TEK 0911 FINAL 1

download TEK 0911 FINAL 1

of 20

Transcript of TEK 0911 FINAL 1

ISSN 2088-3153

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGANMENSINERGIKAN PEMBANGUNAN EKONOMIVolume 1 Nomor 9 - September 2011 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

SINERGI PEMBANGUNAN KEHUTANANPemanfaatan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Langkah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

LIPUTANPusat Pembiayaan Pembangunan Hutan

TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGANKEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN VOLUME 1 NOMOR 9 - SEPTEMBER 2011 DAFTAR ISIEditorial Perkembangan Ekonomi Makro Perkembangan Ekspor Impor Perkembangan Inflasi Perkembangan Harga Komoditas Dunia Perkembangan Wisatawan Mancanegara Survei Proyeksi Kondisi Ekonomi Makro 2011 dan 2012 2 3 4 5 5 1 REDAKSI Pembina Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

Pengarah Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan

Perkembangan Ekonomi Internasional Proyeksi Ekonomi dan Persiapan Transisi Demografi di Asia Proyeksi Upaya Menghindari Jebakan Ketidakseimbangan Global 6 7

Koordinator Bobby H. Rafinus

Perkembangan APBN Laporan Realisasi APBD Triwulan I-2011 Refleksi Performa APBD Tahun Anggaran 2011 8 9

Kontributor Tetap Edi Prio Pambudi M. Edy Yusuf Mamay Sukaesih Tri Kurnia Ayu Rista Amallia Alexcius Winang Andi Komite Kebijakan KUR

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi Pemanfaatan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Langkah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 10 11

Perkembangan Sektor Keuangan Liputan Hasil Wawancara: Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan Perkembangan Penyaluran KUR Realisasi Penyaluran KUR per 31 Agustus 2011

14

Kontributor Edisi Ini Andi Novianto Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan

15

Perkembangan Ekonomi dan Keuangan Daerah Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya Terhadap Akuntabilitas Pelayanan Publik 16

Daftar Istilah

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan diterbitkan dalam rangka meningkatkan pemahaman pimpinan daerah terhadap perkembangan indikator ekonomi makro dan APBN, sebagai salah satu Direktif Presiden pada retreat di Bogor, Agustus 2010

EDITORIALTahun 2011 telah dicanangkan oleh PBB sebagai Tahun Hutan Internasional. Tema yang diusung adalah Forest For People. Periode 2011-2020 juga ditetapkan sebagai Dekade Keanekaragaman Hayati. Melalui penetapan ini, PBB hendak mengingatkan pentingnya kelestarian hutan sebagai penyeimbang kehidupan manusia dengan kehidupan makhluk lainnya agar dapat berkelanjutan. Hutan saat ini merupakan tempat bermukimnya 80% keanekaragaman hayati dunia, disamping tumpuan hidup bagi 1,6 milyar manusia di seluruh dunia. Fungsi penting lain dari hutan adalah penyedia sumber air, penghasil oksigen, serta mencegah laju pemanasan global. Hutan Indonesia tercatat memiliki keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia. Jumlah spesies tumbuhannya mencapai 11% dari seluruh jenis spesies yang ada. Selain itu tercatat 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung. Area hutan, menurut Dinas Kehutanan Indonesia, mencapai 162,3 juta hektar atau 84% dari luas daratan Indonesia pada tahun 1950. Sayangnya, kelestarian hutan di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Luas hutan cenderung menurun sejak tahun 1970-an melalui penebangan pohon secara besar-besaran untuk tujuan komersial, pembalakan hutan, dan konversi ke peruntukan lain. Industri kayu mengalami booming dan kayu menjadi emas coklat. Deforestasi (penghilangan hutan) mencapai 1,7 juta ha per tahun pada periode 1985-1997 menurut studi Bank Dunia. Laju deforestasi diperkirakan meningkat dua kali lipat pada periode 1997-2000. Kondisi krisis ekonomi ditengarai menjadi penyebab utama akselerasi deforestasi tersebut disamping kebakaran hutan yang sering terjadi. Selain itu juga banyak usaha hutan tanaman industri (HTI) tidak melakukan penanaman kembali. Pada periode tahun 2000-2005 deforestasi menurun menjadi sekitar 1,05 juta ha per tahun. Jumlah area hutan Indonesia telah menyusut menjadi sekitar 120,35 juta ha pada tahun 2009. Indikator EkonomiIndikator Inflasi (% yoy) Indeks Harga Saham Gabungan Harga Minyak ICP (USD per barel) Indeks Harga Perdagangan Besar Cadangan Devisa* (USD milyar) Nilai Tukar Petani Nilai Tukar (Rp/USD) Pertumbuhan Ekonomi Tw.II-2011 (%) Tingkat Pengangguran (Feb. 2011) (%)*kumulatif, NPI : Neraca Pembayaran Indonesia,

Deforestasi menyebabkan hutan mulai bergeser menjadi sumber persoalan daripada sumber daya bagi masyarakat. Hal ini ditengarai dari meningkatnya kejadian tanah longsor, banjir, kekeringan, dan perubahan iklim yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini. Kejadian tersebut bukan hanya di Indonesia tetapi juga berbagai belahan dunia. Upaya mengatasi masalah ini telah dilakukan oleh beberapa lembaga di bawah PBB dengan menggalang kesadaran dan kerjasama internasional. Melihat perkembangan yang kian memprihatikan, Indonesia pun semakin aktif dalam kerjasama internasional untuk melestarikan hutan. Salah satunya adalah melakukan kerjasama dalam rangka mengatasiperubahan iklim yang disebabkan oleh emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Hutan merupakan pengurang emisi GRK yang lebih efektif daripada udara. Melalui langkah utama melestarikan hutan, telah ditargetkan penurunan emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020. Target tersebut ditingkatkan menjadi 41% apabila ada bantuan internasional. Pada bulan Mei 2010 telah dicapai kesepakatan kerjasama Indonesia untuk mengurangi emisi GRK, deforestasi, dan degradasi hutan. Norwegia sudah mempersiapkan bantuan sebesar US$ 1 miliar. Terkait dengan MOU tersebut maka mulai tahun 2011 dilakukan Moratorium Oslo, yaitu penundaan konversi hutan baru. Melalui pelaksanaan moratorium ini ditiadakan pengelolaan hutan primer dan hutan gambut. Kelestarian kedua hutan ini akan memperbaiki lingkungan hidup. Upaya melalui sosialisasi, pembagian hutan tanaman rakyat serta dorongan untuk menggarap hutan yang telah mengalami degradasi kiranya perlu diikuti dengan penegakan hukum. Salah satu contohnya adalah kasus perambahan hutan di taman nasional Kerinci. Keberhasilan pelaksanaan moratorium ini sudah disadari bukan hanya untuk memenuhi komitmen internasional, namun terutama kepentingan peningkatan kualitas lingkungan hidup bumi pertiwi. Mari kita tunjukan. (BHR)Indikator Juli 2011 203,35 Juni 2011 200,52 18.388 15.072 674,40 12,24

Aug 2011

Juli 2011

4,79% 3.841,73 111,67 183,45$124,64

4.61% 4,130.80 $117,15 182,30$122,67

Utang Pemerintah* (USD milyar) Ekspor (USD juta) Impor (USD juta) Wisatawan Mancanegara (ribu orang) Suku Bunga Kredit Modal Kerja Bank (%) Realisasi Belanja APBN 30 Juni 2011 (Rp. Tr)* Realisasi Pendapatan APBN 30 Juni 2011 (Rp. Tr)* PDB Nominal Tw II-2011 (Rp. Triliun) Surplus NPI Tw II-2011 (USD miliar)

$17.425 $16.063745,45 12,55 442,3** 497,0** 1.811,1 11,9

105,11 8.5326,5 6,8

104.87 8.533

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

1

Perkembangan Ekonomi Makro

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPORSurplus neraca perdagangan Indonesia menurun secara signifikan sebesar 59% dari US$ 3,3 miliar pada Juni 2011 menjadi US$ 1,4 miliar pada Juli 2011, meskipun jika dibandingkan dengan Juli 2010, surplus neraca perdagangan masih mengalami peningkatan. Pada Juli 2010, neraca perdagangan mengalami defisit akibat besarnya impor barang konsumsi. Secara nominal nilai ekspor Indonesia Juli 2011 naik sebesar 39,5% (yoy) menjadi US$ 17,4 miliar. Tetapi jika dibandingkan dengan Juni 2011, ekspor turun sedikit sebesar 5,2%. Ekspor migas mengalami kenaikan pada Juli 2011 sebesar 102,2% (yoy), sedangkan ekspor nonmigas hanya naik 28,4% (yoy). Kenaikan ekspor migas ini didorong oleh kenaikan ekspor gas sebesar 156,6% (yoy). Untuk ekspor minyak mentah dan hasil minyak masing-masing meningkat sebesar 64,2% (yoy) dan 29% (yoy). Lalu untuk golongan komoditas nonmigas, bahan bakar mineral serta lemak dan minyak hewan/nabati masih tetap menjadi komoditas unggulan ekspor, walaupun nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati tercatat menurun sebesar 49,1% dari bulan sebelumnya (mtm). Penurunan ekspor CPO lebih disebabkan oleh peningkatan pajak ekspor guna menjaga pasokan CPO domestik menjelang lebaran. Secara sektoral, ekspor sektor industri termasuk ekspor nonmigas terbesar, yaitu mencapai US$ 70,6 miliar hingga Juli 2011 atau naik 34,9% (yoy). Pada sisi impor, pertumbuhan impor Juli 2011 sebesar 27,3% (yoy) atau mencapai US$ 16,1 miliar. Dibandingkan dengan Juni 2011 impor naik sebesar 6,6% (yoy). Impor komoditas migas mengalami kenaikan relatif besar mencapai 80,2% (yoy) karena adanya kenaikan impor minyak mentah sebesar 139,9% (yoy). Impor minyak mentah dan hasil minyak masing-masing meningkat 57,9% (yoy) dan 46,1% (yoy). Impor nonmigas juga naik sebesar 16,7% (yoy) yang masih didominasi oleh impor mesin dan peralatan mekanik dan listrik. Impor serealia juga masih mengalami kenaikan tinggi hingga Juli 2011 sebesar 204,5% (yoy). Berdasarkan penggunaan golongan barang, impor barang konsumsi tercatat mengalami kenaikan paling tinggi sebesar 12,3% dibandingkan impor golongan tersebut bulan sebelumnya. Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke pasar ASEAN pada Juli 2011 mencapai US$ 2.6miliar, sehingga secara kumulatif, ekspor intra-ASEAN sudah mencapai US$ 19,4 miliar atau naik 30,1% (yoy). Ekspor Indonesia ke Cina pada bulan Juli 2011 juga naik hingga mencapai US$ 1,9 miliar dan secara kumulatif ekspor

1

Sumber: BPS

Indonesia ke Cina mencapai US$ 10,9 miliar atau naik 56,6% (yoy). Walaupun begitu, Indonesia berupaya mengejar penurunan defisit perdagangan dengan Cina. Pada Juli 2011 defisit dapat diturunkan menjadi US$ 294 juta. Melemahnya perekonomian Amerika membuat surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika turun menjadi US$ 482 juta pada Juli 2011. (TKA)

PERKEMBANGAN INFLASIPada bulan Agustus 2011 terjadi inflasi sebesar 0,93% mtm dan 4,79% yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Tekanan inflasi pada bulan Agustus 2011 berasal dari inflasi inti (core inflation) terkait peningkatan harga komoditas global terutama emas, biaya pendidikan karena memasuki musim tahun ajaran baru dan harga komoditas domestik menjelang lebaran. Tekanan ini menyebabkan inflasi selama 8 bulan 2011 (ytd) mencapai 2,69%. Inflasi secara tahunan menunjukkan penurunan dari 6,96% pada Desember 2010 menjadi 4,79% (yoy) di bulan Agustus 2011. Inflasi pokok (headline inflation) tersebut mulai mencapai rentang target inflasi hasil kesepakatan Pemerintah dan Bank Indonesia, yaitu sebesar 51%. Sesuai perkembangan selama ini, inflasi diperkirakan meningkat kembali mulai Agustus 2011 hingga akhir tahun 2011. Komponen bahan pangan (volatile food) dan inflasi inti akan turut menyumbang tekanan secara signifikan jika tidak dilakukan kebijakan penyesuaian harga kelompok komponen yang harganya diatur oleh pemerintah (administered prices). Tekanan inflasi kelompok makanan bergejolak (volatile food) secara tahunan terus menurun sejak Februari 2011 namun kembali meningkat pada Agustus 2011 mendekati lebaran. Meskipun terjadi peningkatan Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

2

Perkembangan Ekonomi MakroKarena faktor musiman, inflasi masih relatif terkendali dengan adanya pasokan yang cukup memadai. Bahkan beberapa komoditas seperti bawang merah, bawang putih dan telur ayam mengalami deflasi setelah ada kenaikan pasokan komoditas tersebut di pasar domestik. Pada Agustus 2011, volatile food mengalami inflasi sebesar 1% mtm. Sebagian besar daerah sentra produksi pangan, terutama di Jawa, mengalami masa panen gadu. Dalam masa panen gadu ini kebijakan impor beras dilakukan, sehingga pasokan beras tersedia cukup bagi kebutuhan masyarakat. Secara tahunan, kelompok volatile food mencapai inflasi sebesar 5.64% yoy tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Adapun komoditas yang mengalami kenaikan harga antara lain emas, ikan segar, beras dan tarif angkutan udara. Inflasi inti (core inflation) cenderung meningkat sebesar 1.09% mtm atau 5.15% yoy. Laju inflasi ini didorong oleh lonjakan harga emas perhiasan yang mencapai 9,1% selama Agustus mengikuti gerak harga emas internasional yang naik sampai terakhir sekitar US$ 1.600 per ounce. Selain efek dari kenaikan harga global, permintaan domestik juga meningkat menjelang Hari Raya Idul Fitri, sehingga harga emas naik di sejumlah daerah. Dari sisi domestik, kenaikan inflasi inti yang dipengaruhi faktor musiman antara lain angkutan udara dan biaya pendidikan. Peningkatan tarif angkutan udara juga terkait dengan lebaran, sedangkan inflasi pendidikan terkait dengan tahun ajaran baru.2

Untuk inflasi komponen yang harganya diatur pemerintah (administered prices) masih terjaga sebesar 0.29%( mtm) atau 2.69%(yoy) pada Agustus 2011. Sejak Juli 2011, tekanan inflasi administered prices menurun karena minimalnya kebijakan penyesuaian harga yang dilakukan pemerintah. Komoditas administered yang berkontribusi pada komponen inihanya berasal dari tarif angkutan kereta api dan rokok. Perkembangan inflasi tahunan menurut kota hingga Agustus 2011 menunjukkan bahwa tingkat inflasi yang lebih tinggi terjadi lebih banyak di kota-kota wilayah kepulauan, khususnya Indonesia timur. Kelancaran distribusi melalui angkutan laut menjadi faktor penentu pergerakan inflasi. Inflasi tertinggi selama tahun 2011 (y-td) terjadi di kota Kendari, Tasikmalaya, dan Pangkal Pinang . (MS) 3

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

3

Perkembangan Ekonomi Makro

PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS DUNIABerdasarkan laporan komoditas Bank Dunia, harga komoditas non energi dan energi mengalami penurunan pada Agustus 2011. Harga komoditas non energi turun 1,6% sedangkan harga komoditas energi turun 6,3% dibandingkan bulan sebelumnya. Harga minyak mentah turun 6,9% dengan harga rata-rata US$ 100,5 per barel akibat adanya kekhawatiran penurunan permintaan seiring perlambatan aktivitas ekonomi global, khususnya di negara OECD. Harga gas alam di Amerika juga turun 8,1% didorong rendahnya permintaan gas untuk bahan bakar pendingin seiring penurunan temperatur. 4

5

Sumber: DECPG, The World Bank.

quantitaive easing di Amerika Serikat. Bloomberg juga melaporkan bahwa kebijakan QE telah memicu kenaikan beberapa komoditas utama seperti emas, CPO, serelia, dan jagung. (TKA)

PERKEMBANGAN WISATAWAN MANCANEGARAJumlah wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia meningkat pada Juli 2011 mencapai 745,5 ribu orang atau naik sebesar 13,21% (yoy) dan 10,54% (mtm). Wisman terbesar pada Juli 2011 berasal dari Singapura, Australia dan Malaysia. Sementara tingkat pertumbuhan tertinggi secara tahunan menurut negara asal adalah China, Thailand dan Australia yang masingmasing sebesar 33,84%, 33,09% dan 29,70%. Selama tahun 2011, jumlah wisman sebanyak 4,343 juta orang atau meningkat sebesar 7,53% (yoy), terbesar berasal dari Singapura, Malaysia dan Australia. Tingkat pertumbuhan negara asal wisman tertinggi selama tahun 2011 tercatat berasal dari Australia, Philipina dan Arab Saudi. Bandara Ngurah Rai dan Bandara Soekarno-Hatta menjadi pintu masuk wisman terbesar. Selama tahun 2011, kedatangan wisman melalui Bandara SoekarnoHatta sedikit menurun dibandingkan tahun 2010, yakni sebesar minus 0.43% yoy. Sebaliknya wisman yang datang melalui Bandara Ngurah Rai meningkat sebesar 10.47% yoy. Pada Juli 2011, jumlah wisman yang datang melalui Bandara Sultan Syarif Kasim II - Riau juga meningkat hampir 70% (yoy). Sedangkan kedatangan melalui Bandara EntikongKalimantan Barat menurun sebesar minus 26,94% (yoy). Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang di 20 provinsi pada Juli 2011 meningkat secara rata-rata 58,37%. Kenaikan tersebut karena faktor musiman liburan sekolah. Tingkat penghunian kamar tertinggi terjadi di Provinsi Bali diikuti denganYogyakarta. Menurut klasifikasi hotel, tingkat penghunian kamar tertinggi terjadi pada hotel-hotel berbintang 5. (MS) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

Sumber: DECPG, The World Bank.

Harga komoditas pertanian naik tipis 0,1% pada Agustus 2011 dibandingkan bulan sebelumnya. Harga jagung dan gandum masing-masing naik 12% dan 8% karena masa tanam yang terlambat dan cuaca yang kurang mendukung. Harga beras juga naik 5% karena produsen di Thailand menahan penjualan beras setelah pemerintahnya mengumumkan akan menaikkan harga lahan pertanian. Harga kapas tercatat turun 6% menunjukkan adanya ekspektasi perbaikan hasil panen berikutnya dan adanya permintaan dari industri tekstil yang melemah. Harga cokelat juga turun 3% karena kenaikan ekspektasi pengiriman cokelat dari Afrika Barat. Harga logam dan mineral turun 4,4% akibat kekhawatiran melambatnya pertumbuhan ekonomi global yang mempengaruhi permintaan logam. Hampir semua harga logam dasar mengalami penurunan. Harga timah mengalami penurunan paling besar sebesar 12,2%. Harga aluminium turun 5,8%, demikian pula dengan harga tembaga turun 6,7% dan harga nikel turun 8,4%. Sedangkan harga emas dan perak tetap naik masingmasing 11,8% dan 5,7%. Kenaikan harga emas lebih didorong oleh kenaikan permintaan sebagai respon masyarakat atas kondisi makroekonomi dan penurunan rating lembaga pemeringkat. Ada pula pendapat bahwa kenaikan harga emas sebagai pengalihan bentuk investasi dari soft ke hard commodities setelah kebijakan

4

Perkembangan Ekonomi MakroPerkembangan Jumlah Wisman Berdasarkan Negara Asal (Januari-Juli 2011)

1

ekonomi makro R-APBN 2011 (6.5% yoy). Mayoritas responden optimis bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2011 akan lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2010. Beberapa faktor pendorong peningkatan perekonomian Indonesia pada tahun 2011 adalah peningkatan investasi domestik dan asing, peningkatan daya beli masyarakat, serta membaiknya kinerja neraca perdagangan akibat kenaikan harga komoditas internasional. Kondisi tersebut diyakini akan memperbesar peluang Indonesia untuk memperoleh peringkat investment gradepada tahun 2011 yang akan mendorong pertumbuhan penanaman modal asing melalui FDI. Tekanan inflasi pada tahun 2011 diperkirakan masih relatif tinggi, namun cenderung menurun. Laju inflasi tahun 2011 diprediksi akan berada pada rentang 6,17,0% (mpe: 6,60% yoy) lebih rendah dibandingkan tahun 2010 (6.96%). Menurut responden, laju inflasi akan teredam dengan adanya apresiasi nilai tukar Rupiah dan ketersediaan barang/jasa yang mencukupi. Rata-rata nilai tukar Rupiah pada tahun 2011 diperkirakan sebesar Rp. 8.501-8.750/USD (mpe: Rp. 8.647/USD). Tren penguatan nilai tukar Rupiah antara lain dipengaruhi oleh ekspektasi positif pasar internasional terhadap kondisi perekonomian Indonesia seiring dengan perkembangan ekonomi global. Konsumsi rumah tangga akan tetap menjadi porsi utama dari pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan cenderung stabil. Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan sebesar 6,6-7,0% (mpe: 6,8% yoy). Persepsi positif terhadap fundamental makro ekonomi mempengaruhi kinerja sektor eksternal dan memperbesar peluang Indonesia mencapai investment grade. Kondisi tersebut turut mendorong masuknya arus modal asing baik berupa FDI maupun portofolio. Laju inflasi 2012 diprediksi berada dalam kisaran 6,1-7,0% (mpe: 6,63% yoy). Beberapa faktor yang diyakini mempengaruhi tekanan harga antara lain kenaikan harga komoditas global, permintaan domestik yang menguat, dan masih tingginya ekspektasi inflasi. Ratarata nilai tukar Rupiah pada 2012 akan sebesar Rp. 8.751-9.000/USD (mpe: Rp. 8.914/USD). (MS-disarikandari Survei Proyeksi Indikator Makro Ekonomi Tw.II-2011, Bank Indonesia)

SURVEI PROYEKSI KONDISI EKONOMI MAKRO 2011 DAN 2012Survei Proyeksi Indikator Makro Ekonomi periode triwulan II-2011 yang dilakukan oleh Bank Indonesia menyatakan perkiraan perkembangan kondisi ekonomi makro 2011 dan 2012.Survei tersebut merupakan survei triwulanan yang dilaksanakan sejak triwulan IV-2011 terhadap responden yang terdiri dari para ekonom, pengamat/peneliti ekonomi, analis pasar uang/modal serta akademisi. Dari 109 responden, mayoritas memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2011 akan berada pada kisaran 6,1-6,5% (mean point estimate (mpe) sebesar 6,4%). Laju inflasi pada triwulan III-2011 akan mencapai kisaran 6,1-7,0% (mpe sebesar 6.59% yoy). Tekanan harga pada triwulan III-2011 diperkirakan akibat faktor musiman, yaitu kenaikan harga bahan pokok menjelang bulan puasa dan hari raya. Nilai perkiraan tersebut relatif lebih tinggi karena realisasi inflasi pada Juli dan Agustus 2011 tercatat masingmasing sebesar 4,61% dan 4,79% (yoy), tidak melebihi 5% (forecast error sebesar 1,89%) Untuk nilai tukar rupiah selama triwulan III-2011 diprediksi berada pada level Rp. 8.501-8.750/USD (mpe sebesar 8.618/USD). Untuk tahun 2011, perekonomian Indoneia diperkirakan akan tumbuh sekitar 6.1 6.5% (mpe: 6.4%yoy) atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 (6.1% yoy). Perkiraan tersebut hampir sama dengan asumsi ekonomi

Perkiraan Indikator Ekonomi Tahun 2011 dan 2012Indikator Ekonomi Triwulan III2011 2011

22012

Pertumbuhan 6,1-6,5% 6,1-6,5% 6,6-7,0% Ekonomi (yoy) Inflasi (yoy) 6,1-7,0% 6,1-7,0% 6,1-7,0% Nilai Tukar Rp/USD Rp. 8.501 Rp. 8.501 Rp. 8.751 (rata-rata) 8.750 8.750 9.000 Sumber: Survei Proyeksi Indikator Makro Ekonomi Tw. II-2011, BI

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

5

Perkembangan Ekonomi Internasional

PROYEKSI EKONOMI DAN PERSIAPAN TRANSISI DEMOGRAFI DI ASIAPada laporan Asian Development Outlook 2011 update, Asian Development Bank (ADB) telah mengoreksi pertumbuhan ekonomi Asia tahun 2011 dan 2012 masingmasing menjadi 7,5% yoy. Perkiraaan tersebut lebih rendah dari proyeksi sebelumnya dengan mempertimbangkan ketidakpastian pemulihan ekonomi global dan melemahnya permintaan produk asal Asia dari sejumlah negara mitra dagang utama akhir-akhir ini. Selain itu,laporan tersebut menyarankan negara-negara Asia sebaiknya mulai mempersiapkan langkah kebijakan menghadapi transisi demografi untuk memperoleh demografi deviden. Permintaan produk Asia dari Amerika Serikat dan Eropa yang melemah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Asia pada triwulan II-2011. Kecenderungan tersebut diharapkan dapat diimbangi dengan meningkatnya permintaan domestik dan perdagangan antar kawasan Asia. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekspor ke Cina dari beberapa negara Asia makin menguat dibandingkan ekspor ke negara lain. Pangsa pasar ekspor intraregional diantara negara Asia telah tumbuh dari 42% pada 2007 menjadi 47% pada pertengahan 2011. ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Timur akan tetap menjadi penentu ekonomi wilayah Asia dengan pertumbuhan mencapai 8,1% pada tahun 2011. Untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Tengah, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonominya mencapai 6,1%. Kegiatan ekonomi di wilayah ini diperkirakan akan didukung oleh kegiatan konsumsi, investasi, remitansi dan kenaikan harga komoditas ekspor. Pertumbuhan ekonomi Asia Selatan diperkirakan mencapai 7,2% dengan inflasi 9,1% pada tahun 2011. Perlambatan pertumbuhan tersebut terkait dengan adanya upaya otoritas moneter menekan laju inflasi.Pertumbuhan PDB Asia

Sementara persoalan produksi minyak di wilayah Azerbaijan akan menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Asia Tengah. Untuk antisipasi melemahnya pertumbuhan ekonomi di negara maju, negara Asia kedepannya harus mempersiapkan langkah-langkah untuk memperkuat permintaan domestik, stabilisasi harga dan mendorong pertumbuhan yang inklusif. Tekanan inflasi masih cukup tinggi di Asia diperkirakan mencapai 5,8% pada tahun 2011 terkait dengan kenaikan harga komoditas internasional. Laju inflasi diperkirakan menurun pada 2012 seiring menurunnya harga komoditas. ADB juga menyatakan adanya perubahan demografi penduduk di Asia yang signifikan dalam 10 tahun kedepan. Pada sebagian negara terjadi berlimpahnya jumlah penduduk usia muda, seperti Indonesia. Sementara sebagian negara menghadapi masalah dominannya jumlah penduduk usia tua, seperti Jepang. Para pembuat kebijakan di negara-negara tersebut disarankan merumuskan kebijakan yang hati-hati namun berani untuk menjamin pertumbuhan di masa mendatang. Untuk memperoleh deviden demografi, negara yang memiliki struktur kependudukan muda (younger age structure) sebaiknya menciptakan kesempatan kerja melalui kebijakan pasar tenaga kerja dan pelatihan. Sedangkan negara yang memiliki struktur kependudukan tua (older age structure) memerlukan reformasi struktural, antara lain pelatihan dan pengaturan pekerja yang fleksibel untuk meningkatkan kontribusi pekerja khususnya pekerja yang lanjut usia. Kerjasama regional dalam bentuk peningkatan mobilitas tenaga kerja dapat menguntungkan antar negara Asia. (MS)

UPAYA MENGHINDARI JEBAKAN KETIDAKSEIMBANGAN GLOBAL?Toshiro Nishizawa, ekonom dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menyampaikan artikel menarik tentang ketidakseimbangan global setelah jatuhnya Lehman Brothers dan pengaruhnya pada perekonomian. Artikel tersebut disampaikan dalam kesempatan forum Financial Policy Dialogue 2011 antara Pemerintah Indonesia dengan JBIC. Berikut cuplikan beberapa masalah penting terkait ketidakseimbangan global yang diulasnya. Ketidakseimbangan global adalah kondisi negara-negara di dunia terbagi menjadi dua yaitu negara dengan surplus neraca berjalan dan negara dengan defisit neraca berjalan. Ketidakseimbangan global mulai terjadi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

6

Sumber: Asian Development Outlook database, ADB

6

Perkembangan Ekonomi Internasionalketika perekonomian Amerika memburuk pada September 2008 akibat jatuhnya beberapa lembaga keuangan terkemukanya seperti Lehman Brothers dan Citi Group. Pada saat itu, negara berkembang terus meningkatkan surplus neraca berjalan. Sedangkan negara maju mengalami defisit neraca berjalan yang semakin besar. Kesenjangan diantara kedua kelompok negara semakin besar. Hingga pertengahan tahun 2009, ekspansi moneter yang dilakukan negara maju justru membuat ketidakpastian ekonomi. Banyak dana investor yang terus mengalir ke negara berkembang. Seiring langkah otoritas moneter negara berkembang melakukan intervensi untuk mencegah apresiasi mata uang, cadangan devisanya terus meningkat. Krisis hutang yang terjadi di kawasan Eropa juga turut mempengaruhi perekonomian global dan menunjukkan adanya kesenjangan antar negara kawasan Eropa. Pertumbuhan riil di kawasan Eropa pada kuartal pertama tahun 2011 sebesar 2,5% (yoy) didorong oleh pertumbuhan ekonomi Jerman yang tumbuh 4,8%(yoy). Ekspor Jerman meningkat seiring depresiasi Euro. Jerman diharapkan dapat menjadi penolong perekonomian Eropa Selatan, seperti Yunani, yang mengalami krisis. Apabila Yunani mengalami gagal bayar, ada kemungkinan krisis tersebar ke negara-negara Eropa Selatan. Keputusan untuk melakukan bailout bukanlah hal yang mudah. Jerman sebagai salah satu negara kreditor terbesar mengharapkan penghematan oleh swasta. Sedangkan European Central Bank (ECB) memiliki pandangan lain tentang dampak dari penghematan tersebut terhadap sistem keuangan. Saat ini perekonomian negara-negara berkembang menjadi penggerak perekonomian global. Namun ketergantungan negara-negara berkembang pada permintaan eksternal (pasar dunia) membuat mereka sulit terhindar dari ketidakseimbangan global. Seperti kenaikan harga komoditas pangan dan energi dunia yang terjadi saat ini justru mendatangkan risiko bagi negara-negara dengan pendapatan rendah. Risiko imported inflation akan meningkat. Di saat otoritas moneter melakukan pengetatan untuk mencegah peningkatan inflasi, menjadi insentif bagi investor dari negara lain untuk menanamkan danany (capital inflow). Lebih lanjut dikhawatirkan kondisi ini akan memberi dampak overheating. Jika kemudian mata uang negara-negara tersebut dibiarkan terapresiasi, harga impor akan lebih rendah dan membantu mengurangi tekanan inflasi. Disisi lain, apresiasi mata uang akan mempengaruhi daya saing komoditas ekspor. Pemerintah dan bank sentral juga harus memperhatikan kemungkinan pertumbuhan ekonomi global yang lambat dan pengaruhnya pada stabilitas sosial dan politik. Memang merupakan langkah penting menciptakan pasar di seluruh dunia. Namun apabila penciptaan pasar ini menyebabkan ketidakseimbangan global maka penyebaran krisis di satu negara atau kawasan dapat terjadi dengan cepat ke seluruh dunia. Ketergantungan antara negara dengan surplus neraca berjalan dan negara dengan defisit neraca berjalan dapat berujung pada krisis ganda. Jika salah satu negara mengalami guncangan, maka negara yang lain akan terpengaruh dan terjadi krisis ganda. Jika pola pertumbuhan ekonomi global mengarah pada pertumbuhan berkelanjutan yang seimbang, maka penting untuk mencapai keseimbangan global. Artinya negara dengan defisit neraca berjalan harus meningkatkan simpanan, sedangkan negara dengan surplus neraca berjalan harus mengurangi simpanan dan memperbanyak investasi. Hal yang sama telah dilakukan Cina yang secara signifikan mengurangi simpanannya dengan meningkatkan konsumsi. Perlu diketahui bahwa simpanan Cina adalah 60% dari PDB. Bagi negaranegara berkembang untuk dapat terhindar dari jebakan ketidakseimbangan global perlu mendorong investasi ekonomi, infrastruktur sosial dan investasi swasta. Sebagai contoh, peningkatan efisiensi energi, daya saing industri dan kesejahteraan nasional. Dan yang perlu dipersiapkan saat ini adalah bagaimana rekonstruksi yang sesuai dalam tatanan ekonomi internasional yang baru. (TKA)

Tabel 3. Kondisi Neraca Berjalan Beberapa Negara Negara Surplus Neraca Berjalan China Jerman Indonesia Jepang Singapura Defisit Neraca Berjalan Eropa EA 17 Eropa India AmerikaSumber: CEIC

Unit

2007 Smt I 162.9 85.9 4.9 12433.9 38.8 0.5 -4.2 -0.3 -365.6 Smt II 354.0 95.3 5.6 12359.9 34.3 17.3 11.6 -7.8 -344.7

2008 Smt I 191.7 87.0 1.7 10418.8 21.8 -74.1 -78.9 -6.8 -330.9 Smt II 412.4 67.8 -1.6 5961.0 17.3 -59.7 -63.6 -24.1 -346.3

2009 Smt I 134.5 51.1 5.1 5788.1 23.3 -45.3 -45.5 -4.5 -162.5 Smt II 261.1 82.7 5.6 7498.7 27.4 19.6 19.8 -21.4 -214.0

2010 Smt I 101.6 63.1 3.3 8643.2 32.6 -36.4 -36.5 -24.9 -219.4 Smt II 305.4 78.0 2.3 8527.3 34.8 -4.2 -3.9 -26.8 -251.5

2011 Smt I 98.4 62.9 2.3 5509.8 31.7 -59.5 -59.2 -5.4 -216.2

USD bn EUR bn USD bn JPY bn SGD bn EUR bn EUR bn USD bn USD bn

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

7

Perkembangan APBN

LAPORAN REALISASI APBD TRIWULAN I-2011Secara kumulatif realisasi pendapatan APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota pada triwulan I adalah 25,2% dari total anggaran pendapatan, sedangkan realisasi total belanja daerah hanya sebesar 11,2%. Persentase realisasi pendapatan yang tertinggi untuk semua tingkatan pemerintahan adalah realisasi Dana Perimbangan yang mencapai 28,1% dari total anggaran Dana Perimbangan, diikuti oleh realisasi PAD yang mencapai 23,3%. Realisasi belanja daerah pada triwulan I memperlihatkan bahwa belanja pegawai merupakan komponen belanja dengan realisasi terbesar yaitu sebesar 17,3%. Sedangkan realisasi belanja daerah yang lain masih sangat kecil yaitu di bawah 10%, terutama belanja modal yang baru mencapai 2,4%. Realisasi pendapatan relatif baik disebabkan realisasi dana perimbangan yang merupakan mayoritas sumber pendapatan telah terealisasi 28,0%. Untuk realisasi belanja relatif rendah disebabkan rendahnya realisasi belanja pegawai (rasio Belanja Pegawai Nasionalcukup dominan, mencapai 45,1%, namun realisasinya baru mencapai 17,4%) dan juga dikarenakan realisasi belanja modal dan barang jasa yang dibawah 10% semua. Secara nasional, realisasi pendapatan pada triwulan I masih didominasi oleh Dana Perimbangan yaitu sebesar 28,0%, diikuti realisasi Pendapatan Asli Daerah sebesar 23,4% dan lain-lain pendapatan daerah yang sah yaitu sebesar 12,8%. Belanja pegawai merupakan komponen belanja dengan realisasi terbesar karena merupakan belanja rutin setiap bulan. Realisasi belanja modal masih kecil dikarenakan sifat kegiatan/proyek yang harus dilakukan melalui tender. Rata-rata realisasi pendapatan pada Triwulan I TA 2011 mencapai 25,2% lebih kecil 0,7% dibandingkan data periode yang sama TA 2010 yang sebesar 25,9%. Ratarata realisasi belanja daerah juga mengalami penurunan yaitu dari 19,6% pada triwulan I TA 2010 menjadi 11,2% pada triwulan I TA 2011 atau turun sebesar 8,4%. Hampir semua komponen pendapatan maupun belanja pada tahun 2011 mengalami penurunan (secara nasional) dibandingkan dengan tahun 2010. Pendapatan daerah secara provinsi yaitu PAD dan Lainlain Pendapatan yang sah mengalami kenaikan pada 2011, yaitu sebesar 0,5% dan 1,5%. Sedangkan Dana Perimbangan mengalami penurunan sebesar 0,7%. Rata-rata realisasi belanja daerah mengalami penurunan

Realisasi Pendapatan dan Belanja Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota (%)

7

*tidak termasuk DKI Jakarta Sumber: Kemenkeu

Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional (Provinsi, Kabupaten, Kota)

8

Sumber: Kemenkeu

untuk tiga jenis belanja yang meliputi belanja pegawai (0,8%), belanja barang dan jasa (2,0%) dan belanja modal (0,1%). Sedangkan untuk belanja lain-lain mengalami kenaikan sebesar 0,5%. Di tingkat kabupaten/kota tahun 2010 dan 2011, pendapatan daerah mengalami penurunan yaitu PAD (1,8%) dan Dana Perimbangan (-1,4%), sedangkan kelompok Lain-lain Pendapatan yang Sah naik sebesar (+6,5%). Sedangkan kelompok belanja daerah mengalami penurunan secara signifikan. Kelompok belanja pegawai mengalami penurunan sebesar (2,7%), kelompok belana barang dan jasa turun sebesar (-5,6%), serta kelompok belanja modal menurun sebesar (-1,3%). Sementara itu, kelompok belanja lainnya mengalami kenaikan sebesar (+0,4%).(A disarikan dari Laporan Realisasi APBD Triwulan I Tahun Anggaran 2011, DJPK, Kemenkeu)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

8

Perkembangan APBN

REFLEKSI PERFORMA APBD TA 2011Sorotan masyarakat semakin kritis terhadap anggaran belanja pemerintah tak terkecuali di tingkat daerah. Kerelaan masyarakat membayar pajak dan retribusi menuntut rasa keadilan dengan mendapatkan kenyamanan. Sudah lebih dari satu dekade sejak otonomi daerah bergulir, sebagian besar masyarakat merasakan APBD belum banyak menghasilkan pembangunan fasilitas sosial di daerah. APBD lebih banyak terserap untuk belanja pegawai dan penyelenggaraan pemerintahan tanpa diimbangi dengan peningkatan mutu pelayanan. Hal yang wajar jika kemudian masyarakat mulai menuntut penataan penganggaran belanja daerah yang lebih prokesejahteraan. Sejatinya, APBD dapat menjadi injeksi pertumbuhan ekonomi daerah dan jika hal ini terjadi dalam koridor sinergi dengan APBN, niscaya pertumbuhan ekonomi daerah akan membesut pertumbuhan ekonomi nasional. Konteks teoritis dan studi empiris pun sudah membuktikan hal ini. Antusias pemda dalam membangun berbagai kebutuhan dasar fasilitas sosial seperti jalan, puskesmas, sarana pendidikan dan sejenisnya akan meningkatkan kerelaan (willingness) masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi. Kepatuhan ini selanjutnya akan menaikkan penghasilan asli daerah dan kemandirian APBD. Ada tiga indikator dalam analisis APBD menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yaitu rasio pajak (tax ratio), ruang fiskal (fiscal space) dan rasio kemandirian daerah. Rasio pajak menggambarkan kemampuan daerah menggali penerimaan asli daerah selaras dengan perkembangan ekonomi (PDRB). Ruang fiskal menunjuk-kan kapasitas pendapatan yang masih bebas digunakan setelah memperhitungkan belanja wajib dan bagian pendapatan yang telah ditentukan target penggunaanya (earmarked revenue). Rasio kemandirian fiskal merupakan perbandingan antara besarnya pendapatan asli daerah dengan total pendapatan daerah, sehingga memaparkan seberapa besar daerah tidak bergantung pada dana alokasi dari APBN. Rasio kemandirian ditunjukkan dengan rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio transfer terhadap total pendapatan. Rasio PAD dan rasio transfer mempunyai polarisasi tingkat kemandirian yang berbeda. Semakin besar angka rasio kemandirian, maka kemandirian daerah juga semakin besar, sebaliknya semakin besar rasio transfer akan semakin kecil tingkat kemandirian daerah dalam mendanai pengeluaran daerah. Pada laporan analisis DJPK 2011, rasio pajak tertinggi terjadi di Provinsi Bali (8,8%) dan rasio pajak terendah

ada di Provinsi Papua Barat (1,2%). Rata-rata rasio pajak (daerah) secara nasional sebesar 3,1% dan terdapat 13 provinsi yang mempunyai rasio pajak di atas rata-rata nasional.Secara nasional, ruang fiskal tertinggi adalah Provinsi Papua Barat (76,7%) karena besarnya perolehan dana transfer dan masih rendahnya rasio pajak. Sebaliknya posisi terendah disandang oleh Provinsi Bali (38,1%). Rata-rata nasional ruang fiskal sebesar 55,2% dan terdapat 14 provinsi yang berada di atas rata-rata nasional. Penyebab tinggi-rendah ruang fiskal adalah pendapatan umum, pendapatan terikat (discretionary revenue), belanja wajib dan kombinasi di antaranya.Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, Kota 9

Sumber: APBD 2011 (diolah), Kemenkeu

Sebagai Ibu kota negara dan pusat perekonomian nasional, Jakarta mempunyai rasio PAD paling tinggi (61,4%) dan rasio transfer paling rendah (36,3%). Sementara posisi rasio PAD terendah ditempati oleh Provinsi Papua Barat (2,7%) dan rasio transfer tertinggi (95,8%). (bersambung ke halaman 13 EP2)Rasio Kemandirian Agregat Provinsi, Kabupaten, Kota

10

Sumber: APBD 2011 (diolah), Kemenkeu

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

9

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

PEMANFAATAN DAN PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTANSektor pertanian, energi, mineral dan pertambangan memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Potensi sektor tersebut antara lain terdapat di kawasan hutan yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Pemanfaatan potensi itu mengakibatkan perubahan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan lain di luar kehutanan. Dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kehutanan, seringkali terjadi konflik antara pemerintah cq Kementerian Kehutanan dengan perusahaan maupun dengan masyarakat setempat. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan atau kesalahan pihak perusahaan dalam menafsirkan peraturan yang ada sehingga terjadi perbedaan persepsi antara perusahaan dan Kementerian Kehutanan. Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan dan kawasan hutan sesuai dengan amanat Pasal 19 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat, kawasan hutan dapat diubah peruntukan atau fungsinya. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, maka perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus berazaskan optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan dengan memperhatikan keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan melalui mekanisme perubahan parsial atau perubahan pada saat Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui tukar menukar atau pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Tabel 4: Luas Kawasan Hutan Indonesia

Perubahan fungsi kawasan hutan adalah perubahan sebagian atau seluruh fungsi hutan dalam satu atau beberapa kelompok hutan menjadi fungsi kawasan hutan yang lain Tukar menukar kawasan hutan dilakukan pada hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Hal tersebut dilakukan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen yang harus menggunakan kawasan hutan. Selain itu juga untuk menghilangkan enclave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan, dan memperbaiki batas kawasan hutan. Tukar menukar kawasan hutan dilakukan dengan kewajiban menyediakan areal pengganti. Kawasan hutan juga merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dengan penataan ruang, sehingga perubahan penataan ruang secara berkala sebagai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, akan berakibat perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Perubahan peruntukan kawasan hutan dalam revisi tata ruang wilayah provinsi dilakukan dalam rangka pemantapan dan optimalisasi fungsi kawasan hutan. Setiap perubahan peruntukan atau perubahan fungsi kawasan hutan, terlebih dahulu wajib didahului dengan penelitian terpadu yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang kompeten dan memiliki otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait. Untuk hal-hal tertentu yang sangat penting dan berdampak luas serta bernilai strategis, perubahan peruntukan atau fungsi kawasan hutan yang dilakukan oleh Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan DPR.

LUAS KAWASAN HUTAN No 1 1 2 3 4 5 6 7 REGION 2 SUMATERA JAWA BALI + NUSA TENGGARA KALIMANTAN SULAWESI MALUKU PAPUA TOTAL Hutan Konservasi 3 4.907.566,00 493.014,68 246.757,59 4.638.262,00 1.505.882,00 324.747,00 8.025.820,00 20.142.049,27 Hutan Lindung 4 5.970.823,00 705.702,96 1.248.840,06 6.412.886,00 4.837.056,00 1.809.634,00 10.619.090,00 31.604.032,02 Hutan Produksi Terbatas 5 3.915.009,00 423.521,00 538.378,26 10.614.218,00 3.303.863,00 1.653.625,00 2.054.110,00 22.649.318,43 Hutan Produksi Tetap 6 7.402.221,00 1.417.785,33 556.545,1 14.144.372,00 1.490.614,00 1.053.171,00 10.585.210,00 36.649.318,43 Hutan Produksi yg dpt dikonversi 7 5.443.636,00 101.830,00 5.082.569,00 600.864,00 2.304.932,00 9.262.130,00 22.795.961,00 Jumlah Luas Daratan Kawasan 8 27.639.255,00 6.080.047,94 2.692.351,01 40.892.307,00 11.738.279,00 7.146.109,00 40.546.360,00 133.694.689,18

Sumber : Badan Pusat Statistik

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

10

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi EkonomiLandasan hukum dalam pemanfaatan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan yang ada pada waktu lalu ini berupa Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43 tahun 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan dalam implementasinya kurang mempunyai kekuatan hukum jika dihadapkan dengan berbagai peraturan mengenai tata ruang seperti UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hambatan peraturan mengenai pemanfaatan kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan menjadi prioritas yang harus diselesaikan (debottlenecking). Untuk itu telah disusun kebijakan pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur penggunaan kawasan hutan dan alih fungsi kawasan hutan. sebagai berikut : a. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Peruntukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang ditetapkan oleh Presiden RI pada 22 Januari 2010. b. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan oleh Presiden RI pada 1 Februari 2010. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, selanjutnya Menteri Kehutanan menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 32 tahun 2010 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, No. 33 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan, No. 34 tentang perubahan fungsi kawasan hutan dan No. 36 tentang Tim Terpadu Perubahan Fungsi Kawasan Hutan; serta No. 18 tahun 2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. (AN) negara Non-Annex I. Negara Annex I adalah negara negara yang telah mengkontribusikan GRK hasil kegiatan penduduknya sejak revolusi industri tahun 1850-an. Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara selain Annex I, yang mengemisikan GRK jauh lebih sedikit dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Perundingan Internasional Perubahan Iklim di Tingkat

Pertemuan pembahasan Perubahan Iklim di Tingkat Internasional dilakukan melalui forum COP (Conference of the Parties) yang dilakukan setiap tahun, dan terakhir dilakukan di Cancun-Mexico tahun 2010 (COP-16). Selain itu terdapat pertemuan antara, dalam bentuk Pertemuan Subsidiary Body of Implementation (SBI) dan Subsidiary Body Scientific and Technological Advice (SBSTA), Pertemuan Ad hoc Working Group on Further Comitments for Annex I Parties Under the Kyoto Protocol (AWG-KP) dan Pertemuan Ad Hoc Working Group on Long-Term Cooperative Action Under the Convention (AWG-LCA) yang dirancang untuk mempersiapkan konferensi iklim berikutnya. Perundingan Perubahan Iklim berlangsung dengan lambat, sehingga banyak pihak meragukan dapat diperoleh kesepakatan pengganti Protokol Kyoto paska 2012 terutama menuju COP-17 di Durban-Afrika Selatan pada Desember 2011. Hal tersebut yang nantinya dapat mengikat negara-negara maju secara hukum untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Negara maju maupun berkembang mengharapkan adanya keseimbangan tanggung jawab pada COP-17, namun tetap muncul perdebatan tentang pengertian seimbang dan cara penyampaian isu tersebut dibawah alur Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Pemerintah negara-negara anggota PBB pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang tidak dapat dihindari untuk membuat kemajuan yang jelas terhadap tujuan penanganan iklim 2011 yang telah disepakati pada COP-16. Hal yang menjadi perdebatan hangat juga adalah pemenuhan janji dari Negara maju sejumlah 30 milyar US$ yang dijanjikan di Kopenhagen (COP-15) sebagai dana segar dan tambahan terhadap bantuan asing yang nampaknya belum dapat terpenuhi. hal pendanaan, Indonesia dan negara berkembang telah menyampaikan laporan NEEDS (National Economic, Environment and Development Study for Climate Change) yang bertujuan memberikan gambaran mengenai upaya negara berkembang dalam mengidentifikasi kebutuhan adaptasi dan mitigasi di negara masing-masing. Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

LANGKAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACATerjadinya perubahan iklim secara global merupakan ancaman serius. Untuk menghadapinya telah berhasil dirumuskan kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim melalui pembentukan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC) yang ditandatangani pada tahun 1992 di Brazil. Tujuan yang paling utama dari pembentukan konvensi perubahan iklim ini adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sehingga konsentrasi gas tersebut tidak melampaui batas aman dan tidak membahayakan iklim dunia. Dalam konvensi tersebut disepakati untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I dan Negaranegara

11

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi EkonomiTantangan penanganan Perubahan Iklim yang sekarang dihadapi oleh para pihak dalam pembahasan AWG-KP dan AWG-LCA adalah pada ranah substansi perundingan, yaitu: (i) Pada AWG-KP, proses perundingan selama 2 tahun terakhir cenderung tidak bergerak maju. Para pihak, utamanya negara-negara berkembang, dihadapkan pada kenyataan negaranegara maju belum juga memberikan komitmen politik yang jelas mengenai periode komitmen kedua Kyoto Protocol (KP) dan target penurunan emisi negaranegara maju sampai tahun 2020. Sebaliknya negaranegara maju menekankan bahwa terlebih dahulu harus disepakati aturan dan mekanisme sebelum menyepakati target penurunan emisi pada periode kedua KP; (ii) Pada AWG-LCA, negara-negara berkembang dan negara-negara maju masih berbeda pandangan mengenai prioritas isu apa saja yang akan dinegosiasikan tahun ini menuju COP-17. Negaranegara maju ingin agar pembahasan difokuskan pada isu-isu yang sudah disepakati di COP-16, sementara negara-negara berkembang menegaskan bahwa keluaran yang akan dihasilkan di COP-17 harus merujuk pada mandat Bali Road Map dan empat pilar Bali Action Plan secara berimbang yakni mitigasi, adaptasi, pendanaan, dan teknologi dan pengembangan kapasitas. Pandangan dari sebagian besar negara, terutama negara berkembang, yang menyampaikan bahwa outcome yang akan diupayakan pada pertemuan COP17 bersama para pihak (Durban Package) diharapkan merefleksikan tercapainya keseimbangan (balanced outcome) yang meliputi: a. Kemajuan yang menonjol dan berimbang antara pembahasan di bawah AWG-KP dan AWG-LCA, sesuai dengan semangat Bali Roadmap; b. Harus ada kesepakatan yang selaras akan keputusan mengenai komitmen politik untuk periode komitmen kedua KP dengan aturan dan mekanismenya; c. Harus ada keseimbangan dalam mencapai kesepakatan terhadap pelaksanaan pilar-pilar Bali Action Plan, yaitu adaptasi, mitigasi, pendanaan, teknologi dan pengembangan kapasitas; d. Pada COP-17 hendaknya dapat ditetapkan keputusan mengenai pembentukan institusi dan tata kelola komite-komite yang telah ditetapkan di COP16, yaitu di bidang adaptasi, pendanaan dan teknologi. Terkait dengan persiapan menuju COP-17, maka Pemerintah Indonesia telah memperhatikan beberapa sektor terkait yaitu: (i) Pertanian, hasil riset beberapa pihak pihak menunjukkan bahwa perubahan iklim telah berdampak kepada ketahanan pangan, antara lain menyebabkan kelangkaan dan stabilitas ketersediaan pangan; (ii) Kehutanan, yang masih menjadi perhatian utama Indonesia dalam perundingan perubahan iklim. Penyelesaian mekanisme REDD+ menjadi salah satu capaian perunding Indonesia, walaupun melalui perdebatan keras yang mewarnai negosiasi metodologi dan aturan /definisi REDD+ di forum SBSTA, terutama dari beberapa negara Amerika Tengah seperti Bolivia; dan (iii) Pendanaan, khususnya melihat pentingnya dilakukan keseimbangan antara pilihan menggunakan sumber pendanaan berbasis pasar dan non-pasar (regulasi). Kebijakan Indonesia Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dalam rangka turut serta dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), Presiden RI dalam Forum G-20 tahun 2009 di Pittsburgh-Amerika Serikat, serta COP-15 tahun 2009 di Kopenhagen-Denmark telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% dari BAU (business as usual) dan sebesar 41% dengan bantuan internasional. Skenario Penurunan Emisi 26%BAU Skenario 26%

11

3.5Laju Emisi (Gt CO2)

3.0 2.5 2.0 1.5 1.02005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

26%

Sumber: Bappenas

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang disusun pada prinsipnya adalah: (i) tidak menghambat keberlanjutan pertumbuhan ekonomi (tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat, termasuk untuk ketahanan energi, ketahanan pangan; (ii) mendukung perlindungan masyarakat miskin dan rentan serta pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan; (iii) meliputi kegiatan yang langsung menurunkan emisi dan penguatan kerangka kebijakan; (iv) merupakan rencana aksi yang terintegrasi antara satu bidang dengan bidang yang lain dengan memperhatikan Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011 12

Perkembangan Kebijakan dan Regulasi Ekonomi

memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan penggunaan lahan; dan (v) memberikan kontribusi pada upaya global penurunan emisi dan mengoptimalkan potensi pendanaan internasional untuk kepentingan Indonesia. Emisi Indonesia diperkirakan bertambah dari 1,72 menjadi 2,95 GtCO2e antara tahun 2000 dan 2020 123 2.5 2 1.5 1 0.5 0 2000 2005 2020Energi dan Transportasi Pertanian Industri Kehutanan dan Lahan Gambut Limbah

Sambungan halaman 9 Refleksi Performa APBD TA 2011

Beralih pada sisi belanja, secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total belanja sebesar 46,2%. Ada 20 provinsi yang memiliki rasio lebih tinggi dari rata-rata nasional. Terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50% yang secara implisit kelompok provinsi tersebut hanya menggunakan sebagian kecil APBD untuk belanja selain pegawai, seperti belanja barang dan modal. Akibatnya, penyerapan APBD lebih condong pada kesejahteraan pemda dibandingkan kepada masyarakat. Rasio belanja pegawai tertinggi tercatat pada APBD Provinsi DIY (61%). Sedangkan rasio belanja pegawai terendah untuk seluruh pemda per provinsi tercatat pada Provinsi Papua Barat (26,8%). Rasio belanja modal seluruh provinsi masih di bawah 40% dan rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota masih sebesar 22,9%. Ada 19 provinsi yang memiliki rasio di bawah rata-rata. Provinsi DIY yang memiliki rasio belanja pegawai tertinggi dengan sendirinya mempunyai rasio belanja modal terendah (11,1%) dan rasio belanja modal tertinggi tercatat pada Provinsi Kalimantan Timur (38%). Kesehatan APBD juga menjadi perlu menjadi perhatian dalam rangka menjaga akuntabilitas, yaitu sumber pendanaan belanja harus jelas. Anggaran yang menunjukkan defisit harus diimbangi dengan pembiayaan yang cukup untuk menutup defisit tersebut. Di lain hal, terjadinya kelebihan anggaran akibat rendahnya penyerapan atau tidak terealisasinya penggunaan anggaran menjadi indikasi bahwa kegiatan pelayanan publik oleh pemda tidak berjalan optimal dan mendorong terjadinya off budget. Pada APBD TA 2011, terdapat 20 kabupaten/kota yang mengalami below the line (pembiayan defisit lebih rendah dari besaran defisit yang dianggarkan). Sekitar 438 daerah dari 491 kabupaten/kota dan 31 provinsi (89% dari semua daerah) menganggarkan defisit APBD dan hanya 80 daerah yang memperoleh surplus dan sisanya 6 daerah berimbang. Rata-rata rasio defisit secara nasional sebesar 7,6% dengan kontribusi SILPA sekitar 91,3% dan kontribusi penerimaan pinjaman dan obligasi daerah 5,9%. Pada catatan DJPK terdapat 18 kabupaten/kota yang mempunyai defisit belum tertutup dengan sumber pembiayaan. Below the line tertinggi terjadi di Kota Gorontalo dan terendah di Kota Ternate.(EP2 disarikan dari Deskripsi dan Analis APBD 2011, DJPK, Kemenkeu)

Sumber: Bahan Penyusunan RAN GRK

RAN-GRK akan menjadi dokumen kerja bagi berbagai Kementerian/Lembaga serta Daerah, dan merupakan optimalisasi kegiatan eksisting yang mempunyai cobenefit untuk penurunan emisi GRK, dengan kriteria akan dicapai melalui kegiatan yang mudah diukur (MRV-Measurable, Reportable, Veriviable), jelas kontrak dan penanggung jawabnya, biaya yang lebih tinggi, serta melalui kegiatan yang mudah diukur (MRV), abatement cost rendah, termasuk dalam program RPJMN/RPJP, prioritas nasional, feasible secara ekonomi, tidak masuk CDM project. Selain itu RAN GRK akan menjadi landasan bagi pembangunan rendah karbon dalam perencanaan pembangunan di daerah, dan masing-masing daerah akan menetapkan perda mengenai tata ruang daerah yang ramah lingkungan, serta dapat mengurangi emisi GRK, dan dapat menaikkan kualitas lingkungan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. (AN)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

13

Perkembangan Sektor Keuangan

LIPUTAN HASIL WAWANCARA DENGAN BLU PUSAT PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN HUTAN:

13

PEMBIAYAAN SEKTOR KEHUTANAN MELALUI DANA BERGULIR KEMENTERIAN KEHUTANANIndonesia memiliki kawasan hutan yang luas. Pengelolaan dan pengawasan hutan ini tidaklah mudah dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi di lapangan, seperti sumber daya manusia dan transportasi untuk menjangkau lokasi kawasan hutan. Selain itu, konflik sosial dengan masyarakat sekitar hutan menjadi permasalahan lain yang harus dihadapi oleh pengelola dan pengawas hutan. Pendekatan yang kemudian dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan tersebut. Sejumlah program pembiayaan telah dibuat oleh pemerintah untuk mendukung pengelolaan hutan rakyat. Salah satunya penyaluran pinjaman yang dananya diperoleh dari dana bergulir yang ada di Kementerian Kehutanan melalui BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (P2H). Pinjaman dari BLU P2H ini memiliki bunga yang relatif lebih rendah dibandingkan bunga perbankan yaitu sebesar 7% hingga 7,5%. Namun waktu yang diperlukan hingga dana pinjaman dapat dicairkan masih cukup lama sekitar 40 hari dari proses pengajuan proposal. Prosedur pengajuan pinjaman diawali dengan pengecekan administrasi oleh Pusat P2H selaku pelaksana pengguliran dana. Dilanjutkan dengan penilaian proposal sesuai dengan P.03/Pusat P2H-2/2008 tentang Pedoman Penilaian Proposal Permohonan Pinjaman Dana Bergulir Untuk Pembangunan Hutan Tanaman. Setelah itu, dilakukan pengecekan lapangan untuk mengklarifikasi dan verifikasi kebenaran identitas calon debitur dan areal IUPHHK HTR. Dari hasil tinjauan lapangan, dilakukan analisis kelayakan rekomendasi pinjaman untuk selanjutnya mendapatkan persetujuan prinsip. Akad kredit dilaksanakan setelah calon debitur setuju terhadap isi ketentuan pinjaman yang ditawarkan kepada debitur. Penyaluran pinjaman dilakukan setelah proses akad kredit selesai. Penyaluran dilakukan secara bertahap (dua tahap) setiap periode tahun pinjaman (berdasarkan laporan fisik dan keuangan) dan dilakukan sesuai kinerja debitur. Penyaluran secara bertahap ini juga dilakukan dalam rangka penyelamatan pinjaman dan untuk mengurangi risiko investasi. Penyaluran pinjaman dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening Pusat P2H ke rekening debitur di BRI. Selanjutnya diibuat laporan realisasi penyaluran dana bergulir setiap tiga bulan ke Menteri Kehutanan.

Sampai dengan pertengahan September tahun 2011, pengajuan permohonan pinjaman dana bergulir untuk pembangunan Hutan Tanaman yang diterima oleh P2H adalah sebanyak 142 permohonan, yang terdiri dari satu permohonan pinjaman dana bergulir untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 141 permohonan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang terdiri dari enam permohonan Koperasi dan 135 permohonan Kelompok Tani Hutan (KTH). Lokasi HTR ini terdapat di Sumatera Utara, Jambi, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Utara. Total rencana penyaluran pinjaman yang akan dilakukan secara bertahap untuk KTH dan Koperasi yang telah melakukan akad kredit hingga saat ini adalah sebesar Rp. 29 miliar. Sedangkan penyaluran pinjaman dana bergulir untuk HTI belum dapat diproses lebih lanjut, karena permohonan ini belum memiliki SK IUPHHK-HTI. Dalam proses penyaluran dana bergulir ini terdapat sejumlah tantangan salah satunya adalah banyak calon debitur yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang perlu dilayani sedangkan sumber daya manusia di BLU Pusat P2H sangat terbatas. Selain itu, permasalahan teknis lain yang dihadapi adalah 1) persyaratan administatif permohonan pinjaman dana bergulir banyak yang masih belum lengkap; 2) masih banyak pihak terkait yang belum memahami persyaratan dan tata cara permohonan pinjaman; 3) belum tersedianya tenaga pendamping yang profesional untuk mendampingi pembangunan HTR yang dilakukan oleh KTH/Koperasi; 4) anggota KTH banyak yang belum mengetahui batas areal IUPHHK-HTR masing-masing sebagaimana tercantum dalam SK IUPHHK-HTR beserta lampirannya; 5) anggota KTH banyak yang belum memahami rincian rencana pembangunan HTR sebagaimana tercantum dalam proposal pinjaman; (bersambung ke halaman 15 TKA dan MS)

Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

14

Perkembangan Penyaluran KUR

REALISASI PENYALURAN KUR PER 31 AGUSTUS 2011Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2007 hingga 31 Agustus 2011, Komite Kebijakan KUR mencatat plafon KUR sebesar Rp 54, 9 triliun. Dana KUR tersebut telah disalurkan kepada 5.200.855 debitur dengan ratarata NPL 2,49%. Sebagian besar dana KUR, 91% disalurkan melalui enam Bank Pelaksana kepada 99% debitur dengan NPL 2,56%. Sedangkan NPL 13 BPD tercatat sebesar 2,07%. Dari keenam Bank Pelaksana, dana KUR terbesar 68,9% disalurkan oleh Bank BRI. Dana KUR tersebut disalurkan melalui KUR Ritel Rp 8,6 triliun untuk 59.821 debitur dengan rata-rata kredit Rp 144 juta dan NPL 4,55%. Sedangkan dana KUR Mikro BRI tercatat sebesar Rp 25,8 triliun disalurkan kepada 4.833.439 debitur dengan rata-rata kredit Rp 5,3 juta dan NPL 2,13%. Dibandingkan lima Bank Pelaksana lainnya, rata-rata kredit Bank BTN merupakan yang tertinggi sebesar Rp 167,5 juta. Bank BUKOPIN mencatat NPL tertinggi sebesar 10,44%. Sebaliknya Bank Mandiri mencatat NPL terendah sebesar 0,91%. Secara sektoral, tampak bahwa penyaluran dana KUR masih terkonsentrasi pada sektor perdagangan besar dan eceran yakni sebesar Rp 33,7 triliun atau setara dengan 61% dari total plafon KUR. Dana tersebut disalurkan kepada 3.884.642 debitur (75% dari total debitur). Sehingga rata-rata kredit KUR pada sektor tersebut sekitar Rp 8,7 juta. Dana KUR terbanyak kedua disalurkan pada sektor pertanian, perburuan dan kehutanan yang mencapai Rp 9 triliun untuk 682.682 debitur dengan rata-rata kredit Rp 13,4 juta. Sedangkan sebagai negara maritim, penyerapan KUR pada sektor perikanan tergolong minim tercatat hanya Rp 68 miliar (0,12% dari total plafon KUR). Jumlah tersebut disalurkan kepada 1.197 debitur atau setara dengan 0,02% total debitur KUR. Penyaluran KUR sampai saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dimana penyalurannya mencapai 51% dengan debitur sebanyak 61% dari total debitur. Plafon KUR terbesar disalurkan di Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 8, 4 triliun dengan debitur mencapai 907.655 debitur. Sedangkan debitur terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.179.401 debitur dengan total plafon Rp 8 triliun. Sebaliknya jumlah plafon terendah tercatat pada provinsi Bangka Belitung Rp 140, 5 miliar. Sedangkan jumlah debitur paling sedikit tercatat pada provinsi Irian Jaya Barat sebanyak 9.707 debitur. (RA)

14

Sumber: Komite Kebijakan KUR

15

Sumber: Komite Kebijakan KUR

Sambungan halaman 14 Liputan Hasil Wawancara dengan BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan : Pembiayaan Sektor Kehutanan Melalui Dana Bergulir Kementerian Kehutanan

5) biaya proses perizinan, biaya pemetaan dan biaya dalam rangka fasilitasi pembentukan kelompok tidak tersedia sehingga diambil alih oleh pengembang. Untuk mengoptimalkan penyaluran dana bergulir ini, BLU Pusat P2H melakukan sosialisasi dengan peserta dari unsur pejabat kehutanan dan instansi terkait, Camat, Kepala Desa, Kelompok Tani/masyarakat dan Koperasi. BLU Pusat P2H juga memberikan bimbingan proposal permohonan pinjaman dana bergulir kepada KTH dan Koperasi. Selain itu, sejumlah pertemuan juga dilakukan antara pendamping KTH, KTH dan developer HTR. (TKA dan MS) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

15

Perkembangan Ekonomi & Keuangan Daerah

DESENTRALISASI FISKAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP AKUNTABILITAS PELAYANAN PUBLIKPada tanggal 14 September 2011, Dtijen Perimbangan Keuangan telah menyelenggarakan konferensi internasional yang bertema Indonesian and International Perspectives on Best Practices for Fiscal Decentralization and Its Impact on Economic Development and Social Welfare. Dalam konferensi tersebut, pembicara dari dalam negeri dan luar negeri membahas berbagai aspek pelaksanaan sepuluh tahun kebijakan desenteralisasi di Indonesia. Salah satu paparan disampaikan oleh Professor Roy Kelly, dari Duke University Amerika Serikat, dengan topik Strengthening the Local Revenue Side of Intergovernmental Financing, including Property Tax Devolution-Indonesian and International Experiences. Paparan tersebut antara lain mengupas masalah pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Berikut beberapa ulasan penting topik tersebut. Melalui Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengelola penerimaan secara otonom. Dengan bergulirnya reformasi penerimaan pemerintah daerah tersebut, maka kewenangan pengelolaan penerimaan pajak dan retribusi daerah semakin luas. Dengan dasar tersebut Pemerintah Daerah diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas pengelolaan anggaran pendapatannya, diantaranya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 28/1999 tersebut, Pemda memiliki kewenangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Pedesaan dan Perkotaan. Untuk melaksanakannya setiap pemerintah daerah harus menyediakan kelengkapan pendukung administrasi perpajakan antara lain identifikasi tarif dasar pajak, informasi tarif dasar yang relevan, menyediakan penomoran atau registrasi pajak, penilaian tanah dan bangunan, penagihan pajak, menerbitkan dan mengirimkan tagihan pajak, penagihan dan pencatatan tagihan pajak, pemeriksaan pengembalian pajak, dan pengurusan keberatan. Professor Roy Kelly mengamati terdapat variasi kemampuan Pemda dalam kegiatan administrasi pengelolaan PBB. Beliau membagi kondisi pemerintah daerah menjadi tiga kluster (tabel 5). Pengalaman di berbagai negara menyarankan pengelolaan pajak disusun dalam struktur yang meminimalkan biaya dan mengambil skala keuntungan ekonomis serta mengatasi keterbatasan kapasitas daerah. Di Indonesia, terdapat beberapa kelompok pemerintah daerah yang memerlukan pendekatan yang berbeda dalam pergeseran pengelolaan PBB dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Seluruh Pemerintah Daerah

Tabel 5. Kondisi Pemerintah Daerah Menurut Roy Kelly

yang ada pada kluster 1 dan sebagian pada kluster 2 dapat mengadopsi local administration model dimana pemda bertanggung jawab dalam menjalankan seluruh fungsi administrasi perpajakan, namun tidak menutup kemungkinan bekerjasama dengan pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya sepanjang dibutuhkan. Sementara untuk pemerintah daerah pada sebagian besar kluster 2 dan kluster 3 perlu didukung oleh pihak ketiga dalam menjalankan administrasi perpajakan, yang disebut joint administration model. Pengembangan model ini diharapkan dapat mengurangi biaya tetap dan mengatasi keterbatasan kapasitas pemerintah daerah. Pada awalnya Pemda membutuhkan dukungan penilaian, pengelolaan sistem basis data tanah dan bangunan, dukungan logistik berupa pencetakan dalam jumlah besar. Seiring dengan berjalannya waktu Pemda tersebut akan meningkatkan kapasitas dalam mengelola perpajakan. Pemda yang menggunakan joint administration model disarankan bekerjasama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam mengelola administrasi perpajakan dengan mempertimbangkan skala ekonomi. Kebutuhan model ini akan terus berlanjut meskipun PBB telah sepenuhnya menjadi penerimaan Pemda, sampai terdapat perbaikan struktur belanja dan penerimaan dan kapasitas pemda. Pada tahap selanjutnya perlu ada kesepakatan antara pemda dengan pihak ketiga mengenai sejauh mana struktur biaya dan fungsi diberikan sehingga dapat memaksimalkan dukungan kepada Pemda untuk mengelola PBB secara efektif dan efisien. Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 menunjukkan kuatnya komitmen pemerintah untuk memberdayakan dan menguatkan pemda dengan meningkatkan otonomi fiskal, menambah pendapatan asli daerah dan peningkatan akuntabilitas pemda kepada masyarakat. Landasan hukum telah ada dan pelaksanaan telah dilakukan. Kolaborasi dan lingkungan yang mendukung merupakan dukungan yang dibutuhkan pemerintah daerah guna mengimplementasikan pengelolaan PBB. Keberhasilan pengelolaan pajak oleh pemda akan mendorong pencapaian desentralisasi dalam meningkatkan akuntabilitas dan pelayanan publik. (AW) Tinjauan Ekonomi dan Keuangan | September 2011

16

DAFTAR ISTILAH

Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosifir secara global dan selalin itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan. Gas Rumah kaca (GRK) adalah gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. REDD-Plus merupakan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pencegahan deforestrasi dan degradasi hutan, serta memasukkan konservasi hutan, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon. Mitigasi adalah tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Adaptasi adalah tindakan penyesuaian oleh sistem alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Kyoto Protocol adalah Kesepakatan internasional agar Negara-negara industri dapat mengurangi emisi GRK secara kolektif sebesar 5,2 persen selama periode 2008-2012 dari tingkat emisi tahun 1990. UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim) adalah Perjanjian atau kesepakatan yang dibuat pada tahun 1992 yang mendesak semua negara yang berkepentingan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer pada tingkat yang dianggap tidak membahayakan iklim bumi.

Untuk Informasi Lebih Lanjut Hubungi : Redaksi Tinjauan Ekonomi dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta, 10710 Telepon. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email : [email protected] Ekonomi dan Keuangan dapat didownload pada website www.ekon.go.id

ISSN 2088-3153