TB-MDR

29
DEFINISI Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT. 1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: 1 Mono resisten :resisten terhadap satu obat lini pertama Poli resisten :resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain kombinasi isoniazid dan rifampisin. Multi drug resistant (MDR) :resisten terhadap sekurang- kurangnya isoniazid dan rifampisin Extensively drug resistant (XDR) :TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat golongan flourokuinolon dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin). Total Drug Resistance (TDR) :resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.

description

doc

Transcript of TB-MDR

Page 1: TB-MDR

DEFINISI

Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of drug resistant

tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap OAT dinyatakan bila

hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro

saat terdapat satu atau lebih OAT.1 Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT,

yaitu: 1

Mono resisten :resisten terhadap satu obat lini pertama

Poli resisten :resisten terhadap lebih dari satu OAT lini

pertama selain kombinasi isoniazid dan

rifampisin.

Multi drug resistant (MDR) :resisten terhadap sekurang-kurangnya

isoniazid dan rifampisin

Extensively drug resistant (XDR) :TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah

satu obat golongan flourokuinolon dan

sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini

kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).

Total Drug Resistance (TDR) :resisten baik dengan lini pertama maupun lini

kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat

yang bisa dipakai.

Gambar 1. Tahapan perkembangan resistensi TB 2

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi

sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis

terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah

mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari 1 (satu) bulan. Sedangkan resistensi

sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1(satu) bulan. Pada

Mono resisten

resisten pada satu OAT lini pertama

MDR TB

resisten pada Isoniazid dan Rifampisin

XDR TB

MDR TB + resisten pada golongan flouroquinolone dan salah satu obat injeksi lini 2 (Amikasin, Kanamisin, Kapreomisin)

Page 2: TB-MDR

resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT

sebelumnya atau belum pernah.3

EPIDEMIOLOGI

Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah

terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2010 WHO

menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens

TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi

di dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.”WHO

Report On Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar

dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah

terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis

khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.

Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika,

khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang

amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara

diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah

sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari

Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman

yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru

yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang

resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan

empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan

masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM

adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%.

Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH

adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%.4

Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban

tinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR/XDR. Beban TB-MDR di 27 negara ini

menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara yang termasuk dalam

daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-MDR atau sekurangkurangnya 10%

dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008

kasus TB-MDR di Indonesia sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka

TB-MDR sebesar 2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.5

Page 3: TB-MDR

Gambar 2. Atas: Persentase kasus baru TB-MDR di tahun 2010-2011. Bawah: Persentase TB-MDR dari pasien

TB yang telah di tangani di tahun 2010-2011.6

SUSPEK TB-MDR

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah: 7

1. Kasus TB paru kronik.

2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan

kanamisin.

4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan

kategori 1.

6. TB paru kasus kambuh.

Page 4: TB-MDR

7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau

kategori 2.

8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi,

termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR.

FAKTOR FAKTOR TERJADINYA RESISTENSI

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih

banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya

merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi obat

anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari

pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari

pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman

M. tuberculosis antara lain: 7

1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK

Resisten yang natural

Resisten yang didapat

Amplifier effect

Virulensi kuman

Tertular galur kuman –MDR

2. FAKTOR KLINIK

A. Penyelenggara kesehatan

Keterlambatan diagnosis

Pengobatan tidak mengikuti guideline

Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang

atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT

yang digunakan misal rifampisin atau INH

Tidak ada guideline/pedoman

Tidak ada / kurangnya pelatihan TB

Tidak ada pemantauan pengobatan

Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan

yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten

pada paduan yang pertama maka ”penambahan” 1 jenis obat tersebut akan menambah

panjang daftar obat yang resisten.

Organisasi program nasional TB yang kurang baik

Page 5: TB-MDR

B. Obat

Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan

pasien

Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai

selesai gagal

Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau

ada diare

Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana

bioavibiliti rifampisinnya berkurang

Regimen / dosis obat yang tidak tepat

Harga obat yang tidak terjangkau

Pengadaan obat terputus

C. Pasien

Kurangnya informasi atau penyuluhan

Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll

Efek samping obat

Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada

Masalah sosial

Gangguan penyerapan obat

3. FAKTOR PROGRAM

Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan

Amplifier effect

Tidak ada program DOTS-PLUS

Program DOTS belum berjalan dengan baik

Memerlukan biaya yang besar

4. FAKTOR AIDS–HIV

Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar

Gangguan penyerapan

Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

5. FAKTOR KUMAN

Kuman M. tuberculosis super strains

Sangat virulen

Daya tahan hidup lebih tinggi

Berhubungan dengan TB-MDR

Page 6: TB-MDR

Lima penyebab terjadinya TB-MDR (“SPIGOTS”):7

1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini

amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama

2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan

menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada

pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan

keluarga pasien

3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan

akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan

pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal

4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat

pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak

OAT yang resisten (’’The amplifier effect”). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi

resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif

5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan

memperpanjang periode infeksious

Sedangkan menurut Aditama dkk ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap

OAT yaitu: 8

1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau

di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,

misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi

terhadap kedua obat tersebut.

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu

lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat

kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.

4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan

pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah

resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam

obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik

sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

Page 7: TB-MDR

6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai

berbulan-bulan.

MEKANISME TERJADINYA RESISTENSI

A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air

sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat

sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel

mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase

peroksidase.9,10

Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan

1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam

amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang

dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya

aktivitas katalase dan peroksidase.10

Tabel 1. Obat Antitbuberkulosis dan Gen yang terlibat dalam resistensi10

B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang

bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.9, 10 Obat ini menghambat sintesis

Page 8: TB-MDR

RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung

DNA.

Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif,

mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua

populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih.9 Resistensi terhadap

rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA

polymerase tergantung DNA.

Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan

menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada

perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manusia tidak terganggu.

Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan

frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat

terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit

dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12.

C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai

bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap

bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0 - 5,5). Pada keadaan pH netral,

pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek.9 Obat ini merupakan bakterisid yang

memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau

granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif

asam pyrazinoat.10

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas

pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat.

Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang

menyandikan pyrazinamidase.14,,11

D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada

mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme

utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai

polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.10

Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi

missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah

Page 9: TB-MDR

ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi

306 atau 406 pada sekitar 90% kasus.10

E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces

griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi

ribosomal.10

Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi

oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen

yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan

streptomysin ribosomal.10 Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah

diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi pada rrs

sebanyak 20%.11 Pada  sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi

resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang

resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin

maupun amikasin.10

DIAGNOSIS TB-MDR

Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda (TB-MDR) dicurigai kuat jika kultur basil

tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah

terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat

memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu:

1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak

sesuai standar terapi;

2) Kontak dengan kasus TB-MDR;

3) Gagal terapi atau kambuh;

4) Infeksi human immnodeficiency virus (HIV);

5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB9

Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang

adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan

sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa,

dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan

pada laboratorium rujukan yang memadai.9

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi

resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi

Page 10: TB-MDR

pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu

yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru.

Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus,

metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini

dipertimbangkan sebagai petanda TB-MDR khususnya pada suasana dengan prevalensi TB-

MDR yang tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode yang lebih

sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik

secara rutin.11

Metode fenotipik

konvensional

Metode fenotipik baru Metode genotipik

Metode proporsional Metode phage-based Rangkaian DNA

Metode rasio resistensi Metode kolorimetri Teknik hybridisasi fase Agar

Metode konsenstrasi absolut The nitrate reductase assay Teknik real-time Polymerase

Chain Reaction (PCR)

Metode radiometri BACTEC The microscopic observation

broth-drug susceptibility

assay

Microarrays

Tabung indicator

pertumbuhan mikobakterial

Metode agar thin-layer

Tabel 2. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT11

TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA

Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun berdasarkan

hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-masing pasien. Namun

yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru dapat diperoleh dalam 1-2 bulan.

Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut ini antara lain pasien dengan riwayat gagal

pengobatan sebelumnya, pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang

ada kontak dengan kasus TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah

endemis TB, resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil

DST. Selanjutnya pemilihan regimen pengobatan kasus dengan resistensi OAT disusun

berdasarkan pada pola resistensi obat, regimen pengobatan yang telah digunakan sebelumnya,

penyakit yang menyertai dan efek samping yang berhubungan dengan obat.1

Page 11: TB-MDR

Tabel 3. Pengelompokan OAT12

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan

MDR adalah sebagai berikut:12

Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.

Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang (cross-

resistance)

Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai potensinya.

Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim

Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.

Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.

Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4

bulan setelah terjadi konversi biakan.

Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan

Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak

pemeriksaan 30 hari.

Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut

prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah

tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan

standar (standardized treatment) yaitu:12

Page 12: TB-MDR

Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan

dapat disesuaikan bila: 12

Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan

sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap

etambutol.

Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :

o Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian

hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

o Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya

sehingga dicurigai telah ada resistensi.

o Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat

diidentifikasi penyebabnya.

o Terjadi perburukan klinis.

Ting-katan

Obat Dosis

Harian

Aktiviti

antibakteri

Rasio kadar

Puncak Serum

terhadap MIC

1 Aminoglikosid

a.Streptomisin

b. Kanamisin

atau amikasin

c. Kapreomisin

15 mg/kg Bakterisid menghambat organisme yang multiplikasi aktif

20-30

5-7,5

10-15

2 Thionamides

(etionamid

Protinamid)

10-20 mg/kg Bakterisid 4-8

3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pada pH asam

7,5-10

4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid mingguan

2,5-5

5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3

6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4

Page 13: TB-MDR

7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100

Tabel 4. Tingkatan OAT untuk pengobatan TB-MDR8

Fase-fase Pengobatan TB-MDR

I. Fase Pengobatan intensif

Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau

kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi

konversi biakan

a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu

Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:

Menilai keadaan pasien secara cermat

Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping

Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif

Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:

Tidak ditemukan efek samping

Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman

pengobatan TB MDR

b. Fase rawat jalan

Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan

dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah

pasien hanya pada libur

II. Fase pengobatan lanjutan

Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan

Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan

Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat

setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan

TATALAKSANA PEMBEDAHAN

Berbagai prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB-MDR, mulai dari

reseksi segmental sampai pleuro-pneumoectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada,

tindakan operasi pada penderita TB-MDR dengan mortalitas rendah (<3%). Tetapi angka

komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang

menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi

Page 14: TB-MDR

negatif setelah dilakukan tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini

direkomendasikan pada penderita TB-MDR yang diterapi dengan obat-obatan cukup jelek.

Indikasi pembedahan yaitu (1) kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi

dengan obat yang cukup banyak; dan atau (2) adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan

dengan kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya kavitas lokal,

nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru yang disetujui untuk dilakukannya

operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal

tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan,

dimana diharapkan status sputum menjadi negative jika memungkinkan. Dengan tindakan

operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada meneruskan terapi obat-

obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah operasi

dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya ketahanan hidup yang jelek

mungkin saja terjadi.13

PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN

Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan

mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB – batuk, berdahak, demam dan

BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian

respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat

diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase

intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah:

Penilaian klinis termasuk berat badan

Penilaian segera bila ada efek samping

Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase

lanjutan

Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan

Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan

pengobatan

Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin

dan Kapreomisin)

Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

Konversi dahak

Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak

pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan apus

Page 15: TB-MDR

dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan

untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).

Penyelesaian pengobatan fase intensif

Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur

Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan

sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk

pemeriksaan dahak dan kultur

Lama pengobatan

Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur

Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan

setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama

pengobatan

Hasil pengobatan TB-MDR (atau kategori IV)

Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol

program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari

sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan.

Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu

tidak ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh,

asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif

berturut-turut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari

Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan

sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil

pemeriksaan bakteriologis

Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa

pengobatan TB MDR.

Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam

12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur

terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis

memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons

klinis, radiologis atau efek samping.

Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-

turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik

Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan

hasil pengobatan tidak diketahui

Page 16: TB-MDR

PENCEGAHAN

Pencegahan terjadinya resistensi obat

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain

relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya

kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah dengan standarisasi

pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah

yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.

Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB

antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali,

penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB,

penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan terhadap pengobatan,

dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB.

Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana

untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman

terapi sesuai “evidence based” dan tes kepekaan kuman.

Strategi DOTSPlus

Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi

DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR TB.

Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:

1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug

resistance)

2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan

pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang

terjamin mutunya.

3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan

yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).

4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan

TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan

dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat

Program Penanggulangan TB Nasional.

PROGNOSIS

Page 17: TB-MDR

Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada

penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan

ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat mengunakan OAT dengan jumlah

cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat

menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut.13

Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu klinisi intuk mengamati

penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti

malnutrisi.13

DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis:

emergency update 2008. Geneva, World Health Organization, 2008

(WHO/HTM/TB/2008.402)

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.

Page 18: TB-MDR

3. Dapartemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik. Available from

http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1348penangulangan-tb-kini-

lebih-baik.html

4. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan

Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi FK

Universitas Sumatra Utara. Available from

http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAAN-

TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-TUBERCULOSIS.pdf

5. Kementrian Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional: Programmatic Management of

Drug Resistance Tuberculosis. 2011.

6. Global Tuberculosis Report 2012. World Health Organization

(WHO/HTM/TB/2012.6). available from

http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/

7. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP

Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.

8. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis: A Menace That Threatens

To Destabilize Tuberculosis Control. CHEST 2006; 130:261-272. Available from

http://journal.publications.chestnet.org/data/Journals/CHEST/22045/261.pdf

9. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di

Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.

10. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds),

Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.

11. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in Palmino JC,

et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed.

www.textbookcom.

12. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan

Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Available from

http://www.scribd.com/doc/130737509/Pedoman-Nasional-Penanggulangan-TB-2011

13. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu Penyakit

Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU. Available from

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3375/1/08E00731.pdf

Page 19: TB-MDR

MULTI DRUGS RESISTANT-TB

Page 20: TB-MDR

OLEH

FITRIANINDITA

10310158

PEMBIMBING : Dr. A SIANTURI, Sp.P

Dr. Widya, Sp.P

SMF / BAGIAN ILMU KEDOKTERAN PARU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH

BATAM

2014