teknologi bahan pangan.docx
Transcript of teknologi bahan pangan.docx
Dibuat oleh :
Christopher Eka P.S ( 2007710450003 )
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS JAYABAYA
2010
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Daging berperanan cukup besar dalam konteks ketahanan pangan nasional
karena merupakan salah satu komoditas sumber protein hewani yang penting untuk
kesehatan dan pertumbuhan. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi
keamanan pangan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan perhatian
khusus dalam penyediaan daging untuk konsumen. Daging yang dapat dikonsumsi
adalah daging dari ternak yang sehat, saat penyembelihan dan pemasaran diawasi oleh
petugas Rumah Potong Hewan (RPH) serta terbebas dari pencemaran mikroba patogen.
Saat ini permintaan masyarakat terhadap daging juga disertai oleh adanya
kecemasan masyarakat terhadap kasus bahaya pangan, contohnya kasus antraks
(penyakit ternak yang disebabkan oleh mikroba patogen bakteri Bacillus antracis) pada
daging (domba, kambing, sapi) yang dapat menular kepada manusia dan menyebabkan
kematian. Pada bulan Oktober 2004 kasus antraks di kabupaten Bogor menyebabkan
enam korban jiwa dan puluhan lainnya dirawat secara intensif di rumah sakit.
Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan mengalami
kerusakan. Hal ini karena daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan
media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Kerusakan daging oleh mikroba
mengakibatkan penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroba yang mencemari
permukaan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan ternak dan
tingkat pengendalian hiegines serta sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga
dikonsumsi. Besarnya kontaminasi mikroba pada daging dapat menentukan kualitas dan
masa simpan daging. Untuk menghindari kerusakan, daging perlu diawetkan dengan
memperhatikan persyaratan keamanan pangan.
B. Sejarah Ketersediaan Ternak di Indonesia
Berawal dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak, hasil kerjasama
Indonesia dan Australia, yang juga dikenal sebagai P3T dibentuk di Ciawi, dekat bogor
pada tahun 1974 sebagai salah satu kegiatan Colombo Plan. Tujuannya adalah
melakukan penelitian di bidang peternakan dengan standart tertinggi.
Pada awalnya ternak – ternak di Indonesia, seperti sapi dan kerbau, terutama
dipelihara hanya sebagai sumber tenaga untuk pengolahan tanah dan pengangkutan, dan
bukan sebagai sumber bahan pangan, dan dalam hal – hal tertentu sebagai alat rekreasi
seperti karapan sapi, domba aduan dan ayam aduan. Produk sampingan seperti kotoran
ternak dipergunakan untuk pupuk, sedangkan hasil bulu dan kulit juga dimanfaatkan
sepenuhnya.
Oleh karena itu, sekarang perlu dilakukan peningkatan produksi ternak yang
mempunyai tujuan utama adalah meningkatkan produksi daging, susu dan telur.
C. Jenis – jenis ternak yang ada di Indonesia
Ada beberapa jenis – jenis ternak yang ada di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
a. Sapi
Indonesia mempunyai 5 jenis sapi unggul yaitu Ongol, Bali, Madura, Grati,
dan Kelantan.
Terdapat kira – kira 5 juta sapi Ongol di Indonesia. Secara genetik sapi – sapi
ini sama dengan sapi Brahman dari India yang memang merupakan asal sapi – sapi
tersebut.
Sapi Bali berjumlah kira – kira satu juta. Sapi – sapi ini dikatakan sama
dengan banteng asli dari hutan yang telah dijinakkan sejak zaman prasejarah. Jenis
ini dijaga kemurniannya di Bali dengan pembatasan ekspor dan impor.
Sapi Madura sekarang merupakan jenis yang menonjol, di mana mungkin
jenis ini telah diperoleh dari kawin silang antara Brahman dari India dan banteng
dalam negeri kira – kira 1500 tahun yang lalu.
Sapi Grati adalah cikal – bakal bagi industri kecil susu di Indonesia. Sapi ini
diperoleh dari sapi Holstein-Friesian yang diperkenalkan oleh penjajah Belanda,
sapi – sapi ini kadang – kandang sukar dibedakan dengan sapi jenis FH tersebut,
tetapi kadang – kadang sapi – sapi ini dikawinkan dengan sapi ongol sampai pada
beberapa tingkatan. Sapi Grati sangat terbatas pada daerah pegunungan dan sekitar
kota – kota besar yang iklimnya cocok untuk sapi – sapi perah.
Kedah – Kelantan banyak dijumpai di daerah – daerah Sumatera dan ternak
ini adalah kerbau, biasanya dipakai untuk menyiapkan tanah pertanian, pengolahan
padi/penanaman padi dan pengangkutan. Selain itu ternak ini memegang peranan
yang luas dalam kehidupan, adat istiadat, sosial budaya masyarakat dan merupakan
sumber kekayaan, kebanggaan mistik dan hiburan.
b. Kambing
Jenis – jenis kambing utama yang ditinjau dari segi ekonomis adalah :
1) Kambing kacang.
2) Kambing merica.
3) Kambing Etawah ( Jamna pari ).
4) Kambing Bali/gembrong.
5) Kambing hasil persilangan Jamna pari dan kambing kacang yang
dikenal dengan istilah setempat sebagai peranakan Etawah yang juga
cukup penting.
Kambing umumnya dipergunakan sebagai sumber daging. Dan binatang ini
sering disembelih pada umur yang terlalu muda, untuk dibuat sate yang banyak
orang sukai. Kambing juga dimanfaatkan susunya oleh kelompok – kelompok etnik
Arab yang tersebar didaerah – daerah pesisir pantai, hal inilah yang menyebabkan
harga susu kambing lebih mahal daripada harga susu sapi. Dan tentunya kulit serta
jeroannya juga dimanfaatkan sepenuhnya.
c. Domba
Domba Indonesia belum mendapatkan perhatian yang sama seperti domba
tropis lainnya, karena itu perlu diadakannya studi yang menyeluruh tentang domba
lokal. Di Indonesia terdapat 4 jenis domba, yaitu : domba Priangan, Ekor tebal,
Garut, dan Texel. Domba Garut sebenarnya dulu dipelihara bukan untuk tujuan
dagingnya tetapi untuk diadu. Domba garut dan turunannya menghasilkan wool
karpet yang bermutu rendah.
d. Itik
Itik termasuk jenis ternak yang paling kurang diperhatikan di Indonesia baik
peranannya sebagai sumber protein bermutu tinggi maupun potensinya untuk
perbaikan melalui penelitian ilmiah. Itik dapat dibedakan menjadi 4 jenis utama :
itik Tegal, itik Alabio, itik Bali atau itik Lombok. Kesemua jenis itik ini dipelihara
untuk diambil telurnya, dan entok yang digunakan untuk penetasan.
e. Unggas
Industri unggas di Indonesia secara tegas dapat dibagi menjadi dua sektor
besar, sektor pertama didasarkan pada ayam kampung asli dan sektor kedua
didasarkan pada turunan yang lebih baik yang diimpor dari luar negeri.
Sebenarnya ayam hutan hijau adalah nenek moyang dari semua
keturunan/jenis unggas dan mungkin masih merupakan penyedia gene yang
berguna, misalnya sifat – sifat yang menguntungkan seperti ketahanan penyakit
yang tinggi.
BAB II. PEMBAHASAN
A. STRUKTUR DAGING
Daging adalah seluruh bagian dari ternak yang sudah dipotong dari tubuh ternak
kecuali tanduk, kuku, tulang dan bulunya. Dengan demikian hati, lympa, otak, dan isi
perut seperti usus juga termasuk daging (Munarnis, 1982).
Lawrie (1991) daging didefinisikan sebagai bagian dari hewan potong yang
digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang
menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Daging
adalah makanan yang berkualitas tinggi. Dalam daging terdapat asam amino esensial
yang diperlukan tubuh, sehingga diharapkan selalu ada dalam makanan (Levie, 1970).
Muchtadi et al (1992) menyatakan bahwa jaringan otot, jaringan lemak, jaringan
ikat, tulang dan tulang rawan merupakan komponen fisik utama daging. Jaringan otot
terdiri dari jaringan otot bergaris melintang, jaringan otot licin, dan jaringan otot spesial.
Sedangkan jaringan lemak pada daging dibedakan menurut lokasinya, yaitu lemak
subkutan, lemak intermuskular, lemak intramuskular, dan lemak intraselular. Jaringan
ikat yang penting adalah serabut kolagen, serabut elastin, dan serabut retikulin. Menurut
Hadiwiyoto (1983) dan Winarno (1993) secara garis besar struktur daging terdiri atas
satu atau lebih otot yang masing-masing disusun oleh banyak kumpulan otot, maka
serabut otot merupakan unit dasar struktur daging.
Di sekeliling otot daging terdapat seberkas jaringan penghubung epimisium,
yang melekat di antara otot dan membaginya menjadi sekumpulan berkas otot yang
terdiri dari serat-serat yang berdiri sendiri. Serat-serat ini panjangnya beberapa
sentimeter, tetapi garis tengahnya sekitar 10 – 100 μm. Serat-serat ini dikelilingi oleh
suatu selubung yang dinamakan sarkolema, yang tersusun dari protein dan lemak.
Serat otot tersusun atas sejumlah miofibril pada suatu sistim koloid yang disebut
sarkoplasma. Miofibril terdapat pada jaringan otot yang bentuknya memanjang yang
bergaris tengah 1 – 2 μm, kira-kira 1000 – 2000 miofibril. Miofibril ini diikat sehingga
memberi bentuk yang melintang dan berlapis-lapis (Forrest et al, 1975). Miofibril terdiri
dari miofilamen yang membentuk suatu sistem yang saling menutupi dalam garis sejajar
dan lurus. Unit dasar ini disebut sarkomer yang terdiri dari protein aktin dan miosin.
Jadi struktur otot adalah jaringan halus yang sangat kompleks yang mengandung protein
aktin dan miosin dalam cairan protein sarkoplasma yang kompleks. Sarkoplasma
tersebut mengandung pigmen otot dan bermacam-macam bahan yang kompleks yang
dibutuhkan oleh otot dalam melakukan fungsinya (Buckle et al, 1985).
B. DAGING SEGAR
Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya (Soeparno, 1998). Daging yang
umum dikonsumsi dapat diperoleh dari ternak ruminansia besar dan kecil (sapi, kerbau,
domba, kambing), ternak unggas (ayam, itik), dan aneka ternak (kelinci, rusa, kuda,
babi).
Daging juga dapat dibedakan atas daging merah dan daging putih tergantung
perbedaan histologi, biokimia, dan asal ternak. Daging merah adalah daging yang
memiliki serat yang sempit, kaya akan pigmen daging (mioglobin), mitokondria dan
enzim respirasi berhubungan dengan tingginya aktivitas otot serta kandungan glikogen
yang rendah. Daging putih merupakan daging yang berserat lebih besar dan lebar,
sedikit mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi berhubungan dengan aktivitas otot
yang singkat/cepat serta kandungan glikogen yang tinggi. Daging putih mempunyai
kadar protein lebih tinggi dibanding daging merah namun daging merah memiliki kadar
lemak jenuh dan kolesterol lebih tinggi dibanding daging putih.
a) Daging sapi
Daging sapi berwarna merah terang/cerah, mengkilap, dan tidak pucat.
Secara fisik daging elastis, sedikit kaku dan tidak lembek. Jika dipegang masih
terasa basah dan tidak lengket di tangan. Dari segi aroma, daging sapi sangat
khas (gurih). Kandungan protein daging sapi sebesar 18,8% dan lemak total
14%.
b) Daging domba dan kambing
Ciri-ciri daging domba dan kambing hampir sama dengan daging sapi.
Namun daging domba dan kambing memiliki serat lebih kecil dibandingkan
serat daging sapi, serta aroma daging kambing yang khas goaty. Daging domba
dan kambing masing-masing mengandung protein 17,1% dan 16,6% dan lemak
14,8% dan 9,2%.
c) Daging ayam
Daging ayam berwarna putih keabuan dan cerah. Kulit ayam berwarna
putih kekuningan dan bersih. Jika disentuh daging terasa lembab tidak lengket.
Serat daging ayam halus, mudah dikunyah/digiling, mudah dicerna, berflavor
lembut, aroma tidak menyengat, dan tidak berbau amis. Daging ayam
mengandung protein 18,2% dan lemak total 25%.
d) Daging kelinci
Daging kelinci tidak berbau, berwarna putih hampir sama dengan daging
ayam, seratnya halus. Kandungan kolesterol daging kelinci rendah sehingga baik
dikonsumsi oleh penderita jantung, manula, dan obesitas, dipercaya dapat
mengobati asma karena mengandung kitotefin serta asam lemak omega-3 dan
omega-9. Daging kelinci mengandung protein antara 18,6-25,6% dan kadar
lemak 3,91-10,9%.
C. Pengaruh Konversi Makanan Ternak dan Pertumbuhan
Ternak yang menghasilkan bahan pangan adalah pemakan tanaman, dan
pengubahan bahan tanaman menjadi produk ternak atau pengubahan menjadi bahan
pangan, terjadi dengan tingkat efisiensi yang berbeda – beda.
Keunggulan sapi perah sebagai ternak pengubah makanan ternak menjadi bahan
pangan tidaklah terkalahkan, susu sapi yang diproduksi mengandung sampai sepertiga
atau lebih dari protein yang dikandung dalam makanan yang diberikan pada sapi
tersebut.
Perbandingan efisiensi ternak juga dapat dilakukan dengan memperhitungkan
jumlah protein yang dapat dihasilkan per satuan luas tanah. Ada tiga faktor yang
menentukan pertumbuhan dan perkembangan ternak penghasil daging adalah :
1) Keturunan.
2) Reaksi Faal ternak tersebut terhadap lingkungan, terutama terhadap suhu
lingkungan.
3) Tingkat gizi yang diberikan kepada ternak itu, termasuk interaksinya dengan
spesies lain, dengan tanaman dan unsur trace di dalam lingkungan.
D. Perubahan – perubahan Sesudah Disembelih
1) KADAR AIR
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa
komponen, di samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air
dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan
mudah hilang apabila terjadi penguapan dan pengeringan, sedangkan air
terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik,
yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain
kristal dan air yang terikat dalam sistem disperse (Purnomo, 1995). Air yang
diikat dalam daging dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu air yang terikat
secara kimiawi oleh protein daging sebesar 4 – 5% yang merupakan lapisan
monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air yang terikat agak lemah
dari molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar 4%. Lapisan
ketiga merupakan air bebas yang terdapat di antara molekul-molekul protein
yang memiliki jumlah terbanyak.
Selanjurtnya, Forest et al (1975) menyatakan bahwa air bebas
terletak di bagian luar sehingga mudah lepas, sedangkan air terikat adalah
kebalikkannya dimana air sulit dilepaskan karena terikat kuat pada rantai
protein, dan air dalam bentuk tidak tetap merupakan air labil sehingga
mudah lepas bila terjadi perubahan.
Winarno et al (1980) menyatakan kadar air dalam daging berkisar
antara 60 – 70% dan apabila bahan (daging) mempunyai kadar air tidak
terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah yaitu antara kisaran 15 – 50% maka
bahan (daging) tersebut dapat tahan lama selama penyimpanan.
Hal ini karena semakin lama disimpan maka air terikat akan
terurai menjadi komponen yang lebih sederhana karena aktivitas enzim
mikroorganisme dan enzim daging, dengan demikian air bebas yang ada
akan semakin bertambah.
2) pH DAGINGPada hewan potong, pH daging sesudah disembelih berkisar
antara 6.7 – 8. Pada daging sapi dalam waktu 25 jam sesudah dipotong
terjadi penurunan pH hingga 5.6 – 5.8 di dalam semua otot-otot (Resang,
1982).
Buckle et al (1985) menyatakan bahwa pH rendah berada sekitar
5.1 – 6.1 menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka, sedangkan pH
tinggi berada sekitar 6.2 – 7.2 menyebabkan daging pada tahap akhir akan
mempunyai struktur yang tertutup atau padat dan lebih memungkinkan untuk
perkembangan mikroorganisme.
Lawrie (1991) menyatakan bahwa pemberian istirahat yang
cukup pada ternak sebelum dipotong atau pemberian gula dalam pakan atau
air minum dapat membangun glikogen urat daging, dapat memberikan pH
akhir yang lebih rendah sehingga daya simpannya meningkat. Selanjutnya
Soeparno (1994) menambahkan bahwa untuk produk awetan daging kering
seperti dendeng yang mempunyai kadar air 15 – 20% pH-nya berkisar antara
4.5 – 5.1.
3) BILANGAN PEROKSIDA
Kerusakan lemak bahan pangan yang terutama adalah timbulnya
bau dan rasa tengik yang disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak
tidak jenih dalam lemak. Otooksidasi yaitu rekasi-reaksi kimia yang
menyebabkan ransiditas oksidatif lemak dan menghasilkan aldehida, asam-
asam lemak bebas dan keton yang selanjutnya menyebabkan bau. Terjadinya
otooksidasi lemak tergantung pada ada tidaknya oksigen dan kontak daging
dengan oksigen (Winarno, 1984; Ketaren, 1986; Soeparno, 1992). Hasil
oksidasi lemak dalam bahan makanan bukan hanya menimbulkan bau dan
rasa tengik, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi, karena kerusakan
vitamin terutama karoten dan tokoferol serta asam lemak esensial dalam
lemak (Ketaren, 1986).
Menurut Soeparno (1992) senyawa yang paling bertanggung
jawab atas timbulnya bau dan rasa tengik pada daging adalah aldehida yang
terbentuk karena proses oksidasi lemak. Kenaikan bilangan peroksida hanya
merupakan indikator dan peringatan bahwa daging akan berbau tengik.
4) PROTEIN
Protein merupakan bahan kering terbesar yang terdapat di dalam
bahan pangan hewani yang mengandung atom karbon, hidrogen, dan
oksigen, juga mengandung sulfur dan fosfor. Daging sapi memiliki
kandungan protein sebesar 18.5% (Guthrie, 1983 dalam Naruki, 1991).
Protein secara umum dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu
protein sarkoplasmik, protein miofibril, dan protein tenunan pengikat (Price
and Schweigert, 1986). Protein sarkoplasma dengan mudah dapat diekstraksi
dalam air atau penyangga buffer. Protein sarkoplasmik terutama terdiri dari
enzim-enzim yang berhubungan dengan glikolisis, keratin kinase, mioglobin,
dan hemoglobin (lawrie, 1976 dan Swatland, 1984). Protein tenunan
pengikat terdapat dalam jaringan ikat dan protein fibrus yang terkait
terhitung tidak dapat larut (Forrest et al, 1975). Adapun komponen utama
protein tenunan pengikat adalah kolagen dan retikulin. Kolagen merupakan
protein struktural pokok pada jaringan ikat, dan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kealotan daging.
Protein daging dari berbagai jenis potongan komersial karkas
mempunyai perbedaan nilai, dan perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan
struktur daging, yang terutama terdiri dari protein miofibril dan jaringan ikat
(Kramlich et al, 1973). Kadar air yang berbeda di antara jenis potongan
daging dapat menyebabkan perbedaan kadar protein, karena protein
mempunyai hubungan yang erat dengan protein otot dalam mengikat
molekul-molekul air dagingnya (Forrest et al, 1975).
Protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh panas, reaksi
kimia dengan asam atau basa, goncangan-goncangan, dan sebab-sebab
lainnya. Pemanasan yang berlebihan dapat mengakibatkan denaturasi protein
dan selama penyimpanan protein dapat mengalami degradasi yaitu
pemecahan molekul-molekul kompleks menjadi komponen yang lebih
sederhana oleh aktivitas mikroba (Winarno, 1980).
Aprianto et al (1989) menyatakan bahwa proses pengeringan
akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar protein dari produk, hal ini
disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi ion nitrogen, dimana
selama pengeringan berlangusng terjadi pelepasan molekul air oleh protein
daging sehingga konsentrasi protein daging meningkat oleh adanya
penurunan berat bahan.
5) ORGANOLEPTIK
Flavor dan aroma daging adalah sensasi yang kompleks dan
saling terkait. Flavor melibatkan bau, rasa, tekstur, temperatur, dan pH.
Sensasi rasa yang dominan adalah pahit, manis asin, dan asam. Evaluasi bau
dan rasa sangat tergantung pada panel cita rasa (Soeparno, 1992).
Menurut Larmond (1970) bahwa pengujian organoleptik
dilakukan melalui pengujian sensoris yaitu dengan menentukan beberapa
orang sebagai panelis yang dapat dianggap telah mewakili populasi
konsumen. Sedangkan menurut Winarno (1984) cita rasa bahan pangan
sebenarnya terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu bau, rasa, dan
rangsangan mulut. Bau menentukan kelezatan bahan makanan, rasa
melibatkan panca indera lidah sebagai pengecap rasa pahit, manis, asin, dan
asam, sedangkan mulut menimbulkan sensasi perasaan pada seseorang
setelah menelan suatu bahan makanan.
Aroma dan cita rasa mempunyai peranan yang sangat penting
bagi penentuan derajat penerimaan dan kualitas sesuatu bahan pangan dan
dari berbagai indera manusia hanya indera pencicip dan penciuman yang
dapat disebut indera kimia sejati yang mampu membedakan berbagai zat
kimia (Sultary dan Kaseger, 1974; Soedarmo, 1976).
Soeparno (1992) menyatakan perubahan organoleptik selama
penyimpanan daging kering tanpa oksigen dapat terjadi karena adanya reaksi
Maillard yaitu gugus karbonil dari gula reduksi bereaksi dengan gugus
amino dari protein daging dan asam-asam amino secara non enzimatik, dan
hasil reaksinya menimbulkan warna coklat gelap dan perkembangan flavor
terbakar dan pahit.
6) MIKROBA DAGING
Menurut Frazier (1997), mikroorganisme yang terdapat dalam
daging adalah khamir (yeast), jamur benang (mold), dan bakteri yang dapat
merugikan atau membahayakan manusia yang mengkonsumsinya.
Mikroorganisme yang merusak daging berdasarkan dari ternak hidup yang
terinfeksi dan terkontaminasi. Awal kontaminasi pada daging berasal dari
mikroroganisme yang memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan
jika alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan darah tidak steril (Lawrie,
1991).
Menurut Hamid (1975), pembusukan daging disebabkan antara
lain adanya penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri yang
menghasilkan gas dan bau busuk. Menurut Desrosier (1977), kerusakan
bahan pangan dapat disertai dengan perubahan komposisi. Proses
dekomposisi daging dimulai setelah hewan mati. Jaringan-jaringan tersebut
tidak begitu tahan lama terhadap kegiatan mikroorganisme yang dapat
mengakibatkan kerusakan daging.
Jamur dan bakteri dapat menguraikan karbohidrat, protein, dan
lemak menjadi komponen yang lebih sederhana (Hamid, 1975). Menurut
Wilson (1981) daging mulai membusuk apabila koloni bakteri sudah
mencapai jumlah lebih dari 5 x 106 koloni bakteri per gram. Selanjutnya Jay
(1978), menyatakan daging sapi bagian paha dalam keadaan segar
mempunyai jumlah koloni bakteri log x sama dengan 5.98. menurut
Kumalaningsih (1980), total jamur untuk bahan pangan tidak boleh lebih
dari 104 – 107, selebihnya tidak memenuhi syarat.
Setiap mikroba mempunyai suhu maksimal, optimal, dan juga
minimal untuk pertumbuhannya. Suhu ketika suatu bahan makanan disimpan
sangat besar pengaruhnya terhadap jenis mikroba yang dapat tumbuh serta
kecepatannya untuk pertumbuhan (Buckle et al, 1983). Menurut Frazier
(1997) jamur dapat tumbuh pada suhu 25 – 37 0C dan di atas 37 0C.
E. KEAMANAN PANGAN DAGING
Terbukanya wawasan dan kesadaran konsumen terhadap pentingnya jaminan
keamanan dan mutu pangan asal ternak menyebabkan daging harus memenuhi
persyaratan aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Penerapan sistem keamanan pangan
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan. Indonesia telah memiliki UU
No. 7/1996 tentang Pangan antara lain mengatur Sistem Keamanan Pangan dan Sistem
Kesehatan Hewan Nasional.
Proses pengawasan mutu dan keamanan pangan asal ternak dimulai sejak dari kandang,
pakan dan obat, budi daya, penanganan Sejak penyembelihan, pengolahan, distribusi,
penyimpanan, pemasaran hingga ke konsumen (kira-kira 5-6 jam setelah pemotongan).
Agar daging tidak rusak dan tetap sehat, maka penanganan saat di rumah potong harus
cepat, tepat dan hati-hati mengacu pada Good Handling Practices (GHP).
Saat ini masih banyak ditemukan proses penanganan karkas di rumah potong
yang belum memenuhi ketentuan GHP. Proses penirisan darah yang kurang sempurna
saat penyembelihan sehingga warna daging menjadi kehitam-hitaman dan mudah
tercemar mikroba yang menyebabkan masa simpan daging menjadi singkat. Penanganan
sejak di rumah potong hingga ke konsumen dapat merubah mutu secara alamiah
ataupun akibat tercemar dari lingkungan. Daging sangat sensitif terhadap mikroba
pembusuk karena sifat fisikokimianya (water activity, pH, zat gizi/nutrisi) mendukung
pertumbuhan mikroba. Sebagian besar mikroba patogen terdapat pada kulit atau
permukaan luar daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan. Oleh karena
itu, walaupun ternak yang dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak memenuhi
syarat maka kecenderungan menimbulkan bahaya dan penyakit sangat besar.
Sebagai bahan pangan, daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik dan kimia
(Nugroho, 2004). Bahaya biologi disebabkan oleh mikroba patogen; bahaya kimia
ditimbulkan oleh adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida; dan bahaya fisik
disebabkan oleh cemaran logam, dan lain-lain. Bahaya-bahaya tersebut dapat terjadi
selama proses pemeliharaan ternak, proses penyediaan sejak penyembelihan hingga
cutting dan proses pengolahan menjadi produk olahan.
Dari ketiga potensi bahaya, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena
menyebabkan kebusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba. Beberapa
mikroba patogen yang biasa mencemari daging antara lain Escherichia coli, Salmonella
sp. dan Staphylococcus sp. (Mukartini et al., 1995). Penyakit karena bakteri dapat
bersifat meracuni (food poisoning), salah satunya disebabkan oleh Staphylococcus
(Maruyama and O’Leary dalam Nugroho, 2004). Kejadian diare berdarah (haemolytic
uremic syndrome/HUS) pada orang yang mengkonsumsi daging yang terkontaminasi E.
coli. Salmonella sp. merupakan kontaminan utama pada daging sapi dan unggas segar
(Ho et al., 2004), dan beberapa kasus dapat menyebabkan kematian (Haeghebaert et al.
dalam Veclerc et al., 2002).
Daging mudah sekali mengalami kerusakan oleh mikroba. Kerusakan daging ditandai
oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah
mikroba menjadi jutaan atau ratusan juta sel atau lebih per 1 cm luas permukaan daging.
Kerusakan mikroba pada daging terutama disebabkan oleh pertumbuhan bakteri
pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut:
Pembentukan lendir.
Perubahan warna.
Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan
terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S dan
senyawa lain-lain.
Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk
asam dan senyawa pahit.
Terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan atau oksidasi lemak daging.
F. PENGAWETAN DAGING
Pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum
dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan dengan 3 metode
yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia. Pengawetan secara fisik meliputi
proses pelayuan (penirisan darah selama 12-24 jam setelah ternak disembelih),
pemanasan (proses pengolahan daging untuk menekan/membunuh kuman seperti
pasteurisasi, sterilisasi) dan pendinginan (penyimpanan di suhu dingin refrigerator suhu
4-10°C, freezer suhu <0°C), pengawetan secara biologi melibatkan proses fermentasi
menggunakan mikroba seperti pembuatan produk salami, sedangkan pengawetan kimia
merupakan pengawetan yang melibatkan bahan kimia.
Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan menggunakan bahan kimia
dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia (sintetis). Pengawetan menggunakan bahan
aktif alamiah antara lain menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit,
lengkuas, jahe), metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan
memiliki daya antibakteri, antimikroba, dan bakterisidal. Pengawetan menggunakan
bahan kimia seperti garam dapur, sodium tripolyphosphate (STPP), sodium nitrit,
sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat),
gula pasir dan lain-lain dan lain-lain. Dengan jumlah penggunaan yang tepat,
pengawetan dengan bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat
berkembangbiaknya mikroba jamur, kapang/khamir dan bakteri patogen.
Pengawetan daging dengan pemanasan
a. Pasteurisasi, yaitu pemanasan menggunakan suhu di bawah suhu didih untuk
membunuh kuman/bakteri patogen namun sporanya masih dapat hidup. Ada 3
cara pasteurisasi yaitu:
i. Pasteurisasi lama (Low Temperature Long Time/LTLT). Pemanasan pada
suhu yang tidak tinggi (620- 65 0C) dengan waktu yang relatif lama (1/2 -1
jam).
ii. Pasteurisasi singkat (High Temperature Short Time/HTST). Pemanasan
dilakukan pada suhu tinggi (850 – 95 0C) dengan waktu yang relatif singkat
(1-2 menit).
iii. Pasteurisasi Ultra High Temperature (UHT). Pemanasan pada suhu tinggi
dan segera didinginkan pada suhu 10 °C.
b. Sterilisasi adalah proses pengawetan yang dilakukan dengan pemanasan sampai
suhu di atas titik didih, sehingga bakteri dan sporanya mati. Sterilisasi dilakukan
dengan cara :
i. UHT yaitu pemanasan sampai suhu 137°-140°C selama 2-5 detik.
ii. Produk dalam kemasan hermetis dipanaskan pada suhu 110°-121°C selama
20-45 detik.
Pengawetan daging dengan bahan kimia
a. Bahan aktif alamiah
Bawang putih dan bawang bombay, kandungan alisin berguna untuk
antimikroba.
Kunyit, kandungan kurkumin (golongan fenol) didalamnya memiliki sifat
bakterisidal.
Lengkuas, senyawa fenolik lengkuas bersifat menghambat pertumbuhan bakteri
dan jamur.
Jahe, senyawa antioksidan didalamnya dapat dimanfaatkan mengawetkan
minyak dan lemak.
Bakteriosin, merupakan produk ekstraseluler (Jack et al., 1995) yang diproduksi
oleh bakteri asam laktat, sebagai protein yang aktif secara biologi atau kompleks
protein (agregat protein, protein lipokarbohidrat, glikoprotein) yang disintesa
secara ribosomal dan menunjukkan aktivitas antibakteri (Vuyst and Vandamme,
1994; Ammor et al., 2006). Bakteriosin sebagai biopreservatif pangan harus
memenuhi kriteria seperti pengawet atau bahan tambahan pangan lainnya antara
lain aman bagi konsumen, memiliki aktivitas bakterisidal terhadap kelompok
bakteri gram positif dalam sistem makanan, stabil, terdistribusi secara merata
dalam sistem makanan, dan ekonomis (Ray, 1996).
b. Bahan kimia
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia pengawet yang
termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk olahan daging. Namun
masyarakat dewasa ini ketakutan bila mendengar istilah bahan pengawet atau bahan
kimia yang dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Bahan tambahan pangan adalah
bahan aditif yang mengandung senyawa kimia yang telah diizinkan penggunaannya
(Suryanto, 2009). Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan tersebut diatur pada
Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/MENKES/PER/X/1999 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang Bahan
Tambahan Makanan. Beberapa BTP yang diizinkan antara lain adalah:
Garam NaCl (garam dapur), berguna untuk menghambat pertumbuhan
khamir/yeast dan jamur. Penggunaan garam dapur berkisar antara 1,5-3%.
Sodium tripolyphosphate (STPP), bertujuan menurunkan jumlah bakteri
sehingga produk olahan daging dapat tahan lama. Perendaman karkas selama 6
jam dalam larutan disodium fosfat dengan konsentrasi 6,23% dapat
meningkatkan masa simpan 1-2 hari. Penggunaan STPP pada produk olahan
daging tidak boleh lebih dari 0,5%.
Gula pasir, dapat digunakan sebagai pengawet dengan tingkat penggunaan
minimal 3% atau disesuaikan dengan jenis produk olahan daging.
Sodium nitrit, digunakan dalam campuran curing untuk menghasilkan kestabilan
pigmen daging olahan. Jumlah penggunaan tidak boleh lebih dari 156 ppm,
kadang-kadang dikombinasikan dengan askorbat 550 ppm untuk mencegah
pembentukan senyawa karsinogen nitrosamin.
Sodium laktat, digunakan untuk mengontrol pertumbuhan patogen. Maksimum
penggunaan sodium laktat adalah 2,9%
Sodium asetat, digunakan sebagai agen antimikroba dan flavouring dengan
jumlah penggunaan maksimum 0,25%.
Sendawa (kalium nitrat, kalsium nitrat, natrium nitrat), sebagai pengawet daging
olahan digunakan dengan konsentrasi 0,1%.
Beberapa bahan kimia yang tidak dapat digunakan (dilarang) digunakan sebagai bahan
pengawet antara lain formalin, asam borat, asam salisilat, kalium klorat, kloramfenikol,
formalin, dan lain-lain. Bahan pengawet yang dilarang namun sering dijumpai dalam
produk makanan diantaranya adalah formalin dan boraks.
a. Ciri daging dan produk daging berformalin dan bahayanya
Formalin adalah cairan (dalam suhu ruang) yang tidak berwarna, bau menyengat,
mudah larut dalam air dan alkohol, digunakan sebagai pengawet jaringan,
desinfektan, pembasmi serangga, industri tekstil dan kayu lapis. Produk yang biasa
menggunakan formalin:
Bakso: kenyal, awet pada suhu kamar bisa tahan sampai lima hari.
Daging ayam: berwarna putih bersih dan tidak mudah busuk atau awet dalam
beberapa hari.
Deteksi makanan berformalin: tidak ada lalat yang mau hinggap. Jika kadar
formalinnya banyak, daging ayam agak sedikit tegang (kaku) dan jika daging ayam
dimasukkan ke dalam reagen atau diuji laboratorium, muncul gelembung gas. Perlu
curiga bila harga produk sangat murah dan tidak wajar.
Bahaya formalin: mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit menelan, mual,
muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit perut yang hebat, sakit
kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kerusakan hati, jantung, otak, limpa,
pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal, kejang, tidak sadar hingga koma
dan kematian, menyebabkan kanker karena formalin bersifat karsinogenik.
Pertolongan yang dapat dilakukan jika keracunan formalin (tertelan) adalah segera
hubungi dokter atau dibawa ke rumah sakit.
b. Ciri makanan mengandung boraks dan bahayanya
Boraks adalah serbuk kristal putih, tidak berbau, larut dalam air, tidak larut
alkohol, pH 9,5. Boraks biasa dipakai untuk pengawet kayu, antispetik dan
pengontrol kecoa. Produk bakso menjadi lebih kenyal, bila digigit/ditekan akan
kembali ke bentuk semula, tahan lama/awet beberapa hari, warna lebih putih, bau
tidak alami (ada bau lain yang muncul) dan bila dilemparkan ke lantai akan
memantul. Deteksi makanan mengandung boraks hampir sama seperti formalin
walaupun cukup sulit menentukannya namun dengan uji laboratotium akan dapat
dibuktikan dengan jelas.
Bahaya boraks : merusak kulit, selaput lendir (merah), gangguan pencernaan/usus,
muntah, diare, depresi susunan syaraf pusat, bahkan menyebabkan kanker
Pengawetan daging melalui pengolahan
Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jangka
waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga. Tujuan
pengawetan adalah menjaga ketahanan terhadap serangan jamur, kapang/khamir, dan
bakteri patogen, agar daging tidak mudah rusak.
Dalam rangka mempertahankan nilai gizi daging dilakukan upaya pengolahan
untuk tujuan pengawetan dan perluasan jangkauan pemasaran. Beberapa cara
pengolahan daging yang dapat dilakukan antara lain dengan proses pengeringan (contoh
dendeng), pengasapan (contoh daging asap), pengasaman (contoh salami), pemanasan
(contoh abon), kombinasi perlakuan-perlakuan tersebut (contoh: sosis, bakso, nugget,
kornet, dan lain-lain). Dalam bentuk produk olahan maka daging dapat disimpan lebih
lama serta relatif tidak mengalami perubahan mutu dan citarasa spesifik daging.
BAB III. PENUTUP
KESIMPULAN
Daging merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi dan berguna untuk
kesehatan manusia, juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba.
Kerusakan daging oleh mikroba mengakibatkan penurunan mutu daging. Pengawetan
daging adalah salah satu cara untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum
dikonsumsi. Namun masyarakat dewasa ini takut bila mendengar istilah pengawet atau
bahan kimia karena dapat menimbulkan efek negatif bagi tubuh. Oleh karena itu
penggunaan pengawet terutama dari bahan kimia harus memperhatikan jenis bahan
kimia yang digunakan serta jumlah penggunaan yang direkomendasikan dalam
aplikasinya untuk daging dan olahannya agar tidak menimbulkan efek negatif bagi
kesehatan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Teknologi Tepat Guna: Pengawetan dan Bahan Kimia.
Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Kemenegristek.
Anonymous. 2006. Bahaya Formalin dan Boraks.
http://wowsalman.blogspot.com/2006/01/bahaya-formalin-dan-boraks.html. (15
Pebruari 2010)
Anonymous. 2009. Mengenal Formalin dan Bahayanya.
http://netverum.blogspot.com/2009/03/mengenal-formalin-dan-bahayanya.html.
(15 Pebruari 2010)
Ammor S., G. Tauveron, E. Dufour, and I. Chevallier. 2006. Antibacterial activity of
lactic acid bacteria against spoilage and pathogenic bacteria isolated from the same meat
small-scale facility: 1—Screening and characterization of the antibacterial compounds.
Food Control 17: 454–461 10
Ho, C.P., Huang, N.Y., and Chen, B.J. 2004. A Survey of microbial contamination of
food contact surfaces at broiler slaughter plants in Taiwan. J. of Food Protection.
(67) 12 : 2809-2811.
Ikrar, T. 2010. Bahaya Makanan Yang Dicampur Bahan Pengawet, Diantaranya
Formalin.
http://groups.yahoo.com/group/alumni-unhas/message/2606. (15 Pebruari 2010)
Jack RW, JR Tagg dan B Ray. 1995. Bacteriocin of Gram positive bacteria. Appl
Environ microbial 59: 171-200.
Komariah, Surajudin dan D. Purnomo. 2006. Aneka Olahan Daging Sapi: Sehat, Bergizi
dan Lezat. Cetakan kedua. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Lailogo, O., Kanahau, D dan Nulik, J. 2005. Produk ternak dan inovasi teknologi
peternakan menunjang keamanan pangan hewani di Nusa Tenggara Timur.
Prosiding Lokakarya Keamanan Pangan Produk Peternakan, 12-13 September
2005. Hal: 189-196.
Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C.M.L. Harper. 1995. Microbiological status of
beef carcass meat in Indonesia. J. Food Safety 15: 291−303
KATA PENGANTAR
Makalah ini yang berjudul, Teknologi Daging Segar, yang membahas tentang
bagaimana struktur dan komposisi daging dapat mempengaruhi cara pengawetan daging
dan Apa saja cara pengawetan daging mentah. Garis besar makalah ini antara lain
pendahuluan, isi dan pembahasan, penutup serta daftar pusaka .
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya sehingga makalah ini
dapat diselesaikan pada waktunya . Maaf bila dalam makalah ini ada kata – kata dan
penulisan yang salah mohon dimaafkan. Terima kasih kepada orang tua yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini , dan juga kepada teman – teman yang saya
sayangi . Serta terima kasih kepada dosen kami Bu Octiana. yang telah menerangkan
teori–teori kepada kami. Dan terima kasih juga kepada beberapa orang yang tidak dapat
saya sebutkan namanya masing-masing .
Penulis menyadari betul bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
sebab itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun agar
penulisan karya tulis selanjutnya lebih baik.
Pada akhir kata , penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat dan
memberikan tambahan ilmu bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, 19 Desember 2010
penyusun