TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD...

110
i TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Salah SatuSyarat Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: NURUL MIMIN JANNAH NIM: 211-12-036 JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) SALATIGA 2016

Transcript of TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD...

i

TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD

TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM

PERCERAIAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Salah SatuSyarat

Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NURUL MIMIN JANNAH

NIM: 211-12-036

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

2016

ii

iii

TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD

TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM

PERCERAIAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah SatuSyarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Nurul Mimin Jannah

NIM 211-12-036

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)

SALATIGA

iv

2

v

vi

vii

MOTTO

إ ن أاك أ أ ك ك إ ك أ إ أ ك أ اك ك

Manusia yang paling mulia di sisi allah adalah yang paling bertakwa

viii

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunia-

Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sugiharto dan Ibu Siti Aisyah yang

telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala

dukungannya dalam setiap langkah-langkahku.

2. Kakak serta adik-adikku tersayang serta keponakan kecilku, mbak

Nida, Mas santo, adik Eva, adik Erna, serta adik Afif, dan nok Marsa,

yang dukungan serta doanya tak pernah surut mengiringi

perjuanganku.

3. Adik sepupuku, Bapak Ilya Muhsin beserta keluarga yang telah

berperan sebagai orang tua keduaku selama aku merajut impian di

Salatiga.

4. Dosen pembimbing skripsiku sekaligus Ketua Jurusan Ahwal al

Syakhshiyyah, Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si yang tak pernah lelah

membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini.

5. Bapak Yusuf Khumaini yang telah memberikan inspirasi dalam

penulisan skripsi ini.

6. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah mengiklaskan waktu dan

tenaganya untuk membagikan ilmunya kepadaku.

7. KH. Husein Muhammad beserta keluarga yang telah membagikan

ilmunya serta bimbingannya kepadaku selama aku berada di Cirebon.

ix

8. Segenap Kyai-kyaiku di pondok pesantren Salafiyah yang tak pernah

lelah membimbing jiwa dan ragaku untuk tetap berada di jalanNya.

9. Keluarga besar Santri putra&putrid Salafiyah, Pulutan, Sidorejo

Salatiga, yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna

dalam hidupku.

10. Teman sekamarku kak Khuza dan teman seperjuanganku dari Aliyah

hingga menyelesaikan S1 ku, Mbak Erni. Semoga persahabatan kita

tidak berhenti sampai di sini.

11. Mas Rio, Kang Asdi serta Nilta dan Sita yang telah tulus iklas

menjemputku dari stasiun tengah malam pasca penelitian.

12. Keluarga besar pondok pesantren Darul Qur‟an dan Darut Tauhid

Arjawinangun, Cirebon.

13. Mas Nawal dan Gus Hasan yang telah mengantarkanku bertemu

dengan Buya Husein.

14. Keluarga besar PMII kota Salatiga.

15. Pengurus DEMA IAIN Salatiga periode 2016-2017.

16. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan

Ahwal al Syakhshiyyah.

17. Teman-teman seperjuangan peraih beasiswa BIDIKMISI YA

BISMILLAH IAIN Salatiga

x

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim

Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “TELAAH PEMIKIRAN

KH. HUSEIN MUHAMMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER

DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA”.

Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi

Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta

pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah

yang membawaumatmanusiadarizamankegelapanmenujuzaman yang

terangbenderang, yakniDinul Islam.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak yang telah tulus

iklasmembantupenulismenyelesaikanskripsiini.

Olehkarenaitupenulismengucapkanbanyakterimakasihkepada:

1. Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Ketua Jurusan serta Pembimbimbing skripsi saya, Bapak Sukron Ma‟mun,

M.Si. yang dengan iklas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan

waktu dan tenaganya untuk penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.

xi

3. Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang

telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan jenjang

pendidikan S1.

4. Kepada KH. Husein Muhammad yang telah memberikan ilmu-ilmunya

kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

maka kritik dan saran yang bersifa tmembangun sangat penulis harapkan.Semoga

hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca

padaumumnya.Amin.

Salatiga, 06 September 2016

Penulis

xii

ABSTRAK

Jannah, Nurul Mimin.2016 “Telaah Metode Pemikiran KH. Husein Muhammad

terhadap Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di

Indonesia”.Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwalusy Syakhshiyyah,

Institut Agama Islam Negri. Pembimbing: Sukron Ma‟mun, M.Si.

Kata Kunci: Pemikiran K.H.Husein Muhammad dan Hukum Percerain di

Indonesia.

Kyai Husein merupakan salah satu ulama dari beberapa ulama karismatik

yang dimiliki oleh negeri ini.KyaiHuseinjugatermasuksalahsatutokoh gender di

managagasan-

gagasanpembaharuannyasangatbriliandandiapresiasiolehbanyakkalangankhususny

adarikalangan yang memperjuangkankesetaraan gender. Latar belakang Kyai

Husein sebagai ulama juga menjadi tolak ukur masyarakat dalam pengambilan

gagasan pemikiran yang KyaiHuseinkemukakan.

Permasalahan gender sangatberagam,

mulaidarimasalahdomestikhinggamasalahpublik. Salah satupermasalahan gender

yang seringterjadiyaitumasalahrumahtangga. Masalah rumah tangga mencakup

juga masalah perceraian. Berdasarkan latar belakang di atas,

kemudianpenelitimerumuskankedalamtigapertanyaansebagaiberikut: 1.

Bagaimanabasis pemikiran K.H. Husein Muhammad? 2. Bagaimana pemikiran

KH. Husein Muhammad dan metode pemikirannya tentang kesetaraan gender

dalam hokum perceraian di Indonesia? 3. Bagaimana relevansi hukum perceraian

di Indonesia terhadap kesetaraan gender?

Sehubungan dengan pertanyaan di atas peniliti menggunakan jenis

penelitian kualitatif dan pendekatannya melalui pendekatan gender.Metode yang

digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.Wawancara dilakukan langsung

dengan Kyai Husein.

Hasil penelitian menunjukkan: 1. Basis pemikiran Kyai Husein sangat

berpengaruh terhadap pemikirannya dalam hal ini adalah pemikirannya tentang

gender. 2. Menurut Kyai Husein hukum perceraian di Indonesia masih bersifat

diskriminatif terhadap perempuan dan perempuan belum mendapatkan haknya

sebagaimana mestinya.Metode berfikir Kyai Husein sangat sesuai dengan

perkembangan zaman yang menuntut adanya dukungan terhadap aliran penggiat

gender. 3. Menurut kacamata gender, di satu sisi hukum perceraian di Indonesia

masih mengandung unsur ketimpangan bagi pihak perempuan. Namun di sisi lain

pemerintah telah membuat sebuah terobosan baru yang memberikan angin segar

xiii

bagi perempuan dalam menyelesaikan kasus perceraian, yakni perceraian harus

dilakukan melalui Pengadilan Agama, sehingga laki-laki tidak bisa menceraiakan

istrinya semaunya sendiri. Ketentuan semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-

kitab Fiqh klasik yang digunakan rujukan bagi para hakim di Pengadilan Agama.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………...………....……............

HALAMAN BERLOGO ……...……………………………………..........

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ….……………...…..........

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN …..………………..............

HALAMAN PENGESAHAN …..……….……..……………….…….......

HALAMAN MOTTO …………...…………………………………...........

HALAMAN PERSEMBAHAN …..…………………………….…….......

KATA PENGANTAR ……..………………………………….……..........

ABSTRAK ……..………………………………………………….............

DAFTAR ISI ……...…………………………………………………........

DAFTAR LAMPIRAN .…………………………………….……..….......

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……..……………………......

B. Rumusan Masalah ………………………………..........

C. Tujuan Penelitian …..………………………................

D. Kegunaan Penelitian ..…………………………............

E. Kerangka Teori …..……………………………............

i

ii

iv

v

vi

vii

viii

x

xi

xii

xvi

1

6

7

7

8

xiv

F. Telaah Pustaka …..…………………………...…..........

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian ….…………………………...........

2. Pendekatan Penelitian ………………………..........

3. Kehadiran Peneliti ……….……………………......

4. Sumber Data …………………………………........

H. Prosedur Pengumpulan Data ….………...………….....

I. Tahap-Tahap Penelitian ………….................................

J. Sistematikan Penulisan …………………………..........

BAB II KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM

PERCERAIAN

A. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam ……….......

B. Teori Gerakan Gender

1. Feminisme Liberal ……..…………………….........

2. Feminisme Marxis …………………..……….........

3. Feminisme Radikal ……………...…..……............

4. Feminisme Sosial ………………..………….........

C. HukumPerceraian di Indonesia ………..........................

D. Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di

Indonesia ….................................................................

BAB III KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM

GENDER

A. Biografi Kyai Husein …………………………….........

12

13

14

14

15

16

17

19

21

30

31

32

32

33

39

42

xv

B. Pendidikan Kyai Husein ………………………............

C. Karya-Karya Kyai Husein ……….……………............

D. Keterlibatan Kyai Husein dalam Gerakan Gender ........

E. Pengalaman Organisasi Kyai Husein ………....………

BAB IV PEMIKIRAN KYAI HUSEIN TENTANG

KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM

PERCERAIAN DI INDONESIA

A. Basis Pemikiran Kyai Husein …………............………

B. Pemikiran Kyai Husein dalam Hukum Perceraian di

Indonesia .....................................................................

C. Metode Pemikiran Kyai Husein ……………................

D. Relevansi Hukum Perceraian di Indonesia Terhadap

Kesetaraan Gender ………………………….................

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN ………………………………..….............

SARAN ………………………………………....................

44

45

46

48

51

55

70

75

79

81

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Kegiatan Penelitian …………..………………………..……. 87

Lampiran 2. Konsultasi Skripsi …………….………………………………….. 89

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian ………...…………………………………… 91

Lampiran 4. Surat Keterangan Penelitian………….…………...……………... 92

Lampiran 5. Daftar SKK ……………………………………………………… 93

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini berpasang-

pasangan termasuk laki-laki dan perempuan.Namun, Allah juga membatasi

pergaulan antar laki-laki dan perempuan.Maka dari itu, Allah menurunkan

syari‟at Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan

perempuan.Salah satu aturan tersebut yaitu melalui sebuah

pernikahan.Pernikahan adalah satu-satunya sarana untuk membuat sebuah

ikatan yang bernama keluarga.

Segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti mempunyai hikmah tidak

terkecuali pernikahan itu sendiri.Seorang laki-laki dan perempuan

merupakan mitra dalam sebuah rumah tangga. Suami dan istri mempunyai

peranan masing-masing dalam menjalankan fungsinya, namun dalam

peranan tersebut antara suami istri harus saling melengkapi satu sama lain

agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan dapat mengarungi

kehidupan rumah tangga yang tenang sehingga memunculkan kehidupan

yang stabil (Al Jarwani, 1997: 309). Pernikahan adalah sebuah karunia

dari Allah kepada hamba-Nya karena pernikahan dapat memberikan rasa

ketentraman, kedaimaan dan rasa cinta kasih antara pasangan suami istri,

seperti firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21 yang berbunyi:

2

لأ بأيك أ ك ك عأ جأ ااإلأيكهأ وأ اج لتأسك ك كىك وأ نك اأنكفكسإ ك ك اأزك لأقأ لأ ك ك نك ايتإه اأ ك خأ وأ إ

ة مأ حك رأ دةو ىأ قلى

وك أ (21) اإ إ ك لإ أ أ يأةة ل أىك ة يتأفأ ك

Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan biologis semata namun ada

sebuh ikatan batin di dalamnya. Hal ini sesuai dengan definisi perkawinan

dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 yang

berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. Definisi dari pengertian perkawinan di atas bukan hanya sekedar

kata-kata namun ada makna filosofis di dalamnya ada istilah kekal yang

bermakna bahwa tujuan pernikahan adalah menjalin sebuah ikatan yang

tidak ada batasan waktunya dan untuk selamanya (Farida, 2007: 3).

Ayat di atas berisikan prinsip pernikahan yang harus dijaga antar

kedua belah pihak suami dan istri, prinsip yang dimaksudkan dalam ayat

tersebut yaitu prinsip mawaddah wa rahmah yang berarti cinta dan kasih

sayang yang harus dijaga oleh kedua belah pihak pasangan suami dan istri

agar dapat tercipta pernikahan yang langgeng.

Keadaan sebuah pernikahan tidak dapat dipungkiri pasti

mempunyai problem-problem yang sedikit banyak mengganggu

keharmonisannya.Konflik-konflik kecil selalu mewarnai perjalanan

kehidupan sebuah pernikahan.Dari sinilah kehidupan rumah tangga mulai

sedikit terkoyak.Kedua belah pihak harus mampu untuk mengurai

3

permasalahan rumah tangga mereka jika konflik terus berkepanjangan dan

tidak menemukan titik temu, maka tujuan perkawinan yang diinginkan

mustahil untuk didapatkan.

Perceraian merupakan solusi akhir dari semua konflik yang tidak

kunjung ditemukan solusinya. Menurut hukum positif di Indonesia

perceraian hanya dalam dilakukan melalui Pengadilan Agama untuk

masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan UU No.7 tahun 1989 jo.

UU No. 50 tahun 2009.

Perceraian antara suami istri ditandai dengan jatuhnya talak kepada

pihak istri.Hak talak menurut agama Islam hanya diberikan kepada pihak

suami saja (Sabiq, 1980: 15).Sahnya talak hanya ketika diucapkan oleh

pihak suami.Penjatuhan talak tersebut tidak memandang tempat dan

waktu. Berbeda dengan perempuan, pada prinsipnya perempuan berhak

untuk menuntut cerai suaminya jika sang suami dianggap tidak mampu

memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, namun gugatan

perceraian hanya dapat dilaksanakan melalui Pengadilan saja. Cerai seperti

ini dinamakan khulu‟ (cerai gugat). Menurut Sayyid Sabiq khulu‟ yaitu:

“istri yang menebus dirinya dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”.

Perceraian menimbulkan akibat hukum yang bermacam-macam,

dalam KHI pasal 149 disebutkan ada 4 (empat) butir ketentuan perkawinan

yang putus karena talak, yaitu suami berkewajiban: 1) memberikan

muth‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,

4

kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. 2) memberikannafkah,

maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas

istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila

qobla al dukhul. 4)memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang

belum mencapai umur 21 tahun.

Para pakar gender memandang ketentuan seperti ini masih bias

gender karena jika ditinjau dalam KHI pasal 119 yang berbunyi bahwa

talak yang dijatuhkan olehPengadilan Agama disamakan dengan talak

ba‟in yang berimplikasi bahwa perempuan yang mengajukan cerai tidak

dapat menerima nafkah iddah (Munti& Anisah 2005: 125). Nafkah iddah

adalah nafkah yang diberikan suami kepada istri yang diceraikan namun

masih dalam masa iddah.Masalah iwadh (tebusan dari pihak istri yang

meminta cerai kepada suami) dalam gugatan cerai yang diajukan oleh istri

juga dipandang tidak adil karena dalam masalah percerain antara suami

dan istri tidak mesti pihak istri yang melakukan kesalahan bahkan

biasanya suamilah yang tidak melakukan kewajibannya sebagai suami

sehingga sang istri memintai cerai. Ketidakadilan lainnya yaitu apabila

sang istri menggugat cerai maka seluruh biaya perceraian dibebankan

kepada pihak penggugat dalam hal ini adalah istri(Farida 2007: 33).

Meskipun istri yang menggugat suaminya, namun apabila pengadilan

mengabulkan gugatan istri, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan

adalah penjatuhan talak suami terhadap istri, dengan makna lain yaitu

5

meskipun pihak istri yang menggugat cerai secara simbolis bermakna

bahwa talak tetap berada dalam kuasa seorang suami yang istri sebagai

penerima (Munti& Anisah 2005: 78)

Melalui keprihatinan inilah para aktifis gender berupaya untuk

menyamakan hak antara suami dan istri yang mengajukan perceraian.

Salah satu penggiat gender adalah KH.Husein Muhammad yang dikenal

dengan Kyai Husein.Kyai Husein adalah salah satu dari beberapa tokoh

karismatik yang dimiliki oleh negeri ini. Kyai Husein merupakan salah

satu tokoh gender yanggagasan-gagasan pembaharuannya sangat brilian

dan diapresiasi oleh banyak kalangan khususnya dari kalangan yang

memperjuangkan kesetaraan gender.Meskipun hukum Indonesia telah

mengatur tata caracerai gugat, namun akibat hukum dari cerai gugat

berbeda dengan cerai talak. Kyai Husein juga berpendapat bahwa

sebenarnya produk hukum dalam UU No. 1 tahun 1997 dan KHI masih

terlihat bias gender. Aturan-aturan tersebut cenderung mendiskriminasikan

perempuan. Salah satunya yaitu tentag pembatasan umur nikah dalam

pasal 15 ayat 1 KHI, kemudian tentang nusyuz bagi perempuan dan lain

sebagainya (Muhammad,2016: 155). Perceraian yang dilandasi dengan

nusyuz (yang hanya dimiliki pihak perempuan) akan memberikan akibat

hukum yang berbeda dalam putusan Pengadilan. Keputusan seperti ini

dianggap para penggiat gender sebagai pendiskriminasian terhadap hak-

hak perempuan.

6

Sumbangsih Kyai Husein terhadap perjuangan kesetaraan gender

tidak dapat diragukan lagi terbukti dari posisi Kyai Husein yang menjabat

sebagai salah satu komisioner komnas perempuan hingga sebagai pendiri

beberapa LSM yang menangani isu-isu hak-hak perempuan. Latar

belakang Kyai Husein yang juga sebagai salah satu ulama juga menjadi

tolak ukur masyarakat dalam pengambilan fatwa yang beliau kemukakan.

Penulis tertarik untuk mengetahui tentang bagaimana pendapat

Kyai Husein tentang bagaimana hukum percerain di Indonesia. Oleh

karena itu penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “TELAAH

METODE PEMIKIRAN KH.HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP

KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI

INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah saya sampaikan di

atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah:

1. Bagaimana basis pemikiran KH. Husein Muhammad?

2. Bagaimana pemikiran KH. Husein Muhammad dan metode

pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di

Indonesia?

3. Bagaiamana relevansi hukum perceraian di Indonesiaterhadap

kesetaraan gender?

7

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap

kegiatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan

yang ingin dicapai. Adapun tujuan skripsi ini adalah:

1. Mengetahui basis pemikiran KH. Husein Muhammad.

2. Mengetahuipokok-pokok pemikiran dan metode pemikiran KH.

Husein Muhammad terhadap hukum perceraian di Indonesia.

3. Mengetahui relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap

kesetaraan gender.

D. Kegunaan penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan ini

diantaranya adalah:

1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran

tentang wacana keilmuan, terutama pengembangan wawasan mengenai

pemikiran tokoh gender terhadap hukum perceraian di Indonesia.

2) Secara praktis

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan,

dan pengalaman bagi peneliti mengenai produk pemikiran tokoh

gender yang berkaitan dengan hukum percerain di Indonesia.

8

b. Bagi Perempuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi para

perempuan tentang posisinya yang tidak selalu di bawah laki-laki.

c. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau

bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam merumuskan kembali

hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan perceraian di depan

Pengadilan Agama yang diajukan oleh perempuan.

E. Kerangka Teori

Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam memahami

topik penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan penegasan istilah

untuk beberapa kata yang terlihat masih abstrak, sehingga mempermudah

pemahaman selanjutnya.

1.Gender

Kata “gender” berasal dari bahasa Inggri gender yang berarti jenis

kelamin (Echols&Shadily, 2007: 332). Menurut Istibsyaroh seorang

pakar gender pengertian gender yang diartikan dengan jenis kelamin

tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan kata jender merupakan kosa

kata baru yang belum ada di dalam kamus Bahasa Indonesia. Mengutip

pendapat H.T. Wilson dalam bukunya Istibsyaroh yang berjudul Hak-

hak Perempuan Relasi Gender menurut Tafsir al Sya‟rawi, Nasruddin

Umar mengatakan bahwa:

9

“Gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan

sumbangsih laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan

kehidupan kolektif sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki

dan perempuan” (Istibsyaroh, 2004: 60).

Gender secara umum digunakan sebagai pengindentifikasian

terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan

budaya. Inilah yang membedakan makna gender dengan makna sex.

Sex dalam kamus Inggris-Indonesia dimaknai dengan jenis

kelamin.Sex cenderung dimaknai secara biologis yakni laki-laki

diciptakan secara kodrati sebagai seseorang yang bisa menghasilkan

sperma sedangkan perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusi

(Istibsyaroh, 2004: 62). Inti pengertian seks yaitu masing-masing

fungsi peranan yang tidak dapat digantikan antara laki-laki dan

perempuan. Sedangkan gender cenderung bermakna perbedaan laki-

laki dan perempuan dalam unsur sosial dan budaya. Pengaruh sosial

dan budaya yang berbeda menyebabkan perbedaan beban gender yang

berbeda dalam tatanan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat

(Umar, 1999: 37).

2. Perceraian

Perceraian dalam Bahasa Arab disebut dengan talak. Menurut

bahasa talak berasal dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau

meninggalkan. Menurut istilahnya yaitu atinya “melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan” (Sabiq, 1980: 7).

Adapun macam talak ada dua yaitu: talak raj‟i dan talak ba‟in.

Talak raj‟i yaitu talak yang diucapkan suami yang belum pernah

10

didahului oleh penjatuhan talak sebelumnya tau pernah satu kali

penjatuhan talak, adapun talak ba‟in terdiri dari dua macam yaitu

ba‟in shugro dan ba‟in kubro (Al-Fathi, 2010: 45). Konsekuensi dari

talak ba‟in sughro yaitu apabila masa iddah istri habis, namun baru

mengucapkan talak di bawah tiga kali dan suami ingin merujuknya

harus dengan syarat menggunakan akad nikah baru. Adapun ba‟in

kubro yaitu apabila suami telah mengucapkan talak tiga kali namun

ingin merujuk istrinya kembali, maka harus disertai dengan akad

nikah baru, namun disertai dengan syarat setelah sang istri menikah

dengan laki-laki lain dan telah berhubungan layaknya seorang istri

kemudian sang istri telah cerai dengan suami yang kedua. (Ibnu

Qosim, 2005: 48).

3. Hukum Perceraian di Indonesia

Indonesia merupakan sebuah Negara hukum di mana segala

sesuatunya diatur oleh hukum, tidak terkecuali dengan perceraian.

Percerian dalam UU Perkawinan tahun 1974 diatur dalam pasal 39

yang berbunyi: 1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan

perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak

akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Berbeda dengan ulama fiqh klasik , bahwa hak cerai hanya untuk

suami saja (Sabiq, 1980: 15) dan bisa dilakukan dimanapun dia

11

berada. Gugatan perceraian memang bisa diajukan oleh pihak istri,

namun harus dilakukan lewat Pengadilan Agama (Munti&Anisah

2005: 78).

F. Telaah Pustaka

Sesuai dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini, yakni

tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di Indonesia menurut

Kyai Husein, maka sangatlah penting untuk mengetahui dan melacak

penelitian atau tulisan yang hampir sama dengan tema yang penulis

angkat. Maka dari itu, penulis memaparkan telaah pustaka untuk

membedakan tulisan penulis dengan beberapa tulisan mengenai pemikiran

Kyai Husein yang telah ditulis oleh beberapa penulis sebelumnya.

Pertama, buku yang ditulis oleh Nuruzzaman, yang berjudul “Kiai

Husein Membela Perempuan” yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren

pada tahun 2004. Buku ini berisikan tentang kiprah dan perjuangan Kyai

Husein dalam memperjuangkan hak-hak perempuan berisi wacana

feminisme Kyai Husein di pesantren dengan berbagai pro dan kontranya.

Nuruzzaman melakukan wawancara langsung dengan Kyai Huseinuntuk

melengkapi tulisannya.

Kedua, skripsi karangan Suprapti Ragiliani yang berjudul

“Kesetaraan Gender dalam Paradigma Fiqh (Studi Pemikiran Husein

Muhammad)”, UIN Yogyakarta tahun 2014. Skripsi ini berisi tentang

12

pemikiran Kyai Husein dalam wacana gender terhadap paradigma Fiqh.

Metode yang digunakan dalam skripsi adalah metode Library Reseach.

Ketiga, skripsi karangan Ziadatun Ni‟mah yang berjudul “Wanita

Karir dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Pandangan KH. Husein

Muhammad), UIN Yogyakarta tahun 2009. Skripsi ini berisi tentang

wanita yang berkarir dalam keluarga ditinjau dalam tinjauan gender

menurut Kyai Husein. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah

Library Reseach.

Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa hasil karya tidak boleh

sama persis dengan hasil karya orang lain. Oleh karena itu penulis

mencoba mencari sesuatu yang patut untuk diteliti dan berbeda dengan

penelitian yang telah dihasilkan orang lain.

Pertama, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan bukunya

Nuruzzaman yaitu terletak pada focus penelitian. Buku karangan

Nuruzzaman berisi langsung tentang kiprah Kyai Husein dalam

memperjuangkan gender secara global, meskipun penulis dan Nuruzzaman

menggunakan metode yang sama yakni metode wawancara secara

langsung.

Kedua, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skripsi

Suprapti Ragiliani terletak pada fokus penelitian dan metode penelitian.

Penulis fokus pada hukum perceraian di Indonesia serta menggunakan

metode wawancara secara langsung, sedangkan Suprapti fokus pada

13

wacana gender dalam paradigma Fiqh serta menggunakan metode library

research. Meskipun subyek yang diteliti sama yakni Kyai Husein

Muhammad.

Ketiga, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skrisi

Ziadatun Ni‟mah hampir sama dengan perbedaan penelitian yang diteliti

oleh Suprapti Ragiliani, yaitu perbedaannya terletak pada fokus penelitian

dan metode yang digunakannya. Ziadatun Ni‟mah fokus pada penelitian

tentang wanita karir dalam tinjauan gender.

Ketiga karya tulis tersebut menggunakan subyek yang sama

dengan penulis dalam penelitiannya yaitu KH. Husein Muhammad, namun

yang menjadi perbedaanya antara satu sama lain yaitu terletak pada fokus

penelitian dan metode yang digunakan oleh masing-masing penulis.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan penulis gunakan adalah penelitian

lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap

objek yang dituju untuk mendapatkan data yang benar dan terpercaya

tentang pemikiran Kyai Husein tentang kesetaraan gender dalam

perceraian di Indonesia.

Penelitian ini bersifat kualitatif, maksudnya adalah prosedur

data penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

14

tertulis atau lisan dari orang yang pemikirannya diamati. Penelitian ini

dapat dikatakan yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu penulis

menganalisis dan menggambarkan penelitian secar obyektif dan detail

untuk mendapatkan hasil yang akurat (Margono, 1997: 36).

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan gender, dimana

pendekatan ini menggunakan pandangan kesetaraan kedudukan antara

kedudukan perempuan dan laki-laki dalam segi fungsinya bukan dari

segi jenis kelaminnya. Menurut beberapa tokoh gender salah satunya

yaitu Jill Steal, mengemukakan bahwa term gender tidak ditunjukan

dengan perbedaan biologis yakni jenis kelamin laki-laki dan

perempuan, namun lebih ditunjukan dengan hubungan ideologis

tentang eksistensi keduanya (Kadarusman, 2005: 20).

3. Kehadiran Peneliti

Melalui penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data.

Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi dengan subyek

penelitian dan melalukan wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas

lainnya demi memperoleh data yagng diperlukan dalam penelitian ini.

Peneliti terjun langsung kepada subyek penelitian, tanpa mewakilkan

kepada orang lain, supaya kegiatan yang berkaitan dengan menggali,

mengidentifikasi data informasi dapat diperoleh secara akurat.

15

4. Sumber Data

Pengumpulan data dilakukan dengan pada sumber data primer dan

data sekunder.

a. Data Primer menurut S. Nasution data primer adalah data yang

dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian.

Sedangkan menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan

tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan

dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data

ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang hukum

perceraian di Indonesai dalam perspektif gender. Data ini berupa

hasil wawancara dengan narasumber yang merupakan tokoh

gender, yaitu Kyai Husein dan pihak-pihak yang berkaitan dengan

Kyai Husein.

b. Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung dan data

yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada.

Data sekunder yang peneliti gunakan bersumber dari beberapa

buku yang berkaitan dengan penelitian dan dari dokumentasi.

H. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data kualitatif yang peneliti gunakan untuk

mengumpulkan data antara lain sebagai berikut:

16

a. Metode Wawancara

Wawancara yaitu suatu proses tanya jawab secara lisan di mana

dua orang atau lebih berhadapan secara langsung, antara keduanya atau

lebih bisa langsung melihat wajah satu dengan lainnya secara langsung

dan bisa mendengar suara responden dengan telinganya sendiri

(Sukansarrumidi, 2004: 88). Wawancara ini dilakukan kepada satu

subyek yaitu kepada K.H.Husein Muhammad. Melalui wawancara,

peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang

responden (Sugiyono, 2013: 231). Melalui wawancara peneliti akan

bertanya langsung mengenai hukum perceraian di Indonesia dalam

perspektif gender. Peneliti juga sempat melakukan wawancara

terhadap orang-orang terdekat Kyai Husein untuk mendapatkan

gambaran yang lebih luas tentang sosok Kyai Husein ini. Mulai dari

muridnya, santrinya, dan terhadap kerabatnya.

b. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi merupakan metode yang cukup mudah

dibanding dengan metode lainnya. Meskipun ada kekeliruan sumber

datanya masih tetap (Arikunto, 2010: 274). Dokumentasi bisa berbentuk

tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi

dan wawancara dalam penelitian kualitatif (Sugiyono, 2011:

17

240).Adapun karya-karya Kyai Husein selanjutnya akan penulis

kemukakan dalam biografinya.

I. Tahap-Tahap Penelitian

Penelitian kualitatif terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pra-lapangan,

tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data (Moleong, 2009: 127).

a. Tahap Pra-Lapangan

Tahap pra-lapangan adalah tahapan penelitian sebelum berada di

lapangan. Ada enam kegiatan yang harus dilakukan peneliti pada

tahapan ini. Tahapan ini perlu ditambahkan satu pertimbangan tahapan

lagi yaitu etika penelitian. Kegiatan tersebut antara lain: menyusun

rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan,

menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan,

dan menyiapkan perlengkapan penelitian. Tahap ini digunakan sebelum

peneliti melakukan penelitian yang sebenarnya. Kemudian peneliti

membuat rancangan kegiatan dan memilih salah satu lokasi untuk

dijadikan obyek penelitian.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahapan ini merupakan tahapan penelitian yang sebenarnya, di

mana peneliti terlibat secara langsung dalam proses penelitian dan

datang langsung di lokasi penelitian. Peneliti mencari informasi

tentang penelitian yang dilakukan dengan responden yang dituju.

18

Melakukan kegiatan ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang

sesuai fokus penelitian.

c. Tahap Analisis Data

Setelah semua data telah terkumpul, maka peneliti menganalisis

data yang sudah ada dengan teori-teori yang sudah ada, sehingga dapat

disimpulkan beberapa hasil penelitian, analisi data terdapat beberapa

alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu:

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data adalah kegiatan yang mengantisipasi

kegiatan sebelum melakukan penelitian ke lapangan.Peneltian

dirancang sehingga nanti mudah dalam menganalisis dan sebagai

bukti pada penelitian.

2. Reduksi data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan

perhatian data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.

3. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Melalui data kita akan memahami apa yang

sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan dalam mengambil

tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapatkan dari

penyajian tersebut.

19

4. Kesimpulan

Setelah melalui proses pengumpulan data, reduksi data,

penyajian data, kemudian menarik kesimpulan dari apa yang telah

dianalisis.

J. Sistematika Pembahasan

Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta

mempermudah pemahaman terhadap penulisan skripsi ini, maka penulisan

skripsi ini dikelompokan menjadi lima bab. Agar tidak terjadi kerancuan

dalam pembahasan ini maka antara bab satu dengan bab yang lainnya

harus saling berkaitan.

BAB I: Bagian ini merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan.

Pada bagian pertama iniakan dibahas bebrapa sub bahasan, yaitu:

latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan

sistematika pembahasan.

BAB II: Pada bab ini berisi tentang kajian teori tentang konsep kesetaraan

gender dalam Islam maupun kesetaraan gender dalam hukum

perceraian di Indonesia.

BAB III:Pembahasan pada bab ini berisi tentang biografi K.H.Husein

Muhammad .

20

BAB IV: Bab ini berisikan basis pemikiran KH. Husein Muhammad serta

pemikiran dan metodenya tentang hukum perceraian di Indonesia

serta relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan

gender.

BAB V: Bab ini merupakan kajian paling akhir dari skripsi ini, yang mana

pada bagian ini berisi kesimpulan peneliti dari seluruh

pembahasan yang telah dikemukan dalam skripsi dan saran

peneliti.

21

BAB II

KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PERCERAIAN

A. KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Kesetaraan berasal dari kata setara. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia kata setara berarti sejajar atau sama tingkatannya. Artinya

tidak ada perbedaan kedudukan dari salah satu pihak. Sedangkan

gender secara etimologi dari bahasa Inggris gender berarti jenis

kelamin (Echols&Shadily, 1983: 265). Kata gender dalam feminisme

pertama kali digaungkan oleh Anne Oakley sebagai upaya untuk

menghindari terjadinya kerancuan makna dalam kata sex dan gender

(Muslikhati, 2004: 19).

Gerakan feminisme lahir karena adanya problematika dalam

masyarakat yang memandang perempuan hanya dengan sebelah

mata.Sebelum Islam datang kita mengetahui masyarakat pra Islam

yang dinamakan masyarakat Jahiliyyah lewat bacaan-bacaan yang

tersedia. Masyarakat Jahiliyyah dikenal sebagai masyarakat yang

paling kejam terhadap perempuan, di mana setiap anak perempuan

yang baru lahir dikubur hidup-hidup karena mereka meyakini bahwa

anak perempuan hanya akan membawa aib bagi keluarga.

Tradisi Budha juga menganggap perempuan sebagai makhluk yang

kotor karena hanya bisa menggoda laki-laki saja yang ingin menjadi

22

suci, sehingga tidak ada satupun perempuan yang bisa menjadi

Dewa.Kaum Yahudi juga menempatkan perempuan hanya sebagai

pelayan, bahkan anak perempuan bisa dijual sendiri oleh ayahnya

(Muslikhati, 2004: 24).

Kesewenang-wenangan tersebut mulai menggerakkkan hati para

penggiat feminisme untuk menyuarakan suaranya tentang

ketidakadilan gender. Mulai dari sinilah istilah gender mulai gaung

terdengar. Wacana tentang gender sendiri mulai muncul di Indonesia

sekitar tahun 1980-an (Muhammad, 2016: 69). Namun menurut

Nuruzzaman yang mengutip dari buku “Politik Gender Orde Baru”

sebenarnya wacana feminisme sudah jauh muncul di Indonesia sejak

akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, zaman ini ditandai dengan

munculnya pemikiran-pemikiran R.A. Kartini. Menurut Baroroh

Baried kesadaran akan kesetaraan gender malahan sudah muncul sejak

tahun 1856 yang dimunculkan oleh Ratu Ternate yang bernama Siti

Aisyah W. Tanriolle (Nuruzzaman, 2005: 2).

Gender dalam beberapa buku diartikan sebagai perbedan fungsi

laki-laki dan perempuan bukan dipandang sebagai sebuah perbedaan

dalam hal biologis.K.H. MA. Sahal Mahfudz dalam kata pengantarnya

dalam buku yang berjudul Fiqh Perempuan karya K.H. Husein

Muhammad, mendefinisikan bahwa gender pada dasarnya perbedaan

antara laki-laki dan perempuan selain perbedaan biologis. Perbedaan

23

antara laki-laki dan perempuan yang didasari oleh konstruksi sosial

yang sifatnya bukan merupakan kodrat dari Tuhan, perbedaan ini

melalui proses sosial dan budaya yang lama.

Berbagai pro dan kontra bermunculan ketika wacana gender mulai

digaungkan. Banyak yang berpendapat bahwa gender merupakan

produk impor dari Barat bukan produk yang lahir dari ajaran agama

Islam yang dalam konteks keIndonesiaan fanatisme terhadap agama

masih sangat mengakar kuat saat itu. Wacana gender masuk kedunia

Islam bersamaan dengan masuknya budaya Eropa. Masuknya budaya

Eropa ke dalam Negara Islam membawa perubahan yang negatif bagi

kaum perempuan, namun perubahan tersebut lambat laun juga

membawa dampak perubahan yang positif bagi perubahan politik,

ekonomi dan kultural yang secara tidak langsung juga membawa

perubahan bagi pembebasan kaum perempuan dari pendiskriminasian

(Kadarusman, 2007: 61). Meskipun telah membawa kemajuan di sisi

lain bagi perkembangan dalam beberapa sektor, namun sentimentil

terhadap ajaran gender yang mengatasnamakan agama masih cukup

kuat saat itu.

Agama dan gender merupakan dua isu yang masih sering

diperdebatkan dalam dewasa ini. Bahkan para agamawan juga turut

meperdebatkan persoalan ini.Banyak ajaran agama yang masih tetap

mengajarkan bahwa posisi perempuan adalah sebagai pihak kelas dua

24

sedangkan laki-laki tetap pada posisinya di kelas pertama. Banyak

kitab-kitab yang masih melanggengkan ajaran-ajaran yang menurut

para ahli gender mengandung nilai-nilai diskrimanitif bahkan banyak

Hadits yang berisi tentang realitas-realitas yang masih bias gender.

Menurut salah satu tokoh gender, yaitu Kadarusman mengutip

perkataan Rita M. Gross bahwa sebenarnya seluruh ajaran agama

memperkuat eksistensi perempuan dalam berbagai hal, namun budaya

patriarkhi yang masih mengakar kuat sangat sulit untuk

menghilangkan budaya tersebut. Budaya patriarkhi merupakan budaya

yang menjunjung tinggi laki-laki dan menempatkan laki-laki dalam

kelas superior di mana laki-laki memegang penuh kendali atas kaum

perempuan (Kadarusman, 2005: 2).Kemudian muncul berbagai macam

pertanyaan bagaimana pandangan agama Islam sesungguhnya terhadap

kesetaraan gender.

Islam dalam ajarannya sangat menghargai perempuan terbukti dari

beberapa ayat-ayat Al Qur‟an menjelaskan tentang kedudukan

perempuan banyak hadits-hadits yang berisi tentang keunggulan

perempuan, bahkan banyak para pejuang-pejuang Islam dahulu banyak

yang berjenis kelamin perempuan.Islam sebagai agama yang rahmatal

lil „alaminyakni agama yang mengajarkan kedamaian dan agama

yangmemuat nilai-nilai kemanusiaandi dalamnya.

25

Tujuan dari sebuah agama adalah membimbing manusia agar

menjadi pribadi yang baik dalam segala aspek, baik aspek moral,

mental, fisik, spiritual, dan aspek sosial.Agama juga memberikan

seperangkat ajaran kepada manusia agar mengerjakan segala perbuatan

yang baik dan meninggalkan perbuatan yang tercela.Adanya anjuran

untuk berbuat baik dan larangan berbuat perbuatan yang tercela adalah

demi kebahagiaan dan ketentraman bagi umat manusia.Salah satu

aturan agama yang mendasar adalah keharusan untuk menghormati

orang lain tanpa membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin maupun

gender (Siti Musdah Mulia, 2011: 43).

Islam telah mengajarkan ajaran kesetaraan yang termuat dalam

kalimat Lailaha illallah.Kalimat tauhid tersebut mempunyai arti yang

sangat luhur. Tauhid merupakan inti ajaran dalam agama Islam yag

menuntun manusia dalam berketuhanan dan berkemanusiaan secara

benar. Ajaran tauhid tidak hanya dimaknai sebagai lafadz yang

mengesakan Tuhan semata namun harus diresapi secara penuh oleh

manusia bahwa Dzat yang mempunyai ke Esa an hanya Allah semata

dan kedudukan tertinggi hanya pada Allah saja. Pandangan bahwa

Allah lah dzat yang maha esa melahirkan pandangan bahwa tidak ada

makhluk lain yang menyamai kedudukannya pada akhirnya melahirkan

pandangan bahwa semua makhluk ciptaan Allah mempunyai

kedudukan yang setara.

26

Ajaran-ajaran yang terkandung dalam tauhid mempunyai misi

untuk membebaskan manusia, yakni membebaskan manusia secara

total, pembebasan secara terus menerus maupun secara

bertahap.Pembebasan dalam kemusyrikan dan kezaliman merupakan

pembebasan secara total.Pembebasan secara terus menerus yaitu

pembebasan dari Tuhan-Tuhan berhala yang dulu disembah oleh orang

kafir hingga Tuhan-Tuhan yang berwujud canggih seperti kekayaan,

status, jabatan yang dipuji-puji oleh manusia pada era

sekarang.Sedangkan pembebasan secara bertahap merupakan

pembebasan manusia dari sistem sosial yang tidak adil.Pembebasan

secara bertahap juga berlaku bagi perempuan.

Pada zaman jahiliyah perempuan dianggap sebagai barang yang

dapat diwariskan secara turun temurun kemudian Islam datang dan

memberlakukan perempuan sebagai subyek yang menerima warisan

bukan sebagai barang yang bisa diwariskan.Namun pembebasan

tersebut masih bersifat bertahap karena warisan yang diterima oleh

perempuan adalah separo dari laki-laki.Meskipun demikian

pembebasan tersebut sangat fantastis dibanding dengan ketentuan yang

ada pada zaman Jahiliyah (Mulia, Siti Musdah, 2011: 52).Tauhid juga

mengandung nilai-nilai keadilan.Keadilan ini juga berlaku bagi

perempuan.Perempuan setelah Islam datang memperoleh kedudukan

yang luhur. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan setelah Islam

27

datang memberikan angin segar bagi para perempuan untuk

menunjukkan eksistensi dirinya.

Mengutip dari disertasinya Nasaruddin Umar, Kadarusman

menjelaskan Al Qur‟an yang notabene sebagai pegangan umat hidup

manusia yang beragama Islam di dunia ini, telah memuat tentang

prinsip-prinsip kesetaraan gender. Lebih dijelaskan lagi bahwa al

Qur‟an memuat setidaknya lima prinsip kesetaraan yaitu kesetraan

sebagai hamba, kesetaraan sebagai wakil Allah di muka bumi, sama-

sama menerima perjanjian dari Tuhan, sama-sama terlibat dalam

drama kehidupan, dan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi

(Kadarusman, 2007: 64).

Menurut salah satu tokoh gender lainnya, yaitu Asghar Ali

Engineer mengungkapkan bahwa pada dasarnya Islam juga bermaksud

memberikan hak yang setara antara laki-laki dan perempuan.Namun

para fuqoha‟ masih tetap memegang kuat tradisi budaya lama dan

fanatisme terhadap ajaran yang mengajarkan bahwa laki-laki

merupakan pihak superior sedangkan perempuan sebagai pihak inferior

(Engineer, Asghar Ali, 2000: 194).

Demikianlah ajaran Islam yang bersumber kepada Al Qur‟an dan

Hadist berisi ajaran-ajaran tentang kesetaraan yang menolak paham

diskriminatif terhadap satu sama lain dan Islam merupakan agama

yang membawa perubahan yang besar bagi para perempuan dan

28

mengangkat derajatnya sehingga perempuan bukan hanya menjadi

obyek melainkan sebagai subyek.Namun pada praktiknya masih

banyak produk yang melegalkan tindakan diskriminasi bagi

perempuan di Indonesia yang mengatasnamakan ajaran agama.

Menurut Kyai Husein masih adanya pendiskriminasian terhadap

perempuan yang mengatasnamakan ajaran agama ini dipicu dari

metode ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur‟an.Pemahaman

yang berbeda-beda tentang teks Al Qur‟an menimbulkan berbagai

macam produk hukum (Muhammad,2016: 122).

Adanya pemahaman terhadap teks-teks Hadits yang berbeda pula

juga turut menimbulkan berbagai multi tafsir terhadap sebuah produk

hukum. Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Qadir, banyaknya literal-literal

dalam Hadits yang memandang rendah perempuan harus dilihat

konteks yang melatar belakangi munculnya Hadits tersebut. Teks-teks

Hadits tentang relasi perempuan dan laki-laki secara umum harus

dipahami sebagai gambaran sosio kultur dalam masyarakat Arab saat

itu. Teks-teks harus dipahami dengan logika historisnya untuk tujuan

keadilan dan kemaslahatan (Faqihuddin Abdul Qadir, 2011:

158).Dukungan dari budaya patriarkhi juga turut mewarnai corak

pemikiran para agamawan dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya yang

kemudian diambil sebagai rujukan hukum bagi masyarakat secara luas.

29

Pengukuhan ajaran-ajaran agama terhadap budaya patriarkhi

menjadi sebab munculnya tindakan diskriminatif terhadap perempuan.

Menurut Kadarusman persoalan pendiskriminasian terhadap gender

dipicu oleh dua faktor yaitu faktor sosiologis dan faktor teologis.Faktor

sosiologis dalam relasi gender dimaknai sebagai sebuah institusi sosial

yang teroganisir antara laki-laki dan perempuan yang meliputi

hubungan individu hingga hubungan institusi yang lebih besar seperti

kelas sosial hingga struktur pekerjaan. Faktor sosiologis ini merupakan

faktor yang dapat berubah sesuai dengan kondisi yang mempengaruhi

perubahan tersebut. Keadaan sosial yang memberikan pemahaman

bahwa perbedaan gender merupakan perbedaan yang telah ditakdirkan

oleh Allah SWT. menimbulkan asumsi bahwa perbedaan tersebut tidak

bisa diganggu gugat. Faktor teologis yaitu pengukuhan ajaran-ajaran

agama yang diwacanakan oleh para agamawan masih mengandung

nilai-nilai budaya patriarkhi.Penafsiran ayat-ayat Al Qur‟an yang

masih didominasi oleh kaum laki-laki memberikan pengaruh dalam

produk tafsiran ayat-ayat Al Qur‟an (Kadarusman, 2005: 5).

Hubungan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya dalam

Islam sudah diatur beberapa prisip kesejajarannya. Dr. Khoiruddin

Nasution mengelompokkan nash yang berbicara tentang keseteraan

gender, yaitu: 1) Statemen umum tentang kesetraan antara laki-laki dan

perempuan 2) Tentang asal-usul 3) Tentang amal perbuatan 4) Tentang

kasih sayang dan mencintai 5) Keadilan dan persamaan 6) Jaminan

30

social 7) Saling tolong menolong 8) Kesempatan yang sama dapat hal

mendapatkan pendidikan.

Adapun sebab terjadinya bias gender yaitu terjadi karena sepuluh

hal, yaitu: 1) Penggunaan studi Islam yang parsial 2) Belum adanya

pembedaan antar nash yang bersifat normative-universal dan nash

yang bersifat praktis-temporal 3) Terkesan adanya sejumlah nash yang

cenderung mendiskriminasikan perempuan sebagai akibat adanya tudi

Islam yang bersifat parsial 4) Budaya-budaya Muslim yang masuk

dalam ajaran Islam 5) Teologi laki-laki yang mendominasi dalam

memahami nash 6) Kajian Islam dengan pendekatan agama murni 7)

Proses generalisasi dalam pengambila hukum secara umum dari kaus

yang bersifat khusus 8) Mengambil hukum sebagai produk hukum dari

penetapan hukum berdasarkan Siyasah al-syar‟iyah 9)Kajian Islam

yang tekstual 10) Peran kekuasaan (Nasution, 2004: 166).

B. TEORI GERAKAN GENDER

Berbicara masalah gender tidak terlepas dari bahasan feminism

karena gerakan gender muncul berawal dari adanya gerakan feminism.

Berikut beberapa teori feminisme yang dikenal dunia:

1. Feminisme Liberal

Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Mary A Vindication

(1759-1799 M) dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of

Rights of Women (Nuruzzaman, 2005: 18).Teori ini berpendapat

31

bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum

ini menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual

atas dasar kesamaan keberadaannya bagi makhluk yang rasional

(Muslikhati, 2004: 32). Kaum feminis liberal mempunyai dua cara

untuk mencapai tujuannya, yaitu: pertama dengan pendekatan

psikologi atau pendekatan jiwa dengan cara membangkitkan

kesdaran individu akan adanya persamaan hak antara laki-laki dan

perempuan. Kedua dengan cara menuntut adanya pembaharuan

hukum yang cenderung merugikan perempuan diubah ke dalam

hukum yang cenderung menyamakan hak laki-laki dan perempuan

(Nuruzzaman, 2005: 20).

2. Feminisme Marxis

Landasan yang dipakai dalam teori ini adalah teori

konfliknya Karl Mark. Teori ini berpendapat bahwa adanya

ketimpangan hak laki-laki dan perepuan terjadi karena laki-laki

sebagai pengontrol produksi dan kaum laki-laki lah yang

mendominasi dalam hubungan sosio-politik sehingga perempuan

direduksi menjadi bagian kepemilikan atau sebagai barang

milik.Dari sinilah terjadi pembagian ruang antara laki-laki dan

perempuan, di mana laki-laki bekerja diluar sebagai pencari nafkah

dan perempuan hanya berada di rumah yang berfungsi sebagai

pengurus rumah tangga.Upaya yang dilakukan oleh kaum feminis

marxis yaitu selalu meletakkan isu-isu perempuan sebagai kritik

32

terhadap kaum kapitalis yang menyebabkan kaum perempuan

tertindas.Solusi yang ditawarkan oleh kaum feminis Marxis yaitu

adanya revolusi besar-besaran yang mampu memutuskan hubungan

dengan kapitalis internasional dan diganti dengan sistem sosialis

(Muslikhati, 2004: 34).

3. Feminis Radikal

Feminis radikal ini menolak adanya institusi keluarga.

Mereka mengganggap adanya keluarga hanya akan menjadikan

perempuan sebagai obyek kekerasan dari pihak laki-laki.

Feminisme radikal ini cenderung membenci laki-laki bahkan yang

lebih ekstrim lagi kelompok ini menjujung tinggi paham lesbi,

yaitu paham yang melegalkan hubungan sesama jenis lebih

khusunya sesama perempuan.Paham ini berkeyakinan bahwa

perempuan yang hidup dengan perempuan merupakan cirri

perempuan yang mandiri. Paham yang diajarkan yaitu adanya

pemisahan secara internal ataupun eksternal antara laki-laki dan

perempuan (Muslikhati, 2004: 36).

4. Feminis Sosialis

Gerakan feminis social lebih menitik beratkan pada

penyadaran bagi para perempuan akan hak-haknya. Teori yang

diajarkan adalah teori konflik, di mana dengan adanya penyadaran

tersebut, kaum perempuan akan bangkit emosinya dan secara

kelompok akan mampu mengadakan konflik langsung dengan

33

kaum laki-laki. Gerakan sosial ini tidak melulu memperjuangkan

kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya kaum

ini memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dan laki-laki

dalam sistem yang cenderung mendiskriminasikan perempuan.

Perjuangan kaum feminisme ini bukan sekedar meningkatkan

status perempuan atas laki-laki, namun sebatas memberdayakan

perempuan dengan cara meletakkan kembali posisi perempuan

yang sesuai dengan pola kekuasaan dan sumberdayanya masing-

masing (Nuruzzaman, 2005: 30).

C. HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA

Hukum merupakan seperangkat peraturan yang dibuat oleh

lembaga yang berwenang yang berisi tentang bagaimana seharusnya

manusia bersikap dalam pergaulannya yang berupa perintah, larangan

yang bersifat memaksa dan ajuran atau pembolehan yang disertai

dengan adanya sanksi (Farkhani, 2011: 31). Pengertian tersebut

mempunyai empat unsur, yaitu:

1. Adanya peraturan yang mengatur tingkah laku manusia.

2. Peraturan ini dikeluarkan oleh lembaga resmi.

3. Peraturan bersifat memaksa.

4. Adanya sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggarannya.

Sementara perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan

talak.Talak berarti melepas tali ikatan, yang di maksud disi adalah tali

pernikahan (Rasjid, 2004: 401). Perceraian dapat terjadi dengan cara

34

segala sesuatu yang bisa menyebabkan putuskan perceraian, baik

menggunakan kata-kata, atau dengan surat kepada istrinya, atau

dengan isyarat oleh orang yang bisa, atau bisa dengan mengirimkan

utusan. Menurut buku Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, ucapan

cerai terbagi menjadi dua, pertama yaitu cerai yang diungkankan

secara jelas atau sharih, talak yang jelas menggunakan tiga lafal yaitu

talak, firaq, dan siraah.Adapun talak yang diungkapkan dengan

sindiran atau talak kinayah dianggap sah jika disertai dengan niat

(Sabiq, 1980: 28).

Di Indonesia Undang-undang tentang perceraian diatur dalam

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan pelaksanaannya diatur diatur

dalam KHI Inpres No. 1 tahun 1991. Undang-undang tentang

Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk menjelaskan tentang aturan-

aturannya yang berbunyi “nikah yang dilakukan menurut agama Islam,

selanjutnya disebut nikah, didasari oleh pegawai pencatat nikah yang

diangkat oleh Mentri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk

olehnya”.Adapun talakdan rujuk juga harus diberitahukan kepada

pegawai pencatat nikah setelah mendapatkan putusan dari Pengadilan

Agama yang memutuskan (Sudarsono, 1994: 163).

Aturan-aturan dalam keluarga di Indonesia telah termuat dalam UU

Perkawinan tahun 1974 dan Kepres No. 1 tahun 1991 tentang KHI.

Latar belakang munculnya KHI di latar belakangi oleh banyaknya

35

tafsiran-tafsiran para hakim atas sebuah kasus. Pada awalnya

pemerintah mengesahkan UU Perkawinan tahun 1974, namun pada

praktiknya terutama di Pengadilan Agama pendapat para hakim sesuai

dengan kitab Fiqh masing-masing yang dijadikan sebagai rujukannya

yang banyak sekali macam kitabnya. Ketidakadaan standar baku

menimbulkan perbedaan keputusan para hakim atas sebuah kasus dan

ini jelas mengabaikan asas kepastian hukum. Oleh karena itu

Mahkamah Agung pada tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskannya

sebuah hukum yang baku sebagai landasan pijakan para hakim. Usulan

tersebut direalisasikan pada eranya Munawir Syadzali yang pada saat

itu menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1991 (Munti&Anisah,

2005: 17).

Proses penyusunan UU Perkawinan dan KHI berdasarkan pada

hukum normatif Islam yang ada di dalam kitab-kitab Fiqh. Materi-

materi-materi dalam UU Perkawinan maupun KHI diadopsi dari

materi-materi Fiqh klasik yang cenderung pada madzhab Imam Syafi‟i

(Muhammad, 2016: 154). Hukum-hukum tersebut bersifat mengikat

putusan-putusan para hakim untuk menetapkan sebuah putusan.Berikut

juga hukum tentang perceraian.

Menurut pasal 38 UU No.1 tahun 1974 “perkawinan dapat putus

karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”. Hal ini

menunjukkan adanya tiga faktor perceraian:

36

1. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk

memutus hubungan perkawinan antara mereka.

2. Peristiwa alamiyah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun,

yaitu kematian dari salah satu pihak suami ataupun istri.

3. Putusan dari Pengadilan yang berakibat putusnya hubungan

perkawinanan antara suami dan istri (Syaifuddin, Muhammad dkk,

2013: 16).

Menurut UU perkawinan pasal 39 UU Perkawinan No.1 tahun

1974 disebutkan bahwa ketentuan perceraian adalah:

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan

setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami dan istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.

3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam

peraturan perundang-undangan sendiri.

Adapun tata cara perceraian pasangan suami istri yang beragama

Islam melalui Pengadilan Agama yang telah diatur dalam KHI pasal

129–142. Berikut juga akibat putusnya perkawinan karena perceraian

juga diatur dalam UU perkawinan pasal 41.Adapun dalam KHI akibat

dari perceraian diatur lebih spesifik.Yakni dalam KHI pasal 149-152.

Pasal 149:

37

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

1. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa

uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.

2. Member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama

dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau

nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo

apabila qobla al dukhul.

4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun.

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istri yang masih

dalam masa iddah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak

menerimapinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya

kecuali ia nusyuz.

38

Perceraian dapat dilakukan jika memenuhi salah satu syarat yang

ada dalam KHI pasal 116 yaitu:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok berat,

pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun

berturur-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah

ataukarena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

seorang suami/istri.

f. Antara suami dan istri terus-menurus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagidalam

rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

D. KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI

INDONESIA

39

Ketentuan-ketentuan perceraian telah diatur dalam Undang-

Undang perkawinan yang pelaksanaannya telah diatur dalam KHI.

Pembuat hukum di Indonesia sebenarnya telah berupaya untuk

membuat aturan yang bersifat penghapusan pendiskriminasian

terhadap perempuan antara lain yaitu UU No. 7 tahun 1984 tentang

penghapusan segala bentuk diskriminasi bagi perempuan. Kemudian

muncul 29 kebijakan baru untuk memenuhi hak-hak perempuan,

penanganan dan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan.

Beberapa diantaranya yaitu UU Penghapusan kekerasan Rumah

Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang (PTPPO), UU Perlindungan Anak, UU Penempatan dan

Perlindungan TKI ke Luar Negeri (UU TKI ini berlaku bagi laki-laki

dan perempuan), UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006. Pada tahun

2000 juga dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres th. 2000) untuk

Pengarustamaan Gender (Muhammad, 2016: 130). Namun dalam

hukum perceraian di Indonesia aturan bagi kedua belah yang bercerai

yakni pihak suami maupun pihak istri masih banyak yang besifat

diskriminatif.

Menurut Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah seorang pakar

gender menyatakan bahwa, hukum perceraian di Indonesia masih

bersifat diskriminatif terbukti dari beberapa putusan yang masih

merugikan pihak perempuan. Rujukan yang dipakai oleh para hakim

Pengadilan Agama yang diambil dari beberapa rujukan salah satunya

40

yaitu dariUndang-Undang Perkawinan dan KHI yang proses

penyusunannya berdasarkan pada hukum normatif Islam sebagaimana

isinya seperti dalam kitab-kitab Fiqh (Muhammad, 2016: 154), yang

mana putusan masih dirasa berat sebelah bagi perempuan.Salah satu

produk putusan yang hingga kini tetap menjadi penetapan yaitu bunyi

amar putusan yang menyatakan bahwa perempuan yang mengajukan

perceraian, jika perceraian tersebut dikabulkan maka bunyi amar

putusannya tetap pihak suamilah yang menjatuhkan talak

kemudiantentang „iwadz.Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah juga

menganggap ketentuan seperti ini sebagai bentuk pendiskriminatifan

terhadap perempuan, karena perempuan yang menggugat cerai

suaminya yang melanggar ta‟lik talak diharuskan memberikan tebusan

atas pembebasannya tanpa terkecuali (Munti& Anisah, 2005: 85).

BAB III

KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM GENDER

A. Biografi K.H. Husein Muhammad

41

Kyai Husein lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di Cirebon dari

pasangan Ummu Salamah dan Muhammad Asyrofuddin. Ibunya adalah

seorang guru ngaji disebuah pesanteren yang didirikan oleh kakeknya,

sedangkan ayahnya merupakan seorang pegawai pemerintah

didaerahnya.Kyai Husein terlahir disebuah lingkungan yang kental nilai-

nilai ke-Islaman-nya. Kyai Husein dilahirkan disalah satu sudut komplek

pesantren yang didirikan oleh kakeknya sendiri dari garis keturunan

ibunya yang bernama K.H. Sanawi bin Abdullah bin Muhammad Salabi

pada tahun 1932. Kyai Husein mempunyai 8 saudara yang semuanya

menjadi kyai yang berpengaruh didaerahnya.

Saudara-saudara Kyai Husein yaitu Hasan Thuba Muhammad yang

menjadi pengasuh di pondok pesantren Raudlah at Thalibin di

Bojonegoro, Jawa Timur. Husein Muhammad menjadi salah seorang

pengasuh pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.

Ahsin Sakho Muhammad pengasuh pondok pesantren Darul Qur‟an di

Arjawinangun Cirebon.Ubaidah Muhammad pengasuh pondok pesantren

Lasem, Jawa Tengah.Mahsun Muhammad pengasuh pondok pesantren

Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.Azzah Nur Laila pengasuh

pondok pesantren HMQ Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.Salman

Muhammad pengasuh pondok pesantren tambak Beras, Jombang, Jawa

Timur.Faiqoh pengasuh pondok pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Setelah kakek Kyai Husein wafat pesantrennya kemudian diampu

oleh K.H. A. Syathori sampai tahun 1969.Pesantren ini kemudian hari

42

kita kenal dengan nama pesantren Dar At Tauhid. Pada mulanya

pesantren ini bernama al-Ma‟had al-Islami, kemudian setelah putranya

yang bernama K.H. Ibnu Ubaidillah pulang dari Makah al-Mukarromah

setelah menyelesaikan studinya, pesantren ini namanya diubah menjadi

Ma‟had Dar At-Tauhid al-„Alawa al-Islami, yang kemudian disederhakan

menjadi Ma‟had Dar At-Tauhid al-Islami. Pesantren ini pada awal

kemunculannya sudah dikenal sebagai pesantren yang berbeda dari

pesantren lainnya. Jauh sebelum di Indonesia ada pesantren yang

menggunakan sistem madrasi, pesantren ini telah mengamalkannya dan

sudah menggunakan kapur tulis sebagai medianya untuk menulis ayat-

ayat Al Qur‟an dan kemudian dihapus yang mana debunya berceceran

dan oleh sebagian ulama ini dianggap sebagai bentuk penghinaan

terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Format pendidikan seperti ini menuai

banyak kecaman dari berbagai pihak, namun berkat kekuatan

argumentasi yang disampaikan oleh Kyai Syathori akhirnya mereka

menerima cara pendidikan seperti itu (Nuruzzaman, 205: 108).

B. Pendidikan Kyai Husein

Kyai Husein mengenyam pendidikan agama sejak kecil, selain

pendidikan formal beliau juga mengenyam pendidikan sekolah di

madrasah diniyah.Kyai Husein pertama kali belajar membaca Al-Quran

dengan Kyai Mahmud Toha dan kepada kakeknya sendiri. Kyai Husein

menyelesaikan pendidikan formal di sekolah dasar pada tahun 1966

43

kemudian beliau melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, kemudian

setelah lulus Kyai Husein melanjutkan pendidikannya di pesantren

Lirboyo di daerah Kediri Jawa Timur selama tiga tahun. Kemudian

beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Perguruan Tinggi

Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta selama lima tahun. Selama Kyai Husein

kuliah beliau terlibat aktif diberbagai organisasi, bahkan beliau pernah

menjabat sebagai ketua 1 Dewan Mahasiswa pada tahun 1979.Kyai

Husein juga menjadi salah satu pelopor berdirinya PMII Rayon Kebyoran

Lama (Nuruzzaman, 2005: 113).

Tahun 1980 Kyai Husein melanjutkan pendidikan ke Universitas

Al Azhar Mesir, dikarenakan ijazah sarjanannya belum bisa digunakan

untuk melanjutkan S2nya dengan alasan ijazahnya belum disamakan,

maka Kyai Husein belajar dengan sejumlah syaikh di Majma‟ al-Buhuts

al-Islamiyah milik Universitas Al-Azhar.Secara formal di institusi ini

Kyai Husein belajar di Dirasat Khashshah (Arabic Special

Studies).melalui institusi inilah Kyai Husein berkenalan dengan

pemikiran-pemikiran Islam modern yang dikembangkan oleh

Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Muhammad Iqbal dan lainnya.

Kyai Husein juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat seperti

Sratre, Goethe dan lainnya (Nuruzzaman, 2005: 6).

C. Karya-karya Kyai Husein

Kyai Husein tercatat sebagai penulis yang handal terbukti dari

beberapa karya beliau yang sudah lebih dari 10 buku yang telah beredar

44

dimasyarakat. Bagi Kyai Husein menulis adalah sebuah keharusan,

seperti yang dituturkan Kyai Husein dalam sebuah kesempatan ketika

penulis turut serta mengikuti kajian yang diampu Kyai Husein secara

langsung:

“kematian adalah hal yang tidak kutakutkan, karena dia pasti.

Yang aku takutkan adalah ketika aku tidak bisa meninggalkan

sesuatu yang membuatku hidup selamanya, yaitu sebuah karya

yang bermanfaat bagi orang lain”

Maka dari itu Kyai Husein tdak pernah berhenti untuk terus

berkarya.Salah satu karya Kyai Huseinyang digunakan sebagai bahan

rujukan para aktivis perempuan yaitu “Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai

atas Wacana Gender”, karyanya yang lain yaitu “Islam Agama Ramah

Perempuan”, “Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan

Gender”, “Dawrah Fiqh Perempuan” (modul pelatihan), “Fiqh

Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”, “Mengaji Pluralisme Kepada Maha

Guru Pencerahan”, “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”,

“Menyusuri Jalan Cahaya”, dan buku terbaru beliau yaitu yang berjudul

“Perempuan, Islam & Negara” yang baru diterbitkat pada tahun 2016 ini

(Muhammad, 2016: 319).

Pada tahun 2003, Kyai Husein mendapatkan penghargaan dari

Bupati Kabupaten Cirebon sebagai tokoh Penggerak, Pembina, dan

pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan. Pada tahun 2006 Kyai

Husein juga menenerima penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat

sebagai “Heroes To End Modern-Day Slavery”. Nama Kyai Husein juga

45

tercatat dalam “The 500 Moslem Influential Muslims” yang diterbitkan

oleh Royal Islamic Strategic Center sejak tahun 2010.

D. Keterlibatan Kyai Husein dalam Gerakan Gender

Sekitar tahun 1989 Kyai Husein sudah aktif dipertemuan halaqah

para kyai-kyai yang membahas tentang ilmu-ilmu Islam di pesantren,

kemudian Kyai Husein diundang untuk mengikuti pelatihan Islam dan

gender. Awalnya Kyai Husein menolak pemikiran-pemikiran gender

karena latar belakangnya yang masih kental dengan pesantren yang

masih memegang teguh ajaran-ajaran kitab kuning, namun seiring waktu

dan berkali-kali diskusi dengan para tokoh gender, yang diantaranya

adalah Masdar Farid Masdu‟i dan kawan-kawan yang ketika itu menjadi

direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat).

Masdar sering mengajak Kyai Husein dalam berbagai seminar

yang berbau tentang gender lambat laun pemikiran Kyai Husein mulai

terbuka untuk menerima pemikiran tentang gender, kemudian Kyai

Husein mencari referensi-referensi tentang teks-teks Al Qur‟an, Hadist,

maupun kitab-kitab Fiqh yang tidak bias gender, pada mulanya Kyai

Husein kesulitan namun setelah banyak memhami isi kandungan dari

teks-teks tersebut Kyai Husein tambah yakin akan pemikiran-

pemikirannya tentang gender dan mulai giat mengkampanyekan isu-isu

gender (wawancara 10 Juni 2016).

Kyai Husein dikenal sebagai Kyai Feminis, karena banyaknya

perhatian Kyai Husein terhadap isu-isu gender yang bermunculan. Hal ini

46

menunjukan bahwa pesantren juga membawa angin segar bagi kaum

feminis di Indonesia dan menunjukkan betapa besarnya perhatian dan

peran para ulama bagi kaum perempuan.

Suami dari Lilik Nihayah Fuadi ini yang telah dikaruniai 5 orang

buah hati yang bernama Hilya Aulia, Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz

Mumtaz, Najlah Hammada, Fazla Muhamad dan satu orang cucu ini juga

berperan sebagai pendiri beberapa LSM yang memperhatikan isu-isu

tentang perempuan. Sekitar tahun 2000, Kyai Husein mendirikan LSM

bersama dengan beberapa tokoh gender.Salah satu LSM yang Kyai

Husein dirikan bernama Rahima.Lembaga ini memusatkan kerjanya pada

pendidikan, pelatihan, dan pusat informasi Islam dan hak-hak

perempuan.

Rahima juga memfasilitasi tumbuhnya jaringan-jaringan di

pesantren-pesantren untuk sosialisasi program keadilan dan kesetaraan

gender. Lembaga ini berhasil menerbitkan buku karangan Kyai Husein

yang berjudul Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Agama dan Jender,

kemudian pada tahun yang sama Kyai Husein juga mendirikan sebuah

LSM bersama teman-temannya yang diberi nama Puan Amal Hayati

yang sekarang dipimpin oleh Ibu Nyai Shinta Nuriyah , istri almarhum

Gus Dur. Puan sendiri merupakan kependekan dari Pesantren untuk

Pemberdayaan Perempuan, selain melakukan pelatihan dan sosialisasi

tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan, lembaga ini juga

mempelajari dan mengkaji secara kritis kitab karangan Syekh Nawawi al-

47

Bantaniy yang berjudul „Uqud al Lujain fi Bayan Huquq al Zaujain yakni

kitab yang berisi tentang kewajiban dan hak-hak suami dan istri menurut

Fiqih sufistik.

Pada tahun 2001 Kyai Husein mendirikan lagi sebuah LSM yang

bernama Fahmina Institut.Fahmina Institut memfasilitasi keberdayaan

dan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas.Fahmina juga

menggelar program penghapusan trafficking perempuan dan anak, dan

juga menyelenggarakan pendidikan perempuan ulama pada tahun 2005.

Fahmina Institut juga pernah menyelenggarakan kursus Islam dan gender

bagi para aktivis perempuan non-pesantren se-Indonesia dan juga pernah

menerima beberapa kali kunjungan dari para aktivis perempuan dari Asia

Selatan. Fahmina juga bekerjasama dengan beberapa pihak dalam

penerbitan bulletin tentang isu-isu perempuan. Kehadiran Fahmina juga

banyak menggugah kesadaran masyarakat akan adanya ketimpangan

relasi sosial dalam masyarakat (Muhammad,2016: 91).

E. Pengalaman Organisasi

Berikut ini kumpulan beberapa aktivitas organisasi Kyai husein:

1. Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ tahun 1978-1979.

2. Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Kairo Mesir 1982-

1983.

3. Sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Kairo-Mesir 1982-

1983.

4. Pendiri Fahmina Institute, Cirebon.

48

5. Pelopor PMII Rayon Kebayoran Lama.

6. Pengasuh Pondok Pesantren Dar At-Tauhid.

7. Anggota Dewan Syuro DPP PKB 2001-2005.

8. Ketua Dewan Tahfidz PKB Kabupaten Cirebon tahun 1999-2002.

9. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon tahun 1999-2005.

10. Ketua umum Yayasan Wali Songo tahun 1996-2005.

11. Ketua 1 Yayasan Peasantern Dar At-Tauhid tahun 1984-sekarang.

12. Wakil Rois Syuriyah NU Cabang Kab. Cirebon 1989-2001.

13. Sekjend RMI (Rabithoh Ma‟had Islamiyah) Jawa Barat tahun

1994-1999.

14. Pengurus PP RMI tahun 1989-1999.

15. Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan Amal Hayati, Jakarta tahun

2000-sekarang.

16. Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA, Jakarta tahun

2000-sekarang.

17. Ketua Umum DKM Masjid Jami‟ Fadhlulloh, Arjawinangun tahun

1998-sekarang.

18. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara berlokasi di Arjawinangun

tahun 1989-sekarang.

19. Kepala SMU Ma‟arif Arjawinangun 2001.

20. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Arjawinangun 1996.

21. Ketua Kopontren Dar At-Tauhid 1994-sekarang.

49

22. Ketua Departemen Kajian Filsafat dan Pemikiran ICMI Orsat

Kabupaten Cirebon tahun 1994-2000.

23. Ketua I Badan Koordinator TKA-TPA Wilayah III Cirebon tahun

1992-sekarang.

24. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Dwibulanan “Swara

Rahima”, Jakarta tahun 2001.

25. Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan “Puan Amal Hayati”, Jakarta

tahun 2001.

26. Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-hak Perempuan, Cirebon

tahun 2002.

27. Konsultan /Staf ahli Kajian Fiqh Siyasah dan Perempuan.

28. Anggota National Broad of Internasioanal Center for Islam and

Pluralism, Jakarta tahun 2003.

29. Dewan Penasehat dan Pendiri KPPI (Koalisi Perempuan Partai

Politik Indonesia) di Kabupaten Cirebon, tahun 2004.

30. Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarian on Population

and Development, 2003.

31. Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014.

32. Pendiri Lintas Iman (forum Sabtuan), Cirebon tahun 2000-sekarang

(Nuruzzaman, 2005: 124).

Kyai Husein selain aktifis dalam beberapa kegiatan organisasi yang

bergerak dalam ranah gender,Kyai Husein juga merupakan sosok seorang

guru, kyai, dan seorang paman yang penuh perhatian dan tidak segan

50

membagi ilmunya dengan tulus iklas kepada mereka.Hal ini dituturkan

oleh salah satu muridnya di Fahmina Institut yang bernama Zainal

Abidin. Zainal Abidinberpendapat bahwa Kyai Husein merupakan sosok

guru yang sangat perhatian dan merupakan sosok kyai yang out of the

box, yaitu seorang kyai yang dengan keteguhan pemikirannya berani

berbeda dengan kyai-kyai pada umumnya. Terutama tentang isu-isu

kemanusian, keadilan, pluralism, dan gender. Salah satu santrinya yang

bernamambak Qona‟ahjuga berpendapat bahwa Kyai Husein merupakan

sosok yang dekat dengan santrinya tanpa memposisikan diri beliau

sebagai seorang kyai melainkan sebagai seorang sahabat. Dalam berbagai

kajian kitab, Kyai Husein juga selalu menyelinginya dengan isu-isu

gender meskipun di dalam kitab tidak memuat bahasan gender secara

eksplisit. Menurut salah satu keponakannya yang bernama Gus Hasan

juga mengungkapkan selain menjadi paman, Kyai Husein juga

merupakan sosok guru dalam hidupnya.Kyai Husein merupakan sosok

cendekiawan muslim yang alim dan berwawasan luas.Pandangan Fiqh

Kyai Husein juga sangat progress dan tidak terpaku pada produk-produk

Fiqh yang telah ada.

BAB IV

PEMIKIRAN KYAI HUSEIN TENTANG KESETARAAN

GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA

A. Basis pemikiran Kyai Husein

51

Basis pemikiran Kyai Husein yaitu keterbukaan untuk menerima

segala sesuatu dari manusia. Menurut Kyai Husein segala ilmu yang baik

itu berasal dari Allah SWT, seluruh hikmah kebijaksanaan dari siapapun

sebenarnya itu merupakan hikmah dari Allah tanpa memandang keluarnya

dari siapapun meskipun berbeda ras, suku bahkan berbeda agama, jika itu

baik maka selayaknya untuk diapresiasi. Banyaknya perdebatan tentang

gender disinyalir karena melihat darimana gender itu berasal dan siapa

yang mencetuskan gender pertama kali. Kyai Husein tidak

mempermasalahkan hal ini, selama hal ini baik dan membawa

kemaslahatan bagi semua ummat bagi itu tetap mengandung hikmah bagi

kehidupan manusia (wawancara, 12 Juni 2016).

Basis pemikiran Kyai Husein yang lain yaitu beliau memahami tauhid

sebagai manifestasi terhadap penghargaan terhadap hak-hak manusia.

Manusia apapun latar belakangnya, dari manapun dia berasal pada

ujungnya berasal dari sumber yang satu yakni merupakan ciptaan Allah

SWT.Tidak ada perbedaan kedudukan antara manusia satu dengan yang

lainnya, antara laki-laki dan perempuan karena kedudukan tertinggi hanya

ada pada Allah SWT (wawancara, 12 Juni 2016).

Selanjutnya Kyai Husein menjabarkan lafadz tauhid menjadi

perkalimat.Kalimat la ilaha bersifat penafian terhadap hal yang disembah.

Termasuk dalam hal mengagungkan dirinya sendiri, karena pengagungan

terhadap diri sendiri adalah hal yang dilarang dalam agama yang justru

52

akan menyesatkan manusia. Kemudian lafadz illallah hanya Allah lah

satu-satunya Dzat yang memiliki kebesaran.Kesimpulan dari lafadz

lailahaillah merupakan bentuk kebebasan diri manusia dari sifat-sifat

egoisme atau sifat individualisme. Jika manusia dibiarkan hidup dalam

keinginan pribadinya maka manusia yang kuat akan cenderung

mengeksploitasi manusia yang lemah, perempuan yang dianggap lemah

akan cenderung selalu ditindas kaum laki-laki yang dianggap sebagai

pihak yang berkuasa (Nuruzzaman, 2005: 157).

Kyai Husein juga menjunjung tinggi demokrasi dan Hak Asasi

Manusia (Nuruzzaman, 2005: 152). Menurut Kyai Husein Hak Asasi

Manusia adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang

lain. Hak Asasi Manusia sendiri mulai diperkenalkan pada tanggal 10

Desember 1948 yang ditandai dengan adanya deklarasi dari PBB. Namun

dalam buku lain tentang HAM disebutkan, bahwa sejak zaman Yunani

kuno sudah mulai diungkapkan tentang pemikiran HAM (Effendi&

Taufani,2007: 1). Islam sendiri telah mengenal HAM sejak zaman

Rasululloh yang kemudian menjadi dasar dalam perumusan HAM

Universal, seperti yang termuat dalam pidato Rasulullah dalam pidatonya

yang disampaikan ketika haji Wada‟ “hai manusia, sesungguhnya

darahmu (hidupmu)), hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci

hari ini di bulan ini dan di negeri ini sampai kamu bertemu dngan

Tuhanmu di hari Kiamat”. Kata darahmu, hartamu, dan kehormatanmu

kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris life, property, dan

53

dignityyang merupakan prinsip dalam HAM (Muhammad, Husein, 2016:

111).

Pada zaman Rasulullah pun kita telah mengenal istilah Piagam

Madinah.Piagam tersebut merupakan perjanjian antara orang Mukmin

dengan orang-orang non-Muslim yang berada di Madinah.Piagam tersebut

terdiri dari 47 pasal, yang mana diantara isinya memuat tentang

penjaminan keselamatan antar kedua belah pihak.Dalam

perkembangannya kemudian muncullah deklarasi Kairo pada tahun 1990

yang popular menjadi deklarasi Hak Asasi Islam yang ditujukan untuk

anggota Organisasi Konferensi Islam (Muhammad, 2016: 115). Manusia

mempunyai hak untuk dirinya sendiri yang lepas dari orang lain. Namun

karena manusia ditakdirkan sebagai mahluk sosial maka hak tersebut

tentunya tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain juga.

Istilah HAM sebenarnya merupakan istilah yang lahir di Barat.Tetapi

dalam akhir-akhir ini dunia Islam menyebut Hak Asasi Manusia Universal

sebagai "al huquq al insaniyah al-asasiyah al-alamiyah”. Menurut Abed

al-Jabiri yang dikutip oleh Kyai Husein kata al-Alamiyah bermakna

universal, yakni berlaku bagi siapapun tanpa dibatasi ruang dan waktu.

HAM merupakan hak setiap manusia karena melekat pada diri manusia itu

sendiri. Deklarasi Universak hak Asasi Manusi memuat 30 pasal yang

menerangkan hak-hak yang dimiliki manusia, berikut slah satu dari

beberapa pasal yang termuat dalam DUHAM:

54

1. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunya martabat dan hak

yang sama. Mereka dianugrahi akal dan budi nurani dan hendaknya satu

sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan.

2. Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang

termaktub dalam pernyataan ini, tanpa kekecualian semacam apapun,

seperti asal-usul, keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,

pendirian politik atau pendirian lainnya atau asal-usul, kebangsaan atau

asal-usul sosial, hak milik, status kelahiran, ataupun status lainnya.

3. Setiap orang berhak hidup, berhak atas kebebasan, dan keamanan diri

pribadinya.

4. Tak seorangpun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang aniaya atau

kejam yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat.

Pasal-pasal yang terdapat dalam DUHAM tersebut terdapat dua hal

yang paling mendasar dan menjadi akar dari HAM yaitu, kesetaraan dan

kebebasan (Muhammad, 2016: 109).Kebebasan merupakan penghargaan

dari Tuhan untuk hamba-Nya sebagai wujud anugrah akal dan pikiran

manusia. Menurut Kyai Husein Muhammad kebebasan dalam konteks

individual yakni tidak ada satu orang pun yang bisa membatasi aktifitas

pemikiran seseorang meliputi pilihan hidup maupun keyakinan. Keyakinan

merupakan anugrah dari Tuhan dan hanya Tuhan yang memilikinya.

Namun Kyai Husein juga membuat batasan yakni jika berkaitan dengan

orang lain kebebasan seseorang untuk menyampaikan maupun

mengekspresikan pikiran, gagasan ataupun tindakan tidak bersifat

55

absolute, yaitu kebebasan tersebut jangan sampai bersinggungan dengan

hak-hak orang lain (Muhammad, 2016: 113).

B. Pemikiran Kyai Husein dalam Hukum Perceraian di Indonesia

Perempuan adalah seorang makhluk yang mempunyai kedudukan

istimewa menurut Allah dan Rasulullah, sebagaimana disebutkankan

dalam beberapa ayat dalam Al-Quran. Salah satu buktinya yaitu surat

dalam Al Qur‟an yang bernama seorang perempuan. Namun pada

kenyataannya, seiring perkembangan zaman dan mengakar kuatnya

budaya patrirkhi di sebagian besar belahan dunia menyebabkan kedudukan

perempuan semakin tergerus dan termajinalkan. Perempuan hanya

dianggap sebagai konco wingking oleh sebagian kaum. Perempuan hanya

mempunyai kedudukan sebagai ibu rumah tangga, dan kedudukan kepala

rumah tangga tetap pada kendali seorang suami.

Menempatkan perempuan dalam wilayah domestik juga merupakan

bentuk pendiskriminasian terhadap perempuan dan sebagai bentuk

pembatasan ataupun pengucilan yang tanpa disadari akan menciptakan

kemiskinan dan pembodohan bagi perempuan yang juga merupakan

kemiskinan dan pembodohan bagi masyarakat bangsa. Banyak sekali

tindakan kekerasan yang dialami oleh perempuan, banyaknya kasus-kasus

KDRT yang terjadi di negara ini.

Menurut Kyai Husein, kekerasan yang dialami oleh perempuan

disinyalir karena adanya ketimpangan kekuasaan relasi antara laki-laki dan

56

perempuan. Laki-laki dan perempuan diletakan tidak sederajat laki-laki

dietakkan sebagai penguasa yang menguasai perempuan.Inilah yang

membuat terjadinya tindakan kekerasan pada perempuan.Perempuan

diletakkan sebagai makhluk nomor dua yang mana rentan terhadap

kekerasan dari pihak laki-laki yang dianggap sebagai makhluk nomor satu.

Melihat kenyataan ini muncullah beberapa aktivis gender yang ingin

menyingkirkan ketidakadilan tersebut, salah satu aktifis gender yang giat

mengkampanyekan pemikiran-pemikiran gender yaitu Kyai Husein. Kyai

Husein berpendapat bahwa dalam beberapa hal perempuan dan laki-laki

mempunyai kedudukan yang sama. Adanya kesenjangan dalam idealitas

agama dan fakta sosial yang harus disikapi dengan bijak.Idealisme agama

memberikan peran dan aktualisasi terhadap kesetaraan antara perempuan

dan laki-laki, namun realita sosial justru membatasinya.

Meskipun banyak aktivis gender bermunculan pada akhir-akhir ini,

namun masih banyak juga orang yang menolak ide kesetaraan gender yang

dikuatkan dengan salah satu dalil dalam al-Qur‟an surat al-Nisa‟ ayat 34,

yang telah diterjemahkan menurut versi Kementrian Agama RI: “kaum

laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah

melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain

(perempuan, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian

dari harta mereka”.

57

Kyai Husein kemudian mengkritisi terjemahan ayat ini menjadi tiga

bagian, yakni: pertama dilihat dari asbabun nuzul ayat ini mendiskripsikan

situasi sosial dan budaya Arabia pada abad ke-7, di mana budaya pada saat

ini masih menganut sistem patriarkhis yang kuat. Jadi ayat ini bukan

bersifat universal yang berlaku bagi seluruh umat Islam di dunia.Kedua,

ayat ini menyebutkan dua alasan mengapa terjadi kesenjangan antara

kedudukan laki-laki dan perempuan, yakni karena laki-laki mempunyai

keunggulan atas perempuan dan karena laki-laki secara fungsional

bertanggung jawab atas kebutuhan perempuan.Ayat tersebut juga tidak

menyebutkan secara eksplisit makna dari keunggulan tersebut.Ketiga, ayat

ini menyebutkan lafal “ba‟dhakum „ala ba‟dh” (sebagian atas sebagian),

ini memberikan arti bahwa keunggulan laki-laki terhadap perempuan

bersifat abstrak atau tidak bersifat mutlak (Muhammad, 2016:

241).Banyak perempuan zaman sekarang menjadi pemimipin dalam

berbagai instansi pemerintah maupun non-pemerintah.Hal ini

menunjukkan bahwa perempuan juga mempunyai kelebihan dibandingkan

dengan laki-laki dalam ranah publik.

Kyai Khusein selalu memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan karena menurut beliau kesetaraan akan membawa

kemaslahatan bagi kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki dan

perempuan. Pendiskriminasian terhadap jenis kelamin hanya akan

melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan pengabaian terhadap hak-hak

manusia. Mendiskriminasikan hak-hak perempuan sama juga melanggar

58

hak-hak asasi manusia karena perempuan juga manusia. Menurut Kyai

Khusein perempuan harus dilindungi karena dialah sumber dari generasi

kedapannya, jika perempuan dalam keadaan baik, tidak mengalami

tindakan kekerasan, tidak tersakiti jasmani maupun psikologinya, maka

akan tercetak generasi-generasi yang baik pula.

Perlakuan-perlakuan yang diskrimatif jika diteruskan maka akan

cenderung merugikan salah satu pihak dan tujuan agama Islam sebagai

agama yang rohmatan lil alamin tidak akan terwujud. Agama Islam dan

agama-agama lainnya dihadirkan oleh Tuhan sebagai agama yang

membawa berkah bagi seluruh umat yang ada di bumi, yang bertujuan

untuk menghapus segala dikriminasi di muka bumi ini, yang berupa

pembebasan terhadap ketidakadilan berupa apapun, baik berupa perbedaan

ras, suku, warna kulit, keyakinan, gender maupun yang lainnya. Hal ini

senada dengan bunyi deklarasi HAM yang dikenal dengan istilah

DUHAM, adapun bunyi pasal 1 DUHAM yaitu “semua manusia bebas dan

dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama” (Hardiman, 2011:

43).

Sangat aneh jika agama Islam mendukung akan adanya tindakan

kekerasan dan diskrimasi terhadap salah satu pihak. Namun kenyataannya

budaya patriarkhi yang melekat pada masyarakat sangat sulit untuk

dihilangkan.Pada tataran realita sosial perempuan masih diletakkan dalam

ranah makhluk dometik saja, perempuan hanya berkutat dalam seputar

59

urusan rumah tangga saja.Kewajiban utama perempuan hanya seputar

mengasuh dan mendidik anak dan urusan rumah tangga lainnya, terutama

melayani suami.Hal ini diperparah dengan adanya dukungan dari sebagian

para ulama yang mendukung adanya sikap herois atau yang meletakkan

laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa atas perempuan dan didukung

dengan teks-teks Al Qur‟an untuk memperkuat dalilnya.

Sebenarnya dalam permasalahan gender ini, ulama terbagi menjadi dua

kelompok, yaitu kelompok yang mendukung adanya persamaan gender

dan kelompok yang kedua yaitu kelompok yang menentang adanya

persamaan gender.Kelompok yang pertama mengatakan bahwa posisi

perempuan memang sudah ditakdirkan untuk menjadi makhluk kelas dua,

hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan harus dibedakan dan tidak bisa

digantikan dalam bentuk apapun.Pada intinya perempuan mempunyai hak

separoh atas laki-laki karena ini sudah tercantum dalam Al Qur‟an dan

Hadits.Persamaan laki-laki dan perempuan dianggap sebagai bentuk

penentangan terhadap hukum Tuhan.Aliran ini disebut sebagai aliran

konservatif. Sedangkan aliran yang kedua disebut sebagai aliran progresif,

yang mana aliran ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai kedudukan yang sama. Perempuan juga memiliki potensi yang

sama dengan laki-laki.

Dua aliran juga juga sama-sama mempunyai dalil-dalil yang sama dari

Al Qur‟an dan Hadits untuk memperkuat argumennya. Perbedaan cara

60

pandang para ulama ini terjadi akibat perbedaan cara memahami teks-teks

dalam Al Qur‟an dan Hadits. Cara memahami teks dalam tradisi agama

Islam dibagi menjadi dua yaitu dengan cara Tafsir dan Ta‟wil. Tafsir lebih

berkaitan dengan riwayat atau infirmasi dari bunyi-bunyi teks tersebut

sedangkan Ta‟wil berisikan tentang isi atau subtansi berita (Muhammad,

2016: 122).Ta‟wil merupakan alat untuk menganalisis bagi manusia untuk

memahami dan menemukan arti, maksud atau pesan adari sebuah teks.

Kyai Husein juga memaparkan bahwa cara berfikir itu dibagi menjadi

dua bagian yaitu cara berfikir yang subtanstif dan cara berfikir yang

formalis. Cara berfikir yang subtantif yaitu cara berfikir dengan melihat

tujuan dari segala sesuatu tidak terpaku dengan tafsiran-tafsiran ayat

secara tekstual, sedangkan cara berfikir formalis yaitu cara berfikir secara

tekstual artinya terpaku pada tafsiran-tafsiran secara tekstualis. Menurut

Kyai Husein cara berfikir formalislah yang menjadikan pemikiran mandek

dan tidak bisa berkembang karena hanya tertuju pada bunyi-bunyi tekstual

(Kajian, 15 Juni 2016).

Sumber-sumber hukum Islam menyediakan dua kategori teks, yaitu

teks universal dan teks partikular. Teks universal yaitu teks yang berisi

prinip-prinip fundamentalis, kata ini dalam Ushul Fiqh disebut dengan

Maqosidu as Syari‟ah yang berisi lima ajaran pokok yaitu hifzh al din,

hifzh al naf, hifzh al „aql, hifzh al nasl, dan hifzh al amal. Para ahli Islam

menyebutnya sebagai teks yang Muhkamat artinya teks yang tidak dapat

61

diabaikan dan harus menjadi landasan dalam setiap tindakan yang

dilakukan.Sedangkan teks partikular adalah teks-teks yang menunujukkan

pada suatu kasus tertentu yang harus dimaknai secara kontekstual, semua

perkara hukum bersifat partikular karena ini berkaitan dengan kasus-kasus

tertentu yang tidak bisa dimaknai secara universal.Teks partikular melihat

peran tempat dan waktu untuk mempengaruhi segala hukum yang

ditimbulkan (Muhammad, 2016: 123).

Menurut Kyai Husein, mengutip perkataan Ibnu Taimiyah, bahwa

hukum Islam juga mempuyai dua kategori, kategori pertama yaitu, hukum

yang dihasilkan oleh para mujtahid disebut sebagai “syari‟ah

mu‟awwalah” (syari‟at yang ditafsirkan), sedangkan kategori kedua

disebut “syari‟ah munazzalah” (syari‟at yang diturunkan) (Muhammad,

2015: 100).

Pemaknaan tersebut mengantarkan pada pemahaman bahwa ada

hukum yang bersifat baku dan ada hukum yang bersifat berubah. Hukum

yang bersifat baku yaitu pertama hukum yang mengatur tentang

kepercayaan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa, Malaikat-

malaikatNya, Utusan-utusan Nya, Kitab-kitabNya, pada hari kiamat, dan

pada ketentuan-ketentuan Nya. Kedua yaitu hukum yang mengatur pokok-

pokok ibadah seperti halat, puasa, zakat, dan haji. Ketiga adalah prinsip-

prinip kemanusian yang bersifat universal. Adapun aturan hukum yang

bersifat tidak baku atau yang dapat berubah yaitu, segala permasalahan

62

yang menyangkut hubungan atau relasi antar manusia atau dengan sebuah

komunitas, atau yang sering disebut dengan “mu‟amalat”. Bidang ini

meliputi aturan-aturan tentang relasi manusia dalam keluarga dan aturan-

aturan mengenai relasi antar manusia dalam kehidupan rumah tangga,

sosial, budaya, ekonomi, politik, serta pergaulan antar bangsa

(Muhammad, 2015: 101).Mu‟amalat yang berarti relasi sosisal

memberikan kesempatan atau ruang terbuka bagi para pemikir-pemikir

Islam untuk dapat mengembangkan pemikiran-pemikirannya atau

berpartisipasi dalam pembentukan produk-produk ijtihad baru bagi

perkembangan hukum-hukum syari‟ah, karena Al-Qur‟an tidak mengatur

tentang mu‟amalat secara detail melainkan menetapkan prinsip-prinsip

pokoknya saja.

Syari‟ah memang bersifat sakral dan tidak boleh diubah karena

bersumber dari Tuhan, akan tetapi secara bentuk dan mekanismenya ia

bersifat terbuka bagi semua orang. Oleh karena itu banyak hukum-hukum

syari‟ah yang berbeda meskipun dari unsur yang sama (Muhammad, 2016:

101). Kaidah Ushul mengatakan bahwa hukum bisa berubah seiring

berubahnya waktu dan tempat (taghayyur al hukmi bil taghayyur al

azminah wal amkinah) Kyai Husein mengutip pandangan Dr.Musthafa

Syalabi dalam bukunya Ta‟lil al-Ahkam,

“apabila kemaslahatan bertentangan dengan nas, dalam bidang

muamalat dan adat kebiasaan yang malahatnya telah berubah, maka

kemaslahatanlah yang haru dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat

dikatakan sebagai menentang nas melalui semata-mata pendapat nalar.

63

Sebaliknya, ia justru mengaplikasikan nas-nas yang sangat banyak

yang menunjukkan keharusan menjaga kemashlahatan tersebut. Akan

tetapi, apabila kemaslahatn dalam nas tidak berubah, maka nas sama

sekali tidak boleh diabaikan” (Muhammad, Husein, 2015: 102).

Masalah perbedaan pendapat ini juga terjadi dalam penerapan hukum

perceraian salah satunya yaitu masalah iddah.Dalam kitab-kitab Fiqh

klasik banyak ditemukan bahkan bisa dikatakan hampir seluruh ulama

Fiqh yang bermadzhab Syafi‟i mengatakan bahwa hak talak merupakan

hak mutlak bagi laki-laki.Mereka beragumen bahwa suamilah yang

memegang seluruh kekuasaan yang ada pada keluarganya dan laki-lakilah

yang mampu berfikir secara rasional dan lebih banyak mempertimbangkan

segala sesuatu sebelum bertindak, sedangkan perempuan hanya cenderung

bersifat emosional.Menurut Kyai Husein pendapat seperti ini sangat bias

gender dan cenderung mendiskriminasikan perempuan.Kyai Husein juga

mengungkapkan hak cerai yang diberikan untuk laki-laki merupakan

warisan dari kebudayaan Jahiliyyah, di mana waktu itu laki-laki menguasai

penuh atas diri perempuan.Perempuan pada masa itu memang hanya

dijadikan sebagai pelengkap di dalam sebuah rumah dan perempuan tidak

mempunyai peranan apapun kecuali mengurus rumah, suami, dan

anak.Namun pada kenyataannya banyak ditemukan dalil-dalil tentang hak

talak ini di dalam Al Qur‟an dan Hadist yang notabene keduanya

merupakan pegangan bagi seluruh umat Islam di dunia.

Kembali pada penjelasan di atas bahwa Al Qur‟an dan Hadits

merupakan dua kitab yang tidak bisa berbicara sendiri semua tergantung

dari siapa yang menafsirkannya.Menurut Kyai Husein, sebenarnya

64

Rasulullah saat itu hanya membenarkan sementara hak talak bagi laki-laki

karena sebuah tradisi yang melekat pada masyarakat tidak bisa diubah

dalam sekali waktu, Al Qur‟an pun demikian.Al Qur‟an pada saat itu

diturunkan di tengah kondisi masyarakat yang masih banyak mengamalkan

ajaran-ajaran Jahiliyyah.Oleh karena itu Al Qur‟an tidak serta merta

mengubah keadaan yang ada namun hanya cenderung membatasi.Kyai

Husein memandang batasan ini mengarah pada ketidakbolehan, namun Al

Qur‟an tidak serta merta langsung melarangnya.Salah satunya yaitu

pembatasan bilangan talak yang awalnya tidak ada batasan dalam

bilangannya dan tindakan suami terhadap istri apabila istri sedang nusyuz,

mulai dari diperingatkan terlebih dahulu kemudian dipisah tempat tidurnya

dan solusi yang paling akhir yaitu dipukul namun dengan pukulan yang

tidak menyakitkan (Wawancara, 10 Juni 2016).

Inilah salah satu kelebihan Al Qur‟an, yang mana Al Qur‟an

diturunkan dengan cara yang halus tidak serta merta mengubah kenyataan.

Perubahan tradisi yang dilakukan serta merta cenderung akan membuat

goncangan dalam tatanan masyarakat. Kyai Husein berpendapat bahwa

dalam beberapa hal perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang

sama. Al-Qur‟an yang merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di

dunia banyak menyebutkan ayat-ayat yang berisi tentang kesetaraan,

kebebasan, dan penghormatan terhadap manusia.

Latar belakang Kyai Husein yang dari pesantren turut mewarnai

pemikiran beliau terhadap kesetaraan gender. Kyai Husein mengambil

65

sumber-sumber gender dari hukum-hukum syari‟ah yang bersumber dari

Al-Qur‟an dan Hadits, namun Kyai Husein tidak menafsirkan Al-Qur‟an

secara tekstual. Kyai Husein mengutip pemikiran Ibnu Taimiyah, di mana

ayat-ayat Al-Qur‟an ditafsirkan menurut klasifikasinya masing-

masing.Ayat-ayat Alqur‟an yang berisi hukum-hukum syari‟ah ada yang

bersifat tetap dan ada yang bersifat bisa berubah (Muhammad, Husein,

2015: 101).Kyai Husein juga mendalami beberapa kitab-kitab klasik yang

di dalamnya termuat khazanah-khazanah tentang penghargaan terhadap

perempuan, di mana orang-orang Islam masih sulit untuk menerima

pemikiran pembaharuan terhadap hukum-hukun Islam.Gagasan-gagasan

Kyai Husein ini berlandaskan pada nilai-nilai ke-tauhid-an.

Budaya patriarkhi yang melekat pada masyarakat juga tidak mudah

untuk dihilangkan, maka dari itu hak talak yang melekat pada laki-laki

juga sangat sulit dihilangkan. Menurut Kyai Husein hak talak diberikan

untuk laki-laki karena laki-laki kebanyakan berkedudukan sebagai

pemimpin yang mana laki-laki berfungsi sebagai pencari nafkah dan

perempuan yang menerima nafkah tersebut, maka sangat wajar jika laki-

laki dianggap sebagai pemimipin. Keadaan sekarang ternyata berbalik jauh

dari itu, banyak perempuan yang keluar untuk mencari nafkah untuk

keluarganya.Maka, kepemimpinan laki-laki tersebut tidak bersifat mutlak

hanya sekedar sebagai fungsional saja.Kyai Husein menawarkan sebuah

konsep yang menurut Kyai Husein konsep ini adil bagi kedua belah

pihak.Kedua belah pihak mempunyai kedudukan setara yakni sama-sama

66

menjadi subyek hukum.Kyai Husein mempunyai pemikiran bahwa

alangkah baiknya jika yang berhak menjatuhkan talak adalah Pengadilan

Agama.Talak yang dijatuhkan laki-laki tanpa putusan Pengadilan Agama

tidak mempunyai akibat hukum apapun, yakni tidak berpengaruh terhadap

perkawinan antara suami dan istri tersebut.Jadi, laki-laki tidak semena-

mena mengucapkan talak terhadap istrinya sebagaimana yang termuat

dalam kitab-kitab Fiqh klasik bahwa talak dapat dijatuhkan oleh laki-laki

dimanapun dan kapanpun yang dia mau.Dengan begitu keutuhan tumah

tangga tidak tergantung terhadap ucapan talak laki-laki yang sewaktu-

waktu bisa laki-laki ucapkan (wawancara, 10 Juni 2016).

Sebenarnya agama Islam juga memberikan hak meminta cerai kepada

suaminya.Cerai semacam ini dinamakan khulu‟, yaitu seorang perempuan

yang meminta cerai kepada suaminya dengan cara memberikan sebuah

tebusan yang dinamakan „iwadh. Kemudian muncul banyak permasalahan

bagaimana jika perempuan yang meminta cerai tersebut adalah korban

tindak kekerasan dari suaminya, masih wajibkah perempuan tersebut

membayar „iwadh untuk memebebaskan dirinya dari tali perkawinannya

dengan suaminya?

Seperti yang termuat dalam bukunya Kyai Husein yang berjudul

Perempuan, Islam, dan Negara, memuat data-data kekerasan dalam rumah

tangga yang didapatkan dari laporan tahunan Komnas Perempuan pada

tahun 2010, kekerasan rumah tangga yang menimpa naik menjadi tiga kali

lipat dari tahun 2008. Tahun 2008 terjadi 54.425 kasus kekerasan naik

67

menjadi 143.586 kasus yang terjadi pada tahun 2010.Adapun 96% terjadi

terhadap perempuan (Muhammad, 2016: 207). Kasus tersebut

dimungkinkan akan terus terjadi peningkatan setiap tahunnya jika

perempuan tidak mendapatkan kedudukan yang sama dengan laki-

laki.Dilihat dari data tersebut perempuanlah yang menjadi korban dari

laki-laki.

Menurut Kyai Husein sangatlah tidak adil jika seorang korban masih

dibebani biaya untuk membebaskan dirinya dari sebuah tali perkawinan

yang merugikan dirinya.Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.Maka dari itu,

Kyai Husein berpendapat bahwa sebaiknya pihak yang bersalah yang

seharusnya menanggung beban biaya tersebut. Pengadilan harus mencari

pihak mana yang bersalah untuk menetapkan beban biaya perceraian

tersebut, bukan istri yang harus membayar beban biayanya.Sebagaimana

bunyi putusan Pengadilan Agama yang berbunyi suami yang menjatuhkan

talak meskipun pihak istri yang mengajukan gugatan cerai ini juga

dipandang sebagai sesuatu yang diskrimanatif terhadap

perempuan.Seharusnya bunyi amar putusan tersebut berbunyi bahwa

Pengadilan lah yang memutuskan ikatan perkawinan antar suami dan istri

(wawancara, 10 Juni 2016).

Adapun akibat dari nusyuz pun harus diberlakukan untuk kedua belah

pihak.Masing-masing antara suami istri dibebani nusyuz ketika keduanya

sama-sama tidak melakukan kewajibannya sebagai suami dan

istri.Masyarakat Indonesia yang masih menganut sistem budaya patriarkhi

68

mewajibkan beban nafkah kepada suami dan istri yang posisinya sebagai

pihak penerima nafkah diwajibkan untuk menyerahkan tubuhnya pada

pihak suami. Menurut Kyai Husein,nusyuz yaitu ketika antara pihak suami

dan istri tidak melaksanakan kewajibannya, maka itu dianggap sebagai

nusyuz.Menurut KHI pasal 152, bekas istri yang melakukan nusyuz tidak

diberikan nafkah iddah. Menurut Kyai Husein ketentuan seperti ini tidak

adil.Seperti pernyataan Kyai Husein di atas bahwa seharusnya beban biaya

ataupun beban yang lainya dibebankan kepada pihak yang bersalah.Bukan

hanya pihak perempuan yang dibebani akibat nusyuz tersebut. Seharusnya

dicari dahulu sebab dari nusyuz tersebut apakah perempuan yang nusyuz

tersebut nusyuz dengan tanpa alasan atau ada alasan lain yang

menyebabkan perempuan melakukan tindakan nusyuz tersebut seharusnya

pula laki-laki dikenai denda ketika dia menceraikan istrinya dalam

keadaan nusyuz denda tersebut di luar kewajiban nafkah madhiyah dengan

begitu tidak hanya wanita yang nusyuzyang dikenai hukuman ketika

nusyuz, yakni berupa hukuman tidak menerima nafkah iddah(wawancara,

10 Juni 2016).

Setelah terjadinya perceraian perempuan lekat dengan iddah. Iddah

sendiri bermakna masa tenggang atau masa tungggu seorang perempuan

yang dicerai atau ditinggal mati suaminya guna untuk mengetahui

kandungannya berisi atau tidak (Rasjid, 2004: 414). Menurut Fiqh fungsi

dari iddah yaitu bara‟atur rahim yakni untuk memastikan bahwa rahim

perempuan yang dicerai (cerai hidup atau cerai mati) bebas dari sperma

69

laki-laki yang bisa menyebabkan kehamilan.Adapun waktu iddah masing-

masing perempuan berbeda tergantung sebab perempuan tersebut

diceraikan.Iddah wanita yang hamil yaitu sampai melahirkan, adapun

iddahnya wanita yang dicerai suaminya apabila dia masih dalam keadaan

haidh makan iddahnya tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga kali

haidh, apabila perempuan tersebut telah menopause maka iddahnya

sampai tiga bulan.Adapun perempuan yang ditinggal mati iddahnya empat

bulan sepuluh hari bagi perempuan yang masih suci ataupun yang telah

menopause (Rasjid, Sulaiman, 2004: 415).

Menurut Kyai Husein perbedaan bilangan iddah ini ada dua „illat,

yakni „illat pertama yaitu bara‟atur rahim, sedangkan „illat yang kedua

yaitu sebagai bentuk bela sungkawa dari seorang perempuan yang

ditinggal mati suaminya. Kyai Husein juga mengkritisi masalah iddah ini.

Mengapa hanya perempuan yang dibebani iddah dan apa fungsi iddah

sebenarnya. Zaman dahulu memang iddah adalah satu-satunya cara untuk

mengetahui kehamilan seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya,

namun seiring perkembangan zaman dan majunya teknologi sekarang,

untuk mengetahui kehamilan seseorang hanya tinggal menunggu hitungan

jam tanpa harus menunggu sampai berbulan-bulan. Lalu apa sebenarnya

fungsi iddah, apalagi bagi seorang perempuan yang telah menopause. Jika

iddah berfungsi untuk merasakan bela sungkawa karena ditinggal mati

oleh pasangannya kenapa hanya perempuan yang dibebani iddah.Apakah

seorang laki-laki tidak merasakan rasa duka cita akibat ditinggal mati oleh

70

pasangannya. Kemudian Kyai Husein berpendapat jika „illat iddah untuk

mengetahui kandungan maka „illat tersebut gugur karena untuk

mengetahui kandungan tidak harus menunggu sampai berbulan bulan

karena kemajuan teknologi sekarang di mana untuk mengetahui kehamilan

bisa melalui USG, Kyai Husein menggunakan kaidah Fiqh yang berbunyi

al-hukmu yaduru „alal „ilati wujudan wa „adaman yang artinya apabila

„illat hukum telah hilang maka hukum tersebut pun ikut hilang atau tidak

berfungsi. Jika „illat nya untuk berbela sungkawa maka antara laki-laki

dan perempuan harus sama-sama menjalankan iddah tersebut (wawancara,

10 Juni 2016).

C. Metode pemikiran Kyai Husein

Metode dalam berfikir sangat mempengaruhi hasil dari pada sebuah

pemikiran.Hasil pemikiran tidak layak untuk dipublikasikan jika tanpa

sebuah metode yang mendasarinya.Berikut ini adalah metode pemikiran

Kyai Husein atas pemikirannya terhadap hukum perceraian di Indonesia

(wawancara, 12 Juni 2016).

Metode pertama yaitu konsep agama Islam sebagai agama yang

menjunjung nilai kesetaraan. Islam merupakan agama yang Rahmatan lil

„Alamin, Islam merupakan agama yang dibawa oleh manusia pilihan, Nabi

akhir zaman, pemilik akhlak yang paling mulia, yakni Sayyidina

Muhammad S.A.W yang kualitas akhlaknya tidak pernah diragukan oleh

siapapun. Rasulullah tidak pernah membedakan antara manusia yang satu

71

dengan manusia yang lain. Pasca Rasulullah wafat yakni pada masa

perkembangan Islam, Islam mengalami perkembangan yang pesat

dibidang keilmuan.Para Khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah

ketika itu menggunakan orang-orang non-muslim yang cakap dibidang

tertentu untuk mengajari kaum muslimin (Al-Jarjawi 1997: 55).Hal ini

menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung nilai

kesetaraan tidak memandang agama, ras, suku, dan lainnya.

Sumber Islam yang paling utama yakni Al Qur‟an memuat banyak

sekali penjelasan tentang eksistensi manusia, tentang kebebasa, kesetaraan

dan penghormatan terhadap manusia. Tentang kesetaraan, Islam

menegaskan bahwa manusia merupakan makhluq Tuhan yang mempunyai

kedudukan yang sama dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah

tingkat ketaqwaannya saja. Inilah kemudian yang menginspirasi Kyai

Husein untuk memikirkan kesetaraan-kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan yang kemudian melahirkan konsep gender. Menurut Kyai

Husein kesetaraan akan membawa kebaikan bagi siapapun, tidak ada yang

menyakiti dan tidak ada yang merasa tersaikiti. Kesetaraan

akanmemunculkan keadilan bagi seluruh masyarakat bangsa. Keadilan

merupakan tujuan tertinggi yang diajarkan oleh seluruh agama di

dunia.Keadilan dalam pengertiannnya diartikan sebagai wadh‟u as syai‟i fi

mahallihi (menepatkan segala sesuatu sebagai dengan proporsionalnya)

(Muhammad, 2016: 232).Kyai Husein juga menambahkan keadilan berarti

memberikan hak terhadap pemiliknya.Inilah tujuan sebenarnya agama

72

Islam sebagai agama yang Rahmat al „Alamin, yakni terciptanya

masyarakat yang tentram, damai, dan sejahtera. Tujuan tersebut

diwujudkan oleh para penggiat gender dengan cara mengkampanyekan

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian hari disebut

dengan kesetraan gender.

Adapun metode yang kedua yakni beliau melihat situasi dan kondisi

dahulu dan sekarang, yakni melihat teks secara kontekstual.Kondisi

sekarang sangat jauh berbeda dengan kondisi zaman dahulu.Meskipun

dalam kitab-kitab Fiqh telah mengatur tindakan seorang perempuan dalam

masalah publik namun perubahan kondisi masyarakat tidak bisa

dipungkiri.Fakta-fakta yang terjadi dimasyarakat turut memberikan

sumbangsih yang besar terhadap perubahan ini.Salah satu contoh dari

perubahan kondisi tersebut yaitu tentang kiprah perempuan di ranah publik

yang pada zaman dahulu lingkungan perempuan hanya terbatas pada

rumahnya saja. Zaman dahulu perempuan dilarang bepergian selain

dengan mahramnya karena takut akan terjadi sesuatu. Pada zaman

sekarang ketentuan tersebut tidak berlaku lagi karena banyak perempuan

yang pergi keluar negri untuk belajar ataupun bekerja seorang diri.Jika

ketentuan perempuan bepergian harus disertai dengan mahram, maka

betapa repotnya dan besarnya biaya yang harus ditanggung seorang

mahram yang harus mengikuti kemanapun perempuan tersebut pergi.Lebih

jauh lagi sekarang banyak perempuan yang terjun di dunia politik, banyak

yang menjadi anggota legislatif, yudikatif, ataupun eksekutif.Oleh karena

73

itu Kyai Husein mencoba membaca teks yang tertuang dalam kitab-kitab

Fiqh secara kontekstual bukan secara tekstual. Menurut Kyai Husein kita

harus membaca apa yang dicita-citakan oleh Al-Qur‟an, yakni dengan cara

berfikir secara subtantif bukan hanya berfikir secara formalitas, yakni

melulu terhadap naskah teks. Kita juga harus melihat asbabun nuzul dari

ayat-ayat Al Qur‟an, alasan kenapa ayat tersebut diturunkan dan faktor apa

yang mempengaruhinya dan melihat asababul wurud dari sebuah Hadits

yang bersumber dari Rasulullah. Faktor yang melatar belakangi turunnya

ayat Al Qur‟an dan sebuah Hadits sangat mempengaruhi dari sebuah

produk hukum yang akan diambil.

Metode yang ketiga adalah: Kyai Husein berpendapat bahwa pintu

ijtihad tetap terbuka.Perubahan yang terjadi pada masyarakat sangatlah

cepat dan tidak bisa untuk dicegah.Perkembangan yang terjadi dibutuhkan

segala macam aturan atau hukum yang harus senantiasa mengikuti

perkembangan tersebut.Banyak kasus yang terjadi dimasyarakat tidak

ditemukan jawabannnya pada kitab-kitab Fiqh klasik.Jika kita terus

menerus berpegang teguh pada ajaran fuqaha‟ yang telah lalu yang

memandang ijtihad mereka sebagai teks suci yang tidak bisa diubah. Jika

pandanga teebut terus dipertahankan makaagama Islam berangsur-angsur

hilang dari masyarakat.Kyai Husein mengungkapkan bahwa Fiqh bukan

merupakan teks suci yang tidak bisa diubah oleh siapapun. Karya-karya

Fiqh sangatlah beragam. Semua pandangan dalam ilmu Fiqh diapresiasi

sama.

74

Banyaknya ulama Fiqh dan perbedaan fatwanya menunjukkan Fiqh

merupakan produk intelektual dari para Fuqaha‟.Fiqh bersifat plural dan

tidak bersifat tunggal (Muhammad, 2016: 156). Kasus-kasus yang tidak

ditemukan jawabannya secara tekstual dan eksplisit dalam kitab Fiqh harus

digali dengan cara eksploratif melalui analisis kontekstual atas teks-teks

Fiqh yang telah tersedia. Oleh karena itu ijtihad sangat diperlukan untuk

menemukan hukum-hukum baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat

sekarang ini.Ketika melakukan ijtihad diperlukan dasar-dasar yang kuat

untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang memuat kemaslahatan

bagi semua pihak.

Adapun dasar-dasar tersebut yaitu:

1. Mencegah segala yang membahayakan

2. Membolehkan segala yang bermanfa‟at

3. Mewajibkan segala yang menjadi keharusan

4. Memboleh segala yang diharamkan oleh nash jika keadaannya

memaksa

5. Membolehkan segala yang diharamkan untuk mencegah kerusakan jika

ada maslahah yang ditimbulkan (As Shidiqy, 1981: 282).

Kyai Husein mengutip pendapat Dr. Musthafa Syalabi bahwa

apabila ada kemaslahatan yang bertentangan dengan nash (teks) dalam

bidang muamalat dan tradisi, maka kemaslahatanlah yang harus

dipertimbangkan (Muhammad,2015: 102).Penetapan suatu hukum

75

bertujuan untuk menerapkan kemaslahatan bagi umat manusia.Pada

dasarnya dalam kitab Ushul Fiqh karangan Abdul Wahhab Khallaf,

maslahah yang bertentangan dengan nash dianggap tidak sah (Khallaf,

2003: 114), namun dalam pendapat Dr. Musthafa Syalabi nash tersebut

dibatasi ruang lingkupnya, yakni nash yang mencakup bidang mu‟amalat

dan tradisi saja.

D. Relevansi Hukum Perceraian di Indonesia Terhadap Kesetaraan

Gender.

Produk hukum dalam UU Perkawinan maupun KHI masih dianggap

diskriminatif oleh para penggiat gender.Perempuan dalam UU tersebut

cenderung menjadi obyek hukum bukan menjadi subyek hukum.Aturan-

aturan yang diskriminatif tersebut dipandang telah menimbulkan

ketidakadilan bagi perempuan karena banyak sekali pasal-pasal dalam UU

Perkawinan maupun KHI yang bersifat diskriminatif.

Menurut para penggiat gender proses penyusunan dalam KHI pun

sangat terlihat diskriminatif, dari 16 orang panitia hanya 1 perempuan

yang terlibat itupun di posisikan sebagai sekertaris. Proses wawancara

dengan para Ulama se-Indonesia dari 27 orang yang bertugas pun tidak

ada satupun yang perempuan (Munti& Anisah, 2005: 24).

Konteks Indonesia yang mayoritas agamanya beragama Islam sangat

teguh memegang ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama‟.Aturan-

aturan hukum yang bersifat diambil dari berbagai ajaran agama juga turut

76

dipegang teguh oleh para penganutnya.Begitu pula ajaran-ajaran yang

dinilai masih bias gender dan cenderung merugikan perempuan juga masih

tetap dijadikan pegangan oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu Kyai Husein dan teman-temannya mencoba melakukan

kritik terhadap KHI melalui Counter Legal Drafting yang mencoba

mengubah pasal-pasal dalam KHI agar memuat pasal-pasal yang tidak

diskriminatif terhadap perempuan. Namun berbagai ganjalan muncul

terhadap proses ini. Menurut Kyai Husein ganjalan-ganjalan yang terjadi

ini dikarenakan pihak yang berwenang membuat Undang-Undang belum

menghendaki perubahan terhadap pasal-pasal yang masih digunakan

sekarang. Banyak faktor yang mempengaruhinya.Salah satunya yaitu

masih kuatnya budaya patriarkhi dan pengkultusan terhadap produk

hukum Fiqh klasik.Produk hukum Fiqh dianggap sebagai produk hukum

yang suci yang tidak bisa diubah dan pengkritikan terhadap teks Fiqh

dianggap sebagai pemberontakan terhadap agama dan menghancurkan

syari‟at-syari‟at agama.Padahal, Fiqh sendiri selalu menghasilkan sesuatu

yang bersifat plural. Para ahli Fiqh tidak selalu sepakat atas sebuah

putusan hukum meskipun itu berasal dari sebuah teks yang sama. Hal ini

dikarenakan masing-masing putusan dibatasi oleh ruang dan waktu

(Muhammad, 2016: 156).

Menurut Musdah Mulia dalam kata pengantarnya dalam buku Posisi

Perempuan dalam hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa,

77

Perubahan zaman turut juga menuntut perubahan atas segala hukumnya,

karena hukum merupakan aturan-aturan normatif yang mengatur tingkah

laku manusia yang tumbuh di ruang yang berkembang. Hukum tidak bisa

bersifat vakum pada suatu masa karena itu dibutuhkan perubahan-

perubahan hukum yang sesuai dengan zamannya yang mencakup nilai-

nilai kemaslahatan bagi umat.

Namun alangkah baiknya jika setelah memaparkan kekurangan-

kekurangan kemudian juga diikuti dengan kemajuan-kemajuan yang telah

dicapai oleh para penegak-penegak hukum di Indonesia. Menurut Kyai

Husein, Negara telah melakukan kemajuan yang sangat pesat dengan

mendirikan sebuah lembaga peradilan untuk memproses segala bentuk

perceraian. Ketentuan semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab

Fiqh klasik.Kemajuan ini mempunyai dampak yang besar bagi

terwujudnya keterjaminan hak-hak perempuan yang diceraikan oleh

suaminya (wawancara, 10 Juni 2016).

Negara mempunyai inisisatif mendirikan sebuah lembaga peradilan

untuk membatasi kesewenang-wenangan pihak laki-laki yang menceraikan

istrinya dan sekaligus diharap mampu melindungi hak-hak perempuan

untuk memperoleh keadilannya. Ini merupakan salah satu bentuk

dukungan dari negara bagi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya.

Keputusan ini didasari pada pertimbangan perubahan sosial yang ada

dalam masyaratkat. Kyai Husein mengutip perkataan Syekh Musthfa

78

Syalabi yang mengatakan bahwa perubahan hukum sama sekali bukan

berarti pembatalan terhadap hukum-hukum Tuhan. Perubahan ini

diakibatkan karena perubahan kondisi masyarakat dan karena

kemaslahatan yang telah berubah (Muhammad, 206: 166).Meskipun masih

banyak produk hukum yang masih diskriminatif namun disatu sisi

mempunyai kemajuan yang sangat berarti.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari analisis yang dilakukan penulis dari skripsi yang

berjudul “Telaah Pemikiran KH.Husein Muhammad Terhadap Kesetaraan

Gender dalam Hukum Perceraian di Indonesia”, yang mana Kyai Husein

79

merupakan sosok kyai yang sangat terbuka pemikirannya mengenai

perkembangan zaman dan menjunjung tinggi asas-asas kesetaraan antara laki-

laki dan perempuan dan merupakan sosok kyai yang aktif mengkampanyekan

kesetraan gender.

Penulis menyimpulkan ada tiga kesimpulan yang akan dipaparkan:

1. Basis pemikiran Kyai Husein sangat berpengaruh terhadap hasil dari

pemikirannya, terlebih dalam masalah gender. Setidaknya ada tiga basis

pemikirannya yang dijadikannya sebagai landasan berfikir, yaitu: a).

keterbukaan fikiran untuk menerima segala sesuatu dari manusia tanpa

membedakan asalnya. b). Memahami tauhid sebagai manifestasi terhadap

penghargaan hak-hak manusia. c). Menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.

2. Pemikiran Kyai Husein tentang gender mencakup persoalan yang sangat

luas. Salah satu pemikirannya yaitu tentang hak-hak perempuan setelah

bercerai dengan suaminya. Menurut Kyai Husein akibat perceraian yang

terdapat dalam hukum perceraian di Indonesia masih bersifat diskriminatif

terhadap perempuan. Banyak perempuan yang bercerai dengan suaminya

tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. Metode berfikir

Kyai Husein yaitu cara berfikir bahwa, Islam merupakan agama yang

menjunjung tinggi nilai kesetaraan. Kyai Husein juga mempunyai

pandangan bahwa hukum selalu berkembang seiring dengan

perkembangan zaman dan menuntut dilakukannya ijtihad-ijtihad hukum

yang sesuai dengan zamannya.

80

3. Menurut kaca mata gender, di satu sisi hukum perceraian di Indonesia

dipandang masih berat sebelah dalam memperlakukan perempuan. Namun

di sisi lain hukum perceraian di Indonesia juga membawa kemajuan pesat.

Salah satu kemajuan yang dilakukan yaitu perceraian harus dilakukan

melalui Pengadilan Agama. Hal ini merupakan sebuah terobosan baru

yang tidak ditemukan di dalam kitab-kitab Fiqh klasik karya ulama-ulama

zaman dahulu. Perceraian yang awalnya hanya bisa dilakukan oleh laki-

laki setelah munculnya aturan tersebut perempuan bisa mengajukan

perceraian terhadap laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa hukum

perceraian di Indonesia dalam kacamata gender mempunyai dua mata sisi,

di satu sisi masih mengalami kekurangan di dalam menegakkan kesetaraan

gender. Namun di sisi lain mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam

mendukung kesetaraan gender, yaitu berani membuat terobosan baru

dalam membuat sebuah aturan yang tidak ditemukan dalam kitab Fiqh-

Fiqh klasik.

B. SARAN

1. BagiAkademisi

Para akademisi diharapkan untuk membuka pemikirannya tentang

nilai-nilai kesetaraan dalam bidang gender.Sehingga pandangan-

pandangan yang masih syarat dengan pendiskriminasian terhadap

perempuan lambat laun dapat diminimalisir.

2. BagiPraktisi

81

a. Gerakan Gender

Para penggerak gender dapat menjadikan pemikiran Kyai Husein

sebagai bahan rujukan dalam menangani hal-hal yang berkaitan

dengan gender.

b. Hakim

Para hakim juga bisa menjadikan pemikiran-pemikiran Kyai

Husein ini sebagai acuan untuk mengambil keputusan dalam

menetapkan kasus perceraian.Sehingga putusan-putusan yang masih

mendiskriminasikan perempuan dalam menerima putusan dalam cerai

gugat dapat diminimalisir.

c. Pemerintah

Pemerintah diharapkan mampu untuk membuat sebuah produk

hukum yang tidak berat sebelah, yakni membuat sebuah produk

hukum yang mempunyai rasa keadilan bagi kedua belah pihak, baik

pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Pemerintah juga diharapkan

mampu untuk menyelaraskan antara produk yang diambil dari hukum

Islam atau kitab-kitab Fiqh maupun hukum yang diciptakan oleh para

penegak hukum di Indonesia atau yang disebut degan hukum positif

agar tidak terjadi gesekan-gesekan antara hukum-hukum agama

dengan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah.

3. Bagi MasyarakatUmum.

82

Masyarakat umum diharapkan lebih cerdas dan lebih selektif dalam

menerima putusan-putusan atau ajaran-ajaran yang masih bersifat

diskriminatif terhadap perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Al Falfi, Sulaiman. 2010. Mukhtasar Fiqh Sayyid Sabiq.Solo: Aqwam.

Al-Jarjawi, Ali Ahmad.2006. Indahnya Syari‟at Islam.Jakarta: Gema Insani.

83

Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik.Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1981. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Pendidikan Nasional.2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:

Balai Pustaka.

Effendi, Masyhur dan Atufani Sukmani Evandi. 2007. HAM dalam

Dimensi/Dinamika Yuridis Sosial, Politik dan Proses penyusunan/Aplikasi

HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat. Bogor

Selatan: ghalia Indonesia.

Engineer, Asghar Ali. 2000. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Alih Bahasa Farid

Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: LSPPA.

Farhani.2011. Ilmu Hukum Sebuah pengantar.Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Farida, Anik dkk. 2007. Perempuan dalam system Perkawinan dan Perceraian di

Berbagai komunitas dan Adat. Jakarta: Balai Penelitian dan

Pengembangan Agama.

Hardiman, Budi. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan

Kebudayaan. Yogyakarta: KANSIUS.

Istibsyaroh,. 2004. Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir Al-

Sya‟rowi. Jakarta: Teraju.

Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender & Feminisme. Yogyakarta: Kreasi

Wacana.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu ushul Fiqh, Terjemahan Faiz el Muttaqin.

Jakarta: Pustaka Amani.

Lexy, Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Muhammad, Husein. 2007. Fiqh Perempuan Atas Wacana Agama dan Gender.

Yogyakarta: LKiS.

Muhammad, Husein dkk. 2011. Dawrah Fiqh Perempuan. Cirebon: Fahmina

Institute.

Muhammad, Husein. 2016. Perempuan, Islam & Negara. Yogyakarta: Qalam

Nusantara.

Munti, Ratna Batara dan Hindun Anisah.2005. Posisi Perempauan dalam Hukum

Islam di Indonesia.Yogyakarta: LKiS.

84

Nasution, Khoiruddin. 2004. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia +

TAZZAFA

Nuruzzzaman. 2005. Kyai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta: LKiS.

Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Salim, Petter. 2010. Modern English-Indonesia Dictionary. Jakarta: PT Gramedia

Utama.

Syaifuddin, Muhammad dkk. 2013. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika.

Sudarsono.2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Sugiyono. 2013. Metode apenelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

ALFABETA.

Umar, Nasasuddin. 1999. Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al Qur‟an.

Jakarta: Paramadina.

Wahid, Abdurrahman dkk. 2015. Islam Nusantara. Banung: PT Mizan Pustaka.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

A. Data Pribadi

Nama : Nurul Mimin Jannah

Tempat/Tanggal lahir : Pati/29 oktober 1992

85

NIM : 211-12-036

Fakultas : Syari‟ahs

Jurusan : Ahwal al Syakhshiyyah

Alamat di Salatiga : PonPes Salafiyah Pulutan-Sidorjo Lor

Alamat Asal : Tapen-Kertomulyo-Margoyoso-Pati

B. Motto

“manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa”.

C. Riwayat Pendidikan

No. Instansi Pendidikan Masuk (Th) Keluar (Th)

1. SD Kertomulyo 2 1998 2004

2. MI Miftahul Huda

Kertomulyo

1999 2005

3. Mts Mathali‟ul Falah 2005 2009

4. MA Mathali‟ul Falah 2009 2012

5. S1 AS IAIN Salatiga 2012 2016

86

Peneliti Ikut Serta dalam Kajian Gender di Fahmina Institute

Peneliti Ikut Serta dalam Kajian Kitab di Dar at Tauhid

87

Peneliti Melakukan Wawancara dengan Kyai Husein

Peneliti Pasca Melaksanakan Wawancara

DAFTAR SKK

Nama : NurilMiminJannah Fakultas : Syariah

NIM : 211-12-036 Jurusan : Ahwalusysyakhshiyyah

No. NamaKegiatan Pelaksanaan Jabatan Nilai

1. OrientasiPengenalanAkademikdank

emahasiswaan (OPAK) oleh

DEMA STAIN Salatiga

05-07 September 2012 Peserta 3

2. OrientasiPengenalanAkademikdank

emahasiswaan (OPAK) oleh HMJ

Syari‟ah STAIN Salatiga

08-09 Sempember 2012 Peserta 3

3. OrientasiDasarKeislaman (ODK)

olehITTAQO dan CEC

10 September 2012 Peserta 2

4. Seminar Entrepreneurship

danPerkoprasian 2012 oleh

MAPALA MITAPASA dan KSEI

11 September 2012 Peserta 2

5. Achievment Motivation Training

oleh JQH dan LDK

12 September 2012 Peserta 2

6. Library User Education oleh UPT

Perpustaakaan STAIN Salatiga

13 September 2012` Peserta 2

7. MAPABA PMII JokoTingkir Kota

Salatiga

05-07 Oktober 2012 Peserta 3

8. Semalamsehatioleh HMJ Syari‟ah

STAIN Salatiga

13-14 Oktober 2012 Peserta 3

9. PeringatanMulidNabi Muhammad

SAW tahun 1434 H. oleh KSEI

27 Januari 2013 Peserta 2

10. Seminar Nasionaloleh HMI

CabangSalatiga

23 Februari 2013 Peserta 6

11. KursussingkatPolitik Jihad

danTerorismeoleh Prodi Ahwal al

Syakhshiyyah

Februari-April 2013 Peserta 3

12. TafsirTematikoleh JQH STAIN

Salatiga

04 Mei 2013 Peserta 2

13. Seminar Nasionaloleh KOPMA

FATAWA STAIN Salatiga

27 Mei 2013 Peserta 6

14. Seminar Regional oleh LDK

STAIN Salatiga

11 Juni 2013 Peserta 4

15. Seminar Nasionaloleh HMJ

Syari‟ah STAIN Salatiga

27 Juni 2013 Peserta 6

16. SK PengangkatanPengurus HMJ

Syari‟ah STAIN Salaiga

15 Januari 2014 4

17. English Course Program at

Pyramid English Course

25 Januari-24 Februari 2014 Peserta 3

18. Seminar Internasionaloleh

IAINSalatiga

28 Februari 2014 Peserta 8

19. English Camp at Egypt 11 Maret 2014 Peserta 3

20. Dialog Interaktif&Edukatifoleh

SEMA STAIN Salatiga

1 April 2014 Peserta 2

21. SK

PenetapanJuaraMusabaqohQiro‟atu

lKutubolehKementrian Agama

Kota Salatiga

23 April 2014 5

22. TafsirTematikoleh JQH STAIN

Salatiga

17 Mei 2014 Peserta 2

23. PelatihanAdvokasioleh HMJ

Syari‟ah STAIN Salatiga

23-24 Mei 2014 Panitia 3

24. Seminar

ImsakiyaholehJurusanSyari‟ah

STAIN Salatiga

26 Mei 2014 Peserta 2

25. OrientasiPengenalanAkademikdank

emahasiswaan (OPAK) oleh HMJ

Syari‟ah STAIN Salatiga

20-21 Agustus 2014 Panitia 3

26. Seminar Nasionaloleh DEMA

STAIN Salatiga

25 September 2014 Peserta 6

27. MAPABA PMII

KomisariatJokoTingkir

17-19 Oktober 2014 Panitia 3

28. Workshop Pendidikan Anti

Korupsioleh HMJ Syari‟ah STAIN

Salatiga

24-25 November 2014 Panitia 3

29. SK PengangkatanPengurus SEMA

IAIN Salatiga

17 Maret2015 4

30. SK PengangkatanPanitia Public

Hearing SEMA IAIN Salatiga

06 Juni 2015 2

31. PelatihanManajemen TPQ

olehYaBismillah IAIN Salatiga

04 Juli 2015 Peserta 2

32. SK PengangkatanPanitia Legal

Drafting SEMA IAIN Salatiga

10 September 2015 2

33. Seminar MotivasiolehYaBismillah

IAIN Salatiga

24 Desember 2015 Peserta 2

34. SK

PengangkatanPanitiaTemuLembaga

Mahasiswa PTAI, PTN, dan PTS

se-Jawa Tengah SEMA IAIN

Salatiga

19 Februari 2016 2

35. SosialisasiPemahamanHakKonstitu

sionalwarga Negara

BagiBadanEksekutifMahasiswa

(BEM) Dan UstadzMuda se-

Indonesia

olehKepaniteraandanSekertariatJen

drlMahkamahKonstitusidanKement

rian Agama

21-23 April 2016 Peserta 3

36. TOEFL Training for Bidikmisioleh

UPTPB

7 Maret- 12 April 2016 Peserta 3

37. SK pengangkatanpengurus DEMA

IAIN Salatiga

14 Maret 2016 4

38. SK pengangkatanpanitia Seminar

Nasional

“PenguatanNasionalismedanWawas

anKebangsaan” DEMA IAIN

Salatiga

26 April 2016 6

39. KuliahUmumFakultasSyari‟ah

IAIN Salatiga

02 Juni 2016 Peserta 2

40. Dialog Nasionaloleh DEMA IAIN

Salatiga

19 Juni 2016 Panitia 6

Jumlah = 134