong WF, 2002. Hipertensi, Homeostatis
Cardiovascular dalam keadaan Sehat
dan Sakit dalam Buku Fisiologi
Kedokteran, Lange EGC, Edisi 20 ,
Penerbit Buku Kedokteran , Jakarta,
hal. 615 – 16.
Guyton AC, 1991. Hipertensi dalam Buku
Fisiologi Manusia dan Mekanisme
Penyakit, Lange EGC, Edisi Revisi,
Penerbit Buku Kedokteran Jakarta.
Idris, Irfan., Agnes B., 2005. Hubungan
Peningkatan Hiperaktifitas Simpatis
dengan Kejadian Preeklampsia dan
Hipertensi Pada Ibu Hamil, dalam
Jurnal Penelitian Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
Hansen HS. et all., 1992. Blood Pressure and
Cardiac Structure in Children with a
Parental History of Hypertension: The
Odense Schoolchild Study. J
Hypertens; 10(7): 677-82
Kellogg FR et all., 1981. Influence of Familial
History of Hypertension on Blood
Pressure During Adolescence. Am J
Dis Child ;135(11) : 1047-9
Kelsey et all. 2000. Consistency of
Hemodynamic Responses to Cold Stress
in Adolescents Hypetension ; 36(6):
1013-7.
Kuznetsova T et all, 2002. Maternal and
Parental Influences on left Ventricu-
lar mass of offspring, Hypertension.
American Heart Association : 69-74.
Lemne CE, 1995. Increased Blood Pressure
Reactivity in Children of Borderline
Hypertensive Fathers. J Hypertensi ;
16(9): 1243-8.
151
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Loyke HF, Saint V, 1995. The Cold Pressure test
Is Predictor Of the Severirty Of Hiperten-
sión. Medical Journal ; 88(3) : 300-4.
Markum AH, 1991. Hipertensi Sistemik, dalam
buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I,
Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Facultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta ; 639.
Musante L et all., 1990. Family history of
hypertension and cardiovascular reactivity
to forehead cold stimulation in black male
children. J Psychosom Res ; 34(1) : 111-6.
Nitemberg A, Cheula D, Anthony I,
2004. “Epicardial Coronary Arteri
Contruction Cold Pressure Test is
Predictive of Cardiovascular Events” In
Hipertensión patients UIT Angiogra-
phically Normal Coronary Arteries and
Without Other Major Coronary Risk
Factor, Centre Hospitalier Universty Jean
Verdier. France ; 173(1) ; 115-23.
Rajashekar RK, Nivedhita Y, Ghosh S,
2003. Blood Pressure Response To Cold
Pressure Test in Siblings Of Hiper-
tensión, Department Of Physiology,
Kasturba Medical College,
Mangalore, India ; 47(4) ; 453-8.
Setiawan A et. all, 1995. Antihipertensi,
dalam Buku Ajar Farmakologi dan
Therapi, Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Uviversitas
Indonesia, Edisi 4 ; 315 – 16.
Sidabutar RP , Wiguno P, 1994. Hipertensi
Essencial dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit
FK-UI, Jakarta ; 205-6.
Thomas F, Lusher, Mathias B., 2000.
Endothelins and Endothelin Receptor
Antgonist, Circulatio ; 102 ; 2434 – 40.
152
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Perilaku Merokok dan Kesehatan Mental Pasien
Rawat Jalan Sindrom Metabolik di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar 2009
Nurhaedar Jafar, Harlina dan Lucianne Drusilla Rante
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Abstrak
Tingginya prevalensi sindrom metabolik disebabkan oleh faktor gaya hidup
dan lingkungan. Penelitian ini betujuan untuk mengetahui hubungan kesehatan
mental dan perilaku merokok dengan kejadian sindrom metabolik. Jenis penelitian
yang digunakan adalah deskriptif-analitik dengan pendekatan cross-sectional.
Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang berobat jalan di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Sampel penelitian adalah pasien rawat jalan baru yang
berkunjung di bagian Poliklinik Endokrin. Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode accidental sampling yaitu sebanyak 140 orang. Data diolah dengan
menggunakan program SPSS dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Variabel
kesehatan mental dianalisis dengan menggunakan uji statistic chi-square. Hasil
penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden yang mengalami sindrom
metabolik tidak merokok (80,2%), yang merokok umumnya adalah perokok berat
(91,7%), merokok filter (75%), dengan lama merokok singkat (75%). Untuk kesehatan
mental diperoleh nilai P = 1,000 > α (0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara
gangguan kesehatan mental dengan kejadian sindrom metabolik. Penelitian ini
menyarankan perlunya dilakukan suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai
pengaruh kesehatan mental terhadap kejadian sindrom metabolik.
Kata kunci : sindrom metabolik, merokok, kesehatan mental
ARTIKEL ASLI
Merokok, Kesehatan Mental, Sindrom
Metabolik
153
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Sindrom metabolik adalah sekelompok
kelainan metabolik baik lipid maupun non-
lipid yang merupakan faktor risiko penyakit
jantung koroner, yang terdiri atas obesitas
sentral, dislipidemia aterogenik (kadar
trigliserida meningkat dan kadar kolesterol
high density lipoprotein (HDL) rendah),
hipertensi, dan glukosa plasma yang abnormal
(Adriansjah, & Adam, 2006).
Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan oleh Himpunan Studi Obesitas
Indonesia (HISOBI) didapatkan prevalensi
sindrom metabolik dengan menggunakan
criteria the National Cholesterol education
Program (NCEP) Adult Treatment Panel
(ATP) III sebesar 24,4 % dari 3.429 populasi
yang diteliti (Sartika, C., 2006). Sindrom
Metabolik (SM) berkaitan erat dengan
faktor penyebab obesitas seperti pola
makan, kurang olah raga, gaya hidup dan
faktor genetik. Salah satu komponen gaya
hidup yang merugikan kesehatan adalah
merokok dan konsumsi alkohol.
Berdasarkan laporan NCHS tahun
2005 prevalensi merokok (18 tahun keatas)
adalah 46.600.000 (25.900.000 laki-laki dan
20.700.000 wanita)3 American Hearth
Association, 2008.. WHO melaporkan
bahwa Indonesia adalah salah satu dari
Smoking Behavior and Mental Health with Metabolic Syndrome Out-
Patient in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar 2009 Nurhaedar Jafar, Harlina dan Lucianne Drusilla Rante
Abstract
The high prevalence of metabolic syndrome is caused of lifestyle and environment
factors. This study was aimed to know the association of mental health and description
of smoking behavior with metabolic syndrome. This study was an descriptive study.
The study population was all visitor of Endocrine polyclinic in Dr.Wahidin Hospital.
The study sample was the new out-patient visiting in Endocrine polyclinic. Sampling
was done by accidental sampling with 140 samples. Data was processed using SPSS
program and presented in table and narration. Mental health variable was analyzed
statistic with chi-square test. The study result showed that most of respondent having
metabolic syndrome did not smoke (80.2%), the smoker commonly heavy smoker
(91.7%), filter cigarette (75%), short smoking period (75%). The analysis result
showed that P Value (P=1,000) higher than α value ( α=0,05), this means that there
was no association between mental health disorder and metabolic syndrome. This study
suggest that it is necessary to be done a further study that more deep about the effect of
mental health with metabolic syndrome.
Key words : Metabolic syndrome, Mental health, smoking
154
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
lima negara yang terbanyak perokoknya di
dunia. Prevalensi perilaku merokok di
kalangan orang dewasa juga semakin
meningkat (tahun 1995 sebesar 26,9% dan
tahun 2004 sebesar 35%). Sebanyak 70%
penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan
dilihat dari sisi Rumah Tangga (RT) 57%
memiliki anggota RT yang merokok, dan
hampir semuanya merokok di dalam rumah
ketika bersama anggota RT lainnya. Bahkan
yang lebih memprihatinkan adalah
masyarakat mulai merokok sejak usia 8 tahun
(Nuryati, 2007).
Studi eksperimental yang baru
menunjukkan bahwa merokok dapat merusak
kerja insulin secara akut, pada subjek baik
yang sehat maupun pada pasien Non-insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
(Targher et all., 2009). Kejadian sindrom
metabolik juga tidak lepas dari pengaruh
lingkungan. Faktor lingkungan yang di
maksud terkait dengan kondisi kesehatan
mental khususnya stres yang dialami
penderita sindrom metabolik yang dapat
mengakibatkan berbagai gangguan seperti
gangguan fisiologis, psikologis dan perilaku.
Data hasil Riskesdas 2007 menunjukkan
bahwa prevalensi nasional gangguan mental
emosional pada penduduk yang berumur ≥ 15
tahun sebanyak 11,6%. Prevalensi tertinggi
terdapat di provinsi jawa barat (20%) dan
terendah di kepulauan Riau (5,1%)
(Riskesdas, 2008).
Penelitian ini ditujukan untuk
memperoleh informasi tentang hubungan
kesehatan mental dan gambaran perilaku
merokok dengan kejadian sindrom metabolik.
Bahan dan Metode
Lokasi, populasi, dan sampel penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poli
Endokrin RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Lokasi ini dipilih mengingat poli
ini merupakan pusat pelayanan rawat jalan
yang di dalamnnya mencakup bagian
Diabetes dan Hipertensi.
Populasi dalam penelitian ini yaitu
seluruh pasien yang berobat jalan di RSUP
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Sampel adalah pasien rawat jalan baru yang
berkunjung ke bagian Poli Endokrin.
Jumlah sampel yang diambil sebanyak 140
orang dengan pengambilan sampel secara
accidental sampling yaitu mereka yang
datang pada saat penelitian berlangsung
dan bersedia untuk diwawancarai.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data sekunder
berupa hasil pemeriksaan laboratorium
pasien dan data primer berupa wawancara
dengan menggunakan format kuesioner.
Kuesioner mencakup pertanyaan tentang
perilaku merokok dan keadaan kesehatan
mental Selain itu dilakukan pula
pengukuran antropometri pasien berupa
penimbangan berat badan, pengukuran
tinggi badan dan lingkar perut. Data diolah
dan dianalisis dengan menggunakan
program SPSS 12 dan disajikan dalam
bentuk narasi dan tabel. Data kesehatan
mental dianalisis dengan uji statistic chi-
square. Kesehatan mental dinilai
berdasarkan Riskesdas dan Mini
Neuropsychiatri.
Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa
sebagian besar kelompok umur yang
155
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
mengalami sindrom metabolik adalah yang
berumur 40-49 tahun yaitu 87%, sedangkan
yang tidak mengalami sindrom berumur < 40
tahun yaitu 57,1%. Persentase tertinggi yang
mengalami sindrom metabolic adalah jenis
kelamin perempuan (78,6%) sedangkan
berdasarkan pendidikan, yang mengalami
sindrom metabolik adalah yang berlatar
pendidikan diploma (95,2%) sedangkan yang
tidak mengalami sindrom adalah sarjana
(32,4%). Jenis pekerjaan responden yang
mengalami sindrom sebagian besar adalah
pedagang (100%), sedangkan yang tidak
mengalami sindrom metabolik sebagian besar
berprofesi sebagai IRT (20%).
2. Perilaku Merokok
Tabel 2 menunjukkan komponen
perilaku merokok. Berdasarkan status
merokok, sebagian besar responden yang
mengalami sindrom metabolik (SM)
umumnya tidak merokok yaitu 80,2%. Dari
38,6% responden yang merokok, yang
mengalami SM sebagian besar merupakan
perokok berat (konsumsi ≥ 20 batang/hari)
yaitu 91,7%. Jenis rokok yang dikonsumsi oleh
responden yang menderita SM sebagian besar
adalah berfilter yaitu 75% sedangkan yang
tidak mengalami SM sebagian besar
mengkonsumsi rokok non-filter (30%).
Berdasarkan lama merokok, sebagian besar
responden yang menderita sindrom metabolik
lama merokoknya singkat (< 10 tahun) yaitu
75%.
3. Kesehatan Mental
Tabel 3 menunjukkan bahwa
responden yang mengalami gangguan
kesehatan mental berdasarkan Riskesdas,
sebagian besar menderita sindrom metabolik
yaitu 78,5% sedangkan yang tidak
mengalami gangguan mental sebanyak
21,5% yang tidak mengalami sindrom
metabolik. Hasil analisis dengan Uji Chi
Square diperoleh nilai p= 1,000 > 0,05 maka
hipotesis nol diterima, ini berarti bahwa
tidak ada hubungan antara gangguan
kesehatan dengan kejadian sindrom
metabolic berdasarkan kriteria Riskesdas.
Tabel 3 menunjukkan bahwa res-
ponden yang mengalami gangguan mental
berdasarkan Mini Neuropsychiatric
sebagian besar mengalami sindrom
metabolik yaitu 77,5%. Sedangkan yang
tidak mengalami gangguan mental, yang
mengalami sindrom metabolic yaitu 77,8%.
Hasil analisis statistik dengan chi square
diperoleh nilai p = 1,000 > 0,05 maka
hipotesis nol diterima. Hal ini berarti tidak
ada hubungan antara gangguan kesehatan
mental menurut Mini Neuropsychiatric
dengan kejadian sindrom metabolik.
Pembahasan
1. Perilaku Merokok
Sindrom metabolik merupakan
kumpulan gejala metabolik yang juga
merupakan salah satu faktor risiko yang
manifestasi akhirnya adalah penyakit
kardiovaskuler. Hal ini disebabkan oleh
pengaruh gaya hidup dan lingkungan
disamping faktor genetik, jenis kelamin,
umur, hiperkolesterol, diabetes mellitus,
dan obesitas. Salah satunya komponen gaya
hidup adalah merokok.
Merokok diketahui dapat
menurunkan jumlah kolesterol HDL,
meningkatkan kadar LDL serta merangsang
hormon katekolamin yang bersifat memacu
jantung dan tekanan darah. Jantung tidak
156
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
diberikan kesempatan beristirahat dan
tekanan darah semakin tinggi, yang berakibat
timbulnya hipertensi yang merupakan faktor
risiko sindrom metabolic (Kabo, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa
sebagian besar responden yang mengalami
sindrom metabolik tidak merokok. Hanya
74,1% responden yang merokok. Sedangkan
yang tidak SM 25,9 % yang merokok.
Yang terpenting dalam rokok adalah
jumlah batang rokok yang dikonsumsi, bukan
lamanya seseorang merokok (Soeharto, 2004).
Orang yang merokok > 20 batang sehari dapat
mempengaruhi atau memperkuat dua faktor
risiko utama (Hipertensi dan
hiperkolesterolemia) (Anwar, 2004). Dari hasil
penelitian diperoleh bahwa sebagian besar
reponden yang merokok dan mengalami
sindrom metabolik umumnya adalah perokok
berat (konsumsi > 20 batang/hari) yaitu 91,7%,
sedangkan yang tidak sindrom adalah
perokok ringan (31%). Merokok ≥ 20
batang/hari akan menurunkan HDL (laki-laki
11%, perempuan 14%). Angka kesakitan dan
kematian yang berhubungan dengan merokok
sigaret hampir bekorelasi linier dengan jumlah
batang rokok yang dihisap setiap hari dan
tahun pemakaian.
Berdasarkan jenis rokok yang
dikonsumsi, umumnya responden yang
mengalami sindrom metabolik menggunakan
rokok filter (sigaret ) yaitu 75%. Maraknya
penggunaan filter dan sigaret yang “ rendah
tar dan nikotin” telah mengurangi risiko
secara nyata, tetapi masih membutuhkan
waktu lebih lama untuk menilai kegunaan
cara tersebut. Walaupun adanya penggunaan
filter, namun apabila perokok mengambil
hisapan lebih besar sehingga pemaparan ke
berbagai komponen asap rokok yang
berbahaya namun tidak mnurunkan risiko
karena rokok yang berfilter memberikan
banyak CO daripada rokok nonfilter
(Humranengsi, 2002). Berdasarkan lama
merokok diperoleh bahwa persentase
tertinggi responden yang mengalami SM
adalah yang lama merokoknya singkat ( <10
tahun) yaitu 75%, sedangkan yang tidak SM
sebagian besar telah lama merokok ( ≥10
tahun) yaitu 26%. Lama kebiasaan merokok
merupakan dose response terhadap
kejadian sindrom metabolik. Variabel
jumlah rokok yang dihisap setiap hari lebih
menggambarkan efek kumulatif dari bahan
beracun yang terkandung dalam rokok
dibandingkan dengan lama kebiasaan
merokok. Hasil penelitian “ Lipid Research
Program Prevalence Study” menyebutkan
bahwa yang paling penting adalah jumlah
rokok yang dikonsumsi dibandingkan
lamanya seseorang merokok (Anwar,
2004).
Penelitian yang dilakukan oleh
Wardoyo (1999) yang mengatakan bahwa
rokok sangat berpengaruh terhadap
hipertensi dimana pengaruhnya bukan
hanya karena merokok tetapi sangat
dipengaruhi oleh lamanya dan jumlah
merokok, karena semakin lama merokok
dan banyaknya yang dihisap/dikonsumsi,
maka tekanan darah akan meningkat dalam
waktu yang lama pula, dan bahkan
cenderung untuk menetap. Zat yang dapat
menyebabkan tekanan darah meningkat
adalah nikotin, merangsang saraf simpatis
dan diikuti oleh pelepasan epinerfin
sehingga denyut nadi cardiac output,
resistensi vascular akan meningkat, dan
tekanan darah pun meningkat secara
intermitten (Jallo, 2006).
157
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
2. Kesehatan Mental
Hasil penelitian diperoleh bahwa
berdasarkan kriteria Riskesdas menunjukkan
bahwa sebagian besar responden yang
mengalami gangguan mental, 78,5%
mengalami sindrom metabolic, sedangkan
yang tidak mengalami gangguan mental yang
mengalami sindrom metabolik juga tinggi
yaitu 77,0%. Dari analisis yang menggunakan
chi square diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat hubungan antara keadaan kesehatan
mental berdasarkan riskesdas dengan kejadian
sindrom metabolik. Pada tabel 3 dapat dilihat
bahwa jumlah antara responden yang
mengalami gangguan mental dan tidak
mengalami gangguan mental baik yang
sindrom metabolik maupun yang tidak
sindrom metabolik menunjukkan angka yang
tidak terlalu menonjol atau hampir sama,
sehingga angka yang hampir sama inilah yang
mempengaruhi variabel keadaan kesehatan
mental berdasarkan riskesdas tidak
mempunyai hubungan dengan kejadian
sindrom metabolik, artinya responden yang
mengalami gangguan mental (78,5%) maupun
tidak mengalami gangguan mental (77,0%)
berpeluang untuk mengalami sindrom
metabolik. Walaupun dari analisis uji statistik
menunjukkan tidak ada hubungan antara
gangguan kesehatan mental berdasarkan
riskesdas dengan kejadian sindrom metabolik,
akan tetapi hasil penelitian ini menunjukkan
lebih banyak responden sindrom metabolik
yang mengalami gangguan mental. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa gangguan mental
yang berkepanjangan akan mengakibatkan
seseorang mengalami kejadian sindrom
metabolik.
Dari hasil penelitian pada tabel 3,
berdasarkan kriteria Mini Neuropsychiatric
menunjukkan persentase responden
sindrom metabolik yang mengalami
gangguan mental (77,5%) lebih kecil
dibandingkan dengan responden yang
sindrom metabolik tetapi tidak mengalami
gangguan mental (78,3%). Dari analisis
dengan menggunakan uji chi square
diperoleh hasil bahwa tidak terdapat
hubungan antara variabel keadaan
kesehatan mental dengan kejadian sindrom
metabolik. Ini menunjukkan bahwa
keadaan kesehatan mental berdasarkan
Mini Neuropsychiatric tidak menentukan
seseorang mengalami kejadian sindrom
metabolik.
Banyak gejala yang berhubungan
dengan kesehatan mental akibat dari
adanya sindrom metabolik sehingga
menimbulkan rasa cemas, gelisah, khawatir,
dan ketakutan berlebihan pada responden.
Gangguan kesehatan mental ini juga timbul
akibat faktor umur dari responden
Akibat proses menua pada usia
lanjut mengalami berbagai perubahan yang
terjadi secara alami, baik aspek fisik, psikis
dan sosial. Berdasarkan indikator gangguan
mental-emosional (Depkes RI, 2007), maka
ditemukan 38,5% usia lanjut yang
mengalami gangguan mental-emosional
yang paling banyak dijumpai adalah
gangguan sulit tidur. Hal ini didukung oleh
penelitian oleh Tety S. (2005) yang
mendapatkan usia lanjut yang mengalami
gangguan tidur sangat banyak. Salah satu
gangguan kesehatan mental berupa
terganggunya pola tidur atau tidak dapat
tidur lelap. Gangguan pola tidur ini dapat
diakibatkan oleh meningkatnya hormon
stres dalam tubuh yang kemudian akan
mengganggu jalannya metabolisme
158
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
sehingga detoksifikasi (proses penetralan
racun dalam tubuh) tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini dapat
mengakibatkan produk sampingan
metabolisme yang dapat mengakibatkan
gelisah pada saat tidur. Pola tidur merupakan
suatu kebiasaan yang terbentuk dari suatu
proses namun pola tidur seseorang dapat
dipengaruhi oleh faktor kelelahan dan faktor
psikologis. Setelah bekerja keras seharian,
umumnya seseorang akan lebih mudah dan
cepat merasa ngantuk dan tertidur.
Sebaliknya, seseorang yang mengalami
kelainan psikologis, seperti banyak pikir,
sering merasa khawatir menyebabkan
gangguan pada dirinya sehingga kesulitan
untuk tidur. Hasil penelitiaan menunjukkan
bahwa bahwa seseorang yang tidur dibawah 6
jam sehari atau kurang tidur akan berdampak
pada stamina tubuhnya, yaitu tubuh menjadi
lesu, kurang konsentrasi dan lain-lain
(Sundari, 2005).
Hasil penelitian lain yang
dikemukakan oleh Leonard Marvyn (1995)
yang menyatakan bahwa stres, baik fisik
maupun emosional menyebabkan kenaikan
sementara pada tekanan darah namun bila
stres tersebut menjadi kebiasaan yang
menetap dalam kepribadian seseorang setiap
hari, maka tekanan darah pun akan naik dan
dalam periode waktu yang lama dan
cenderung untuk bertahan terus,
menyebabkan hipertensi yang menetap.
Sindrom metabolik merupakan kumpulan
gejala kelainan metabolik, yang penyebabnya
bukan hanya akibat stress, namun faktor gaya
hidup dan genetik juga berpengaruh
(Adriansjah & Adam, 2006).
Kesimpulan dan Saran
Secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa responden yang
mengalami sindrom metabolik (SM)
sebagian besar tidak merokok, yang
merokok merupakan perokok berat, jenis
rokok yang dikonsumsi umumnya berfilter
dengan lama merokok ≥ 5 tahun. Untuk
kesehatan mental diperoleh bahwa Tidak
ada hubungan antara gangguan kesehatan
metal dengan kejadian sindrom metabolik
baik berdasarkan Riskesdas maupun Mini
Neuropsychiatric.
Berdasarkan hasil yang diperoleh
maka disarankan perlunya penelitian lebih
lanjut yang memperhatikan efek kumulatif
dari bahan berbahaya rokok dengan
menghitung jumlah rokok yang telah
dihisap sampai habis dan lama merokok
intensif dan juga penelitian yang lebih
mendalam mengenai pengaruh kesehatan
mental (fisiologis, psikologis dan perilaku)
terhadap kejadian sindrom metabolik.
Daftar Pustaka
Adriansjah, H., & Adam, J., 2006. Sindroma
metabolik; pengertian, epidemiologi
dan kriteria diagnosis. Forum
Diagnosticum, 2006. 4:0854-7165
American Hearth Association, 2008.
Update At Glance. Hearth diseases
and stroke statistik.
Anwar, T., 2004. Faktor risiko Penyakit
Jantung Koroner. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra
Utara.
Depkes RI, 2007. Modul entry data
kuesioner Riskedas, Jakarta
159
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Humranengsi, Hubungan merokok dengan
kejadian PJK di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar tahun 2002.
Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Jallo, K., 2006. Faktor risiko yang dapat
mempengaruhi terjadinya hipertensi
pada usia dewasa muda (20 – 40
Tahun) Di Unit Rawat Jalan Rs
Labuang Baji Makassar. Skripsi FKM
Unhas Makassar
Kabo, P., 2008. Mengungkap pengobatan
penyakit jantung koroner. Jakarta : PT
Sun
Nuryati, S., 2007. Indonesia tobacco control
network. http://webbisnis.com/edisi-
cetak/opini/i.d66456.html. diakses 28
Juni 2008
Riskesdas, 2008. Laporan akhir Riset
Kesehatan Dasar Propinsi Sulawesi
Selatan. Depkes. Jakarta
Sartika, C., 2006. Penanda inflamasi, stress
oksidatif dan disfungsi endotel pada
sindrom metabolik. Forum diagnos-
ticum Prodia diagnostics educational
servis.
Soeharto, 2004. Serangan jantung dan
stroke. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Sundari, S., 2005. Kesehatan mental dalam
kehidupan. Jakarta: Rhineka Cipta
Targher, G., dkk., Cigarette smoking and
insulin resistance in patients with
noninsulin-dependent diabetes
mellitus. Journal of clinical
Endocrinology and metabolism.
www.jcem.endojournals.org.
diakses 22 Februari 2009
160
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Analisis Resiko Kesehatan Terhadap Kontaminasi
Arsen Pada Air Minum di Daerah
Buyat Sulawesi Utara
Anwar Daud*, Nur Nasry Noor**, H.J. Mukono***, M. Sjahrul****
*Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM-UNHAS, Makassar **Jurusan Epidemiologi FKM-UNHAS
***Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM-UNAIR ****Jurusan Kimia Fakultas MIPA-UNHAS
Abstrak
Kontaminasi air tanah, terutama kontaminasi arsen adalah sangat berbahaya bagi
kesehatan manusia, bila air tersebut digunakan untuk keperluan rumah tangga. Di
Asia telah dilaporkan bahwa di Banglades, China dan India, Kamboja, Myanmar,
Pakistan, Thailand, Indonesia dan Laos ada daerah-daerah di mana air tanah tercemar
oleh arsen. Di Indonesia khususnya di Buyat konsentrasi arsen yang tinggi telah pula
ditemukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis risiko kesehatan pencemaran
arsen di Desa Buyat. Jenis penelitian adalah observasional dengan pendekatan
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL),dimana jumlah sumur diperiksa
airnya 25 buah, jumlah kasus 54 penduduk yang menderita keliainan kulit (keratosis
atau hyperkeratosis). Hasil yang didapatkan, 90% air sumur tercemar di desa Buyat
dengan konsentrasi minimum (0,0063 mg/l), maksimum (0,1040 mg/l) dan rata-
rata±SD (0,040±0,030 mg/l). Risiko kesehatan (RQ) telah melampaui angka 1, Duration
time telah ditemukan 1,5 tahun,Cmax 0,0082 mg/l, dan laju konsumsi maksimum 53
ml/hari/orang dengan berat badan 35 kg.
Kata kunci : Analisis risiko keshatan, Pencemaran arsen, Buyat
ARTIKEL ASLI
Kontaminasi Arsen, Air Minum, Buyat
161
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Setiap tahun, insiden kontaminasi
arsen pada air-tanah dilaporkan dari negara-
negara Asia. Sebagai contoh, beberapa tempat
di China baru-baru ini telah dilaporkan
menjadi daerah masalah yang baru.
Kontaminasi arsen parah juga dilaporkan dari
Vietnam dan Indonesia, dimana beberapa juta
orang dikatakan berisiko tinggi untuk
mengalami keracunan arsen kronis (Rahman
dkk, 1999, 2006;, Daud dan Azis, 2005, 2007).
Laporan pertama tentang arsen di
sumur-sumur bor, sumur gali dan sumber
mata air dilaporkan pada tahun 1976 di India.
Tahun yang sama dilaporkan bahwa
masyarakat meminum air terkontaminasi
arsen di Chandigarh dan beberapa
perkampungan seperti Punjab, Haryana,
Himachal Pradesh di India bagian utara.
Kandungan arsen yang tinggi ditemukan
pada hati mereka yang mengalami fibrosis
portal non-sirosis (NCPF) dan meminum air
yang terkontaminasi arsen. Kontaminasi
arsen pada air-tanah di propinsi Bengal
Barat pertama kali ditemukan pada bulan
Juli 1983. Pada tahun yang sama,
ditemukan sekitar 16 pasien menglami lesi-
lesi kulit akibat arsen, diidentifikasi dari
salah satu kampung dalam distrik Parganas
Smoking Behavior and Mental Health with Metabolic Syndrome Out-
Patient in Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar 2009 Nurhaedar Jafar, Harlina dan Lucianne Drusilla Rante
Abstract
Groundwater Contamination, especially arsenic is very dangerous for human health if
water is used for domestic purposes. In Asia was report that in Bangladesh, China and
India, Cambodia, Myanmar, Pakistan, Thailand, Indonesia and Laos are arsenic
pollution areas. This study was health risk assessment for arsenic pollution in Buyat
Village, This study was intended to examine risk factors of rice, drinking water,
urinary, and blood arsenic levels to skin lesions at peoples in North Sulawesi. This
was observational study with design Environmental Health Risk Assessment (EHRA)
whereas 25 wells examined and cases (n=54) were people suffering for skin lesion
(keratosis or hyperkeratosis) living in Buyat Village (exposure areas). The result, 90%
dig wells in Buyat Village were arsenic contamination with minimum (0,0063 mg/l),
maximum (0,1040 mg/l) and mean ± SD (0,040±0,030 mg/l). Health risk (RQ) was
over than value one, duration times 1.5 years, Cmax. 0,0082 mg/l, and exposure way
(R) maximum 56 ml/day/man with 35 kg body weight.
Key words : Health risk assessment, Arsenic pollution, Buyat
162
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
dimana masyarakat meminum air
terkontaminasi arsen dari sumur mereka di
Bengal Barat (Chakraborty, 2003; Rahman,
2006).
Konsentrasi arsen 545 µg/L telah
ditemukan pada sampel air dari sumur pompa
tangan di India. Lebih lanjut dilaporkan
bahwa kandungan arsen tinggi dalam hati
lima dari sembilan pasien yang mengalami
hipertensi portal non-sirosis (NCPH) yang
telah meminum air yang terkontaminasi arsen,
fibrosis porta non-sirosis (NCPF) dan
obstruksi vena portal ekstrahepatik pada
orang dewasa sangat umum di India dan
menunjukkan bahwa konsumsi air yang
terkontaminasi arsen bisa memiliki peranan
dalam “patogenesis penyakit”.
Laporan serupa menyatakan bahwa
kondisi pasien begitu parah sehingga mereka
memerlukan perawatan rumah sakit. Mereka
mengalami gejala hiperpigmentasi,
hiperkeratosis, edema, ascites, wasting,
kelemahan, nyeri dan sensasi terbakar pada
jari tangan dan jari kaki. Saha, melaporkan
127 pasien dengan lesi kulit akibat arsen dari
25 keluarga (total anggota 139) dari 5
kampung di 3 distrik di Bengal Barat. Dari 127
anggota yang terkena semua mengalami
melanosis difus, 39% mengalami melanosis
berbintik, 37% dan 12,6% masing-masing
mengalami keratosis palmoplantar dan
keratosis dorsum. Ini merupakan laporan
pertama tentang lesi-lesi kulit dari pasien
arsen di Bengal Barat (Saha, 1999),
Sebuah studi melaporkan bahwa dari
800.000 orang meminum air terkonta-minasi
arsen dari distrik di Bengal Barat sekitar
175.000 orang mungkin menderita lesi kulit
akibat arsen. Rasio rata-rata arsenit/arsenat
dalam sampel air adalah 1:1 (Mazunder, 2008).
Mandal melaporkan bahwa 20.000 sampel
air dari daerah tercemar arsen di Bengal
Barat, sekitar 45% sampel memiliki
konsentrasi arsen di atas 50 µg/L.
Konsentrasi rata-rata arsen dalam air yang
tercemar adalah 200 µg/L. Banyak orang
yang mengalami lesi kulit seperti melanosis
difus, melanosis berbintik, leukomelanosis,
keratosis, hiperkeratosis, dorsum, edema
non-pitting, gangren, kanker kulit.
Disamping itu, ada beberapa yang
mengalami kanker kanker kandung kemih
dan kanker paru-paru dan lainnya
Chakraborty, 2003).
Para konsultan WHO mekomendasi
agar (1) menilai besarnya kontaminasi di
seluruh negara; (2) mengembangkan
sebuah sistem pencatatan induk tentang
data kualitas air; (3) membuat sebuah
infrastruktur laboratorium analitik; (4)
menggantikan sumber-sumber
terkontaminasi dengan sumber aman dan
mendorong sumber air permukaan; (5)
membuat sebuah program untuk
memastikan besarnya masalah kesehatan;
(6) mengembangkan program medis lokal
dan regional untuk membantu dalam
diagnosis, screening dan pengobatan
sugestif; (7) mempromosikan pendidikan
publik dan pendidikan profesional tentang
masalah kesehatan yang terkait arsen; dan
(8) mempromosikan penelitian
epidemiologi, (9) melakukan analisis
kesehatan lingkungan (WHO,1996,
Chakraborty, 2003).
Di desa Buyat telah dilaporkan
bahwa konsentrasi arsen di dalam air
sumur cukup tinggi (Edinger, 2006, KLH,
2004), konsentrasi arsen pada air sumur di
163
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Buyat sekitar 40-100 µg/l.(BTKL Manado,
2005, Daud dan Azis, 2007).
Buyat dijadikan sasaran studi ini
karena desa Buyat merupakan salah satu
daerah terminalisasi arsen di gugusan
pegunungan Sulawesi Utara. Buyat
dinyatakan salah satu daerah yang terkena
imbas dari pencemaran akibat eksplorasi
tambang emas di desa Ratatotok.
Kasus Buyat mencuat pada awal tahun
2004 setelah banyak penyakit aneh yang
diderita masyarakat pesisir (Buyat Pante)
dimana tempat atau ujung pipa tailing dari
Newmont yang diduga berdampak pada biota
laut yang dikonsumsi oleh masyarakat
setempat. Tiga tahun kemudian masyarakat
diisolasi dari tempat tersebut dan PT. NMR
ditutup sampai saat ini. Walaupun ini sudah
ditutup tapi masih menyisakan masalah
karena kubangan yang ditinggalkan masih
tetap terbuka dan pada saat musim hujan akan
berisi air, kemudian air ini akan menyebar
keberbagai daerah sekitarnya termasuk Buyat
dimana sungai yang hulunya ada di sekitar
bekas tambang tersebut.
Bahan dan Metode
Sebanyak 54 orang yang mengalami
lesi kulit (keratosis atau hyperkeratosis) yang
diperiksa air sumurnya. Sebyak 25 sumur
yang digunakan oleh responden dan semua
dimabil airnya untuk pemeriksaan kandungan
arsen. Pengambilan Sampel air sumur pada
kedalaman 20 cm di bawah permukaan air
untuk sumur gali dan pada sumur bor diambil
melalui kran air dan dimasukkan kedalam
botol plastik bervolume 1000-1500cc. Semua
sampel disimpan dalam ice box. Empat
mikroliter dari asam hidroklorat murni 1%
ditambahkan ke masing-masing botol air.
Pemeriksaan kadar arsen air minum
dengan menggunakan alat Atomic
Absoption Spectrophotometric Hydride
Vapour) (AAS-HV, 640-12) di Labotorium
BTKL-Manado sedangkan Pemeriksaan
kelainan kulit di lakukan oleh tim ahli
penyakit kulit dari Jepang dan Universitas
Hasanuddin Makassar.
Prosedur pemeriksaan sampel air,
pertama diencerkan hingga 30 sampai 60
µg/L dalam sebuah matriks HNO3 2% dan
50-ppm nikel. Penambahan nikel
ditemukan meningkatkan kesensitifan,
mengekspansi rentang linear, dan
meningkatkan reprodusibilitas. Sebanyak
10 sampai 20 µL sampel dikeringkan dalam
tabung grafis, diabukan pada suhu 600oC
selama 20 detik, dan diatomisasi pada suhu
2.400o C. Sebuah lampu electrode-less
discharge dan sebuah konstanta waktu
(filter) 0,5 detik akan digunakan. Dengan
injeksi 20-µL, kesensitifan adalah sekitar
0,0023 unit absorbansi per mikrogram per
liter (0,0000023 mg/L). Respons cukup
linear terhadap sekurang-kurangnya 0,2300
unit absorben (sekitar 90 µg/L). Standar
deviasi relatif dari injeksi pengulangan
pada umumnya kurang dari 5%. Nilai
blanko memiliki rata-rata sekitar 0,0025 unit
absorbansi. Kebanyakan atau semua sinyal
blanko disebabkan oleh gangguan
elektronik pada lampu dan bagian lain dan
tidak disebabkan oleh jumlah sampel arsen
dalam larutan. Batas deteksi (3 x SD blanko)
adalah sekitar 0,0030 µg/L atau 0,000003
mg/L.
Hasil dan Bahasan
Hasil analisis paparan atau exposure
assessment, yang dilakukan untuk
164
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
mengenali jalur-jalur paparan (pathways) risk
agent agar jumlah asupan yang diterima
individu dalam populasi berisiko bisa
dihitung. Tabel 1 memberikan estimasi bahwa
seseorang dengan berat badan 35 kg yang ada
diantara populasi di daerah Buyat
mengkonsumsi air minum dengan konsentrasi
maksimum masing-masing variabel
memberikan informasi bahwa asupan
nonkarsionogenik arsen air minum 0,0038
mg/l) atau Hazard Index/Indeks Bahaya (HI)
adalah 12,67 mg/kg per hari, sedangkan untuk
berat badan 70 kg yang diangga paling rendah
risikonya didapatkan nilai HI =6,33 mg/kg per
hari. Untuk asupan konsentrasi arsen rata-rata
dengan berat badan 35 kg didapatkan nilai
HI = 5,0 mg/kg per hari, sedangkan yang berat
badannya 70 kg didaptkan HI=2,43 mg/kg per
hari. Artinya penduduk yang tinggal di desa
Buyat dengan berat badan antara 35-70 kg
yang mengkonsumsi air minum, baik pada
level konsentrasi maksimum maupun rata-rata
sangat berbahaya atau mempunyai probalitas
terhadap terjadinya penyakit sistemik
nonkanker seperti kelainan kulit
nonmelanoma karena nilai HI diatas angka 1.
Seperti yang dijelaskan oleh DermNet NZ,
asupan arsen yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya anemia haemolytic, leukopaenia (sel
darah putih menurun) dan Proteinuria
(protein di dalam urin), (DermNet NZ, 2007).
Penelitian lainnya menjelaskan bahwa
penyakit paru-paru kronis seperti bronchitis,
penyakit paru-paru obstruktif kronis dan
bronchiectasis, penyakit hati seperti non-
cirrhotic portal fibrosis, dan penyakit lainnya
seperti polyneuropathy, Penyakit peripheral
vascular, hipertensi dan penyakit jantung
iskemia, diabetes mellitus, bukan-pitting
oedema pada kaki/tangan, weakness dan
anemia (Mazumder, et al, 2008).
Hasil analisis memberikan estimasi
bahwa seseorang dengan berat badan 35 kg
yang tinggal di daerah Buyat
mengkonsumsi air minum dengan
konsentrasi maksimum masing-masing
variabel memberikan informasi bahwa
asupan karsionogenik (Ik) arsen dalam air
minum atau Hazard Index/Indeks Bahaya
(HI) adalah 5,33 mg/kg per hari, untuk
berat badan 70 kg yang diangga paling
rendah risikonya terhadap kejadian kanker
didapatkan nilai HI = 2,7 mg/kg per hari.
Untuk asupan konsentrasi arsen rata-rata
dengan berat badan 35 kg didapatkan nilai
HI = 2,1 mg/kg berat badan, sedangkan
yang berat badannya 70 kg didaptkan HI=
1.03 mg/kg berat badan. Artinya penduduk
yang tinggal di desa Buyat dengan berat
badan antara 35-70 kg yang mengkonsumsi
air minum, baik pada level konsentrasi
maksimum maupun rata-rata sangat
berbahaya atau mempunyai probalitas
terhadap terjadinya penyakit kanker seperti
Kanker kulit, paru-paru, kanker hati dan
kandung kemih mempunyai hubungan
kuat dengan kandungan arsen yang
dimakan atau diminum setiap hari
(Mazumder, et al, 2008).
Hasil analisis Risk Quotient (RQ)
memberikan informasi estimasi bahwa
apabila air minum dikonsumsi selama 350
hari per tahun dalam jangka waktu 20
tahun, maka tingkat risiko (Risk Quotient)
dengan berat badan 35-70 kg dinayatakan
tidak aman karena nilai RQ diatas angka 1,
dimana batas tingkat risiko ditetapkan,
(WHO, 2004). Untuk konsnetrasi rata-rata
dengan berat badan 35-70 kg RQ juga
165
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
dinyatakan tidak aman, sehingga konsumsi air
minum di daerah Buyat dengan konsentrasi
rata-rata sangat potensil meningkatkan risiko
terjadinya penyakit-penyakit sistemik.
Hasil analisis Excess Cancer Riks (ECR)
memberikan informasi estimasi bahwa
mengkonsumsi air minum mengandung arsen
pada konsentrasi maksimum dan rata-rata
semuanya telah memberikan akses terjadinya
kanker baik kanker kulit, paru-paru, kandung
kemih, gastrointestinal dan leukima, (NRC,
1999, ATSDR, 2005, 2007, WHO, 2004, EPA,
2000).
Hasil analisis durasi paparan atau
Duration time (Dt) memberikan informasi
estimasi bahwa mengkonsumsi air minum
dengan konsentrasi maksimum untuk air
minum 0,104 mg/kg. efek toksik arsen
diprakirakan akan ditemukan pada tahun ke
1,58 pada orang yang mengkonsumsi air
dengan berat badan 35 kg, untuk berat badan
70 kg baru ditemukan setelah terpapar selama
3,16 tahun. Sedangkan untuk konsentrasi rata-
rata dengan berat badan badan 35 kg baru
ditemukan efek toksik pada tahun ke 4,11
tahun. Untuk berat badan 70 kg dengan
konsumsi rata-rata arsen dalam air minum
8,21 tahun.
Kalau diperhatikan laju durasi paparan
dari variabel tersebut diatas, maka orang yang
mengkonsumsi air mempunyai waktu pendek
untuk menyebabkan toksisitas pada seseorang
baik yang mempunyai berat badan ringan
maupun yang berat. Jadi informasi yang
didaptkan dari hasil penelitian ini adalah
mengkonsumsi air yang bersumber dari air
sumur di dearah Buyat sangat potensial
memberikan efek toksik apabila air tersebut
dijadikan air minum.
Untuk membatasi toksisitas yang
ditimbulkan oleh arsen, maka hasil analisis
seperti yang diperlihatkan pada tabel 1
untuk konsentrasi arsen dalam air minum
yang dikonsumsi oleh seserang dengan
berat badan 35 kg maksimum konsentrasi
yang diperbolehkan untuk air minum
0,0082 mg/L per hari, ini jauh dibawah baku
mutu yang disyaratakan (0,01 mg/l)
sedangkan untuk orang dengan berat badan
70 kg batas maksimum yang diperbolehakn
untuk konsumsi air minum 0,016 mg/L per
hari.
Hasil analisis laju konsumsi (R),
informasi estimasi bahwa mengkonsumsi
ikan, beras dan air minum dengan
konsentrasi maksimum dan rata-rata dari
air minum menurut kelompok berat badan
penduduk dengan pola pajanan 350
hari/tahun dan Durasi waktu 1 tahun, 5
tahun dan 10 tahun, untuk berat badan 35
kg hanya diperbolehkan menkonsumsi air
minum sebanyak 53 ml per hari dalam satu
tahun terakhir, 263 ml per hari untuk 5
tahun ke depan dan 526 ml per hari untuk
10 tahun ke depan pada konsentrasi
maksimum (0,1040 mg/l), sedangkan pada
konsentrasi rata-rata (0,04 mg/l) untuk 1
tahun terakhir dengan berat badan 35 kg
hanya diperbolehkan minum air sebanyak
137 ml/ per hari, untuk 5 tahun kedepan 684
ml per hari dan untuk 10 tahun ke depan
1,37 lietr per hari. Kemudian, bila seseorang
dengan berat badan 70 kg hanya
diperbolehkan mengkonsumsi air minum
sebanyak 254 ml per hari pada satu tahun
terakhir ,untuk 5 tahun ke depan 1.271 ml
per hari dan 10 tahun kedepan 2.737 ml per
hari, Air yang dipilihan dalam bahasan ini
karena air merupakan kebutuhan esensial
166
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
yang harus dimenege dengan baik. Pemilihan
manajemen risiko merupakan suatu langkah
untuk mengamankan efek-efek
nonkarsinogenik arsen. Hasilnya bisa berbeda
bila yang diamankan adalah efek-efek
karsinogeniknya. Laju konsumsi aman air
minum menurut Tabel 2 sangat sedikit
sehingga perlu pasokan air minum rendah
arsen. Berapa konsentrasi arsen yang aman
dari efek nonkarsinogenik bila laju konsumsi 2
L/hari selama 350 hari/tahun yang
berlangsung dalam 1-10 tahun untuk populasi
residensial dengan berat badan 35 kg? untuk
ke depan, menjawab pertanyaan ini harus
digunakan RfD yang menyatakan dosis harian
yang aman. Karena RfD berarti dosis aman
seluruh jalur pajanan, langkah pertama adalah
meng-ubah RfD menjadi tingkat kesetaraan air
minum atau drinking water equivalen level
(DWEL) menggunakan berat badan dan laju
konsumsi air minum.
Jika digunakan berat badan 35 kg dan
frekuensi pajanan 350 hari/tahun maka,
RfD mg/kg/hari x 35 kg
DWEL = --------------------------------------
2 liter/hari
0,0003 mg/kg/hari x 35 kg
= -------------------------------------
2 liter/hari = 0.005 mg/L
Air minum bukanlah satu-satunya
sumber asupan Arsen. Sumber kontribusi
relatif (relative contribution source, RCS) air
minum untuk asupan mineral dari diet
berkisar 20 – 80% dari total asupan. Jika tidak
ada data yang pasti, untuk keamanan biasanya
dipakai RCS 80% untuk As dari air minum
(EPA 1990a). Perkalian DWEL dengan RCS
menghasilkan apa yang disebut MCLG
(maximum contaminant level goal): Batas
tingkat kontaminasi makanan yang
diperbolehkan.
MCLG = 0,8×0,00525 mg/L = 0,0042 mg/L
= 0,004 mg/L
MCLG adalah batas aman menurut
kesehatan yang dianjurkan (disarankan)
menjadi baku mutu bagi populasi yang
berat badannya 35 kg, konsumsi air minum
2 L/hari selama 350 hari/tahun untuk jangka
waktu paparan sedikitnya 30 tahun.
Regulasi MCLG yang bersifat non enforceable
(tidak wajib) menjadi baku mutu yang
wajib ditaati memerlukan banyak
pertimbangan seperti kemampuan
teknologi purifikasi air baku, instrumentasi
analisis arsen dalam air hasil purifikasi,
biaya purifikasi dan berapa banyak (%)
populasi yang akan terlindungi oleh baku
mutu tersebut.
Berapa batas aman arsen dalam air
minum bagi populasi yang posturnya lebih
besar (misal, berat badan 70 kg seperti
default Amerika)? Dengan pola paparan
yang sama (konsumsi 2 L/hari, 350
hari/tahun, 30 tahun) MCLG-nya ≈ 0,008
mg/L, sekitar 17% lebih tinggi dari batas
aman orang Indonesia menurut nilai default
, Nukman et al, 2005, dalam Rahman, 2007.
Jika demikian, apakah baku mutu arsen 0,01
mg/L menurut Kepmenkes 907/2002 cukup
aman bagi orang Indonesia? Perhatikan
perhitungan pada tabel 5.29 ternyata hasil
perhitungannya melebihi satu sehingga
dinyatakan sangat tidak aman untuk orang
Indonesia khusuanya masyarakat yang
tinggal di Daerah Buyat.
167
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Kesimpulan
Acceptable Daily Intake (ADI) untuk
nonkarsinogen didapatkan nilai rata-rata dari
arsen dalam air minum sebesar 0,0038-0,0019
mg/kg per hari untuk orang dengan berat
badan 35-70 kg pada konsentrasi maksimum,
sedangkan untuk konsentrasi rata-rata
didapatkan 0.0015-0.00034 mg/kg per hari.
ADI untuk karsinogen nilai rata-rata dari
arsen dalam air minum sebesar 0.016- 0,0009
mg/kg per hari untuk orang dengan berat
badan 35-70 kg pada konsentrasi maksimum.
Tingkat risiko (Risk Quotient ; RQ) untuk efek-
efek nonkarsinogen pada konsentrasi
maksimum dari variabel arsen dalam air
minum berisiko untuk dikonsumsi. ECR
semuanya telah memberikan akses atau
peluan terjadinya kanker.Konsumsi air
minum, dengan berat 35 kg didapatkan nilai
Hazard Index (HI) sebesar 5,33 mg/kg per hari,
pada berat badan 70 kg HI sebesar 2,7 mg/kg
per hari untuk konsentrasi maksimum, untuk
konsentrasi rata-rata berat badan 35 HI
sebesar 2,1 mg/kg per hari dan untuk berat
badan 70 kg HI sebesar 1,03 mg/kg perhari
pada. Durasi paparan untuk efek toksik sudah
ditemukan pada konsumsi air minum 1,58
tahun pada konsentrasi maksimum,
sedangkan pada konsentrasi rata-rata untuk
air minum 3,16 tahun. Batas konsentrasi
maksimum (Cmax) yang diperkenankan
dalam air yang dikonsumsi pada berat badan
35 kg sebesar 0,0082 mg/L per hari, sedangkan
untuk berat badan 70 kg diperbolehkan
minum air 0,016 mg/L per hari. Laju Konsumsi
(R) yang diperbolehkan untuk air minum pada
konsentrasi maksimum sekitar 53 dan 105
ml/hari untuk berat badan 35 dan 70 kg, untuk
konsentrasi rata-rata berat badan 35 dan 70 kg
diperbolehkan 1.369 dan 2,737 ml/hari
pada penduduk di Daerah Buyat.
Daftar Pustaka
ATSDR, 2005. Draft Toxicological Profile for
Arsenic U.S. Department Of Health
And Human Services Public
Health Service, Division of Toxi-
cology/Toxicology Information
Branch 1600 Clifton Road NE, E-29
Atlanta, Georgia 30333.
ATSDR, 2007. Toxicological Profile for Arsenic
U.S. Department Of Health And
Human Services Public Health
Service, Division of Toxicology/
Toxicology Information Branch
1600 Clifton Road NE, E-29
Atlanta, Georgia 30333.
Chakraborty, Dipankar, 2003. Groundwater
Arsenic exposure in India, Proseding
Arsenic.
Daud, A. & A. Azis Hunta, 2005. Identifikasi
Logam Berat Arsen Dalam Air Sumur
Penduduk di Desa Buyat, Kabupaten
Bolaang Mangondow. BTKL-Manado.
Daud, dkk. 2007. Analisis pola konsumsi ikan
dan air minum terhadap kelainan kulit
pada penduduk di Desa Buyat.
DermNet NZ, 2007. Arsenic poisoning. New
Zealand Dermatological Society
Incorporated,p.1-3 Dionex, 2008,
Rapid Extraction and Determination
of Arsenicals in Fish Tissue and
Plant Material Using Accelerated
Solvent Extraction, Application 335;
p.1-5
EPA, 2000. Arsenic Occurrence In Public
Drinking Water Supplies, United
States Environmental Protection
Agency.
168
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Mazumder, D.N. Guha, 2008. Chronic arsenic
Toxicity & human health. Indian J Med
Res 128; p 436-447.
NRC (National Research Council), 2004.
Arsenic in Drinking Water, National
Academy Press, Washington, DC).
Rahman, Mahfuzar, et all, 2006. Arsenic
Exposure and Age- and Sex-Specific Risk
for Skin Lesions: A Population-Base Case
referent Study in Bangladesh,
Environmental Health Perspectives;
114: 1847-1852.
Rahman, Shaikh Mizanur, 1999. Arsenic In
Bangladesh Ground Water: The World's
Greatest Arsenic Calamity, Organized
And Sponsored By Bangladesh
Chemical And Biological Society
(Bcbsna) - Intronics. Technology
Center, Dhaka, Bangladesh,
Wagner College, New York, Usa.
Saha, J. C., A. K. Dikshit, M. 1999. Bandy-
opadhyay, A Review of Arsenic
Poisoning and its Effects on Human
Health, Critical Reviews in
Environmental Science and
Technology, 29(3): 281–313.
WHO, 2004. Risk Assessment Terminology,
This Project Was Conducted
Within The Ipcs Project On The
Harmonization Of Approaches To
The Assessment Of Risk From
Exposure To Chemicals.
Lampiran :
Tabel 1 Konsentrasi maksimum dan rata-rata asupan arsen dalam air minum
dengan berat badan di desa Buyat Sulawesi Utara, 2008
Berat
Badan
(kg)
Konsentrasi maksimum Konsentrasi Rata-rata
Ink
air
minum
(mg/L)
Ik
air
minum
(mg/L)
(RQ)
air
minum
(tahun)
(ECR)
air
minum
(mg/L)
(Dt)
(tahun)
air
minum
Ink
air
minum
(mg/L)
Ik
air
minum
(mg/L)
(RQ)
air
minum
(tahun)
(ECR)
air
minum
(mg/L)
(Dt)
(tahun)
air
minum
Cmax
Air
minum
(mg/L)
35 0.00380 0.00163 12.66362 0.00244 1.57933 0.00146 0.00063 4.87062 0.00094 4.10625 0.008213
40 0.00332 0.00143 11.08067 0.00214 1.80495 0.00128 0.00055 4.26180 0.00082 4.69286 0.009386
45 0.00296 0.00127 9.84948 0.00190 2.03056 0.00114 0.00049 3.78826 0.00073 5.27946 0.010559
50 0.00266 0.00114 8.86454 0.00171 2.25618 0.00102 0.00044 3.40944 0.00066 5.86607 0.011732
55 0.00242 0.00104 8.05867 0.00155 2.48180 0.00093 0.00040 3.09949 0.00060 6.45268 0.012905
60 0.00222 0.00095 7.38711 0.00143 2.70742 0.00085 0.00037 2.84120 0.00055 7.03929 0.014079
65 0.00205 0.00088 6.81887 0.00132 2.93304 0.00079 0.00034 2.62264 0.00051 7.62589 0.015252
70 0.00190 0.00081 6.33181 0.00122 3.15865 0.00073 0.00031 2.43531 0.00047 8.21250 0.016425
Sumber : Data primer
169
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Tabel 2 Konsentrasi maksimum dan rata-rata asupan arsen berdasarkan Laju Konsumsi (R)
dalam air minum dengan berat badan di desa Buyat Sulawesi Utara, 2008
Berat
Badan
(kg)
Konsentrasi maksimum Konsentrasi rata-rata
(R)
(tahun 1)
Air
minum
(R)
(tahun 5)
Air
minum
(R)
(tahun10)
Air
minum
(R)
(tahun1)
Air
minum
(R)
(tahun5)
Air
minum
(R)
(tahun10)
Air
minum
35 0.05264 0.26322 0.52644 0.13688 0.68438 1.36875
40 0.06016 0.30082 0.60165 0.15643 0.78214 1.56429
45 0.06769 0.33843 0.67685 0.17598 0.87991 1.75982
50 0.07521 0.37603 0.75206 0.19554 0.97768 1.95536
55 0.08273 0.41363 0.82727 0.21509 1.07545 2.15089
60 0.09025 0.45124 0.90247 0.23464 1.17321 2.34643
65 0.09777 0.48884 0.97768 0.25420 1.27098 2.54196
70 0.10529 0.52644 1.05288 0.27375 1.36875 2.73750
Sumber :Data Primer
170
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemanfaatan Pelayanan Antenatal Care di Puskesmas
Tamangapa Tahun 2007
Wardiah Hamzah
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia
Abstrak
Tingginya angka kematian ibu tersebut disebabkan karena perdarahan,
keracunan dan infeksi serta pelayanan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan
persalinan oleh tenaga profesional belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat,
sehingga menyebabkan masih banyak ibu tidak memeriksakan kehamilannya dan
banyak ibu tidak menerima pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar program
kesehatan ibu dan anak. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan antenatal care di
Puskesmas Tamangapa. Jenis Penelitian adalah Survey Analitik dengan rancangan
Cross Sectional Study yang dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Tamangapa
Kelurahan Bangkala. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak
berusia 0-12 bulan sebanyak 270 ibu dengan mengambilan sampel secara proporsional
random sampling sehingga diperoleh sampel sebanyak 160 orang.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ibu yang berpengetahuan cukup sebanyak 63,1%, ibu yang
mengatakan jarak puskesmas dari rumah responden mudah dijangkau sebanyak
81,9% orang, ibu yang memiliki status pekerjaan bekerja sebanyak 19,4% orang dan
ibu yang mengatakan sikap petugas baik sebanyak 91,3% ibu.Kesimpulan dari
penelitian ini yang diperoleh, ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan,
jarak puskesmas dan status pekerjaan dengan pemanfaatan antenatal care. Untuk
variabel sikap petugas tidak hubungan yang signifikan dengan pelayanan antenatal
care. Sehingga disarankan petugas meningkatkan penyuluhan antenatal care,
puskesmas keliling dimanfaatkan, petugas kesehatan bersikap ramah pada pasien.
.
Kata Kunci : Pemanfaatan Antenatal Care
ARTIKEL ASLI
Pelayanan ANC, PKM Tamangapa
171
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Derajat kesehatan keluarga sangat di
tentukan oleh derajat kesehatan ibu dan anak,
yang merupakan kelompok penduduk yang
rawan terhadap gangguan kesehatan. Ibu
merupakan pendidik pertama dalam keluarga,
yang memegang peranan dalam kesejahteraan
keluarga. Angka kematian ibu (AKI) masih
tinggi. berdasarkan survey demografi dan
kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 AKI di
Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran
hidup. menurut survey kesehatan rumah
tangga (SKRT) tahun 1995 AKI sebanyak
373 per 1000.000 kelahiran hidup.
Sedangkan AKI tahun 2002 berdasarkan
SDKI diketahui sebesar 307 per 100.000
kelahiran hidup.
Tingginya angka kematian ibu
tersebut disebabkan karena perdarahan,
keracunan dan infeksi serta pelayanan
pemeriksaan kehamilan dan pertolongan
The Factors Which Related With Utilazion of Antenatal Care
Service at Puskesmas Tamangapa 2007 Wardiah Hamzah
Abstract
The increasing number of mothers mortality are caused by bleeding, infection and
poisoned as well as checkup service of pregnancy and childbirth by the professional
staff has not been fully utilized by the community, it is causing many mothers do not
act pregnancy checkup, and many mothers do not receive the checkup which
accordance with the standard pregnancy of mother and child health program. This
study was conducted in order to find out factors that related with utilization of
antenatal care at the clinic Tamangapa. This research used Analytics survey by using
designing Cross Sectional Study which was conducted in the working area of clinic
Tamangapa Kelurahan Bangkala. The research populations are mothers who have
child around 0-12 years old. The number of samples are 270 by using proportional
random sampling technique. Finally there were 160 samples were collected. This
research shows that there were 63,1% educated mothers, 81,9% mothers who said that
clinic was easer to reach, mothers who have job were 19,4%, and mothers who regard
that service of staff of was good were 91,3% . The conclusions of this research was
there is significant relation between education, distance of clinic and job status with
utilizing of antenatal care. Therefore, socialization of antennal care is recommended to
improve and mobile health clinic is improved. Staffs of clinic are friendlier.
Key word: Utilazion of Antenatal Care
172
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
persalinan oleh tenaga profesional belum
sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat,
sehingga menyebabkan masih banyak ibu
tidak memeriksakan kehamilannya dan
banyak ibu tidak menerima pemeriksaan
kehamilan sesuai dengan standar program
kesehatan ibu dan anak. Faktor lain yang
dapat menambah resiko kematian adalah
umur ibu yang terlalu muda atau terlalu tua
untuk melahirkan, jumlah paritas yang tinggi,
jarak antara kehamilan yang pendek, dan
kurang lebih 65% ibu hamil menderita anemia
kurang gizi.
Tahun 1996 WHO memperkirakan
lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal
saat hamil atau bersalin. Di Asia Selatan
wanita yang berkemungkinan 1:18 meninggal
akibat kehamilan atau persalinan selama
kehidupannya. Di banyak Negara Afrika 1:14
sedangkan di Amerika Utara hanya 1: 6,366.
lebih dari 50% kematian di negara
berkembang sebenarnya dapat di cegah
tekhnologi yang ada serta biaya relatif murah
(Saifuddin dkk, 2002).
Menurut kajian Sudarto Ronoatmodjo
tahun 1996 pada masyarakat di Kecematan
Keruak, Lombok Timur mengemukakan
bahwa kematian neonatal pada bayi dari ibu
hamil yang tidak memanfaatkan layanan
antenatal berjumlah dua kali lipat dari pada
jumlah bayi dari ibu yang memanfaatkan
layanan antenatal (Swasono,1998).
Cakupan pelayanan antenatal dapat di
tinjau melalui pelayanan kunjungan baru ibu
hamil untuk tahun 2002, cakupan rata-rata
pelayanan K1 di Sul-Sel mencapai 87,49% dan
K4 sebesar 61,47%, pada tahun yang sama
pula (2002) di Kota Makassar cakupan (K1) ibu
hamil sebesar 25.248 orang (97,34%) dan (K4)
sebesar 17.362 orang (63,76%). sedangkan pada
tahun 2003 cakupan (K1) ibu hamil sebesar
27.665 orang (74,16%) dan cakupan (K4) ibu
hamil sebesar 21.042 orang (74,16%).terjadi
peningkatan untuk (K1) sebesar 2.417 orang
(8,74%) dan untuk (K4) sebesar 3.680 orang
(17,49%). (Dinkes 2003:30,31)
Ibu hamil yang memanfaatkan
pemeriksaan antenatal care di Puskesmas
Tamangapa sebanyak 329 bumil dari 705
bumil pada tahun 2005 meningkat menjadi
341 bumil dari 736 bumil di tahun 2006
sedangkan pada tahun 2007 menjadi 379
bumil dari 612 bumil yang ada.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian kuantitatif dengan
pendekatan Cross Sectional yang bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan pemanfaatan
antenatal care di Puskesmas Tamangapa.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Tamangapa yaitu Kelurahan
Bangkala. Populasi dalam penelitian ini
adalah ibu yang memiliki anak berusia 0-12
bulan di Kelurahan Bangkala yang
berjumlah 270 ibu. Pengambilan sampel
pada penelitian ini dengan cara
proporsional random sampling dengan
besar sampel sebanyak 160 ibu . Dengan
menggunakan rumus : (Notoatmodjo, S.,
2002)
N.Z².p.q
n = --------------------------------
d² (N – 1) + Z². p.q
Untuk mengukur variabel
independen dan variabel dependent
digunakan kuesioner dengan wawancara
langsung terhadap ibu yang mempunyai
173
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
balita, kemudian hasilnya dianalisis dengan
menggunakan analisis univariat, bivariat dan
multivariat. Hubungan variabel independent
dan dependent dilakukan dengan metode
analisis multivariat untuk melihat keeratan
dan besar hubungan antara variabel dependen
dan independen utama setelah dikontrol oleh
variabel independen lainnya dengan
menggunakan analisisi regresi logistik.
Hasil
Analisis Univariat
Dari 160 ibu yang menjadi responden
terdapat Ibu yang berumur ≤20 tahun
merupakan paling sedikit sebanyak 5,6%.
Sedangkan ibu yang berumur 26-30 tahun
paling banyak sebesar 33,1%. ibu yang
beragama Islam sebanyak 96,9% an yang
beragama Kristen 3,1%. ibu yang mempunyai
pendidikan SD merupakan persentase
tertinggi sebanyak 45,6% orang kemudian
diikuti dengan pendidikan SMP dan SMA,
masing-masing sebanyak 22,5%, sedangkan
persentase terendah pada ibu yang
berpendidikan hingga Diploma sebanyak
4,4%. Tabel 1. Distribusi karakteristik responden
Variabel Kategori %
Umur < 20 tahun
20-24 tahun
25-29 tahun
30-34 tahun
≥35 tahun
5,6
18,1
33,1
23,8
19,4
Agama Islam
Kristen
96,9
3,1
Pendidikan SD
SMP
SMU
Diploma
S1
45,6
22,5
22,5
4,4
5,0
Dari 160 responden yang
memanfaatkan pelayanan antenatal di
Puskesmas Tamngapa sebanyak51,9%, ibu
yang berpengetahuan cukup sebanyak
63,1% orang. Ibu yang mengatakan jarak
puskesmas dari rumah responden mudah
dijangkau sebanyak 81,9%. Responden yang
memiliki status pekerjaan bekerja sebanyak
19,4%. Sikap petugas baik sebanyak 91,3%
ibu. Tabel 2. Distribusi variable dependent
dan independent
Variabel Kategori %
Pemanfaatan
ANC
Memanfaatkan
Tidak
memanfaatkan
51,9
48,1
Pengetahuan
Ibu
Cukup
Kurang
63,1
36,9
Jarak
Puskesmas
Mudah dijangkau
Tidak mudah
dijangkau
81,9
18,1
Status
Pekerjaan
Bekerja
Tidak Bekerja
19,4
80,5
Sikap Petugas Baik
Buruk
91,3
8,7
Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk
melihat hubungan antara variabel
dependen berupa pemanfaatan pelayanan
antenatal dengan variabel independent
antara lain pengetahuan ibu, jarak
puskesmas, status pekerjaan ibu dan sikap
petugas. Dari hasil analisis bivariat dengan
menggunakan uji chi-square diperoleh p
value = 0,008, secara statistik dapat
diinterpretasikan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan ibu dengan
pemanfaatan antenatal.
174
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Untuk variable jarak puskesmas
diperoleh nilai p value = 0,000, secara statistik
dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan
antara jarak puskesmas dengan pemanfaatan
antenatal. Sedangkan variabel sikap petugas
diperoleh p value = 0,002, sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa ada hubungan antara
status pekerjaan dengan pemanfaatan
antenatal. Untuk variabel sikap petugas tidak
diperoleh hubungan antara sikap petugas
denagn pemanfaatan antenatal care sebab nilai
p value = 0,669, karena nilai p>0,05, dimana
derajat kemaknaan α = 0,05, maka HO
diterima. Tabel 3. Analisis bivariat Variabel Indepen-
dent dengan Pemanfaatan ANC
Analisis Multivariat
Dengan menggunakan uji regresi
logistic dilakukan analisis hubungan variable
independent dengan pemanfaatan ANC secara
bersama-sama. Dari analisis multivariate
diperoleh hasil 3 variabel berhubungan secara
bermakna dengan pemanfaatan ANC yaitu
pengetahuan ibu (nilai p = 0.008, OR = 2.078),
jarak puskesmas (nilai p = 0.000, OR = 16.468)
dan status pekerjaan (nilai p = 0.002, OR =
0.408).
Tabel 4. Hasil uji Multivariat terhadap
pemanfaatan ANC
Variabel β Nilai
p
OR 95% CI
OR
Pengetahuan
Ibu
Jarak
Puskesmas
Status
pekerjaan
Sikap
Petugas
0.731
2.801
-0.898
-0.051
0.008
0.000
0.002
0.669
2.078
16.468
0.408
0.950
0.996 –
4.337
3.654 –
74.221
0.152 –
1.092
0.257 –
3.514
Pembahasan
Pengetahuan Ibu
Tindakan seseorang biasanya
didasarkan pada apa yang telah
diketahuinya, terlebih apabila keterangan
tersebut bermanfaat baginya. Jika ibu
memiliki cukup pengetahuan, maka
diasumsikan ia akan memanfaatkan sarana
pelayanan antenatal yang tersedia untuk
keselamatan bagi dirinya maupun bayi
yang dikandungnya.
Hasil tabulasi silang menunjukkan
bahwa dari 101 ibu yang memiliki
pengetahuan yang cukup dan
memanfaatkan pelayanan antenatal
sebanyak 60,4% dibandingkan yang tidak
memanfaatkan sebanyak 39.6%. Sedangkan
dari 59 ibu yang berpengetahuan kurang
dan memanfaatkan antenatal sebanyak
37,3% dibandingkan yang tidak
memanfaatkan sebanyak 62,7%.
Jarak Puskesmas
Jangkauan pelayanan pustu untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat tidak
terlepas dari pengaruh jarak fisik tempat
tinggal masyarakat dengan pustu yang
Variabel Kategori p. Value
Pengetahuan
Ibu
Cukup
Kurang
0,008
Jarak
Puskesmas
Mudah
dijangkau
Tidak mudah
dijangkau
0,000
Status
Pekerjaan
Bekerja
Tidak Bekerja
0,002
Sikap Petugas Baik
Buruk
0,669
175
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
dihitung dalam ukuran radius kilometer, letak
pustu dipinggir jalan raya, ramai dilalui
kendaraan umum serta lancarnya transportasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan jarak
puskesmas yang mudah dijangkau sebanyak
131 (81,9%), sedangkan yang tidak mudah
dijangkau sebanyak 29 (18,1%). Hal ini
disebabkan oleh adanya warga lain yang
memanfaatkan pelayanan antenatal di luar
wilayah kerja Puskesmas Tamangapa tersebut.
Banyaknya responden yang jarak rumahnya
jauh dari puskesmas, diharapkan tetap
memanfaatkan puskesmas tersebut, karena
didukung oleh letak puskesmas yang berada
di jalan raya yang mudah dijangkau oleh
taransportasi umum.
Status Pekerjaan
Aktifitas sehari-hari terutama yang
bersifat mempertahankan kelangsungan hidup
kadang menyingkirkan kepentingan atau
masalah lain yang dianggap kurang mendesak
karena keterbatasan waktu, hal ini berkaitan
dengan ibu yang menghabiskan waktunya
untuk membantu perekonomian keluarga
sehingga hampir tidak mempunyai waktu
untuk memperhatikan kesehatan diri dan
kehamilannya.
Hasil tabulasi silang menunjukkan
bahwa dari 31 ibu yang memiliki pekerjaan
dan memanfaatkan pelayanan antenatal
sebanyak 25,8% dibandingkan yang tidak
memanfaatkan sebanyak 74,2%. Sedangkan
dari 129 ibu yang tidak memiliki pekerjaan
dan memanfaatkan antenatal sebanyak 58,1%
dibandingkan yang tidak memanfaatkan
sebanyak 41,9%. Hal ini disebabkan karena ibu
yang tidak bekerja dalam artian ibu rumah
tangga memiliki banyak waktu luang untuk
memeriksakan kehamilannya sesering
mungkin sesuai keinginannya. Namun ibu
yang bekerja diluar rumah disibukkan oleh
berbagai aktifitas kantor sehingga tidak
memiliki cukup waktu untuk
memeriksakan kehamilannya secara rutin,
waktu yang tersisa lebih banyak digunakan
untuk beristirahat setelah bekerja seharian
diluar rumah.
Sikap Petugas
Sikap merupakan reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulas atau objek. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulas
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulas sosial. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan
merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu
sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa umumnya responden sudah
mendapat pelayanan yang baik oleh
petugas kesehatan yaitu 146 (91,3%) orang
dan masih ada responden yang mendapat
pelayan yang buruk yaitu 19 (8,8%) orang.
Menurut Wirawan (1983) sikap adalah
kecenderungan atau kebiasaan seseorang
untuk bertingkah laku tertentu kalau ia
menghadapi suatu tantangan tertentu.
Sikap baik yang ditunjukkan petugas
diharapkan dapat meningkatkan
pemanfaatan pelayanan antenatal di
wilayah kerja Puskesmas Tamangapa.
Kesimpulan
Ada hubungan antara pengetahuan
ibu, jarak puskesmas dan status pekerjaan
176
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
dengan pemanfaatan antenatal di wilayah
kerja Puskesmas Tamangapa Kelurahan
Bangkala. Tidak ada hubungan antara sikap
petugas dengan pemanfaatan antenatal di
wilayah kerja Puskesmas Tamangapa
Kelurahan Bangkala.
Saran
Petugas kesehatan yang ada di
Puskesmas Tamangapa agar memberikan
penyuluhan tentang pentingnya perawatan
antenatal yang dapat meningkatkan
pengetahuan ibu. Puskesmas Tamangapa
menyediakan pelayanan antenatal di setiap
posyandu sehingga masyarakat dapat
memeriksakan kehamilan tanpa harus ke
puskesmas karena jarak puskesmas tidak
mudah untuk dijangkau. Mensosialisasikan
pentingnya pemanfaatan pelayanan antenatal
care dikalangan ibu yang bekerja, maupun
yang tidak bekerja untuk mengetahui kondisi
janin selama dalam kandungan. Petugas
puskesmas memberikan pelayanan yang
maksimal dan bersikap ramah pada ibu yang
memeriksakan kehamilan.
Daftar Pustaka
Aliwah, Waode. 2005. Asuhan Kebidanan Ibu
Hamil, Politeknik Kesehatan Depkes
Makassar.
Asmar, S. 2001. Studi Tentang Pemanfaatan
Pelayanan Antenatal di Puskesmas
Lasepang Kabupaten Bantaeng,
Skripsi, FKM Unhas, Makassar.
Depkes RI, 1984, Perawatan Ibu di Pusat
Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
__________, 2004. Profil Kesehatan Propinsi
Sulawesi Selatan, Makassar.
__________,2007. Profil Kesehatan Kota
Makassar, Makassar
Farrer, 2001, Perawatan Maternitas, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Hall, Roberd. 1983. Pedoman Medis Untuk
Wanita Hamil, Pioneer, Bandung.
Jordan, Sue, 2002. Farmakologi Kebidanan,
Buku Kedokteran
Krisnadi, R. 2004. Kelainan Lama
Kehamilan (Obstetri Patalogi), Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Kristiani, A. 2006. Pemanfaatan Pelayanan
Bidan di Desa Kab. Muara Jambi,
(http:www.gogle.com) diakses 25
Februari 2008.
Mohtar, 1998. Sinopsis Obstetri, EGC,
Jakarta
Mose, C. 2004. Gestosis Obstorik Patologi,
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Nasir, M. 2003. Metode Penelitian, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Saifuddin dkk. 2002. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
_________, 2005. Kematian Maternal (Ilmu
Kebidanan), Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.
Soekidjo, N. 2002, Pedoman Penelitian
Kesehatan, Penerbit PT.Rineka
Cipta, Jakarta
_________, 2007a, Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan, Penerbit PT.Rineka
Cipta, Jakarta
_________, 2007b, Promosi Kesehatan dan
Ilmu Perilaku, Penerbit PT.Rineka
Cipta, Jakarta
Soetjiningsih, 1996. Tumbuh Kembang
Anak, Buku Kedokteran Bagian
Kesehatan Anak, FK Udayana, Bali
177
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Stoppard, M. 2002. Panduan Mempersiapkan
Kehamilan dan Kelahiran, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Swosno, 1998. Kehamilan dan Kelahiran
Perawatan Ibu dan Bayi dalam konteks
Budaya, Penerbit UI, Jakarta.
Wiknjosatro, H. 2005. Diagnosis Kehamilan
(Ilmu Kebidanan), Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo,
Jakarta.
Wirakusuma, F. 2004. Kelainan Tempat
Kehamilan Obstetri Patologi, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
178
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Pendahuluan
Sifilis adalah suatu penyakit menular
seksual (PMS /STD [sexually transmitted
disease]) atau disebut juga veneral disease
(beberapa penyakit infeksi kelamin lain seperti
gonore, klamidia, herpes dan granuloma
inguinal) adalah salah satu bentuk penyakit
infeksi yang ditularkan melalui hubungan sex
atau dari seorang ibu kepada bayi yang
dikandungnya (www.thefreedictionary.com.
2008; www.thefreedictionary. com., 2008;
Ditjen PP&PL, 2005). Sifilis disebabkan oleh
Treponema pallidum yang dapat bersifat akut
dan kronis diawali dengan adanya lesi primer
kemudian terjadi erupsi sekunder pada kulit
dan selaput lendir dan akhirnya sampai pada
periode laten dengan lesi pada kulit, lesi pada
tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf
pusat dan sistem kardiovaskuler (http : //
id.wikipedia.org. 2008). Setiap orang rentan
terhadap penyakit sifilis, tetapi ± 30 % orang
yang terpapar akan terkena infeksi. Setelah
infeksi biasanya terbentuk antibodi terhadap
T. pallidium dan kadang kala terbentuk
antibodi heterologus terhadap treponema lain.
Antibodi ini tidak terbentuk apabila
pengobatan dilakukan pada stadium satu dan
dua. Adanya infeksi HIV menurunkan
kemampuan penderita melawan T. pallidum.
(Ditjen PP&PL, 2005).
Di Amerika Serikat dilaporkan lebih
dari 36,000 kasus sifilis pada tahun 2006
dengan 9.756 kasus merupakan sifilis
stadium primer dan sekunder. Insiden
tertinggi ditemukan pada wanita umur 20 –
24 tahun dan pria umur 35 – 39 tahun,
sedang kasus sifilis kongenital meningkat
dari 339 kasus pada tahun 2005 menjadi 349
kasus pada tahun 2006, sedang di Indonesia
ditemukan sekitar 0,61% penderita dengan
kasus terbanyak pada stadium laten ( http :
// id.wikipedia.org , 2008).
Kebanyakan orang yang terinfeksi
dengan sifilis tidak memperlihatkan gejala
selama beberapa tahun, yang akan
menimbulkan komplikasi yang berat bila
tidak diobati (http : // id.wikipedia.org,
2008).
Etiologi
Sifilis disebabkan oleh kuman
treponema palidum, merupakan basil gram
negatif yang mempunyai flagel, bentuknya
sangat kecil dan berpilin-pilin. Kuman atau
bakteri tersebut umumnya hidup di
mukosa (saluran) genetalia, rektum, dan
mulut yang hangat dan basah. Kuman ini
sangat sensitive terhadap cahaya,
perubahan cuaca dan perubahan
temperature sehingga penyakit ini sulit
Aspek Imunologis Penyakit Sifilis
Sri Julyani
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
TINJAUAN PUSTAKA
179
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
untuk menular kecuali adanya kontak
langsung dengan penderita. Sifilis ditularkan
melalui hubungan seksual, alat suntik atau
transfusi darah yang mengandung kuman
tersebut, maupun penularan melalui intra
uterin dalam bentuk sifilis kongenital tetapi
tidak dapat menular melalui benda mati
seperti misalnya bangku, tempat duduk toilet,
handuk, gelas, atau benda-benda lain yang
bekas digunakan/dipakai oleh pengindap
(www.thefreedictionary. com, 2008; Ditjen
PP&PL, 2005).
Respon imunologik dari orang yang
terpapar tergantung dari struktur bakteri.
Membran luar bakteri terdiri dari lapisan
fosfolipid dengan sedikit protein antigen.
Adapun klasifikasi bakteri penyebab
penyakit sifilis adalah sebagai berikut
(Natahusada EC & Djuanda A, 2005) :
Kingdom : Eubacteria
Filum : Spirochaetes
Kelas : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetales
Familia : Treponemataceae
Genus : Treponema
Spesies : Treponema pallidum
Gambar ; Treponema pallidum
(Sumber: Treponemapallidum,http://en.
wikipedia.org/wiki/image)
Patogenesis
Treponema pallidum tidak dapat
tumbuh dalam media kultur sehingga
pengetahuan tentang imunopatogenesis
penyakit sifilis hanya diperoleh dari
keadaan penderita (berdasarkan tanda dan
gejala yang tampak), model pada binatang
percobaan dan data in vitro dari ekstraksi
jaringan spirocaeta. Setelah mengeksposure
permukaan epitel, spirocaeta akan
berpenetrasi dan menyerang lapisan sel
endotel, yang merupakan tahap penting
dalam tingkat virulensi treponema
(meskipun mekanisme yang jelas sampai
saat ini belum diketahui).
Histopatologi dari chancre primer
tergantung pada banyaknya spirocaeta dan
infiltrasi seluler yang pada mulanya terdiri
dari T limfosit yang terjadi 6 hari
postinfeksi, kemudian makrofag pada hari
ke 10 dan sel plasma. Aktivasi makrofag
akan merangsang pelepasan sitokin dari T
limfosit yaitu interleukin 2 (IL 2) dan
interferon gamma (IFNγ).
Antibodi spesifik akan muncul
dalam serum pada awal infeksi yang akan
menghalangi spirocaeta merusak sel dan
Ig G dengan bantuan komplemen akan
dapat membunuh T. pallidum serta
meningkatkan kemampuan netrofil dan
makrofag memfagosit treponema tersebut.
Antibodi berperanan dalam menghancur-
kan protein membran luar yang tipis dari
treponema pallidum (TROMPs). Secara
umum tingkat kekebalan yang timbul
karena infeksi oleh T. pallidum relevan
dengan level antibodi pada TROMPs.
Meskipun humoral immunity juga
dibutuhkan dalam melawan infeksi dari
treponema, respon antibodi ini dapat juga
180
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
menyebabkan kelainan. Adanya kompleks
imun pada sifilis sekunder mungkin
menjelaskan patologi timbulnya lesi pada kulit
dan deposit di ginjal yang menyebabkan
terjadinya nefropati sifilik. Antibodi
kardiolipin yang merupakan penentu pada
sifilis primer dan menjadi dasar tes
nontreponemal pada penyakit ini, tidak sejalan
dengan terjadinya sindrom antibodi
antifosfolipid.
Pemeriksaan histologik menunjukkan
banyaknya sel T pada daerah lesi. Pada
chancre primer CD4 lebih banyak berperanan
sedangkan pada lesi sekunder lebih banyak
ditemukan CD8. Gumma yang lebih sering
timbul pada sifilis tertier menunjukkan adanya
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dengan
tanda khas berupa granuloma. Peranan sel T
pada sifilis yang belum jelas menimbulkan
dugaan adanya cross infeksi HIV pada
penderita sifilis. Para ilmuwan di Spanyol
meneliti adanya perubahan viral load dan
jumlah CD4 selama terinfeksi sifilis dan
menemukan bahwa infeksi sifilis pada pasien
HIV-positif berhubungan dengan
peningkatan viral load dan penurunan jumlah
CD4.
Penurunan jumlah CD4 dan
peningkatan viral load ditemukan pada
hampir sepertiga pasien yang diamati. Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa satu-
satunya faktor yang dikaitkan dengan
peningkatan viral load adalah karena
penderita tidak menggunakan terapi
antiretroviral (ART), sementara satu-satunya
faktor yang dikaitkan dengan penurunan
jumlah CD4 sebanyak lebih dari 100, adalah
jumlah CD4 pasien sebelum terinfeksi sifilis
(pasien yang mempunyai jumlah CD4 lebih
tinggi sebelum sifilis mengalami penurunan
yang lebih besar), tetapi tidak ada
perbedaan pada perubahan virologi
berdasarkan stadium sifilis.
Temuan lain dari penelitian ini
menunjukkan lebih dari dua pertiga kasus
sifilis ditemukan pada pasien yang
sebelumnya didiagnosis HIV-positif. Dalam
hal ini, para peneliti menyoroti perilaku
pasien yang berisiko dan strategi
pencegahan yang lemah. Sehingga perlu
adanya upaya kesehatan masyarakat untuk
mencegah infeksi sifilis baru dan
secepatnya mengenal serta mengobati
pasien terinfeksi sifilis, dengan tujuan
mengurangi penyebaran baik infeksi sifilis
maupun HIV (LaSala P.R, Smith M.B, 2007;
Bockenstedt L.K, 2003; Palacios R et all,
2007).
Gejala Klinik
Berdasarkan stadium penyakitnya
gejala klinik dari penyakit sifilis dapat
dibagi dalam tiga kelompok yaitu bentuk
primer, sekunder dan bentuk tertier. Sifilis
primer biasanya bersifat asimptomatik,
yang didapatkan akibat penularan melalui
kontak langsung pada permukaan mukosa
atau kulit seorang penderita. Sedang sifilis
sekunder dapat timbul 8 minggu setelah
terapi sifilis primer meskipun dilaporkan
bahwa sekitar 60% sifilis sekunder tidak
mempunyai riwayat sifilis primer. Lesi
sekunder ini ditandai dengan adanya erupsi
pada kulit dan selaput lendir. Dan sifilis
tertier adalah bentuk laten dari penyakit ini
yang biasanya muncul beberapa bulan
sampai beberapa tahun kemudian dan 15%
diantaranya terjadi pada penderita yang
tidak mendapat terapi, dimana lesi telah
menyebar sampai ke tulang, saluran cerna,
181
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
sistim saraf dan sistim kardiovaskuler (http : //
id.wikipedia.org, 2008). Terdapat bentuk lain
dari penyakit sifilis yang banyak ditemukan di
wilayah Asia tengah dan Afrika yang disebut
Endemik Sifilis, merupakan penyakit infeksi
kronik nonveneral yang disebabkan oleh T.
pallidum subspecies endemicum. Penyebaran
terjadi melalui kontak langsung pada lesi yang
aktif, jari-jari dan peralatan makan atau
minum (LaSala P.R, Smith M.B , 2007).
Disamping itu terdapat juga bentuk sifilis
tertier yang dapat timbul 1 – 10 tahun setelah
terinfeksi dengan tanda khas berupa adanya
gumma pada kulit dan mukosa. Apabila sifilis
tertier ini tidak mendapat terapi, dapat terjadi
komplikasi yang lebih berat berupa
neurosifilis dan kardiovaskuler sifilis
(Bockenstedt L.K, 2003).
a. Sifilis Primer
Sifilis primer terjadi karena kontak
langsung dengan lesi infeksi penderita
melalui hubungan seksual. Lesi pada kulit
timbul dalam 10 – 90 hari setelah terpapar,
kebanyakan pada alat genital namun dapat
ditemukan pada seluruh bagian tubuh yang
lain. Lesi ini disebut chancre , suatu ulcerasi
pada kulit tanpa rasa sakit pada daerah yang
terexposure terutama pada penis, vagina, atau
rectum. Kadang-kadang terdapat lesi multipel,
menetap untuk waktu 4 sampai 6 minggu
dapat terjadi pembengkakan kelenjar limpe
lokal dan biasanya sembuh spontan (Palacios
R et all. 2007).
b. Sifilis Sekunder
Sifilis sekunder timbul 1 – 6 bulan
setelah infeksi primer ( rata-rata 6 – 8 minggu)
dengan berbagai manifestasi gejala. tetapi
dapat terjadi overlap dengan bentuk primer.
Lesi biasanya terdapat pada kulit, daerah
kepala dan leher, serta sistim saluran cerna,
disamping gejala umum seperti demam,
kelemahan, penurunan berat badan, sakit
kepala, meningismus dan pembesaran
kelenjar limpe. Rash pada kulit biasanya
lebih berat dan disertai dengan gangguan
dermatologi yang lain seperti makulo-
papular, folikular atau pustular rash. Rash
menyebar pada seluruh tubuh dan
ekstremitas, kemudian membentuk lesi
yang rata berwarna keputih-putihan yang
dikenal dengan condyloma lata. Stadium
sekunder juga ditandai dengan adanya
gangguan pada sendi, tulang dan indera
penglihatan (Bockenstedt L.K, 2003;
Palacios R et all. 2007).
c. Sifilis Laten
Disebut sifilis laten apabila tidak
tanda-tanda dan gejala penyakit tetapi
terdapat bukti serologik. Sifilis laten dapat
dibedakan atas tipe early atau late. Disebut
tipe early bila selama 2 tahun serologik
positif tetapi tidak ada gejala penyakit.
Sedang tipe late bila infeksi lebih dari 2
tahun tanpa bukti klinik yang jelas.
Pembagian ini berguna dalam pemberian
terapi pada penderita dan resiko transmisi
ke orang lain (Sacher R.A, McPerson R.A,
2007).
d. Sifilis Tertier
Sifilis tertier biasanya muncul dalam
waktu 1 – 10 tahun setelah infeksi pertama,
pada beberapa kasus dapat mencapai masa
sampai 50 tahun. Ditandai dengan adanya
gumma yang lunak, suatu bentuk tumor
akibat proses inflamasi yang dikenal
dengan granuloma, bersifat kronik dan
182
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
dapat muncul kembali bila sistim imun tubuh
tidak sempurna. Kebanyakan gumma
merupakan komplikasi dari late syphilis.
Bentuk lain dari sifilis tertier yang tidak
diterapi adalah neuropathic joint disease,
berupa degenerasi sendi disertai hilangnya
sensasi propriosepsi. Bentuk komplikasi yang
lebih berat adalah neurosyphilis dan
cardiovascular syphillis. Gangguan neurologik
dapat asimptomatik atau bermanisfestasi
sebagai meningovascular disease, tabes
dorsalis atau paresis. Sedang komplikasi
kardiovaskuler dapat berupa sifilis aortitis,
aneurisma dan regurgitasi aorta. (Bockenstedt
L.K, 2003; Palacios R et all. 2007).
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan
dengan cara melihat langsung organisme
dengan mikroskop lapangan gelap atau
pewarnaan antibodi fluoresen langsung dan
kedua dengan mendeteksi adanya antibodi
dalam serum dan cairan serebrospinal. Tes
serologis merupakan tes konfirmasi untuk
melihat adanya antibodi terhadap organisme
penyebab sifilis. Tes serologis juga diperlukan
untuk menegakkan diagnosis infeksi sifilis
pada masa laten sifilis dimana tidak tampak
adanya gejala-gejala penyakit. Ada dua
kelompok tes serologis yang dapat digunakan
dalam mendiagnosis penyakit sifilis yaitu tes
serologis antibodi non treponema dan
antibodi treponema (Sacher R.A, McPerson
R.A, 2004).
1. Tes Serologis Antibodi Non Treponemal
yaitu antibodi yang terbentuk akibat
adanya infeksi oleh penyakit sifilis atau
penyakit infeksi lainnya. Antibodi ini
terbentuk setelah penyakit menyebar ke
kelenjar limpe regional dan menyebabkan
kerusakan jaringan serta dapat
menimbulkan reaksi silang dengan
beberapa antigen dari jaringan lain. Tes
serologis non treponema mendeteksi
antibodi yang merupakan kompleks dari
lecitin, kolesterol dan kardiolipin dan
digunakan untuk skrining adanya infeksi
oleh T. pallidum. Termasuk tes ini adalah
Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL) dan Rapid Plasma Reagen (RPR)
yang memberikan hasil positif setelah 4 – 6
minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien
dengan lesi primer dan stadium lanjut).
Tetapi tes ini dapat memberikan positif
palsu pada kondisi seperti kehamilan,
kecanduan obat, keganasan, penyakit
autoimun dan infeksi virus.
Imunoasai ini menggunakan
antibodi nontreponemal dan lipoid sebagai
antigen, termasuk pemeriksaan ini adalah
(Bockenstedt L.K, 2003; Handojo I, 2004) :
a. Veneral Disease Research Laboratory
(VDRL)
b. Rapid Plasma Reagin (RPR)
c. Cardiolipin Wassermann (CWR)
d. Unheated Serum Reagin (USR)
e. Toulidone Red Unheated Serum Test
(TRUST)
f. ELISA
Tes ini bertujuan untuk mendeteksi
adanya reaksi antara antibodi dari sel yang
rusak dan kardiolipin dari treponema.
Digunakan untuk skrining penderita dan
monitoring penyakit setelah pemberian
terapi. Tes-tes seperti Veneral Disease
Research Laboratory (VDRL), Rapid
Plasma Reagin (RPR), Unheated Serum
Reagin (USR) dan Toulidone Red
Unheated Serum Test (TRUST) mendeteksi
183
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
adanya reaksi antigen-antibodi dengan
menilai presipitasi yang terbentuk baik secara
makroskopik (RPR dan TRUTS) maupun
mikroskpoik (VDRL dan USR).
Antibodi yang terdeteksi biasanya
timbul 1 – 4 minggu setelah munculnya
chancre primer. Pengambilan spesimen pada
stadium primer akan mempengaruhi
sensitivitas tes dimana titer antibodi
meningkat selama tahun pertama dan
selanjutnya menurun secara nyata sehingga
memberikan hasil negatif pada pemeriksaan
ulang.
Dapat ditemukan hasil tes positif palsu
maupun negatif palsu. Positif palsu terjadi
karena adanya penyakit bersifat akut seperti
hepatitis, infeksi virus, kehamilan atau proses
kronik seperti kerusakan pada jaringan
penyambung. Sedang hasil negatif palsu
terjadi karena tingginya titer antibodi (prozone
phenomenon) yang sering ditemukan pada
sifilis sekunder.
2. Antibodi treponemal
Bertujuan untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap antigen treponema dan
sebagai konfirmasi dari hasil positif tes
skrining nontreponemal atau konfirmasi
adanya proses infeksi pada hasil negatif tes
nontreponemal pada fase late atau laten
disease dapat dibedakan atas 2 jenis antibodi
yaitu ;
i. grup treponemal antibodi, antibodi
terhadap antigen somatik yang terdapat
pada semua jenis treponema. Imunoasai
berdasarkan pada penggunaan beberapa
strain saprofitik dari treponema, yaitu
Reiter Protein Complement Fixation
(RPCF)
ii. Antibodi treponema spesifik, antibodi
yang spesifik untuk antigen dari T.
pallidum. beberapa tes yang termasuk
diantaranya adalah :
a. Treponema pallidum Complement
Fixation
b. Treponemal Wassermann (T-WR)
c. Treponema pallidum Immobilization
(TPI)
d. Treponema pallidum Immobilization
Lyzozym (TPIL)
e. Treponema pallidum Immobilization-
symplification
f. Fluorecense Treponemal Antibody
(FTA)
g. Treponema pallidum Hemagglutination
(TPHA)
h. Treponema pallidum Immuneadherence
(TPIA)
i. ELISA T. pallidum
Pemeriksaan antibodi nontreponemal
yang sering digunakan sekarang adalah :
1. Tes Rapid Plasma Reagen, adalah tes
untuk melihat antibodi nonspesifik
dalam darah penderita yang diduga
terinfeksi sifilis, terdiri dari uji kualitatif
dan uji kuantitatif.
A. Uji RPR kualitatif adalah
pemeriksaan penapisan dengan
serum pasien yang tidak diencerkan
dicampur dengan partikel arang
berlapis kardiolipin di atas karton,
setelah rotasi mekanis beberapa
waktu sedian diperiksa untuk
melihat ada tidaknya aglutinasi
secara makroskopis. Cara Kerja
(Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno,
2003) :
1. 1 tetes serum + 50 uL antigen
dicampur diatas kartu tes
memenuhi lingkaran
184
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
2. putar di atas rotator selama 8 menit
dengan kecepatan 100 rpm
3. Lihat hasil terbentuknya flokulasi
dengan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 10 x 10
4. Hasil tes yang reaktif dilanjutkan
dengan tes kuantitatif
B. Uji RPR kuantitatif menggunakan
serum yang diencerkan secara serial dan
hasil pemeriksaan adalah nilai akhir
pengenceran dimana masih terjadi
penggumpalan partikel. Cara kerjanya
sebagai berikut :
1. Siapkan 6 tabung reaksi, isi masing-
masing dengan 50 uL NaCl 0,9%
2. Tambahkan 50 uL sampel ke tiap
tabung, kocok rata
3. Pindahkan 50 uL isi tabung I ke
tabung 2 (pengenceran ½ kali)
4. Lakukan seterusnya untuk tabung
ke 3 dengan mengambil isi dari
tabung 2 (pengenceran ¼), demikian
juga untuk tabung 4, 5, dan 6.
5. Ambil dari tiap tabung 50 uL
larutan, teteskan di atas kertas tes
dan tambahkan 50 uL antigen pada
tiap sampel, aduk rata dan rotasi
selama 8 menit. Baca titer pada
pengenceran tertinggi yang masih
terjadi flokulasi.
Tes RPR efektif untuk skrining
seseorang yang terinfeksi penyakit
sifilis tetapi belum menunjukkan gejala
klinik.
2. Tes VDRL selain digunakan untuk skrining
penyakit sifilis juga dapat digunakan untuk
monitoring respon terapi, deteksi kelainan
saraf dan membantu diagnosis pada sifilis
kongenital. Dasar tes adalah reaksi antibodi
pasien dengan difosfatidil gliserol. Tes
VDRL dapat mendeteksi antikardiolipin
antibodi (IgG, IgM atau IgA). Beberapa
kondisi dapat memberikan hasil positif
palsu seperti penyakit hepatitis virus,
kehamilan, demam rematik, leprosi dan
penyakit lupus. Tes VDRL semi-
kuantitatif juga digunakan untuk
mengevaluasi kejadian neurosifilis di
mana hasil reaktif tes hampir selalu
merupakan indikasi adanya neurosifilis.
(http://en wikipedia.org, 2008)
3. Tes Cardiolipin Wassermann (CWR)
merupakan uji fiksasi komplemen
dimana reaksi antibodi dan antigen
kardiolipin akan membentuk kompleks
yang akan mengikat komplemen.
Sebagai indikator terjadinya reaksi
pengikatan komplemen maka pada tes
ditambahkan sel darah merah (domba)
dan zat hemolisin anti SDM. Disebut uji
CWR positif apabila tidak terjadi reaksi
hemolisis yang menunjukkan bahwa
terjadi reaksi Ag-Ab yang mengikat
komplemen, sedang hasil negatif berarti
tidak terjadi reaksi Ag-Ab yang tidak
mengikat komplemen. Sampel pasien
berasal dari darah atau cairan
cerebrospinal yang reaksikan dengan
antigen kardiolipin dan intensitas reaksi
sebanding dengan beratnya kondisi
pasien (http://en.wikipedia.org/wiki/,
2008).
4. Tes ELIZA nontreponemal menilai
terjadinya flokulasi dan nilai absorban
dihitung berdasarkan prinsip
spektrofotometer.
Sedangkan Tes serologik treponemal
yang banyak digunakan adalah :
185
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
1. Tes Treponema pallidum Immobilization
(TPI).
Sensitifitas tes rendah pada beberapa
stadium penyakit terutama stadium I ,
tetapi spesifisitasnya paling baik dibanding
tes serologis lain dan merupakan satu-
satunya tes yang hampir tidak memberi
hasil positif semu. Tes menggunakan serum
penderita yang tidak aktif ditambah dengan
T. pallidum yang mobil dan komplemen,
lalu diinkubasi pada suhu 35° C selama 16
jam selanjutnya dilihat di bawah
mikroskop. Hasil positif terlihat dengan T.
pallidum yang tidak mobil.
2. Fluorescent treponemal antibody-absorbed
double strain test (FTA-ABS DS).
Sebelum tes serum pasien diinaktifkan
dengan pemanasan dan diserap dengan
sorbent untuk membersihkan dari antibodi
terhadap treponema komensal, kemudian
dicampur dengan apusan T. pallidum pada
kaca obyek, inkubasi lalu bilas hati-hati.
Tambahkan konjugat antibodi anti-
imunoglobulin human yang dilabel dengan
tetrametil-rodamin isotiosinat [TMRITC]
tutup dengan kaca penutup, inkubasi dan
bilas. Periksa apusan di bawah mikroskop
pengcahayaan ultraviolet. Hasil positif
ditunjukkan dengan adanya treponema
berfluoresensi-TMRITC pada apusan. Tes
FTA adalah imunoasai yang sangat sensitif
dan spesifik sehingga baik digunakan
untuk diagnosis tetapi tidak dipakai dalam
pemantauan terapi sebab hasil tes positif
akan tetap positif walaupun telah diberi
pengobatan sampai sembuh.
3. Tes Treponema pallidum Hemagglutination
(TPHA)
Merupakan uji hemaglutinasi pasif
secara kualitatif dan semi kuantitatif yang
dapat mendeteksi anti T. pallidum
antibodi dalam serum atau plasma, di
mana hasil positif didapatkan bila terjadi
aglutinasi. Sensitivitas dan spesifisitas
cukup baik kecuali untuk sifilis stadium
I, tes ini juga cukup praktis, mudah dan
sederhana serta harganya relatif murah.
Sebagai antigen dipakai T .pallidum
strain Nichol dan sebagai carrier
digunakan sel darah merah kalkun. Sel
darah merah kalkun yang diliputi Ag T .
pallidum dan Ab serum penderita lalu
diinkubasi, antibodi T. pallidum dalam
serum akan mengikat antigen pada sel
darah merah membentuk kompleks Ag-
Ab dan hasil positif dinilai dengan
melihat adanya aglutinasi (http: //
en.wikipedia.org, 2008).
Diagnosis
Diagnosis penyakit sifilis biasanya
secara tidak langsung ditemukan pada
pasien risiko tinggi seperti adanya penyakit
menular seksual dan pengguna narkotika.
Karena T. Pallidum tidak dapat tumbuh
pada media kultur maka digunakan metode
lain untuk mendiagnosis penyakit sifilis.
Seperti mikroskop lapangan gelap atau
apusan cairan dari kulit atau jaringan.
Bahan pemeriksaan adalah transudat segar
dari chancre pada infeksi primer atau
kondiloma lata pada infeksi sekunder. Hasil
positif bila ditemukan spiroketa yang motil,
membentuk kumparan padat dan bergerak
melengkung. Untuk penderita dengan
suspek neurosifilis, diagnosis ditegakkan
dengan sampel dari cairan cerebrospinal.
Tes serologis non treponema
mendeteksi antibodi yang merupakan
kompleks dari lecitin, kolesterol dan
186
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
kardiolipin dan digunakan untuk skrining
adanya infeksi oleh T. pallidum. Termasuk tes
ini adalah Venereal Disease Research
Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagen
(RPR) yang memberikan hasil positif setelah 4
– 6 minggu terinfeksi (positif pada 70% pasien
dengan lesi primer dan stadium lanjut). Tetapi
tes ini dapat memberikan positif palsu pada
kondisi seperti kehamilan, kecanduan obat,
keganasan, penyakit autoimun dan infeksi
virus.
Sedang tes serologis yang spesifik
untuk infeksi treponema seperti Serum
Fluorecent-Treponemal Antibody absorbance
test (FTA-ABS) dan Microhemagglutination
test dimana T. pallidum berfungsi sebagai
antigen. Hasil tes non treponema yang positif
harus dikonfirmasi dengan tes treponema
yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi. (Sacher R.A, Mc Person
R.A, 2004; Mayo Clinic.com, 2006;
http://www.cdc.gov/std/default.htm, 2008).
Terapi dan Prognosis
Penicilin masih merupakan obat
pilihan untuk penanganan sifilis. Sedang
antibiotik alternatif seperti derivat tetrasiklin,
eritromicin dan ceftriaxon dapat digunakan
pada penderita yang alergi terhadap penicilin.
Dosis dan lama terapi bervariasi tergantung
pada gejala klinik penderita, secara umum
penyakit dengan stadium lebih lanjut
membutuhkan antibiotik dengan dosis yang
lebih besar dan waktu yang lebih lama. Obat
lain yang dapat diberikan adalah antipiretik
dan antihistamin.
Sifilis stadium primer, sekunder dan
early laten akan sembuh sempurma dengan
pemberian antibiotik, sedang stadium late
biasanya lebih sulit diterapi. Sifilis tertier
mempunyai tingkat mortalitas yang tinggi
bila kelainan telah sampai pada sistim
saraf pusat (Bockenstedt L.K,2003;
http://www.cdc. gov/std/default.htm, 2008;
Mayo Clinic. com, 2006; Healthcommuni-
ties.com, 2008).
Komplikasi
Sifilis yang tidak diterapi dapat
berkembang menjadi fase tertier dengan
timbulnya gumma dan sifilis kardio-
vaskuler yang dapat bersama-sama dengan
neurosifilis. Laki-laki lebih banyak
berlanjut ke fase tertier dan mortalitasnya
lebih tinggi dibanding penderita wanita.
Kerusakan jaringan yang irreversibel
merupakan karakteristik dari sifilis fase
tertier dan sifilis kongenital meskipun telah
mendapat terapi antibiotik. Selain itu sifilis
juga dapat menyebabkan komplikasi
penyakit lain berupa (www.dshs.state.tx.
us/, 2008) :
1. Arthritis
2. Blindness
3. Heart disease
4. Mental illness
5. Death
Differential Diagnosis
Penyakit sifilis dapat didifferential
diagnosis dengan penyakit kelamin lain
seperti (http : // www.fpnotebook.com,
2008) :
1. Genital Ulcer
2. Genital Herpes
3. Chancroid
4. Venereal Wart
5. Lymphogranuloma venereum
187
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI
Daftar Pustaka
Aprianti S, Pakasi R, Hardjoeno, 2003. Tes
Sifilis dan Gonorrhoe dalam
Interpretasi Hasil Tes Laboratorium
Diagnostik. Makassar: LEPHAS
Unhas.
Bockenstedt L.K, 2003. Spirochetal
Diseases : Syphillis and Lyme
Disease in Medical Immunology
10th ed, Mc Graw Hill.
Ditjen PP&PL, 2005. Sifilis dalam Manual
Pemberantasan Penyakit Menular.
Handojo I, 2004. Imunoasai Untuk
Penyakit Sifilis dalam Imunoasai
Terapan pada Beberapa Penyakit
Infeksi. Surabaya : Airlangga
University Press.
Healthcommunities. Syphilis –
Urologychannel.
Healthcommunities.com, last
modified. Diakses 25 Januari 2008.
http: // en.wikipedia.org/ Veneral Disease
Research Laboratory test. Download
tanggal 29 agustus 2008.
http://en wikipedia.org/wiki/ Rapid plasma
Reagin, last modified : Diakses 25
Pebruari 2008.
http://en.wikipedia.org/wiki/. Wassermann
test, last modified. Diakses 26
Agustus 2008.
http: // id.wikipedia.org / wiki /
Treponema pallidum, last
modified : 14 oktober 2008
http: // www.thefreedictionary.com /
Syphillis. Download tgl 23
Agustus 2008
http: // www.thefreedictionary.com /
Syphillis Symtom. Diakses tgl 22
Agustus 2008
http: // www. fpnotebook. com
/ID/STD/Syphilis. Diakses 5
November 2008.
http: //www.cdc.gov/std/default.htm,
Sexually Tranmitted Diseases, last
modified. Diakses 4 Januari
2008.
LaSala P.R, Smith M.B, 2007. Spirochaete
Infections in Henry’s Clinical
Diagnosis and Management by
Laboratory Methods 21sted,
Saunders Elsevier.
Mayo Clinic.com. Syphilis: Screening and
diagnosis – Mayo Clinic.com
Medical Services, update 27 0ct
2006.
MayoClinic. Syphilis: Treatment.
MayoClinic.com Medical
Services. Diakses 27 Oktobert
2006.
Mayo Clinic. Syphilis Testing, ARUP
Laboratories. Mayo Clinic
Diakses 28 April 2008.
Natahusada EC, Djuanda A, 2005. Sifilis
dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi 4, Jakarta : Pen
FK-UI.
Palacios R et all., 2007. Impact of syphilis
infection on HIV viral load and
CD4 cell counts in HIV-infected
patients. J Acq Immun Defic
Synd 44: Maret.
Sacher R.A, McPerson R.A, 2004.
Diagnosis Serologik Infeksi
Spesifik dalam Tinjauan Klinis
Hasil Pemeriksaan Laboratorium,
edisi 11, EGC, 2004, 456 - 458
www.dshs.state.tx.us/hivstd, HIV / STD
Facts. Diakses 5 November
2008.
188
Vol. II, No. 3 tahun 2009 Jurnal Madani FKM UMI