TB-MDR
description
Transcript of TB-MDR
DEFINISI
Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant
tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT dinyatakan bila
hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro
saat terdapat satu atau lebih OAT.1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT,
yaitu: 1
Mono resisten :resisten terhadap satu obat lini pertama
Poli resisten :resisten terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
Multi drug resistant (MDR) :resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
Extensively drug resistant (XDR) :TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah
satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
Total Drug Resistance (TDR) :resisten baik dengan lini pertama maupun lini
kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat
yang bisa dipakai.
Gambar 1. Tahapan perkembangan resistensi TB 2
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi
sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis
terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah
mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi
sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada
Mono resisten
resisten pada satu OAT lini pertama
MDR TB
resisten pada Isoniazid dan Rifampisin
XDR TB
MDR TB + resisten pada golongan flouroquinolone dan salah satu obat injeksi lini 2 (Amikasin, Kanamisin, Kapreomisin)
resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT
sebelumnya atau belum pernah.3
EPIDEMIOLOGI
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah
terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2010 WHO
menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens
TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi
di dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.”WHO
Report On Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar
dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah
terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis
khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.
Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika,
khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang
amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara
diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah
sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari
Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman
yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru
yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang
resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan
empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan
masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM
adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%.
Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH
adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.4
Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban
tinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR/XDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini
menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk dalam
daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau sekurangkurangnya 10%
dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008
kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka
TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.5
Gambar 2. Atas: Persentase kasus baru TB-MDR di tahun 2010-2011. Bawah: Persentase TB-MDR dari pasien
TB yang telah di tangani di tahun 2010-2011.6
SUSPEK TB-MDR
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah: 7
1. Kasus TB paru kronik.
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan
kanamisin.
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
kategori 1.
6. TB paru kasus kambuh.
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau
kategori 2.
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi,
termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.
FAKTOR FAKTOR TERJADINYA RESISTENSI
Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih
banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya
merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi obat
anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari
pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari
pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman
M. tuberculosis antara lain: 7
1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK
Resisten yang natural
Resisten yang didapat
Amplifier effect
Virulensi kuman
Tertular galur kuman –MDR
2. FAKTOR KLINIK
A. Penyelenggara kesehatan
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak mengikuti guideline
Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT
yang digunakan misal rifampisin atau INH
Tidak ada guideline/pedoman
Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
Tidak ada pemantauan pengobatan
Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan
yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten
pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah
panjang daftar obat yang resisten.
Organisasi program nasional TB yang kurang baik
B. Obat
Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan
pasien
Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai
selesai gagal
Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau
ada diare
Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana
bioavibiliti rifampisinnya berkurang
Regimen / dosis obat yang tidak tepat
Harga obat yang tidak terjangkau
Pengadaan obat terputus
C. Pasien
Kurangnya informasi atau penyuluhan
Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
Efek samping obat
Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
Masalah sosial
Gangguan penyerapan obat
3. FAKTOR PROGRAM
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan
Amplifier effect
Tidak ada program DOTS-PLUS
Program DOTS belum berjalan dengan baik
Memerlukan biaya yang besar
4. FAKTOR AIDS–HIV
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
Gangguan penyerapan
Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
5. FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains
Sangat virulen
Daya tahan hidup lebih tinggi
Berhubungan dengan TB-MDR
Lima penyebab terjadinya TB-MDR (“SPIGOTS”):7
1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini
amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan
menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada
pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien
3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan
akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan
pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat
pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak
OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi
resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan
memperpanjang periode infeksious
Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap
OAT yaitu: 8
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau
di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat
kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai
berbulan-bulan.
MEKANISME TERJADINYA RESISTENSI
A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat
sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel
mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase
peroksidase.9,10
Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan
1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam
amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang
dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya
aktivitas katalase dan peroksidase.10
Tabel 1. Obat Antitbuberkulosis dan Gen yang terlibat dalam resistensi10
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.9, 10 Obat ini menghambat sintesis
RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung
DNA.
Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,
mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua
populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih.9 Resistensi terhadap
rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA
polymerase tergantung DNA.
Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan
menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada
perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu.
Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan
frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat
terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit
dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12.
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap
bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0 - 5,5). Pada keadaan pH netral,
pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.9 Obat ini merupakan bakterisid yang
memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau
granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif
asam pyrazinoat.10
Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas
pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat.
Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang
menyandikan pyrazinamidase.14,,11
D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme
utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai
polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.10
Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi
missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah
ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi
306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.10
E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi
ribosomal.10
Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi
oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen
yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan
streptomysin ribosomal.10 Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah
diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs
sebanyak 20%.11 Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi
resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang
resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin
maupun amikasin.10
DIAGNOSIS TB-MDR
Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda (TB-MDR) dicurigai kuat jika kultur basil
tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah
terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat
memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu:
1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak
sesuai standar terapi;
2) Kontak dengan kasus TB-MDR;
3) Gagal terapi atau kambuh;
4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV);
5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB9
Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang
adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan
sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa,
dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan
pada laboratorium rujukan yang memadai.9
Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi
resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi
pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.
Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus,
metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini
dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-
MDR yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih
sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik
secara rutin.11
Metode fenotipik
konvensional
Metode fenotipik baru Metode genotipik
Metode proporsional Metode phage-based Rangkaian DNA
Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase Agar
Metode konsenstrasi absolut The nitrate reductase assay Teknik real-time Polymerase
Chain Reaction (PCR)
Metode radiometri BACTEC The microscopic observation
broth-drug susceptibility
assay
Microarrays
Tabung indicator
pertumbuhan mikobakterial
Metode agar thin-layer
Tabel 2. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT11
TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun berdasarkan
hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing pasien. Namun
yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh dalam 1-2 bulan.
Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien dengan riwayat gagal
pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang
ada kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah
endemis TB, resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil
DST. Selanjutnya pemilihan regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT disusun
berdasarkan pada pola resistensi obat, regimen pengobatan yang telah digunakan sebelumnya,
penyakit yang menyertai dan efek samping yang berhubungan dengan obat.1
Tabel 3. Pengelompokan OAT12
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut:12
Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang (cross-
resistance)
Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai potensinya.
Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim
Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4
bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari.
Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut
prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah
tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan
standar (standardized treatment) yaitu:12
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan
dapat disesuaikan bila: 12
Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
o Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian
hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.
o Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.
o Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
o Terjadi perburukan klinis.
Ting-katan
Obat Dosis
Harian
Aktiviti
antibakteri
Rasio kadar
Puncak Serum
terhadap MIC
1 Aminoglikosid
a.Streptomisin
b. Kanamisin
atau amikasin
c. Kapreomisin
15 mg/kg Bakterisid menghambat organisme yang multiplikasi aktif
20-30
5-7,5
10-15
2 Thionamides
(etionamid
Protinamid)
10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH asam
7,5-10
4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid mingguan
2,5-5
5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3
6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100
Tabel 4. Tingkatan OAT untuk pengobatan TB-MDR8
Fase-fase Pengobatan TB-MDR
I. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau
kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi
konversi biakan
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
Menilai keadaan pasien secara cermat
Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
Tidak ditemukan efek samping
Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman
pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan
dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah
pasien hanya pada libur
II. Fase pengobatan lanjutan
Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat
setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan
TATALAKSANA PEMBEDAHAN
Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai dari
reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada,
tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka
komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang
menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi
negatif setelah dilakukan tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini
direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan obat-obatan cukup jelek.
Indikasi pembedahan yaitu (1) kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi
dengan obat yang cukup banyak; dan atau (2) adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan
dengan kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya kavitas lokal,
nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru yang disetujui untuk dilakukannya
operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal
tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan,
dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan. Dengan tindakan
operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada meneruskan terapi obat-
obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah operasi
dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya ketahanan hidup yang jelek
mungkin saja terjadi.13
PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB – batuk, berdahak, demam dan
BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian
respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat
diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase
intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:
Penilaian klinis termasuk berat badan
Penilaian segera bila ada efek samping
Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase
lanjutan
Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan
Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan
pengobatan
Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin
dan Kapreomisin)
Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Konversi dahak
Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan apus
dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan
untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).
Penyelesaian pengobatan fase intensif
Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur
Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan
sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk
pemeriksaan dahak dan kultur
Lama pengobatan
Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur
Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan
setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama
pengobatan
Hasil pengobatan TB-MDR (atau kategori IV)
Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol
program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari
sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan.
Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu
tidak ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh,
asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif
berturut-turut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari
Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan
sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil
pemeriksaan bakteriologis
Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB MDR.
Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam
12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur
terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis
memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons
klinis, radiologis atau efek samping.
Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-
turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan
hasil pengobatan tidak diketahui
PENCEGAHAN
Pencegahan terjadinya resistensi obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain
relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya
kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi
pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah
yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB
antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali,
penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB,
penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan,
dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB.
Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana
untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman
terapi sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman.
Strategi DOTSPlus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi
DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB.
Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug
resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan
pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang
terjamin mutunya.
3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan
yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan
TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan
dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat
Program Penanggulangan TB Nasional.
PROGNOSIS
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada
penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan
ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah
cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat
menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut.13
Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk mengamati
penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti
malnutrisi.13
DAFTAR PUSTAKA
1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis:
emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008
(WHO/HTM/TB/2008.402)
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
3. Dapartemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available from
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kini-
lebih-baik.html
4. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan
Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi FK
Universitas Sumatra Utara. Available from
http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAAN-
TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-TUBERCULOSIS.pdf
5. Kementrian Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional: Programmatic Management of
Drug Resistance Tuberculosis. 2011.
6. Global Tuberculosis Report 2012. World Health Organization
(WHO/HTM/TB/2012.6). available from
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/
7. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP
Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.
8. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis: A Menace That Threatens
To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261-272. Available from
http://journal.publications.chestnet.org/data/Journals/CHEST/22045/261.pdf
9. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
10. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds),
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.
11. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC,
et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed.
www.textbookcom.
12. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available from
http://www.scribd.com/doc/130737509/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TB-2011
13. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU. Available from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3375/1/08E00731.pdf
MULTI DRUGS RESISTANT-TB
OLEH
FITRIANINDITA
10310158
PEMBIMBING : Dr. A SIANTURI, Sp.P
Dr. Widya, Sp.P
SMF / BAGIAN ILMU KEDOKTERAN PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH
BATAM
2014